Kemarahan
membuat seorang pria gelap mata melakukan tindakan tak terpuji...
“Cium
aku, Sayang. Awk.”
“Cium
bokongku.”
“Apa
kau mau melihat... awk... bokongku?”
“Apa
kau mau bulu-bulumu dicabuti dan disumpalkan ke tenggorokanmu?”
“Tunjukkan
kakimu. Awk.”
“Enyahlah.”
“Cium
aku, Sayang. Cium aku, Sayang. Cium aku, Sayang.”
Mendengus
jengkel, Eirik melemparkan kain wol untuk menutupi kandang burung itu, menggumamkan
makian. Koakan burung itu segera berhenti.
Eadyth
berdiri terpana di ambang pintu kamar Eirik. Ia tak bisa memutuskan apakah ia
terpana karena mendengar suaminya saling memaki dengan seekor burung yang tak
berakal, atau melihat Eirik berdiri di tengah ruangan memunggunginya –Telanjang
bulat. Yang keduanyalah jawabannya.
Sejujurnya,
pria luar biasa tampan ini, suaminya,
telah membuatnya tak mampu bernapas.
Mata
Eadyth menelusuri kulit perunggu yang terbakar matahari mulai dari bahu lebar
suaminya hingga ke otot punggung yang lentur, lalu ke pinggangnya yang ramping
dan pinggul sempit yang menggoda. Eadyth menjilat bibirnya yang kering
seketika. Bahkan pahanya yang tampak kokoh dan betisnya yang kekar juga
terbakar matahari, pikir Eadyth. Seperinya Eirik hanya mengenakan celana dalam
ketika berlatih dengan anak buahnya atau ketika ada di kapal. Kulit dari
bokongnya yang padat adalah satu-satunya bagian tubuhnya yang masih terang.
Well, tidak juga, Eadyth mengoreksi
dengan cepat saat Eirik berbalik. Ia juga menyembunyikan bagian lain dari
tubuhnya. Dan, oh ya Tuhan! Bagian itu sangat indah.
Eadyth
meraba pipinya yang panas dan memaksa matanya memandang senyuman Eirik yang
dingin dan penuh maksa. Sikap dinginnya membuat Eadyth bergidik ngeri, membawanya
kembali ke dilemanya sekarang –sengatan lebah di tubuh Eirik.
“Keluar
Eadyth,” katanya dengan pelan. “Aku akan berurusan denganmu dan pengkhianatanmu
nanti. Tinggalkan aku sendiri sekarang.”
“Eirik,
aku sungguh-sungguh minta maaf atas apa yang terjadi di halaman tadi. Itu bukan
salahku. Lebah akan menyengat ketika terancam, dan...”
“Terancam?
Sebaiknya kau hati-hati, Iatriku, dan
pergi dari hadapanku sebelum aku menunjukkan padamu ancaman sesungguhnya.”
“Kenapa
kau begitu marah padaku? Kau yang mengusik lebah-lebah itu. Tapi itu memang
khas laki-laki, kan? Selalu menyalahkan wanita untuk kesalahannya.”
“Kesalahan
terbesarmu, My Lady, adalah berpikir kau bisa mempermainkanku dan lolos dari
konsekuensinya.” Dengan cuping hidung mengembang, Eirik bergerak ke arahnya
dengan mengancam.
Bingung
dengan kemarahan Eirik yang begitu dahsyat, Eadyth mundur beberapa langkah dan
memprotes, “Kau sepertinya salah paham padaku. Pikirkan dengan akal sehat.
Setidaknya, aku perlu merawat... oh, demi Tuhan...”
Kata-kata
Eadyth mengambang saat ia melihat puluhan bekas gigitan, sudah memerah, di
wajah, leher, dada, punggung, perut, kaki –sejujurnya, semua bagian tubuhnya.
Dan parahnya lagi, Eirik dengan kalap menggaruk kulitnya dengan kuku, di daerah
mana pun yang bisa dijangkaunya.
“Tidak,
kau harus berhenti menggaruk,” perintahnya, menepiskan tangan Eirik dari
tubuhnya. “Bodoh, apa kau tak tahu tak boleh menggaruk bekas sengatan lebah?
Kau harus mencabut sengatannya dulu.”
Mengabaikan
kata-kata Eadyth, Eirik mendekat ke lekukan jendela agar bisa melihat lebih
baik saat ia menengok ke balik bahunya dan berusaha menggaruk gigitan di
punggungnya.
Sekali
lagi, Eadyth menepiskan tangan Eirik dan mengambil pisau kecil bergagang gading
dari sarung pisau di sabuknya. “Sini, biar kubantu.”
Eirik
melihat pisau tajam di tangan Eadyth dan tertawa mengejek. “Perhatianmu
terlambat, Istriku. Aku tak sebodoh itu untuk membiarkanmu mendekati tubuhku
sambil menghunuskan senjata.” Secepat kilat, Eirik menyambar pisau itu dari
tangan Eadyth dan meletakkannya di belakangnya, di sebuah meja.
“Konyol!
Aku hanya ingin mencabut sengat di tubuhmu dengan ujung pisau itu. Saat seekor
lebah menggigit, maka dia akan meninggalkan sengatnya di bawah kulit, tapi...”
“Hah!
Tepat seperti dugaanku! Kau lebih mencemaskan hamamu yang berharga itu dari
pada luka-lukaku.”
“Oh,
tak adil kau bicara begitu. Dan lebah bukan hama. Aku hanya berusaha
menjelaskan bahwa sengat lebah harus dicabut dengan hati-hati, secepat mungkin,
atau racunnya akan menusuk ke dalam luka dan menyebabkan bengkak atau bahkan
demam.”
“Itu
pasti akan membuatmu bahagia, kan... kau dan kekasih gelapmu.”
Eadyth
menegang mendengar nada marah dalam suara suaminya yang nyaris tak ditahan.
“Kekasih? Kekasih Apa?” Alis Eadyth menyatu karena bingung. Tapi sekarang bukan
saatnya untuk marah atau menjelaskan. Menatap mata Eirik yang menuduh tanpa
bergetar, ia bertanya dengan tenang. “Kau mau kubantu atau tidak?”
Eirik
memandangnya tajam selama beberapa saat, lalu menunduk melihat bilur yang mulai
terbentuk ditempat yang digaruknya. “Jangan gunakan pisau. Gunakan kukumu,”
pintanya akhirnya.
Eadyth
memandang dengan ragu pada kukunya yang tumpul, tapi bergerak ke arahnya,
menggeleng jengkel. Apakah Eirik benar-benar berpikir ia akan membunuhnya? Eadyth
tak semarah itu pada ciuman kasar Eirik saat pria itu pamit untuk pergi. Tapi
kemudian belas kasihannya melihat sakit yang diderita Eirik mengalahkan
kegusarannya yang tumbuh.
“\Duduk,”
perintahnya, menunjuk pada bangku pendek di dekat jendela. Untuk melihat lebih
baik, ia menanggalkan terusan cadar anti lebahnya. Ia lupa membubuhkan debu
yang biasa di wajahnya pagi ini, berpikir Eirik tak akan kembali ke Ravenshire
sampai besok. Ia berharap Eirik, dengan matanya yang berair, akan terlalu
kesakitan untuk menyadari penampilannya. Bagaimana pun juga, itu adalah risiko
yang harus diambilnya.
“Apakah
sakit?”
“Apakah
kuda kencing?”
“Ck!”
Eadyth berdecak pada kata vulgar Eirik dan bergumam, “Kau membuat orang lain
sangat sulit bersimpati...”
“Simpan
simpatimu untuk orang yang peduli. Mungkin kekasihmu.”
Eadyth
bergidik, marah. “Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”
Eirik
hanya mencibir.
“Kau
mau kubantu atau tidak?”
Eirik
merespon dengan membungkukkan badannya di atas bangku, meletakkan kedua
lengannya di pahanya yang terbentang. Dasar
tak tahu diri! Ia mengingatkan dirinya untuk sabar. Seperti banyak
prajurit, Eirik sanggup, pastinya, menahan luka parah di medan tempur dengan
tabah tapi akan mengaduh seperti anak kecil karena luka kecil, seperti sakit
gigi, atau demam, atau sengatan lebah.
Pertama-tama,
Eadyth bekerja dengan cara metodis pada punggung Eirik. Satu percatu, dengan
susah payah ia menekankan ujung jari telunjuknya di tengah bekas gigitan sampai
sengtnya keluar. Itu bukan tugas mudah. Jari-jari Eadyth bergetar saat pertama
kali menyentuh kulit suaminya yang berwarna pucat keemasan itu saat aroma tubuh
Eirik menyelubunginya dengan sensual dalam aura menyenangkan sabun dan sinar
matahari yang segar juga aroma khas lelakinya.
Ia
menggigit bibir bawahnya untuk meredam desahan pelannya.
“Kau
mengatakan sesuatu?”
“Tidak.
Terus tundukkan kepalamu.”
Eadyth
bergerak turun ke pinggang dan pinggul Eirik, menekan ujung jarinya di kulit
Eirik yang panas. Ya Tuhan, tubuh Eirik panas seperti oven. Apakah Eirik demam,
atau hanya darahnya yang panas? Dan apakah semua bagian tubuhnya begitu panas?
Malu
pada pikirannya yang mengembara ke mana-mana, Eadyth memaki dirinya sendiri. Ia
tak pernah memiliki fantasi mesum sebelumnya, bahkan tidak dengan Steven. Bahkan,
hasrat untuk Steven selalu murni semangat. Sampai satu kali terjadi penyatuan
tubuh yang menyakitkan dan tak menyenangkan itu.
Pasti
karena usianya yang bertambah dewasa, pikir Eadyth. Ia pernah mendengar bahwa
beberapa wanita mengalami dorongan aneh ini saat mereka makin dewasa dan tubuh
mereka semakin matang. Penjelasan apa lagi untuk nyeri tak menyenangkan di
pangkal tungkainya ini? Ia mengamati punggung Eirik yang proporsional cukup
lama, tak mau percaya bahwa perasaan baru ini berakar dari kedekatannya pada
pria ini, dan hanya pada pria ini.
“Ya
Tuhan! Kenapa begitu lama? Apa kau sengaja berlama-lama untuk memperpanjang
deritaku?”
“Oh,
shh,” kata Eadyth.
Ketika
ia selesai dengan punggung dan lengan Eirik, ia meminta pria itu berdiri agar
bisa merawat kakinya, dari depan dan belakang. Dengan hati-hati menghindari
bagian tubuh Eirik yang itu, namun
malah mendapati indranya tergoda oleh gesekan tak terhindarkan dari bulu kaki
Eirik pada pipinya saat ia bergerak menyelesaikan pekerjaannya.
Rasanya
seperti selamanya.
“Apa
kau menikamatinya, Istriku?” kata Eirik kental dengan nada sarkasme.
“Tidak,
kau sendiri?” balas Eadyth sembarangan, dan tanpa pikir panjang mendongak hanya
untuk melihat kemaskulinan suaminya berdiri tegak dan tampak sekeras marmer
yang mengkilat. Seketika, Eadyth memalingkan wajahnya, benci dengan panas yang
dirasakannya merayap di wajahnya.
Eirik
tertawa mengejek. “Bagian tubuh pria yang itu tak memedulikan apakah seorang
wanita itu cantik atau sejelek tikus. Dia juga tak peduli apakah wanita itu
melakukan pengkhianatan.”
Eadyth
menutup rapat mulutnya, tak mau mengakui kata-kata Eirik itu menyakitkan. Ia
tegak berdiri untuk mulai merawat dada Eirik, berhati-hati agar wajahnya
terhindar. Ruangan itu temaram, dan Eirik terus mengerjapkan matanya yang
setengah tertutup menahan sakit, tapi Eadyth harus berhati-hati.
Meskipun
begitu, sangat sulit bagi Eadyth untuk meredakan debaran jantungnya yang tak
keruan karena dipicu oleh cara berdiri Eirik yang menggoda. Eadyth mendapati
dirinya merespon kedekatan mereka yang menggoda, walaupun sejarah panjangnya
benci pada sentuhan pria, walaupun Eirik sudah menuduhnya dengan kejam,
walaupun semua yang dirasakannya adalah bahaya bagi kendali diri yang dijaganya
dengan hati-hati.
Memaksakan
nada melengking dalam suaranya, ia membungkuk sedikit dan bertanya, “Kenapa kau
terus menuduhku berkhianat? Aku tak melakukan apa pun untuk membuatmu tak
percaya.”
Eirik
menatap tajam tapi tak mengatakan apa pun.
Begerak
melewati bulu ikal yang mengelilingi puncak dada Eirik yang datar, Eadyth
mencabut sengat terakhir di sana, lalu berlutut mencari sengat di perutnya yang
datar. Itu bukan posisi yang menyenangkan. Ia sangat malu, berusaha menjaga
jarak di antara mereka dan tak mau belihat ke bawah.
“Tidak
bisakah kau kenakan sedikit pakaian?”
“Kenapa?”
“Tak
sopan bagimu untuk... mempertontonkan tubuhmu begitu.”
Eirik
tertawa mengejek. “Tak ada yang belum kau lihat sebelumnya dengan kekasihmu.
Atau penis Steven begitu berbeda?”
Eadyth
memucat pada kata-kata vulgarnya. Lalu syok itu segera berubah menjadi amarah.
Ia mengangkat tinjunya dan bersiap memukul perut Eirik, tapi pria itu menyambar
pergelangan tangannya dan mencengkramnya hingga menyakitkan.
“Jangan
berani berpikir untuk menyerangku. Dalam suasana hatiku saat ini, aku tak akan
ragu balas memukulmu.”
“Ibumu
seharusnya menyabuni mulutmu saat kau masih kecil. Kau punya mulut yang kotor.”
“Aku
tak punya ibu.”
“Apa
kau lahir dari batu?”
Eirik
semakin erat memelintir pergelangan tangan Eadyth dan mengamatinya dengan
kejam, seolah-oleh menimbang apakah ia akan mematahkan tulang itu atau tidak.
Akhirnya, Eirik menjatuhkan tangan Eadyth sambil mendengus jijik.
Air
mata menggenangi matanya, dan Eadyth mengerjap-ngerjapkan matanya untuk melawan
dorongan agar tidak menangis sambil menggosok pergelangan tangannya yang sakit.
“Kenapa kau begitu kejam? Aku tak melakukan apa pun untuk menyakitimu.”
“Kau
pikir begitu? Well, pikirkan lagi.
Satu-satunya hal yang kuminta darimu sebelum menandatangani pertunangan adalah
kesetiaan. Hah! Tinta di surat itu bahkan belum mengering, dan kau sudah
membentangkan pahamu untuk lelaki lain. Dan kita bahkan belum tidur bersama!”
Eadyth
menegang dan menelengkan kepalanya bertanya. “Kau pikir aku tidur dengan pria
lain?”
“Ya.”
“Siapa?”
“Si
keparat itu... Steven. Siapa lagi?”
“Apa
kau bodoh? Kau tahu aku membencinya.”
“Tidak,
aku menyadari sekarang bahwa aku tak tahu apa-apa tentang dirimu. Tapi ketahui
ini, Istriku, kau akan membayar
sepuluh kali lipat pengkhianatanmu, dan belum lagi masalah sengatan lebah-lebah
ini.”
Tuduhan
konyol Eirik sangat melukai hati Eadyth, dan luka hatinya segera berubah
menjadi kemarahan yang bergolak. Ia berbalik dan melangkah menuju pintu, perlu
memikirkan tuduhan yang diarahkan padanya. Mungkin Girta bisa menjelaskan. Tapi
Eirik menyambar lengannya dan menariknya kembali.
“Selesaikan
pekerjaan yang kau mulai.”
Eadyth
mengangkat dagunya menantang. “Kau bisa melakukannya sendiri di leher dan
mukamu dengan bantuan cermin.” Ia menunjuk pada logam yang mengkilat yang
tergantung di dinding.
“Tidak.
Kau yang akan merawat lukaku... semuanya. Lagi pula, kau yang menyebabkannya.”
Eadyth
membuka mulutnya ingin memprotes, lalu memaksakan dirinya tetap diam. Samapi ia
mengerti apa yang terjadi saat ia tak ada, apa yang mendorong Eirik percaya
bahwa ia punya kekasih, protesnya tak akan berguna.
Mata
biru Eirik berkilat memandangnya bagai nyala api biru, melelehkan dengan
intensitas sorotannya.
“Ayo
duduk lagi,” perintah Eadyth,” perintah Eadyth dengan dingin. “Dan pejamkan
matamu.” Ia tak mau Eirik memandang wajahnya sedekat ini.
Hanya
beberapa sengat lebah lagi yang tertinggal di kulit sensitif di leher Eirik,
dan dengan mudah bisa dicabutnya. Ia menjadi semakin ahli menjentikkan kukunya
di tempat yang tepat untuk mengeluarkan sengat. Lalu ia pindah ke wajah Eirik
yang terangkat.
Lipatan-lipatan
canda yang terbentuk di mata dan bibirnya entah bagaimana berubah menjadi tanda
kekejaman. Bulu mata Eirik yang bagaikan kipas hitam sutra bersanding dengan
kantung matanya yang berbayang. Eirik pasti kurang tidur semalam –mungkin
merencanakan cara menyiksanya begitu ia kembali, pikir Eadyth sedih.
Dengan
hati-hati, Eadyth memegang dagunya yang menonjol dengan congkaknya. Eadyth
mencabut sengat yang dekat dengan mata kanannya. Mata itu mungkin akan bengkk
sampai tertututp sebelum malam tiba. Eadyth menyibakkan beberapa untai rambut
panjangnya untuk mencabut empat sengat di keningnya dan berpikir tak relevan
bahwa Eirik perlu potong rambut. Rambut lurus berwarna hitam itu turun hingga
sebahunya dalam gaya Saxon, namun kelihatannya sudah terlalu panjang.
Ia
nyaris selesai. Syukurlah!
“Ada
beberapa gigitan di kumismu. Mungkin kau perlu mencukurnya agar sengatnya bisa
dicabut.”
“Kenapa
kulitmu begitu halus?”
Perlu
beberapa saat sebelum kata-kata eirik terserap di otaknya. Saat itu Eadyth baru
menyadari bahwa mata Eirik –biru jernih, seperti es- terbuka lebar, dan bahwa
ia mengamatinya dengan saksama. Dalam
jarak dekat.
Eadyth
memasang muka masamnya dan membungkukkan bahunya, tapi sudah terlambat.
Eirik
mencengkram dagunya dengan erat dengan satu tangan dan mengangkat wajahnya ke
arah cahaya. “Kulitmu tak terlihat berwarna abu-abu seperti biasanya hari ini.
Juga tak keriput seperti yang kukira.”
Eadyh
nyaris tak bisa mengendalikan bibirnya yang gemetar di bawah pengamatan tajam
suaminya. “Aku sering berjemur matahari selama kau tak ada. Warna coklat
terbakar sinar matahari menyehatkan kulit sementara, bukankah begitu?”
Eirik
tampak tidak yakin.
“Lagi
pula, kulit yang bagus menurun dalam keluargaku. Konon nenekku nyaris tak punya
kerutan saat dia meninggal pada usia lima puluh dua tahun.”
Oh Tuhan! Eadyth patah
arang. Ini bisa jadi kesempatan bagus untuk mengakui penyamarannya, tapi
melihat suasana hati Eirik yang buruk, Eadyth takut pada reaksinya. Dengan
pernikahan mereka yang belum disempurnakan, Eirik dengan mudah bisa
mencampakannya. Beranikah ia mengambil resiko berkata jujur? Tidak, ia
memutuskan untuk menunggu lebih lama lagi sampai ia bisa menjernihkan
kesalahpahaman tentang Steven.
Eirik
menggumamkan sesuatu, tapi kata-katanya tak jelas karena tangan kiri Eadyth
menjepit mulutnya. Sebenarnya, kumis itu terasa licin dan sensual di bawah
jari-jari Eadyth, dan seketika ingatannya melayang pada bagaimana rasa kumis
Eirik di kulitnya saat ciuman yang memabukkan dan erotis itu terjadi di kamar
ini.
Eirik
tampaknya juga mengingat hal itu, karena ketika Eadyth menyingkir, suaranya
terdengar parau, “Kau sudah selesai?”
“Ya,
tapi balikkan lagi badanmu. Aku perlu membubuhkan sesuatu yang menyejukkan pada
luka-lukamu untuk mencegahnya bengkak.”
Para
pelayan membawakan bak mandi penuh dengan air hangat ke dalam kamar itu selama
Edyth merawat luka Eirik, mereka juga membawa garam dan bawang yang dimintanya.
Eadyth menuangkan seluruh tempayan berisi garam ke dalam air mandi, lalu
kembali ke meja di mana pisaunya tergelatak. Ia mengiris sebuah bawang besar
menjadi dua dan mulai menggosoknya ke punggung Eirik dengan gerakan menyapu.
“Ahh!
Rasanya enak.”
“Kupikir
juga begitu. Sekarang, berdiri agar aku bisa menggosok kakimu.”
Saat
ia berlutut dan bekerja dengan cekatan, Eadyth merasakan otot-otot di kaki
Eirik seketika menegang.
“bau
busuk apa ini?”
“Bawang.”
Sambil
mengumpat, Eirik meraih ke bawah dan menarik Eadyth berdiri. Awalnya, ia hanya
memandang tak percaya pada benda putih setengah bulat di tangan Eadyth, lalu
pada bawang yang membuat mata Eadyth mulai mengeluarkan air mata yang membasahi
wajahnya.
“Ya
Tuhan! Apa kau sungguh berani melumuri tubuhku dengan potongan bawang yang bau
ini? Apa ini lelucon yang kau mainkan padahal tubuhku sedang menderita?”
“Bukan,
semua orang tahu bawang adalah cara terbaik untuk mengurangi bengkak akibat
sengatan lebah.”
“Well, semua orang boleh pergi ke
neraka.” Eirik menyambar tangan Eadyth dan menariknya ke bak. Ia menyodorkan
selembar kain dan sebatang sabun, memerintah, “Kau akan membasuh setiap tetes
dari benda itu dari kulitku atau aku akan menyumpal tenggorokanmu dengan bawang
itu sampai perasannya keluar dari telingamu.”
Eirik
berendam dalam air hangat itu, lalu seketika terperanjat berdiri. “Aduh!
Rasanya panas seperti neraka. Ada apa di air ini?”
“Garam.”
Melangkah
keluar dari bak, eirik mencengkram lengan Eadyth dan mengangkatnya dari lantai
sehingga mereka berdiri sejajar, mata dengan mata, hidung dangan hidung.
“Kau
akan menaburi lukaku dengan garam, juga? Sungguh!, Woman, kau sudah melewati
batas kelancangan dan kini memasuki area kebodohan.”
Eirik
mengguncangkan Eadyth begitu keras hingga ia tak bisa berpikir jernih, lalu
menjatuhkannya tiba-tiba ke lantai. Eadyth melongo memandangnya, wajah
tampannya berubah menjadi topeng jelek kemarahan.
“Apakah
kau suka aku menggosok tubuhmu dengan pasir, lalu membenamkannya di dalam air
garam?”
“Kau
pasti bercanda.”
“Oh,
benarkah?”
Eadyth
mundur, tergagap berkata dengan cepat, “Kau hanya mengerti... jangan
menyentuhku... oh, sekarang kau membuat gaunku basah... hentikan... garam akan
mencegah bekas sengatannya bengkak dan bernanah... sungguh, dengarkan aku...
oh, kau keparat menyeb...”
Eadyth
tak bisa berkata apa-apa lagi karena Eirik mengangkatnya dan mencemplungkannya,
lengkap dengan pakaiannya, ke dalam bak, lalu membenamkan kepalanya di bawah
air. Eadyth muncul megap-megap, hanya mendengar Eirik berkata, “Saat kau di
sana, cucilah minyak menjijikan itu dari rambutmu. Bau.” Sebelum Eadyth sempat
memjawab, Eirik membenamkan kepalanya lagi dn menahannya begitu lama sehingga
hidungnya mulai terbakar.
Ketika
Eadyth akhirnya muncul ke permukaan, dengan wajah pucat karena marah, rambutnya
terkulai basah di balik topi bercadarnya yang basah kuyup dan gaun wolnya
membuat genangan besar di lantai yang dilapisi jerami. “Kau... kau... kau,” ia
tergagap, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan tindakan
keji Eirik.
Dan
Eirik hanya berdiri di sana sepenuhnya telanjang dalam keindahannya, berkacak
pinggang, kaki terbentang dengan arogannya, tertawa terbahak-bahak. Ketika rasa
gelinya berakhir, ia berkata dengan dingin, “Well, aku sekarang merasa lebih baik.”
“Dasar
katak.”
Masih
tertawa, Eirik melemparkan kain linen pada Eadyth untuk mengeringkan dirinya
dan mengisyaratkannya untuk duduk di sebuah bangku. Eirik mengenakan celana
panjang dan kemeja berlengan panjang, dan berkomentar masam, “Sekarang kita akan
membicarakan pengkhianatanmu, dan apa yang akan kita lakukan pada pernikahan
kita yang tak serasi ini.”
Eirik
berjalan ke sebuah meja kecil di dekat ranjangnya dan mengambil selembar surat
yang sudah kusut dari lacinya. Ia merapikan surat itu di atas permukaan meja,
lalu berbalik dan menyerahkannya pada Eadyth tanpa bicara sepatah kata pun.
Alih-alih, ia berjalan ke seberang ruangan dan bersandar di tembok, menunggu
Eadyth selesai membaca surat yang berisi kata-kata yang menuduh itu. Kulitnya
terasa gatal bukan main, tapi ia tidak mau menggaruknya, atau membubuhkan jus
bawang, atau air garam. Ia akan menunggu sampai nanti dan mengirim Wilfrid
pergi ke tabib wanita di daerah itu untuk meminta salep.
“Well?” tanyanya akhirnya ketika Eadyth
menekuni surat itu cukup lama. “Apa tak ada yang mau kau katakan?”
“Dari
mana kau dapatkan surat ini?”
“Britta
menemukannya di bawah kasurmu.”
Eadyth
mendongak memandang Eirik, ketakutan memenuhi wajahnya. Eirik menggeleng tak
percaya. Eirik tampak seperti tikus yang tenggelam dengan rambut abu-abu
berminyak yang menggantung dalam gumpalan-gumpalan di balik topi bercadarnya
yang basah kuyup, air mata karena bawang mengaliri wajahnya.
“Kau
sadar apa artinya ini, Eirik?” tanyanya gelisah. “Steven, atau salah satu
orangnya, telah masuk ke dalam kastil ini.”
“Katakan
hal yang lain, bukan yang sudah kutahu,” balas Eirik sinis, “seperti ke mana
saja kau selama empat hari ini. Dan dengan siapa.”
Eadyth
mengabaikan pertanyaan Eirik itu seolah-olah itu tak penting. “Di Hawks’ Lair.
Kau sudah tahu itu. Tapi maksudku adalah kita harus berhati-hati kalau Steven
bisa begitu mudah memasuki kastil ini. Dia bisa mengambil... oh, Tuhanku, dia
bisa saja mengambil John.”
“Ya,
dia bisa. Persis seperti yang kau rencanakan.”
Kening
Eadyth berkerut bingung. Oh tuhan, pelacur pendusta ini pintar sekali
bersandiwara. Ia nyaris percaya wanita itu tak bersalah. “Aku tak pernah
mengharapkan keperawanan, Istriku,
tapi aku juga tak mengharapkan dibodohi secepat itu setelah ikrar pernikahan di
ucapkan.”
“Apa
maksudmu?” tanya Eadyth kaku. “Apa maksudmu kau percaya dengan semua kebohongan
yang ada di surat ini? Maksudmu aku sudah... berselingkuh dengan pria yang
berusaha merampas anakku?”
“Semua
fakta mengarah ke sana. Dan aku hanya punya ucapanmu bahwa dia berusaha
mencelakakanmu,” balas Eirik, mengangkat bahu, sambil berjalan ke arah Edyth
dan menyambar surat dari tangannya. “Bertahanlah,
cinta, hanya sebentar lagi saja sampai kita bisa bersama...” Eirik membaca
surat itu dengan suara dibuat-buat, kemudian, “Suami hatimu, Steven.”
Eadyth
berdiri seketika, menjatuhkan bangku yang didudukinya. Bercak-bercak merah
jambu karena marah memenuhi pipinya saat ia membentak. “Kau pikir aku pelacur
Steven?” Ketika Eirik tak menjawab, Eadyth mengumpat pelan, lalu berteriak
dalam suara lengkingan marah. “Keparat! Satu-satunya kalimat yang benar di
surat ini adalah sebutan Steven padamu sebagai Hewan buas dari Ravenshire. Ya,
kau binatang karena berpikir sekotor itu tentangku.”
Air
mata menggenangi mata Eadyth, tapi Eirik tetap tak tersentuh. Wanita itu sudah
menipunya, dan itu tak bisa dibiarkannya.
“Setelah
mengenal betapa jahatnya Steven, kenapa kau tak melihat bahwa surat ini adalah
rencana busuknya? Untuk memecah belah kita karena kita menghalanginya dari
mendapatkan anaknya. Dan dia berhasil, berkat kebodohanmu.”
Eadyth
berbalik dan tergopoh-gopoh menuju pintu, secepat kakinya membawanya, terhalang
oleh pakaiannya yang basah kuyup. Untuk sesaat, Eirik menimbang apakah ia
menilainya dengan tidak adil, tapi lalu ia teringat hal lain, bagian paling
penting dalam surat itu.
“Apa
kau mengandung? Anak Steven... lagi?”
Eadyth
terkesiap dan punggungnya menegang. Lalu ia menoleh perlahan dan mata ungunya
berkilat dingin, mata yang luar biasa indah untuk seorang wanita tua, pikir
Eirik tidak pada tempatnya.
“Tidak,
aku tidak sedang hamil. Tidak kecuali kau percaya aku bisa menghamili diriku
sendiri.”
Kesinisan
Eadyth membuat Eirik gusar. Eadyth tak punya alasan untuk merasa terhina.
Eirik-lah pihak yang menjadi korban.
“Aku
tak mau menampung satu lagi anak haram Steven,” katanya. “Satu sudah cukup.”
Pipi
Eadyth semakin memerah, dan Eirik melihat tinjunya mengepal di sisi tubuhnya.
Lalu Eadyth meraih sarung pisau di sabuknya, lupa bahwa pisau kecilnya masih
tergeletak di meja di ujung terjauh. Eirik tak serabun itu sehingga ia bisa
melihat spekulasi di mata Eadyth yang mengukur jarak, bertanya-tanya apakah
wanita itu akan cukup punya waktu untuk meraih pisau tersebut dan menikamnya.
“Jangan
berani memikirkannya, atau kau akan menemukan tenggorokanmu tergorok sebelum
kau berkedip.”
Eadyth
menyerah pada alternatif itu, mengangkat dagunya dengan menantang, memandang
Eirik tanpa sepatah kata pun. Kalau saja wanita itu tahu betapa konyolnya
penampilannya dengan muka masamnya dan pakaian basahnya yang membuat genangan
di tikar rumput, pikir Eirik.
“Pernikahan
ini tak akan disempurnakan sampai kau mendapatkan tamu bulananmu dan aku tahu
pasti kau tak mengandung bibit buruk itu.”
“Dan
kalau kau salah?” ejeknya, suaranya meninggi.
“Aku
akan memutuskan saat itu apakah aku mau hidup dengan satu lagi istri yang
palsu.”
“Satu
lagi?”
Eirik
seketika menyadari kesalahannya, tapi tak mau menjawab pertanyaan Eadyth.
Eadyth
mengamati Eirik dengan angkuh, lalu mengulangi pernyataannya. “Aku tak hamil.”
Eirik
hanya menaikkan satu alisnya tak percaya.
Wajah
Eadyth merah padam, tapi ia tetap memandang mata Eirik dengan berani. “Aku
sedang datang bulan sekarang.”
Hal
itu membuat Eirik terkejut. Mungkinkah ia salah? Tapi bertahun-tahun
pengkhianatan Steven telah mengajarinya untuk selalu curiga. Ia tak bisa
menahan dirinya untuk terus mendesak, “Bagaimana aku tahu kau tak bohong?”
Bibir
Eadyth melengkung mengejek. “Apa yang harus kulakukan, My Lord? Mengangkat
rokku dan menunjukkan padamu kain pembalutku?”Ejekan Eadyth melucuti Eirik. Itu
dan sikapnya yang menunjukkan harga diri yang terluka.
“Ya,
itu awal yang bagus.”
Eadyth
mundur ke arah pintu, matanya membelalak takut pada saran Eirik. “Kau... kau
tak mungkin memintaku melakukan itu,” ia tergagap dengan suara gemetar tak
percaya.
“Jangan
berani bertaruh. Kemari Eadyth, dan buktikan kau tak bersalah.”
Eadyth
terkesiap dan berbalik dengan cepat, tangannya di pintu, tapi Eirik bergerak
lebih cepat dan menempatkan tubuhnya di jalan keluar, menghalangi Eadyth.
Eadyth melompat ketakutan menjauhi Eirik, seperti kucing yang terancam, dan
bergerak ke tengah ruangan, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari senjata, tapi
sia-sia.
“Oh,
tidak, tolong, jangan lakukan ini. Kau salah menilaiku. Aku bisa menj...”
Eirik
memotong kata-kata Eadyth yang nyaris histeris saat ia mengangkat pinggangnya
dan melemparkannya ke ranjangnya dengan suara jatuh yang keras. Eirik menyusul
setelahnya, saat lengan Eadyth menggapai-gapai, memukul dan menggaruk kulitnya
yang sudah iritasi.
Mengabaikan
mata Eadyth yang besar dan memelas seperti rusa, Eirik menindih tubuh Eadyth
dengan lututnya, memaku tubuh istrinya di tempat, dan mengunci kedua tangannya
di atas kepalanya dengan satu tangan. Walaupun Eadyth ketakutan dan berusaha
melepaskan diri, dagu wanita itu tetap terangkat menantang seperti martir.
Eirik
bimbang. Bagaimana kalau Eadyth tak bersalah?
“Katakan
yang sebenarnya, Istriku, apakah kau pernah, menipuku, sejak kita
menandatangani kesepakatan pertungangan?”
Dalam
keheningan mencekam, Eadyth tak bicara untuk sesaat, mengalihkan matanya dengan
bersalah. Saat ia mulai bicara dengan ragu, “Ada satu hal kecil...” di pikiran
Eirik, itu sudah terlambat. Kebimbangannya sudah menjadi bukti.
Eirik
mendengus marah dan menindih Eadyth lebih kencang di ranjang dengan tubuhnya.
“Kau
hewan liar, aku tak akan memaafkanmu. Lebih buruk lagi, kau tak akan memaafkan
dirimu sendiri saat kau menemukan kebenarannya.”
“Tidak,
aku tak akan memaafkan diriku sendiri kalau aku tak memastikan apakah kau
mengkhianatiku.” Eirik yang kalap karena marah, menyibakkan jubah Eadyth ke
atas pinggangnya, menampakkan kakinya yang panjang.
Dan
kain berdarah di antara pahanya.
Eirik
mendongak dan melihat air mata malu mengalir di mata Eadyth yang terpejam.
Suara berisik di dalam kepalanya menyuruhnya untuk melepaskan Eadyth, agar puas
dengan bukti yang dilihatnya, tapi kemarahan yang menggelapkan mata telah
menguasainya. Darah bergemuruh di telinganya saat ia mencapai titik batas. Ia
sudah berada di ujung yang salah akibat kejahatan Steven yang terlalu lama
untuk bisa puas tanpa bukti yang sempurna. Bahkan kain berdarah bisa
dimanipulasi untuk menipunya.
Dengan
kasar, Eirik meraih ke bawah dan mencabik kain pembalut dari tubuh Eadyth dan
melemparkannya ke rush rumput. Lalu,
dengan sigap, sebelum Eadyth sempat berpikir apa yang akan dilakukannya. Eirik
menggunakan kedua kakinya untuk membentangkan kedua paha Eadyth dan memasukkan
jari tengahnya ke tubuh Eadyth.
Eadyth
menjerit saat itu, keras dan menyayat. Eirik tak tahu apakah itu karena malu,
atau karena nyeri, karena jalan masuknya itu kering dan sempit bahkan untuk
satu jarinya.
Kesadaran
melandanya, bahkan sebelum ia menarik jarinya dan melihat bukti darah itu.
Eadyth tidak mengandung anak Steven.
Eadyth
berbaring dengan kaku, berusaha keras mengendalikan isak tangis yang
mengguncang tubuh kurusnya. Mata biru pucatnya memandang kosong ke
langit-langit.
Eirik
melompat dengan ngeri dan berjalan ke tembok di dekat jendela. Dengan marah, ia
meninju tembok batu itu sampai tangannya berdarah.
Ia
tak pernah merasa begitu rendah dan memalukan seumur hidupnya.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar