Bagaimana kau bisa membenci pria yang
memilih hadiah yang sempurna?...
Sayangnya,
Tykir bersiap berangkat keesokan harinya. Eadyth tak tahu bagaimana ia bisa
bertahan di sisa waktu dalam perjamuan pernikahan itu kalau bukan karena
bantuan Tykir. Begitu Eirik pergi, kebanyakan tamu yang kejam mencerca Eadyth
dengan terang-terangan, tapi tidak ketika Tykir berdiri memandang tajam di
sebelahnya. Beberapa tamu pergi ke kamar yang dipersiapkan untuk mereka, yang
lain pergi tergesa-gesa, pasti merencanakan rencana busuk.
Tindakan
Eirik saat perpisahan mereka masih membuat marah Eadyth, tapi kemarahannya
sedikit mereda ketika Tykir membungkuk dari atas kudanya dan menyerahkan
bungkusan dari kain linen padanya.
“Sebaiknya
itu bukan sepatu yang disimpan Eirik untuk menipuku,” komentarnya ketus.
Tykir
menyeringai. “Bukan, kakakku menyimpan hadiah itu untuk kesempatan lain. Eirik
berniat memberimu ini sebagai morgen-gifu
pagi ini, setelah malam pertama kalian... sebagai penghargaan karena kau telah
memuaskannya di ranjang, kurasa.” Ia menggerakkan alisnya dengan lucu. Tapi kau
perlu melunak sekarang, sebelum dia kembali, kalau tidak, tak akan ada
penyatuan tubuh sama sekali.” Eadyth mendengus kesal pada komentar Tykir yang
selalu berhubungan dengan ranjang pernikahan. Namun kemudian Eadyth terkesiap
senang ketika membuka paket itu dan melihat buku beternak lebah yang sangat
berharga yang pernah disebutkan Eirik sebelumnya. Eirik pasti memintanya dari
King Edmund. Eadyth juga menyadari, bahwa Raja pasti benar-benar menganggap
suaminya sebagai teman hingga mau menghadiahkan buku yang sangat berharga dari
koleksi terkenal yang diwariskan pada Raja Edmund dari kakak tirinya Athelstan.
Tak heran Raja memanggil Eirik saat ia membutuhkan bantuan.
Ia
mendongakkan mata yang berlinang air mata pada adik Eirik dan berkata dengan
suara tercekat, “Dia tidak mungkin memilih hadiah yang lebih baik dari ini.
Sejujurnya, aku tak ingat ada seseorang yang begitu perhatian untuk memilih
kado untukku.”
“Ingat
itu, Kakak ipar, sebelum kau memenggal kepalanya begitu dia pulang,” katanya,
sambil mengedipkan mata.
Tykir
berangkat menuju kapalnya di Jorvik, gerbang ke semua rute perdagangan dunia
–Irlandia, Shetland, Rhineland, dan Baltik, dan lebih jauh lagi. Kepergian
Tykir yang hanya seorang diri membuat Eadyth sangat sedih karena ia tak tahu
kapan lagi bisa melihat saudara barunya. Membayangkan kota perdagangan yang
sibuk, ia bertanya-tanya apakah Tykir akan pergi ke tanah yang eksotis, atau
kembali ke Paman Haakonnya di daerah Norse, seperti yang dikehendaki kakaknya.
“Ini
aneh,” kata Girta di sisinya, “bahwa kau menerima begitu saja Tykir menjadi
saudaramu tapi tak bisa menerima ide Eirik sebagai suamimu.”
“Humph!”
Eadyth menggerutu, berjalan kembali ke rumah bersama pengasuhnya. “Ini karena
aku selalu menginginkan punya seorang saudara, tapi aku benci memerlukan
seorang suami. Terutama suami menyebalkan seperti Eirik.”
“Tak
selalu begitu.”
Eadyth
melayangkan pandangan menegurnya.
Tapi
Girta mengabaikannya dan terus berjalan. “Kali ini, cerialah sedikit, Gadisku,”
seru Girta ke balik bahunya. “Sejujurnya, kau mulai berubah semasam wanita tua
penyamaranmu. Mulailah melihat nasib yang diberikan Tuhan padamu sebagai
berkah, bukannya musibah.”
“Berkah?
Kau menyebut Eirik of Ravenshire sebagai berkah?”
“Mungkin,”
jawab Girta, mata Abu-abunya berbinar.
Eadyth
mendecak kesal. “Ya ampun, Girta! Kau jatuh ke perangkap yang sama seperti para
wanita itu, terlena pada mulut manis pria dan ketampanannya.”
Girta
tersenyum penuh makna, seolah-olah Eadyth juga termasuk ke dalam kategori itu.
Beberapa hal sebaiknya tidak
dipelajari...
“Apa
Lord Eirik benar-benar ayahku?” tanya John hari itu. Ia duduk di bangku
mengawasi Eadyth menaruh lilin ke dalam wadah kayu untuk dibawa ke agen
penjualnya di Jorvik.
“Ya,
benar,” Eadyth berbohong tanpa sesal.
Wajah
mungil John menjadi cerah. “Dia bicara padaku sebelum berangkat kemarin malam.
Dia bilang aku harus menjagamu, dan dia memberitahuku aku boleh memanggilnya
Ayah.”
“Apa
itu membuatmu bahagia, Sayang?”
Putranya
tanpa ragu mengangguk dengan semangat.
Eadyth
terkejut dan sangat senang bahwa Eirik meluangkan waktu untuk bicara pada
“putra” barunya. Tapi rasa senangnya tak berlangsung lama.
“Semua
anak laki-laki di Hawks Lair punya ayah yang mengajari mereka menghunus pedang,
atau menjerat kelinci, atau kencing, atau...”
“John!”
“Well, itu benar. Lord Eirik... maksudku,
Ayah... menunjukkan padaku cara kencing semalam sehingga aku tak membasahi
celanaku. Tepat sebelum dia menaiki kudanya, di luar kandang kuda.”
Mulut
Eadyth menganga karena prihatin.
“Pria
berbeda dengan wanita, kau tahu,” katanya bersikap seperti guru yang mengajari
muridnya pengetahuan baru. “Mereka harus menggoyangkan sumbu mereka setelah
kencing. Aku tak tahu cara yang tepat sampai Lord Eir... Ayah mengajariku. Dan
apa kau tahu kalau paman Tykir bisa bersiul dan kencing dalam waktu bersamaan?”
Eadyth
nyaris tak bisa menahan tawanya.
“Apa
menurutmu Ayah akan mengajariku cara mengumpat saat dia kembali?”
“Tentu
saja tidak! Dan kuharap kau tak lagi menggunakan kata-kata kasar itu di
depanku.”
“Kata-kata
apa?” tanya John dengan polos. “Kencing atau sumbu?”
“Dua-duanya,”
Eadyth tercekat. “Dan kalau kau mengulanginya lagi, aku bersumpah akan
menyabuni mulutmu.”
“Apakah
kau akan melakukan hal yang sama pada Ayah? Dia mengucapkan dua kata itu. Dan
dia bisa menyebutkan beberapa kata makian. Kau harus mendengar apa yang
dikatakannya pada Master Wilfrid saat dia mengucapkan selamat atas
pernikahannya. Dan...”
“Cukup!”
Daftar pekerjaan yang haus dilakukannya berkembang
seperti sulur...
Keesokan
harinya Eadyth siap bekerja. Ia mengumpulkan semua pelayan, yang merdeka maupun
budak. Sejak kepergiannya tiga minggu lalu, jumlah mereka sudah meningkat
dengan dramatis, pastinya karena kabar yang menyebar tentang kembalinya tuan
ruamah dan pertunangannya. Di pembukuan kastil, yang diserahkan Wilfrid
padanya, ia mendata semua nama mereka dan bakat khusus mereka sehingga bisa
lebih efisien dalam membagi tugas.
Bertha
yang sudah jauh berubah akan terus memimpin dapur dengan bantuan beberapa
pembantu masak, pelayan laki-laki, dan penyaji makanan. Britta dan dua budak
muda bertugas mengurus kamar tidur. Theodric, pelayan senior di Ravenshire,
akan mengurus aula utama dengan para bawahannya. Pelayan lain ditugaskan untuk mengurus
cucian, memerah susu, membuat mentega, membuat arak, beternak unggas, kandang
kuda, peternakan, tukang besi, dan kebun dapur.
Godric,
si anak yatim piatu, akan menjadi asisten pribadi Eadyth, sekaligus juga teman
bermain untuk John, yang sudah membiasakan diri dengan rumah barunya, dan
“kakak” barunya Larise. Bahkan, tiga anak itu dengan cepat menjadi teman,
menjerit dengan sukacita saat mereka berlarian di seluruh penjuru rumah,
mengitari halaman yang luas dan di kebun bungan dengan Prince yang menyalak
senang mengikuti mereka. Karena ancaman dari Steven, mereka dijaga ketat
sepanjang waktu dan tak pernah diizinkan meninggalkan dinding dalam kastil atau
dapur.
Suasana
di dalam kastil dan sekitarnya tampaknya sedikit lebih cerah dan semakin lapang
dengan pengaruh anak-anak. Bertha menggerutu, “Berandalan-berandalan kecil itu
pasti akan membuat kental krim segarku dengan jeritan mereka yang tiada henti.”
Tapi walaupun begitu ia tak bisa menahan senyumnya saat trio itu berlarian
melewati dapurnya, berhenti sejenak untuk mencuil roti atau sepotong keju, lalu
melanjutkan kegiatan memekik mereka.
Eadyth
harus melarang mereka masuk kamarnya saat mereka menggoda Abdul yang koakannya
bisa terdengar sampai ke kebun halaman kastil. Walaupun begitu, burung bodoh
itu tampaknya sedikit muram ketika anak-anak tak mengunjunginya.
Para
pengikut Eirik mengumpat saat anak-anak itu mendekati mereka di lapangan
latihan, tapi terlihat dalam satu kesempatan sedang mengajari mereka cara
memanah lurus dan mengenai sasaran yang bergerak. Dalam satu hal, pikir Eadyth,
anak-anak yang tanpa beban itu mewakili harapan dan lahirnya kembali
Ravendhire, yang membantah banyak anggapan bahwa kastil itu akan terlantar.
Pada
akhir minggu, kastil itu bersih dan berjalan dengan efisien. Eadyth ingin
meluncurkan banyak proyek baru untuk kastil itu, tapi tak bisa melakukannya
sampai ia tahu tentang kondisi keuangan Eirik. Hanya sedikit yang bisa
diaturnya –tak ada karpet cerah atau perabotan yang mewah- ia harus puas dengan
kebersihannya.
Tetap
saja, ia membayangkan ruang santai keluarga dibangun di samping kamar lantai
dua. Dan kapel kayu di ujung halaman kastil, yang hanya berupa gubuk, harus
dibangun kembali. Semua ranjang perlu seprai dan tirai baru. Senjata-senjata
yang kini tak lagi berkarat yang tergantung di dinding telah digosok sampai
berkilau, tapi beberapa karpet dan panji yang menghiasi dinding tampak lapuk
dimakan usia dan tak terurus. Dapur sangat kekurangan peralatan –pisau, sendok,
bahkan ketel. Tampaknya banyak yang telah dicuri sejak bertahun-tahun kepergian
Eirik. Dan kain harus dibeli untuk menjahitkan pakaian baru bagi para pelayan,
juga untuk Eirik dan para tentaranya.
Ketika
Eadyth telah melakukan semua yang bisa dilakukannya di dalam, Eadyth berkuda
keluar kastil ditemani Wilfrid. Itu bukan pengalaman yang menyenangkan seperti
seharusnya, karena ia harus melanjutkan penyamarannya... membungkukkan bahunya,
menurunkan tudung kepalanya, memekikkan suaranya, dan berdecak sesekali. Eadyth
juga mempertahankan sandiwaranya yang melelahkan itu di sekitar para pelayan.
Sesekali
ia melihat ekspresi aneh di wajah Wilfrid yang tidak mengira Eadyth tak
menyadarinya. Bukan hal yang baik kalau para pengikut suaminya sudah membongkar
penyamarannya sebelum ia berkesempatan mengakui penyamaran bodohnya ini di
depan Eirik.
Saat
mereka berkuda mengitari estat yang luas itu, membagikan benih tanaman pada
para petani musiman penghuni gubuk yang mulai berdatangan, mereka membicarakan
harapan untuk hasil panen gandum dan barley
yang melimpah di musim semi.
“Tanah
pertanian ini subur,” kata Wilfrid. “Aku mengikuti saranmu untuk membajak dalam
jalur sempit yang dibagi tiga bagian... bagian pertama untuk musim tanam yang
berlangsung sekarang, yang berikutnya untuk menanam gandum di musim dingin, dan
yang ketiga untuk dibiarkan tak ditanami selama satu tahun.”
“Dan
kau akan membiarkan beberapa ternak yang masih tersisa di Ravenshire untuk
memakan rumput di lahan yang kosong dan tunggul tanaman setelah panen musim
semi?”
“Ya,
My Lady. Kau sudah mengingatkanku tiga kali sekarang.”
Eadyth
tersenyum pada keluhan halus Wilfrid. “Aku memang suka mengomel sesekali.”
Wilfrid
memutar bola matanya.
“Gubuk
para petani sangat memprihatinkan,” keluh Eadyth saat mereka meninggalkan
ladang dan pergi menuju desa.
Wilfrid
mengangkat bahunya. “Pertahanan kastil dan penanaman ladang menjadi prioritas
utama.”
Eadyth
hendak protes, lalu menutup mulutnya. Seperti sebelumnya, ia tak tahu apakah
Eirik punya dana untuk melakukan renovasi-renovasi itu.
Eadyth
terutama sedih melihat estat yang pernah dikenal sebagai penghasil wol
Yorkshire berkualitas itu kini kosong tanpa domba. “Menurutmu, apakah Eirik
akan keberatan kalau kita mulai membeli sekawanan domba?” tanyanya ragu.
Melihat tatapan gusar Wilfrid pada semua rencananya, Eadyth menambahkan, “Tentu
saja, awalnya hanya sekawanan kecil.”
Wilfrid
menggeleng dan menyeringai. “Lady Eadyth, kurasa yang kau lakukan tak ada yang
dalam skala kecil. Dalam tiga hari saja, kau sudah membuatku mencatat untuk
membeli tambahan sapi, lebih banyak lembu untuk membajak, renovasi gubuk-gubuk
petani, memangkas pepohonan di kebun buah, menggali sumur baru dan dua lubang
pembuangan baru, memperbaiki atap kastil, meluaskan kandang kuda, memindahkan
lebah-lebah untuk bisnis madu dan lilin, dan sekarang sekawanan domba yang
bau.”
“Jangan
lupa membersihkan jamban.”
Wilfrid
menggerutu jijik diingatkan akan tugas itu.
“Jamban
adalah prioritas utama,” kata Eadyth dengan penekanan khusus. Tiga jamban
terletak tepat di dalam dinding terluar di dalam halaman, dengan tempat duduk
baru yang menonjol keluar jadi kotoran dan cairan jatuh langsung ke parit di
bawahnya. Mengatakan bahwa baunya tercium sampai ke atas surga adalah
meremehkan keadaan. “Parit tak pernah dikeruk selama dua tahun kepergian Eirik,
aku yakin. Begitu juga dua lubang pembuangan di bawah dua jamban yang di dalam.
Kapan terakhir kali jamban itu bahkan dikapur?”
Wilfrid
menunduk malu. “Itu adalah tugas tak menyenangkan yang kuhindari sekian lama.”
“Hmm!
Lebih buruk lagi, aku lihat tak ada jerami atau daun anggur tersedia di jamban
para pelayan untuk membersihkan diri. Gambaran apa itu bagi para penghuni
Ravenshire? Tak heran Ignold dan lainnya memiliki bau begitu menyengat.”
“My
Lady!” Wilfrid mengerang, wajahnya memerah karena malu. “Haruskah kau bicarakan
semua detailnya? Sudah cukup bahwa aku tahu kalau kau ingin lubang-lubang itu
dibersihkan.”
Keesokan
harinya ia menyuruh Jeremy, tukang kayu yang dibawanya dari Hawk’s Lair sebagai
bagian dari maskawinnya, untuk memperbaiki masalah ventilasi di aula utama.
Pada satu masa, ada perapian besar bergaya Viking dengan cerobong asap di atap,
tapi kakek Eirik, Dar, sudah melakukan banyak perbaikan dengan gaya Saxon,
termasuk dua perapian yang langka di setiap sisi ruangan luas itu. Sayangnya,
cerobongnya tak cukup besar untuk mengakomodasi ukuran aula, karena itu asap
terus menggumpal.
Keahlian
Jeremy juga sangat dibutuhkan di luar, mengerjakan rekonstruksi dinding kastil.
Seprti Hawk’s Lair dan banyak kastil lain di seluruh Britania. Ravenshire
dibangun di atas dataran tinggi yang rata, dikelilingi parit besar.
“Dar
mengganti pagar kayu runcing dan menara penjaganya dengan pagar dan menara batu,”
Wilfrid menjelaskan, “baik di dinding luar dan di dalam yang melingkupi halaman
dengan bangunannya dan lapangan tempat berlatih. Tapi serangan Saxon pada
Ravenshire beberapa dekade lalu memperlemah pertahanannya.”
“Aku
melihat saat aku kembali kemari untuk menikah bahwa Eirik sudah memulai
pekerjaan memperbaiki tembok. Aku yakin Jeremy bisa mempercepat pekerjaan itu.”
Wilfrid
mengeluh pada prioritas Eadyth menarik tukang batunya untuk mengerjakan aula
lebih dulu. “Sedikit asap di matamu tak akan jadi masalah kalau musuhmu
menyerbu ke dalam dinding kastil.”
“Well, setidaknya seseorang di Ravenshire
menghargai bagian dari maskawinku. Eirik sudah cukup mengejek lebah-lebahku.”
Wilfrid
hanya tersenyum, ia kini sudah terbiasa dengan keluhan Eadyth tentang Eirik.
“Kalau
dipikir-pikir, lebah-lebah itu hanya satu-satunya bagian dari maskawinku yang
belum kukirimkan kepada suamiku, dan aku tak sabar untuk memindahkan mereka ke
rumah baruku.”
Wilfrid
menggumamkan sesuatu yang vulgar.
“Dengan
semua pekerjaan yang harus dilakukan di Ravenshire, dan tidak banyak bukti
bahwa Eirik punya sarana untuk membayarnya, aku ingin membangun ternak lebahku
di sini sehingga estat bisa berkembang dan makmur.”
“My
Lady,” Wilfrid menggerutu, “Hanya Lord Ravenshire yang berhak memutuskan apa
yang mampu atau tidak mampu dilakukan dengan kastilnya. Lagi pula, kupikir itu
dimaksud menanam benih di musim semi.”
“Menanami
ladang tentu saja, langkah pertama, tapi itu hanya cukup untuk mencukupi
kebutuhan manor sehari-hari. Juga domba dan pengoperasian penenunan akan
menguntungkan pada waktunya, tapi, untuk kebutuhan koin yang segera, madu,
lilin, dan arakku dibutuhkan.”
“Kau
berniat menjual produkmu sendiri?” Wilfrid bertanya, ngeri.
Eadyth
mengerling ke arahnya dengan mencemooh. “Ya, benar. Ada permintaan besar untuk
produkku, terutama lilin penanda waktu unik yang kubuat.”
Wilfrid
memandangnya ragu.
“Lilin
penanda waktu diciptakan oleh King Alfred beberapa tahun lalu, tapi lilin
buatanku berkualitas tinggi.”
Wilfrid
menggeleng putus asa, sepertinya sedang menghitung-hitung berapa banyak
pekerjaan yang harus dilakukannya. Tapi semua rencana Eadyth bertumpu pada
memindahkan lebah-lebah itu ke Ravenshire, yang membutuhkan kesabarannya untuk
menunggu suaminya kembali. Dan kesabaran bukanlah salah satu sifatnya.
Dia bukannya sengaja melanggar
perintah...
Pada
akhir minggu ke enam, Eadyth menerima pesan singkat dari suaminya, yang anehnya
membuatnya sakit hati karena ketegasannya dan kurang perasaan.
My Lady Eadyth,
Maafkan keterlambatanku. Aku masih
berada di Skotlandia terkait urusan rajaku. Aku akan kembali ke Ravenshire dua
minggu lagi. Hati-hati.
Suamimu,
Eirik
“Ya
Tuhan, aku lelah menunggu dia kembali,” Eadyth menggerutu di depan Wilfrid,
yang sedang membaca suratnya sendiri dari tuannya, yang jauh lebih panjang.
“Apa dia memberitahumu kenapa dia terlambat?”
Wilfrid
bertanya memandangnya kosong, lalu mengangkat bahu, tak mau memberitahunya
rahasia apa pun.
Melihat
tanggal surat itu dikirim, Eadyth menghitung setidaknya ada 6 hari lagi sebelum
Eirik pulang. Cukup banyak waktu baginya pergi ke Hawk’s Lair, membawa
lebah-lebahnya dan perlengkapannya, dan kembali ke Ravenshire sebelum
kedatangan Eirik.
Ia
hendak mengatakan itu pada Wilfrid, lalu mengurungkan niatnya. Eirik
memberitahunya untuk tetap tinggal di Ravenshire dan menjaga baik-baik
anak-anak, mengingat ancaman Steven. Tapi tak ada alasan kenapa ia tak bisa
pergi sendiri pada waktu malam dan meninggalkan anak-anak di bawah pengawasan
Girta dan para pengikut Eirik.
Bagaimana
pun, Wilfrid tak akan setuju Eadyth bepergian sendiri. Pria itu mematuhi Eirik
kata per kata.
Jadi
ia tak memberitahu Wilfrid rencananya. Alih-alih, ia meninggalkan pesan untuk
Girta, memberitahunya ke mana ia pergi dan bahwa ia akan kembali secepat
mungkin.
Ia tersengat pengkhianatan wanita itu...
Eirik
mendekati Ravenshire dengan rombongan kecilnya empat malam kemudian. Eirik
menoleh ke arah Sigurd yang berkuda di sampingnya.
“Tuhan,
senangnya bisa pulang. Aku sangat lelah dan kotor, dan muak setengah mati
mencoba membujuk para pemimpin Skots, Norse, dan Welsh untuk tetap loyal pada
raja Saxon.”
Sigurd
tertawa.
“Aku
membujuk sampai suaraku serak. Aku minum
arak dan wine untuk berbasa-basi
sampai bola mataku rasanya hampir copot. Aku menggigit lidahku sampai berdarah
untuk menahan diri dalam diplomasi.”
“Dan
kita sudah begini jauh bepergian di atas kuda kita sampai bokong kita berubah
jadi kulit,” tambah Sigurd sambil tersenyum.
“Ya,
kita sudah melakukan tugas dari raja dengan baik, mengantarkan pesan King
Edmund ke seluruh Britania dan lebih jauh dari itu. Tapi apakah kita berhasil?”
Sigurd
mengangkat bahu. “Di depanmu, mereka tampak loyal, tapi beberapa lord di
perbatasan itu begitu independen mereka bisa saja mempermainkan Raja ketika
pergolakan terjadi.”
“Satu-satunya
hal yang tak diragukan adalah bahwa pemberontakan sedang bergulir. Ke mana saja
kita pergi, aku melihat semakin banyak bukti para petarung berdatangan ke
Negeri ini. Semua datang karena rumor bahwa Raja akan segera tewas,” Eirik
menyimpulkan, mendesah dengan lelah saat mereka melintasi bukit terakhir sebelum
Ravenshire.
Saat
hersir-nya, komandan militernya,
mendahuluinya, Eirik berseru, “Sialan, Sigurd, kau bau.”
Sigurd
terkekeh, “Kau juga tak wangi seperti mawar, My Lord. Aku melihat seorang gadis
di Jorvik yang menutup hidungnya saat kita melewatinya pagi ini. Gadis itu
berkomentar tentang bau unik orang-orang Norseman yang barbar.”
Bibir
Eirik terangkat membentuk senyuman lelah. Sejujurnya, ia terlalu lelah untuk
tertawa. “Mungkin aku harus membiarkannya mencium separuh tubuh Saxonku. Untuk
perbandingan. Aku bertaruh akan menjadi kontes yang adil.”
Semua
anak buahnya tertawa mendengar leluconnya.
Mereka
harusnya menginap di Jorvik, setidaknya semalam, pikir Eirik. Bahkan, ia sudah
pergi ke kota dagang dengan maksud mencari kekasih simpanannya, Asa. Ia sudah
membayangkan mandi air hangat, istirahat sebentar, dan semalaman bercinta
dengan menggebu dengan pembuat perhiasan kesayangannya itu. Tapi Eirik bertemu
dengan adiknya di pelabuhan. Tykir sedang mengawasi perbaikan kapalnya yang
menunda keberangkatannya. Adiknya itu mengingatkannya bahwa istri barunya
menunggunya di Ravenshire.
“Pernikahan
itu belum disempurnakan, Eirik.”
“Hah!
Kurasa aku lebih tahu soal itu darimu, Dik. Jangan ikut campur.”
Tykir
hanya mengangkat bahunya. “Kurasa kau punya motif menikahi wanita tua.” Ia
menyeringai dengan aneh, seolah-olah menikmati memancing kakaknya tentang topik
usia Eadyth. “Apa kau berhasil di Winchester dengan Raja dan dewan Witannya
menyangkut petisi Steven?”
“Kurang
lebih. Edmund menjanjikan dukungannya, dan aku mengajukan protes resmi di depan
Witan, mengakui John sebagai anakku.” Ia mengangkat bahu menambahkan, “Kau tahu
tentang Eitan, pada akhirnya, akan bertindak searah dengan angin politik yang
kuat. Tapi, yang paling penting, aku beberapa kali berbicara di depan publik
tentang istriku dan anakku di Ravenshire. Semoga, kata-kataku membuat marah
Steven dan membuatnya melakukan tindakan sembrono, dan kita akhirnya bisa
mengakhiri kejahatannya.”
“Kalau
begitu bau harus segera kembali ke Ravenshire, Eirik. Bukankah kau akan
membahayakan rencanamu dengan berlama-lama di Jorvik? Sebelum ikrar pernikahan
itu diresmikan dengan penyatuan tubuh?”
Eirik
menyipitkan matanya dengan curiga, mengamati wajah prihatin adiknya. “Aku lebih
tertarik pada motifmu mendorongku ke arah istriku yang cerewet. Kau tahu
sesuatu yang tak kutahu?”
“Aku?”
Taykir bertanya, memukul dadanya. “Ini hanya karena aku sudah melunakkan wanita
itu untukmu dengan kado pernikahan yang kau titipkan padaku. Bisa dibilang aku
sudah melicinkan jalan masukmu. Aku tak mau usahaku sia-sia.”
Eirik
menggeleng teringat adiknya yang licik tiba-tiba sarius saat mereka berpisah:
“Ingat kata-kataku, Kak, ketika waktunya tepat. Kecantikan itu di hati, bukan
di mata.”
Mudah
saja baginya bicara, pikir Eirik, saat ia melambaikan tangan pada Wilfrid dan
para pasukannya yang lain di atas benteng. Tykir tak harus meniduri wanita tua
pemberang itu.
Eirik
mengerutkan keninya kesal, teringat penghinaan Eadyth di saat perpisahan mereka
mengenai babi yang menggeram dan ancamannya untuk membuat wanita itu membalas
saat ia kembali.
Sebenarnya,
pikiran lain mengusik benak Eirik sejak keberangkatannya. Eirik banyak
memikirkan ciuman mereka di kamarnya, dan ia bertanya-tanya apakah penyatuan
mereka tak akan begitu menjijikan.
Sebenarnya,
kalau Eadyth tak bersuara, dan kegelaoan kamarnya bisa menyamarkan rambut
abu-abu dan keriputnya, Eirik mungkin akan menikmati menjinakkan jiwa liar
Eadyth di atas ranjang. Apa yang selalu dikatakan Selik tentang semua kucing
dalam kegelapan? Sambil tertawa, ia mendongak ke atas benteng, mencari objek
hiburannya.
Lalu
ia cemberut.
Girta
berdiri di sana, bersama dengan Larise dan John, yang melambaikan tangan dengan
bersemangat. Tapi tak ada Eadyth. Di mana istrinya?
Mungkin
wanita merepotkan itu berharap menghukumnya. Eirik sudah membuatnya marah saat
pergi dengan ciuman kasar di depan semua pengikut dan tamunya. Wanita itu pasti
berharap untuk membalas dendam. Well,
ia sudah lebih muak dari harga diri dan sikap keras kepala wanita itu. Bibir
Eirik menipis dengan kesal. Ia akan mengakhiri tabiat melawan Eadyth malam ini
saat wanita itu berbaring telentang dengan kedua kaki kurusnya terbentang
lebar.
“Di
mana istriku?” tanyanya pada Wilfrid begitu ia turun dari kuda di halaman,
gagal menahan erangannya karena otot-ototnya yang nyeri. “Suruh dia mengaturkan
mandi air hangat untukku secepatnya.”
Wajah
Wilfrid memerah cerah. “Um... ah...”
“Apa?”
“Dia
tak ada.”
“Tak
ada? Ke mana?”
“Kembali
ke Hawk’s Lair.”
“Kau
pasti bercanda,” kata Eirik tak percaya, lalu menegang dangan tanda bahaya.
Istri bodohnya membahayakan dirinya sendiri dengan sikap mandirinya. “Aku sudah
memerintahkannya untuk tidak meninggalkan kastil. Dan aku sudah memberitahumu
untuk memastikan dia dan anak-anak dijaga setiap waktu.”
“Anak-anak
sudah membuat lelah selusin penjaga saat kau pergi,” Wilfrid menjawab dengan
defensif; lalu ia mengaku dengan malu, “Tapi istrimu pergi saat semua orang
tidur... empat malam lalu.”
“Dan
tentang penjaga?”
“Ya,
tapi mereka pikir dia boleh pergi.”
“Siapa
yang berkuda dengannya?” tanya Eirik dingin, tangannya mengepal di sisi
tubuhnya menahan amarah. Demi semua santa! Dia akan mencekik penyihir itu
karena sudah melanggar aturannya. Sebaiknya wanita itu menyembunyikan tubuh
kurusnya itu beberapa saat sampai kemarahannya mereda.
Tepat
saat itu, Eirik mendengar jeritan keras diiringi salak anjing yang keras. Tiga
makhluk, bukan, empat, datang menyerbu masuk melalui pintu yang terbuka di aula
dan menuruni tangga menuju halaman.
Larise
berhenti mendadak di depan Eirik hingga menerbangkan debu, diikuti John dan
anak lelaki pelayan dapur, Godric, yang nyaris tak bisa berhenti menabrak
punggung Larise. Sementara itu, anjing besar yang diadopsi istrinya menyalak
keras di kaki mereka.
“Ayah!”
Larise berteriak senang dan memanjat ke pelukan Eirik, kedua lengannya memeluk
leher ayahnya erat dan kakinya di seputar pinggangnya. Kuda perang Eirik
berjingkrak-jingkrak dengan gelisah di belakangnya, mendengus tak senang, dan
Eirik, yang kelelahan dari perjalanannya, nyaris terjatuh ke belakang karena
kuatnya pelukan Larise.
“Ya
Tuhan! Apa aku pulang ke rumah yang dipenuhi anak-anak bengal?” tanya Eirik
sambil menurunkan Larise ke tanah. Rambutnya masih basah dan wangi sabun, dan
wajahnya yang bersinar bersih menandakan ia baru saja mandi. Dua anak lainnya
juga tampaknya baru saja mandi, begitu juga anjing yang dipeluk John sambil
menatap Eirik dengan mata lebarnya.
Girta
melangkah maju, menyuruh anak-anak kembali ke kastil. “Pergilah tidur
sekarang.”
“Di
mana nyonyamu?” tanya Eirik dengan nada dingin.
“Dia
pergi ke Hawk’s Lair untuk suatu keperluan. Dia tidak mengira Anda akan pulang
begitu cepat.”
“Apa
yang begitu penting sehingga dia tak bisa menunggu kepulanganku?”
Girta
mengangkat bahunya, ekspresinya menyimpan rahasia. Tampaknya wanita itu tahu
misi Eadyth dan memilih tak memberitahunya. “Saya yakin dia akan kembali pagi
besok. Lalu dia bisa menjelaskan sendiri pada Anda.”
“Oh,
tentu saja dia akan menjelaskan,” kata Eirik dingin, berpikir ia tak perlu
berterima kasih pada adiknya untuk malam ini. Seharusnya ia bisa berbagi
ranjang yang hangat dengan Asa alih-alih bergegas pulang menemui istri yang tak
ada di rumah.
Kemudian
malam itu, setelah ia akhirnya mandi dan makan, Eirik mendengar ketukan pelan
di pintu kamarnya.
“Masuklah.”
Wilfrid
masuk dengan langkah ragu, ekspresi serius menyelimuti wajahnya yang biasanya
ceria.
“Ayo
minum wine bersamaku. Ini dari
Frankland, kurasa. Aku membelinya di Jorvik pagi ini.”
Wilfrid
menggeleng dan menolak duduk di seberang tuannya. Tanpa basa-basi lagi, ia
menyerocos, “My Lord, Brita baru saja menunjukkan pada saya surat yang
ditemukannya pagi ini di bawah kasur kamar istrimu.”
Ia
ragu, lalu menyerahkan surat terlipat itu pada Eirik. Surat itu ditujukan pada
Lady Eadyth of Ravenshire.
“Segelnya
sudah dibuka saat Brita menemukannya,” Wilfrid menjelaskan ketika melihat Eirik
memeriksanya dengan teliti
Eirik
membuka surat itu dengan hati-hati, tahu dari sikap Wilfrid bahwa ia tak akan
menyukai istrinya.
Dan
memang benar.
Eadythku sayang,
Aku diberitahu pernikahanmu sudah
berlangsung, seperti rencana kita. Hatiku menangis untukmu dan pengorbanan yang
kau lakukan untukku, dan masa depan kita. Mari berdoa. Hewan buas dari
Ravenshire tak tahu soal kehamilanmu. Aku masih berusaha mengakhiri
pernikahanku yang tak berketurunan ini sehingga kedua anakku bisa mempunyai
stempel legal. Bertahanlah, Cintaku, sebentar lagi saja sampai kita bisa
bersama akhirnya dalam cinta kita yang abadi.
Suami hatimu
Steven
Awalnya,
kemarahan membuat Eirik tak mampu bicara. Lalu ia melempar surat itu ke lantai
dan menginjaknya dengan marah ke dalam jerami di bawah sepatu kulitnya.
“Wanita
jalang pendusta itu,” Eirik mengumpat, berharap Eadyth berdiri di depannya,
bukan Wilfrid agar bisa melampiaskan kemarahan pada wanita pendusta itu. Dengan
frustrasi. Eirik mengambil gelas wine-nya
dan menghantamkannya ke dinding kamar. Gelas yang lain, kemudian ikat pinggang
peraknya, helm perangnya, tempat lilin dari batu, bahkan wadah keramik berisi wine segera menyusul. Itu tak cukup.
“Seharusnya
aku tahu,” Eirik menggemeretakkan giginya. “Demi Tuhan, seharusnya aku tahu.
Semua tandanya ada di sana. Anak haramnya. Penolakannya pada sentuhanku.
Sikapnya yang misterius.”
“My
Lord, mungkin kau harus bicara dulu pada Lady Eadyth sebelum menilainya terlalu
kejam,” kata Wilfrid dengan hati-hati.
Eirik
menjawab pada saran temannya. “Tidak, kau dan adikku memberi saran untuk
memaklumi sikap menantangnya. Hah! Menantang adalah kata yang terlalu halus
untuknya. Pengkhianatan. Seharusnya aku mengikuti instingku, yang memberitahuku
untuk tak percaya pada wanita.”
“Tapi
tidak masuk akal...”
“Akal!
Satu-satunya akal di semua kekacauan ini adalah kebusukan wanita pengkhianat
itu.” Eirik menjambak rambutnya sendiri, lalu menggeleng. “Ya Tuhan! Berapa
kali seorang pria harus terbakar sebelum dia belajar untuk tak percaya pada
api?”
“Tapi
aku tak mengerti. Kenapa dia harus menikah denganmu, kecuali dia benar-benar
takut pada Lord of Gravely?”
“Steven
selalu ingin menghancurkanku. Pasti dia menggunakan wanita itu untuk rencana
jahatnya. Dan siapa yang tahu apa tujuan Eadyth.” Eirik mengangkat bahunya. “Dia
mencintai iblis itu, pastinya.”
“Rasanya,
Lady Eadyth tak seperti itu,” kata Wilfrid ragu.
“Aku
tahu maksudmu. Kupikir dia sudah tak bisa mengandung lagi. Dan lebih dari itu,
Steven biasanya memilih gadis yang lebih cantik.”
“Mungkin
kau salah. Dengan segala hormat, aku sering berkuda mengitari estat dengannya
saat kau pergi. Dia seperti duri di bokongku, dengan segala tuntutannya. Tapi
ada rasa curiga yang selalu mengusikku, bahwa dia tak seperti yang kita pikir
selama ini.”
Eirik
menunggu Wilfrid menjelaskan maksudnya, tapi sahabatnya itu menjadi tersipu dan
tergagap, “Tapi bukan hakku untuk mengatakan semua itu tanpa bukti. Dan kau akan berpikir aku bodoh kalau
aku bilang dia tak sejelek itu.”
“Hah!
Lebih tepatnya matamu mulai rabun. Seperti aku. Atau Britta telah mengubah
kejantananmu menjadi bubur.”
Wilfrid
menunduk malu.
Eirik
memungut gelas wine-nya dan mengitari
ruangan mencari wine, lalu sadar ia
telah melemparkan semua ke dinding dan ke rush
rumput. Bibirnya berkerut kesal melihat kekacauan di sekitarnya ketika akhirnya
ia kembali bisa berpikir jernih.
“Bawakan
aku lebih banyak wine,” ujarnya pada
Wilfrid. Dan atur penjaga untuk mengawasi John dan Larise sepanjang waktu.
Jangan biarkan mereka pergi sendirian walaupun hanya ke jamban.”
“Ya,”
kata Wilfrid sambil mengangguk, menuju pintu, lalu melongok. “Apa kau mau aku
mengirim orang untuk mencari Lady Eadyth malam ini?”
Mata
Eirik menatap Wilfrid dengan tajam. “Tidak, kita akan pergi besok. Kemudian,
aku bersumpah atas nama Tuhan, dia akan membayar mahal atas semua muslihatnya.”
Walaupun
sangat lelah, eirik tak tidur sama sekali malam itu. Ia menghabiskan gelas wine dari Frank tapi tetap tidak bisa
mati rasa. Malahan, pikirannya terus bekerja, menimbang segala bukti, mencari
jawaban, mencapai kesimpulan. Ia terus kembali pada dua fakta yang sudah
terbukti: Eadyth sudah membodohinya, paling sedikitnya, dan mungkin bahkan
membantu merencanakan kematiannya, itu paling maksimalnya.
Begitu
sinar fajar merayap melalui celah berbentuk anak panah di dinding kamar, Eirik
tegang dengan kemarahan, tapi ia mengendalikan kemarahannya di balik topeng
dengan bersikap tenang. Ia turun ke aula utama dan menuju dapur di mana
pelayan-pelayannya sedah bekerja dengan rajin.
Walaupun
marah, ia melihat bukti sentuhan Eadyth di mana-mana. Kastil itu beraroma segar
akibat sering dibersihkan, dan setiap permukaan kayu mengilat dengan pelitur,
atau dalam kondisi terbaiknya yang bisa mengingat keadaan kastil yang nyaris
runtuh. Dia melihat dua cerobong asap baru di aula utama, proyek yang
direncanakannya bertahun-tahun tapi tak sempat dilakukan karena ia tak pernah
tinggal lama.
Jerami
kering mengirimkan aroma dedaunan yang manis saat ia menginjaknya dalam
perjalanan menyusuri aula. Di dapur, Bertha bekerja di depan perapian,
mengenakan tunik yang bersih, menata rambutnya ke belakang di bawah tudung
putih dan topi bercadar yang rapi.
“My
Lord,” ia membungkuk hormat, “Apa kau mau semangkuk bubur, atau roti dan keju
untuk sarapan?”
“Tidak,”
jawab Eirik, ternganga kaget dengan semua perubahan di dapur yang bersih tak
bernoda itu. Ranting panjang wangi dan bunga kering digantung terbalik dari
kasau langit-langit. Jerami dibersihkan dari lantai batu dapur, yang digosok
dengan pasir dan air sabun oleh seorang budak.’’
Godric,
anak yatim yang dilihatnya bersama John dan Larise semalan, sedang
memotong-motong buncis di depan perapian. Bocah itu mengangguk malu pada Eirik.
Lalu
Britta datang terburu-buru dengan setumpuk penuh seprai linen, menyanyikan lagu
cinta yang ceria. Ketika melihat Eirik, gadis itu memperlambat langkahnya dan
tersipu malu sebelum bergegas keluar untuk memberikan kain-kain itu kepada
tukang cuci.
Sambil
menggumamkan pekerjaan yang harus dilakukan, Eirik berbalik melewati aula dan
keluar ke dinding kastil yang nyaris selesai diperbaiki di bawah pengawasan
Jeremy, tukang batu yang dibawa Eadyth sebagai bagian dari maskawinnya.
Sebenarnya sejauh mana pengkhianatan Eadyth terbentang? Ia bertanya-tanya.
Jeremy bisa saja menggunakan pasir yang jelek ke dalam semen sehingga begitu
tembok itu diserang, tembok itu akan langsung ambruk. Ia harus memeriksanya
dengan teliti.
Tepat
saat ia akan masuk ke kandang kuda dan hendak mengatur pasukan untuk memburu
istrinya yang keluyuran, penjaga di puncak menara membunyikan lonceng besar di
menara yang menandakan bahwa ada pengunjung yang datang. Wilfrid menemaninya ke
atas benteng. Mereka makin cemas ketika melihat Lady Eadyth, dengan beraninya
menunggang kuda putih melintasi tanjakan menuju kawasan kastil. Di belakangnya
karavan kereta kuda poni memuat segala macam benda yang beraneka bentuk –lusinan
keranjang kerucut yang besar, kotak-kotak kayu besar dengan pinggiran
berkisi-kisi yang indah, ratusan wadah keramik dan cetakan logam.
Yang
paling buruk dari semua itu, Eadyth dan para pemuda yang mengemudikan kereta
kuda itu mengenakan pakaian transparan bercadar yang sering dipakainya,
menutupi kepala sampai kaki mereka. Mata Eirik menyipit dengan sungguh-sungguh.
Demi st. Sebastian! Mungkin ia akan
mencekik wanita itu dengan salah satu kain tipis tersebut, memotong tubuhnya
menjadi potongan-potongan kecil yang pas untuk dimasukkan ke dalam salah satu
keranjang besar itu, dan mengirimnya ke kekasihnya di Gravely.
Eirik
menyeringai sinis memikirkannya.
Eadyth
terkejut, dan anehnya merasa senang, melihat suami barunya berdiri di halaman
bersama Wilfrid dan beberapa pengikutnya ketika ia mengendarai kereta kudanya
memasuki halaman. Ia tak berharap bertemu dengan pria itu sampai besok, tapi
keadaan seperti sekarang juga ada bagusnya. Eirik bisa membantunya membongkar muatan
dan menaruh perlengkapan ternak lebahnya di kebun buah.
Tapi
kemudian Eadyth menyadari cara berdirinya yang menantang. Eirik mengenakan
celana panjang ketat, dibalut shert wol berwarna hitam. Suaminya itu
pasti baru bangun karena ikatan kulit di belakang lehernya memperlihatkan kulit
terbakar matahari yang memikat dan bulu dada ikal berwarna hitam. Tapi Eadyth
tak punya waktu untuk memikirkannya karena perhatiannya terarah pada kapalan
tangan Eirik, yang mengepal dan terbuka berkali-kali di sisi pinggulnya.
Oh
Tuhan. Ia tahu Eirik tak akan suka ia meninggalkan Ravenshire melawan
perintahnya, tapi ia tak mengira pria itu akan semarah ini.
Seorang
pelayan maju dan membantu Eadyth turun dari kuda. Keenam kereta kuda itu
berhenti di belakangnya, para pengemudinya menunggu sinyal darinya untuk turun.
Eirik
tak bergerak sedikit pun dari tempatnya di puncak tangga yang menuju ke aula.
Tampaknya, pria itu berharap Eadyth melewainya dan menyapanya. Ia mengernyit
tapi memutuskan setidaknya itu yang bisa dilakukannya setelah melanggar
perintahnya.
Ketika
ia menapaki setengah jalan di tangga batu itu, ia melihat kilatan kemarahan
sedingin batu di mata biru Eirik dan berhenti sejenak. Ia melihat tatapan Eirik
dengan cara merendahkan saat memandang masker anti lebahnya. Ya Tuhan! Apa
Eirik mengharapkannya memindahkan lebah tanpa pakaian yang bisa melindunginya?
Ketika
ia bergerak mendekat, Eirik menyambar lengan Eadyth dan menarik istrinya cukup
dekat untuk mendengar kata-kata pedasnya. “Istriku yang jalang, dari mana saja
kau?”
Eadyth
meringis mendengar kata-kata kasarnya dan berusaha melepaskan diri dari
cengkramannya, tapi sia-sia.
“Aku
dari Hawk’s Lair,” Eadyth tergagap, bingung dengan sikap bengis Eirik.
“Dan
dengan siapa kau di sana? Kekasihmu?”
“Apa-ku?” sembur Eadyth. “Apa kau bodoh?
Kekasih adalah hal terakhir yang kuinginkan. Bukan kau, atau pria mana pun,
dasar kau hewan liar.”
“Ya,
kekasihmu menyebutku sebagai Hewan Liar dari Ravenshire di suratnya, seingatku.
Apa itu nama kesayangan kalian berdua untuk menyebutku?”
Tanda
bahaya menyambar Eadyth seperti nyala
api. Apa yang dibicarakannya? Kekasih apa? Surat apa? “Eirik, ayo masuk dan
bicara. Pasti ada kesalahpahaman di sini yang aku yakin bisa...”
“Tidak.
Satu-satunya yang salah paham di sini adalah kau. Aku sudah memperingatkanmu
sebelum pernikahan bahwa kau tak menolerir kepalsuan seorang istri.”
Wilfrid
menengahi saat itu dan memegang lengan Eirik. “My Lord, tak pantas untuk
meneruskan perbincangan ini di depan para pelayan dan pengikutmu.”
Eirik
memandang sekelilingnya dan menggeleng seolah baru sadar. Masih memegang lengan
Eadyth, ia mulai menariknya ke dalam rumah.
“Tunggu,”
kata Eadyth, menolak bergerak. “Aku harus membantu menurunkan muatan dari
kereta lebih dulu.”
“Kenapa?”
tanya Eirik curiga. “Apa ada kado dari Steven yang ingin kau sembunyikan
dariku? Atau mungkin racun khusus yang kau masukkan ke dalam arakku?”
“Steven?”
tanya Eadyth, terpana setelah menyadari bahwa Earl of Gravely-lah yang
dituduhkan Eirik menjadi teman selingkuhnya. Selama beberapa saat ketika Eadyth
bimbang karena tak percaya, Eirik melesat menuruni tangga dan mulai melemparkan
sarang lebah yang dijalin khusus yang berbentuk kerucut ke tanah, memaki
keras-keras saat ia mencari-cari dengan kalap benda tersembunyi untuk
membuktikan kesalahan Eadyth.
Eirik
hendak membuka salah satu kotak ketika Eadyth menjerit, “Jangan!” tapi mata
pria itu hanya memandangnya dengan menghina, dan Eadyth menyadari bahwa
protesnya hanya akan mendorongnya melakukan sebaliknya.
Lalu
terlambatlah sudah.
Eadyth
mengerang dan bergegas menghampiri saat Eirik membuka kotak pertama dan ratusan
lebah yang marah menyerbu keluar, mengerubungi wajah dan lehernya, ke bawah
tuniknya yang longgar, di atas celana panjang ketatnya.
“Oh
Tuhanku! Diam, Eirik. Demi Tuhan, aku tak bisa menolongmu kalau kau
melompat-lompat seperti ini.”
Eirik
mengumpat keras-keras, melakukannya dengan fasih dalam beberapa bahasa,
menggunakan kata-kata yang membuat Eadyth tersipu, saat ia berusaha
menyingkirkan serangga penyengat itu dari tubuhnya. Tapi lebah-lebah itu
terlalu banyak dan tindakannya hanya membuat mereka semakin agresif.
Eadyth
memanggil Edgar dan Oslac, dua pengemudi kereta, yang terlindung dengan masker
antilebah dan sarung tangan kulit, untuk membantunya. Eadyth memungut beberapa
ratu lebah yang berharga, yang mudah dikenali dari bentuk dan warnanya, dan
menaruhnya kembali ke kotak lebah. Lalu kedua asistennya menggunakan obor yang
berasap untuk mengusir lebah yang masih mengerubuti tubuh suaminya dan
mengembalikan binatang-binatang itu ke kotak.
Ketika
lebah-lebah itu akhirnya kembali di dalam kotak atau tergeletak mati di tanah,
Eadyth memandang Eirik. Air mata mengaliri wajah Eirik karena asap dan bekas
gigitan berwarna putih kecil-kecil memenuhi wajah, lengan, dan tampaknya
seluruh kulitnya di balik kemeja dan celana panjangnya.
Eadyth
memberi instruksi cepat kepada para pria yang datang bersamanya tentang di mana
meletakkan sarang lebah dan lebahnya, menyuruh Girta, yang baru saja keluar
untuk menhyelidiki kegaduhan yang terjadi, untuk menunjukkan mereka jalannya.
Ia menyuruh Bertha menyiapkan bak air panas untuk mandi ke kamar Eirik,
beberapa periuk garam dan segenggam bawang merah mentah.
“Eirik,
cepat! Aku harus mencabut sengatnya secepat mungkin sebelum gigitannya
membengkak dan bernanah.”
Eirik
hanya memandangnya, syok. Lalu berkata dengan sangat serius. “Eadyth, aku akan
membunuhmu.”
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar