Kamis, 14 Juni 2018

The Tarnished Lady 8


Kemarahan membuat seorang pria gelap mata melakukan tindakan tak terpuji...

“Cium aku, Sayang. Awk.”

“Cium bokongku.”

“Apa kau mau melihat... awk... bokongku?”


“Apa kau mau bulu-bulumu dicabuti dan disumpalkan ke tenggorokanmu?”

“Tunjukkan kakimu. Awk.”

“Enyahlah.”

“Cium aku, Sayang. Cium aku, Sayang. Cium aku, Sayang.”

Mendengus jengkel, Eirik melemparkan kain wol untuk menutupi kandang burung itu, menggumamkan makian. Koakan burung itu segera berhenti.

Eadyth berdiri terpana di ambang pintu kamar Eirik. Ia tak bisa memutuskan apakah ia terpana karena mendengar suaminya saling memaki dengan seekor burung yang tak berakal, atau melihat Eirik berdiri di tengah ruangan memunggunginya –Telanjang bulat. Yang keduanyalah jawabannya.

Sejujurnya, pria luar biasa tampan ini, suaminya, telah membuatnya tak mampu bernapas.

Mata Eadyth menelusuri kulit perunggu yang terbakar matahari mulai dari bahu lebar suaminya hingga ke otot punggung yang lentur, lalu ke pinggangnya yang ramping dan pinggul sempit yang menggoda. Eadyth menjilat bibirnya yang kering seketika. Bahkan pahanya yang tampak kokoh dan betisnya yang kekar juga terbakar matahari, pikir Eadyth. Seperinya Eirik hanya mengenakan celana dalam ketika berlatih dengan anak buahnya atau ketika ada di kapal. Kulit dari bokongnya yang padat adalah satu-satunya bagian tubuhnya yang masih terang.

Well, tidak juga, Eadyth mengoreksi dengan cepat saat Eirik berbalik. Ia juga menyembunyikan bagian lain dari tubuhnya. Dan, oh ya Tuhan! Bagian itu sangat indah.

Eadyth meraba pipinya yang panas dan memaksa matanya memandang senyuman Eirik yang dingin dan penuh maksa. Sikap dinginnya membuat Eadyth bergidik ngeri, membawanya kembali ke dilemanya sekarang –sengatan lebah di tubuh Eirik.

“Keluar Eadyth,” katanya dengan pelan. “Aku akan berurusan denganmu dan pengkhianatanmu nanti. Tinggalkan aku sendiri sekarang.”

“Eirik, aku sungguh-sungguh minta maaf atas apa yang terjadi di halaman tadi. Itu bukan salahku. Lebah akan menyengat ketika terancam, dan...”

“Terancam? Sebaiknya kau hati-hati, Iatriku, dan pergi dari hadapanku sebelum aku menunjukkan padamu ancaman sesungguhnya.”

“Kenapa kau begitu marah padaku? Kau yang mengusik lebah-lebah itu. Tapi itu memang khas laki-laki, kan? Selalu menyalahkan wanita untuk kesalahannya.”

“Kesalahan terbesarmu, My Lady, adalah berpikir kau bisa mempermainkanku dan lolos dari konsekuensinya.” Dengan cuping hidung mengembang, Eirik bergerak ke arahnya dengan mengancam.

Bingung dengan kemarahan Eirik yang begitu dahsyat, Eadyth mundur beberapa langkah dan memprotes, “Kau sepertinya salah paham padaku. Pikirkan dengan akal sehat. Setidaknya, aku perlu merawat... oh, demi Tuhan...”

Kata-kata Eadyth mengambang saat ia melihat puluhan bekas gigitan, sudah memerah, di wajah, leher, dada, punggung, perut, kaki –sejujurnya, semua bagian tubuhnya. Dan parahnya lagi, Eirik dengan kalap menggaruk kulitnya dengan kuku, di daerah mana pun yang bisa dijangkaunya.

“Tidak, kau harus berhenti menggaruk,” perintahnya, menepiskan tangan Eirik dari tubuhnya. “Bodoh, apa kau tak tahu tak boleh menggaruk bekas sengatan lebah? Kau harus mencabut sengatannya dulu.”

Mengabaikan kata-kata Eadyth, Eirik mendekat ke lekukan jendela agar bisa melihat lebih baik saat ia menengok ke balik bahunya dan berusaha menggaruk gigitan di punggungnya.

Sekali lagi, Eadyth menepiskan tangan Eirik dan mengambil pisau kecil bergagang gading dari sarung pisau di sabuknya. “Sini, biar kubantu.”

Eirik melihat pisau tajam di tangan Eadyth dan tertawa mengejek. “Perhatianmu terlambat, Istriku. Aku tak sebodoh itu untuk membiarkanmu mendekati tubuhku sambil menghunuskan senjata.” Secepat kilat, Eirik menyambar pisau itu dari tangan Eadyth dan meletakkannya di belakangnya, di sebuah meja.

“Konyol! Aku hanya ingin mencabut sengat di tubuhmu dengan ujung pisau itu. Saat seekor lebah menggigit, maka dia akan meninggalkan sengatnya di bawah kulit, tapi...”

“Hah! Tepat seperti dugaanku! Kau lebih mencemaskan hamamu yang berharga itu dari pada luka-lukaku.”

“Oh, tak adil kau bicara begitu. Dan lebah bukan hama. Aku hanya berusaha menjelaskan bahwa sengat lebah harus dicabut dengan hati-hati, secepat mungkin, atau racunnya akan menusuk ke dalam luka dan menyebabkan bengkak atau bahkan demam.”

“Itu pasti akan membuatmu bahagia, kan... kau dan kekasih gelapmu.”

Eadyth menegang mendengar nada marah dalam suara suaminya yang nyaris tak ditahan. “Kekasih? Kekasih Apa?” Alis Eadyth menyatu karena bingung. Tapi sekarang bukan saatnya untuk marah atau menjelaskan. Menatap mata Eirik yang menuduh tanpa bergetar, ia bertanya dengan tenang. “Kau mau kubantu atau tidak?”

Eirik memandangnya tajam selama beberapa saat, lalu menunduk melihat bilur yang mulai terbentuk ditempat yang digaruknya. “Jangan gunakan pisau. Gunakan kukumu,” pintanya akhirnya.

Eadyth memandang dengan ragu pada kukunya yang tumpul, tapi bergerak ke arahnya, menggeleng jengkel. Apakah Eirik benar-benar berpikir ia akan membunuhnya? Eadyth tak semarah itu pada ciuman kasar Eirik saat pria itu pamit untuk pergi. Tapi kemudian belas kasihannya melihat sakit yang diderita Eirik mengalahkan kegusarannya yang tumbuh.

“\Duduk,” perintahnya, menunjuk pada bangku pendek di dekat jendela. Untuk melihat lebih baik, ia menanggalkan terusan cadar anti lebahnya. Ia lupa membubuhkan debu yang biasa di wajahnya pagi ini, berpikir Eirik tak akan kembali ke Ravenshire sampai besok. Ia berharap Eirik, dengan matanya yang berair, akan terlalu kesakitan untuk menyadari penampilannya. Bagaimana pun juga, itu adalah risiko yang harus diambilnya.

“Apakah sakit?”

“Apakah kuda kencing?”

“Ck!” Eadyth berdecak pada kata vulgar Eirik dan bergumam, “Kau membuat orang lain sangat sulit bersimpati...”

“Simpan simpatimu untuk orang yang peduli. Mungkin kekasihmu.”

Eadyth bergidik, marah. “Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”

Eirik hanya mencibir.

“Kau mau kubantu atau tidak?”

Eirik merespon dengan membungkukkan badannya di atas bangku, meletakkan kedua lengannya di pahanya yang terbentang. Dasar tak tahu diri! Ia mengingatkan dirinya untuk sabar. Seperti banyak prajurit, Eirik sanggup, pastinya, menahan luka parah di medan tempur dengan tabah tapi akan mengaduh seperti anak kecil karena luka kecil, seperti sakit gigi, atau demam, atau sengatan lebah.

Pertama-tama, Eadyth bekerja dengan cara metodis pada punggung Eirik. Satu percatu, dengan susah payah ia menekankan ujung jari telunjuknya di tengah bekas gigitan sampai sengtnya keluar. Itu bukan tugas mudah. Jari-jari Eadyth bergetar saat pertama kali menyentuh kulit suaminya yang berwarna pucat keemasan itu saat aroma tubuh Eirik menyelubunginya dengan sensual dalam aura menyenangkan sabun dan sinar matahari yang segar juga aroma khas lelakinya.

Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam desahan pelannya.

“Kau mengatakan sesuatu?”

“Tidak. Terus tundukkan kepalamu.”

Eadyth bergerak turun ke pinggang dan pinggul Eirik, menekan ujung jarinya di kulit Eirik yang panas. Ya Tuhan, tubuh Eirik panas seperti oven. Apakah Eirik demam, atau hanya darahnya yang panas? Dan apakah semua bagian tubuhnya begitu panas?

Malu pada pikirannya yang mengembara ke mana-mana, Eadyth memaki dirinya sendiri. Ia tak pernah memiliki fantasi mesum sebelumnya, bahkan tidak dengan Steven. Bahkan, hasrat untuk Steven selalu murni semangat. Sampai satu kali terjadi penyatuan tubuh yang menyakitkan dan tak menyenangkan itu.

Pasti karena usianya yang bertambah dewasa, pikir Eadyth. Ia pernah mendengar bahwa beberapa wanita mengalami dorongan aneh ini saat mereka makin dewasa dan tubuh mereka semakin matang. Penjelasan apa lagi untuk nyeri tak menyenangkan di pangkal tungkainya ini? Ia mengamati punggung Eirik yang proporsional cukup lama, tak mau percaya bahwa perasaan baru ini berakar dari kedekatannya pada pria ini, dan hanya pada pria ini.

“Ya Tuhan! Kenapa begitu lama? Apa kau sengaja berlama-lama untuk memperpanjang deritaku?”

“Oh, shh,” kata Eadyth.

Ketika ia selesai dengan punggung dan lengan Eirik, ia meminta pria itu berdiri agar bisa merawat kakinya, dari depan dan belakang. Dengan hati-hati menghindari bagian tubuh Eirik yang itu, namun malah mendapati indranya tergoda oleh gesekan tak terhindarkan dari bulu kaki Eirik pada pipinya saat ia bergerak menyelesaikan pekerjaannya.

Rasanya seperti selamanya.

“Apa kau menikamatinya, Istriku?” kata Eirik kental dengan nada sarkasme.

“Tidak, kau sendiri?” balas Eadyth sembarangan, dan tanpa pikir panjang mendongak hanya untuk melihat kemaskulinan suaminya berdiri tegak dan tampak sekeras marmer yang mengkilat. Seketika, Eadyth memalingkan wajahnya, benci dengan panas yang dirasakannya merayap di wajahnya.

Eirik tertawa mengejek. “Bagian tubuh pria yang itu tak memedulikan apakah seorang wanita itu cantik atau sejelek tikus. Dia juga tak peduli apakah wanita itu melakukan pengkhianatan.”

Eadyth menutup rapat mulutnya, tak mau mengakui kata-kata Eirik itu menyakitkan. Ia tegak berdiri untuk mulai merawat dada Eirik, berhati-hati agar wajahnya terhindar. Ruangan itu temaram, dan Eirik terus mengerjapkan matanya yang setengah tertutup menahan sakit, tapi Eadyth harus berhati-hati.

Meskipun begitu, sangat sulit bagi Eadyth untuk meredakan debaran jantungnya yang tak keruan karena dipicu oleh cara berdiri Eirik yang menggoda. Eadyth mendapati dirinya merespon kedekatan mereka yang menggoda, walaupun sejarah panjangnya benci pada sentuhan pria, walaupun Eirik sudah menuduhnya dengan kejam, walaupun semua yang dirasakannya adalah bahaya bagi kendali diri yang dijaganya dengan hati-hati.

Memaksakan nada melengking dalam suaranya, ia membungkuk sedikit dan bertanya, “Kenapa kau terus menuduhku berkhianat? Aku tak melakukan apa pun untuk membuatmu tak percaya.”

Eirik menatap tajam tapi tak mengatakan apa pun.

Begerak melewati bulu ikal yang mengelilingi puncak dada Eirik yang datar, Eadyth mencabut sengat terakhir di sana, lalu berlutut mencari sengat di perutnya yang datar. Itu bukan posisi yang menyenangkan. Ia sangat malu, berusaha menjaga jarak di antara mereka dan tak mau belihat ke bawah.

“Tidak bisakah kau kenakan sedikit pakaian?”

“Kenapa?”

“Tak sopan bagimu untuk... mempertontonkan tubuhmu begitu.”

Eirik tertawa mengejek. “Tak ada yang belum kau lihat sebelumnya dengan kekasihmu. Atau penis Steven begitu berbeda?”

Eadyth memucat pada kata-kata vulgarnya. Lalu syok itu segera berubah menjadi amarah. Ia mengangkat tinjunya dan bersiap memukul perut Eirik, tapi pria itu menyambar pergelangan tangannya dan mencengkramnya hingga menyakitkan.

“Jangan berani berpikir untuk menyerangku. Dalam suasana hatiku saat ini, aku tak akan ragu balas memukulmu.”

“Ibumu seharusnya menyabuni mulutmu saat kau masih kecil. Kau punya mulut yang kotor.”

“Aku tak punya ibu.”

“Apa kau lahir dari batu?”

Eirik semakin erat memelintir pergelangan tangan Eadyth dan mengamatinya dengan kejam, seolah-oleh menimbang apakah ia akan mematahkan tulang itu atau tidak. Akhirnya, Eirik menjatuhkan tangan Eadyth sambil mendengus jijik.

Air mata menggenangi matanya, dan Eadyth mengerjap-ngerjapkan matanya untuk melawan dorongan agar tidak menangis sambil menggosok pergelangan tangannya yang sakit. “Kenapa kau begitu kejam? Aku tak melakukan apa pun untuk menyakitimu.”

“Kau pikir begitu? Well, pikirkan lagi. Satu-satunya hal yang kuminta darimu sebelum menandatangani pertunangan adalah kesetiaan. Hah! Tinta di surat itu bahkan belum mengering, dan kau sudah membentangkan pahamu untuk lelaki lain. Dan kita bahkan belum tidur bersama!”

Eadyth menegang dan menelengkan kepalanya bertanya. “Kau pikir aku tidur dengan pria lain?”

“Ya.”

“Siapa?”

“Si keparat itu... Steven. Siapa lagi?”

“Apa kau bodoh? Kau tahu aku membencinya.”

“Tidak, aku menyadari sekarang bahwa aku tak tahu apa-apa tentang dirimu. Tapi ketahui ini, Istriku, kau akan membayar sepuluh kali lipat pengkhianatanmu, dan belum lagi masalah sengatan lebah-lebah ini.”

Tuduhan konyol Eirik sangat melukai hati Eadyth, dan luka hatinya segera berubah menjadi kemarahan yang bergolak. Ia berbalik dan melangkah menuju pintu, perlu memikirkan tuduhan yang diarahkan padanya. Mungkin Girta bisa menjelaskan. Tapi Eirik menyambar lengannya dan menariknya kembali.

“Selesaikan pekerjaan yang kau mulai.”

Eadyth mengangkat dagunya menantang. “Kau bisa melakukannya sendiri di leher dan mukamu dengan bantuan cermin.” Ia menunjuk pada logam yang mengkilat yang tergantung di dinding.

“Tidak. Kau yang akan merawat lukaku... semuanya. Lagi pula, kau yang menyebabkannya.”

Eadyth membuka mulutnya ingin memprotes, lalu memaksakan dirinya tetap diam. Samapi ia mengerti apa yang terjadi saat ia tak ada, apa yang mendorong Eirik percaya bahwa ia punya kekasih, protesnya tak akan berguna.

Mata biru Eirik berkilat memandangnya bagai nyala api biru, melelehkan dengan intensitas sorotannya.

“Ayo duduk lagi,” perintah Eadyth,” perintah Eadyth dengan dingin. “Dan pejamkan matamu.” Ia tak mau Eirik memandang wajahnya sedekat ini.

Hanya beberapa sengat lebah lagi yang tertinggal di kulit sensitif di leher Eirik, dan dengan mudah bisa dicabutnya. Ia menjadi semakin ahli menjentikkan kukunya di tempat yang tepat untuk mengeluarkan sengat. Lalu ia pindah ke wajah Eirik yang terangkat.

Lipatan-lipatan canda yang terbentuk di mata dan bibirnya entah bagaimana berubah menjadi tanda kekejaman. Bulu mata Eirik yang bagaikan kipas hitam sutra bersanding dengan kantung matanya yang berbayang. Eirik pasti kurang tidur semalam –mungkin merencanakan cara menyiksanya begitu ia kembali, pikir Eadyth sedih.

Dengan hati-hati, Eadyth memegang dagunya yang menonjol dengan congkaknya. Eadyth mencabut sengat yang dekat dengan mata kanannya. Mata itu mungkin akan bengkk sampai tertututp sebelum malam tiba. Eadyth menyibakkan beberapa untai rambut panjangnya untuk mencabut empat sengat di keningnya dan berpikir tak relevan bahwa Eirik perlu potong rambut. Rambut lurus berwarna hitam itu turun hingga sebahunya dalam gaya Saxon, namun kelihatannya sudah terlalu panjang.

Ia nyaris selesai. Syukurlah!

“Ada beberapa gigitan di kumismu. Mungkin kau perlu mencukurnya agar sengatnya bisa dicabut.”

“Kenapa kulitmu begitu halus?”

Perlu beberapa saat sebelum kata-kata eirik terserap di otaknya. Saat itu Eadyth baru menyadari bahwa mata Eirik –biru jernih, seperti es- terbuka lebar, dan bahwa ia mengamatinya dengan saksama. Dalam jarak dekat.

Eadyth memasang muka masamnya dan membungkukkan bahunya, tapi sudah terlambat.

Eirik mencengkram dagunya dengan erat dengan satu tangan dan mengangkat wajahnya ke arah cahaya. “Kulitmu tak terlihat berwarna abu-abu seperti biasanya hari ini. Juga tak keriput seperti yang kukira.”

Eadyh nyaris tak bisa mengendalikan bibirnya yang gemetar di bawah pengamatan tajam suaminya. “Aku sering berjemur matahari selama kau tak ada. Warna coklat terbakar sinar matahari menyehatkan kulit sementara, bukankah begitu?”

Eirik tampak tidak yakin.

“Lagi pula, kulit yang bagus menurun dalam keluargaku. Konon nenekku nyaris tak punya kerutan saat dia meninggal pada usia lima puluh dua tahun.”

Oh Tuhan! Eadyth patah arang. Ini bisa jadi kesempatan bagus untuk mengakui penyamarannya, tapi melihat suasana hati Eirik yang buruk, Eadyth takut pada reaksinya. Dengan pernikahan mereka yang belum disempurnakan, Eirik dengan mudah bisa mencampakannya. Beranikah ia mengambil resiko berkata jujur? Tidak, ia memutuskan untuk menunggu lebih lama lagi sampai ia bisa menjernihkan kesalahpahaman tentang Steven.

Eirik menggumamkan sesuatu, tapi kata-katanya tak jelas karena tangan kiri Eadyth menjepit mulutnya. Sebenarnya, kumis itu terasa licin dan sensual di bawah jari-jari Eadyth, dan seketika ingatannya melayang pada bagaimana rasa kumis Eirik di kulitnya saat ciuman yang memabukkan dan erotis itu terjadi di kamar ini.

Eirik tampaknya juga mengingat hal itu, karena ketika Eadyth menyingkir, suaranya terdengar parau, “Kau sudah selesai?”

“Ya, tapi balikkan lagi badanmu. Aku perlu membubuhkan sesuatu yang menyejukkan pada luka-lukamu untuk mencegahnya bengkak.”

Para pelayan membawakan bak mandi penuh dengan air hangat ke dalam kamar itu selama Edyth merawat luka Eirik, mereka juga membawa garam dan bawang yang dimintanya. Eadyth menuangkan seluruh tempayan berisi garam ke dalam air mandi, lalu kembali ke meja di mana pisaunya tergelatak. Ia mengiris sebuah bawang besar menjadi dua dan mulai menggosoknya ke punggung Eirik dengan gerakan menyapu.

“Ahh! Rasanya enak.”

“Kupikir juga begitu. Sekarang, berdiri agar aku bisa menggosok kakimu.”

Saat ia berlutut dan bekerja dengan cekatan, Eadyth merasakan otot-otot di kaki Eirik seketika menegang.

“bau busuk apa ini?”

“Bawang.”

Sambil mengumpat, Eirik meraih ke bawah dan menarik Eadyth berdiri. Awalnya, ia hanya memandang tak percaya pada benda putih setengah bulat di tangan Eadyth, lalu pada bawang yang membuat mata Eadyth mulai mengeluarkan air mata yang membasahi wajahnya.

“Ya Tuhan! Apa kau sungguh berani melumuri tubuhku dengan potongan bawang yang bau ini? Apa ini lelucon yang kau mainkan padahal tubuhku sedang menderita?”

“Bukan, semua orang tahu bawang adalah cara terbaik untuk mengurangi bengkak akibat sengatan lebah.”

Well, semua orang boleh pergi ke neraka.” Eirik menyambar tangan Eadyth dan menariknya ke bak. Ia menyodorkan selembar kain dan sebatang sabun, memerintah, “Kau akan membasuh setiap tetes dari benda itu dari kulitku atau aku akan menyumpal tenggorokanmu dengan bawang itu sampai perasannya keluar dari telingamu.”

Eirik berendam dalam air hangat itu, lalu seketika terperanjat berdiri. “Aduh! Rasanya panas seperti neraka. Ada apa di air ini?”

“Garam.”

Melangkah keluar dari bak, eirik mencengkram lengan Eadyth dan mengangkatnya dari lantai sehingga mereka berdiri sejajar, mata dengan mata, hidung dangan hidung.

“Kau akan menaburi lukaku dengan garam, juga? Sungguh!, Woman, kau sudah melewati batas kelancangan dan kini memasuki area kebodohan.”

Eirik mengguncangkan Eadyth begitu keras hingga ia tak bisa berpikir jernih, lalu menjatuhkannya tiba-tiba ke lantai. Eadyth melongo memandangnya, wajah tampannya berubah menjadi topeng jelek kemarahan.

“Apakah kau suka aku menggosok tubuhmu dengan pasir, lalu membenamkannya di dalam air garam?”

“Kau pasti bercanda.”

“Oh, benarkah?”

Eadyth mundur, tergagap berkata dengan cepat, “Kau hanya mengerti... jangan menyentuhku... oh, sekarang kau membuat gaunku basah... hentikan... garam akan mencegah bekas sengatannya bengkak dan bernanah... sungguh, dengarkan aku... oh, kau keparat menyeb...”

Eadyth tak bisa berkata apa-apa lagi karena Eirik mengangkatnya dan mencemplungkannya, lengkap dengan pakaiannya, ke dalam bak, lalu membenamkan kepalanya di bawah air. Eadyth muncul megap-megap, hanya mendengar Eirik berkata, “Saat kau di sana, cucilah minyak menjijikan itu dari rambutmu. Bau.” Sebelum Eadyth sempat memjawab, Eirik membenamkan kepalanya lagi dn menahannya begitu lama sehingga hidungnya mulai terbakar.

Ketika Eadyth akhirnya muncul ke permukaan, dengan wajah pucat karena marah, rambutnya terkulai basah di balik topi bercadarnya yang basah kuyup dan gaun wolnya membuat genangan besar di lantai yang dilapisi jerami. “Kau... kau... kau,” ia tergagap, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan tindakan keji Eirik.

Dan Eirik hanya berdiri di sana sepenuhnya telanjang dalam keindahannya, berkacak pinggang, kaki terbentang dengan arogannya, tertawa terbahak-bahak. Ketika rasa gelinya berakhir, ia berkata dengan dingin, “Well, aku sekarang merasa lebih baik.”

“Dasar katak.”

Masih tertawa, Eirik melemparkan kain linen pada Eadyth untuk mengeringkan dirinya dan mengisyaratkannya untuk duduk di sebuah bangku. Eirik mengenakan celana panjang dan kemeja berlengan panjang, dan berkomentar masam, “Sekarang kita akan membicarakan pengkhianatanmu, dan apa yang akan kita lakukan pada pernikahan kita yang tak serasi ini.”

Eirik berjalan ke sebuah meja kecil di dekat ranjangnya dan mengambil selembar surat yang sudah kusut dari lacinya. Ia merapikan surat itu di atas permukaan meja, lalu berbalik dan menyerahkannya pada Eadyth tanpa bicara sepatah kata pun. Alih-alih, ia berjalan ke seberang ruangan dan bersandar di tembok, menunggu Eadyth selesai membaca surat yang berisi kata-kata yang menuduh itu. Kulitnya terasa gatal bukan main, tapi ia tidak mau menggaruknya, atau membubuhkan jus bawang, atau air garam. Ia akan menunggu sampai nanti dan mengirim Wilfrid pergi ke tabib wanita di daerah itu untuk meminta salep.

Well?” tanyanya akhirnya ketika Eadyth menekuni surat itu cukup lama. “Apa tak ada yang mau kau katakan?”

“Dari mana kau dapatkan surat ini?”

“Britta menemukannya di bawah kasurmu.”

Eadyth mendongak memandang Eirik, ketakutan memenuhi wajahnya. Eirik menggeleng tak percaya. Eirik tampak seperti tikus yang tenggelam dengan rambut abu-abu berminyak yang menggantung dalam gumpalan-gumpalan di balik topi bercadarnya yang basah kuyup, air mata karena bawang mengaliri wajahnya.

“Kau sadar apa artinya ini, Eirik?” tanyanya gelisah. “Steven, atau salah satu orangnya, telah masuk ke dalam kastil ini.”

“Katakan hal yang lain, bukan yang sudah kutahu,” balas Eirik sinis, “seperti ke mana saja kau selama empat hari ini. Dan dengan siapa.”

Eadyth mengabaikan pertanyaan Eirik itu seolah-olah itu tak penting. “Di Hawks’ Lair. Kau sudah tahu itu. Tapi maksudku adalah kita harus berhati-hati kalau Steven bisa begitu mudah memasuki kastil ini. Dia bisa mengambil... oh, Tuhanku, dia bisa saja mengambil John.”

“Ya, dia bisa. Persis seperti yang kau rencanakan.”

Kening Eadyth berkerut bingung. Oh tuhan, pelacur pendusta ini pintar sekali bersandiwara. Ia nyaris percaya wanita itu tak bersalah. “Aku tak pernah mengharapkan keperawanan, Istriku, tapi aku juga tak mengharapkan dibodohi secepat itu setelah ikrar pernikahan di ucapkan.”

“Apa maksudmu?” tanya Eadyth kaku. “Apa maksudmu kau percaya dengan semua kebohongan yang ada di surat ini? Maksudmu aku sudah... berselingkuh dengan pria yang berusaha merampas anakku?”

“Semua fakta mengarah ke sana. Dan aku hanya punya ucapanmu bahwa dia berusaha mencelakakanmu,” balas Eirik, mengangkat bahu, sambil berjalan ke arah Edyth dan menyambar surat dari tangannya. “Bertahanlah, cinta, hanya sebentar lagi saja sampai kita bisa bersama...” Eirik membaca surat itu dengan suara dibuat-buat, kemudian, “Suami hatimu, Steven.

Eadyth berdiri seketika, menjatuhkan bangku yang didudukinya. Bercak-bercak merah jambu karena marah memenuhi pipinya saat ia membentak. “Kau pikir aku pelacur Steven?” Ketika Eirik tak menjawab, Eadyth mengumpat pelan, lalu berteriak dalam suara lengkingan marah. “Keparat! Satu-satunya kalimat yang benar di surat ini adalah sebutan Steven padamu sebagai Hewan buas dari Ravenshire. Ya, kau binatang karena berpikir sekotor itu tentangku.”

Air mata menggenangi mata Eadyth, tapi Eirik tetap tak tersentuh. Wanita itu sudah menipunya, dan itu tak bisa dibiarkannya.

“Setelah mengenal betapa jahatnya Steven, kenapa kau tak melihat bahwa surat ini adalah rencana busuknya? Untuk memecah belah kita karena kita menghalanginya dari mendapatkan anaknya. Dan dia berhasil, berkat kebodohanmu.”

Eadyth berbalik dan tergopoh-gopoh menuju pintu, secepat kakinya membawanya, terhalang oleh pakaiannya yang basah kuyup. Untuk sesaat, Eirik menimbang apakah ia menilainya dengan tidak adil, tapi lalu ia teringat hal lain, bagian paling penting dalam surat itu.

“Apa kau mengandung? Anak Steven... lagi?”

Eadyth terkesiap dan punggungnya menegang. Lalu ia menoleh perlahan dan mata ungunya berkilat dingin, mata yang luar biasa indah untuk seorang wanita tua, pikir Eirik tidak pada tempatnya.

“Tidak, aku tidak sedang hamil. Tidak kecuali kau percaya aku bisa menghamili diriku sendiri.”

Kesinisan Eadyth membuat Eirik gusar. Eadyth tak punya alasan untuk merasa terhina. Eirik-lah pihak yang menjadi korban.

“Aku tak mau menampung satu lagi anak haram Steven,” katanya. “Satu sudah cukup.”

Pipi Eadyth semakin memerah, dan Eirik melihat tinjunya mengepal di sisi tubuhnya. Lalu Eadyth meraih sarung pisau di sabuknya, lupa bahwa pisau kecilnya masih tergeletak di meja di ujung terjauh. Eirik tak serabun itu sehingga ia bisa melihat spekulasi di mata Eadyth yang mengukur jarak, bertanya-tanya apakah wanita itu akan cukup punya waktu untuk meraih pisau tersebut dan menikamnya.

“Jangan berani memikirkannya, atau kau akan menemukan tenggorokanmu tergorok sebelum kau berkedip.”

Eadyth menyerah pada alternatif itu, mengangkat dagunya dengan menantang, memandang Eirik tanpa sepatah kata pun. Kalau saja wanita itu tahu betapa konyolnya penampilannya dengan muka masamnya dan pakaian basahnya yang membuat genangan di tikar rumput, pikir Eirik.

“Pernikahan ini tak akan disempurnakan sampai kau mendapatkan tamu bulananmu dan aku tahu pasti kau tak mengandung bibit buruk itu.”

“Dan kalau kau salah?” ejeknya, suaranya meninggi.

“Aku akan memutuskan saat itu apakah aku mau hidup dengan satu lagi istri yang palsu.”

“Satu lagi?”

Eirik seketika menyadari kesalahannya, tapi tak mau menjawab pertanyaan Eadyth.

Eadyth mengamati Eirik dengan angkuh, lalu mengulangi pernyataannya. “Aku tak hamil.”

Eirik hanya menaikkan satu alisnya tak percaya.

Wajah Eadyth merah padam, tapi ia tetap memandang mata Eirik dengan berani. “Aku sedang datang bulan sekarang.”

Hal itu membuat Eirik terkejut. Mungkinkah ia salah? Tapi bertahun-tahun pengkhianatan Steven telah mengajarinya untuk selalu curiga. Ia tak bisa menahan dirinya untuk terus mendesak, “Bagaimana aku tahu kau tak bohong?”

Bibir Eadyth melengkung mengejek. “Apa yang harus kulakukan, My Lord? Mengangkat rokku dan menunjukkan padamu kain pembalutku?”Ejekan Eadyth melucuti Eirik. Itu dan sikapnya yang menunjukkan harga diri yang terluka.

“Ya, itu awal yang bagus.”

Eadyth mundur ke arah pintu, matanya membelalak takut pada saran Eirik. “Kau... kau tak mungkin memintaku melakukan itu,” ia tergagap dengan suara gemetar tak percaya.

“Jangan berani bertaruh. Kemari Eadyth, dan buktikan kau tak bersalah.”

Eadyth terkesiap dan berbalik dengan cepat, tangannya di pintu, tapi Eirik bergerak lebih cepat dan menempatkan tubuhnya di jalan keluar, menghalangi Eadyth. Eadyth melompat ketakutan menjauhi Eirik, seperti kucing yang terancam, dan bergerak ke tengah ruangan, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari senjata, tapi sia-sia.

“Oh, tidak, tolong, jangan lakukan ini. Kau salah menilaiku. Aku bisa menj...”

Eirik memotong kata-kata Eadyth yang nyaris histeris saat ia mengangkat pinggangnya dan melemparkannya ke ranjangnya dengan suara jatuh yang keras. Eirik menyusul setelahnya, saat lengan Eadyth menggapai-gapai, memukul dan menggaruk kulitnya yang sudah iritasi.

Mengabaikan mata Eadyth yang besar dan memelas seperti rusa, Eirik menindih tubuh Eadyth dengan lututnya, memaku tubuh istrinya di tempat, dan mengunci kedua tangannya di atas kepalanya dengan satu tangan. Walaupun Eadyth ketakutan dan berusaha melepaskan diri, dagu wanita itu tetap terangkat menantang seperti martir.

Eirik bimbang. Bagaimana kalau Eadyth tak bersalah?

“Katakan yang sebenarnya, Istriku, apakah kau pernah, menipuku, sejak kita menandatangani kesepakatan pertungangan?”

Dalam keheningan mencekam, Eadyth tak bicara untuk sesaat, mengalihkan matanya dengan bersalah. Saat ia mulai bicara dengan ragu, “Ada satu hal kecil...” di pikiran Eirik, itu sudah terlambat. Kebimbangannya sudah menjadi bukti.

Eirik mendengus marah dan menindih Eadyth lebih kencang di ranjang dengan tubuhnya.

“Kau hewan liar, aku tak akan memaafkanmu. Lebih buruk lagi, kau tak akan memaafkan dirimu sendiri saat kau menemukan kebenarannya.”

“Tidak, aku tak akan memaafkan diriku sendiri kalau aku tak memastikan apakah kau mengkhianatiku.” Eirik yang kalap karena marah, menyibakkan jubah Eadyth ke atas pinggangnya, menampakkan kakinya yang panjang.

Dan kain berdarah di antara pahanya.

Eirik mendongak dan melihat air mata malu mengalir di mata Eadyth yang terpejam. Suara berisik di dalam kepalanya menyuruhnya untuk melepaskan Eadyth, agar puas dengan bukti yang dilihatnya, tapi kemarahan yang menggelapkan mata telah menguasainya. Darah bergemuruh di telinganya saat ia mencapai titik batas. Ia sudah berada di ujung yang salah akibat kejahatan Steven yang terlalu lama untuk bisa puas tanpa bukti yang sempurna. Bahkan kain berdarah bisa dimanipulasi untuk menipunya.

Dengan kasar, Eirik meraih ke bawah dan mencabik kain pembalut dari tubuh Eadyth dan melemparkannya ke rush rumput. Lalu, dengan sigap, sebelum Eadyth sempat berpikir apa yang akan dilakukannya. Eirik menggunakan kedua kakinya untuk membentangkan kedua paha Eadyth dan memasukkan jari tengahnya ke tubuh Eadyth.

Eadyth menjerit saat itu, keras dan menyayat. Eirik tak tahu apakah itu karena malu, atau karena nyeri, karena jalan masuknya itu kering dan sempit bahkan untuk satu jarinya.

Kesadaran melandanya, bahkan sebelum ia menarik jarinya dan melihat bukti darah itu. Eadyth tidak mengandung anak Steven.

Eadyth berbaring dengan kaku, berusaha keras mengendalikan isak tangis yang mengguncang tubuh kurusnya. Mata biru pucatnya memandang kosong ke langit-langit.

Eirik melompat dengan ngeri dan berjalan ke tembok di dekat jendela. Dengan marah, ia meninju tembok batu itu sampai tangannya berdarah.

Ia tak pernah merasa begitu rendah dan memalukan seumur hidupnya.


Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar