Jumat, 01 Juni 2018

One Good Earl Deserves a Lover 2


Kala usia Pippa tidak lebih dari enam atau tujuh tahun, kelima putri Marbury berparade dalam acara musikal (sebagaimana yang sering dilakukan oleh anak-anak tuan rumah) seperti bebek-bebek kuning kecil sebelum acara para bangsawan dimulai di sebuah pesta rumah pedesaan, detailnya sudah tidak ia ingat.

Ketika mereka meninggalkan ruangan, seorang pria tua dengan mata berbinar mencegatnya lalu menanyakan instrumen apa yang ia gemar mainkan. Nah, jika pria itu mengajukan hal semacam itu  kepada Penelope, kakak Pippa itu pasti menjawab dengan penuh keyakinan bahwa pianolah instrumen favoritnya. Bila pria itu bertanya kepada Victoria atau Valerie, si kembar pasti menjawab secara serempak bahwa mereka menyukai selo. Dan Olivia pasti memenangi hati pria itu dengan senyum anak lima tahunnya –yang saat itu saja sudah bergaya tersipu-sipu- dan memberitahu bahwa ia menyukai trompet.

Tapi secara keliru pria itu bertanya kepada Pippa, yang dengan bangga mengumumkan bahwa ia tidak punya waktu untuk musik, karena ia terlalu sibuk mempelajari anatomi. Menyalahartikan keterkejutan pria itu sebagai ketertarikan, Pippa kemudian mengangkat rok bermainnya dan dengan bangga menyebutkan nama-nama tulang yang ada di kaki dan telapak kakinya.

Ia baru sampai di tulang betis sewaktu ibunya datang meneriakkan namanya dengan latar belakang suara tawa para bangsawan yang cukup merdu.

Itulah pertama kalinya Pippa menyadari kalau dirinya aneh.

Itu juga pertama kalinya ia merasa malu. Emosi tersebut aneh –berbeda jauh dari semua emosi lain, yang agaknya sirna seiring dengan berjalannya waktu. Setelah makan, misalnya, sulit rasanya mengingat karakteristik dari rasa lapar. Tentu saja, orang pasti ingat ia ingin makan, tapi hasrat mendalam untuk mendapatkan makanan tidak mudah diingat.

Dalam hal serupa, Pippa sudah tidak asing lagi dengan kejengkelan –toh, ia punya empat orang saudari- tapi tidak ingat seperti apa merasa sangat jengkel kepada salah seorang dari mereka. Tuhan pun tahu ada hari-hari ketika ia bisa mendorong Olivia dari kereta kuda yang tengah melaju dengan santainya, tapi ia tidak bisa membangkitkan emosi itu sekarang.

Akan tetapi, ia bisa mengingat rasa malu membara yang menyertai suara tawa pada acara di desa itu seolah peristiwa itu baru terjadi kemarin. Seolah peristiwanya baru terjadi beberapa saat yang lalu.

Tapi yang benar-benar terjadi beberapa saat yang lalu entah mengapa terasa lebih memalukan ketimbang memamerkan pergelangan kaki anak berusia tujuh tahun kepada separuh dunia bangsawan. Dilabeli sebagai Marbury yang paling aneh sejak usia sedini itu bisa membuat  kulit seorang tebal. Dibutuhkan lebih dari sekedar sindiran dari balik kipas untuk membangkitkan rasa malu Pippa.

Rupanya dibutuhkan seorang pria yang menolak permintaannya untuk berlaku maksiat.

Seorang pria yang sangat jangkung, sangat cerdas, dan amat menawan.

Pippa sudah berusaha semampu mungkin –memaparkan proposalnya secara mendetail, menyebut Cross pria terpelajar- namun tetap saja pria itu menolak.

Pippa belum mempertimbangkan kemungkinan tersebut.

Seharusnya ia mempertimbangkannya. Seharusnya ia menyadarinya begitu ia melangkahkan kaki ke kantor megah itu –dipenuhi oleh berbagai macam benda yang menarik- seharusnya ia tahu kalau tawarannya tidak akan membuat pria itu tertarik. Jelas Cross pria yang pintar dan berpengalaman, sementara dirinya merupakan putri keempat dari seorang marquess ganda, yang bisa menyebutkan semua nama tulang di tubuh manusia dan karenanya agak abnormal.

Sama sekali tidak penting kalau ia membutuhkan seorang mitra riset dan bahwa ia hanya punya waktu empat belas hari –hanya 336 jam yang terus berkurang- untuk menjawab semua pertanyaannya mengenai pernikahannya nanti.

Jelas Cross sudah sering bereksperimen dan tidak membutuhkan mitra riset.

Bahkan mitra riset yang bersedia membayarnya sekalipun.

Memandang ke sekeliling ruang utama kasino yang luas dan kosong, Pippa rasa seharusnya ia juga tidak dikejutkan oleh fakta itu. Bagaimanapun juga, seorang pria yang memiliki kasino sebesar itu bukanlah jenis pria yang bisa tergoda oleh uang dua puluh lima pound. Atau lima puluh.

Seharusnya hal itu sudah ia pertimbangkan.

Sayang sekali, sungguh. Cross tampak sangat menjanjikan. Pilihan yang paling menjanjikan selagi ia menyusun rencana, beberapa malam sebelumnya setelah membaca naskah upacara yang akan ia hadapi dua minggu lagi.

Hasrat jasmani.

Prokreasi.

Tidak benar, kan, kalau seorang wanita menghadapi semua itu tanpa pengalaman? Bahkan tanpa penjelasan yang baik tentang poin-poin yang bersangkutan? Dan itu bahkan dibacakan sebelum pendeta sampai di bagian yang terkait dengan kepatuhan dan pelayanan.

Semuanya benar-benar meresahkan.

Menjadi kian meresahkan ketika Pippa memikirkan betapa kecewanya ia karena Cross menolaknya.

Ia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan sempoa Cross.

Bukan hanya sempoanya.

Pippa tidak suka berbohong, baik kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Tidak masalah kalau orang-orang di sekelilingnya ingin menyembunyikan kebenaran, tapi ia sudah lama mendapati bahwa ketidakjujuran malah menghasilkan kerepotan yang lebih besar di masa yang akan datang.

Maka... tidak, bukan hanya sempoa itu yang membuatnya penasaran.

Melainkan juga pria itu sendiri. Saat sampai di klub, Pippa menyangka akan menenukan Cross yang melegenda –tampan, pintar, memesona, dan bisa melucuti pakaian dari wanita mana pun yang ada di hadapannya dalam hitungan detik... tanpa menggunakan tangannya.

Tapi Pippa sadar ia tidak mampu menemukan pria itu sama sekali. Tidak diragukan lagi kalau Cross pintar, tapi tidak ada banyak pesona dalam interaksi mereka, sementara soal tampan –yah,  Cross memang sangat jangkung, kakinya jenjang dan tubuhnya kekar, dengan rambut coklat kemerahan yang disisir oleh tangannya. Tidak, pria itu tidak tampan. Tidak secara klasik.

Cross menarik. Dan itu jauh lebih baik.

Atau lebih parah, dalam kasus ini.

Jelas Cross berwawasan luas dalam bidang fisika dan geografi, juga berbakat dengan angka –Pippa berani bertaruh kalau kurangnya kertas buram di meja Cross disebabkan oleh kemampuan pria itu dalam menjumlahkan angka-angka di luar kepala. Mengesankan, mengingat jumlah angka-angka yang tercantum di buku besar itu.

Dan Cross tidur di lantai.

Setengah telanjang.

Bagian yang itu agak aneh.

Pippa suka yang aneh-aneh.

Tapi rupanya Cross tidak. Dan itu penting.

Namun, ia sudah bersusah payah menyusun rencana, dan ia tidak akan membiarkan tentangan seorang pria –betapapun menawannya pria itu- menghalanginya. Toh, ia sudah ada di klub judi. Dan klub judi kabarnya dipenuhi oleh pria. Pasti ada pria lain yang lebih bisa menerima permintaannya. Ia seorang ilmuwan, dan ilmuwan selalu bisa beradaptasi.

Oleh karena itu, ia akan beradaptasi dan melakukan apa pun yang harus dilakukan demi mendapatkan pemahaman yang dibutuhkan guna menjamin bahwa ia siap dalam menghadapi malam pernikahannya.

Pernikahannya.

Pippa tidak suka mengucapkannya –bahkan memikirkannya- tapi earl of Castleton bukan calon suami yang paling menarik. Oh, Castleton memang memiliki penampilan serta gelar yang baik, yang dikagumi oleh ibunya, Dan pria itu memiliki estat yang megah.

Tapi Castleton tidak terlalu cerdas. Bahkan penggambaran "tidak terlalu cerdas" masih terlalu halus. Castleton pernah bertanya kepadanya dari bagian tubuh babi yang mana sosis berasal. Ia bahkan tidak ingin membayangkan apa jawaban menurut Castleton.

Bukannya ia tidak mau menikah dengan Castleton. Tidak diragukan lagi kalau pria itu pilihan terbaiknya, tak peduli kalau sang earl menjemukan atau kurang pintar. Castleton tahu tingkat kecerdasannya kurang dan sepertinya dengan senang hati -bahkan dengan penuh semangat- mengizinkan Pippa membantunya mengelola estat dan mengurus rumahnya. Pippa sudah tidak sabar untuk melakukannya, sudah pernah membaca banyak buku mengenai rotasi tanaman, irigasi modern, dan perkembangbiakan hewan.

Ia akan menjadi istri yang sempurna dalam bidang itu.

Bidang yang lainlah yang membuat Pippa bertanya-tanya. Dan ia punya waktu empat belas hari untuk mengungkapkan jawabannya.

Apa permintaan itu terlalu berlebihan?

Rupanya iya. Pippa menarik pintu ruangan Cross yang sekarang tertutup, lalu merasakan hunjaman sesuatu yang tidak menyenangkan di dadanya. Penyesalan? Ketidakpuasan itu tidak penting. Yang penting adalah, ia harus mengubah rencananya.

Pippa menghela napas, lalu suara helaan napasnya meliputinya, menarik perhatiannya ke ruangan besar yang kosong.

Perhatiannya sangat terfokus untuk menemukan kantor pribadi Cross tadi, sehingga ia tak sempat menjelajahi kasino. Layaknya sebagian besar wanita di London, ia pernah mendengar gosip tentang The Fallen Angel -bahwa klub itu merupakan tempat mengesankan dan penuh skandal yang tidak boleh dikunjungi oleh wanita. Bahwa di lantai The Angel-lah, bukan lantai parlemen, para pria menempa masa depan Inggris. Bahwa para pemilik The Angel-lah yang menggenggam kekuatan paling berbahaya di London.

Memperhatikan ruangan besar dan senyap itu, Pippa mengakui bahwa tempatnya memang mengesankan... tapi gosip yang lain sepertinya agak berlebihan. Tidak banyak yang bisa dikatakan tentang tempat ini selain bahwa klub ini...

Sangat gelap.

Sebaris kecil jendela di dekat langit-langit pada salah satu sisi rungan menjadi satu-satunya sumber cahaya, mempersilahkan berkas-berkas sinar mentari masuk. Pippa mengikuti salah satu berkas cahaya yang panjang, disertai oleh partikel-partikel debu yang berputar-putar dengan perlahan, ke tempat di mana berkas cahaya itu menyentuh sebuah meja ek besar yang berjarak beberapa puluh sentimeter darinya, menyoroti kain wol hijau tebal yang ditulisi dengan huruf, angka, dan garis berwarna putih serta kuning.

Pippa mendekat, sebaris kata dan angka-angka yang asing tertera di meja oval panjang itu terlihat, dan ia tidak kuasa menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan menyapukan jemarinya di kain, di tulisan -hieroglif baginya- hingga ia menyentuh sebaris dadu putih bersih yang ditumpuk di salah satu dinding meja.

Mengangkat sepasang dadu, ia mengamati cekungan-cekungan sempurna yang ada di sana, menimbang berat persegi gading kecil itu di telapak tangannya, memikirkan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Sepertinya dadu-dadu itu tidak berbahaya -nyaris sepele- namun, para pria hidup dan mati karena lemparannya. Dulu, kakak iparnya pernah kehilangan segalanya karena sebuah pertaruhan. Memang, Bourne mendapatkan segalanya kembali, tapi mempertanyakan godaan yang membuat seseorang mau melakukan tindakan sekonyol itu.

Tidak diragukan lagi, ada kekuatan di dalam kubus-kubus putih kecil itu.

Pippa menggoyangkan dalam telapak tangannya, membayangkan ia sedang bertaruh -membayangkan apa yang dibutuhkan untuk menggodanya hingga mau bermain. Risetnya. Pemahaman akan rahasia-rahasia pernikahan, akan kehidupan pernikahan. Akan status ibu. Harapan yang jelas dari masa depan yang terlalu kabur.

Jawaban. Yang tidak ia miliki.

Informasi yang akan meredakan ketegangan di dadanya yang meningkat setiap kali ia memikirkan pernikahannya.

Pippa memutar dadu di tangannya, memikirkan pertaruhan yang dapat memberinya pencerahan sebelum ia bisa menetapkan takdirnya, namun suara ketukan kencang di pintu klub menarik perhatiannya dengan kegaduhan kerasnya yang tak henti-henti. Ia meletakkan dadu di pinggir meja permainan lalu beranjak menghampiri sumber suara sebelum tersadar bahwa ia tidak punya urusan dengan pintu itu dan seharusnya tidak membukanya.

Buk.

Buk, buk. 

Pippa memandang ke sekeliling ruangan yang besar secara sembunyi-sembunyi. Pasti seseorang mendengar kegaduhan ini. Seorang pelayan, pelayan dapur, pria tadi yang mempersilahkannya masuk?

Buk, buk, buk. 

Agaknya tidak ada yang mendengar.

Mungkin ia harus memanggil Cross?

Gagasan tersebut membuat Pippa tertegun. Atau, lebih tepatnya, bagaimana gagasan tersebut menghadirkan fantasi tentang rambut coklat kemerahan Cross yang berantakan dan mencuat ke sana-sini sebelum pria itu menyisirnya dengan jemari dan merapikannya membuat Pippa tertegun. Peningkatan janggal pada detak jantungnya yang dipicu oleh gagasan tersebut membuatnya tertegun. Ia mengerutkan hidung. Ia tidak peduli dengan peningkatan itu. Itu sama sekali tidak nyaman.

Buk, buk, buk, buk, buk.

Orang yang menggedor pintu itu tampaknya kehilangan kesabaran. Dan meningkatkan komitmennya.

Jelas, urusan pria atau wanita itu penting.

Pippa berjalan ke pintu, yang tersembunyi di balik sepasang tirai beludru tebal yang menggantung dari ketinggian enam meter, pintu kayu mahoni kokoh yang terbuka sedikit, melindungi lorong yang kecil dan gelap, sunyi dan meresahkan -Sungai Styx yang menghubungkan klub dengan dunia luar.

Pippa menyusuri kegelapan hingga ke pintu baja bagian luar, yang lebih besar lagi dari pintu di dalam, ditutup dan menghalau sinar mentari di baliknya. Di tengah keremangan, ia meraba pinggiran di mana pintu bertemu dengan kusennya, tidak menyukai cara bagaimana kegelapan menyiratkan bahwa seseorang bisa mengulurkan tangan dan menyentuhnya bahkan tanpa ia ketahui keberadaannya. Ia membuka sebuah gerendel lalu sebuah lagi sebelum memutar gagang besar yang tertanam di pintu lalu menariknya, memejamkan mata secara naluriah karena cahaya kelabu pada siang bulan Maret yang entah mengapa terasa seperti hari musim panas yang paling cerah setelah ia menghabiskan waktu di The Angel.

"Wah, astaga, aku tidak menyangka akan menjumpai sambutan secantik ini."

Pippa membuka mata begitu mendengar kata-kata kurang ajar itu, mengangkat tangan untuk membantu matanya menyesuaikan diri dengan cahaya.

Ada beberapa hal yang dapat ia katakan dengan penuh keyakinan tentang pria di depannya, topi hitam klasik dibalut dengan sutra merah tua dan dimiringkan ke salah satu sisi, tongkat berjalan berujung perak digenggam dengan sebelah tangan, berbahu bidang, dan berbusana necis, tapi Pippa tahu ini -pria itu bukan pria baik-baik.

Malah, belum pernah ada pria, baik-baik ataupun tidak, yang pernah tersenyum kepadanya seperti pria ini -seolah pria itu seekor rubah, dan ia seekor ayam betina. Seolah ia adalah kandang ayam betina. Seolah jika ia tidak berhati-hati, pria itu akan melahapnya lalu melenggang di St. James's dengan sehelai bulu yang terselip di gigi yang dipamerkan oleh senyum lebar.

Pria itu memancarkan aura bajingan.

Wanita pintar mana pun pasti kabur darinya, dan Pippa sangat pintar. Ia melangkah mundur, kembali ke kegelapan The Angel.

Pria itu mengikuti.

"Kau penjaga pintu yang jauh lebih baik daripada kawanan yang biasa. Mereka tidak pernah mengizinkanku masuk."

Pippa mengucapkan hal pertama yang terbersit di benaknya. "Aku bukan penjaga pintu."

Mata dingin pria iatu berbinar begitu mendengar kata-kata Pippa. "Kau jelas bukan penjaga, Darling. Digger bisa melihatnya."

Pintu luar tertutup dengan suara keras, dan Pippa tersentak karena suaranya, mundur ke klub lagi. Saat punggungnya menyentuh pintu dalam, ia berjalan miring melewati, menyibakkan tirainya.

Pria itu mengikuti.

"Kalau begitu, mungkin kau The Fallen Angel sendiri?"

Pippa menggelengkan kepala.

Rupanya itu jawaban yang diinginkan oleh pria itu, giginya berkilat di tengah keremangan arena kasino. Ia memelankan suaranya hingga lebih menyerupai gemuruh ketimbang suara. "Apa kau mau menjadi seperti itu?"

Pertanyaan tersebut menggantung di ruang di tengah mereka yang segera terasa menyesakkan, mengalihkan perhatian Pippa. Mungkin ia tidak mengenal pria ini, tapi ia tahu, secara naluriah, dibalik senyum tuanya, pria itu seorang berandalan dan mungkin seorang bajingan, dan bahwa pria itu mengetahui kemaksiatan dalam segala bentuk -pengetahuan yang pipa cari ketika ia sampai di sini tidak lebih dari satu jam yang lalu, siap memintanya dari pria lain. Pria yang menunjukkan ketertarikan barang sedikit pun untuk memberikannya.

Maka sewaktu pria ini, dengan bejat dan santai, bertanya kepadanya, Pippa melakukan apa yang selalu ia lakukan. Ia menjawab dengan jujur. "Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan."

Pippa mengejutkan pria itu. Mata biru pria itu yang aneh membelalak sedikit sebelum disipitkan karena ia mengulas senyum lebar dan riang. Ia tertawa, ceria dan lepas. "Bagus!" soraknya, lalu ia mengulurkan tangan kepada pipa, merangkulkan salah satu lengannya yang kuat ke pinggang Pippa lalu menarik Pippa kepadanya, seolah Pippa adalah boneka kain perca dan ia anak yang sudah tidak sabar lagi. "Aku punya banyak jawaban, Darling."

Pippa tidak menyukainya, perasaan yang dimiliki oleh pria yang terlalu lantang ini, dan ia mengulurkan tangan untuk mendorong dada pria itu, jantungnya berdebar kencang saat ia tersadar bahwa mungkin ia sudah mengucapkan hal yang sangat keliru kepada orang yang sangat keliru. Pria itu mengira ia ingin...

"My Lord," Pippa bergegas menghentikan pria itu. "Aku tidak bermaksud untuk..."

"Meskupun aku bukan lord, aku ingin sekali menjadi lord-mu." Pria itu tertawa, menyurukkan wajahnya ke leher Pippa. Pippa meronta karena belaian itu, berusaha untuk tidak menarik napas. Pria itu berbau keringat dan sesuatu yang manis. Kombinasinya tidak menyenangkan.

Pippa memalingkan kepalanya, mendorong dada pria itu lagi, ia berharap ia memikirkan semua ini dengan agak lebih baik sebelum cepat-cepat bercakap-cakap dengan pria ini. Pria itu tertawa lalu menarik Pippa semakin dekat, menjanjikan Pippa lebih dari yang Pippa minta dengan mempererat dekapannya lalu menempelkan bibir lembutnya ke lekuk bahu Pippa. "Ayolah, Darling, Paman Digger bisa mengurusmu."

"Aku tidak yakin mengurus yang kau maksud berhubungan dengan menjadi seorang paman," tukas Pippa, berusaha untuk terdengar setegas mungkin sembari berusaha melepaskan diri dari dekapan pria itu. Ia memandang ke sekelilingnya dengan panik; pasti di gedung luas ini ada seseorang yang bersedia membantunya. Di mana orang itu?

Digger tertawa lagi. "Kau menarik, ya?"

Pippa menyendengkan kepalanya ke belakang sejauh mungkin, tidak mau bersentuhan lagi. "Sama sekali tidak. Malah kebalikan dari menarik."

"Omong kosong. Kau di sini, kan? Kalau itu bukan menarik, aku tidak tahu apa namanya."

Digger ada benarnya. Tapi Pippa pun tahu mengaku poin seperti itu akan membawa mereka ke jalan yang tidak menyenangkan. Alih-alih, ia menegang, dan menggunakan setiap ons didikannya sebagai wanita baik-baik.

"Sir!" kata Pippa dengan tegas, menggeliat dalam pelukan Digger, seperti belut, berusaha menepiskan tangan pria itu. "Kuminta agar kau melepaskanku!"

"Ayolah, Cantik... ayo kita coba sekali. Apa pun yang kau dapatkan di sini... akan kulipatgandakan di tempatku."

Melipatgandakan apa?

Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan jawabannya. "Meskipun tawaran itu menggoda..."

"Akan kutunjukkan satu atau dua hal tentang godaan, sungguh."

Oh, astaga. Ini sama sekali tidak berjalan sesuai rencana. Pippa tahu ia harus berteriak meminta bantuan. Berteriak sangat emosional. Sama sekali tidak ilmiah.

Tapi, saat-saat genting membutuhkan... yah... Pippa menarik napas dalam-dalam, siap untuk berteriak sekencang-kencangnya, saat kata-kata membelah ruangan yang senyap laksana peluru.

"Singkirkan tanganmu darinya."

Pippa dan Digger sama-sama membeku begitu mendengar suara itu, pelan, lebut tapi entah bagaimana terdengar jelas. Dan tegas. Pippa memalingkan kepala, menoleh ke balik bahu dan melihat Cross, tinggi dan apik, rambut coklat kemerahannya yang lebat sekarang rapi, seolah ia tidak menizinkan yang sebaliknya. Cross juga sudah memasukkan kemejanya dan mengenakan jasnya dengan cara yang menurut Pippa sangat sopan, tapi itu tidak relevan sekarang, karena sopan adalah kata terakhir yang akan ia gunakan untuk menggambarkan Cross.

Bahkan, ia belum pernah melihat orang yang segusar itu di sepanjang hidupnya.

Cross kelihatan seperti ingin membunuh sesuatu.

Atau seseorang.

Mungkin dirinya.

Gagasan tersebut menyadarkan Pippa kembali, dan ia mulai meronta lagi, menjauh beberapa sentimeter sebelum kekuatan Digger yang lebih unggul menang, dan ia digiring ke sisi pria itu seperti sepotong daging mahal. "Tidak."

Mata kelabu Cross tertuju ke tempat di mana tangan Digger berada, lebar dan posesif di pinggang Pippa. "Itu bukan permintaan. Lepaskan gadis itu."

"Dia yang mendekatiku, Cross," kata Digger, nada suaranya terdengar geli. "Membawaku ke dalam godaan. Rasanya aku mau mempertahankannya."

"Itu sama sekali tidak benar." Secara naluriah Pippa membela diri, berontak dalam cengkraman si rubah, dalam hati meminta Cross menatap matanya. "Kau mengetuk pintu!"

"Dan kau membukakannya, Darling."

Pippa merengut dan memandang Cross.

Pria itu tidak membalas tatapannya. "Kelihatannya dia tidak ingin dipertahankan."

"Jelas tidak," Pippa membenarkan.

"Lepaskan lady itu."

"Selalu sangat santun, menyebut burung-burung The Angel sebagai lady."

Pippa menegang. "Maaf. Aku memang seorang lady."

Digger tertawa. "Dengan gaya seperti itu, kau bisa menipu seseorang di lain kesempatan!"

Kejengkelan tersulut. Pippa sudah muak dengan pria ini. Menjulurkan leher untuk menatap mata biru Digger, ia berkata "Sepertinya aku sudah membuat kesalahan besar dengan berbicara denganmu, Mr..." Pippa terdiam menunggu pria itu melakukan tindakan yang benar dan memberitahukan nama belakangnya. Saat pria itu tidak melakukannya. Pippa melanjutkan, "Mr. Digger. Percayalah kalau aku benar-benar seorang lady. Malah, aku akan segera menjadi countess."

Salah satu alis hitam terangkat. "Apa itu benar?"

Pippa mengangguk. "Benar. Dan kurasa kau tidak mau berada di pihak yang salah dalam pandangan seorang earl, kan?"

digger tersenyu, kembali mengingatkan Pippa kepada seekor rubah. "Itu tidak akan menjadi yang pertama kalinya, Darling. Earl yang mana?"

"Jangan jawab itu," sergah Cross. "Sekarang, Digger."

Pria yang menahan Pippa meleoaskannya, sentuhan pria itu meluncur pelan dan meresahkan di pinggangnya. Begitu terbebas, Pippa bergegas untuk berdiri di sebelah Cross, yang sekarang semakin tidak menghiraukannya, kalau itu bisa terjadi. Cross menghampiri Digger, kata-katanya terdengar santai, bertolak belakang dengan ancaman yang terpancar dari dirinya dengan segenap gerakannya. "Karena sekarang tuntutanku sudah terpenuhi, mungkin kau bisa menjelaskan apa sebenarnya yang sedang kau lakukan di klubku?"

Perhatian Digger masih terpusat pada Pippa, semakin penuh pertimbangan, bahkan sewaktu ia menjawab, "Wah, wah, Cross. Kau lupa diri. Aku mampir hanya untuk menyampaikan informasi yang kurasa kau inginkan... untuk menjadi tetangga yang baik."

"Kita bukan tetangga."

"Tidak penting. Aku punya insformasi yang pasti kau inginkan."

"Kau tidak mungkin memiliki informasi yang kuinginkan."

"Oh, ya? Bahkan informasi tentang adik perempuanmu sekalipun?"

Cross membeku, ketegangan meliputi lehernya yang jenjang lalu otot punggungnya yang ramping, membuatnya semakin tegak, semakin tinggi daripada sebelumnya.

Digger melanjutkan, "Kurasa kau bukan hanya menginginkannya... kau bersedia membayar demi mengetahuinya."

Udara bertambah pekat. Sejak dulu Pippa sudah mendengar ungkapan itu dan berpendapat kalau ungkapan tersebut sangat bodoh. Memang, udara bisa bertambah pekat karena kabut atau asap... ia bahkan mengaku kalau udara bisa bertambah pekat karena aroma menyengat dari parfum Olivia... tapi ia selalu menganggap gagasan bahwa emosi bisa memengaruhi kepadatan gas sangatlah konyol -permaian kata-kata bodoh dan klise yang seharusnya dihapus dari bahasa Inggris.

Tapi udara yang ini benar-benar bertambah pekat, dan rasanya ia sulit menarik napas, mencondongkan badan saking bersemangatnya.

"Tuhan pun tahu adikmu tidak mungkin menemuimu sendiri, dasar penipu."

Pippa terkesiap seeaktu mendengar cemoohan itu. Tentunya Cross tidak akan membiarkannya begitu saja. Tapi agaknya Cross tidak mendengar hinaan pribadi itu. "Kau tidak boleh menyentuh adikku."

"Bukan salahku kalau wanita tertarik kepadaku," kata Digger. "Pria sejati tidak mungkin menolak mereka kalau mereka meminta waktu satu atau dua menit." Pandangannya dialihkan kepada Pippa lagi. "Iya, kan, Lady Segera-menjadi-seorang-countess?"

"Rasanya aku tidak terlalu percaya kalau wanita itu tertarik kepadamu atau bahwa, dalam kasus ini, kau berperan sebagai seorang pria sejati," sahut Pippa.

"Wah!Dengarkan wanita ini!" Digger tertawa, wuaranya membahana. "Dia cerpelai mungil."

Pippa menyipitkan matanya. "Kurasa kau salah memilih kata."

"Tidak, aku menggunakan kata yang tepat. Kau cerpelai. Dengan gigi tajam dan..." pandangan bejat Digger menjelajahi tubuh Pippa, "aku yakin bulu yang sangat lembut. Katakan, Cross... apa kau sudah merasakannya?"

Pippa tidak memahami makna kata-kata itu, tapi ketika Cross menerjang Digger, dengan tangan secepat kilat yang mencengkram kerah pria yang lebih tua itu dengan kuat, ia yakin ia sudah dihina habis-habisan. "Kau harus meminta maaf kepada lady ini."

Digger melepaskan diri dari cengkraman Cross tanpa perlu bersusah payah, merapikan jas selututnya yang berwarna merah marun. "Ah, berarti belum, kurasa begitu," katanya dengan lugas. "Tapi penantianmu tidak akan lama lagi. Menurutku, bukan tipemu yang biasa." Ia membungkuk rendah-rendah, kilat menggoda melintas di matanya. "Maafkan aku, Lady Segera."

Gigi Pippa dikertakkan sewaktu ia mendengar nama yang ditujukan untuk mengejek itu.

Cross bicara, ada ancaman pada nada suaranya, "Enyahlah dari sini."

"Memangnya kau tidak mau mendengar apa yang hendak kusampaikan?"

Kebimbangan Cross sangat cepat berlalu... setengah detik... bahkan kurang. Tapi Pippa mendengarnya. "Tidak."

Salah satu ujung bibir Digger terangkat mengulas seringai. "Kau akan berubah pikiran. Kuberi waktu dua hari." Ia menunggu sejenak, dan firasat Pippa berkata bahwa ada pisau tak kasat mata yang menggantung di antara kedua pria ini, masing-masing kuat dengan caranya sendiri. Pippa bertanya-tanya siapa yang menggenggam senjata itu.

Digger memukul telak. "Kau tidak pernah bisa menolak masalah keluarga."

Cross mengangkat dagu dengan lagak menantang.

Digger menyentuh topinya sambil memandang Pippa, memanfaatkan gerakan itu untuk mengerling kepada Pippa. "Sedangkan kau, Ladi... ini tidak akan menjadi kesempatan terakhir kita bertemu."

"Kalau kau tahu apa yang terbaik bagi dirimu, ini akan menjadi kesempatan terakhir." Kata-kata Cross dingin dan tegas, tidak menyisakan ruang untuk bantahan.

"Omong kosong. Lady ini punya pertanyaan." Mata biru Digger menatap Pippa dengan tajam. "Aku punya jawabannya, sungguh."

Cross melangkah menghampiri Digger, suara rendah dan berat bergemuruh di tenggorokannya, menarik perhatian Digger. Digger menoleh kepada Cross sambil tersenyum. "Alasan lain bagimu untuk menemuiku."

Amarah Cross kentara jelas, membuat sesuatu yang tidak menyenangkan beriak di sekujur tubuh Pippa. "Pergi."

Digger sepertinya tidak senang, tapi tidak berlama-lama. "Dua hari, Cross."

Setelah mengedip cabul kepada Pippa, Digger pun pergi.

Mereka berdiri di tengah keheningan selama beberapa saat, memperhatikan tirai beludru tebal bergoyang sewaktu Digger keluar, mendengarkan suara berat dari pintu utama yang ditutup di belakangnya sebelum Pippa melepaskan napas yang tanpa ia sadari sudah ia tahan.

Mendengar suara itu, Cross menoleh kepada Pippa, mata kelabunya berkilat dan tampak gusar. "Mungkin kau ingin menjelaskan mengapa kau masih ada di sini?"




Back
Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar