Ia harus menunda meniduri istrinya yang tua itu. Sial, atau untunglah?...
Eirik dan tamu-tamunya duduk mengitari sebuah meja kecil di ruang pribadi, nampan-nampan kosong disisihkan dan lebih banyak arak dituang ke gelas mereka.
"Raja memintamu segera datang," kata Oswald. "Walaupun dia tahu hari ini kau menikah, tapi dia yakin situasi segenting ini membutuhkan tindak lanjut secepatnya."
"Aku dengar kemarin malam dari pengelana yang lewat bahwa ada usaha pembunuhan lain terhadap Edmund," kata Eirik, mengusap kumisnya sambil merenung. "Racun, kali ini."
Tiga pria itu mengangguk muram.
"Dan apakah adiknya Edred... anak haram yang licik itu... yang bertanggung jawab?"
"Sepertinya begitu," jawab Robert, "walaupun tak bisa dibuktikan, tentunya." Pria itu menggeleng dengan sedih. "Raja kita bisa hidup seminggu lagi atau seratus tahun lagi. Tak ada yang tahu pasti, kecuali Tuhan, tapi banyak yang mengatakan bahwa Edmund tak akan berumur panjang, dengan serangan yang semakin bertubi-tubi."
Eirik sudah sering mendengar hal itu tapi masih tetap sedih memikirkan kemungkinan kehilangan orang yang begitu baik. Walaupun masih muda, Edmund sungguh-sungguh berusaha mengikuti jejak kakaknya Athelstan, sang prajurit dan ilmuwan, Raja Pertama Seluruh Britania.
"Para burung pemangsa sudah menunggu kematian Edmund untuk memecah belah kerajaan," lanjut Robert, "dan komplotan busuk itu dipimpin orang-orang seperti Steven of Gravely."
Punggung Eirik menegang mendengar nama musuh besarnya disebut, tapi ia tak mengatakan apa pun.
"Bahkan saat memerangi para penyerangnya, Edmund mencemaskan arus baru bangsa Norseman dari Irlandia," tambah Robert, mengusap rambutnya dengan gugup.
"Dan orang-orang seperti ular berbisa yang menempati aulamu itu yang membuatnya begitu resah," tuduh Oswald.
Eirik bergidik. "Apa kau mempertanyakan kesetiaanku pada pemimpinku?" tanyanya marah.
"Tidak," kata Oswald, tampak menciut, wajahnya memerah karena kata-katanya yang terlalu buru-buru. "Tapi menggetarkan melihat orang-orang yang akan melahap raja kita duduk di aulamu, menjadi temanmu."
"Oh, jangan bilang teman. Lebih seperti... bagaimana aku menyebutnya? Mari kita sebut saja ekspedisi memancing."
"Dan kau si paus?" tanya Oswald sambil tertawa.
Mereka semua tertawa, dan postur Oswald yang tegang mengendur saat ia berkomentar, "Aku bertanya-tanya makhluk laut apa lagi yang akan mereka jerat saat mereka memancing air yang bermasalah di Notrhumbria."
"Pasti akan ada banyak," balas Eirik. "Kita semua tahu Anlaf begitu menginginkan kekuasaan Norse di Northumbria."
"Pasti akan ada banyak," balas Eirik. "Kita semua tahu Anlaf begitu menginginkan kekuasaan Norse di Northumbria. Dan banyak yang akan mengikutinya untuk menjatuhkan penguasa Saxon."
"Dan si licik Wulfstan itu mendukungnya, aku bertaruh," si pendeta menambahkan dari sudut tempatnya duduk, dengn diam-diam menekuri araknya.
"Ya, memang," Eirik mengakui. "Dia sudah lama mendukung misi Norse dari mimbarnya di Jorvik, dan terlebih lagi dalam pertemuan-pertemuan rahasianya di sepanjang Shires."
"Dan Orm?" tanya Oswald hati-hati, tahu bahwa Earl Orm dan Eirik sama-sama keturunan Norse. "Apakah dia bergabung dengan misi mereka atau dia bermain dengan kedua sisi koin, seperti biasa, menunggu ke arah mana angin meniup?"
Eirik menimbang kata-katanya dengan cermat sebelum menjawab. "Aku tahu bahwa Orm, dan juga Wulfstan, lebih menyukai pamanku Eric Bloodaxe ketimbang Anlaf. Eric merayu para bangsawan Norse di Northumbria, mengiming-imingi mereka dengan kemungkinan Northumbria yang merdeka di bawah raja dengan darah biru. Jadi ya, kupikir akan akurat mengatakan bahwa Orm dan Wulfstan mendukung infiltrasi Norse, entah dari Dublin atau dari Orkneys."
"Orkneys... itu tempat Eric Bloodaxe mengumpulkan pasukan sejak pamanmu yang lain, Haakon, mengusirnya dari Norwegia, kan?" tasnya Oswald.
"Ya, dan Eric adalah keparat yang haus darah. Tapi banyak yang melihat potensi lain dalam dirinya."
"Apakah kau akan ikut bersama kami malam ini? Apakah kau akan menjawab panggilan rajamu?" tanya Oswald akhirnya.
"Aku masih tak mengerti. Apa yang raja pikir bisa kulakukan untuk mencegah ancaman Norse? Pasukan sudah dikumpulkan di sepanjang Northumbria, hari demi hari, bahkan dari seberang lautan, hanya menunggu kematian raja sebelum mulai bergerak."
"Ini karena kau orang Saxon sekaligus Viking sehingga raja berpikir kau bisa campur tangan. Walaupun Malcolm sudah bersumpah setia padanya. Raja tak percaya padanya. Edmund harus berusaha mengorek perasaan Malcom yang sebenarnya, mencari tahu apakah dia merencanakan pengkhianatan sekali lagi. Sejujurnya, Raja berharap untuk mencegah pertikaian, dan dengan Malcolm di belakangnya, masih ada kemungkinan itu. Begitu Malcolm melanggar sumpahnya, pertumpahan darah pasti terjadi."
Eirik melihat kata-kata mereka masuk akal tapi ia masih menolak menjadi utusan.
"Ikutlah bersama kami malam ini dan berikan kesempatan kepada Edmund untuk menyuarakan permintaannya," bujuk Oswald. "Biarkan dia menjelaskan detailnya padamu."
Pendeta itu berdiri dan berjalan perlahan ke sisi Eirik di mana ia menyerahkan padanya paket berbungkus kulit. "Edmund mengirimkan hadiah ini untukmu," ujar pendeta itu pelan. "Dia bilang kau akan tahu seberapa besar dia butuh bantuanmu ketika kau melihatnya."
Bahu Eirik membungkuk lunglai ketika mengenali kalung salib yang ada di dalamnya. Walaupun seorang kolektor benda antik, King Athelstan paling menyukai kalung salib yang ini karena berisi bulu mata dari santa kesukaannya, St. Cuthbert. Ia mewariskannya pada Edmund di hari kematiannya. Memberikannya pada Eirik, berarti Edmund mengatakan pada Eirik betapa ia menghargainya. Tapi, lebih dari itu, Eirik tahu Edmund tak akan mau berpisah dengan kenangan kakaknya yang berharga ini kecuali ia merasa hidupnya atau nasib kerajaannya bergantung padanya.
Pada saat itu, Eirik menerima bahwa ia harus mematuhi keinginan rajanya. Bahkan jika itu berarti menelantarkan istri barunya.
Ya Tuhan! Pikirnya muram, tersenyum sendiri, kalau wanita cerewet itu sudah bermulut pedas sebelumnya, sekarang ia akan mengamuk. Mungkin ia akan meminta adiknya Tykir untuk memberitakan keberangkatannya pada istrinya. Tidak, putusnya seketika, itu bukan tugas yang harus dilakukan oleh orang lain.
Ia berdiri seketika. "Istirahatlah dan tambah minuman kalian. Aku akan bersiap untuk perjalanan kita."
Di luar ruangan, ia memberitahu Wilfrid, "Kirimkan pelayanku untuk membantuku menyiapkan keberangkatanku. Dan beritahu Sigurd dan Gunner mereka akan menemaniku dengan enam orang pasukan sesuai pilihan mereka."
"Dan Lady Eadyth? Apa yang harus kukatakan padanya?"
Eirik memutar matanya. "Katakan padanya untuk datang ke kamarku."
Bisakah wanita bergairah?...
Eadyth tak nyaman berada di aula utama begitu Eirik pergi. Oh, ia tahu bahwa dengan pernikahan mereka seharusnya kini ia berperan sebagai Lady of Ravenshire, tapi para tamu itu lebih dari sekadar menampakkan bahwa mereka tak menghormatinya sebagai nyonya rumah.
Para ksatria Eirik dan pelayan rumah menghormatinya. Bahkan, beberapa dari mereka tampak siap membelanya jika para tamu bangsawan itu melecehkannya lebih jauh. Tampaknya, Eirik sudah memberikan perintah sejak perjamuan pertunangan yang kacau itu bahwa para pengikutnya harus memperlakukannya dengan hormat, seperti yang layak didapatkan Eadyth sebagai istrinya.
Para tamu bangsawannya tak harus mengikuti kewajiban yang sama. Saat Eadyth berjalan di antara mereka, mengisi ulang gelas arak mereka, dan berbasa basi, Eadyth dapat melihat dengan sangat jelas bahwa masa lalunya yang penuh skandal tak akan mereka lupakan.
"Lady Eadyth, apakah kau akan datang ke istana setelah kau menikah?"Aldgyth, putri Earl Orm, bertanya dengan menyindir, melayangkan pandangan pada para wanita lain yang duduk di sebelahnya, mencibir dibalik sikap malu-malu mereka. Ayahnya berada di sampingnya, berbicara dengan semangat dengan Anlaf dan Uskup Agung Wulfstan, bersama dengan para ksatria yang menemani istri-istri mereka yang menjadi tamu.
Eadyth mengangkat bahunya. "Aku tak begitu berminat untuk berpartisipasi dalam dewan istana King Edmund, walaupun para ilmuwan dan seniman yang dikumpulkannya di sana sangat menarik."
Seorang lady berkomentar, "Ya, kau memang terlihat seperti wanita yang suka membaca buku." Komentar itu disampaikan dengan sangat mengejek, dan beberapa wanita terkekeh seolah-olah mereka berbagi lelucon pribadi.
"Tapi, Lady Eadyth," lanjut Aldgyth, "apa tak ada alasan lain untuk datang ke istana, selain dari menambah ilmu? Misalnya..." ia menjentikkan tangannya yang cantik di udara saat kata-katanya mengambang.
"Misalnya seperti apa?" tanya Eadyth curiga dengan suara sedingin es.
"Oh, seperti... bertemu kenalan lama."
Eadyth menyadari bahwa Adgyth membicarakan tentang ayah anaknya dan rumor tentang skandal hubungannya dengan beberapa bangsawan yang tak dikenal. Akankah itu tak pernah dilupakan? Atau dimaafkan? Tampaknya, pengakuan Eirik sebagai ayah John tak meyakinkan siapa pun.
"Adgyth, mari kita sama-sama berterus terang," kata Eadyth dengan menahan kesabaran, mirip seorang ibu yang berbicara pada anaknya yang bengal. "Aku mengalami musibah bertahun-tahun lalu karena jatuh ke pelukan seorang pria tampan." Well, itu tak sepenuhnya salah. Fakta bahwa orang yang dimaksud adalah steven, dan bukan Eirik, tak perlu disebutkan. "Kebodohanku melahirkan putraku John, yang sangat kusayangi. Sekarang, kau boleh memilih untuk memercayai bahwa aku mendambakan pria lain, tapi aku berharap pernikahanku hari ini akan mengakhiri cerita-cerita itu. Tampaknya, aku masih bodoh, karena aku tak mempertimbangkan beberapa orang yang berhati jahat."
Mata Adgyth menyapu ke arah para wanita itu untuk memberitahu mereka bahwa Eadyth membicarakan mereka semua. Wajahnya memerah terang dan dagunya terangkat dengan angkuh seolah-olah ia tak peduli bagaimana anggapan Eadyth tentangnya, tapi para wanita lain cukup tahu diri dengan menundukkan wajah mereka dengan malu. Salah satunya bahkan bergumam pelan, "Maafkan saya, Lady Eadyth," saat ia melangkah meninggalkan mereka dan menuruni panggung.
Wilfrid mendekatinya, kecemasan menghiasi wajah tampannya. "Lady Eadyth, My Lord memintamu datang ke kamarnya segera. Dia harus bicara padamu. Aku akan tinggal untuk menemani para tamumu."
Dengan resah, Eadyth bergegas menuju tangga dan melewati koridor yang diterangi obor menuju ke kamar suaminya. Eadyth merasakan bahwa panggilannya ini terkait dengan utusan King Edmund, dan itu yang membuat perasaannya tak enak.
Ketika mengetuk, lalu memasuki kamar Eirik yang luas, Eadyth harus mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan matanya dengan kegelapan. Beberapa lilin dan obor di dinding nyaris tak mampu menerangi kamar itu, dan tak ada api di perapian pada malam di bulan Mei yang hangat ini.
Ketika pandangannya menjadi jelas, Eadyth mundur dengan terkesiap.
Eirik berdiri bertelanjang kaki dan dada, hanya mengenakan celana ketatnya yang menggantung rendah di pinggangnya. Bahu lebar dan dadanya yang berotot, ditumbuhi bulu hitam selembut sutra, meruncing sampai ke pinggangnya yang langsing. Puncak dada coklat rata di tengah otot yang terpahat sempurna menarik perhatiannya, dan Eadyth merasakan gelenyar aneh di payudaranya.
Dibesarkan di rumah yang penuh pria petarung, ia lebih banyak melihat banyak pria dengan tingkat ketelanjangan yang berbeda-beda. Tapi suami barunya ini adalah spesimen yang langka dan indah, Eadyth harus mengakui.
Oh, Tuhan.
Ia memaksa dirinya berkonsentrasi pada hal lain. Eirik sedang berbicara pada adiknya sementara seorang pelayan meletakkan jubah dalam berbantalan, baju perisai lentur sepanjang lutut dengan tudung dan perisai kaki yang serasi, sepatu bot kulit bertanda salib, helm, dan perisainya yang berukir hiasan gagak, dan semua perlengkapan seorang prajurit.
Sebelum Eadyth sempat bertanya tentang perlengkapan tempurnya, seseorang berkata, "Cium aku, sayang."
"Apa?" ia terkesiap, memandang dengan bertanya pada Eirik di dekat lekukan yang gelap. Eirik baru saja menoleh, baru menyadari kedatangan Eadyth.
"Tunjukkan kakimu."
"Apa katamu?" tanya Eadyth dengan dingin, malu bahwa Eirik memintanya melakukan hal seperti itu, terutama di hadapan pelayan dan adiknya. Tabiat aslinya akan segera muncul rupanya.
"Cium aku, Sayang."
"Cium dirimu sendiri, Bodoh," seru Eadyth, wajahnya memerah karena malu. Apakah Eirik sedang mabuk? Eadyth bertanya-tanya. Suaranya terdengar aneh dan berbeda.
Eirik dan Tykir tertawa saat menyadari sesuatu di antara mereka. Eadyth berdiri dengan salah tingkah dan tak sabar, tak senang ditertawakan.
Ketika Eirik akhirnya melompat ke tempat tidur dan Tykir menyeka matanya dengan punggung tangan, Eadyth melihat sebuah kandang besar di belakang mereka yang berisi seekor burung besar yang bulunya beraneka warna cerah.
"Oh," katanya senang, mendekat. Ia pernah melihat burung seindah itu yang datang dari Timur di pasar Jorvik, tapi tak pernah begitu dekat.
"Wanita jahat!" burung itu memekik. "Apa kau mau melihat bokongku?"
Eadyth melompat mundur terperanjat mendengar kata-kata vulgar itu. Ia menoleh ke arah dua kakak beradik itu. "Hewan berlidah tajam milik siapa ini?"
"Milikmu," jawab Tykir sambil tertawa, menepuk bahunya. "Ini hadiah pernikahanku untukmu."
"Milikku?" tanya Eadyth ragu, tak yakin apa dia senang dengan hadiah itu, dan enggan menerimanya. "Apa yang akan kulakukan dengan burung bermulut kotor ini? Apa kau mengajarinya bicara?"
"Wanita jahat!" burung itu kembali berkoak dengan suara yang menyerupai suara manusia. Burung itu punya bakat khusus menirukan suara yang didengarnya, terutama suara Eirik.
Eadyth memandang burung itu dengan curiga. Tentunya, gumpalan berbulu itu tak punya akal.
Tykir tertawa. "Orang-orang di kapalku menghabiskan waktu berjam-jam selama masa pelayaran untuk mengajari Abdul kata-kata itu. Jangan salahkan aku. Setidaknya, aku yakin kau bisa membujuknya mengucapkan kata yang lebih sopan. Apa kau menerima hadiahku, Sister?"
Eadyth memandang burung itu waspada, tak yakin apakah binatang itu bisa diperbaiki. Abdul mengangkat paruhnya dan balas memandangnya dengan arogan. Ketika akhirnya Eadyth melunak dan menganggukkan kepalanya, burung itu berkata dengan kasar, "Tunjukkan kakimu."
Eadyth pun tertawa saat itu.
"Bukankah setidaknya aku layak mendapat ciuman karena memberikanmu kado?" tanya Tykir dengan pura-pura malu.
"Ya," kata Eadyth, bergerak mendekat. "Ini hadiah yang bagus... yang sangat tidak biasa, tapi sepertinya aku akan menyukainya."
Sebelum ia sempat bereaksi, Tykir mengangkat pinggangnya sehingga ia berdiri sama tinggi dan mencium bibirnya dengan ringan. Lalu memeluknya dengan erat nyaris membuatnya tak bisa bernapas.
"Cukup," kata Eirik akhirnya, menarik paksa istrinya dari pelukan Tykir. "Bermainlah di tempat lain."
Ketika Tykir menyeringai jahil pada kakaknya, Eirik memberitahunya untuk membawa pelayan itu keluar bersamanya. "Aku ingin bicara dengan istriku. Berdua."
Begitu pintu tertutup, Eadyth menoleh pada suaminya, berhati-hati untuk tetap berada di tempat yang gelap, jauh dari penglihatan Eirik. "Apa maksud semua ini?" ia mengibaskan tangannya menunjuk pada semua perlengkapan tempur yang dipersiapkannya.
"King Edmund memanggilku."
Eadyth memberengut. "Malam ini?"
"Ya. Dia mengutusku dalam misi penting. Tampaknya aku tak bisa menundanya."
"Tentu saja, kau harus pergi kalau dibutuhkan."
Eirik memberengut, tampak tak senang dengan sikap Eadyth yang begitu mudah menerima perpisahan mereka di malam pernikahan mereka.
"Apa Tykir akan pergi bersamamu?"
Eirik mendengus. "Tentu saja tidak. King Edmund bisa menyambutnya dengan memenggal kepalanya."
"Jadi dia akan tinggal di Ravenshire?"
"Tidak, aku ingin dia segera kembali ke Norwegia. Anlaf dan Orm, serta Wulfstan membuat banyak masalah di sini, belum lagi pamanku Eric Bloodaxe. Begitu King Edmund tewas... yang akan segera terjadi kalau para penyerangnya terus bereaksi... pertempuran akan segera pecah. Aku membujuk Tykir untuk menghindari pertempuran kali ini."
"Dan kau sendiri?" tanya Eadyth, anehnya merasa cemas membayangkan Eirik bisa menempatkan dirinya dalam bahaya. "Apakah kau bisa menghindari pertempuran?"
"Aku meragukannya," katanya lelah.
"Itukah alasan Raja memanggilmu?"
Wajah Eirik membentuk ekspresi datar, tak menunjukkan apa pun. Kala itu Eadyth menyadari bahwa suaminya tak sepenuhnya percaya padanya.
"Aku tak ingin membicarakan rencana Edmund lebih lanjut. Banyak hal lain yang harus kubicarakan denganmu."
Eirik melanjutkan dengan menjelaskan bahwa ia hanya akan membawa beberapa orang bersamanya. "Wilfrid akan tinggal untuk mempertahankan kastil ini jika sewaktu-waktu ada bahaya. Aku juga mulai merekonstruksi dinding kastil. Biarkan tukang batu yang kau bawa dari Hawk's Lair melanjutkan kerjanya. Dia tahu bagaimana harus melanjutkan."
Eadyth mengangguk, mendengarkan dengan saksama semua instruksi Eirik tentang cara mengurus kastil sehari-harinya.
"Berapa lama kau akan pergi?"
"Aku tak yakin. Kuharap tak lebih dari enam minggu."
Eadyth mengangguk. "Mungkin kalau ada kesempatan, kau bisa mendapatkan restu Edmund pada pernikahan kita, mengukuhkan pengakuanmu sebagai ayah dari anakku."
"Aku juga memikirkan hal yang sama, dan kalau Witan sedang bersidang aku akan mengajukan petisi resmi ke hadapan mereka. Tapi kusarankan kau segera membiasakan menyebut John sebagai anak kita kalau kau ingin orang-orang percaya."
Eadyth berpikir untuk memberitahunya tentang para wanita bangsawan di bawah, yang tak percaya sedikit pun dengan pengakuannya, tapi memutuskan Eirik sudah memiliki terlalu banyak masalah untuk dipikirkan saat ini."
Eirik bergerak ke ranjang dan memungut akerton-nya, kemeja dalam berbantalan yang akan melindunginya dari gesekan gulungan logam di baju bajanya. Eadyth bergerak mendekat dan menawarkan, "Boleh kubantu?"
Eirik memandangnya dengan penuh pertimbangan, memegang pakaian itu di udara, seolah-olah baru menyadari sesuatu.
"Pernikahan ini belum disempurnakan, Eadyth, dan mereka yang berpesta di bawah tahu itu. Bisa berbahaya."
Eadyth tak mampu menahan semburat rasa malu yang memanaskan lehernya dan merambat naik ke wajahnya.
Eirik meletakkan kemejanya kemabali ke ranjang dan bergerak mendekat. "Kita bisa melakukannya dengan cepat sekarang."
"Apa?" Eadyth menjerit dengan waspada. Ia perlu waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi hal itu.
Eirik memegang lengan Eadyth dan menariknya secara paksa ke dalam pelukannya. Eadyth meronta dengan sia-sia, berusaha melepaskan diri dari pegangan Eirik yang sekut besi dan pengamatannya yang mendekat. Bagian ruangan itu gelap, tapi tidak mau mengambil resiko.
"Tidak, aku akan menunggu, My Lord, sampai kita punya lebih banyak waktu. Bahayanya tak terlalu besar, kurasa. Aaku sudah berada di kamarmu cukup lama sekarang hingga beberapa orang mungkin percaya kalau kita sudah melakukannya."
Eirik memandang dengan geli sebelum meletakkan telapak tangannya di dagu Eadyth, memegang erat wajahnya. Tangan Eirik yang lain memeluk erat pinggangnya. Dengan sekali sentakan, Eirik menarik Eadyth ke antara pahanya yang terbentang, dan Eadyth terkesiap pada sentuhan pertama kejantanan Eirik dengan lekukan kewanitaannya, pada belaian dada telanjang Eirik berpadu dengan kain sutra tipis di atas payudaranya.
Eirik tergelak pelan dan mengambil kesempatan dari Eadyth yang terkesiap kaget, menundukkan mulutnya ke mulut Eadyth, menggunakan ujung lidahnya untuk melakukan hal intim yang dilakukannya sebelumnya. Pertama-tama, ia membelai tahi lalat Eadyth dengan ujung lidahnya yang basah itu, lalu menelusuri tepian bibirnya yang terbuka dengan pelan, perlahan, dan mendesah dengan kenikmatan.
Eadyth lupa untuk membungkukkan bahunya. Ia lupa untuk meronta. Ia lupa untuk mengerutkan dahi. Ia lupa untuk memprotes dengan suara cerewet seperti wanita tua.
Sejujurnya, Eadyth lupa segalanya kecuali sensasi manis yang hangat dari bibir Eirik yang bergerak di atas bibirnya, yang menelusuri bibirnya sepuas hati pria itu. Ketika akhirnya mulut Eirik menutupi mulutnya dalam ciuman yang membuatnya lupa daratan, Eadyth tak bisa menghentikan dirinya untuk tidak melengkungkan badan ke arah Eirik. Suaminya menghisap napasnya dalam-dalam, tapi Eadyth tak peduli. Ia membuka bibirnya lebih lebar, menginginkan lebih. Eirik mengerang di bibir Eadyth, lalu menguji daerah baru di mulut Eadyth dengan lidahnya. Eadyth menyambutnya, tak biasa dengan ciuman menggunakan lidah seperti itu, namun semakin menyukainya.
Ketika lidah Eirik merengsek semakin dalam, lalu keluar perlahan, lalu masuk lagi, lutut Eadyth melemas, dan Eirik melepaskan tangannya dari dagu Eadyth, menggunakan kedua tangannya untuk menahan tubuh Eadyth. Ia tersenyum di bibir Eadyth, lalu mendorong menjauh sedikit. Dengan kening merapat di kening Eadyth, Eirik menunggu beberapa saat, dengan mata terpejam, bernapas dengan berat. Ketika akhirnya tenang, Eirik bergerak menjauh dengan tawa pelan, tapi tidak sebelum membelai pipi Eadyth dengan sentuhan penuh sesal.
"Ah, Istriku, kurasa kita lebih cocok dari yang kita duga."
Satu-satunya suara di kamar itu adalah suara api dari obor, yang akhirnya padam karena minyaknya habis, membuat ruangan itu bertambah gelap.
"Kau benar, Eadyth," kata Eirik dengan pelan. "Sekarang bukanlah untuk bercinta dengan tergesa-gesa. Tapi ingatlah... begitu aku kembali aku berniat melanjutkan ciuman kita tadi."
Setelah gairah Eadyth yang menggebu mereda sedikit, ia merasa rapuh, berdiri seorang diri di tengah ruangan itu, menghadapi punggung Eirik. Suaminya berdiri di dekat meja kecil, menuangkan ale ke gelasnya, lalu meneguknya habis sebelum berbalik menghadap Eadyth. Matanya masih berkilat dengan gairah, dan tonjolan keras di antara pahanya menunjukkan hasrat yang menggebu.
"Tidak," protes Eadyth, teringat untuk menambahkan suara decak dalam suaranya, "kau salah. Hanya ada kontrak di antara kita. Tak lebih. Jangan mengharapkan gairah dariku sebagai teman tidur. Itu bukan tabiatku."
"Bagaimana kau menjelaskan yang baru saja terjadi?" tanya Eirik dengan alis yang terangkat menampakkan raut geli.
"Aku hanya terkejut," katanya lemah.
"Hah! Ingatkan aku lagi untuk memberikanmu beberapa kejutan lain di masa depan, dan kau mungkin akan terbakar kering dengan panas di dalam dirimu."
"Oh, kau kasar sekali"
"Ya."
"Aku bukan wanita liar," seru Eadyth.
"Aku tak pernah berpikir begitu. Kenapa kau pikir merespons ciuman suamimu adalah liar?"
"Itu tak seperti yang kau pikirkan. Itu tak akan terjadi lagi, aku berjanji."
"Oh?" kata Eirik dengan malas, bergerak perlahan dengan sengaja, mendekati Eadyth. "Bagaimana kalau kita menguji airnya sekali lagi dan lihat apakah kau bisa mendidihkannya?"
Eadyth mundur dengan menjerit dan bergerak cepat ke arah pintu.
"Ya, peternak lebah kecil, sebaiknya kau menyingkir sekarang dan kirimkan pelayanku untuk membantuku berpakaian. Kalau tidak, aku takut aku tidak bisa melawan godaan madumu."
"Argh!" seru Eadyth dengan marah dan frustrasi. Ia membanting pintu di belakangnya, nyaris menabrak Tykir yang bersandar di dinding koridor, memeriksa kuku jarinya dengan santai.
"Apa yang terjadi dengan bibirmu, saudariku yang baik?" tanya Tykir dengan perhatian yang berlebihan. "Sepertinya memar. Mungkin kau menabrak dinding."
Eadyth mendorongnya menjauh dengan cara yang sama sekali tak seperti wanita, bergumam. "Kalian keparat menyebalkan. Kalian semua hanya keparat menyebalkan. Mungkin sudah menurun dari keturunan keparat. Mengalir dalam darah kalian. Darah keparat.
Eadyth tak senang dengan tawa Tykir, yang berderai mengikutinya menuruni tangga, atau kata-katanya; "Bayangkan anak-anak garang yang akan dilahirkannya darimu, semuanya keparat yang menyebalkan."
Garis batas di pasir sudah dibuat...
Beberapa saat kemudian, Eadyth berdiri di halaman yang diterangi obor di tengah kuda-kuda, mendoakan keselamatan bagi suami barunya. Bukan hal yang terbayangkan olehnya untuk malam pernikahannya, tapi mungkin ini yang terbaik, putusnya. Penangguhan. Perpisahan mereka akan memberinya waktu menyiapkan dirinya sendiri, dan Eirik, untuk mengetahui penipuan Eadyth yang tak terhindarkan.
Sejujurnya, Eadyth takjub, dan waspada, bahwa apa yang dimulainya sebagai sandiwara yang tak berbahaya telah meningkat menjadi porsi yang menakutkan.
Dan pria di depannya sekarang memang menakutkannya.
Ini bukan Eirik yang tertawa dan sering menggodanya. Duduk di atas kuda perangnya yang besar, suaminya tampak seperti kstria yang tangguh. Baju perisai lentur, berlengan panjang nyaris menutupi seluruh tubuh kekarnya, tudung kepala tergantung longgar di lehernya. Tunik tak berlengan terbuat dari bahan wol Yorkshire yang bagus tergantung turun sampai ke lututnya, menambah keindahan mata jernihnya, yang tampak bahkan di halaman yang temaram itu.
Menaikkan peyangga hidung dari helmnya sehingga bisa bicara dengan leluasa, ia menunduk ke arah Wilfrid, pasti memberinya instruksi terakhir. Ketika selesai, Eirik mengisyaratkan pada pelayannya untuk menyerahkan pedangnya yang berat dan perisai dengan lambang gagak padanya. Setelah memasangnya dengan cekatan, Eirik lalu berpaling dan menyadari kehadiran Eadyth.
Dengan gerakan tangan yang sama seperti pada pelayannya, Eirik memanggilnya maju. Eadyth berpikir untuk menentang perintah yang memaksa itu, tapi, alih-alih, ia mengangkat dagunya dengan angkuh dengan cara yang ia tahu membuat gusar Eirik dan melangkah ke samping kuda yang bergerak dengan gelisah. Hewan itu tak mengintimidasnya walaupun ukurannya besar. Eadyth bisa mengendalikan hewan. Manusia liarlah yang membuatnya ngeri, sesekali. Seperti manusia yang bermuka masam di hadapannya sekarang. Ia pasti sulit memanipulasinya.
Eirik menaikkan satu alisnya menanggapi sikap menantang Eadyth, tapi memilih mengabaikan kelancangannya. Alih-alih, ia menginstruksikan padanya, "Wilfrid berwenang untuk menyewa lebih banyak pasukan untuk melindungi kastil. Merupakan tindakan bijak jika kau tinggal di dalam kastil sepeninggalku. Banyak pengkhianatan, dan mereka yang ingin melukaiku bisa berupaya menyakitimu."
Eadyth mengangguk dengan setengah hati.
"Juga, jaga baik-baik Larise. Dampingi dia disepanjang waktu. Begitu pula dengan John. Ingatlah bahwa Steven tak akan menyerah begitu mudah."
Sekarang, bahanya itu bisa dipahami Eadyth.
Dengusan suara kuda menghalangi percakapan lebih lanjut saat anak buah King Edmund semakin mendekat ke arah Eirik. Buru-buru, Eirik menambahkan, "Apa aku perlu mengingatkanmu lagi untuk tinggal di dalam rumah untuk menghindari kontak dengan Gravely?"
Eadyth menggelengkan kepalanya, dan Eirik memberika beberapa instruksi padanya. Ketika ia selesai dan tampak akan membungkuk untuk memberikan ciuman perpisahan, Eadyth berdesis lirih, "Jangan berani-berani memelukku di depan umum. Aku tak akan menurut."
Sebenarnya, Eadyth tak mau mengulangi ciuman yang membuatnya tak berdaya seperti yang terjadi di kamar Eirik beberapa saat lalu. Ia perlu waktu untuk menjernihkan emosinya yang bingung.
Tapi suaminya sepertinya tak peduli dengan perintah dari istri barunya. Ia menelengkan kepalanya dan menantang. "Kau sudah menolakku, Istriku? Kurasa tidak."
Sebelum Eadyth sempat mengedipkan mata, Eirik mengangkatnya, mendudukkannya di pangkuan pria itu di atas kuda dan menciumnya keras-keras, jauh lebih intim dari yang awalnya diniatkannya sebelum Eadyth menentangnya.
Itu bukan ciuman yang menyenangkan, seperti ciuman sebelumnya. Rantai perisainya menancap ke dada Eadyth. Tangannya yang bersarung membuat memar kulit halus di bahu Eadyth. Dan bibir Eadyth menekan begitu kuat dan brutal di giginya, mengucurkan darah. Dengan ciuman itu Eirik tampaknya ingin menunjukkan pada para pengikut dan tamu kehormatannya bahwa ialah sang lord dan penguasa. Dan mengajari Eadyth agar tak lagi menentangnya -di depan umum atau saat mereka hanya berdua.
Eadyth mendidih.
Ketika Eirik menurunkannya secepat ia membopongnya, Eadyth menyeka mulutnya dengan marah menggunakan punggung tangan.
"Apa tak ada yang mau kau katakan, Istriku?"
"Ketika babi menggeram, apa kau perlu merasa perlu merespon?"
Eirik menyentakkan helm penutup hidungnya, menyembunyikan setengah wajahnya, tapi tidak sebelum Eadyth melihat kemarahan di mata pria itu.
"Kau akan menyesali kata-katamu itu, My Lady. Aku akan senang sekali saat kembali untuk mengajarimu cara menghormati suamimu."
Tanpa sepatah kata pun lagi, Eirik berderap pergi bersama dengan anak buah raja dan rombongan kecil pengikutnya.
Persaingan kehendak sudah dimulai.
Next
Back
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar