Angela menghabiskan sore itu dengan mengamati kamarnya yang besar. Ia sudah mencoba berbaring di atas kasurnya yang besar dan beristirahat, namun itu sesuatu yang mustahil bagi seorang gadis yang tidak mengenal istirahat siang. Dengan tidak adanya sesuatu yang bisa dikerjakan, waktu terasa merangkak pelan.
Mengapa mereka tidak memberinya tugas? Ia bertanya-tanya apa tugasnya sekarang. Apakah Mr. Maitland lupa memberitahunya? Apakah ia akan melayani satu orang saja? Ia harap akan ada banyak pekerjaan yang bisa dilakukannya. Terlebih lagi, ia tidak ingin Jacob Maitland menyesal telah mengajaknya kemari.
Waktu yang terbuang ini, pikir Angela, sangat konyol. Pasti ada yang bisa dilakukannya.
Ia membuka pintu dan masuk ke ruang utama. Keheningan ini aneh karena rumah ini seharusnya penuh dengan anggota keluarga dan pelayan. Ia berjalan sedikit lagi, kemudian tersenyum pada lukisan potret Jacob Maitland. Rasa penasaran membawanya terus ke koridor ruang utama, sampai ke lukisan Bradford. Ia terkesiap saat berhadapan dengan lukisan itu. Ini bukan Bradford Maitland yang ada dalam ingatannya. Bradford yang ini, dengan wajah gelap karena sinar matahari, rambut hitamnya yang rapi, dan matanya yang memancarkan kemarahan, membuat Angela berpikir tentang bajak laut yang ganas, bahkan orang Indian yang liar, yang mampu membunuh tanpa belas kasihan. Bradford yang ini adalah pria yang berbahaya.
Angela menggigil. Ini adalah Bradford yang belum pernah dilihatnya. Atau, jangan-jangan pernah? Apakah Bradford terlihat sama pada malam pria itu menyelamatkannya dari Bobo? Angela menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu.
Angela berbalik dengan terheran-heran lalu turun ke lantai bawah.
Ruang makan adalah ruang pertama yang dilihatnya. Ruangannya menakjubkan, dengan meja panjang yang bisa memuat sepuluh orang, kursi bersandaran dan bantal kursi. Ada dua pintu di ruang makan. Yang satu terbuka dan menunjukkan ruangan kosong yang sangat besar yang panjangnya hampir sama dengan panjangnya rumah. Angela membuka pintu lainnya dan sampai di dapur yang berdinding bata merah, bagian rumah yang baru diperluas. Seorang wanita yang bertubuh sangat besar sedang menggilas adonan di meja yang besar. Seorang gadis di sampingnya mengupas persik, dan ada seorang anak laki-laki yang bertanya apakah ia boleh minta persiknya.
"Kau pasti gadis kecil yang diceritakan Hannah padaku," wanita berbadan besar menyeringai saat ia memperhatikan Angela. "Apa yang bisa kulakukan untukmu, Missy?"
"Apa kau punya kain lap yang bisa kugunakan?" Angela bertanya.
Wanita itu memandang Angela dengan kebingungan, kemudian menunjuk dengan jari yang dipenuhi tepung ke arah pintu lain. "Di dalam situ ada banyak lap... dari gaun-gaun Miss Crystal yang sudah tak terpakai."
"Terima kasih," sahut Angela malu-malu dan membuka pintu tersebut.
Kamar kecil itu adalah gudang tempat penyimpanan alat-alat untuk membersihkan rumah. Ada sebuah kotak yang berisi kain-kain bekas di lantai, dan Angela tertegun dengan bahan-bahan yang ditemukannya. Sutra, beludru, tafeta, dan bahan-bahan bagus lainnya memenuhi kotak tersebut. Bagaimana bahan-bahan mahal ini bisa berakhir di kotak kain bekas? Setelah mengambil sehelai kain katun persegi, ia menuju ruang makan. Ternyata ruangannya sudah bersih dari debu, jadi ia pindah ke ruangan di sebelahnya. Ruangan ini ruangan pagi, yang ia ketahui sesudahnya. Ruangannya tidak besar, dan dilengkapi perabotan yang cukup untuk semua anggota keluarga. Dinding, tirai, dan perabotannya, semuanya berwarna putih dan biru lembut.
Lantainya tidak bernoda, begitu juga mejanya, namun Angela menemukan debu di lemari besar yang menyimpan ratusan boneka kecil. Ia mulai membersihkannya. Angela takjub dengan boneka kecil yang terbuat dari kaca tersebut dan mengambilnya dengan hati-hati. Setelah beberapa menit, ia mulai bersenandung, senang karena menemukan sesuatu untuk dikerjakan.
"Benar, kan, Robby, sudah kubilang aku mendengar suara orang di sini."
Angela dengan cepat berputar dan bertatapan dengan pandangan Crystal Maitland yang mencemooh. Kakaknya, Robert, melihat ke arah Angela dengan tatapan terkejut sekaligus senang, mata coklatnya menguliti Angela. Angela mengenal Crystal hanya dari penggambaran Hannah, tapi ia pernah melihat Robert beberapa kali saat di kota. Robert pria yang terawat, berusia sekitar dua puluh lima tahun, tinggi sedang, dengan rambut pirang muda seperti adiknya, dan wajah dengan garis aristokrat yang tegas. Kakak Crystal ini juga sahabat Zachary Maitland, dan ia menghabiskan lebih banyak waktu di Golden Oaks daripada perkebunannya sendiri.
"Yah, setidaknya dia membuat dirinya sendiri berguna," Crystal melanjutkan, seakan-akan Angela tidak ada di ruangan itu.
"Oh, aku yakin ayah mertuamu punya ide sendiri untuk memanfaatkan gadis yatim piatu ini," timpal Robert.
"Robby, sudah kubilang aku tidak mau mendengarkan gosip semacam itu. Ayah Maitland tidak akan membawa kemari untuk menjadi wanita simpanan," sahut Crystal tegas.
"Benarkah?" Robert bertanya dengan alis yang terangkat. "Lihat dia. Kau tak bisa menyangkal kalau dia cantik, dan Tuhan tahu rumah ini tidak butuh tambahan pelayan. Mungkin Jacob sudah begitu bodohnya hingga mengira kita takkan tahu alasan sesungguhnya mambawa gadis itu kemari."
"Oh, hentikan!" Crystal memohon. "Jika aku percaya pada perkataanmu, aku akan segera mengusirnya. Namun aku tidak percaya omongan bodohnu. Aku akan memastikan dia punya banyak pekerjaan dan layak untuk dibiayai. Lagi pula, akan menyenangkan punya pelayan berkulit putih di rumah ini, selama dia belajar bagaimana bertingkah laku. Dia dulu cukup liar, kau tahu."
"Dia telihat cukup jinak bagiku," sahut Robert, sebuah seringai muncul di bibirnya saat matanya seolah menelanjangi Angela.
Pipi Angela memerah. Apakah mereka tidak peduli pada fakta bahwa ia berdiri di dekat mereka?
"Namamu Angela... benar, kan?" tanya Crystal, kemarahannya pada kakaknya kini ia tujukan pada Angela.
"Ya."
"Well, Angela, pergi dan ambilkan aku segelas limun dan bawa ke ruang melukis. Dan jangan lama-lama."
Angela berlalu melewati mereka tanpa sepatah kata pun dan segera menuju dapur, wajahnya masih memerah. Hannah ada di sana dan tersenyum menyapa Angela dengan hangat saat ia masuk ke ruangan tersebut.
"Tilda bilang kau tadi kemari tapi kau belum diperkenalkan dengan cara yang semestinya," Hannah berkata hati-hati. "Ini Tilda, juru masak terbaik yang pernah ada."
"Aku sangat senang berkenalan denganmu, Tilda," ujar Angela tulus.
"Aku juga, Missy. Tentunya akan sangat menyenangkan kau berada di rumah ini."
Angela ingin tetap berada di sana dan berbincang, namun ia takut membuat Crystal Maitland menunggu. "Bisakah aku minta segelas limun?" ia bertanya cepat.
