"Hikmat
dunia ini adalah kebodohan bagi Tuhan."
-PERJANJIAN
BARU, I KORINTUS, 3:19
Baron Wexton jelas tidak peduli untuk mendapatkan elemen kejutan di pihaknya. Seruan perangnya bergema ke seantero pedesaan, nyaris tak menjatuhkan dedaunan yang layu dari cabang-cabangnya. Sebuah sangkakala berbunyi, memberikan pesan tambahan kepada pasukan prajurit yang sedang mendekat dari bawah, dan andai itu belum cukup, gemuruh kuda-kuda yang sedang berpacu menuruni landaian pasti memperingatkan Louddon dan anak buahnya mengenai ancaman yang sedang mendekat.
Madelyne terjebak di antara Duncan dan kakaknya ketika mereka menuruni bukit
itu. Para prajurit juga mengelilingi mereka, perisai mereka diangkat. Kendati
Madelyne tidak memegang alat pelindung diri seperi itu, Duncan dan Gilard
menahan dahan-dahan pohon yang bisa merenggutnya dari pelana, menggunakan
perisai mereka yang berbentuk layang-layang sebagai pelindung dari
cabang-cabang pohon berbonggol-bonggol yang menghalangi jalan mereka.
Ketika para prajurit sampai di sebuah punggung bukit yang kecil tinggi di atas lokasi yang Duncan pilih untuk pertempuran tersebut, Duncan menyentak tali kekang Silenus dan meneriakkan perintah kepada hewan tersebut. Si kuda jantan langsung berhenti. Duncan menggunakan tangannya yang bebas untuk mencengkram rahang Madelyne. Ia memberika tekanan ketika memaksa gadis itu mendongak menatapnya.
Mata abu-abu menantang mata biru. "Jangan berani-berani bergerak dari tempat ini."
Duncan hendak melepaskannya, tapi Madelyne menahan tangan pria itu. "Kalau kau mati, aku tidak akan menangisimu," bisik gadis itu.
Duncan sungguh-sungguh tersenyum kepada Madelyne. "Ya, kau akan menangis," jawabnya, suaranya terdengar arogan sekaligus lembut.
Madelyne tidak sempat menjawabnya. Duncan memerintahkan kudanya untuk maju dan berderap menuju pertempuran yang sudah berlangsung di bawah. Madelyne tiba-tiba saja sendirian di puncak punggung bukit yang gersang itu ketika prajurit Duncan yang terakhir bergerak melewatinya dalam kecepatan dahsyat.
Suara peperangan itu sangat nyaring. Baja menghantam baja, berdentang dengan intensitas yang menusuk telinga. Jeritan-jeritan tersiksa bercampur dengan teriakan-teriakan kemenangan. Madelyne tidak cukup dekat untuk melihat wajah-wajah perorangan, namun ia terus memperhatikan punggung Duncan. Kuda kelabu yang pria itu tunggangi mudah terlihat. Madelyne menyaksikan pria itu mengayunkan pedangnya dengan akurat, berpendapat kalau pria itu pasti diberkati oleh dewa-dewa ketika musuh hampir mengepungnya dan ia menjatuhkan setiap prajurit dari kuda mereka dengan hantaman pedangnya yang mematikan.
Madelyne memejamkan matanya hanya sekejap. Ketika ia melihat pemandangan itu lagi, kuda kelabu tersebut sudah menghilang. Dengan panik ia memindai area itu, mencari Duncan, serta Gilard, namun ia tidak menemukan satu pun dari dua bersaudara itu. Pertempuran itu perlahan bergerak ke arahnya.
Madelyne tidak pernah mencari kakaknya, sangat tahu bahwa pria itu tidak akan berada di pusat pertempuran. Louddon, tidak seperti Duncan, akan menjadi orang terakhir yang mengangkat pedangnya. Akan terlalu banyak resiko yang terlibat. Tidak, Louddon terlalu menghargai nyawanya, sedangkan Duncan sepertinya tidak menghargai nyawanya sama sekali. Louddon menyerahkan pertempuran kepada prajuritnya yang mengucapkan sumpah setia kepadanya. Dan jika pertempuran itu berubah merugikan Louddon, kakaknya itu akan menjadi orang pertama yang melarikan diri.
"Ini
bukan perangku," Madelyne berteriak dengan sangat lantang. Ia menarik tali
kekang, bertekad untuk pergi dari sana secepat mungkin. Ia tidak akan
menyaksikan lebih lama lagi. Aye, ia akan meninggalkan mereka
semua.
"Ayo, Silenus, kita pergi sekarang," kata Madelyne, menyenggol hewan itu seperti yang pernah ia lihat Duncan lakukan. Kuda jantan itu tidak bergerak. Madelyne menyentak tali kekang, dengan keras, bertekad untuk membuat hewan itu melakukan perintahnya. Para prajurit dengan cepat mendaki puncak bukit, dan kecepatan mendadak saja menjadi keharusan.
Duncan berang. Ia sudah mencari tapi tidak dapat menemukan jejak Louddon. Kemenangan atas musuhnya tentu saja akan menjadi hampa jika pemimpin mereka lolos lagi. Ia melirik cepat ke arah Madelyne dan terkejut melihat pertempuran mengepung gadis itu. Duncan kemudian menyadari bahwa pikirannya terlalu tersita untuk menemukan Louddon, sehingga ia tidak cukup memikirkan tentang keselamatan Madelyne. Ia mengakui kesalahan itu, mengutuk dirinya sendiri karena tidak memperkirakan ini dan meninggalkan prajurit untuk menjaga gadis itu.
Duncan melempar perisainya ke tanah dan bersiul dengan nyaring yang ia harapkan dapat terdengar oleh kuda jantan itu. Jantungnya menyumbat tenggorokannya saat ia berlari menuju puncak bukit. Ini adalah reaksi yang masuk akal, ujar Duncan ke dirinya sendiri, keinginan kuat untuk melindungi Madelyne ini, sebab gadis itu adalah tawanannya, dan ia bertanggung jawab untuk menjaga gadis itu tetap aman. Aye, itulah alasan kenapa ia saat ini bergegas menuju gadis itu, meraungkan amarahnya dengan kekuatan yang sama besarnya dengan seruan perang mana pun.
Kuda jantan itu merespons isyarat siulan tadi, dan menyerbu maju. Hewan itu akan mengizinkan Madelyne mengendalikannya sekarang, namun gadis itu kehilangan tali kekangnya saat kuda itu melompat.
Silenus melompati dua orang prajurit yang baru saja memanjat ke puncak bukit, menghantamkan kepala mereka dengan kaki belakangnya. Jeritan kedua prajurit tersebut menyertai mereka kembali ke dasar bukit.
Tak lama kemudian, Madelyne sudah berada di tengah-tengah pertempuran, dengan para prajurit di atas punggung kuda dan lebih banyak lagi berdesakan di tanah di sekelilingnya, semuanya bertempur demi nyawa mereka. Kuda jantan Duncan terhalang oleh para prajurit itu. Madelyne menempel di leher hewan itu dan memohon untuk kematian yang cepat.
Tiba-tiba Madelyne melihat Gilard menuju ke arahnya. Pria itu berjalan, memegang pedangnya yang dilumuri darah di satu tangan dan perisai yang penuh goresan di tangan yang lain, menangkis serangan dari arah kiri sementara menusukkan pedangnya ke depan dengan tangan kenannya.
Salah satu prajurit Louddon menerjang Madelyne, pedangnya terangkat ke arah gadis itu. Ada sorot gila yang melapisi matanya, seolah-olah pria itu telah melewati batas kesadaran tentang apa yang sedang ia lakukan.
Madelyne sadar, pria itu berniat membunuhnya. Ia menjeritkan nama Duncan, namun sadar bahwa keselamatannya tergantung pada kecerdikannya sendiri. Tidak ada jalan untuk melarikan diri selain tanah yang keras, dan Madelyne cepat-cepat melemparkan dirinya ke sisi tubuh kudanya. Ia tidak cukup cepat. Pedang prajurit itu menemukan targetnya, menyayat dengan dalam di sepanjang paha kiri Madelyne. Ia menjerit kesakitan, namun suara itu tenggelam di tenggorokannya saat ia menghantam tanah. Udara terkuras dari paru-parunya.
Jubahnya menyusulnya ke tanah, menumpuk di puncak bahunya. Terpana, dan dalam keadaan nyaris terguncang, konsentrasi Madelyne mendadak terfokus untuk menarik jubahnya ke sekeliling tubuhnya, sebuah proses yang lambat dan sukar yang membuatnya terobsesi untuk menyelesaikannya. Rasa sakit di pahanya begitu intens pada awalnya sehingga ia mengira ia akan mati karenanya. Kemudian perasaan mati rasa yang penuh berkah menetap di pahanya dan di dalam pikirannya, memberi Madelyne kekuatan baru. Ia berdiri merasa linglung dan bingung, mencengkram jubahnya ke dadanya sambil menyaksikan para prajurit yang sedang bertarung di sekelilingnya.
Kuda jantan Duncan menyenggol Madelyne di antara tulang belikatnya, nyaris menjatuhkannya ke tanah lagi. Ia memulihkan keseimbangannya dan bersandar pada sisi tubuh hewan itu, mendapatkan hiburan dari fakta bahwa kuda itu tidak melompat kebur sewaktu ia terjatuh tadi. Hewan itu juga bertindak sebagai barikade, melindungi punggung Madelyne dari serangan.
Air mata mengalir di wajah Madelyne, sebuah reaksi yang tidak disengaja terhadap aroma kematian yang meresap di udara. Gilard meneriakkan sesuatu kepadanya, namun Madelyne tidak dapat memahami apa yang pria itu teriakkan. Ia hanya bisa menatap sementara pria itu terus berjalan ke arahnya. Gilard berteriak lagi, suaranya lebih kencang, namun perintahnya bercampur dengan hantaman baja yang saling bergesekan dan menjadi terlalu kacau untuk dipahami.
Pikiran Madelyne memberontak melihat pembantaian itu. Ia mulai berjalan menuju Gilard, yakin bahwa itulah yang pria itu ingin Madelyne lakukan. Dua kali ia tersandung kaki dan lengan milik prajurit yang terbunuh, bertebaran bagai sampah yang di buang ke tanah. Benaknya hanya tertuju untuk mendatangi Gilard, satu-satunya orang yang ia kenali dalam belantara kehancuran ini. Dalam benaknya menyala sebauah harapan bahwa Gilard akan membawanya kepada Duncan. Lalu Madelyne akan aman.
Madelyne hanya beberapa meter jauhnya saat Gilard diserang dari belakang. Pria itu berbalik untuk menghadapi lawannya yang baru, punggungnya tidak terlindungi. Madelyne melihat seorang prajurit Louddon yang lain menyambar kesempatan itu, mengangkat pedangnya yang menghitam ke udara saat ia berlari menuju target yang rentan tersebut.
Madelyne berusaha menjeritkan peringatan, namun suaranya mengecewakannya dan hanya sebuah rintihan yang lolos.
Ya Tuhan, hanya dirinyalah satu-satunya orang yang cukup dekat untuk membantu Gilard, satu-satunya orang yang bisa membuat perbedaan. Madelyne tidak ragu-ragu. Ia menyambar salah satu senjata yang terbuang dari jemari kaku milik mayat tak berwajah. Itu adalah sebuah gada berat dan sulit dipegang yang tebal dengan paku-paku dan darah kering.
Madelyne menggenggam senjata tersebut dengan kedua tangannya, berjuang menahan bobotnya. Mencengkram ujung yang tumpul, ia separuh menyeret, separuh mengangkat senjata tersebut seraya bergegas memosisikan dirinya di belakang Gilard, punggungnya hampir menyentuh punggung pria itu. Lalu ia menunggu si musuh untuk menyerang.
Prajurit itu tidak gentar, sebab Madelyne hanya memberikan pertahanan yang lemah untuk melawan baju zirah dan kekuatan pria itu. Secercah senyum membuat wajah si prajurit terlihat masam. Sembari berteriak menantang, pria itu berlari ke depan, senjatanya yang panjang dan melengkung menyayat-nyayat udara dengan niat membunuh.
Madelyne menunggu hingga detik yang paling akhir, kemudian mengangkat gada itu dari tanah dan mengayunkannya dalam lengkungan lebar. Teror meminjamkan kekuatan padanya. Ia hanya bermaksud menghalangi serangan pria itu, namun paku-paku yang menonjol dari kepala bundar senjata itu memutuskan mata rantai pada tunik besi prajurit itu dan menusuk daging lembut yang tersembunyi di bawahnya.
Gilard menyelesaikan pertarungannya melawan serangan dari depan, dengan cepat berbalik untuk berusaha mendatangi Madelyne, dan hampir saja menjatuhkan gadis itu. Gilard berbalik tepat pada waktunya untuk melihat pembunuhan itu, menyaksikan, seperti hanya Madelyne, saat si prajurit musuh jatuh ke tanah dengan jeritan yang terperangkap di tenggorokannya dan paku-paku pada gada tertancap di pinggangnya. Gilard begitu tercengang dengan apa yang baru saja ia saksikan, sehingga selama sesaat ia tak dapat bicara.
Madelyne mengeluarkan erangan rendah penuh derita. Ia melipat lengannya di depan pinggangnya dan membungkuk. Gilard berpendapat gadis itu bersikap seolah dirinyalah yang mendapatkan luka. Ia berusaha menolong Madelyne, mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.
Madelyne begitu tenggelam dalam horor karena apa yang baru saja ia lakukan, sehingga ia bahkan tidak menyadari keberadaan Gilard lagi. Perang itu berhenti menjadi nyata baginya.
Duncan juga menyaksikan pembunuhan itu. Dalam satu gerakan cepat, ia menunggangi kuda jantannya dan memerintahkan hewan itu berderap ke arah Gilard. Adiknya itu melompat minggir ketika Duncan meraih ke bawah dan menyambar Madelyne. Ia mengangkat Madelyne dengan sebelah lengannya yang kuat dan hampir membanting gadis itu ke pelana di depannya.
Tuhan memang Maha Pengasih, sebab sisi kakan tubuh Madelyne-lah yang menerima benturan keras itu, sedangkan pahanya yang terluka hampir tidak terhuncang.
Pertempuran itu hampir berakhir. Prajurit Duncan sedang mengejar prajurit Louddon yang mundur ke lembah.
"Selesaikan," seru Duncan kepada Gilard. Ia menyentak tali kekang, mengarahkan kudanya ke arah bukit lagi. Kuda itu berderap menjauh dari medan pertempuran, garis keturunan dan kekuatan hewan itu kini terlihat jelas saat berderap mendaki medan yang berbahaya dengan kecepatan menakjubkan.
Duncan telah membuang jubah dan perisainya saat bertarung tadi. Ia kini menggunakan tangannya untuk melindungi wajah Madelyne dari dahan-dahan pohon yang berayun-ayun di jalan mereka.
Madelyne tidak menginginkan satu pun perhatian dari pria itu. Madelyne mendorong Duncan, mencoba membuat pria itu melepaskan dirinya, lebih memilih tanah yang keras daripada sentuhannya yang memuakkan.
Karena pria itulah Madelyne telah membunuh seseorang.
Duncan tidak mencoba mendiamkan Madelyne. Pada saat ini keamanan adalah perhatian utamanya. Ia tidak memelankan kecepatan kudanya hingga mereka cukup jauh dari ancaman. Ia akhirnya menghentikan kuda jantannya ketika mereka memasuki kumpulan pepohonan. Di sana sepi serta terlindungi.
Duncan sangat marah kepada dirinya sendiri karena menempatkan Madelyne ke dalam bahaya seperti itu. Ia mengalihkan perhatiannya kepada gadis itu sekarang. Saat ia melihat air mata yang mengalir di wajah gadis itu, ia mengerang frustasi.
Kemudian Duncan berusaha menenangkan gadis itu. "Kau bisa berhenti menangis, Madelyne. Kakakmu tidak termasuk di antara mereka yang tewas. Simpan air matamu."
Madelyne bahkan tidak sadar kalau dirinya sedang menangis. Ketika kata-kata itu meresap, Madelyne menjadi begitu berang karena pria itu salah menafsirkan kesedihannya, sampai-sampai ia hampir tidak mampu membentuk sebuah jawaban. Pria itu sungguh rendah.
Madelyne menghapus air mata di pipinya, menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan udara segar dan amarah baru. "Aku tidak tahu apa artinya kebencian yang sesungguhnya sampai hari ini, Baron. Tapi, kau telah memberi kata kotor itu arti baru. Dengan Tuhan sebagai saksiku, aku akan membencimu hingga saat aku mati. Lebih baik begitu," lanjutnya. "Lagi pula, aku sudah dikutuk masuk neraka dan semuanya karena dirimu."Suara Madelyne begitu pelan sehingga Duncan terpaksa mencondongkan tubuh ke depan hingga keningnya menyentuh kening Madelyne hanya untuk mendengar kata-kata gadis itu.
Gadis itu tidak masuk akal sama sekali.
"Apa kau tidak mendengarkanku?" desak Duncan, walau ia menjaga suaranya sepelan suara gadis itu. Ia merasakan ketegangan di pundak Madelyne, tahu kalau gadis itu nyaris kehilangan kendali, dan mencoba menenangkannya lagi. Ia ingin bersikap lembut kepada gadis itu, sebuah reaksi yang menurut pendapatnya tidak biasa, namun ia memberi alasan kepada tindakannya dengan berkata pada dirinya sendiri bahwa ini hanya karena ia merasa bertanggung jawab terhadap gadis itu. "Aku baru saja menjelaskan bahwa kakakmu selamat, Madelyne. Untuk saat ini," imbuhnya, memutuskan untuk memberi gadis itu kejujuran sekaligus hiburan.
"Kaulah yang tidak mendengarkanku," sahut Madelyne. Air mata mulai jatuh lagi, menyela perkataannya. Ia berhenti untuk menghapus air mata itu. "Karena kau, aku telah merenggut nyawa seseorang. Itu sebuah dosa besar dan kau patut disalahkan sama besarnya dengan diriku. Andai saja kau tidak menyeretku bersamamu, aku pasti tidak akan membunuh siapa pun."
"Kau sedih karena telah membunuh?" tanya Duncan, tidak mampu menghilangkan ketakjuban dari suaranya. Duncan harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa Madelyne hanyalah seorang wanita, dan hal-hal yang paling aneh tampaknya memang bisa membuat sedih para wanita. Ia juga mempertimbangakan semua yang telah Madelyne lalui karena dirinya dalam dua hari terakhir. "Aku sudah pernah membunuh lebih banyak lagi," ujarnya, bermaksud meringankan perasaan bersalah gadis itu.
Rencana Duncan gagal. "Aku tidak peduli kalau kau pernah membunuh berlegiun-legiun prajurit," cetus Madelyne. "Kau tidak punya jiwa, jadi tidak penting seberapa banyak nyawa yang kau renggut."
Duncan tidak punya jawaban untuk pernyataan itu. Ia sadar tidak ada gunanya berdebat dengan gadis itu. Madelyne terlalu kacau untuk berpikir dengan logis, dan juga pasti sangat lelah. Bahkan, gadis itu begitu sedih, sampai-sampai tidak mampu mengeraskan suaranya kepada Duncan.
Duncan membuai gadis itu di dalam pelukannya, mengeratkan cengkramannya sampai gadis itu berhenti memberontak. Seraya menghela napas lelah, ia bergumam, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang pada Madelyne, "Apa yang harus kulakukan padamu?"
Madelyne mendengar dan menjawab cepat. "Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan padaku." Ia menyentak kepalanya ke belakang untuk memandang pria itu. Lalu Madelyne melihat sayatan bergerigi tepat di bawah mata kanan Duncan. Ia menggunakan manset gaunnya untuk menyeka aliran darah Duncan, tapi perlakuan lembutnya itu bertentangan dengan kata-kata marahnya. "Kau bisa meninggalkanku di sini, atau kau bisa membunuhku," ia memberitahu Duncan sambil menepuk-nepuk tepi luka sayatan pria itu. "Tak ada yang dapat kau lakukan yang akan membuat perbedaan bagiku. Kau seharusnya tidak membawaku bersamamu, Duncan."
"Kakakmu mengejarmu," Duncan menekankan.
"Tidak," Madelyne membantah pria itu. "Dia mengejarmu karena kau menghancurkan kastilnya. Dia tidak peduli padaku. Andai saja kau mau membuka pikiranmu, aku tahu aku bisa meyakinkanmu tentang yang sebenarnya. Tapi kau terlalu keras kepala untuk mendengarkan orang lain. Aku merasa tak ada gunanya bicara denganu. Aye, tidak ada gunanya! Aku bersumpah aku tidak akan pernah bicara lagi denganmu."
Omelan panjangnya menghabiskan kekuatan Madelyne yang terakhir. Madelyne selesai membersihkan luka lecet Duncan semampunya lalu terkulai di dada pria itu, mengabaikan pria itu.
Lady Madelyne adalah sebuah paradoks. Duncan hampir jadi tidak berdaya karena cara lembut Madelyne menyentuh wajahnya sementara gadis itu mencoba merawat lukanya. Duncan rasa gadis itu bahkan tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan. Duncan mendadak teringat pada bagaimana Madelyne menghadapi Gilard waktu mereka berada di Benteng Louddon. Aye, saat itu Madelyne adalah sebuah paradoks juga. Madelyne menunjukkan ekspresi tenang di hadapan Gilard sementara adiknya itu meneriakkan rasa frustasinya, namun, selama itu juga gadis itu memegangi tangan Duncan.
Sekarang Madelyne marah kepada Duncan sambil merawatnya. Duncan menghela napas lagi. Ia menempelkan dagunya ke puncak kepala Madelyne dan bertanya dalam hati bagaimana mungkin, dalam nama Tuhan, seorang wanita lembut seperti ini berhubungan darah dengan sang iblis.
Perasaan kebas semakin memudar. Sekarang ketika gelombang amarah meninggalkannya, paha Madelyne mulai berdenyut-denyut menyakitkan. Jubahnya menyembunyikan lukanya dari Duncan. Madelyne yakin pria itu tidak menyadari lukanya dan ia mendapatkan kepuasan tak masuk akal dari fakta tersebut. Itu merupakan sebuah reaksi yang tidak logis, namun Madelyne sepertinya tidak mampu berpikir dengan masuk akal. Ia mendadak sangat lelah, sangat lapar, dan amat kesakitan, sehingga ia tidak mampu berpikir sama sekali.
Para prajurit bergabung dengan pemimpin mereka dan dalam hitungan menit mereka berangkat menuju benteng Wexton. Satu jam kemudian menjadi tekad penuh ketabahan yang menghindarkan Madelyne dari menyuarakan keluhan.
Tangan Duncan tidak sengaja menyapu paha Madelyne yang terluka. Jubah dan gaun Madelyne sedikit meredam rasa sakit yang membakar itu. Gadis itu menahan jeritannya. Ia menepis tangan pria itu, namun rasa panas dari sentuhan Duncan tetap bertahan, membakar lukanya ke tingkat yang sangat menyiksa.
Madelyne sadar ia akan segera muntah. "Kita harus berhenti sebentar," ia memberitahu Duncan. Ia ingin berteriak pada pria itu, serta menangis, tapi ia sudah bersumpah bahwa pria itu tidak akan menghancurkan apa yang tersisa dari wataknya yang lembut.
Madelyne tahu Duncan mendengarnya. Anggukan Duncan menyatakan bahwa pria itu mendengarnya, tapi mereka terus berkuda, dan setelah beberapa menit lagi, Madelyne menyimpulkan bahwa pria itu telah memutuskan untuk mengabaikan permintaannya.
Dasar monster tidak berprikemanusiaan! Kendati hanya memberinya sedikit penghiburan, dalam hati Madelyne membuat daftar seluruh sebutan buruk yang ingin ia teriakkan kepada pria itu. Ia mengumpulkan setiap kata kotor yang dapat ia ingat, walaupun perbendaharaan kata-kata kotornya terbatas. Itu membuatnya puas, sampai ia sadar ia mungkin telah tenggelam hingga ke level Duncan. Sial, dirinya adalah wanita yang lembut.
Perutnya tidak mau tenang. Madelyne ingat pada sumpahnya untuk tidak bicara pada pria itu lagi, tapi ia terpaksa, karena keadaan, untuk mengulangi permintaannya. "Kalau kau tidak berhenti, aku akan muntah ke seluruh tubuhmu."
ancaman Madelyne mendapat reaksi langsung. Duncan mengangkat tangannya, memberi perintah untuk berhenti. Ia turun dari kuda dan mengangkat Madelyne ke tanah sebelum gadis itu bisa menyiapkan diri.
"Kenapa kita berhenti?" Pertanyaan tersebut datang dari Gilard, yang juga telah turun dari kudanya dan bergegas menghampiri kakaknya. "Kita hampir sampai di kastil."
"Lady Madelyne," jawab Duncan, tidak memberi gilard informasi apa pun lagi.
Madelyne sudah mulai berjalan dengan tersiksa menuju privasi yang diberikan oleh pepohonan, namun ia berhenti sejenak ketika mendengar pertanyaan Gilard. "Kau bisa tetap berdiri di sana dan menungguku, Gilard."
Itu terdengar seperti sebuah perintah. Gilard mengangkat sebelah alisnya dengan terkejut. menoleh kepada kakaknya. Duncan mengernyitkan dahi sementara mengawasi Madelyne, dan gilard menyimpulkan bahwa kakaknya sebal dengan cara gadis itu berbicara kepadanya tadi. "Dia sudah melalui sebuah siksaan," Gilard buru-buru memberi alasan, kalau-kalau Duncan memutuskan untuk membalas.
Duncan menggeleng. Ia terus mengawasi Madelyne sampai gadis itu menghilang ke dalam hutan. "Ada yang salah," gumamnya, mengernyit saat ia mencoba memahamiapa yang mengganggunya.
Gilard menghela napas. "Barangkali dia sakit?"
"Dan, dan dia mengancam akan..." Duncan tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi melangkah menyusul Madelyne.
Gilard mencoba menahan kakaknya dengan tangannya. "Beri dia privasi, Duncan. Dia akan kembali kepada kita," ujarnya. "Tidak ada tempat baginya untuk bersembunyi," ia beralasan.
Duncan menepis tangan adiknya. Ia melihat sorot kesakitan di mata Madelyne, juga memperhatikan kekakuan ekstrim pada cara gadis itu berjalan. Secara naluriah Duncan tahu perut yang bergolak bukanlah penyebabnya. Gadis itu tidak akan memperlakukan sisi kanan tubuhnya dengan hati-hati jika memang itu masalahnya. Dan jika memang gadis itu nyaris muntah, Madelyne pasti akan lari, bukannya berjalan menjauh dari para prajurit. Nay, ada yang salah dan Duncan bermaksud untuk mencari tahu apa itu.
Duncan mendapati gadis itu sedang bersandar di sisi sebatang pohon ek yang berbonggol-bonggol, kepalanya menunduk. Duncan berhenti, tidak ingin melanggar privasi gadis itu. Madelyne sedang menangis. Duncan mengawasi ketika gadis itu perlahan-lahan melepaskan jubahnya dan membiarkan pakaian itu jatuh ke tanah. Kemudian ia mengerti alasan sebenarnya gadis itu menangis. Sisi kiri gaunnya robek sampai ke tepi, dan basah kuyup dengan darah.
Duncan tidak sadar kalau ia berteriak sampai Madelyne merintih ketakutan. Madelyne tidak punya kekuatan untuk menjauh atau melawan ketika Duncan menjauhkan tangan gadis itu dari pahanya dan berlutut di samping gadis itu.
Saat Duncan mengamati kerusakan itu, ia dipenuhi oleh amarah hebat, kedua tangannya gemetar saat membuka paksa pakaian itu. Darah kering memperlambatnya. Tangan Duncan bersar serta canggung, tapi ia mencoba untuk bersikap selembut mungkin.
Luka tersebut dalam, hampir sepanjang lengan bawahnya, dan tertutup tanah. Luka itu perlu dibersihkan dan dijahit.
"Ah, Madelyne," bisik Duncan, suaranya serak. "Siapa yang melakukan ini padamu?"
Suara Duncan terdengar bagaikan belaian hangat, simpatinya terlihat jelas. Madelyne tahu ia akan mulai menangis lagi kalau pria itu menunjukkan lebih banyak kebaikan lagi padanya. Aye, lalu kendali dirinya akan hancur, seperti salah satu dahan yang rapuh tempat ia sekarang berpegangan.
Madelyne tidak akan membiarkannya. "Aku tidak menginginkan simpatimu, Duncan." Ia menegakkan bahunya dan mencoba memberi pria itu tatapan mengusir. "Jauhkan tanganmu dari kakiku. Ini tidak pantas."
Duncan begitu terkejut melihat kewibawaan itu, sampai-sampai ia hampir tersenyum. Ia melirik, melihat api di mata gadis itu. Kemudian Duncan sadar apa yang Madelyne coba lakukan. Harga diri telah menjadi pertahanan gadis itu. Ia sudah menyadari betapa Madelyne menghargai kendali diri.
Duncan memaksakan suara yang serak ketika berdiri dan menjawab gadis itu. "Kau tidak akan mendapatkan simpati dariku, Madelyne. Aku seperti seekor serigala, aku tidak merasakan emosi manusia."
Madelyne tidak membalas ucapan Duncan, namun mata gadis itu melebar karena komentar itu. Duncan tersenyum dan berlutut lagi.
"Tinggalkan aku sendiri."
"Nay," jawab Duncan, suaranya lembut. Ia menarik belatinya dan mulai memotong secarik kain yang panjang dari gaun gadis itu.
"Kau merusak gaunku," gerutu Madelyne.
"Demi Tuhan , Madelyne, gaunmu memang sudah rusak," jawab Duncan.
Dengan selembut mungkin, Duncan membungkuskan carikan kain tersebut ke sekeliling paha Madelyne. Ia sedang mengikat kain tersebut, ketika gadis itu mendorong bahunya.
"Kau menyakitiku." Madelyne membenci dirinya sendiri karena mengakui itu. Sial, ia akan menangis.
"Tidak."
Madelyne terkesiap, lupa pada segalanya tentang menangis. Ia berang karena komentar pria itu. Berani-beraninya pria itu membantahnya! Madelyne-lah yang menderita.
"Pahamu membutuhkan jarum dan benang," cetus Duncan.
Madelyne menampar bahu Duncan saat pria itu berani mengangkat bahu setelah membuat pernyataan itu.
"Tak seorang pun yang akan menusukkan jarum ke tubuhku."
"Kau wanita yang keras kepala, Madelyne." Duncan berbicara sembari membungkuk untuk memungut jubah gadis itu. Ia menyampirkan jubah tersebut ke bahu Madelyne dan kemudian mengangkatnya dalam pelukan, berhati-hati untuk melindungi lukanya.
Secara insting Madelyne melingkarkan lengannya di leher pria itu. Ia mempertimbangkan untuk mencakar mata Duncan karena cara mengerikan pria itu dalam memperlakukannya. "Kaulah yang keras kepala, Duncan. Aku seorang gadis berwatak manis yang pasti akan kau coba hancurkan jika aku memberimu kesempatan. Dan aku bersumpah kepada Tuhan, ini terakhir kalinya aku berbicara padamu."
"Ah, dan kau begitu hormat sampai-sampai tidak pernah mengingkari janjimu. Benar, kan, Madelyne?" tanya Duncan saat ia menggendong gadis itu dan kembali kepada para prajurit yang sedang menunggu.
"Itu benar," jawab Madelyne seketika. Ia memejamkan matanya dan bersandar di dada pria itu. "Otakmu seperti otak serigala, tahukah kau? Dan otak serigala itu kecil."
Madelyne terlalu lelah untuk melihat bagaimana reaksi Duncan terhadap hinaannya. Dalam hati, ia teringgung dengan cara pria itu memperlakukannya, lalu menyadari bahwa ia seharusnya berterima kasih atas sikap dingin pria itu. Bahkan, Duncan sudah membuatnya cukup marah untuk melupakan rasa sakitnya. Selain itu, kurangnya rasa belas kasih Duncan telah menolong Madelyne mengatasi dorongan untuk lepas kendali dan menangis di hadapan pria itu. Itu akan menjadi suatu hal yang tidak pantas, menangis seperti bayi, dan martabat serta harga dirinya merupakan selubung berharga yang selalu ia kenakan. Juga akan memalukan jika ia kalah. Madelyne mengizinkan dirinya tersenyum kecil, yakni kalau Duncan tidak bisa melihatnya. Duncan adalah pria yang bodoh, sebab pria itu baru saja menyelamatkan harga diri Madelyne dan bahkan tidak menyadarinya.
Duncan menghela napas. Madelyne baru saja melanggar janjinya ketika berbicara kepada Duncan. Ia tidak merasa ingin menekankan fakta tersebut kepada gadis itu, tapi itu tetap membuatnya merasa ingin tersenyum lebar.
Duncan menginginkan detail-detailnya dari Madelyne, untuk mengetahui bagaimana gadis itu sampai terluka dan oleh tangan siapa. Di dalam hati, ia tidak bisa percaya salah satu dari prajuritnya sendiri yang menyakiti Madelyne; tapi prajurit Louddon juga akan mencoba melindungi gadis itu, iya kan?
Duncan memutuskan untuk menunggu jawabannya. Ia perlu mengendalikan amarahnya terlebih dahulu dan madelyne membutuhkan perawatan dan istirahat sekarang.
Sudah cukup sulit untuk bercakap-cakap dengan gadis itu. Duncan bukan pria yang terbiasa menyembunyikan amarahnya. Ketika ia diperlakukan dengan buruk, ia menyerang. Namun ia mengerti betapa Madelyne nyaris menangis. Menceritakan kembali yang telah terjadi pasti akan membuat gadis itu sedih.
Saat mereka sekali lagi dalam perjalanan menuju benteng Duncan, Madelyne menemukan pelarian dari rasa sakitnya, yaitu dengan meringkuk ke dada Duncan. Wajahnya bersandar di bawah dagu pria itu.
Madelyne merasa aman lagi. Raksinya terhadap Duncan membuat Madelyne bingung. Di dalam hatinya ia mengakui bahwa pria itu sama sekali tidak seperti Louddon, walaupun ia harus sekarat dulu sebelum mengatakan itu kepada Duncan. Ia masih tawanan Duncan, bagaimanapun juga, bidak milik pria itu yang dipakai untuk melawan kakaknya. Namun ia tidak benar-benar membenci pria itu. Duncan hanya membalas dendam kepada Louddon, dan Madelyne terjebak di tengah-tengah.
"Aku akan melarikan diri, kau tahu."
Madelyne tidak sadar telah mengucapkan pikirannya keras-keras sampai Duncan menjawabnya. "Tidak akan."
"Kita sudah sampai," seru Gilard. Tatapan Pria itu diarahkan kepada Madelyne. Sebagian besar wajah gadis itu tersembunyi dari pandangan, namun apa yang dapat Gilard lihat menampakkan sebuah ekspresi yang sangat tenang. Ia mengira gadis itu sedang tidur dan bersyukur karenanya. Sebenarnya, Gilard tidak tahu harus bersikap bagaimana kepada Lady Madelyne saat ini. Ia berada dalam posisi yang sangat canggung. Ia sudah memperlakukan gadis itu dengan sikap merendahkan. Dan bagaimana gadis itu membalasnya? Gadis itu menyelamatkan nyawanya. Ia tidak dapat mengerti mengapa Madelyne datang untuk membantunya saat itu dan ia sangat ingin bertanya. Akan tetapi, ia tidak melakukannya, sebab ia punya perasaan ia tidak akan menyukai jawaban gadis itu.
Saat Gilard melihat temok-tembok benteng menjulang ke angkasa di depan mereka, ia mendorong kudanya mendahului kuda Duncan sehingga ia bisa menjadi yang pertama memasuki halaman kastil bagian bawah. Berdasarkan ritual dan tradisi, Duncan memilih menjadi yang terakhir memasuki keamanan yang diberika oleh tembok-tembok batu yang tebal itu setelah para prajuritnya. Prajurit-prajurit itu menyukai ritual ini, sebab itu mengingatkan mereka semua bahwa tuan mereka menempatkan nyawa mereka di atas nyawanya sendiri. Kendati setiap prajurit telah bersumpah setia kepada Baron Wexton, dan mereka dengan rela memenuhi panggilan untuk bergabung dengannya dalam perang, setiap prajurit itu juga tahu bahwa mereka bisa bergantung kepada tuan mereka demi mendapat perlindungan.
Anak buah Duncan merupakan prajurit terlatih yang terbaik di Inggris. Duncan menilai keberhasilan dengan cara memberikan sejumlah ujian yang mustahil untuk dipenuhi oleh pria-pria biasa. Anak buahnya dianggap sebagai sedikit yang terpilih, meskipun jika dihitung dengan akurat, jumlah mereka seluruhnya hampir enam ratus orang, dan mereka semua dipanggil untuk memenuhi kewajiban empat puluh hari mereka. Kekuatan mereka sangat dihormati, dibisikkan oleh orang-orang yang lebih rendah, dan perbuatan-perbuatan mereka yang luar biasa berani diceritakan kembali tanpa perlu dilebih-lebihkan untuk memeriahkan cerita tersebut. Cerita yang sebenarnya sudah cukup menarik.
Para prajurit mencerminkan martabat pemimpin mereka, seorang lord yang dmengayunkan pedangnya dengan akurasi yang jauh lebih hebat daripada semua penentangnya. Duncan of Wexton adalah seorang pria yang pantas ditakuti. Musuh-musuhnya menyerah untuk mencoba menemukan kelemahannya. Sang pejuang tidak menunjukkan kerentanan. Ia tidak tampak tertarik dengan tawaran-tawaran duniawi. Tidak, Duncan tidak pernah menjadikan emas sebagai istri keduanya seperti yang dilakukan para pria lain dari statusnya. Sang baron tidak menunjukkan kelemahan kepada dunia luar. Ia adalah pria baja, atau begitulah yang dengan menyesal diyakini oleh mereka yang ingin melukai sang baron. Ia adalah seorang pria tanpa nurani, seorang pejuang tanpa hati.
Madelyne tidak terlalu tahu tentang reputasi Duncan. Ia merasa terlindungi di dalam pelukan pria itu sementara mengawasi para prajurit berlalu dalam barisan. Ia penasaran dengan cara Duncan menunggu.
Madelyne mengalihkan perhtatiannya pada benteng di hadapannya. Bangunan yang sangat besar itu berdiri di puncak bukit gersang, tanpa ada satu pun pohon yang membantu mengurangi kegersangan itu. Sebuah tembok batu abu-abu mengelilingi benteng itu dan pasti lebarnya paling tidak dua ratus meter lebih. Madelyne tidak pernah melihat sesuatu yang begitu besar. Tembok itu cukup tinggi untuk menyentuh bulan yang terang benderang, atau begitulah kelihatannya bagi Madelyne. Ia dapat melihat satu bagian menara bundar menonjol dari dalam benteng, begitu tinggi hingga puncaknya tersembunyi dari pandangan dalam awan-awan tebal.
Jalan menuju jembatan tarik melengkung bagaikan perut ular yang mendaki tanjakan berbatu-batu. Duncan mendorong kudanya meju ketika prajurit yang terakhir telah meninggalkan jembatan kayu yang membentang di atas parit. Kuda jantan itu amat bersemangat untuk mencapai tujuannya, berjalan menyamping dengan bersemangat yang menggetarkan paha Madelyne sehingga terasa sakit lagi. Ia meringis karena rasa pedih itu, tidak sadar kalau dirinya sedang meremas lengan Duncan.
Duncan tahu gadis itu kesakitan. Ia menunduk menatap Madelyne, melihat ekspresi kelelahannya, dan merengut.
Kau akan segera dapat beristirahat, Madelyne. Bertahanlah sebentar lagi," bisik Duncan, suaranya kasar karena khawatir.
Madelyne mengangguk dan memejamkan matanya.
Ketika mereka sampai di pekarangan. Duncan cepat-cepat turun dari kuda lalu mengangkat Madelyne ke dalam pelukannya. Ia memeluk gadis itu erat-erat ke dadanya, kemudian berbalik dan mulai berjalan menuju rumahnya.
Para prajurit berbaris di jalan. Gilard sedang berdiri dengan dua orang prajurit di depan pintu kastil. Madelyne membuka matanya dan menatap Gilard. Ia pikir pria itu tampak bingung, namun ia tidak dapat memikirkan alasannya.
Ketika mereka sudah lebih dekat, barulah Madelyne menyadari kalau Gilard tidak sedang menatapnya. Oh, perhatian pria itu tertuju ke kakinya. Madelyne melirik ke bawah, lalu melihat kalau jubahnya ternyata tidak menyembunyikan lukanya lagi. Gaun yang compang-camping itu terseret-seret di belakangnya bagaikan panji yang dirobek-robek. Hanya darah yang menutupinya, mengalir turun di sepanjang kakinya.
Gilard buru-buru membuka pintu, sebuah pintu ganda yang menjulang di atas para prajurit. Sambutan udara hangat menyapa Madelyne ketika mereka sampai di tengah-tengah sebuah lorong kecil.
Area di sekeliling Madelyne sudah jelas merupakan menara utama untuk para prajurit. Pintu masuknya sempit, lantainya dari kayu, dan kediaman prajurit terletak di sebelah kanan. Sebuah tangga bundar mengambil bagian seluruh dinding disebelah kiri, membentuk anak tangga lebar dan menikung yang menuju ke kediaman di atas. Ada sesuatu yang anehnya mengganggu tentang struktur bangunan tersebut, tapi Madelyne tidak dapat memahami apa yang mengganggunya sampai Duncan menggendongnya separuh jalan menaiki tangga.
"Tangga ini berada pada sisi yang salah," kata Madelyne tiba-tiba.
"Nay, Madelyne. Tangga ini berada pada sisi yang benar," jawab Duncan.
Madelyne pikir pria itu terdengar terhibur. "Tangga ini tidak berada pada sisi yang benar," ia membantah pria itu. "Tangga selalu dibangun di sebelah kanan dinding. Siapa pun tahu itu," imbuhnya dengan wibawa besar.
Untuk suatu alasan. Madelyne berang karena Duncan tidak mengakui kekurangan yang jelas terlihat pada rumahnya.
"Tangga memang dibangun di sisi kanan, kecuali tangga tersebut secara sengaja diperintahkan untuk dibangun di sisi kiri," jawab Duncan. Setiap kata diucapkan dengan saksama. Duncan bertingkah seolah-olah sedang mengajari seorang anak yang bodoh.
Kenapa Madelyen berpendapat kalau diskusi ini sangat penting, tidak dapat dipahami. Akan tetapi, ia memang menganggapnya penting, dan ia bersumpah untuk mengakhiri tipok ini. "Itu kesengajaan yang bodoh, kalau begitu," cetusnya kepada pria itu. Madelyne mendelik kepada Duncan dan menyesal karena pria itu tidak sedang menunduk untuk melihat pelototannya itu.
"Kau pria yang keras kepala."
"Kau wanita yang keras kepala," balas Duncan. Ia tersenyum, senang dengan pengamatannya.
Gilard mengekor di belakang kakaknya. Menurutnya, percakapan mereka konyol. Namun ia terlalu khawatir untuk tersenyum karena kelakar bodoh mereka.
Gilard tahu Edmond pasti sedang menunggu mereka. Aye, saudara tengahnya itu pasti akan berada di aula. Adela mungkin ada di sana juga. Gilard sadar ia kini mencemaskan Madelyne. Ia tidak ingin gadis itu menglami konfrontasi yang tidak menyenangkan. Dan ia berharap akan ada waktu untuk menjelaskan sifat lembut Madelyne kepada kakaknya, Edmond.
Kecemasan Gilard untuk sementara dikesampingkan saat Duncan sampai di lantai kedua dan tidak berbelok untuk masuk ke aula besar. Ia mengambil arah yang sebaliknya, menaiki tangga yang lain lagi, kemudian memasuki mulut menara. Anak tangganya lebih sempit dan iring-iringan tersebut agak melambat karena lengkungan yang tajam.
Ruangan di puncak menara tersebut sangat dingin. Ada sebuah perapian yang dibangun di tengah-tengah dinding bundar. Sebuah jendela besar juga telah ditambahkan, tepat di samping perapian tersebut. Jendela itu terbuka lebar, daun jendela dari kayu menampar-nampar tembok batu dengan keras.
Ada sebuah tempat tidur di dinding bagian dalam. Duncan mencoba untuk bersikap lembut ketika ia menempatkan Madelyne di atas selimut. Gilard mengikuti di belakang mereka sementara Duncan memberikan sejumlah perintah kepada adiknya itu sembari menunduk untuk menumpuk batangan-batangan kayu ke dalam perapian. "Suruh Gerty membawakan makanan untuk Madelyne, dan katakan pada Edmond untuk membawa obat-obatannya. Dia akan menggunakan jarumnya kepada Madelyne."
"Dia akan mendebat ini," komentar Gilard.
"Dia akan tetap melakukannya."
"Siapa Edmond?"
Pertanyaan yang diucapkan dengan pelan itu berasal dari Madelyne. Duncan dan Gilard menoleh menatap gadis itu. Madelyne berjuang untuk duduk, dan mengernyit karena mustahil melakukan itu. Gigi Madelyne bergemeretak karena udara yang dingin dan usahanya untuk duduk, dan akhirnya ia ambruk ke tempat tidur lagi.
"Edmond adalah saudara tengah di antara Duncan dan aku," jelas Gilard.
"Ada berapa jumlah Wexton bersaudara?" tanya madelyne, mengernyitkan dahi.
"Seluruhnya ada lima," jawab Gilard. "Catherine adalah anak sulung, selanjutnya duncan, kemudian Edmond, lalu Adela, dan yang terakhir aku," tambahnya sambil tersenyum. "Edmond akan merawat lukamu, Madelyne. Dia tahu cara-cara penyembuhan, dan sebelum kau menyadarinya, kau akan sehat seperti sediakala."
"Kenapa?"
Gilard mengernyit. "Kenapa apanya?"
"Kenapa kau mau aku sehat seperti sediakala?" tanya Madelyne, tampak jelas kebingungan.
Gilard tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ia berbalik untuk memandang Duncan, berharap kakaknya itu akan memberi Madelyne jawaban. Duncan sudah menyalakan api dan sekarang sedang menutup jendela. Tanpa berbalik, Duncan memberi perintah, "Gilard, lakukan seperti yang kuinstruksikan tadi."
Suara Duncan mengisyaratkan agar tidak ada argumen. Gilard cukup bijaksana untuk mematuhi. Ia berjalan ke arah pintu sebelum suara Madelyne terdengar olehnya. "Jangan bawa kakakmu. Aku mampu mengurus lukaku tanpa bantuannya."
"Sekarang, Gilard."
Pintu terbanting.
Kemudian Duncan menoleh kepada Madelyne. "Selama kau di sini, kau tidak akan melawan perintah-perintahku. Mengerti?"
Duncan menghampiri tempat tidur dengan langkah-langkah yang lambat dan penuh perhitungan.
"Bagaimana aku bisa memahami semua hal, Milord?" bisik Madelyne. "Aku hanyalah sebuah bidak, bukanlah begitu?"
Sebelum Duncan dapat menakutinya, Madelyne memejamkan mata. Ia bersedekap, sebuah aksi yang dimaksudkan untuk mengusir udara dingin di ruangan tersebut.
"Biarkan aku mati dengan tenang," bisik Madelyne dengan dramatis. Ya Tuhan, betapa ia berharap memiliki kekuatan dan keberanian untuk berteriak kepada pria itu. Ia begitu sengsara saat ini. Akan ada lebih banyak rasa sakit yang akan datang jika adik Duncan menyentuhnya juga. "Aku tidak punya tenaga untuk menerima pertolongan adikmu."
"Ya, kau punya, Madelyne."
Suara Duncan terdengar lembut, namun Madelyne terlalu marah untuk peduli. "Mengapa kau harus menyanggah semua yang kuucapkan kepadamu? Itu kekurangan yang buruk," gerutu Madelyne.
Sebuah ketukan terdengar di pintu. Duncan berseru sembari berjalan kembali melintasi ruangan. Ia menyandarkan satu bahunya ke rak di atas perapian, tatapannya di arahkan kepada Madelyne.
Madelyne terlalu penasaran untuk tetap memejamkan matanya. Pintu kamar berderit protes saat terbuka dan seorang wanita lanjut usia muncul. Ia membawa sebuah nampan di satu tangan dan sebuah teko di tangan yang lain. Ada dua buah kulit binatang yang terkepit di bawah lengannya. Pelayan itu adalah seorang wanita montok dengan mata coklat yang gelisah. Ia melontarkan tatapan singkat kepada Madelyne lalu berbalik untuk membungkuk dengan canggung kepada tuannya.
Madelyne memutuskan bahwa pelayan terrsebut takut kepada Duncan. Ia mengawasi wanita malang itu, merasa sangat iba kepadanya saat wanita itu mencoba menyeimbangkan barang-barang di tangannya dan menekuk lutut.
Duncan juga tidak membuatnya lebih mudah bagi wanita itu. Ia mengangguk kaku kepada wanita itu lalu memberi isyarat agar ia menghampiri madelyne. Tak sepatah pun kata dukungan atau perkataan baik hati yang pria itu ucapkan.
Si pelayan ternyata memiliki kaki yang cekatan, sebab segera setelah duncan memerintahkan tugas itu, ia hampir berlari ke tempat tidur, tersandung dua kali sebelum ia sampai di sana.
Ia meletakkan nampan makanan di samping Madelyne dan menawarinya teko air. "Siapa Namamu?" Madelyne bertanya kepada wanita itu. Ia menjaga suaranya tetap rendah sehingga Duncan tidak dapat mendengarnya.
"Gerty," jawab wanita itu.
Lalu wanita itu teringat pada selimut yang ia kepit di bawah lengannya dan cepat-cepat memindahkan nampan ke peti kayu di samping tempat tidur. Ia menyelimuti Madelyne dengan selimut tersebut.
Madelyne tersenyum berterima kasih dan itu mendorong Gerty untuk menyelipkan sisi-sisi kulit binatang tersebut di kaki Madelyne. "Saya bisa melihat Anda sedang menggigil setengah mati," bisik Gerty.
Gerty tidak tahu tentang luka Madelyne. Ketika ia menekan kulit tersebut ke paha Madelyne yang terluka, gadis itu memejamkan matanya erat-erat untuk menahan makian yang mengerikan dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Duncan melihat apa yang terjadi, berniat untuk menegur keras si pelayan, tapi wanita itu sudah selesai menyelimuti Madelyne. Gerty sedang menyerahkan makanan kepada Madelyne.
"Terima kasih atas kebikanmu, Gerty."
Penghargaan Madelyne membuat Duncan tercengang. Ia menatap tawanannya itu, melihat ekspresi tenang gadis itu, dan tahu-tahu ia menggeleng. Alih-alih mencaci maki si pelayan, Lady Madelyne berterima kasih.
Pintu mendadak terbuka. Madelyne menoleh, matanya melebar ketakutan. Pintu tersebut memantul ke dinding dua kali sebelum diam. Seorang pria raksasa berdiri di ambang pintu, dia berkacak pinggang dan wajahnya merengut garang. Madelyne menyimpulkan seraya mendesah lelah bahwa ini, pastilah, adalah Edmond.
Gerty melesat mengitari pria besar itu dan buru-buru keluar melalui pintu tepat ketika Edmond melangkah masuk ke dalam ruangan. Sebaris pelayan mengikuti, mengangkut mangkuk-mangkuk air dan berbagai macam nampan dengan guci-guci berbentuk aneh di atasnya. Para pelayan itu meletakkan nampan-nampan mereka di atas lantai di samping tempat tidur, lalu berbalik, membungkuk kepada Duncan, dan pergi. Mereka semua bertingkah seperti kelinci yang ketakutan. Dan mengapa tidak? Tanya Madelyne kepada dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, ada dua serigala di kamar ini bersamanya, dan bukankah itu cukup untuk menakuti siapa pun?
Edmond masih belum mengucapkan sepatah kata pun kepada kakaknya. Duncan tidak menghendaki konfrontasi di depan Madelyne. Ia tahu ia akan marah, dan itu akan membuat Madelyne ketakutan. Akan tetapi, ia juga tidak akan mundur.
"Kau tidak akan menyapa kakakmu, Edmond?" tanya Duncan.
Siasat itu berhasil, Edmond tampak terkejut karena pertanyaan tersebut. Sebagian amarahnya hilang dari wajahnya. "Kenapa aku tidak diberitahu mengenai rencanamu membawa adik perempuan Louddon pulang bersamamu? Aku baru saja tahu kalau Gilard mengetahui rencanamu tersebut sejak awal."
"Kuduga dia menyombongkannya juga," ujar Duncan menggelengkan kepala.
"Memang."
"Gilard melebih-lebihkan, Edmond. Dia tidak mengetahui niatku."
"Dan alasanmu merahasiakan rencana ini, Duncan?" tanya Edmond.
"Kau pasti akan mendebatnya," ujar Duncan. Ia tersenyum karena pengakuannya sendiri, seakan ia mendapatkan kegembiraan dalam pertengkaran itu.
Madelyne mengamati perubahan dalam tingkah laku Duncan. Ia sungguh-sungguh takjub. Duncan terlihat amat sangat tampan ketika tersenyum. Aye, pikir Madelyne, pria itu tampak manusiawi. Dan itu saja, omel Madelyne pada dirinya sendiri, yang akan dirinya izinkan untuk ia pikirkan mengenai penampilan pria itu.
"Kapan kau pernah mengabaikan sebuah perdebatan?" teriak Edmond kepada kakaknya.
Dinding-dinding pasti bergoyang karena suara itu. Madelyne bertanya-tanya apakah Edmond dan Gilard menderita semacam masalah pendengaran.
Edmond tidak setinggi Duncan, tidak ketika mereka berdiri berdekatan dengan satu sama lain. Akan tetapi, pria itu lebih mirip dengan Duncan daripada Gilard. Wajah Edmond sama-sama terlihat kejam ketika cemberut. Rupa wajah mereka hampir identik, hingga ke kernyitan mereka. Bagaimanapun juga, rambut Edmond tidak hitam; rambutnya secoklat ladang yang baru dibajak dan sama tebalnya. Dan ketika pria itu menoleh menatapnya, Madelyne pikir ia melihat senyum menyalakan mata coklat gelap itu sebelum berubah menjadi sedingin batu.
"Jika kau berniat untuk berteriak kepadaku, Edmond, aku harus memberitahumu bahwa aku tidak sanggup mendengarkan," kata Madelyne.
Edmond tidak menjawab. Ia bersedekap dan menatap gadis itu, lama dan tajam, sampai Duncan menyuruhnya untuk merawat luka Madelyne.
Ketika si tengah itu menghampiri tempat tidur, Madelyne mulai ketakutan lagi. "Aku lebih suka jika kalian meninggalkanku sendiri," ucapnya, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.
"Pilihanmu tidak penting bagiku," ujar Edmond. suaranya kini sepelan suara gadis itu.
Madelyne mengaku kalah ketika Edmond memberi isyarat kepadanya untuk menunjukkan kepada pria itu kaki yang mana yang harus ia rawat. Pria itu cukup besar untuk memaksanya, dan Madelyne perlu menjaga kekuatannya untuk melalui cobaan berat di hadapannya.
Ekspresi Edmond tidak berubah ketika Madelyne mengangkat selimutnya. Madelyne berhati-hati untuk melindungi sisa tubuhnya dari pandangan pria itu. Bagaimanapun juga, ia seorang lady yang terhormat dan sebaiknya Edmond mengerti itu sejak awal.
Duncan mendekat ke sisi lain tempat tidur. Ia mengernyitkan dahi ketika Edmond menyentuh kaki Madelyne, dan gadis itu meringis kesakitan.
"Kau sebaiknya memeganginya, Duncan," ujar Edmond. Suaranya kini lunak, konsentrasinya tampak jelas terpusat pada tugas di hadapannya.
"Nay! Duncan?"
Madelyne tidak mampu mengenyahkan sorot panik dari matanya.
"Tidak perlu," Duncan memberitahu adiknya. Ia memandang madelyne dan menambahkan, "Aku akan memeganginya jika keadaan memerlukan."
Bahu Madelyne terkulai ke tempat tidur lagi. Ia mengangguk dan ekspresi tenang muncul di wajahnya.
Duncan yakin ia akan harus menahan gadis itu, kalau tidak, Edmond tidak akan bisa menyelesaikan tugasnya membersihkan dan menjahit luka itu. Pasti akan terasa sakit, amat sangat sakit namun diperlukan, dan tidak akan memalukan bagi seorang wanita untuk menjerit selama siksaan tersebut.
Edmond menyusun perlengkapannya dan akhirnya siap untuk memulai. Ia memandang kakaknya, menerima anggukan pria itu, dan kemudian menatap Madelyne. Apa yang ia lihat mengejutkannya hingga ia terdiam. Ada kepercayaan di mata biru yang menakjubkan itu, dan tidak ada sedikit pun jejak ketakutan yang terlihat. Gadis itu sangat cantik, Edmond mengakui, tepat seperti yang Gilard katakan.
"Silahkan dimulai, Edmond," bisik Madelyne kemudian menyela pikiran-pikiran Edmond.
Edmond mengamati Madelyne melambaikan tangannya dalam gerakan anggun yang mengindikasikan bahwa gadis itu sedang menunggu. Ia hampir tersenyum melihat gaya penuh wibawa gadis itu. Suara serak Madelyne juga mengejutkan Edmond. "Apakah akan lebih mudah kalau kau hanya menggunakan pisau panas untuk menutup luka itu?"
Sebelum Edmond bisa menjawabnya, Madelyne buru-buru melanjutkan. "Aku tidak bermaksud untuk mengguruimu tentang cara melakukannya," katanya. "Kumohon jangan tersinggung, tapi kau sungguh-sungguh seperti orang barbar karena menggunakan jarum dan benang."
"Orang barbar?"
Edmond terlihat seolah-olah kesulitan memahami percakapan itu.
Madelyne menghela napas. Ia memutuskan dirinya terlalu lelah untuk mencoba membuat pria itu mengerti. "Silahkan dimulai, Edmond, “ ulangnya. “Aku siap.”
“Bolehkah?”
tanya Edmond, mendongak memandang Duncan untuk melihat reaksinya.
Duncan
terlalu cemas untuk tersenyum mendengar percakapan Madelyne. Ia terlihat muram.
“Kau ini
makhluk yang suka memerintah,” ujar Edmond pada Madelyne. Teguran itu
diperhalus oleh senyum pria itu.
“Lakukan
saja,” gerutu Duncan. “Penantian lebih buruk daripada tindakannya.”
Edmond
mengangguk. Ia menutup pikirannya dari segala hal kecuali tugasnya. Seraya
menguatkan dirinya untuk menghadapi jeritan-jeritan yang ia tahu akan segera
dimulai saat ia menyentuh gadis itu, ia kemudian memulai pembersihan.
Madelyne
tidak bersuara sedikit pun. Di suatu waktu selama siksaan itu, Duncan duduk di
atas tempat tidur. Madelyne langsung memalingkan wajahnya ke arah pria itu. Ia
bertingkah seolah meremas hingga ke bagian dalam diri Duncan. Kuku-kuku
jemarinya menancap ke dalam paha Duncan, namunDuncan rasa gadis itu tidak sadar
akan apa yang sedang dilakukannya.
Madelyne
rasa ia tidak akan sanggup menanggung rasa sakit itu lebih lama lagi. Ia
bersyukur Duncan ada di sana, meskipun ia tidak bisa mengerti mengapa dirinya
merasa seperti itu. Sepertinya ia sama sekali tidak mampu berpikir banyak saat
ini, hanya menerima bahwa Duncan telah menjadi jangkarnya untuk dipegang
erat-erat. Tanpa pria itu, kendali diri Madelyne akan runtuh.
Tepat
ketika Madelyne yakin ia akan mulai menjerit, ia merasakan jarum menusuk
kulitnya. Ketidaksadaran yang manis menguasai dirinya, dan ia tidak merasakan
apa-apa lagi.
Duncan
tahu ketika Madelyne pingsan. Perlahan-lahan ia melepas paksa tangan Madelyne
dari pahanya dan dengan lembut memalingkan pipi gadis itu hingga seluruh wajah
Madelyne terlihat olehnya. Air mata membasahi pipi gadis itu dan Duncan
menghapusnya pelan-pelan.
“Kurasa
aku lebih suka kalau dia menjerit,” gumam Edmond sembari menjahit daging yang
robek dengan jarum dan benangnya.
“Itu
tidak akan membuatnya lebih mudah bagimu,” jawab Duncan. Ia berdiri ketika
Edmond selesai dan mengawasi adiknya membungkuskan secarik kain katun tebal di
paha Madelyne.
“Sial,
Duncan, dia mungkin akan terserang demam dan tewas juga pada akhirnya,” Edmond
memperkirakan sambil merengut.
Ucapan
Edmond membuat Duncan berang. “Nay!
Aku tidak akan membiarkannya, Edmond.”
Edmond
terkejut mendengar pernyataan garang Duncan. “Kau peduli, Kak?”
“Aku peduli,”
ujar Duncan mengakui.
Edmond
tidak tahu harus berkata apa. Ia berdiri dengan mulut ternganga dan mengawasi
kakaknya berjalan keluar dari kamar.
Seraya
menghela napas lega, Edmond mengikuti kakaknya.
Duncan
telah meninggalkan kastil dan sedang berjalan menuju danau yang terletak di
belakang pondok tukang daging. Ia menyambut dinginnya cuaca, sebab itu
mengalihkan pikirannya dari pertanyaan-pertanyaan yang menyiksanya.
Ritual
berenang setiap malam merupakan tuntutan yang lain yang Duncan buat untuk
pikiran dan tubuhnya. Aye, itu adalah
sebuah tantangan yang dimaksudkan untuk menguatkan dirinya terhadap
penderitaan. Ia tidak menanti renang itu maupun menghindarinya. Dan ia juga
tidak pernah mundur dari ritual ini, baik saat musim panas atau musim dingin.
Duncan
menanggalkan pakaiannya dan menyelam dengan mulus ke dalam air yang dingin.
Berharap udara dingin akan cukup untuk mengeluarkan Madelyne dari pikirannya
selama beberapa menit saja.
Tidak
lama kemudian, Duncan menyantap makan malamnya. Edmond dan Gilard menemaninya,
sebuah peristiwa yang tidak biasa tentu saja, sebab Duncan terbiasa makan
sendirian. Kedua adiknya membicarakan banyak hal, namun tak satu pun dari
mereka yang berani menanyai Duncan tentang Lady Madelyne. Kebisuan dan wajah
masam Duncan yang terus-menerus sepanjang makan malam itu tidak cocok untuk
mendiskusikan masalah apa pun.
Duncan
tidak dapat mengingat kapan ia makan. Ia bertekad untuk beristirahat, tapi saat
akhirnya ia berbaring di ranjangnya, bayangan tentang Madelyne trus menyerbu.
Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia telah menjadi terbiasa dengan gadis
itu berada di dekatnya, dan pasti itulah satu-satunya alasan ia tidak bisa
tidur. Satu jam berlalu, kemudian satu jam lagi, dan Duncan tetap saja tidak
bisa tidur.
Pada
dengah malam, Duncan menyerah dalam pertarungan itu. Ia mengutuk dirinya
sendiri sepanjang jalan menuju menuju kamar menara, berkata pada dirinya
sendiri bahwa ia hanya ingin menjenguk Madelyne, untuk memastikan bahwa gadis
itu tidak menentangnya dengan cara meninggal dunia.
Duncan berdiri
di ambang pintu beberapa lama, sampai ia mendengar Madelyne menjerit dalam
tidurnya. Suara itu menarik Duncan ke dalam kamar. Ia menututp pintu,
menambahkan lebih banyak batang kayu ke perapian, lalu menghampiri Madelyne.
Gadis itu
tidur pada posisi tubuh yang sehat dengan gaunnya menumpuk di sekeliling
pahanya. Duncan mencoba, namun tidak dapat membetulkan gaun gadis itu sesuai
keinginannya. Frustrasi, ia menggunakan belatinya untuk mengoyak pakaian
tersebut. Ia tidak berhenti sampai blaut
dan tunik dalaman gadis itu sudah lepas, berkata pada dirinya sendiri bahwa
gadis itu akan jauh lebih nyaman tanpa kedua pakaian itu.
Kini
Madelyne hanya menggunakan baju dalaman putihnya. Lehernya yang tertekuk
menonjolkan payudaranya. Ada sebuah pengait sulaman yang halus dan lebar di
sekeliling garis lehernya; benang merah, kuning, serta hijau disulam dengan
cermat membentuk bordiran bunga-bunga musim semi. Itu merupakan hasil pekerjaan
feminin, dan sesuatu yang membuat Duncan senang, sebab ia tahu gadis itu telah
menghabiskan jam-jam yang panjang untuk mengerjakannya.
Madelyne
seelok dan sefeminin bunga-bunga pada baju dalamannya. Gadis itu sungguh
makhluk yang lembut. Kulitnya mulus, dan diwarnai oleh corak keemasan dari
cahaya yang berpendar dari perapian.
Ya Tuhan,
gadis itu memesona. “Sial,” gerutu Duncan kepada dirinya sendiri. Madelyne merupakan
pemandangan yang lebih daripada memesona tanpa gaunnya yang menghalangi
pandangan Duncan.
Ketika
Madelyne mulai menggigil, Duncan naik ke tempat tidur di sebelah gadis itu.
Ketegangan perlahan berkurang dari pundak Duncan. Aye, ia terbiasa dengan gadis itu berada di sisinya, dan pasti
itulah alasannya ia merasakan kepuasan seperti ini sekarang.
Duncan
menarik selimut ke atas mereka berdua. Ia hendak merangkul pinggang Madelyne
dan menarik gadis itu lebih dekat kepadanya, namun Madelyne lebih cepat. Gadis
itu bergeser ke tubuh Duncan, hingga bokongnya merapat dengan sangat intim di
pangkal paha pria itu.
Duncan
tersenyum. Lady Madelyne jelas-jelas sudah terbiasa pula dengan Duncan berada
di dekatnya, dan Duncan tersenyum arogan karena ia tahu gadis itu tidak
menyadarinya... belum.
Back
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar