Home

Jumat, 29 Juni 2018

Honor's Splendour 8



“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
-PERJANJIAN BARU, I TESALONIKA, 5:21

Madelyne duduk di sisi tempat tidurnya, memaksakan kekuatan kembali ke kedua kakinya. Sebuah ketukan ragu terdengar di pintu hanya beberapa menit setelah Duncan pergi. Madelyne berseru dan seorang pelayan memasuki kamarnya. Wanita itu sekurus kertas perkamen yang berparas lesu, dengan bahu yang bungkuk dan garis kecemasan mengernyitkan dahinya yang lebar. Ketika pelayan itu mendekati tempat tidur, langkah-langkahnya menjadi berat.

Pelayan tersebut tampak siap melarikan diri, dan mendadak Madelyne paham bahwa wanita itu mungkin merasa takut. Wanita tersebut terus melontarkan tatapan mendamba ke arah pintu.

Kamis, 21 Juni 2018

One Good Earl Deserves a Lover 3


“Terpikirkan olehku kalau semestinya mempertimbangkan tindakan ini sebelumnya. Bagaimanapun juga... kalau seseorang hendak memahami cara kerja organ dalam angsa, ia harus meneliti angsa jantannya.

Angsa abu-abu yang sudah umum (Anser anser) konon merupakan salah satu jenis angsa jantan yang paling mudah dipelajari dari seluruh genus angsa. Angsa jantan lebih besar dari angsa betina, dengan kepala yang lebih lebar dan leher yang lebih panjang, dan begitu mencapai kematangan seksual, mereka memiliki kecenderungan untuk berprilaku agresif terhadap angsa betina, walaupun kerap kali sulit rasanya membedakan jenis perilakunya.”

Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
22 Maret 1831; empat belas hari sebelum pernikahannya


Demi membela diri, Pippa mengucapkan hal pertama yang terbersit di benaknya. “Dia mengetuk pintu.”

Kamis, 14 Juni 2018

The Tarnished Lady 8


Kemarahan membuat seorang pria gelap mata melakukan tindakan tak terpuji...

“Cium aku, Sayang. Awk.”

“Cium bokongku.”

“Apa kau mau melihat... awk... bokongku?”

Rabu, 06 Juni 2018

Glorious Angel 11


Bab 13

Angela kembali ke sekolah saat sore sudah menjelang gelap dan langsung ke kamarnya tanpa diketahui siapa-siapa. Ia tetap di dalam kamarnya sampai waktunya makan malam. Sejauh ini, sorenya yang menyenangkan tidak terendus siapa pun.

Malam itu saat makan malam, Angela tahu teman-temannya mengira ia akan marah-marah karena mereka telah mengerjainya. Namun ia membuat mereka terkejut dengan senyuman dan sapaan yang hangat dan riang. Ia tahu mereka sangat penasaran. Bagus!

Pada malam harinya, saat Angela perlahan tertidur, berkilo-kilo meter jauhnya di Springfield, Bradford Maitland dibangunkan secara kasar dari tidurnya.

"Ini bagus sekali!" Maudie berteriak saat masuk ke kamar, membuat Bradford terbangun. "Aku pergi sebentar untuk berbelanja dan makan malam sedikit, lalu aku kembali dan ternyata kau memakai gadis itu seharian penuh." Ia berhenti dan memandang kamar itu. "Di mana dia?"

Bradford menggerakkan bahunya. "Aku sudah memintanya untuk tetap di sini, namun dia pasti bosan melihatku tidur. Apa dia tidak ada di bawah?"

"Apa aku akan naik ke sini untuk menanyakannya jika dia ada di bawah?" tukas Maudie sinis. "Apa yang telah kau lakukan sehingga gadis itu lari ketakutan?"

"Diam, dan beri aku kesempatan untuk bangun dulu." Bradford mendengus.

"Aku tidak akan keluar dari sini sampai aku mendapatkan jawaban." Maudie tetap berdiri di samping tempat tidur.

"Well, setidaknya keluar dari sini saat aku berpakaian."

"Tidak ada waktu untuk merasa malu," sergah Maudie geli. "aku sudah melihat ratusan pria tanpa pakaian. Kau tak ada bedanya."

Bradford mengutuk dalam hati. Ia tidak akan memajang dirinya untuk perempuan jalang yang tua dan gemuk itu. Ia pun melingkarkan seprai ke tubuhnya sampai menutupi kemaluannya, melintasi kursi tempat ia melepaskan pakaiannya, kemudian berdiri di balik kursi itu untuk mengenakan pakaiannya.

"Apa-apaan ini?" Maudie bergidik tiba-tiba. "Kau pasti tak akan memberitahuku, kan? Kau akan kabur tanpa membayar lebih."

"Bayar lebih untuk apa?" Bradford menghela napas.

"Dia itu perawan. Kau hanya berpura-pura tidak tahu! Buktinya ada di seprai itu."

Bradford menatap noda pada seprai dan matanya tiba-tiba menyipit menyiratkan amarah. "Apa maksudmu, Maudie? Gadis itu pelacur... dia tahu apa yang dilakukannya. Kau bisa menjelaskan padaku bagaimana bisa seorang gadis menjadi pelacur tapi masih perawan di saat yang sama?"

Maudie mundur sedikit, takut pada pancaran kemarahan Bradford. Namun ia tidak mau dicurangi.

"Apa ada bagian tubuh gadis itu yang berdarah saat kau membawanya ke sini?" selidik Maudie.

"Tidak."

"Lalu, bagaimana kau menjelaskan noda di seprai kecuali gadis itu seorang perawan?"

Bradford melihat ke noda itu sekali lagi, alisnya berkerut karena berpikir. Apakah mungkin? Kemudian ia ingat bagaimana tubuh gadis itu membeku, dan kuku gadis itu yang menghujam punggungnya. Gadis itu juga terlihat takut dan gugup saat memulainya.

"Oh, Tuhan!" seru Bradford. "Apa yang dilakukannya, menyerahkan keperawanannya seperti itu? Dan dia bahkan tidak mendapatkan bayaran... kau yang dapat bayaran!"

"Itu benar. Tapi tidak cukup, tidak cukup untuk seorang perawan."

"Aku tidak minta perawan," Bradford mengingatkan dengan ketus. "Dan aku tidak mau membayar lebih hanya karena gadis kecil itu ternyata perawan."

"Sebaiknya kau melakukan hal yang benar, atau kau tidak akan diterima di klubku lagi," tegas Maudie dengan angkuh.

"Apa yang dilakukan gadis itu di tempatmu ini, jika kau tidak tahu dia seorang perawan?" tanya Bradford.

"Aku sedang menunggu gadis baru dan kukira dia gadis yang kutunggu itu. Dia datang sendirian, dan dia tidak mengatakan apa pun saat aku memberikannya padamu. Dia memang ingin ditiduri. Hanya Tuhan yang tahu kenapa. Dan ada banyak laki-laki yang bersedia membayar lebih untuk memerawaninya."

"Jadi, dia bukan salah seorang gadismu, dan kau malah berusaha membuatku membayar lebih banyak lagi."

"Dia akan menjadi salah seorang gadisku, begitu aku bisa menemukannya. GAdis itu tambang emas baruku. Dia mungkin datang ke tempatku ini karena ingin memulai karirnya. Tapi intinya," Maudie berkata, sambil menggoyang-goyangkan jarinya ke udara, "dia datang kemari untuk mendapatkan pria pertamanya, dan apa pun yang terjadi di tempatku, maka aku yang dapat bayarannya."

Bradford menggeleng-gelengkan kepalanya, namun akhirnya ia mengeluarkan lima lembar uang seratus dolar dan menjatuhkannya ke kursi. "Apa itu cukup?"

Maudie mendekat dan mengambil uang tersebut sementara Bradford mengenakan pakaiannya. "Kurasa ini cukup," jawab Maudie sambil memasukkan lembaran uang tersebut ke belahan dadanya. "Aku heran kenapa kau begitu ribut di awal."

"Kau sudah memerasku lebih dari sepuluh ribu dolar di meja judimu. GAdis itu seharusnya bonus."

"Wah, uang sebesar itu bagimu hanya seperti setetes air di ember. Kudengar keluarga Maitland mampu kehilangan lebih dari itu setiap harinya."

"Bukan itu intinya, Maudie," Bradford berkata sambil mencari rompinya. "Demi Tuhan!" Ia melihat ke sekeliling kamar berharap ia salah, namun ternyata tidak. "GAdis itu mencuri rompiku!"

Maudie tertawa geli. "Kau benar-benar tidak bisa menang hari ini, bukan begitu?"

"Mengapa dia mengambil rompiku dan bukan dompetku? Di dalamnya ada lebih dari lima ribu dolar."

"Mungkin kau memenangkan hati gadis itu, dan dia hanya ingin sebuah kenang-kenangan. Atau mungkin saja, dia tidak bisa menemukan dompetmu, atau terlalu bodoh untuk menemukannya. Lain kali jika kau ada di kota ini, datanglah kemari lagi. Gadis kecil itu akan laku keras di sini, dan jika menurutmu dia layak kau bayar tinggi, kau bisa memakainya lagi."

"Oh, dia sungguh layak, Maudie, dan aku akan minta dia lagi." Bradford menjawab dengan seringai pada bibirnya saat ia mengambil mentelnya dan menuju pintu. "Tapi aku tidak akan membayarmu untuk bisa mendapatkannya. Aku akan menemukannya sebelummu, Maudie, dan itu janjiku."

"Dasar bajingan!" Maudie meneriakinya, namun Bradford sudah berlari ke bawah, suara tawanya menutupi teriakan Maudie.

Bradford langsung menuju ke rumah David Welk, pengacaranya di Springfield, membangunkan pria malang itu dan menggambarkan ciri-ciri Angela. Mereka sepakat akan mencarinya di seluruh penjuru kota. David bahkan menyewa seseorang untuk mengawasi rumah bordil Maudie, kalau-kalau gadis itu kembali ke sana. Bradford terpaksa kembali ke New York keesokan harinya untuk mengurus bisnisnya, jika tidak ia akan tetap tinggal untuk membantu mencari gadis itu. Ia ingin beroleh hasil sesegera mungkin.

Bradford benci misteri, mengapa gadis itu melakukan apa yang dilakukannya? Gadis itu membuat Bradford percaya bahwa ia seorang pelacur, padahal ia belum pernah tidur dengan seorang pria pun sebelumnya. Dan mengapa gadis itu mengambil rompi dan bukan uang?

Bradford merasa harus menemukan gadis itu. Ia ingin jawaban.

Tapi di atas semuanya, ia menginginkan gadis itu. Memikirkannya saja telah menggerakkan hatinya yang terdalam. Ia belum selesai dengan gadis itu. Bagaimanapun caranya, ia akan memiliki gadis itu lagi.



Bab 14

Saat Bradford kembali ke rumahnya di New York, ia menemukan telegram dari David Welk dan pesan dari tunangannya, Candise Taylor. Ia mengabaikan pesan Candise, dan segera membuka telegram David.

TELAH MENEMUKAN GADIS ITU.
NAMANYA ANGELA.
SEPERTINYA AKAN SEGERA
MENINGGALKAN NEGARA BAGIAN INI.
MOHON PETUNJUK.

"Sial!" ia menyumpah keras-keras.

Ia belum bisa kembali ke Springfield, setidaknya untuk beberapa hari ini. Tapi bagaimana jika gadis itu terlanjur pergi? Yang pasti ia tak ingin kehilangan gadis itu.

Bradford dengan cepat menulis instruksi untuk David dan mengirimnya melalui kurir. Ia berharap bisa mempercayai David untuk menjalankan perintahnya. Saat menulis, ia bergumam, Angela... namanya Angela!

***

Di stasiun kereta api, David Welk keluar dari kereta kudanya dan mencari pria yang ingin menemuinya segera. Setelah beberapa saat, ia akhirnya melihat pria itu melambai dari dalam stasiun dan segera menghampirinya.

"Di mana dia?" tanya David.

"Di sebelah sana, Sir, bersama wanita yang lebih tua dan berbaju hijau," pria itu menjawab. "Saya kira anda tidak akan sampai tepat waktu. Keretanya akan berangkat sepuluh menit lagi."

"Apa ada polisi di sekitar sini?"

"Ada satu di dekat pintu masuk."

David menghela napas dengan menyesal. "Pergi dan panggil dia."

Saat orang yang ia sewa untuk mengawasi Angela itu pergi seperti yang diperintahkannya, David menarik keluar telegram Bradford dari kantongnya dan membacanya sekali lagi.

AWASI GADIS ITU.
JIKA MENCOBA MENINGGALKAN
NEGARA BAGIAN,
HENTIKAN DIA. TANGKAP JIKA PERLU.

David menggelengkan kepalanya. Ini di luar batas. Namun Bradford telah memberitahunya soal rompi yang dicuri. Bradford memang punya alasan. Dan David tidak bisa memikirkan cara lain untuk menahan gadis itu kecuali dengan menangkapnya.

***

Angela memeluk Naomi Barkley untuk mengucapkan selamat tinggal. "Terima kasih telah mengantarku."

"Yah, jangan lupa untuk mengirim telegram padaku dan aku akan menjemputmu di stasiun jika kau kembali ke sini."

"Itu tak perlu, Naomi," protes Angela.

"Omong kosong. Aku tidak punya kesibukan lain. Kau yakin tak akan berubah pikiran dan menghabiskan liburan Natal bersamaku? Aku akan senang sekali kalau kau temani."

Angela menyeringai dan menggelengkan kepalanya. "Kau tahu aku. Aku akan mengambil kesempatan apa pun untuk bisa lari dari udara dingin yang menyebalkan ini."

"Jika begitu, sebaiknya kau cepat-cepat, Sayang. Porter itu menunggu untuk bisa mengangkat kopermu ke atas kereta."

"Angela."

Angela membalikkan badan. Ia tidak mengenali pria yang berdiri di belakangnya. "Ya?"

"Apa nama Anda Angela?"

Ia menatap pria itu dengan curiga. Dua pria lain berdiri di belakang pria itu. Salah satunya adalah polisi.

"Anda siapa?" tanyanya gugup.

"Saya pengacara, Miss."

Mata Angela melebar. Oh Tuhan, sesuatu telah terjadi pada Jacob...

"Anda membawa kabar buruk?"

"Apa nama Anda benar Angela?" pria itu berkeras.

"Ya, ya," jawabnya cemas.

Pengacara tersebut berpaling ke arah si polisi dan mempersilahkannya maju. "Namanya sama dan dia cocok dengan deskripsinya. Tangkap dia."

Angela terhenyak.

Saat itu, Naomi maju ke depan Angela dan mengancam polisi itu. "Jangan berani-berani menyentuh gadis ini! Dia seorang siswi yang akan pulang ke rumahnya untuk liburan Natal. Pria ini telah membuat kesalahan besar."

"Saya rasa tidak, Madam," sanggah David. "Gadis ini telah mencuri pakaian klien saya. Saat ini klien saya tidak berada di sini, namun saat dia kembali, dia akan memutuskan apakah dia akan menuntut atau tidak."

"Ini konyol!"

"Saya setuju, Madam, dan ini juga tidak menyenangkan bagi saya. Tapi ini bukan kesalahan."

Naomi berbalik kearah Angela, yang wajahnya sepucat mayat. "Angela!"

Angela yakin dia akan pingsan. Brtadford akan menuntut dan memenjarakannya karena telah mencuri rompi!

"Saya... saya memang telah mengambil sesuatu yang bukan milik saya. Saya terpaksa." Angela berkata dengan suara ketakutan. "Tapi saya akan mengembalikannya jika saya tahu di mana pria itu. Atau, Anda bisa mengambilnya."

"Saya khawatir ini sudah terlambat, Miss," kata David Welk. "Kejahatan telah dilakukan."

"Tapi saya bukan pencuri!" Angela memprotes lemah, ketakutannya bertambah. "Saya tidak mengambil rompi itu karena menginginkannya. Saya membutuhkannya hari itu untuk... untuk..."

Angela merasa jengah. Bagaimana ia bisa menjelaskannya? Pengacara itu pasti sudah tahu ceritanya. Namun Naomi tidak tahu, dan Angela tidak mungkin memberitahunya.

Polisi merengkuh lengan Angela dan menuntunnya. Naomi mengikuti dan berseru, "Angela, aku akan memberitahu Jacob dan dia akan meluruskan semua ini."

"Jangan!" sergah Angela, menghadap ke Naomi. Polisi itu menunggu sampai Naomi menyusul mereka. "Jangan, Jacob tidak boleh tahu soal ini."

"Tapi dia bisa menolongmu, Sayang."

"Tidak!"

"Jacob orang yang sangat pengertian."

"Dia tidak akan mengerti kali ini. Aku tidak bisa menjelaskannya, dan mohon jangan beritahu Jacob... jangan beritahu dia."

Naomi menggelengkan kepalanya. "Aku harus melakukannya, Angela. Dia itu walimu."

Angela mengambil napas dalam-dalam. Ia harus mengatakannya pada Naomi sekarang.

"Naomi, rompi yang kuambil itu milik Bradford Maitland, putra Jacob."

"Dia yang bertanggung jawab atas semua ini?"

"Ya, dan Jacob pasti akan marah sekali jika sampai tahu, tapi lebih dari itu, dia akan menuntut penjelasan dariku, dan itu sesuatu yang tak bisa kuberikan padanya."

"Tapi bagaimana Bradford bisa melakukan ini padamu? Kau anggota keluarganya! Dan kau terus-menerus membicarakan dirinya sejak kita saling kenal. Aku mendapat kesan bahwa kau tergila-gila padanya."

"Apa yang kurasakan sudah tidak penting lagi. Bradford tidak mengenaliku saat kami bertemu di Springfield. Dan kalau pun dia mengenaliku, dia tidak tahu bahwa ayahnya adalah waliku. Dia sudah lama tidak pulang."

"Kenapa kau tidak mengatakan siapa dirimu?"

"Dia mengira... oh, Naomi, jangan tanya soal hari itu! Kukira aku ingin selalu mengingatnya, tapi sekarang aku berharap kejadian itu tak pernah terjadi."

Lebih dari itu, ia berharap tidak pernah bertemu Bradford Maitland. Oh Tuhan, mengapa ia tidak memberitahu Bradford siapa dirinya? Ia takkan berada dalam kekacawan ini jika melakukannya.

"Aku akan bicara dengan pengacara itu," Naomi mengusulkan, memotong pikiran Angela.

"Jangan!"

"Tapi dia bekerja untuk Bradford, dan mungkin juga untuk Jacob, jadi dia harus diberitahu bahwa kau anak angkat Jacob."

"Jika begitu, dia akan merasa wajib memberitahu Jacob, dan aku lebih baik mati daripada Jacob tahu apa yang telah kulakukan," tutur Angela dengan gundah.

"Angela, kau tampaknya lupa kalau Jacob menunggumu pulang untuk merayakan Natal."

"Kau bisa bilang padanya bahwa aku sakit dan tidak bisa pulang, bahwa aku akan tinggal bersamamu. Tolonglah, Naomi, lakukan itu untukku. Aku yakin bisa menyelesaikan masalah ini sebelum liburan berakhir, jadi seolah tidak akan tahu apa-apa, begitu pula Jacob. Bradford tidak punya alasan untuk melakukan hal ini, dan aku akan meyakinkannya saat dia kembali.

Naomi menghela napas. "Angela, aku sama sekali tidak mengerti hal ini, tapi aku akan melakukannya untukmu. Ini melawan akal sehatku, tapi aku akan melakukannya."



Bab 15

Bradford mendatangi penjara bersama David Welk dengan kereta sewaan. Bradford tertunda di New York lebih lama daripada yang seharusnya dan ini hari ketiga gadis itu dikurung di penjara. Ia seorang siswi, dan dari sebuah sekolah putri yang mahal. Bradford tak percaya, tapi gadis itu mengakui bahwa ia telah mencuri. Ya, memang ini gadis yang dicarinya.

"Aku sungguh berharap kejadiannya tidak seperti ini," ucap Bradford saat mereka sampai di tempat tujuan. "Tapi sekali lagi, mungkin aku yang beruntung. Dia akan senang dan berterima kasih saat aku membebaskannya. Kau sudah menemukan sebuah rumah di pedesaan, kan?"


"Ya."

"Rumah terpencil yang tidak ramai?"

"Ya, ya," David menjawab dengan nada sangat tersinggung. "Dan aku harus mengatakan padamu bahwa aku tidak setuju dengan rencanamu, Bradford."


"Kenapa? Aku akan mendapat persetujuan gadis itu. Aku tidak akan melanggar hukum mana pun, David."

"Ini tidak bermoral."

Bradford tertawa.

"Yah, kita sudah sampai," kata David dengan kasar. "Kau tahu, yang tak kumengerti adalah mengapa orangtua gadis itu belum datang juga."

"Apa ada orang yang diberitahu bahwa dia ditahan?" tanya Bradford.

"Aku berasumsi pendamping gadis itu telah mengurusnya."

Bradford mengangkat bahunya. "Mungkin orangtuanya tidak peduli. Walaupun demikian, jika mereka datang, mereka tidak akan menemukannya di penjara lagi. Dan kau tak perlu menunggu David. Aku bisa menanganinya sendiri dari sini." Kemudian ia menambahkan, "Rumah yang kau temukan itu punya persediaan makanan yang cukup?"

"Ya," jawab David. "Juga ada sebuah kereta dan sepasang kuda di kandang. Kau harus mengurusnya sendiri karena kau tidak meminta pelayan."

"Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, David, dan dalam waktu yang singkat pula. Terima kasih."

"Jangan berterima kasih padaku. Kau tidak butuh pengacara untuk hal semacam ini. Seorang mucikari yang berpengalaman sudah cukup."


***


"Nona Smith."

Angela menatap langit-langit sel penjara tanpa bergerak, menghitung retakan untuk ratusan kalinya saat ia meregangkan tubuhnya di sudut yang sempit. Ia tak pernah semarah ini seumur hidupnya. Rasanya mau meledak. Ia punya waktu tiga hari untuk melampiaskan kemarahan ini.

"Angela Smith!"

Ia terhenyak kemudian duduk. Ia harus ingat bahwa ia menggunakan nama Smith. Ia telah secara sengaja berbohong tentang namanya dan tentang informasi lain yang dibutuhkan darinya, agar sekolahnya tidak terlibat dalam skandal ini.

Dengan cepat ia berdiri saat pintu terbuka, dan seorang penjaga masuk ke sel. "Well, jangan hanya berdiri," kata pria itu dengan tidak sabar. "Ayo, ikut."

"Ke mana?" tanyanya bingung.

"Kau telah dibebaskan. Pria yang kau rampok itu telah memutuskan untuk tidak menuntutmu. Yang dia inginkan hanyalah waktumu beberapa menit saja. Dia menunggu di depan."

"Oh, begitu, ya?" cetus Angela dingin.

Ia mengambil sebuah koper kecil bawaannya, yang berisi beberapa helai pakaian ganti. Naomi telah membawa sisa barangnya. Angela berjalan dengan kaku keluar dari sel dan terus berjalan ke pintu depan. Ia dihentikan, tapi hanya untuk menerima jaket dan topinya. Dengan cepat ia meraih jaket dan topi itu lalu meninggalkan gedung.

Sinar matahari pagi telah menyilaikannya saat ia keluar. Sinar itu dan salju yang baru saja turun telah membuat segalanya tampak putih dan buram, dan ia harus berhenti untuk bisa melihat arahnya. Namun dengan mata separuh tertutup dan tangan yang menghalangi sinar matahari yang menerpa matanya, ia akhirnya melihat Bradford hanya beberapa meter darinya, berdiri di sebuah kereta kecil.

Ia berjalan menuju Bradford, sengaja berlambat-lambat, matanya menatap pria itu dengan tajam. Bradford tersenyum, sungguh-sungguh tersenyum! Ini langkah terakhir. Ia berhenti hanya beberapa meter dari Bradford, kemudian tangannya melayang di udara dan mendarat di pipi pria itu yang dingin.

Bradford benar-benar terkejut. "Untuk apa ini?"

"Berani-beraninya kau bertanya!" Ia berteriak dengan garang. "Jika aku memegang senapan saat ini, sudah pasti aku akan menembakmu. Aku bersumpah, aku akan menembakmu sampai mati!"

"Pelankan suaramu, atau kau akan ditangkap polisi lagi."

"Terserah, masukkan saja aku ke penjara lagi!" ia meledak. "Kau bisa bilang kalau aku menyerangmu."

Mata Bradford menyipit. "Masuklah ke kereta."

"Tidak mau!"

Bradford menangkap lengan Angela dan mendorongnya melalui pintu kereta, melemparkan kopernya setelah Angela masuk. Dengan cepat, Bradford ikut masuk ke kereta sementara kusirnya langsung memacu kereta.

Angela meringkuk di tempat duduk di hadapan Bradford dan menatap pria itu dengan tatapan mematikan. "Hentikan kereta ini sekarang juga dan biarkan aku keluar! Aku menolak pergi ke mana pun denganmu!"

"Diamlah, Miss Smith, dan berhenti bersikap seolah-olah aku telah berbuat salah padamu. Kau mencuri dariku, ingat? Aku bisa saja membiarkanmu membusuk di penjara."

Angela merasa sebuah benda tertelan di kerongkongannya. Bibirnya mulai bergetar dan air mata mulai mengalir di matanya.

"Kau tak perlu sekejam ini." Ia berkata dengan suara lemah. "Aku menawarkan untuk mengembalikan rompimu, tapi pengacaramu bilang itu tidak cukup. Padahal, ini semua salahmu."

"Salahku? Menggelikan."

"Benarkah?" Tubuh Angela menegang dan matanya penuh dengan amarah lagi. "Aku butuh bantuanmu untuk mengencangkan ikatan pakaianku, tapi kau tidur lelap. Itu sebabnya aku mengambil rompi sialanmu itu."

"Itukah sebabnya kau mengambilnya?" Bradford tertawa. "Sayangku, ada banyak wanita di sana yang bisa membantumu."

"Aku tidak bisa ke bawah dan mengambil risiko akan bertemu Maudie yang mengerikan itu." Angela ketakutan.

"Jadi kau kabur? Untungnya kau meninggalkan jaket dan topimu."

"Untungnya?"

"Begitulah cara kami menemukanmu. Aku menyuruh seseorang mengawasi tempat itu kalau-kalau kau kembali, dan dia tahu dari penjaga pintu bahwa kau telah meninggalkan barang-barangmu. Kau beruntung penjaga pintu itu menyimpannya sebelum Maudie menemukannya."

"Bukan beruntung namanya jika kau menemukanku," Angela meledak.

"Kau lebih suka jika Maudie yang menemukanmu? Dia sangat ingin menemukanmu, kau tahu?" Bradford menyeringai saat Angela tetap terdiam. "Kurasa tidak. Ada secarik kertas di kantong jaketmu, catatan matematika yang ditulis di kertas memo sekolah. Orangku mendatangi sekolah itu dan kau dikenali dari ciri-cirimu." Saat Angela tetap tak bersuara, Bradford menghela napas. "Angela, aku tidak ingin memenjarakanmu, aku hanya ingin kau berada di sini saat aku kembali."

Angela harus menahan dirinya sekuat tenaga untuk tidak menyerang Bradford lagi. "Maksudmu aku menghabiskan tiga hari waktuku di penjara, bukan karena aku mengambil rompimu, tapi karena kau ingin memastikan aku ada di sini saat kau kembali? Dari semua manusia yang tidak bermoral..."

"Sudah, cukup!" potong Bradford. "Jika kau ingin membicarakan siapa yang tidak bermoral, mari kita bicarakan dirimu. Kau ini murid di sekolah eksklusif, sudah jelas kau berasal dari keluarga yang berada, namun kau datang ke rumah bordil untuk melacurkan dirimu sendiri."

"Aku tidak seperti itu!" Angela terhenyak.

"Lalu kau sebut apa perbuatanmu itu, Miss Smith?" Bradford bertanya secara langsung. "Apa kau menyangkal aku membayarmu? Atau apa kau akan mengatakan kalau aku memperkosamu?"

"Apa yang kau lakukan tidak sertamerta membenarkan perbuatanmu!"

"Miss Smith, aku mengambil sesuatu darimu hari itu yang tadinya tidak kuharapkan, dan ternyata aku harus membayar lima ratus dolar."

"Apa maksudmu?"

"Keperawananmu."

Angela terhenyak.

"Kurasa kau berhutang penjelasan padaku. Apa yang kau lakukan di tempat seperti itu?"

Angela merasa terjebak sekarang. "Aku melihatmu di luar dan aku... kukira aku mengenalimu. Aku tidak tahu tempat seperti apa itu. Aku hanya ingin bicara denganmu."

"Yah, kita memang bicara, kan? ujar Bradford sinis. "Dan aku bahkan bukan pria yang kau kenal, kan?"

"Tidak, kau memang bukan pria yang kukenal," Angela menjawab dengan makna yang hanya bisa dipahami dirinya sendiri.

"Jadi, kenapa kau tidak meminta maaf dan meninggalkan tempat itu saat kau tahu kau membuat kesalahan?"

"Aku..." Ia tak bisa melanjutkan tanpa mengatakan yang sebenarnya.

"Ada apa, Miss Smith?" kejar Bradford. "Apa kau malu untuk mengakui kalau kau hanya mencari kesenangan dan kepuasan? Ada banyak gadis yang sepertimu yang menginginkan yang terbaik dari semuanya, tapi tidak banyak yang punya keberanian seperti dirimu."

Muka Angela memerah. "Kau salah! Aku bukan sedang mencari kesenangan dan kepuasan."

"Jika demikian, coba jelaskan. Jika kau bukan ingin melepaskan keperawananmu agar bisa menikmati hidup yang bebas, lalu mengapa kau menyerahkannya kepadaku?"

Angela menarik dirinya. "Aku tidak harus menjelaskan apa pun padamu, Mr. Maitland."

Bradford terdiam lalu mengangkat bahu. "Kurasa aku bisa membiarkannya dulu saat ini. Tapi yakinlah, aku akan mendapat jawaban yang kuinginkan sebelum aku selesai denganmu."

Sebelum selesai dengannya? Apa maksudnya? Kedengarannya seperti ancaman.

Akhirnya Angela sadar betapa cepatnya waktu berlalu. Ia memandang keluar dari jendela kereta dan mengenali pemandangan pedesaan. "Ke mana kau membawaku pergi?" tanya Angela dengan waspada.

"Kau akan menjadi tamuku untuk sementara."

"Tentu saja tidak!"

"Angela, tenanglah." Bradord menggelengkan kepalanya. "Seharusnya aku tahu akan sangat sulit menebak sikap seorang wanita."

"Apa maksudmu?"

"Kau, Sayangku. Aku tadinya yakin bahwa kau akan sangat berterima kasih karena aku tidak jadi menuntutmu, bahwa kau akan senang dengan niatku untuk menghabiskan sisa liburan ini bersamamu. Aku bahkan bertindak lebih jauh lagi dengan menyewa sebuah rumah di pedesaan untuk kita. Kita sekarang menuju ke sana."

"Kau bisa pergi ke sana atau mati saja sekalian, aku tak peduli. Aku akan ke Hadley Selatan dan berharap lupa telah bertemu denganmu," tukas Angela.

"Apa yang telah terjadi pada gadis yang begitu khawatir tidak akan bisa menyenangkanku? tanya Bradford lugas.

Pipi Angela memerah dan memandang ke luar jendela, tidak mampu menatap Bradford. "Gadis itu menghabiskan tiga hari di penjara dan mengetahui bahwa ternyata kau ini hanya seorang bajingan."

"Izinkan aku menebusnya, Angel," sahut Bradford perlahan.

Angela mengarahkan mata violet gelapnya pada Bradford. "Tidakkah kau mengerti kalau aku membencimu? Kau tidak berhak menculikku dan mengurungku di penjara. Aku membencimu!"

"Angela, kau tidak cukup baik mengenalku hingga bisa membenciku."

"Kau salah," cetus Angela dingin.

Bradford maju dari tempat duduknya dan meraih tangan Angela, namun dengan cepat Angela menampiknya. "Dengar, aku minta maaf atas caraku menangani permasalahan ini. Aku tidak ingin bertengkar denganmu. Aku menginginkanmu. Itu sebabnya aku ada di sini. Itu sebabnya aku mau bersusah payah begini."

Angela tidak menjawab. Perlahan, Bradford duduk dan memperhatikannya. Mereka tetap diam sepanjang sisa perjalanan.



Next
Back
Synopsis


Minggu, 03 Juni 2018

Honor's Splendour 7


"Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tapi perkataan yang pedas membangkitkan marah."
-PERJANIAN LAMA, AMSAL, 15:1

Madelyne tidur selama hampir dua puluh empat jam. Ketika akhirnya ia membuka matanya, ruangan itu diterangi oleh bayang-bayang sore hari dengan hanya beberapa garis cahaya metahari yang menembus daun jendela kayu. Segalanya terlihat buram bagi Madelyne, dan ia merasakan disorientasi sehingga tidak dapat mengingat di mana ia sekarang.

Ia mencoba bangun dari tempat tidur, meringis karena rasa menyengat yang disebabkan oleh gerakan itu, dan kemudian teringat pada setiap potongan dari rasa sakitnyaitu.

Ya Tuhan, ia merasa buruk sekali. Setiap otot di tubuhnya sakit. Madelyne pikir seseorang mungkin telah memukulkan sebatang kayu ke bokongnya, atau menempelkan pasak besi banas di sisi kakinya. Perutnya bergemuruh, tapi ia tidak ingin makan apa pun. Tidak, ia hanya amat sangat haus dan kepanasan. Yang ia inginkan hanyalah merobek-robek bajunya dan berdiri di depan jendela yang terbuka.

Ide itu tampak sangat sempurna. Ia mencoba keluar dari tempat tidur untuk membuka jendela, namun ia terlalu lemah bahkan untuk menendang selimut yang menghalanginya. Ia terus mencoba sampai ia sadar ia tidak mengenakan pakaiannya sendiri. Seseorang telah melepaskannya, dan sementara fakta tersebut benar-benar menyinggung naluri kepantasannya, itu hampir tidak sama mencemaskannya dengan kesadaran bahwa ia betul-betul tidak ingat ada orang yang telah menanggalkan pakaiannya.

Madelyne saat ini mengenakan sejenis kain katun putih, pakaian yang tidak pantas tentu saja, sebab pakaian tersebut nyaris tidak menutupi lututnya. Akan tetapi, lengan baju itu terlalu panjang. Ketika ia mencoba melipat lengan baju tersebut hingga ke pergelangan tangannya, ia teringat di mana ia pernah melihat pakaian seperti ini sebelumnya. Oh, ini adalah kemeja pria, dan dari ukuran bahunya yang sangat besar, jelas sekali ini milik Duncan. Ini memang baju yang sama; Duncan memakai kemeja yang sama persis ketika pria itu tidur di sisi Madelyne di tenda pada malam sebelumnya... atau apakah sekarang sudah dua malam yang lalu? Madelyne terlalu mengantuk untuk mengingatnya. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya semenit lagi untuk memikirkannya.

Ia mendapatkan mimpi yang paling damai. Madelyne berusia sebelas tahun lagi dan hidup bersama pamannya yang tersayang. Bapa Berton. Bapa Robert dan Bapa Samuel datang ke manor Grinsteade untuk mengunjungi paman Madelyne dan untuk memberi penghormatan kepada Morton tua, Lord of Grinstead manor. Selain para petani yang bekerja di tanah kecil milik Baron Morton, Madelyne satu-satunya orang berusia muda yang tinggal di kediaman tersebut. Ia dikelilingi oleh para pria lembut, baik hati, dan mereka semua cukup tua untuk menjadi kakeknya. Bapa Robert dan Bapa Samuel datang dari biara Claremont yang selalu sesak. Lord Morton menawarkan kediaman permanen kepada mereka. Pria tua itu cukup menyukai teman-teman Bapa Berton. Keduanya merupakan pemain catur ulung, dan mereka suka mendengarkan sang baron mengisahkan kembali cerita-cerita dari masa lampau favoritnya. Madelyne dikelilingi oleh para pria tua yang memujanya yang percaya bahwa gadis itu adalah seorang anak yang sangat berbakat. Mereka bergiliran mengajarinya cara membaca dan menulis, dan mimpi Madelyne khususnya terpusat pada suatu malam yang damai. Ia duduk di meja dan membacakan tulisan-tulisan yang sudah ia terjemahkan untuk "paman-pamannya". Api berkobar di perapian dan atmosfer di ruangan itu hangat dan tentram. Madelyne menceritakan kembali sebuah kisah yang tidak biasa, yaitu tentang petualangan-petualangan pahlawan favoritnya, Odysseus. Sang pejuang perkasa menemani Madelyne selama mimpinya, berdiri di sebelah pundak Madelyne dan tersenyum kepadanya sementara ia menceritakan peristiwa-peristiwa mengagumkan dalam perjalanan panjang Odysseus.

Saat lain ketika ia terbangun, dan pastinya hanya beberapa menit berlalu sejak ia memutuskan untuk sedikit beristirahat, Madelyne langsung menyadari bahwa seseorang benar-benar telah menutup kelopak matanya. "Berani-beraninya memperlakukan aku seperti ini?" Ia menggerutu marah keras-keras, tidak secara khusus ditujukan kepada siapa-siapa.

Penutup mata itu basah pula. Madelyne merenggut penutup mata yang menghina itu dari matanya sembari mengucapkan umpatan yang pantas diucapkan oleh petani mesum. Aneh, tapi ia pikir ia mendengar seseorang tertawa. Ia mencoba berkonsentrasi pada suara itu, ketika benaknya berputar lagi. Terkutuklah jika ada penutup mata lain yang dihantamkan ke keningnya. Itu tidak masuk akal sama sekali. Bukankah ia baru saja mengenyahkannya? Ia menggeleng karena semua hal yang membingungkan itu.

Seseorang berbicara kepadanya, namun Madelyne tidak mampu memahami apa yang pria itu ucapkan. Andai pria itu mau berhenti berbisik dan mencampuradukkan setiap kata, akan membuat ini jauh lebih mudah. Ia rasa siapa pun yang sedang berbicara kepadanya sedang bersikap sangat tidak sopan dan ia meneriakkan pendapatnya itu.

Madelyne mendadak ingat betapa panasnya ia, ketika satu lagi selimut ditindihkan ke atas bahunya. Ia tahu ia harus pergi ke jendela dan menghirup udara yang dingin dan menyembuhkan. Itu satu-satunya hal yang akan menyelamatkannya dari panas ini. Andai ia tidak lebih tahu, ia akan mengira kalau dirinya sedang berada dalam api penyucian dosa. Namun ia adalah seorang gadis yang baik dan itu tidak mungkin benar. Tidak, ia akan pergi ke surga, terkutuklah jika tidak.

Mengapa ia tidak dapat membuka matanya? Ia merasa seseorang menarik bahunya dan kemudian minuman dingin menyentuh bibirnya yang pecah-pecah. Madelyne mencoba meneguk banyak-banyak, tapi air tersebut mendadak lenyap setelah ia mencicipi porsi yang sangat sedikit. Seseorang sedang memainkan sebuah taktik kejam kepadanya, Madelyne menyimpulkan, mengernyit segarang yang ia mampu lakukan dalam situasi ini.

Mendadak saja, segalanya menjadi sangat jelas. Oh, ia sedang berada di Hades, bukan di dalam api penyucian dosa, dan berada di dalam belas kasihan seluruh monster dan iblis yang mencoba menipu Odysseus. Kini mereka mencoba menipu Madelyne. Well, batin Madelyne, ia tidak akan termakan satu pun tipuan itu.

Pemikiran tentang para monster ini tidakmembuat Madelyne sedih sama sekali. Justru sebaliknya. Ia menjadi betul-betul berang. Paman-pamannya telah membohonginya. Kisah-kisah Odysseus bukanlah kebohongan atau legenda yang diwariskan dari generasi ke generasi. Para monster itu sungguh-sungguh ada. Madelyne dapat merasakan mereka sedang mengelilinginya, hanya menunggunya untuk membuka mata.

Dan sebenarnya ada di mana Odysseus? Madelyne ingin tahu. Berani-beraninya Odysseus meninggalkan Madelyne sendirian untuk bertarung sendirian melawan iblis-iblih pria itu? Tidakkah Odysseus mengerti apa yang seharusnya ia lakukan? Tidak adakah orang yang memberitahunya tentang kemenangan-kemenangannya sendiri?

Madelyne merasa seseorang menyentuh pahanya, menyela pikiran-pikiran marahnya. Ia melemparkan penutup mata baru yang menghanguskan matanya dan menoleh tepat pada waktunya untuk melihat siapa yang sedang berlutut di samping tempat tidurnya. Kemudian ia menjerit, sebuah reaksi naluriah terhadap raksasa bermata satu mengerikan yang sedang menatapnya dengan sebuah seringaian yang jelek, lalu Madelyne teringat bahwa ia sedang marah, bukannya takut. Makhluk itu memang salaha seorang Cyclops, bahkan mungkin pemimpin mereka, Polyphemeus, Cyclops yang paling keji di antara mereka semua, dan datang untuk mengambil Madelyne jika ia menizinkannya.

Madelyne mengepalkan tangan dan menyarangkan sebuah pukulan yang kuat pada si raksasa. Ia membidik hidung raksasa itu, dan meleset dua atau lima sentimeter, namun ia tetap puas. Aksi itu membuatnya lelah dan ia jatuh kembali ke kasur, mendadak jadi selemah anak kucing. Akan tetapi, ada senyum pongah di wajahnya, sebab ia mendengar Polyphemeus melolong kesakitan.

Madelyne memalingkan kepalanya dari si Cyclops, bertekad untuk tidak mengacuhkan monster yang sedang menyodok-nyodok pahanya itu. Ia memandang sepintas ke perapian. Lalu ia melihat seorang pria. Pria itu sedang berdiri tepat di depan perapian, dengan cahaya yang menyinari seluruh tubuhnya yang luar biasa. Pria itu jauh lebih besar dari yang pernah Madelyne bayangkan, dan jauh lebih menarik. Akan tetapi, manusia itu bukan manusia fana, Madelyne mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Madelyne menduga fakta itulah yang menyebabkan proporsi tubuhnya yang sangat besar dan cahaya mistis yang bersinar di sekeliling pria itu. "Dari mana saja kau?" tuntut Madelyne dengan teriakan yang dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian pria itu.

Madelne tidak yakin apakah para pejuang mitologi dapat bercakap-cakap dengan manusia biasa, dengan cepat menyimpulkan bahwa pejuang yang satu ini tidak, atau tidak mau, sebab pria itu hanya terus berdiri di sana dan menatapnya, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk menjawab tuntutannya.

Madelyne berniat untuk mencoba lagi, walaupun ia mendapati itu adalah tugas yang menjengkelkan. Ada seorang Cyclops tepat disebelahnya, demi Tuhan, dan bahkan jika pejuang tidak mau berbicara kepada Madelyne, pria itu bisa melihat bahwa ada pekerjaan yang harus diselesaikan. "Lakukan, Odysseus," perintah Madelyne, menunjukkan jarinya ke arah monster yang sedang berlutut di sampingnya.

Terkutuklah jika pria itu tidak hanya berdiri di sana dan tampak kebingungan. Terlepas dari ukuran tubuh dan kekuatannya, pria itu tampak tidak terlalu cerdas. "Haruskah aku menghadapi setiap pertempuran seorang diri?" Madelyne mendesak ingin tahu, mengeraskan suaranya hingga otot-otot di lehernya mulai sakit karena ketegangan itu. Air mata frustrasi mengaburkan penglihatannya, namun ia tidak bisa menahannya. Odysseus sedang mencoba lenyap ke dalam cahaya. Pria itu sungguh tidak sopan, pikir Madelyne.

Ia tidak dapat membiarkan pria itu menghilang. Bodoh atau tidak, hanya pria itulah yang Madelyne miliki. Ia mencoba menenangkan pria itu. "Aku berjanji untuk memaafkanmu karena telah membiarkan Louddon menyakitiku selama ini, tapi aku tidak akan memaafkanmu jika kau meninggalkan aku sendirian sekarang."

Odysseus nampak tidak terlalu peduli untuk mendapatkan maaf gadis itu. Madelyne nyaris tidak dapat melihat Odysseus sekarang, ia tahu pria itu akan segera pergi, dan sadar bahwa ia harus meningkatkan ancamannya jika ingin mendapatkan bantuan apa pun dari pria itu.

"Kalau kau meninggalkan aku, Odysseus, aku akan mengirimkan seseorang untuk mengejarmu untuk mengajarimu sopan santun. Aye," imbuh Madelyne, menjadi bersemangat dengan ancamannya. "Aku akan mengirimkan pejuang yang paling ditakuti. Pergi saja kau dan lihat apa yang akan terjadi! Kalau kau tidak melenyapkannya," ia menyatakan, berhenti sejenak dalam ancamannya untuk menunjuk secara dramatis kepada Cyclops selama beberapa saat, "Aku akan mengirimkan Duncan untuk mengejarmu."

Madelyne sangat puas kepada dirinya sendiri hingga memejamkan matanya sambil mendesah. Ia pasti sudah menimbulkan perasaan takut dari Zeus kepada makhluk yang paling luar biasa, Odysseus yang perkasa, dengan berpura-pura akan mengirimkan Duncan untuk mengejarnya. Ia mendengus dengan agak tidak elegan karena kecerdikannya itu.

Madelyne mengintip cepat dengan sebelah mata untuk melihat bagaimana ancamannya ditanggapi, dan tersenyum penuh kemenangan. Odysseus terlihat cemas. Dan itu, putus Madelyne tiba-tiba, tidak cukup. Jika pria itu hendak bertarung melawan Cyclops, ia harus menjadi sangat marah. "Duncan itu benar-benar seekor serigala, kau tahu, dan dia akan mencabik-cabikmu hingga menjadi potongan-potongan kecil jika aku menyuruhnya," bualnya. "Dia akan melakukan apa pun yang aku minta," imbuhnya, "Begitu saja." Madelyne mencaoba menjentikkan jemarinya namun tidak betul-betul berhasil melakukannya.

Gadis itu memejamkan matanya lagi, merasa seakan dia baru saja memenangkan sebuah pertempuran yang penting. Dan semuanya itu hanya dengan kata-kata yang lembut, ia mengingatkan dirinya sendiri. Ia tidak menggunakan paksaan sama sekali. "Aku adalah seorang gadis yang lembut," teriaknya. "Terkutuklah, jika tidak."

Selama tiga hari tiga malam yang panjangMadelyne memerangi monster-monster mitologi yang muncul dan mencoba menculik dan membawanya kepada Hades. Odysseus selalu ada di sana, di sisinya, menolongnya menangkis setiap serangan ketika Madelyne menuntut.

Sesekali si raksasa yang keras kepala itu bahkan bercakap-cakap dengan Madelyne. Raksasa itu suka bertanya tentang masa lalu Madelyne, dan ketika ia memahami apa yang ditanyakan oleh raksasa itu, Madelyne langsung menjawabnya. Odysseus tampaknya sangat tertarik pada suatu waktu tertentu di masa kecil Madelyne. Pria itu ingin agar Madelyne menceritakan seperti apa keadaannya setelah ibunya meninggal dan Louddon mengambil alih perwaliannya.

Madelyne benci menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia hanya ingin membicarakan tentang kehidupannya dengan Bapa Berton. Tapi ia juga tidak mau kalau Odysseus menjadi marah dan meninggalkannya. Oleh karena itu, Madelyne bersabar melalui interogasi lembut pria itu.

"Aku tidak mau membicarakannya."

Duncan tersentak bangun mendengar teriakan keras Madelyne. Ia tidak tahu apa yang sedang diocehkan oleh Madelyne sekarang, namun ia cepat-cepat mendatangi tempat tidur gadis itu. Ia duduk di samping Madelyne dan meraih gadis itu ke dalam pelukannya. "Tenanglah," bisiknya. "Tidurlah lagi, Madelyne."

"Ketika dia memaksaku pulang dari rumah Bapa Berton, dia sangat mengerikan. Dia menyelinap ke kamarku setiap malam. Dia hanya berdiri di sana, di kaki tempat tidur. Aku bisa merasakannya menatapku. Kupikir jika aku membuka mataku... Aku sangat takut."

"Jangan memikirkan Louddon lagi," kata Duncan. Ia meluruskan tubuhnya ke atas tempat tidur begitu Madelyne mulai menangis dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

Kendati Duncan menyembunyikan reaksinya dengan hati-hati, di dalam dirinya ia bergetar karena murka. Ia tahu Madelyne tidak mengerti apa yang sedang diceritakannya kepada Duncan, namun pria itu sangat mengerti.

Terhibur karena sentuhan Duncan, Madelyne tertidur lagi. Akan tetapi, ia tidak beristirahat lama, dan terbangun untuk mendapati Odysseus masih di sana, tetap terjaga. Ia tidak takut ketika pria itu disisinya. Odysseus adalah pejuang yang paling mengagumkan. Ia kuat, arogan, meskipun Madelyne tidak menyalahkannya atas kekurangannya itu, dan memiliki hati yang baik.

Pria itu juga nakal. Permainan favoritnya adalah mengubah wujudnya. Perubahan itu akan terjadi dengan sangat cepat, sehingga Madelyne bahkan tidak sempat menarik napas terkejut. Satu menit pria itu berpura-pura menjadi Duncan dan satu menit berikutnya ia kembali menjadi Odysseus lagi. Dan sekali, pada saat-saat yang gelap di malam hari, ketika Madelyne merasa paling takut, pria itu benar-benar mengubah dirinya menjadi Achilles, hanya untuk menghibur Madelyne. Pria itu duduk di sana, di sebuah kursi kayu berpunggung tegak yang sepenuhnya terlalu kecil untuk ukuran dan proporsi tubuhnya, hanya memandang Madelyne dengan tatapan yang sangat aneh.

Achilles tidak mengenakan sepatu botnya. Itu membuat Madelyne cemas dan segera memperingatkan pria itu agar melindungi tumitnya dari cedera. Achilles terlihat bingung mendengar saran gadis itu, sehingga Madelyne terpaksa mengingatkannya bahwa ibu pria itu telah mencelupkan kepalanya lebih dulu ke dalam sungai Styx yang ajaib, membuat seluruh tubuhnya kebal, kecuali sedikit daging pada bagian belakang tumitnya, di mana ibunya memegangi Achilles sehingga ia tidak akan hanyut terbawa pusaran air.

"Air sungai ini tidak menyentuh tumitmu, dan pada bagian itulah kau paling rentan," Madelyne memberitahukan pria itu. "Apa kau mengerti maksudku?"

Madelyne memutuskan bahwa pria itu sama sekali tidak mengerti. Tatapan bingung pria itu memberitahu Madelyne hal itu. Barangkali ibu pria itu tidak pernah meluangkan waktunya untuk menceritakan kisah itu kepada Achilles. Madelyne mendesah dan memberi pria itu tatapan sedih dan iba. Ia tahu apa yang akan terjadi kepada Achilles, namun tidak sampai hati untuk memperingatkan pria itu agar waspada terhadap anak panah yang berhamburan. Ia menduga pria itu akan segera mengetahui hal itu.

Madelyne mulai meratapi masa depan Achilles, ketika pria itu tiba-tiba berdiri dan berjalan menghampirinya. Tapi pria itu bukan Achilles sekarang. Nay, Duncan-lah yang meraih Madelyne ke dalam pelukannya dan menenangkan Madelyne. Aneh, namun sentuhan pria itu terasa seperti sentuhan Odysseus.

Madelyne menyuruh Duncan agar naik ke tempat tidur, kamudian ia langsung berguling ke atas pria itu. Ia menopangkan kepalanya di atas dada Duncan sehingga ia bisa melihat ke dalam mata pria itu. "Rambutku seperti tirai," katanya pada pria itu, "yang menyembunyikan wajahmu dari orang lain kecuali aku. Bagaimana pendapatmu tentang itu, Duncan?"

"Jadi, sekarang aku Duncan lagi, ya?" jawab Duncan. "Kau tidak tahu apa yang kau ucapkan, Madelyne. Kau demam tinggi. Itulah pendapatku," tambahnya.

"Apa kau akan memanggil seorang pastor?" tanya Madelyne. Pertanyaannya membuat sedih dan air mata memenuhi matanya.

"Apa kau menginginkannya?" tanya Duncan.

"Nay," Madelyne berteriak tepat ke wajah pria itu. "Jika pastor dipanggil, aku akan tahu bahwa aku sedang sekarat. Aku belum siap untuk mati, Duncan. Ada terlalu banyak hal yang harus kulakukan."

"Dan apa yang ingin kau lakukan?" tanya Duncan, tersenyum karena ekspresi garang gadis itu.

Tiba-tiba Madelyne mencondongkan tubuh ke bawah dan mengusapkan hidungnya ke dagu Duncan. "Kurasa aku ingin menciummu, Duncan. Apakah itu membuatmu marah?"

"Madelyne, kau harus istirahat," ujar Duncan. Ia mencoba menggulingkan gadis itu ke samping, namun ternyata gadis itu menempel seperti tanaman merambat. Duncan tidak memaksanya, khawatir kalau-kalau ia menyakiti gadis itu secara tak sengaja. Sebenarnya, ia menyukai gadis itu berada tepat di tempatnya sekarang.

"Kalau kau menciumku sekali saja, maka aku akan beristirahat," janji Madelyne. Ia tidak memberi Duncan kesempatan untuk menanggapi, namun menepukkan kedua tangannya ke sisi wajah Duncan dan menekankan wajahnya ke wajah pria itu.

Oh Tuhan, Madelyne betul-betul mencium Duncan. Mulut Madelyne panas, terbuka, dan sepenuhnya menggairahkan. Ciuman itu adalah ciuman yang penuh nafsu dan gairah, sehingga Duncan mau tak mau merespons. Kedua lengannya perlahan-lahan menyelinap ke pinggang gadis itu. Ketika ia merasakan kulit yang hangat, Duncan sadar rok Madelyne telah tersingkap. Kedua tangannya membelai bokong Madelyne yang lembut dan tidak dibutuhkan waktu yang lama sebelum Duncan terperangkap dalam demamnya sendiri.

Madelyne liar dan sepenuhnya tidak menahan diri ketika ia mencium pria itu. Mulutnya dimiringkan di mulut Duncan, lidahnya menerobos dan membelai sampai ia sendiri terengah-engah.

"Saat aku menciummu, aku tidak ingin berhenti. Ini berdosa, benar, kan?" tanya Madelyne ke pria itu.

Duncan memperhatikan Madelyne tidak tampak menyesal atas pengakuannya itu dan berasumsi bahwa demam telah mengenyahkan kekangan diri gadis itu. "Aku membuatmu menelentang, Duncan. Aku bisa melakukan apa saja kepadamu kalau aku mau."

Duncan mendesah jengkel. Akan tetapi, helaan napas itu berubah menjadi erangan ketika Madelyne merenggut tangan Duncan dan dengan berani meletakkan tangan tersebut ke salah satu payudaranya.

"Nay, Madelyne," gumam Duncan, meskipun ia tidak mejauhkan tangannya. Oh Tuhan, gadis itu terasa sangat hangat. Puncak payudara Madelyne mengeras ketika secara insting ibu jari Duncan mengusap-usapnya. Duncan mengerang lagi. "Ini bukan saatnya untuk bercinta. Kau tidak tahu apa yang kau lakukan padaku, ya, kan?" tanyanya kemudian. Ya Tuhan, suaranya terdengar separau angin yang melolong di luar.

Seketika Madelyne mulai menangis. "Duncan? Katakan padaku bahwa aku penting bagimu. Bahkan jika itu bohong, tetap katakan padaku."

"Aye, Madelyne, kau penting bagiku," jawab Duncan. Ia melingkarkan lengannya ke pinggang Madelyne dan menggulingkan gadis itu ke sisinya. "Itu benar."

Duncan tahu ia harus memberi jarak di antara mereka, kalau tidak, ia akan kalah melawan siksaan yang manis itu. Namun ia tidak dapat menahan diri untuk mencium gadis itu sekali lagi.

Aksi tersebut tampaknya menentramkan Madelyne. Sebelum Duncan dapat menarik napas bergetar sekali lagi. Madelyne telah terlelap.

Demam itu menguasai pikiran Madelyne dan hidup Duncan. Ia tidak berani meninggalkan gadis itu sendirian bersama Gilard atau Edmond. Ketika watak Madelyne yang penuh gairah menampakkan diri,Duncan tidak ingin satu pun dari kedua adiknya yang menjadi penerima ciuman-ciuman gadis itu. Tak seorang pun yang boleh memberikan penghiburan kepada Madelyne dalam momen-momen liar itu kecuali Duncan.

Iblis-iblis akhirnya meninggalkan Madelyne pada malam ketiga. Pada pagi hari keempat, ia terbangun dengan perasaan seperti diperas habis-habisan seperti kain-kain basah yang berserakan di lantai. Duncan sedang duduk di kursi di samping perapian. Pria itu terlihat kelelahan. Madelyne bertanya-tanya apakah pria itu jatuh sakit. Ia baru saja hendak menanyakan itu kepada Duncan, ketika tiba-tiba pria itu menyadari Madelyne sedang menatapnya. Pria itu bangkit berdiri dengan ketangkasan seekor serigala dan datang mendekat untuk berdiri di samping tempat tidur. Aneh, tapi Madelyne pikir pria itu terlihat lega.

"Kau mengalami demam," cetus Duncan. Suaranya serak.

"Jadi karena itulah tenggorokanku sakit," ujar Madelyne. Oh Tuhan, ia nyaris tidak mengenali suaranya sendiri. Suaranya yang terdengar parau, dan terasa kasar.

Madelyne memandang ke sekeliling tuangan, melihat kekacauan yang mengelilinginya. Ia menggeleng bingung. Apakah telah terjadi pertempuran selama ia tidur?

Ketika Madelyne berpaling kembali untuk bertanya kepada Duncan mengenai kekacauan itu, ia menangkap ekspresi terhibur pria itu.

"Tenggorokanmu sakit?" tanya Duncan.

"Bagimu, tenggorokanku sakit itu menghibur?" tanya Madelyne, sebal karena reaksi kasar pria itu.

Duncan menggeleng, menyangkal tuduhan gadis itu. Madelyne sama sekali tidak percaya. Pria itu masih tersenyum lebar.

Ya Tuhan, pria itu sungguh tampak segar pagi ini. Suncan mengenakan pakaian berwarna hitam, sebuah warna yang sederhana tentu saja, namun ketika pria itu tersenyum, mata kelabu itu tidak terlihat dingin atau mengintimidasi. Pria itu mengingatkan Madelyne pada seseorang, namun ia tidak bisa memikirkan siapa orang tersebut. Madelyne yakin ia akan ingat jika bertemu siapa pun yang sangat mirip dengan Baron Wexton ini. Tetap saja, ada sebuah ingatan kabur tentang seseorang yang lain...

Duncan menyela konsentrasi gadis itu. "Sekarang karena kau sudah bangun, aku akan mengirim seorang pelayan untuk mengurusmu. Kau tidak boleh meninggalkan ruangan ini sampai kau sudah sembuh, Madelyne."

"Apakah sakitku parah?" tanya Madelyne.

"Aye, sakitmu parah," Duncan mengiyakan. Ia berbalik dan melangkah ke pintu.

Madelyne pikir pria itu terburu-buru untuk menjauh darinya. Ia menepis segumpal rambut dari matanya dan menatap punggung Duncan. "Ya Tuhan, aku pasti terlihat sama berantakannya dengan kain pel," gerutunya kepada diri sendiri.

"Aye, memang," jawab Duncan.

Madelyne dapat mendengar senyum dalam suara pria itu. Ia merengut karena ketidaksopanan Duncan lalu berseru, "Duncan? Berapa lama aku demam?"

"Lebih dari tiga hari, Madelyne."

Duncan berpaling kembali untuk melihat reaksi gadis itu. Madelyne tampak tercengang. "Kau sama sekali tidak ingat, ya?" tanyanya.

Madelyne menggeleng, benar-benar kebingungan sekarang, karena Duncan tersenyum lagi. Pria itu sungguh pria yang aneh, menemukan humor dalam hal-hal yang paling aneh.

"Duncan?"

"Aye?"

Madelyne menangkap kejengkelan dalam suara pria itu dan merinding karenanya. "apa kau berada di sini selama tiga hari itu? Di kamar ini bersamaku?"

Duncan mulai menutup pintu di belakangnya. Madelyne mengira pria itu tidak akan menjawab pertanyaannya sampai suara Duncan membahana, tegas dan kuat.

"Tidak."

Pintu terhempas menutup di belakang pria itu.

Menurut Madelyne, pria itu tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak dapat mengingat apa yang telah terjadi, namun secara insting ia tahu kalau Duncan tidak pernah pergi dari sisinya.

Mengapa pria itu mengingkarinya? "Kau sungguh seorang pria yang keras kepala," bisik Madelyne.

Ada senyum dalam suaranya.



Next
Back
Sinopsis



Jumat, 01 Juni 2018

One Good Earl Deserves a Lover 2


Kala usia Pippa tidak lebih dari enam atau tujuh tahun, kelima putri Marbury berparade dalam acara musikal (sebagaimana yang sering dilakukan oleh anak-anak tuan rumah) seperti bebek-bebek kuning kecil sebelum acara para bangsawan dimulai di sebuah pesta rumah pedesaan, detailnya sudah tidak ia ingat.

Ketika mereka meninggalkan ruangan, seorang pria tua dengan mata berbinar mencegatnya lalu menanyakan instrumen apa yang ia gemar mainkan. Nah, jika pria itu mengajukan hal semacam itu  kepada Penelope, kakak Pippa itu pasti menjawab dengan penuh keyakinan bahwa pianolah instrumen favoritnya. Bila pria itu bertanya kepada Victoria atau Valerie, si kembar pasti menjawab secara serempak bahwa mereka menyukai selo. Dan Olivia pasti memenangi hati pria itu dengan senyum anak lima tahunnya –yang saat itu saja sudah bergaya tersipu-sipu- dan memberitahu bahwa ia menyukai trompet.

Tapi secara keliru pria itu bertanya kepada Pippa, yang dengan bangga mengumumkan bahwa ia tidak punya waktu untuk musik, karena ia terlalu sibuk mempelajari anatomi. Menyalahartikan keterkejutan pria itu sebagai ketertarikan, Pippa kemudian mengangkat rok bermainnya dan dengan bangga menyebutkan nama-nama tulang yang ada di kaki dan telapak kakinya.

Ia baru sampai di tulang betis sewaktu ibunya datang meneriakkan namanya dengan latar belakang suara tawa para bangsawan yang cukup merdu.

Itulah pertama kalinya Pippa menyadari kalau dirinya aneh.

Itu juga pertama kalinya ia merasa malu. Emosi tersebut aneh –berbeda jauh dari semua emosi lain, yang agaknya sirna seiring dengan berjalannya waktu. Setelah makan, misalnya, sulit rasanya mengingat karakteristik dari rasa lapar. Tentu saja, orang pasti ingat ia ingin makan, tapi hasrat mendalam untuk mendapatkan makanan tidak mudah diingat.

Dalam hal serupa, Pippa sudah tidak asing lagi dengan kejengkelan –toh, ia punya empat orang saudari- tapi tidak ingat seperti apa merasa sangat jengkel kepada salah seorang dari mereka. Tuhan pun tahu ada hari-hari ketika ia bisa mendorong Olivia dari kereta kuda yang tengah melaju dengan santainya, tapi ia tidak bisa membangkitkan emosi itu sekarang.

Akan tetapi, ia bisa mengingat rasa malu membara yang menyertai suara tawa pada acara di desa itu seolah peristiwa itu baru terjadi kemarin. Seolah peristiwanya baru terjadi beberapa saat yang lalu.

Tapi yang benar-benar terjadi beberapa saat yang lalu entah mengapa terasa lebih memalukan ketimbang memamerkan pergelangan kaki anak berusia tujuh tahun kepada separuh dunia bangsawan. Dilabeli sebagai Marbury yang paling aneh sejak usia sedini itu bisa membuat  kulit seorang tebal. Dibutuhkan lebih dari sekedar sindiran dari balik kipas untuk membangkitkan rasa malu Pippa.

Rupanya dibutuhkan seorang pria yang menolak permintaannya untuk berlaku maksiat.

Seorang pria yang sangat jangkung, sangat cerdas, dan amat menawan.

Pippa sudah berusaha semampu mungkin –memaparkan proposalnya secara mendetail, menyebut Cross pria terpelajar- namun tetap saja pria itu menolak.

Pippa belum mempertimbangkan kemungkinan tersebut.

Seharusnya ia mempertimbangkannya. Seharusnya ia menyadarinya begitu ia melangkahkan kaki ke kantor megah itu –dipenuhi oleh berbagai macam benda yang menarik- seharusnya ia tahu kalau tawarannya tidak akan membuat pria itu tertarik. Jelas Cross pria yang pintar dan berpengalaman, sementara dirinya merupakan putri keempat dari seorang marquess ganda, yang bisa menyebutkan semua nama tulang di tubuh manusia dan karenanya agak abnormal.

Sama sekali tidak penting kalau ia membutuhkan seorang mitra riset dan bahwa ia hanya punya waktu empat belas hari –hanya 336 jam yang terus berkurang- untuk menjawab semua pertanyaannya mengenai pernikahannya nanti.

Jelas Cross sudah sering bereksperimen dan tidak membutuhkan mitra riset.

Bahkan mitra riset yang bersedia membayarnya sekalipun.

Memandang ke sekeliling ruang utama kasino yang luas dan kosong, Pippa rasa seharusnya ia juga tidak dikejutkan oleh fakta itu. Bagaimanapun juga, seorang pria yang memiliki kasino sebesar itu bukanlah jenis pria yang bisa tergoda oleh uang dua puluh lima pound. Atau lima puluh.

Seharusnya hal itu sudah ia pertimbangkan.

Sayang sekali, sungguh. Cross tampak sangat menjanjikan. Pilihan yang paling menjanjikan selagi ia menyusun rencana, beberapa malam sebelumnya setelah membaca naskah upacara yang akan ia hadapi dua minggu lagi.

Hasrat jasmani.

Prokreasi.

Tidak benar, kan, kalau seorang wanita menghadapi semua itu tanpa pengalaman? Bahkan tanpa penjelasan yang baik tentang poin-poin yang bersangkutan? Dan itu bahkan dibacakan sebelum pendeta sampai di bagian yang terkait dengan kepatuhan dan pelayanan.

Semuanya benar-benar meresahkan.

Menjadi kian meresahkan ketika Pippa memikirkan betapa kecewanya ia karena Cross menolaknya.

Ia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan sempoa Cross.

Bukan hanya sempoanya.

Pippa tidak suka berbohong, baik kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Tidak masalah kalau orang-orang di sekelilingnya ingin menyembunyikan kebenaran, tapi ia sudah lama mendapati bahwa ketidakjujuran malah menghasilkan kerepotan yang lebih besar di masa yang akan datang.

Maka... tidak, bukan hanya sempoa itu yang membuatnya penasaran.

Melainkan juga pria itu sendiri. Saat sampai di klub, Pippa menyangka akan menenukan Cross yang melegenda –tampan, pintar, memesona, dan bisa melucuti pakaian dari wanita mana pun yang ada di hadapannya dalam hitungan detik... tanpa menggunakan tangannya.

Tapi Pippa sadar ia tidak mampu menemukan pria itu sama sekali. Tidak diragukan lagi kalau Cross pintar, tapi tidak ada banyak pesona dalam interaksi mereka, sementara soal tampan –yah,  Cross memang sangat jangkung, kakinya jenjang dan tubuhnya kekar, dengan rambut coklat kemerahan yang disisir oleh tangannya. Tidak, pria itu tidak tampan. Tidak secara klasik.

Cross menarik. Dan itu jauh lebih baik.

Atau lebih parah, dalam kasus ini.

Jelas Cross berwawasan luas dalam bidang fisika dan geografi, juga berbakat dengan angka –Pippa berani bertaruh kalau kurangnya kertas buram di meja Cross disebabkan oleh kemampuan pria itu dalam menjumlahkan angka-angka di luar kepala. Mengesankan, mengingat jumlah angka-angka yang tercantum di buku besar itu.

Dan Cross tidur di lantai.

Setengah telanjang.

Bagian yang itu agak aneh.

Pippa suka yang aneh-aneh.

Tapi rupanya Cross tidak. Dan itu penting.

Namun, ia sudah bersusah payah menyusun rencana, dan ia tidak akan membiarkan tentangan seorang pria –betapapun menawannya pria itu- menghalanginya. Toh, ia sudah ada di klub judi. Dan klub judi kabarnya dipenuhi oleh pria. Pasti ada pria lain yang lebih bisa menerima permintaannya. Ia seorang ilmuwan, dan ilmuwan selalu bisa beradaptasi.

Oleh karena itu, ia akan beradaptasi dan melakukan apa pun yang harus dilakukan demi mendapatkan pemahaman yang dibutuhkan guna menjamin bahwa ia siap dalam menghadapi malam pernikahannya.

Pernikahannya.

Pippa tidak suka mengucapkannya –bahkan memikirkannya- tapi earl of Castleton bukan calon suami yang paling menarik. Oh, Castleton memang memiliki penampilan serta gelar yang baik, yang dikagumi oleh ibunya, Dan pria itu memiliki estat yang megah.

Tapi Castleton tidak terlalu cerdas. Bahkan penggambaran "tidak terlalu cerdas" masih terlalu halus. Castleton pernah bertanya kepadanya dari bagian tubuh babi yang mana sosis berasal. Ia bahkan tidak ingin membayangkan apa jawaban menurut Castleton.

Bukannya ia tidak mau menikah dengan Castleton. Tidak diragukan lagi kalau pria itu pilihan terbaiknya, tak peduli kalau sang earl menjemukan atau kurang pintar. Castleton tahu tingkat kecerdasannya kurang dan sepertinya dengan senang hati -bahkan dengan penuh semangat- mengizinkan Pippa membantunya mengelola estat dan mengurus rumahnya. Pippa sudah tidak sabar untuk melakukannya, sudah pernah membaca banyak buku mengenai rotasi tanaman, irigasi modern, dan perkembangbiakan hewan.

Ia akan menjadi istri yang sempurna dalam bidang itu.

Bidang yang lainlah yang membuat Pippa bertanya-tanya. Dan ia punya waktu empat belas hari untuk mengungkapkan jawabannya.

Apa permintaan itu terlalu berlebihan?

Rupanya iya. Pippa menarik pintu ruangan Cross yang sekarang tertutup, lalu merasakan hunjaman sesuatu yang tidak menyenangkan di dadanya. Penyesalan? Ketidakpuasan itu tidak penting. Yang penting adalah, ia harus mengubah rencananya.

Pippa menghela napas, lalu suara helaan napasnya meliputinya, menarik perhatiannya ke ruangan besar yang kosong.

Perhatiannya sangat terfokus untuk menemukan kantor pribadi Cross tadi, sehingga ia tak sempat menjelajahi kasino. Layaknya sebagian besar wanita di London, ia pernah mendengar gosip tentang The Fallen Angel -bahwa klub itu merupakan tempat mengesankan dan penuh skandal yang tidak boleh dikunjungi oleh wanita. Bahwa di lantai The Angel-lah, bukan lantai parlemen, para pria menempa masa depan Inggris. Bahwa para pemilik The Angel-lah yang menggenggam kekuatan paling berbahaya di London.

Memperhatikan ruangan besar dan senyap itu, Pippa mengakui bahwa tempatnya memang mengesankan... tapi gosip yang lain sepertinya agak berlebihan. Tidak banyak yang bisa dikatakan tentang tempat ini selain bahwa klub ini...

Sangat gelap.

Sebaris kecil jendela di dekat langit-langit pada salah satu sisi rungan menjadi satu-satunya sumber cahaya, mempersilahkan berkas-berkas sinar mentari masuk. Pippa mengikuti salah satu berkas cahaya yang panjang, disertai oleh partikel-partikel debu yang berputar-putar dengan perlahan, ke tempat di mana berkas cahaya itu menyentuh sebuah meja ek besar yang berjarak beberapa puluh sentimeter darinya, menyoroti kain wol hijau tebal yang ditulisi dengan huruf, angka, dan garis berwarna putih serta kuning.

Pippa mendekat, sebaris kata dan angka-angka yang asing tertera di meja oval panjang itu terlihat, dan ia tidak kuasa menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan menyapukan jemarinya di kain, di tulisan -hieroglif baginya- hingga ia menyentuh sebaris dadu putih bersih yang ditumpuk di salah satu dinding meja.

Mengangkat sepasang dadu, ia mengamati cekungan-cekungan sempurna yang ada di sana, menimbang berat persegi gading kecil itu di telapak tangannya, memikirkan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Sepertinya dadu-dadu itu tidak berbahaya -nyaris sepele- namun, para pria hidup dan mati karena lemparannya. Dulu, kakak iparnya pernah kehilangan segalanya karena sebuah pertaruhan. Memang, Bourne mendapatkan segalanya kembali, tapi mempertanyakan godaan yang membuat seseorang mau melakukan tindakan sekonyol itu.

Tidak diragukan lagi, ada kekuatan di dalam kubus-kubus putih kecil itu.

Pippa menggoyangkan dalam telapak tangannya, membayangkan ia sedang bertaruh -membayangkan apa yang dibutuhkan untuk menggodanya hingga mau bermain. Risetnya. Pemahaman akan rahasia-rahasia pernikahan, akan kehidupan pernikahan. Akan status ibu. Harapan yang jelas dari masa depan yang terlalu kabur.

Jawaban. Yang tidak ia miliki.

Informasi yang akan meredakan ketegangan di dadanya yang meningkat setiap kali ia memikirkan pernikahannya.

Pippa memutar dadu di tangannya, memikirkan pertaruhan yang dapat memberinya pencerahan sebelum ia bisa menetapkan takdirnya, namun suara ketukan kencang di pintu klub menarik perhatiannya dengan kegaduhan kerasnya yang tak henti-henti. Ia meletakkan dadu di pinggir meja permainan lalu beranjak menghampiri sumber suara sebelum tersadar bahwa ia tidak punya urusan dengan pintu itu dan seharusnya tidak membukanya.

Buk.

Buk, buk. 

Pippa memandang ke sekeliling ruangan yang besar secara sembunyi-sembunyi. Pasti seseorang mendengar kegaduhan ini. Seorang pelayan, pelayan dapur, pria tadi yang mempersilahkannya masuk?

Buk, buk, buk. 

Agaknya tidak ada yang mendengar.

Mungkin ia harus memanggil Cross?

Gagasan tersebut membuat Pippa tertegun. Atau, lebih tepatnya, bagaimana gagasan tersebut menghadirkan fantasi tentang rambut coklat kemerahan Cross yang berantakan dan mencuat ke sana-sini sebelum pria itu menyisirnya dengan jemari dan merapikannya membuat Pippa tertegun. Peningkatan janggal pada detak jantungnya yang dipicu oleh gagasan tersebut membuatnya tertegun. Ia mengerutkan hidung. Ia tidak peduli dengan peningkatan itu. Itu sama sekali tidak nyaman.

Buk, buk, buk, buk, buk.

Orang yang menggedor pintu itu tampaknya kehilangan kesabaran. Dan meningkatkan komitmennya.

Jelas, urusan pria atau wanita itu penting.

Pippa berjalan ke pintu, yang tersembunyi di balik sepasang tirai beludru tebal yang menggantung dari ketinggian enam meter, pintu kayu mahoni kokoh yang terbuka sedikit, melindungi lorong yang kecil dan gelap, sunyi dan meresahkan -Sungai Styx yang menghubungkan klub dengan dunia luar.

Pippa menyusuri kegelapan hingga ke pintu baja bagian luar, yang lebih besar lagi dari pintu di dalam, ditutup dan menghalau sinar mentari di baliknya. Di tengah keremangan, ia meraba pinggiran di mana pintu bertemu dengan kusennya, tidak menyukai cara bagaimana kegelapan menyiratkan bahwa seseorang bisa mengulurkan tangan dan menyentuhnya bahkan tanpa ia ketahui keberadaannya. Ia membuka sebuah gerendel lalu sebuah lagi sebelum memutar gagang besar yang tertanam di pintu lalu menariknya, memejamkan mata secara naluriah karena cahaya kelabu pada siang bulan Maret yang entah mengapa terasa seperti hari musim panas yang paling cerah setelah ia menghabiskan waktu di The Angel.

"Wah, astaga, aku tidak menyangka akan menjumpai sambutan secantik ini."

Pippa membuka mata begitu mendengar kata-kata kurang ajar itu, mengangkat tangan untuk membantu matanya menyesuaikan diri dengan cahaya.

Ada beberapa hal yang dapat ia katakan dengan penuh keyakinan tentang pria di depannya, topi hitam klasik dibalut dengan sutra merah tua dan dimiringkan ke salah satu sisi, tongkat berjalan berujung perak digenggam dengan sebelah tangan, berbahu bidang, dan berbusana necis, tapi Pippa tahu ini -pria itu bukan pria baik-baik.

Malah, belum pernah ada pria, baik-baik ataupun tidak, yang pernah tersenyum kepadanya seperti pria ini -seolah pria itu seekor rubah, dan ia seekor ayam betina. Seolah ia adalah kandang ayam betina. Seolah jika ia tidak berhati-hati, pria itu akan melahapnya lalu melenggang di St. James's dengan sehelai bulu yang terselip di gigi yang dipamerkan oleh senyum lebar.

Pria itu memancarkan aura bajingan.

Wanita pintar mana pun pasti kabur darinya, dan Pippa sangat pintar. Ia melangkah mundur, kembali ke kegelapan The Angel.

Pria itu mengikuti.

"Kau penjaga pintu yang jauh lebih baik daripada kawanan yang biasa. Mereka tidak pernah mengizinkanku masuk."

Pippa mengucapkan hal pertama yang terbersit di benaknya. "Aku bukan penjaga pintu."

Mata dingin pria iatu berbinar begitu mendengar kata-kata Pippa. "Kau jelas bukan penjaga, Darling. Digger bisa melihatnya."

Pintu luar tertutup dengan suara keras, dan Pippa tersentak karena suaranya, mundur ke klub lagi. Saat punggungnya menyentuh pintu dalam, ia berjalan miring melewati, menyibakkan tirainya.

Pria itu mengikuti.

"Kalau begitu, mungkin kau The Fallen Angel sendiri?"

Pippa menggelengkan kepala.

Rupanya itu jawaban yang diinginkan oleh pria itu, giginya berkilat di tengah keremangan arena kasino. Ia memelankan suaranya hingga lebih menyerupai gemuruh ketimbang suara. "Apa kau mau menjadi seperti itu?"

Pertanyaan tersebut menggantung di ruang di tengah mereka yang segera terasa menyesakkan, mengalihkan perhatian Pippa. Mungkin ia tidak mengenal pria ini, tapi ia tahu, secara naluriah, dibalik senyum tuanya, pria itu seorang berandalan dan mungkin seorang bajingan, dan bahwa pria itu mengetahui kemaksiatan dalam segala bentuk -pengetahuan yang pipa cari ketika ia sampai di sini tidak lebih dari satu jam yang lalu, siap memintanya dari pria lain. Pria yang menunjukkan ketertarikan barang sedikit pun untuk memberikannya.

Maka sewaktu pria ini, dengan bejat dan santai, bertanya kepadanya, Pippa melakukan apa yang selalu ia lakukan. Ia menjawab dengan jujur. "Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan."

Pippa mengejutkan pria itu. Mata biru pria itu yang aneh membelalak sedikit sebelum disipitkan karena ia mengulas senyum lebar dan riang. Ia tertawa, ceria dan lepas. "Bagus!" soraknya, lalu ia mengulurkan tangan kepada pipa, merangkulkan salah satu lengannya yang kuat ke pinggang Pippa lalu menarik Pippa kepadanya, seolah Pippa adalah boneka kain perca dan ia anak yang sudah tidak sabar lagi. "Aku punya banyak jawaban, Darling."

Pippa tidak menyukainya, perasaan yang dimiliki oleh pria yang terlalu lantang ini, dan ia mengulurkan tangan untuk mendorong dada pria itu, jantungnya berdebar kencang saat ia tersadar bahwa mungkin ia sudah mengucapkan hal yang sangat keliru kepada orang yang sangat keliru. Pria itu mengira ia ingin...

"My Lord," Pippa bergegas menghentikan pria itu. "Aku tidak bermaksud untuk..."

"Meskupun aku bukan lord, aku ingin sekali menjadi lord-mu." Pria itu tertawa, menyurukkan wajahnya ke leher Pippa. Pippa meronta karena belaian itu, berusaha untuk tidak menarik napas. Pria itu berbau keringat dan sesuatu yang manis. Kombinasinya tidak menyenangkan.

Pippa memalingkan kepalanya, mendorong dada pria itu lagi, ia berharap ia memikirkan semua ini dengan agak lebih baik sebelum cepat-cepat bercakap-cakap dengan pria ini. Pria itu tertawa lalu menarik Pippa semakin dekat, menjanjikan Pippa lebih dari yang Pippa minta dengan mempererat dekapannya lalu menempelkan bibir lembutnya ke lekuk bahu Pippa. "Ayolah, Darling, Paman Digger bisa mengurusmu."

"Aku tidak yakin mengurus yang kau maksud berhubungan dengan menjadi seorang paman," tukas Pippa, berusaha untuk terdengar setegas mungkin sembari berusaha melepaskan diri dari dekapan pria itu. Ia memandang ke sekelilingnya dengan panik; pasti di gedung luas ini ada seseorang yang bersedia membantunya. Di mana orang itu?

Digger tertawa lagi. "Kau menarik, ya?"

Pippa menyendengkan kepalanya ke belakang sejauh mungkin, tidak mau bersentuhan lagi. "Sama sekali tidak. Malah kebalikan dari menarik."

"Omong kosong. Kau di sini, kan? Kalau itu bukan menarik, aku tidak tahu apa namanya."

Digger ada benarnya. Tapi Pippa pun tahu mengaku poin seperti itu akan membawa mereka ke jalan yang tidak menyenangkan. Alih-alih, ia menegang, dan menggunakan setiap ons didikannya sebagai wanita baik-baik.

"Sir!" kata Pippa dengan tegas, menggeliat dalam pelukan Digger, seperti belut, berusaha menepiskan tangan pria itu. "Kuminta agar kau melepaskanku!"

"Ayolah, Cantik... ayo kita coba sekali. Apa pun yang kau dapatkan di sini... akan kulipatgandakan di tempatku."

Melipatgandakan apa?

Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan jawabannya. "Meskipun tawaran itu menggoda..."

"Akan kutunjukkan satu atau dua hal tentang godaan, sungguh."

Oh, astaga. Ini sama sekali tidak berjalan sesuai rencana. Pippa tahu ia harus berteriak meminta bantuan. Berteriak sangat emosional. Sama sekali tidak ilmiah.

Tapi, saat-saat genting membutuhkan... yah... Pippa menarik napas dalam-dalam, siap untuk berteriak sekencang-kencangnya, saat kata-kata membelah ruangan yang senyap laksana peluru.

"Singkirkan tanganmu darinya."

Pippa dan Digger sama-sama membeku begitu mendengar suara itu, pelan, lebut tapi entah bagaimana terdengar jelas. Dan tegas. Pippa memalingkan kepala, menoleh ke balik bahu dan melihat Cross, tinggi dan apik, rambut coklat kemerahannya yang lebat sekarang rapi, seolah ia tidak menizinkan yang sebaliknya. Cross juga sudah memasukkan kemejanya dan mengenakan jasnya dengan cara yang menurut Pippa sangat sopan, tapi itu tidak relevan sekarang, karena sopan adalah kata terakhir yang akan ia gunakan untuk menggambarkan Cross.

Bahkan, ia belum pernah melihat orang yang segusar itu di sepanjang hidupnya.

Cross kelihatan seperti ingin membunuh sesuatu.

Atau seseorang.

Mungkin dirinya.

Gagasan tersebut menyadarkan Pippa kembali, dan ia mulai meronta lagi, menjauh beberapa sentimeter sebelum kekuatan Digger yang lebih unggul menang, dan ia digiring ke sisi pria itu seperti sepotong daging mahal. "Tidak."

Mata kelabu Cross tertuju ke tempat di mana tangan Digger berada, lebar dan posesif di pinggang Pippa. "Itu bukan permintaan. Lepaskan gadis itu."

"Dia yang mendekatiku, Cross," kata Digger, nada suaranya terdengar geli. "Membawaku ke dalam godaan. Rasanya aku mau mempertahankannya."

"Itu sama sekali tidak benar." Secara naluriah Pippa membela diri, berontak dalam cengkraman si rubah, dalam hati meminta Cross menatap matanya. "Kau mengetuk pintu!"

"Dan kau membukakannya, Darling."

Pippa merengut dan memandang Cross.

Pria itu tidak membalas tatapannya. "Kelihatannya dia tidak ingin dipertahankan."

"Jelas tidak," Pippa membenarkan.

"Lepaskan lady itu."

"Selalu sangat santun, menyebut burung-burung The Angel sebagai lady."

Pippa menegang. "Maaf. Aku memang seorang lady."

Digger tertawa. "Dengan gaya seperti itu, kau bisa menipu seseorang di lain kesempatan!"

Kejengkelan tersulut. Pippa sudah muak dengan pria ini. Menjulurkan leher untuk menatap mata biru Digger, ia berkata "Sepertinya aku sudah membuat kesalahan besar dengan berbicara denganmu, Mr..." Pippa terdiam menunggu pria itu melakukan tindakan yang benar dan memberitahukan nama belakangnya. Saat pria itu tidak melakukannya. Pippa melanjutkan, "Mr. Digger. Percayalah kalau aku benar-benar seorang lady. Malah, aku akan segera menjadi countess."

Salah satu alis hitam terangkat. "Apa itu benar?"

Pippa mengangguk. "Benar. Dan kurasa kau tidak mau berada di pihak yang salah dalam pandangan seorang earl, kan?"

digger tersenyu, kembali mengingatkan Pippa kepada seekor rubah. "Itu tidak akan menjadi yang pertama kalinya, Darling. Earl yang mana?"

"Jangan jawab itu," sergah Cross. "Sekarang, Digger."

Pria yang menahan Pippa meleoaskannya, sentuhan pria itu meluncur pelan dan meresahkan di pinggangnya. Begitu terbebas, Pippa bergegas untuk berdiri di sebelah Cross, yang sekarang semakin tidak menghiraukannya, kalau itu bisa terjadi. Cross menghampiri Digger, kata-katanya terdengar santai, bertolak belakang dengan ancaman yang terpancar dari dirinya dengan segenap gerakannya. "Karena sekarang tuntutanku sudah terpenuhi, mungkin kau bisa menjelaskan apa sebenarnya yang sedang kau lakukan di klubku?"

Perhatian Digger masih terpusat pada Pippa, semakin penuh pertimbangan, bahkan sewaktu ia menjawab, "Wah, wah, Cross. Kau lupa diri. Aku mampir hanya untuk menyampaikan informasi yang kurasa kau inginkan... untuk menjadi tetangga yang baik."

"Kita bukan tetangga."

"Tidak penting. Aku punya insformasi yang pasti kau inginkan."

"Kau tidak mungkin memiliki informasi yang kuinginkan."

"Oh, ya? Bahkan informasi tentang adik perempuanmu sekalipun?"

Cross membeku, ketegangan meliputi lehernya yang jenjang lalu otot punggungnya yang ramping, membuatnya semakin tegak, semakin tinggi daripada sebelumnya.

Digger melanjutkan, "Kurasa kau bukan hanya menginginkannya... kau bersedia membayar demi mengetahuinya."

Udara bertambah pekat. Sejak dulu Pippa sudah mendengar ungkapan itu dan berpendapat kalau ungkapan tersebut sangat bodoh. Memang, udara bisa bertambah pekat karena kabut atau asap... ia bahkan mengaku kalau udara bisa bertambah pekat karena aroma menyengat dari parfum Olivia... tapi ia selalu menganggap gagasan bahwa emosi bisa memengaruhi kepadatan gas sangatlah konyol -permaian kata-kata bodoh dan klise yang seharusnya dihapus dari bahasa Inggris.

Tapi udara yang ini benar-benar bertambah pekat, dan rasanya ia sulit menarik napas, mencondongkan badan saking bersemangatnya.

"Tuhan pun tahu adikmu tidak mungkin menemuimu sendiri, dasar penipu."

Pippa terkesiap seeaktu mendengar cemoohan itu. Tentunya Cross tidak akan membiarkannya begitu saja. Tapi agaknya Cross tidak mendengar hinaan pribadi itu. "Kau tidak boleh menyentuh adikku."

"Bukan salahku kalau wanita tertarik kepadaku," kata Digger. "Pria sejati tidak mungkin menolak mereka kalau mereka meminta waktu satu atau dua menit." Pandangannya dialihkan kepada Pippa lagi. "Iya, kan, Lady Segera-menjadi-seorang-countess?"

"Rasanya aku tidak terlalu percaya kalau wanita itu tertarik kepadamu atau bahwa, dalam kasus ini, kau berperan sebagai seorang pria sejati," sahut Pippa.

"Wah!Dengarkan wanita ini!" Digger tertawa, wuaranya membahana. "Dia cerpelai mungil."

Pippa menyipitkan matanya. "Kurasa kau salah memilih kata."

"Tidak, aku menggunakan kata yang tepat. Kau cerpelai. Dengan gigi tajam dan..." pandangan bejat Digger menjelajahi tubuh Pippa, "aku yakin bulu yang sangat lembut. Katakan, Cross... apa kau sudah merasakannya?"

Pippa tidak memahami makna kata-kata itu, tapi ketika Cross menerjang Digger, dengan tangan secepat kilat yang mencengkram kerah pria yang lebih tua itu dengan kuat, ia yakin ia sudah dihina habis-habisan. "Kau harus meminta maaf kepada lady ini."

Digger melepaskan diri dari cengkraman Cross tanpa perlu bersusah payah, merapikan jas selututnya yang berwarna merah marun. "Ah, berarti belum, kurasa begitu," katanya dengan lugas. "Tapi penantianmu tidak akan lama lagi. Menurutku, bukan tipemu yang biasa." Ia membungkuk rendah-rendah, kilat menggoda melintas di matanya. "Maafkan aku, Lady Segera."

Gigi Pippa dikertakkan sewaktu ia mendengar nama yang ditujukan untuk mengejek itu.

Cross bicara, ada ancaman pada nada suaranya, "Enyahlah dari sini."

"Memangnya kau tidak mau mendengar apa yang hendak kusampaikan?"

Kebimbangan Cross sangat cepat berlalu... setengah detik... bahkan kurang. Tapi Pippa mendengarnya. "Tidak."

Salah satu ujung bibir Digger terangkat mengulas seringai. "Kau akan berubah pikiran. Kuberi waktu dua hari." Ia menunggu sejenak, dan firasat Pippa berkata bahwa ada pisau tak kasat mata yang menggantung di antara kedua pria ini, masing-masing kuat dengan caranya sendiri. Pippa bertanya-tanya siapa yang menggenggam senjata itu.

Digger memukul telak. "Kau tidak pernah bisa menolak masalah keluarga."

Cross mengangkat dagu dengan lagak menantang.

Digger menyentuh topinya sambil memandang Pippa, memanfaatkan gerakan itu untuk mengerling kepada Pippa. "Sedangkan kau, Ladi... ini tidak akan menjadi kesempatan terakhir kita bertemu."

"Kalau kau tahu apa yang terbaik bagi dirimu, ini akan menjadi kesempatan terakhir." Kata-kata Cross dingin dan tegas, tidak menyisakan ruang untuk bantahan.

"Omong kosong. Lady ini punya pertanyaan." Mata biru Digger menatap Pippa dengan tajam. "Aku punya jawabannya, sungguh."

Cross melangkah menghampiri Digger, suara rendah dan berat bergemuruh di tenggorokannya, menarik perhatian Digger. Digger menoleh kepada Cross sambil tersenyum. "Alasan lain bagimu untuk menemuiku."

Amarah Cross kentara jelas, membuat sesuatu yang tidak menyenangkan beriak di sekujur tubuh Pippa. "Pergi."

Digger sepertinya tidak senang, tapi tidak berlama-lama. "Dua hari, Cross."

Setelah mengedip cabul kepada Pippa, Digger pun pergi.

Mereka berdiri di tengah keheningan selama beberapa saat, memperhatikan tirai beludru tebal bergoyang sewaktu Digger keluar, mendengarkan suara berat dari pintu utama yang ditutup di belakangnya sebelum Pippa melepaskan napas yang tanpa ia sadari sudah ia tahan.

Mendengar suara itu, Cross menoleh kepada Pippa, mata kelabunya berkilat dan tampak gusar. "Mungkin kau ingin menjelaskan mengapa kau masih ada di sini?"




Back
Synopsis