"Kau bisa mendapatkan apa saja yang kau mau, Missy," Tilda menjawab riang. "Ada teko di dekat meja. Aku akan melap tanganku dulu sebelum mengambilkan segelas limun untukmu."
Tilda bergerak ke arah meja dan menuangkan segelas limun segar, membuat Angela haus. Ia mengambil gelas itu, mengucapkan terima kasih, dan segera keluar ruangan. Ia langsung menuju ruang depan di koridor sebelah kanan, satu-satunya ruangan lain yang pintunya terbuka, dan melihat Crystal dan Robert sedang bersantai di sofa berwarna hijau dan putih.
Crystal mengambil gelas limun tadi, mencicipinya, kemudian menampakkan wajah tidak senang. "Gulanya kurang banyak! Ambil lagi dan pastikan rasanya sudah cukup manis sebelum kau kembali."
Angela mengambil gelas tadi dan meninggalkan ruangan, tapi ia berhenti di luar kamar saat mendengar Robert Lonsdale tertawa terbahak-bahak.
"Sejak kapan kau suka minuman manis?" Robert bertanya tergelak.
"Aku masih tidak suka. Namun sudah kukatakan tadi, aku akan membuatnya bekerja keras hingga patut hidup di sini," Crystal menjawab, kemudian terkikik. "Oh, ternyata akan menyenangkan ada gadis itu di sini."
"Ya. Kurasa aku juga akan memperpanjang masa kunjunganku," ujar Robert serius, kemudian menambahkan, "agar bisa melihat kesenangan ini, tentu saja. Aku tidak tahu kau punya darah kejam. Jika Pak Tua tahu itu..."
"Oh, diamlah, Robert!" Crystal membentak, kemudian tersenyum licik. "Ayah Maitland tidak akan pernah tahu."
Angela hampir menangis saat berlari ke dapur. Sengaja menjadi kejam, hanya untuk menggodanya!
"Bisakah kau membuatnya lebih manis?" Angela bertanya. Berusaha untuk tidak menunjukkan kekesalannya.
"Tilda pakai banyak gula jika membuat limun," sahut Hannah, terkejut. "Jika kau ingin gula lebih banyak lagi, kau bisa jadi gemuk, Missy."
"Oh, ini bukan untukku," tutur Angela cepat. "Limun ini untuk Miss Crystal."
"Mengapa kau mengambilnya?" Hannah bertanya, alisnya terangkat.
"Dia menyuruhku."
"Jadi, dia bilang limunnya kurang manis?"
"Ya."
"Oh Tuhan, pikirnya apa yang dia lakukan?" Hannah berteriak. "Tunggu di sini Missy. Jangan melakukan apa pun kecuali memperhatikan Tilda membuat pie persik. Aku yang akan membawa limun Miss Crystal. Kau tunggu saja dulu sepuluh menit lalu ke ruang kerja Master Jacob. Dia pasti ingin bicara denganmu."
Sepuluh menit kemudian, Hannah membuka pintu ruang kerja dan Angela masuk dengan ragu-ragu. Ruangan itu besar, dan diperluas sampai ke tepi rumah, dengan atap penghalang sinar matahari berwarna kuning kemerahan di jendela belakang. Satu dinding di tutupi buku dari dasar lantai sampai ke plafon, satu lagi tertutup lemari pajangan berisi senapan. Ada barang-barang seperti kepala hewan yang dipaku ke dinding, lukisan kuda liar, dan dinding yang tidak ada hiasan apa-apa. tirainya berwarna coklat dan panjangnya sampai ke lantai. Perabotnya ditutupi bahan kulit berwarna hitam. Terlihat jelas bahwa ini ruang kerja seorang pria.
"Hannah, katakan pada yang lain untuk menunggu di ruang makan. Aku akan terlambat beberapa menit," ujar Jacob.
"Baik, Sir," sahut Hannah, lalu menutup pintu, senyum penuh arti tersungging di bibirnya.
Jacob memutari mejanya dan menyuruh Angela duduk di sofa. "Anakku, sesuatu telah terjadi dan aku sama sekali tidak mengerti, dan kurasa kau bisa menolongku."
"Dengan senang hati jika aku bisa membantu, Sir," sahut Angela dengan antusias.
"Hannah bilang kau ke dapur untuk mengambil segelas limun, lalu kau kembali beberapa menit kemudian dan meminta tambahan gula. Apakah itu benar?"
"Benar, Sir."
"Dan limun itu untuk menantuku?"
"Iya, Sir."
"Dia memintamu untuk mengambilkannya, atau dia menyuruhmu?" Jacob bertanya.
"Bagiku tak ada bedanya, Sir," jawab Angela.
"Yang mana tepatnya, Angela?"
"Yah, setahuku, dia menyuruhku untuk mengambilkannya," Angela menjawab lemah. Apa kesalahan yang telah dilakukannya?
"Dan mengapa kau melakukannya?"
"Mengapa aku melakukannya? Oh, aku tahu kau menyuruhku untuk istirahat, dan aku tidak bermaksud untuk tidak patuh, tapi aku tidak terbiasa istirahat, Sir. Aku harus melakukan sesuatu, jadi aku turun ke lantai bawah siapa tahu ada yang bisa kukerjakan. Aku mulai mengelap perabotan, kemudian Miss Crystal datang menyuruhku. Aku tahu kau belum mengatakan apa tugasku, tapi kupikir tidak masalah jika aku langsung mulai bekerja. Aku minta maaf jika telah membuatmu marah, Mr. Maitland."
"Oh, Angela, apa yang akan kulakukan denganmu?" Jacob tertawa. "Satu pertanyaan lagi, Sayangku. Apakah menantuku menganggapmu seorang pelayan?"
"Dia memang mengatakan itu saat membicarakanku dengan kakaknya. Tapi kau pasti sudah bilang pada keluargamu mengapa mengajakku kemari."
"Ya, memang," kata Jacob sambil menghela napas. "Tapi tampaknya aku belum menerangkan situasinya dengan jelas. Ayo, ikut bersamaku ke ruang makan sekarang."
"Kau ingin aku melayani saat makan?"
"Tidak, kau akan makan bersama seluruh anggota keluarga," cetus Jacob dengan nada sabar.
"Tapi aku tidak bisa melakukannya!" Angela tiba-tiba tersadar. "Mereka tidak akan menyukainya."
"Aku kepala rumah tangga di rumah ini, Angela. Keluargaku mungkin keras kepala dan manja, namun kata-kataku menjadi hukum di sini. Dan kukira kita sudah setuju kau akan memanggilku Jacob," Jacob mengingatkan dengan senyum lembut.
Saat mereka muncul di koridor, semua mata di ruang makan itu memandang ke arah mereka. Angela merasa telapak tangannya mulai berkeringat. Ia tidak mengerti situasinya. Mengapa Jacob memaksanya untuk makan bersama mereka malam ini? Pasti akan ada penolakan. Ia yakin itu.
"Apa kita akan kedatangan tamu untuk makan malam, Ayah?"
Zachary Maitland-lah yang mengajukan pertanyaan itu. Angela belum pernah melihat Zachary, dan ia terkejut melihat kemiripan Zachary dengan sang ayah. Zachary mengingatkan Angela pada Bradford, kecuali mata hijau terangnya.
"Mengapa kau bertanya?"
"Ada satu piring ekstra yang di tata di meja," Crystal memberanikan diri.
"Penataan ekstra ini untuk Angela," ujar Jacob, lalu memandang masing-masing orang di ruangan tersebut untuk melihat reaksi mereka.
"Kau tidak mengizinkan dia makan dengan kita hanya karena dia berkulit putih, kan?" seru Crystal tak percaya. "Aku tidak pernah mendengar hal seaneh ini!"
"Ini tak masuk akal, Ayah," Zachary menambahkan. "Apa yang akan dipikirkan pelayan lain!"
"Sudah cukup!" sergah Jacob. Nada suaranya begitu tegas hingga ruangan itu menjadi hening dalam sekejap.
"Aku bermaksud menjelaskan," nada suara Jacob sudah lebih tenang. "Tapi pertama-tama, Robert, anakku, berbaikhatilah untuk menukar tempat dudukmu dengan Angela. Aku ingin dia duduk di sampingku."
Robert sudah menganggap Jacob Maitland sebagai orang tuanya sendiri sejak ia dan Zachary menjadi sahabat dua belas tahun yang lalu. Namun ia melakukan permintaan Jacob tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Kau sudah sangat keterlaluan, Ayah Maitland. Seberapa jauh lagi kami harus berdiam diri?"
"Kau akan melaksanakan apa pun yang kuinginkan, Sayangku. Aku percaya apa yang kuinginkan masih menjadi hukum di rumah ini."
Jacob mempersilahkan Angela duduk lalu mendorong kursinya, kemudian duduk di kepala meja. Angela tetap menundukkan kepalanya.
"Sekarang ada sedikit yang ingin kukatakan," Jacob mulai dengan suara biasa. "Aku mengatakan pada kalian semua kemarin bahwa salah seorang penyewa tanahku telah meninggal, dan putrinya tidak punya siapa-siapa lagi. Aku sudah bilang bahwa aku merasa bertanggung jawab atas Angela Sherrington, karena aku telah mengenal ayahnya selama belasan tahun ini, dan bahwa aku akan mengajaknya tinggal di Golden Oaks. Aku juga mengatakan hal yang sama pada Angela. Sekarang bagaimana kalian semua bisa menyimpulkan bahwa aku membawanya kemari untuk menjadikannya pelayan?"
"Maksudmu bukan itu tujuan dia dibawa kemari?" tanya Zachary keheranan.
"Tentu saja bukan!"
"Oh, Tuhan! Jika begitu Robert benar!" Crystal terkesiap. "Teganya kau membawa wanita simpananmu dan memamerkannya di depan kami."
"Demi Tuhan!" Jacob menggelegar, matanya berapi-api. "Dari mana kalian mendapat pikiran aneh itu? Jika aku cukup kejam dan membawa wanita simpananku ke rumah, aku pasti akan mengatakannya secara langsung. Dan karena kalian sudah membuka percakapan tidak bermutu ini, akan kukatakan aku memang punya wanita simpanan, yang hidup nyaman di kota. Dia janda yang baik hati dan berumur tiga puluhan akhir, yang sama sekali tidak ada niat untuk menikah lagi, walau aku sudah pernah melamarnya. Fakta bahwa kalian bisa mengira aku serendah itu menggoda seorang anak seumuran Angela adalah sesuatu yang tak bisa dimaafkan!"
"Lalu kenapa kau membawanya kemari?" Crystal berkeras ingin tahu.
Jacob menghela napas. "Angela akan menjadi anggota keluarga ini, dan dia akan diperlakukan demikian."
"Kau serius?" Zachary tertawa.
"Aku tak pernah seserius ini dalam hidupku. Aku telah mengenal Angela sejak dia lahir, dan aku selalu peduli padanya. Aku merasa seperti ayah baginya, dan jika dia mengizinkan, aku ingin tetap seperti ini. Seorang ayah untuk menggantikan ayahnya yang sudah tiada."
Saat itu, air mata Angela sudah mengalir sampai dagunya. Semua pertanyaan yang pernah ditanyakannya, ditanyakan oleh Crystal dan Zachary dan dijawab langsung. Apakah ini mungkin? Bagaimana keberuntungannya bisa bersinar begitu terang?
"Kau harus memafkanku, Angela, karena tidak mengatakannya padamu di ruang kerjaku, tapi aku hanya ingin mengatakannya satu kali," Jacob berkata lembut, kemudian melanjutkan, "Dan aku minta maaf tidak mengatakannya lebih jelas padamu setelah pemakaman. Tapi sekarang kau sudah tahu bahwa aku ingin merawatmu... apakah kau setuju?"
"Aku akan menjadi orang bodoh jika menolak tawaran baikmu, Mr. Maitland... maksudku, Jacob," Angela berhasil berkata tanpa tangis yang meledak.
"Bagus!" Jacob melihat ke sekeliling meja, menantang apa ada lagi yang akan bicara. Lalu ia tersenyum dan berseru dengan suara lantang, "Tilda, kau bisa menyajikan makanannya sekarang."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar