Jumat, 11 Mei 2018

Honor's Splendour 5


"Orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya, tapi orang benar merasa aman seperti singa muda."
-PERJANJIAN LAMA, AMSAL, 28:1

Ya Tuhan, mereka akan diserang. Madelyne terlalu terpukau untuk bergerak. Ia mulai gemetar ketakutan. Itu membuatnya berang, kehilangan kendali dengan begitu cepat. Madelyne menegakkan bahunya, bertekad untuk berpikir dengan logis. Ia menarik napas yang dalam dan menenangkan. Nah, ujar Madelyne ke dirinya sendiri, kini aku bisa memutuskan apa yang harus kulakukan.

Oh, betapa ia berharap memiliki keberanian. Kedua tangannya sudah mulai kejang dan ia sadar ia sedang mencengkram lipatan-lipatan jubahnya kuat-kuat, hingga jemarinya sakit akibat tekanannya.

Madelyne menggeleng, mohon pertolongan Tuhan untuk memutuskan.

Sebagai seorang tawanan, memang bukan kewajibannya untuk memperingatkan Duncan tentang ancaman yang sedang mendekat itu. Ia bisa tetap diam, dan segera setelah pertempuran dimulai, ia bisa melarikan diri.

Kemungkinan ini segera Madelyne buang saat menyadari akan ada lebih banyak pembunuhan. Kalau ia memberitahu Duncan, barangkali mereka bisa bergegas meninggalkan tempat ini. Aye, mereka bisa memperlebar jarak jika segera berangkat, dan pertempuran akan batal. Bukankah menyelamatkan nyawa orang lain lebih penting daripada rencananya sendiri untuk melarikan diri?

Madelyne memutuskan untuk menengahi. Ia mengangkat tepi gaunnya dan berlari untuk mencari penawannya. Ia pikir ini ironis, karena dirinyalah yang akan memberi pengertian tentang serangan yang akan segera tiba.

Duncan sedang berdiri di dalam lingkaran prajuritnya, Gilard tepat di sebelahnya. Madelyne mengitari para prajurit dan berhenti saat ia di belakang punggung Duncan. "Baron, aku ingin bicara denganmu," sela Madelyne. Suaranya pelan dan pecah karena ketegangan. Pati itulah alasannya pria itu tidak memedulikan permohonannya. Duncan hanya tidak mendengarnya.

"Aku harus bicara denganmu," Madelyne mengulangi permintaannya dengan suara yang jauh lebih keras. Lalu ia memberanikan diri menjawil bahu pria itu sekali.

Duncan tetap tidak mengacuhkan gadis itu.

Madelyne menjawil lagi, lebih keras.

Duncan mengeraskan suaranya sambil terus bicara kepada prajuritnya tentang suatu hal yang Madelyne tahu pasti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang hendak ia beritahukan kepada pria itu.

Ya Tuhan, pria itu keras kepala. Madelyne meremas-remas kedua tangannya, semakin khawatir setiap detiknya, mual karena cemas para prajurit yang sedang mendaki bukit itu akan segera sampai di dekat mereka sebentar lagi.

Rasa frustasi karena menunggu pria itu untuk menanggapi permintaannya tiba-tiba menjadi terlalu berlebihan untuk ditanggung. Amarah mengambil alih. Mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki, Madelyne menendang pria itu kuat-kuat. Targetnya adalah bagian belakang lutut Duncan, tendangannya sangat akurat.

Madelyne menyadari kebodohan dari aksi gegabahnya itu saat rasa sakit yang luar biasa menyerang kakinya. Jemari kakinya pasti patah karena benturan itu, dan satu-satunya pelipur atas rasa sakit akibat perbuatannya sendiri itu adalah fakta bahwa ia benar-benar mendapatkan perhatian Duncan. Dengan agak cepat pula. Duncan menoleh kepada gadis itu dengan kecepatan seekor serigala yang siap menerkam.

Duncan lebih terlihat terkejut daripada gusar. Kedua tangannya di pinggang, terkepal, sehingga mau tak mau Madelyne memperhatikan. Madelyne, seraya meringis karena rasa sakit di jemari kakinya, kini mendapati mendongak untuk menatap langsung ke wajah pria itu rasanya sama menyakitkannya. Alih-alih, ia menoleh untuk memandang Gilard, dan itu benar-benar meringankan ketidaknyamanannya, sebab adik Duncan itu memasang ekspresi paling konyol di wajahnya.

"Aku ingin bicara empat mata denganmu," ucap Madelyne ketika akhirnya ia mampu menatap Duncan lagi.

Duncan penasaran dengan kecemasan yang ia dengar di dalam suara gadis itu. Ia mengangguk, memegang lengan gadis itu, dan menariknya ke sisi lain perkemahan.

Madelyne tersandung dua kali.

Duncan menghela napas sekali, sebuah tarikan napas yang panjang, dan Madelyne tahu itu semua karena dirinya.

Madelyne tidak peduli jika Duncan mencoba membuatnya merasa sama tidak pentingnya dengan serpihan kayu di bawah kulit pria itu. Duncan pasti tidak akan lagi berpendapat bahwa interupsi Madelyne merupakan gangguan saat ia sudah menjelaskan. Bahkan, pria itu mungkin akan berterima kasih, meski di dalam hatinya Madelyne ragu pria itu mampu bereaksi seperti itu.

Yang lebih penting lagi, pembunuhan dapat dicegah. Pikiran itu memberi Madelyne keberanian menatap pria itu tepat di matanya. "Ada pasukan yang datang dari lembah," katanya.

Madelyne mengharapkan reaksi yang cepat terhadap pernyataannya. Namun Duncan hanya menatapnya. Pria itu sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apa pun.

Madelyne terpaksa mengulangi kata-katanya. "Ada pasukan yang sedang mendaki bukit ini. Aku dapat melihat cahaya matahari terpantul dari perisai mereka. Bukankah kau harus melakukan sesuatu tentang itu?"

Apakah akan dibutuhkan waktu selamanya sebelum tindakan diambil? Madelyne mempertimbangkan kemungkinan itu sementara ia menunggu Duncan untuk mengatakan sesuatu.

Duncan menatap Madelyne dengan cara yang sangat mengganggu, wajahnya yang keras dan persegi jelas-jelas menunjukkan kebingungannya. Madelyne pikir ia melihat kesinisan juga di sana, di mata kelabu yang dingin itu. Ia lelu menyimpulkan bahwa pria itu sedang mencoba memutuskan apakah ia mengatakan yang sebenarnya.

"Aku tidak pernah mengucapkan dusta selama hidupku, Baron. Kalau kau bersedia mengikutiku, aku akan menunjukkan padamu bahwa aku mengatakan yang sebenarnya."

Duncan mengamati gadis memesona yang berdiri dengan begitu angkuh di hadapannya itu. Mata biru lebar itu menatap Duncan penuh kepercayaan. Anak rambut berwarna coklat kemerahan melambai-lambai di pipi gadis itu. Ada corengan debu di sisi hidungnya, yang menarik perhatian Duncan.

 "Kenapa kau memberiku peringatan ini?" tanya Duncan.

"Kenapa? Tentu saja supaya kita bisa pergi dari sini," jawab Madelyne. Ia mengernyit karena pertanyaan pria itu yang sangat aneh. "Aku tidak ingin ada pembunuhan lagi."

Duncan mengangguk, puas dengan jawaban gadis itu. Ia memberi isyarat kepada Gilard. Adiknya itu berdiri jauh di samping, berusaha mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan.

"Lady Madelyne baru saja menyadari kalau kita diikuti," cetus Duncan.

Gilard memperlihatkan keterkejutannya. Ia tidak sadar kalau mereka diikuti. Ia menoleh untuk menatap Madelyne. "Kita diikuti? Sudah berapa lama kau menyadarinya, Duncan?"

"Sejak tengah hari," jawab Duncan sambil mengangkat bahu.

"Mungkin mereka gelandangan?" tanya Gilard. Suaranya kini melunak dalam usaha untuk meniru sikap masa bodoh kakaknya. Di dalam hati, Gilard sebal karena sikap diam Duncan sepanjang siang. Namun ia juga bingung, bertanya-tanya mengapa Madelyne memberi mereka peringatan.

"Mereka bukan gelandangan, Gilard."

Beberapa saat yang panjang dan hening meliputi dua bersaudara itu sebelum ekspresi paham melintas di wajah Gilard. "Apakah si tikus mengejar sang serigala?" tanyanya.

"Dengan kehendak Tuhan, dia akan memimpin pasukannya kali ini," jawab Duncan.

Gilard tersenyum. Duncan mengangguk, "Aku berniat untuk menghadapi mereka di tempat yang lebih dengan kastil, di Creek Crossing, tapi bukit-bukit di bawah kita memberi keuntungan yang sama. Perintahkan para prajurit agar bersiap."

Gilard berbalik dan bergegas melintasi area terbuka itu, meneriakkan perintah untuk menunggangi kuda.

Madelyne terlalu ngeri untuk bicara. Rencananya untuk memberi peringatan supaya perang dapat dicegah menguap saat tawa Gilard mencapai dirinya. Akan tetapi, ia tidak mengerti apa arti percakapan dua bersaudara itu tadi. Mereka bicara berbelit-belit; membicarakan tikus dan serigala, tidak masuk akal sama sekali.

"Kalau begitu, aku benar," sembur Madelyne. "Kau betul-betul tidak berbeda dengan Louddon, ya, kan?"

Duncan tidak mengauhkan semburan marah gadis itu. "Naiklah ke kudaku, Madelyne. Kita akan menemui kakakmu bersama-sama."

Madelyne terlalu berang untuk membantah. Ia berkata dalam hati bahwa ia seharusnya sadar Duncan tidak akan menghindar dari pertempuran. Bukankah ia sudah mendapatkan pelajaran itu ketika berusaha membujuk pria itu untuk meninggalkan tanah Louddon?

Sebelum menyadari apa yang telah dilakukannya, tahu-tahu Madelyne sudah duduk di atas punggung Silenus. Amarahnya membuatnya melupakan seluruh ketakutannya. Ia bahkan tidak dapat mengingat dari sisi mana ia menaiki kuda itu.

Duncan menghampiri, mengambil tali kekang, dan mulai membimbing kuda itu melintasi area terbuka itu.

Madelyne berpegangan pada pelana sekuat tenaga, pundaknya membungkuk karena itu. Sanggurdinya terlalu panjang untuk dicapai oleh kakinya, dan bokongnya ditampar-tampar dengan setiap langkah yang diambil hewan itu. Ia tahu ia terlihat sangat tidak terlatih dan bersyukur Duncan tidak mengamatinya. "Kau panggil apa kuda ini?" tanya Madelyne.

"Kuda," seru Duncan lewat bahunya. "Hewan ini adalah seekor kuda dan begitulah aku memanggilnya."

"Tepat seperti dugaanku. Kau begitu dingin dan tak punya hati, kau bahkan tidak bisa menyisihkan waktu untuk menamai kudamu yang setia. Aku sudah memberinya nama. Silenus. Bagaimana pendapatmu?" tanya Madelyne.

Duncan menolak untuk menjawab. Ia seharusnya merasa kesal karena Madelyne berani menamai kuda jantannya, namun pikiran-pikirannya sudah beralih ke pertempuran di hadapan mereka. Ia tidak akan mengizinkan dirinya terganggu oleh percakapan yang tidak penting ini.

Madelyne tersenyum kepada dirinya sendiri, merasa senang dengan cara yang ia gunakan untuk memancing pria itu tadi. Kemudian Ansel muncul di sampingnya beserta seekor kuda yang lain, seekor kuda berwarna abu-abu bebercak yang terlihat jauh lebih jinak daripada Silenus. Duncan berbalik, melemparkan tali kekang kepada Madelyne, dan naik ke punggung kuda abu-abu itu.

Senyuman membeku di wajah Madelyne. Ia menangkap tali kekang tersebut, kewalahan ketika ia menyadari pria itu mengharapkannya mengendalikan kuda itu. Kuda jantan tersebut pasti menangkap kecemasan Madelyne, sebab hewan itu langsung melangkah ke samping. Kuku-kukunya yang berat mengentak-entak di tanah dengan kekuatan yang cukup untuk melemparkan Madelyne dari pelana. Ia menyesal sekarang karena sudah berhasil berpura-pura dengan baik kalau ia terampil menunggang kuda.

Gilard muncul di sisi lai Madelyne dengan menunggangi kuda berwarna coklat. Ia mendorong kudanya untuk mendekati Silenus, dengan efektif menghalangi langkah-langkah gugup dan menyamping hewan tersebut.

"Jarak mereka masih jauh," ujar Gilard kepada kakaknya melalui puncak kepala Madelyne. "Kita tunggu mereka, Kak?"

"Tidak," jawab Duncan. "Kita akan menemui mereka di tengah jalan."

Para prajurit berbaris di belakang mereka bertiga, membuat kegaduhan yang mengerikan. Madelyne rasa Duncan menunggu hingga suara tersebut mengecil sebelum memberi sinyal.

"Aku akan tinggal di sini sampai kau kembali," Madelyne memberitahu Duncan. Suaranya terdengar putus asa. Duncan melirik gadis itu, menggeleng, lalu berbalik untuk menatap lembah.

"Aku akan tinggal di sini," Madelyne mengumumkan.

"Tidak." Duncan bahkan tidak repot-repot memandang Madelyne ketika mengucapkan penolakan keras tersebut.

"Kau bisa mengikatku ke pohon," saran Madelyne.

"Ah, Lady Madelyne, kau tidak akan mau menahan Louddon dari melihat wajahmu yang memesona itu, bukan?" tanya Gilard seraya tersenyum. "Aku berjanji itu akan menjadi hal terakhir yang dia lihat sebelum dia mati," imbuh adik Duncan itu.

"Kalian berdua akan menikmati pertempuran ini, kan?" tanya Madelyne. Ia begitu terkejut, suaranya bergetar.

"Aku memang akan menikmatinya," jawab Gilard sembari mengangkat bahu.

"Menurutku kau sama gilanya dengan kakakmu, Gilard."

"Kau tahu kami punya alasan bagus untuk menginginkan kakakmu mati," cetus Gilard. Senyumnya perlahan-lahan meninggalkan wajahnya. "Sama seperti kau yang pasti menginginkan kami mati." Ia mengejek gadis itu dengan pernyataannya, olokan yang disengaja di dalam suaranya.

Madelyne menoleh kepada Duncan untuk melihat bagaimana pria itu bereaksi terhadap pernyataan adiknya, namun sang baron nampaknya tidak memperhatikan percakapan mereka. Maka ia berpaling kembali kepada Gilard. "Aku mengerti kenapa kalian ingin membunuh Louddon. Aku tidak ingin kau dan kakakmu tewas dalam pertempuran ini, Gilard," imbuhnya. "Mengapa kau berpikir seperti itu?"

Gilard mengernyit bingung. "Kau anggap aku sebodoh apa, Lady Madelyne? Apa kau mencoba mengatakan bahwa kau tidak akan memihak Louddon? Louddon itu kakakmu."

"Aku tidak akan memihak siapa pun," bantah Madelyne. "Aku tak ingin siapa pun mati."

"Oh, sekarang aku mengerti rencanamu," balas Gilard. Ia nyaris berteriak kepada gadis itu. "Kau akan menunggu untuk melihat siapa pemenangnya lalu membuat pilihanmu. Kau sangat licik."

"Percayai apa yang kau mau," timpal Madelyne. "Kau sangat mirip dengan kakakmu," tambahnya, menggeleng.

Ketika Gilard tersenyum lebar kepadanya, Madelyne menyadari pria itu senang dengan komentarnya.

"Aku bukan memujimu, Gilard. Malah sebaliknya. Kau ternyata sama keras kepala dan tidak sopannya dengan Duncan-mu. Menurutku, kau juga sangat menikmati membunuh seperti dirinya," pungkasnya.

Dalam hatinya, Madelyne merasa ngeri dengan caranya memancing Gilard supaya hilang kendali, tapi, semoga Tuhan menolongnya, ia seperti tidak bisa menghentikan dirinya sendiri.

"Dapatkah kau sungguh-sungguh menatap tepat di mataku dan mengatakan padaku bahwa kau tidak membenciku?" tanya Gilard. Ia begitu marah, uratnya bermunculan di sisi lehernya. Madelyne pikir pria itu hendak menyerangnya.

"Aku tidak membencimu," ujar Madelyne. "Kuakui, aku ingin melakukannya, tapi aku tidak membencimu, Gilard."

"Dan kenapa tidak?" tanya Gilard.

"Sebab kau mencintai saudara perempuanmu."

Gilard hendak memberitahu Madelyne bahwa menurutnya ia adalah wanita paling bodoh yang pernah Gilard temui, saat Duncan menarik perhatiannya. Adik Duncan itu langsung meninggalkan Madelyne dan berbalik untuk meraih pedangnya.

Duncan akhirnya memberikan sinyal. Madeline mendadak sangat ketakutan, sampai-sampai tidak dapat mengingat satu pun doanya.

Apakah ini akan menjadi pertarungan hingga mati? Madelyne cukup mengenal sifat keras kepala Duncan untuk menyadari bahwa pria itu tidak peduli pada perbedaan kekuatan mereka.

Madelyne mencoba, namun tidak mampu menghitung jumlah prajurit yang sedang mendaki bukit. Mereka menutupi tanah seperti belalang-belalang besar.

Apakah prajurit Duncan kalah jumlah lagi?

Ini akan menjadi sebuah pembantaian, renung Madelyne, dan semuanya karena Duncan menantang secara terhormat sedangkan Louddon tidak. Sebuah kesadaran yang begitu sederhana, tapi sesuatu yang telah hilang pada diri orang-orang semacam sang baron. Pria itu jelas-jelas lupa kalau Louddon pernah menipunya agar percaya bahwa ia akan menghormati gencatan senjata sementara mereka. Begitulah cara Louddon menangkap Duncan, dengan tipu sederhana.
 Madelyne mengenal Louddon lebih baik daripada Duncan. Kakaknya itu akan bertarung seperti seekor binatang jika mencium aroma kemenangan di pihaknya.

Madelyne berkata dalam hati bahwa ia tidak peduli siapa yang akan menang. Kalau mereka semua saling membunuh, maka biarlah. Kehendak merekalah yang akan menang, bukan kehendaknya.

"Aku tidak akan peduli," bisik Madelyne lagi dan lagi sampai ucapan itu berubah menjadi sebuah nyanyian putus asa.

Namun tak peduli berapa kali pun Madelyne mengucapkan kata-kata itu, ia tidak mampu membuatnya nyata.





Next Back
Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar