Home

Minggu, 10 Desember 2017

Glorious Angel 4


Hanna dengan cepat kembali ke Golden Oaks, hampir setengah berlari. Ia tak ingat lagi harus masuk lewat pintu belakang. Ia masuk lewat pintu depan dan langsung menuju ruang baca utama. Oh Tuhan, Master Jacob akan benar-benar marah.

Hanna bisa mendengar Candise Taylor dan Crystal Lonsdale bermain backgammon di ruang melukis. Candise dan ayahnya adalah tamu kehormatan di Golden Oaks selama dua minggu ini, dan tak lama lagi akan kembali ke Inggris. Crystal Lonsdale sudah menjadi pengunjung tetap Golden Oaks selama beberapa tahun ini, dan kakaknya Robert, sudah lebih lama lagi. Robert bergabung dengan pasukan Alabama bersama Zachary, putra Jacob yang lebih muda, saat perang pertama kali pecah. Di bawah komando Braxton Bragg, mereka mempertahankan tepi pantai antara Pensacola dan Mobile. Robert tetap berjaga di Teluk Mobile, namun Zachary pergi bersama Bragg saat Bragg memimpin pasukan Tennessee. Hannah sering sekali berdoa agar Tuhan melindungi mereka.

Hannah mengetuk pintu ruang baca dengan perlahan dan masuk saat Jacob Maitland mempersilahkannya. Hannah berdiri di seberang meja tempat Jacob mempelajari catatan keuangannya., seperti yang selalu dilakukannya setiap sore. Jacob belum mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang masuk ke ruangan, jadi Hannah berdiri dengan sabar.

Hannah tahu Jacob akan marah dan itu tidak bagus. Jacob pernah terkena stroke ringan beberapa tahun lalu dan harus lebih tenang. Jacob menyerahkan pengelolaan sebagian besar bisnisnya kepada orang lain saat ini.

Hannah akan sangat menyesal jika terjadi sesuatu pada Jacob Maitland. Ia ingat dengan baik bagaimana keadaan Mobile sebelum Jacob datang ke Golden Oaks, membeli tanah dan rumah yang besar, juga budak. Saat itu adalah saat-saat terburuk karena penuh dengan ketakutan. Takut bahwa salah seorang anggota keluarga akan dijual, takut akan dicambuk.

Sekarang budak sudah tidak sama lagi seperti dulu, dan itu semua berkat Jacob Maitland. Hannah tahu tak ada yang tidak akan dilakukannya untuk Jacob Maitland. Jacob telah memberinya kehidupan baru dan penghargaan. Lebih penting lagi, Jacob telah mengembalikan anak pertamanya, putranya yang telah diambil darinya dan dijual delapan belas tahun yang lalu, saat baru berusia empat tahun. Jacob menemukan anak itu dan mengembalikannya ke Hannah.

Hannah tahu pendirian Jacob. Jacob akan memerdekaan bangsa kulit hitam jika tidak terpaksa memberikan kesan memenuhi standar hidup orang selatan agar bisa tinggal di Selatan. Namun dalam perang ini, sesungguhnya Jacob mendukung Utara.

Tentu saja, Jacob tidak sadar Hannah tahu hal tersebut. Hanya Hannah dan keluarganya saja yang tahu, karena Luke, suaminya, adalah pelayan Jacob, dan suaminya itu secara tidak sengaja mendengar Jacob mengigau. Namun keluarga Hanna menjaga rahasia tersebut. Hannah pernah menceritakannya pada Angela secara tidak sengaja. Tapi Angela adalah gadis yang baik. Ia tahu akibatnya jika menceritakan rahasia tersebut pada orang lain. Hannah yakin Angela tidak akan melakukannya.

Jacob masih belum mengangkat kepalanya dari catatan keuangannya, namun Hannah menunggu dengan sabar. Mata coklatnya menatap Jacob dengan kagum sambil menunggu. Jacob pria berumur empat puluh delapan tahun yang cukup tampan dengan sedikit rambut abu-abu di keningnya. Sisa rambutnya masih hitam dan dan terkadang terlihat biru. Namun matanya! Oh Tuhan, mata lelaki ini menakutkan. Jika iblis pernah muncul dan menampakkan diri, Hannah yakin matanya sama dengan mata Jacob Maitland. Warnanya coklat emas muda, kecuali saat ia marah. Tambahan lagi, Jacob Maitland sangat mudah marah. Saat ia marah, warna matanya akan berubah menjadi kuning emas yang berkobar, siap untuk membakar siapa pun yang mencari masalah.

Dari dua anak Jacob Maitland, hanya Bradford yang sangat mirip dengan ayahnya. Zachari hampir sama tingginya dengan kakaknya dan ayahnya, hanya sedikit saja di bawah seratus delapan puluh sentimeter, tapi Zachary mengambil mata dan temperamen ibunya. Ia tidak seliar kakaknya.

Jacob Maitland sekarang telah mendongak dan sedikit tertegun. "Kenapa kau sudah kembali secepat ini? Dia ada di rumah, kan?"

Hannah selalu suka mendengar Jacob Maitland bicara. Cara bicaranya sangat menawan dengan sesuatu yang khas. Hannah pernah mencoba menirukan cara bicara Jacob beberapa tahun yang lalu, tapi keluarganya menggodanya hingga akhirnya ia menyerah.

"Ya, Sir, dia ada di rumah."

"Nah, kalau begitu, bagaimana keadaannya? Apa dia masih menyuruhmu berjanji untuk tidak mencuri dariku lagi?" Jacob tergelak.

"Saya pergi sebelum dia sempat melakukannya," jawab Hannah sembil terus meremas tangannya dengan gugup.

"Ada sesuatu yang salah, Hannah?" Jacob bertanya, matanya menyipit. "Ayo, ceritakan."

"Mungkin sebaiknya kita keluar, Sir, karena saya rasa anda akan marah, sementara para gadis sudah kembali dari kota dan ada di ruang melukis. Mereka akan mendengar anda."

"Katakan saja sekarang!"

Hannah menarik napas dalam-dalam dan sedikit gemetar melihat mata coklat emas itu mulai berapi-api.

"Missy Angela hampir diperkosa pagi ini," Hannah berkata dengan cepat, matanya terbelalak, menunggu badai menerjang.

"Dia apa?" Jacob kaget, dengan segera melompat bangun. "Bagaimana itu bisa terjadi saat ayahnya ada di sana?"

"Ayahnya sedang tidak ada."

"Apakah... apakah Angela terluka?"

"Oh, tidak, Sir. Dia menghadang anak muda itu dengan senapan. Anak muda itu memang mengincarnya. Selalu mengancam akan mendapatkan Angela. Tapi gadis itu sama sekali tidak takut, malah lebih liar daripada ayam betina."

"Anak muda macam apa yang mencoba memperkosa gadis kecil?" Jacob bertanya sambil duduk dengan gelisah di kursinya lagi. "Aku sama sekali tidak mengerti."

"Saya sudah sering bilang bahwa gadis itu sudah mulai tumbuh," Hannah mengingatkan dengan tenang.

"Umurnya baru empat belas tahun. Yah, dia masih seperti bayi."

Hannah tidak mengingatkan Jacob bahwa "bayi" yang seumuran Angel sudah bisa menikah dan melahirkan. "Anda belum melihatnya lagi sejak Anda dan ayahnya bertengkar hebat. Nona kecil itu telah berubah menjadi seorang gadis cantik."

Jacob tampaknya mengabaikan kalimat Hannah yang terakhir. "Siapa nama anak muda itu? Demi Tuhan, dia akan berharap bahwa dia sudah mati!"

"Billy Anderson."

"Maksudmu  putra Sam Anderson?" Jacob tampak terkejut.

"Iya, Sir."

"Apa ada anak lain yang mencoba mengganggu Angela?" Jacob bertanya.

"Ya, Sir. Dan itu sungguh membuat saya khawatir, karena Missy Angela yang malang itu harus tinggal sendirian pada malam hari."

"Kenapa?"

Hannah menundukkan pandangannya dan berbisik, "Ayahnya meninggalkannya sendirian dan menginap di Mobile. Setidaknya itulah yang dilakukannya semalam."

"Bedebah busuk itu!" Jacob kembali berdiri, kali ini menggulingkan kursinya ke lantai. Ada sinar kemarahan di dalam matanya. "Katakan pada Zake untuk membawa kudaku dan pergi ke kota. Dia harus membawa pulang Sam Anderson dan William Sherington. Katakan padanya untuk melaju sekencang mungkin! Kau mengerti itu, Hannah?"

"Ya, Sir." Hannah tersenyum untuk pertama kalinya.

"Nah, pergilah! Setelah itu kembali ke sini dan ceritakan sisa kisahmu itu."


***




Hari hampir senja saat William Sherrington masuk ke ruang baca Jacob Maitland tanpa dipersilahkan. Pakaiannya kotor dan kusut, celananya berlubang. Rambut merah terangnya dibelah tengah, dan diratakan ke kepalanya memakai minyak murahan. Bagian matanya yang putih dihiasi garis-garis merah seterang warna rambutnya. Ia memegang topi tua yang kusam, yang sekarang diarahkannya kepada Jacob.

"Apa maksudmu menyuruh orang Negro menjemputku?" William Sherrington menggelegar. "Aku sudah memperingatkan lima tahun yang lalu bahwa aku..."

"Diam, Sherrington. Duduklah!" Jacob menggeram. "Lima tahun yang lalu kau memerasku dengan cara mengancam akan menceritakan tentang Charissa pada anak-anakku jika aku tidak membiarkanmu membesarkan Angela dengan caramu sendiri. Aku mundur waktu itu, dan itulah bodohnya aku, namun saat itu Angela tidak dalam bahaya."

"Bahaya apa?"

Jacob bangun dari kursinya, wajahnya seperti memakai topeng halilintar. "Kau pikir b isa meninggalkannya tanpa diawasi dan meneruskan kebiasaan mabukmu lalu semua akan baik-baik saja/ Seharusnya aku meminta sheriff menjemputmu, bukan Zeke!"

Wajah Willian Sherrington memucat. "Apa yang terjadi?"

"Tidak ada apa-apa... setidaknya kali ini, dan itu bukan berkat kau. Angela hampir di perkosa oleh anak muda bernama Billy Anderson. Diperkosa, demi Tuhan! Ini kesempatanmu yang terakhir, Sherrington. Sebelumnya kau yang mengancamku. Sekarang aku berjanji... jika kau meninggalkan gadis itu sendirian lagi, kau akan tua di penjara. Dan jangan mengira aku tidak bisa mengaturnya."

"Begini..."

Jacob mengangkat alisnya dan William terdiam. "Apa kau akan bilang bahwa aku ini salah? Bahwa kau tidak meninggalkan Angela dan membuatnya harus mengurus dirinya sendiri?"

William Sherrington menatap kakinya dengan tidak nyaman. "Yah, mungkin aku memang agak lalai, tapi gadis itu bisa mengurus dirinya sendiri."

"Oh Tuhan, umurnya baru empat belas tahun! Tak seharusnya dia mengurus dirinya sendiri! Kau tidak kompeten untuk membesarkannya dan kau tahu itu sama seperti aku!"

"Kau tidak akan mengambilnya dariku. Aku ingin... aku butuh dia tetap bersamaku. Hanya dia yang kupunya sejak ibunya lari meninggalkanku," William berkata dengan suaranya yang mengesalkan.

"Aku sudah menawarkan untuk menyekolahkannya. Tawaran itu masih terbuka. Itu adalah tempat terbaik baginya," kata Jacob, walau ia tahu tawarannya akan ditolak.

"Kami tidak menerima belas kasihan, Maitland. Sudah kubilang berkali-kali. Angela tidak butuh sekolah. Itu hanya akan membuatnya tidak mensyukuri apa yang dia punya sekarang."

"Kau ini memang bodoh!" Jacob berteriak marah. "Sangat, sangat bodoh!"

"Mungkin, tapi Angie tetap bersamaku, dan sesuatu yang buruk akan terjadi jika kau mencoba mengambilnya dariku."

Jacob menghela napas. "Kau sudah mendengar peringatanku, Sherrington. Jika sesuatu terjadi pada Angela, aku akan meringkusmu."

Jacob mengawasi William Sherrington keluar dari ruangan. Suara Jacob yang marah terdengar lagi beberapa menit setelahnya, saat Hannah memberitahukan kedatangan Sam Anderson.



Next
Back
Synopsis


Jumat, 10 November 2017

Honor's Splendour 1




"Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang disebut kebajikan... pikirkanlah semuanya itu."
PERJANJIAN BARU, FILIPI 4:8

Inggris, 1099

Mereka bermaksud membunuh pria itu.

Sang pejuang berdiri di tengah-tengah halaman yang sunyi itu, kedua tangannya diikat ke sebuah tiang dibalik punggungnya. Ekspresinya tanpa emosi sama sekali sementara ia menatap lurus ke depan, tampak tidak mengacuhkan musuhnya.

Tawanan itu tidak memberikan perlawanan sama sekali, membiarkan dirinya ditelanjangi hingga ke pinggangnya tanpa mengeluarkan satu tinju atau mengucapkan sepatah pun kata protes. Jubah musim dingin berlapis bulunya yang mewah, tunik besinya yang berat, kemeja katun, stoking, serta sepatu bot kulitnya telah dilepaskan dan diletakkan di tanah membeku di hadapannya. Niat musuhnya jelas. Sang pejuang harus mati, namun tanpa menambahkan bekas luka baru ke tubuhnya yang sudah penuh bekas luka perang. Sementara para penontonnya yang bersemangat menyaksikan, tawanan itu bisa memandangi pakaiannya sementara ia perlahan-lahan mati membeku.

Dua belas orang pria mengelilingi pria itu. Pedang-pedang dihunuskan untuk memberi mereka keberanian, mereka mengelilingi dan mencemoohnya, meneriakkan hinaan dan kata-kata tak senonoh sambil mengentakkan kaki mereka yang bersepatu bot dalam usaha untuk mengusir suhu udara yang sangat dingin. Namun  mereka semua tetap menjaga jarak aman kalau-kalau tawanan jinak mereka mengubah niatnya serta memutuskan untuk membebaskan diri dan menyerang. Mereka tidak meragukan kemampuannya untuk melakukan itu, sebab mereka semua pernah mendengar cerita tentang kekuatan Hercules-nya. Beberapa orang bahkan pernah menyaksikan kekuatannya yang superior satu atau dua kali dalam perang. Dan apabila pria itu memutuskan tali pengikatnya, para prajurit akan terpaksa menggunakan pedang mereka kepadanya, tapi tidak sebelum ia mengirim tiga, bahkan mungkin empat dari mereka menuju kematian mereka sendiri.

Pemimpin kedua belas prajurit itu tidak dapat memercayai keberuntungannya. Mereka telah menangkap Wolf--sang serigala--dan akan segera menyaksikan kematiannya.

Betapa ceroboh kesalahan yang telah dibuat oleh tawanan mereka itu. Aye, Duncan, Baron of Wexton yang sangat berkuasa itu betul-betul berkuda ke dalam benteng musuhnya sepenuhnya sendirian, dan tanpa membawa satu pun senjata untuk membela diri. Pria itu secara tidak bijaksana percaya bahwa Louddon, seorang baron dengan kekuasaan yang setara, akan menghormati gencatan senjata sementara mereka.

Pria itu pasti yakin pada reputasinya sendiri, pikir si pemimpin. Pria itu pasti benar-benar berpikir bahwa dirinya sama tak terkalahkannya dengan kisah-kisah perang menakjubkan yang dilebih-lebihkannya itu. Pasti itulah alasannya pria itu tampak begitu tidak peduli pada situasi buruknya saat ini.

Perasaan gelisah mengendap di benak si pemimpin sementara ia terus mengawasi sang tawanan. Mereka sudah melucuti barang-barang berharga pria itu, mencabik-cabik lambang keluarganya yang berwarna biru dan putih yang menyatakan gelar dan kekayaannya, memastikan tak ada satu pun sisa yang tertinggal dari sang bangsawan beradab. Baron Louddon menginginkan tawanannya mati tanpa martabat atau kehormatan. Namun pejuang yang hampir telanjang yang berdiri dengan begitu angkuh di hadapan mereka itu sama sekali tidak tunduk pada kehendak Louddon. Pria itu tidak bertingkah layaknya orang yang hampir mati. Nay, tawanan itu tidak memohon demi nyawanya atau merengek meminta kematian yang cepat. Ia juga tidak terlihat seperti orang yang sekarat. Kulitnya tidak pucat atau merinding, namun kecoklatan karena terbakar matahari dan diperkuat oleh cuaca. Sial, pria itu bahkan tidak menggigil. Aye, mereka sudah menelanjangi sang bangsawan, tapi di bawah semua lapisan kebangsawanan itu berdiri panglima perang yang angkuh, tampak sama primitif dan tak kenal takut seperti yang di gembar-gemborkan oleh desas-desus itu. Di hadapan mereka, sang Serigala telah menampakkan diri.

Cemoohan telah berhenti. Hanya suara angin yang melolong di seantero halaman itu yang kini bisa didengar. Si pemimpin mengalihkan perhatiannya kepada anak buahnya, yang berkerumun pada jarak yang agak jauh. Mereka semua memelototi tanah. Ia tahu mereka semua menghindari memandang tawanan mereka. Ia tidak bisa menyalahkan mereka atas pertunjukkan kepengecutan ini, sebab ia juga mendapati sulit untuk menatap langsung ke dalam mata sang pejuang.

Baron Duncan dari Wexton paling tidak satu kepala lebih tinggi dari prajurit paling besar yang menjaganya. Proporsi tubuhnya juga sama besarnya, dengan bahu dan paha yang tebal dan kekar, dan dengan kedua kakinya yang panjang dan kuat terbuka lebar, cara berdirinya itu menyiratkan bahwa ia mampu membunuh mereka semua... jika ia menjadi sangat ingin melakukannya.

Kegelapan turun, dan bersamanya datang tirai salju yang tipis. Para prajurit mulai bersungguh-sungguh mengeluhkan cuaca. "Kita tidak perlu mati membeku bersamanya," seseorang menggerutu.
"Dia belum akan mati dalam beberapa jam," seseorang lagi mengeluh. "Baron Louddon sudah pergi lebih dari satu jam sekarang. Dia tidak akan tahu apakah kita berada di luar atau tidak."

Persetujuan beserta anggukan penuh semangat dan gerutuan dari yang lain menggoyahkan pemimpin mereka. Udara dingin ini mulai membuat si pemimpin jengkel juga. Keresahannya juga semakin meningkat, sebab ia sudah diyakinkan bahwa Baron Wexton tidak berbeda dari pria lainnya. Ia yakin pria itu seharusnya sudah menyerah dan menjerit tersiksa sekarang. Sikap arogan pria itu membuatnya geram. Demi Tuhan, pria itu terlihat bosan dengan mereka semua. Si pemimpin terpaksa mengakui kalai ia sudah meremehkan musuhnya. Itu bukanlah pengakuan yang mudah, dan itu membuatnya gusar. Kakinya sendiri, yang terlindung dari cuaca ganas oleh sepatu botnya yang tebal, tetap terasa menusuk-nusuk sekarang, akan tetapi Baron Duncan berdiri dengan bertelanjang kaki dengan tidak bergerak atau mengubah-ubah posisinya sekali pun sejak diikat. Barangkali cerita-cerita itu memang benar adanya.

Si pemimpin mengutuk sifatnya yang percaya pada takhayul dan memberi perintah untuk masuk ke benteng. Ketika anak buahnya yang terakhir sudah pergi, bawahan Louddon itu memeriksa apakah tali yang mengikat sang baron terikat dengan kuat, lalu berdiri tepat di hadapan tawanannya. "Mereka bilang kau selicik serigala, tapi kau hanyalah seorang manusia, dan kau akan segera mati layaknya manusia. Louddon tidak ingin pedang yang dingin ditusukkan ke dalam tubuhmu. Saat pagi datang, kami akan menyeret tubuhmu berkilo-kilo meter dari sini. Tak seorang pun yang dapat membuktikan bahwa Louddon-lah yang berada di balik pembunuhanmu." Si pemimpin mengucapkan kata-kata tersebut dengan menghina, geram karena tawanannya bahkan tidak menunduk untuk menatapnya, lalu menambahkan.. "Jika terserah padaku, aku akan mengeluarkan jantungmu dan menuntaskan semuanya." Ia mengumpulkan air liur dalam mulutnya untuk diludahkan ke wajah sang pejuang, berharap hinaan baru ini akan mendapatkan reaksi.

Kemudian tawanan itu perlahan-lahan menunduk menatap si pemimpin. Mata sang pejuang bertemu dengan mata musuhnya. Apa yang pemimpin itu lihat pada sang pejuang menyebabkannya menelan ludah dengan suara keras. Ia berbalik ketakutan. Ia membuat tanda salib, sebuah usaha remeh untuk mengenyahkan janji gelap yang ia baca di mata abu-abu sang pejuang, bergumam kepada dirinya sendiri bahwa ia hanya melaksanakan perintah tuannya. Lalu ia berlari menuju perlindungan kastil.

Dari dalam bayangan di dinding. Medelyne mengamati. Ia menunggu beberapa menit lagi untuk memastikan tak seorang pun prajurit kakaknya yang akan kembali, menggunakan waktu tersebut sebaik-baiknya untuk memohon keberanian demi melaksanakan rencananya.

Medelyne mempertaruhkan segalanya. Dalam hatinya ia tahu tak ada pilihan lain. Saat ini hanya dirinya yang bisa menyelamatkan pria itu. Medelyne menerima tanggung jawab tersebut serta konsekwensinya, sangat sadar kalau perbuatannya ketahuan, tentu saja itu berarti kematiannya sendiri.

Tangan Medelyne gemetar namun langkah-langkahnya cepat. Semakin cepat urusan ini selesai, semakin baik bagi ketenangan pikirannya. Akan ada banyak waktu untuk mengkhawatirkan tindakannya begitu tawanan bodoh itu sudah bebas.

Jubah hitam panjang menutupi Medelyne dari kepala hingga kaki, dan sang baron tidak menyadarinya hingga ia berdiri tepat di hadapan pria itu. Embusan angin yang kencang menarik tudung jubah dari kepalanya, dan seutas rambut coklat kemerahan jatuh melewati bahu di tubuh  yang langsing. Medelyne menepis sehelai rambut dari wajahnya dan mendongak menatap si tawanan.

Selama sesaat Duncan mengira otaknya menipunya. Duncan benar-benar menggeleng tidak percaya. Lalu suara gadis itu menyentuhnya dan Duncan tidak sadar apa yang sedang ia lihat bukanlah kilasan dari imajinasinya. "Aku akan membebaskanmu sebentar lagi. Tolong jangan bersuara sampai kita pergi dari sini."

Duncan tidak dapat  memercayai apa yang ia dengar. Suara penyelamatnya terdengar sejernih harpa yang paling selaras dan sama memikatnya seperti salah satu hari yang sangat hangat pada musim panas. Duncan memejamkan matanya, menahan keinginan untuk menyemburkan tawanya karena hasil akhir yang tak terduga dan aneh ini, mempertimbangkan untuk meneriakkan seruan perang sekarang dan segera menyelesaikan tipu daya ini, lalu dengan cepat memutuskan untuk menolak ide tersebut. Rasa penasarannya terlalu kuat. Ia bertekad untuk menunggu sebentar lagi, hingga penyelamatnya itu mengungkapkan tujuan yang sebenarnya.

Ekspresi Duncan tetap tak dapat ditebak. Ia tetap diam sementara mengamati gadis itu mengeluarkan belati mungil dari bawah jubahnya. Gadis itu berdiri cukup dekat untuk Duncan tangkap dengan menggunakan kedua kakinya yang tidak terikat, dan jika kata-kata gadis itu ternyata bohong atau belati itu bergerak ke arah jantungnya, ia terpaksa harus mengenyahkan gadis itu.

Lady Madelyne tidak menyadari bahaya tersebut. Hanya berniat untuk membebaskan pria itu, ia beringsut lebih dekat ke samping Duncan dan memulai usaha untuk memotong tali tebal yang mengikat pria itu. Duncan memperhatikan tangan gadis itu gemetar. Pria itu tidak dapat memutuskan apakah itu disebabkan oleh cuaca ganas ini atau perasaan takut.

Aroma mawar menyentuh Duncan. Ketika menghirup aroma ringan tersebut, ia memutuskan suhu yang membekukan ini sudah betul-betul mengacaukan pikirannya. Sekuntum mawar ditengah musim dingin, seorang malaikat di dalam benteng api penyucian... tak satu pun yang masuk akal baginya, namun gadis itu beraroma bunga-bunga musim semi dan terlihat bagaikan gambaran dari surga.

Duncan menggeleng lagi. Bagian logis dari pikirannya tahu siapa sebenarnya gadis itu. Deskripsi yang diberikan kepadanya akurat dalam setiap detail, tapi juga menyesatkan. Ia diberitahu bahwa adik Louddon memiliki tinggi tubuh sedang dan berambut coklat serta bermata biru. dan enak dipandang, Duncan ingat ia diberitahu demikian. Ah, ada yang tidak tepat, putusnya. Adik sang iblis tidaklah enak dipandang ataupun cantik. Gadis itu luar biasa indah.

Tali tersebut akhirnya putus dan kedua tangan Duncan telah bebas. Ia tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya tersembunyi dengan baik. Gadis itu mucul dan berdiri di hadapannya lagi dan memberinya senyuman kecil sebelum berbalik dan berlutut untuk mengumpulkan barang-barang Duncan.

Ketakutan membuat tugas sederhana itu menjadi canggung. Madelyne tersandung saat ia berdiri lagi, menegakkan tubuhnya, lalu berbalik kembali pada pria itu. "Tolong ikuti aku," perintahnya pada pria itu.

Duncan tidak bergerak, namun terus berdiri di tempatnya, mengamati dan menunggu.

Madelyne mengernyitkan dahi karena keraguan Duncan, dalam hati berpikir bahwa udara dingin betul-betul sudah membekukan kemampuan berpikir pria itu. Ia mencengkram pakaian pria itu ke dadanya dengan satu tangan, membiarkan sepatu bot yang berat menggelantung di ujung jemarinya, lalu melingkarkan lengannya yang lain di pinggang pria itu. "Bersandarlah kepadaku," bisiknya. "Aku akan menolongmu, aku berjanji. Tapi tolong, kita harus cepat." Matanya diarahkan ke pintu kastil dan rasa takut terdengar dalam suaranya.

Duncan merespons keputusasaan gadis itu. Ia ingin memberitahu gadis itu bahwa mereka tidak perlu bersembunyi, karena bahkan pada saat ini anak buahnya sedang memanjat tembok benteng, namun ia berubah pikiran. Semakin sedikit yang gadis itu ketahui, semakin banyak keuntungan yang Duncan dapatkan ketika semuanya tiba.

Tinggi Madelyne nyaris tidak mencapai bahu Duncan, namun ia berusaha dengan gigih untuk menerima sebagian berat tubuh Duncan dengan cara meraih dan menyampirkan lengan pria itu di bahunya. "Kita akan pergi ke kediaman pastor tamu di belakang kapel," ia memberitahu pria itu dalam bisikan halus. "Itu satu-satunya tempat di mana mereka tidak akan pernah terpikir untuk memeriksanya."

Sang pejuang tidak terlalu memperhatikan apa yang gadis itu katakan padanya. Tatapannya diarahkan ke puncak tembok sebelah utara. Bulan sabit memberikan cahaya mengerikan pada salju tipis dan membuat siluet para prajuritnya yang sedang memanjat ke atas puncak tembok. Tak ada suara yang bisa didengar ketika prajuritnya semakin bertambah di sepanjang gang yang terbuat dari kayu yang mengelilingi puncak tembok tersebut.

Sang pejuang mengangguk puas. prajurit Louddon sama bodohnya dengan tuan mereka. Keganasan cuaca membuat si penjaga gerbang masuk ke dalam, membiarkan tembok tersebut tak terjaga dan rentan. Musuh telah membuktikan kelemahan mereka. Dan mereka semua akan mati karenanya.

Duncan memberikan berat tubuhnya lebih banyak lagi kepada Madelyne untuk memperlambat langkah gadis itu sementara ia melemaskan jemarinya, lagi dan lagi berusaha mengusir mati rasa dari jari-jarinya. Kakinya mati rasa, pertanda buruk. Duncan menyadari, bahka ketika ia menerima bahwa tak ada yang bisa ia lakukan mengenai itu sekarang.

Duncan mendengar siulan samar dan cepat-cepat mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memberikan sinyal untuk menunggu. Duncan menunduk menatap gadis itu untuk melihat apakah ia memergoki tindakannya, tangannya yang satu lagi siap menutup mulut gadis itu jika ia memberikan sedikit saja indikasi bahwa ia menyadari apa yang tengah terjadi. Namun gadis itu sedang sibuk berjuang menahan berat tubuh Duncan dan tampaknya tidak menyadari fakta kalau rumahnya sedang diserang.

Mereka sampai di sebuah pintu sempit dan Madelyne yakin kalau tawanan tersebut berada dalam kondisi lemah yang membahayakan, mencoba menyandarkan pria itu di tembok batu dengan sebelah tangan sambil berusaha membuka grendel pintu.

Sang baron, memahami maksud gadis itu, dengan sukarela bersandar ke tembok dan mengamati Madelyne menyeimbangkan pakaiannya dan berjuang membuka rantai yang sedingin es.

Begitu Madelyne berhasil membuka pintu, ia meraih tangan Duncan dan membimbingnya melewati kegelapan. Aliran udara yang sangat dingin berputar di sekitar mereka ketika mereka berjalan menuju pintu kedua di ujung koridor yang panjang dan lembap. Madelyne cepat-cepat membuka pintu dan memberi isyarat agar Duncan masuk.

Ruangan yang mereka masuki tidak berjendela, tapi beberapa lilin telah dinyalakan, memancarkan pendar hangat ke dalam sakristi tersebut. Udaranya pengap. Debu menutupi lantai kayu dan jaring laba-laba yang tebal bergelantungan dan bergoyang-goyang di langit-langit yang berwarna rendah. Beberapa jubah berwarna-warni yang dipakai oleh para pastor tamu tergantung di kaitan, dan sebuah kasur jerami telah diletakkan di tengah-tengah ruang kecil itu dengan dua selimut tebal di sebelahnya.

Madelyne menggerendel pintu dan menghela napas lega. Untuk saat ini mereka aman. Ia memberi isyarat agar pria itu duduk di atas kasur jerami itu. "Waktu aku melihat apa yang mereka lakukan padamu, aku langsung menyiapkan ruangan ini," ia menjelaskan sambil menyerahkan pakaian pria itu. "Namaku Madelyne dan aku..." Ia hendak menjelaskan hubungannya dengan kakaknya, Louddon, lalu memutuskan bahwa itu bukan ide yang bagus. "Aku akan tinggal bersamamu hingga fajar, kemudian aku akan menunjukkan jalan keluar melalui sebuah jalan rahasia. Bahkan Louddon pun tidak tahu keberadaan jalan itu."

Sang baron duduk bersila. Ia mengenakan kemejanya sambil mendengarkan gadis itu. Ia menganggap tindakan berani gadis itu benar-benar telah memperumit hidupnya, mendapati dirinya bertanya-tanya bagaimana gadis itu akan bereaksi saat ia menyadari rencana Duncan yang sebenarnya, lalu memutuskan bahwa rencananya tidak bisa diubah.

Segera setelah tunik besi menutupi dada lebarnya lagi, Madelyne menyampirkan salah satu selimut ke bahu pria itu, kemudian berlutut, menghadapi pria itu. Madelyne bertumpu pada tumit sepatunya, memberi isyarat agar pria itu meluruskan kaki. Saat pria itu sudah memenuhi keinginannya, Madelyne mengamati kaki pria itu, mengernyit penuh perhatian. Duncan meraih sepatu bot, namun Madelyne menghentikan tangan pria itu. "Kita harus menghangatkan kakimu terlebih dahulu," jelas Madelyne.

Madelyne menarik napas dalam-dalam sambil mempertimbangkan cara tercepat untuk mengembalikan kehidupan pada anggota tubuh yang menderita karena kedinginan itu. Kepala Madelyne menunduk, melindungi wajahnya dari tatapan tajam sang pejuang.

Gadis itu mengambil selimut kedua, hendak membungkuskannya ke sekeliling kaki pria itu, lalu menggeleng, berubah pikiran. Tanpa memberikan penjelasan apa pun, ia melemparkan selimut tadi ke atas kaki pria itu, melepaskan jubahnya sendiri, lalu perlahan-lahan menaikkan tunik dalam berwarna krem ke atas lututnya. Tali kulit anyaman yang ia pakai sebagai sabuk dekoratif dan sarung untuk belatinya terperangkap di dalam blaut hijau gelap yang menutupi tunik dalamannya, dan ia mengambil waktu untuk melepaskan benda itu, lalu melemparkannya ke samping sang pejuang.

Duncan penasaran dengan tingkah laku aneh gadis itu dan menunggunya untuk menjelaskan tindakannya itu. Namun Madelyne tidak mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu menarik napas dalam-dalam sekali lagi, mencengkram kaki Duncan, dan dengan cepat, sebelum ia bisa memutuskan bahwa ini bukan ide yang bagus, menyelipkan kedua kaki tersebut ke bawah pakaiannya, dan menempelkan kaki itu ke kehangatan perutnya.

Gadis itu terkesiap keras ketika kulit Duncan yang sedingin es menyentuh tubuhnya yang hangat, kemudian membetulkan gaunnya dan melingkarkan lengannya di sekeliling kaki itu di luar gaunnya, memeluk pria itu ke tubuhnya. Pundak Madelyne mulai gemetar dan Duncan merasa seolah-oleh Madelyne sedang menarik semua rasa dingin dari tubuhnya dan memasukkannya dalam tubuh gadis itu sendiri.

Itu adalah tindakan paling tidak egois yang pernah Duncan saksikan.

Sensasi kembali dengan cepat ke kaki Duncan. Pria itu merasa seakan seribu belati ditusukkan ke telapak kakinya, membakar dengan intensitas yang ia dapati sulit untuk diabaikan. Ia mencoba menggeser posisinya, tapi gadis itu tak membiarkannya dan mengeratkan dekapan dengan kekuatan yang mengejutkan.

"Kalau terasa sakit, itu pertanda bagus," kata Madelyne pada Duncan, suaranya tidak lebih dari bisikan serak. "Sakitnya akan segera hilang. Di samping itu, kau sangat beruntung karena merasakan sesuatu," tambahnya.

Kecaman dalam suara Madelyne mengejutkan Duncan, dan pria itu menaikkan sebelah alis sebagai reaksi. Madelyne memandang sekilas tepat pada saat itu dan menangkap ekspresi pria itu. Ia buru-buru menjelaskan. "Kau tidak akan berada pada posisi ini kalau saja kau tidak bertindak begitu ceroboh. Aku hanya berharap kau sudah belajar dengan baik hari ini. Aku tidak bisa akan menolongmu untuk yang kedua kalinya."

Madelyne melembutkan nada suaranya. Ia bahkan mencoba tersenyum pada pria itu, tapi itu adalah sebuah upaya lemah paling baik yang dimungkinkan. "Aku tahu kau percaya Louddon akan bertindak terhormat. Tapi itulah kesalahanmu. Louddon tidak tahu apa itu kehormatan. Ingatah itu di masa depan dan kau akan tetap hidup untuk bertemu dengan tahun berikutnya."

Madelyne menurunkan tatapannya dan memikirkan harga mahal yang harus ia bayar karena sudah membebaskan musuh kakaknya. Tidak perlu waktu lama bagi Louddon untuk menyadari Madelyne-lah yang berada di balik pelarian ini. Madelyne mengucapkan rasa syukur sebab Louddon sudah meninggalkan benteng, karena kepergian pria itu memberinya tambahan waktu untuk melaksanakan pelariannya sendiri.

Pertama-tama sang baron harus diurus. Begitu pria itu sudah pergi dengan selamat, Madelyne bisa mengkhawatirkan akibat dari tindakan nekatnya ini. Ia bertekad untuk tidak memikirkannya sekarang. "Nasi sudah menjadi bubur," bisiknya, membiarkan seluruh penderitaan dan keputusasaan bergema dalam suaranya.

Sang baron tidak menanggapi ucapan Madelyne dan gadis itu tidak memberikan penjelasan tambahan. Kebisuan menyelimuti mereka bagai ngarai yang semakin dalam. Madelyne berharap pria itu mengatakan sesuatu padanya, apa pun, untuk mengurangi ketidaknyamanannya. Ia malu karena mendekap kaki pria itu ke tubuhnya dengan sangat intim dan menyadari kalau pria itu menggerakkan jemari kaki sedikit saja maka akan menyentuh bagian bawah payudaranya. Pikiran itu membuat Madelyne merona. Ia memberanikan diri melirik cepat sekali lagi untuk mengetahui bagaimana reaksi pria itu terhadap meode penyembuhan yang aneh.

Duncan menunggu Madelyne untuk memandangnya, dan dengan cepat, tanpa usaha, menangkap tatapan gadis itu. Menurut Duncan, mata gadis itu sebiru langit pada hari yang paling cerah, serta berpendapat kalau gadis itu sama sekali tidak mirip dengan kakaknya. Duncan mengingatkan dirinya sendiri bahwa penampilan tidak berarti apa-apa, bahkan ketika ia merasa dirinya terpukau pada tatapan tak berdosa gadis itu yang memesona. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa gadis itu adalah adik musuhnya, tidak kurang, tidak lebih. Cantik atau tidak, gadis itu adalah bidaknya, perangkapnya untuk menjebak sang iblis.

Madelyne menatap ke dalam mata pria itu dan berpikir kalau mata itu sekelabu dan sedingin salah satu belatinya. Wajah pria itu terlihat seolah dipotong dari batu, sebab tidak ada emosi yang tampak di sana, tidak ada perasaan sama sekali.

Rambut pria itu berwarna coklat gelap, terlalu panjang dan sedikit ikal, tapi tidak melembutkan wajahnya. Mulutnya terlihat keras, dagunya terlalu tegas, dan Madelyne tidak melihat satu pun garis di sudut-sudut matanya. Pria itu tidak tampak seperti jenis orang yang biasa tertawa atau tersenyum. Tidak, Madelyne mengakui seraya gemetar ketakutan. Pria itu terlihat sekeras dan sedingin yang dituntut oleh posisinya. Ia adalah seorang pejuang terlebih dahulu dan seorang baron kemudian, dan Madelyne menduga bahwa tidak ada tempat untuk tawa dalam hidup pria itu.

Madelyne tiba-tiba menyadari kalau ia sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Itu membuatnya khawatir, tidak mengetahui apa yang pria itu pikirkan. Ia batuk untuk menutupi rasa malunya, dan berniat untuk memulai percakapan lagi. Barangkali, jika sang baron bicara padanya, pria itu tidak akan tampak terlalu mengintimidasi.

"Apa kau berniat untuk menghadapi Louddon sendirian?" tanya Madelyne. Ia menunggu lama jawaban pria itu, dan mendesah frustrasi menghadapi kebisuan pria itu yang berkepanjangan. Sang pejuang ternyata sama-sama keras kepala dan bodoh, ujar Madelyne dalam hati. Ia baru saja menyelamatkannya dan pria itu belum mengucapkan sepatah pun ucapan terima kasih. Tingkah laku pria itu ternyata sekasar penampilan dan reputasinya.

Pria itu membuatnya takut. Begitu madelyne mengakui fakta tersebut kepada dirinya sendiri, ia menjadi kesal. Ia mencela dirinya sendiri karena reaksinya terhadap pria itu. Sang baron tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun Madelyne gemetar seperti anak kecil.

Gara-gara ukuran pria itu, putus Madelyne. Aye, batinnya seraya mengangguk dalam kungkungan ruangan kecil ini, pria itu tampak lebih kuat dari Madelyne.

"Jangan berpikir untuk kembali mencari Louddon lagi. Itu akan menjadi kesalahan lagi. Dan dia pasti akan membunuhmu di kesempatan berikutnya."

Sang pejuang tidak menjawab. Kemudian ia bergerak, pelan-pelan menggeser kakinya dari kehangatan yang Madelyne berikan. Ia bergerak lambat-lambat, menekan perlahan di sepanjang kulit yang sensitif di atas paha gadis itu dengan provokasi yang disengaja.

Madelyne terus berlutut di depan pria itu, tatapannya di arahkan ke bawahsaat Duncan mengenakan stoking dan sepatu botnya.

Ketika Duncan selesai dengan kegiatannya, ia pelan-pelan mengangkat sabuk anyaman yang tadi dilemparkan Madelyne dan menggenggamnya di depan gadis itu.

Secara insting Madelyne mengulurkan kedua tangannya untuk menerima sabuknya. Ia tersenyum, menganggap tindakan pria itu sebagai semacam penawaran damai, dan menunggu pria itu mengucapkan rasa terima kasihnya pada akhirnya.

Sang pejuang bekerja secepat kilat. Ia menyambar tangan kiri Madelyne dan mengikatkan sabut tersebut di tangan itu. Sebelum gadis itu bahkan bisa berpikir untuk menarik tangannya, Duncan melingkarkan sabuk itu di pergelangan tangannya yang satu lagi dan mengikat kedua tangannya.

Madelyne menatap tertegun pada tangannya lalu mendongak menatap pria itu, kebingungannya terlihat jelas.

Ekspresi di wajah pria itu mengirimkan kengerian di sepanjang tulang belakangnya. Madelyne menggeleng, tidak percaya pada apa yang sedang terjadi.

Kemudian sang pejuang bicara. "Aku datang bukan untuk Louddon, Madelyne. Aku datang untuk menjemputmu."



Next
Synopsis



Senin, 06 November 2017

Glorious Angel 3


Angela membanting pintu dengan sebuah hentakan keras, melempar senapannya, kemudian berbaring di dekat senapan itu. Jantungnya berdebar keras. Amarah yang membeku menyerangnya, seperti yang selalu dirasakannya saat berhadapan dengan anak laki-laki semacam Billy. Memangnya mereka pikir aku ini apa, seorang pelacur? Tentu saja mereka berpikiran begitu. Jika tidak, mengapa mereka selalu mengganggunya?

Angela menghela napas dengan tidak sabar. Ia sadar ia tak bisa menyalahkan orang lain selain dirinya sendiri. Ia dulu suka memukuli anak laki-laki yang berani menggodanya. Dulu hanya itu yang bisa mereka lakukan--menggodanya. Dulu mereka hanya mencoba menakut-nakuti, sekarang semakin sulit baginya untuk  memenangkan pertarungan. Anak laki-laki yang sama, yang dulu biasanya ia usir dengan hidung berdarah, sekarang sudah hampir menjadi pria dewasa.

Angela selalu merasa canggaung di sekitar anak perempuan karena ia dibesarkan tanpa ibu. Ia sering bergaul dengan anak laki-laki, sampai ia tak tahan lagi dengan gangguan mereka. Dengan cepat, anak perempuan yang sebaya juga tak mau bergaul dengannya. Sementara anak berkulit hitam menjauh darinya karena ia berkulit putih. Satu-satunya teman yang dimilikinya adalah Hanna, Hanna yang baik hati.

Sebuah ketukan membuat Angela bangkit dan dengan cepat ia mengepit senapannya. Apa Billy kembali lagi?

"Ini aku, Nak. Anak laki-laki itu sudah pergi."

Mendengar suara Hanna, Angela membuka pintu dengan bersemangat lalu melompat keluar.

"Anak itu berani-beraninya..."

"Aku tahu, Missy. Aku tahu." Hanna berusaha menenangkan diri, terkejut dengan kemarahan Angela. "Anak laki-laki itu bertemu denganku di jalan dan aku melihatnya berbelok ke arah sini, jadi aku menyelinap ke balik pohon dan bersembunyi di belakang rumah, menunggu apakah kau membutuhkan bantuanku. Oh Tuhan, Master Maitland pasti tak akan suka hal ini," Hanna bergumam pada dirinya sendiri.

"Apa?"

"Tidak apa-apa, Missy, tak ada apa-apa," Hanna berkata dengan cepat. Ia memeluk Angela dan menuntun gadis itu untuk duduk di tangga teras. "Kurasa kau telah tumbuh besar. Ya, benar, kau sudah besar."

Angela bertanya-tanya mengapa Hanna menyinggung Jacob Maitland, namun ia kira, ia salah dengar, jadi ia membiarkannya saja.

Angela pertama kali bertemu Hanna pada siang hari, lima tahun lalu, saat Hanna muncul dari balik hutan cedar antara Golden Oaks dan ladang kecil Sherrington. Ia bilang telah tersesat dan hampir pingsan karena kepanasan. Angela memaksanya agar masuk dan beristirahat, kemudian menunjukkan padanya jalan kembali ke Golden Oaks.

Angela sungguh tak mengerti bagaimana seorang pelayan dari Golden Oaks bisa tersesat. Yang perlu dilakukannya hanya mendekati sungai dan mengikuti alurnya. Pertanian Golden Oaks tak jauh dari sungai Mobile, dan terlihat jelas dari tepi sungai. Atau ia bisa menyusuri jalan di sepanjang alur sungai sampai ke deretan pepohonan ek raksasa yang akan mengarah ke rumah keluarga Maitland.''

Angela terkejut saat Hanna kembali seminggu sesudahnya dengan membawa sekantong tepung dan sekeranjang telur. Ia bilang itu adalah balasan karena Angela telah menyelamatkan nyawanya. Tak peduli betapa kerasnya Angela menolak, Hanna berkeras bahwa ia punya utang yang harus dibayarnya. William Sherrington menganggap itu semua lucu, dan tak melihat alasan mengapa mereka harus menolak pemberian itu. Makanan adalah makanan, dan keluarga Sherrington tak pernah punya terlalu banyak makanan.

"Perempuan itu merasa punya utang yang harus dibayar, jadi kenapa kita menolaknya?" William tertawa. "Kita bukannya meminta-minta padanya."

Sesudahnya Hanna datang sebulan sekali, dan ia selalu membawa sesuatu. Pertama makanan, tapi sejak perang pecah, ia membawa bros, garam, korek api, dan kain. Kebanyakan orang miskin saat ini tidak punya benda-benda semacam itu.

Semua yang Hanna bawa telah dicurinya dari rumah keluarga Maitland. Ia bersumpah mereka tidak akan merasa kehilangan barang-barang tersebut. Setiap bulan Angela menyuruhnya berjanji tidak akan mencuri lagi, tapi Hanna terus melanggar janjinya.

Angela sangat menyayangi Hanna, satu-satunya wanita yang dikenalnya dengan baik. Tak masalah jika warna kulit mereka berbeda. Mereka hanyalah dua orang wanita, seorang gadis muda dan wanita gemuk yang banyak omong yang usianya tiga kali lebih tua.

Charissa Sherrington meninggalkan rumah setahun setelah Angela lahir. Ibunya itu sudah mencoba untuk membawanya, tapi ayahnya menemukan mereka dan membawanya kembali, mungkin dengan harapan Charissa akan terpaksa kembali. Namun nyatanya tidak.

Angela kadang bertanya-tanya akan seperti apakah mereka jika ayahnya tidak menemukan mereka, serta dimanakah ibunya saat ini. Ayahnya membesarkannya sendirian, dan itulah sebabnya perilakunya tidak feminin.

Angela menceritakan pada Hanna hal-hal yang biasanya diceritakan anak perempuan kepada ibunya. Hal-hal yang takkan pernah mungkin diceritakan pada ayahnya. Salah satunya bahwa ia sering membayangkan jatuh cinta pada Bradford Maitland. Namun tentu saja, itu tahun lalu, sebelum Hanna menceritakan padanya kisah sebenarnya tentang putra tertua Jacob Maitland itu.

"Anak laki-laki tadi, apa hanya dia yang menganggumu?" Hanna sekarang bertanya padanya.

"Billy satu-satunya yang pernah datang kemari, tapi bukan dia satu-satunya yang pernah menggodaku."

Bagian putih mata Hanna semakin membulat. "Apa maksudmu, Nak?"

Angela selalu merasa malu pada Hanna jika menceritakan kesulitannya dengan anak laki-laki. Namun setelah kejadian hari ini, rasa malu menjadi tidak penting lagi.

"Aku telah lama menjaga diriku sendiri dari mereka yang selalu ingin mengangguku."

"Oh Tuhan, Missy Angela!" Jerit Hanna. "Kenapa kau tak menceritakan hal ini kepadaku lebih awal?"

"Itu hanya terjadi jika aku pergi ke kota. Sejauh ini aku bisa menjaga diriku sendiri. Namun sekarang aku tidak akan berkelahi lagi. Aku akan menggunakan ini!" Angela berkata dengan keras sambil mengangkat senapan ayahnya.

"Siapa anak laki-laki yang sering menganggumu?"

"Hanya anak laki-laki yang sudah kukenal sejak kecil."

"Nama mereka?" Hanna bersikeras.

Alis Angela bertaut karena berpikir keras. "Judd Holt dan Sammy Sumpter," katanya , kemudian menambahkan, "juga Wilcox bersaudara dan Bobo Deleron. Mereka adalah orang yang kadang-kadang harus kupukuli."

Hanna menggelengkan kepalanya. "Dan anak yang kemari hari ini? Siapa namanya, Missy?"

"Billy Anderson. Tapi kenapa kau menanyakan semua ini?" Angela bertanya, emosinya mulai naik sekarang.

"Hanya penasaran," Hanna berkata pelan. "Di mana ayahmu? Mengapa dia tidak mengusir Billy Anderson tadi?"

"Dia menginap di kota semalam dan belum kembali lagi."

"Maksudmu, dia meninggalkanmu sendirian?"

"Ya, tapi..."

"Oh, Tuhan!" Hanna berseru dan segera meluruskan kakinya. "Aku harus pulang!"

"Tunggu, Hanna! Apa kau kebetulan membawa korek api?" Angela mengejar Hanna.

"Ya, ada di keranjang dekat teras," Hanna menjawab sambil bergegas berjalan kembali ke Golden Oaks.

Angela menggelengkan kepalanya. Apa yang telah merasuki Hanna? Kelihatannya wanita itu lebih kesal daripada dirinya atas kedatangan Billy Anderson.


***

Billy Anderson memecut tunggangannya dengan keras, melampiaskan amarahnya sepanjang perjalanan kembali ke Mobile. Ia takkan pernah memafkan Angela karena telah mempermainkannya. Ia tak ingat pernah semarah ini sebelumnya, kecuali mungkin tahun lalu saat ayahnya mengurungnya di kamar untuk mencegahnya ikut perang, sementara saat itu umurnya tujuh belas tahun dan sangat ingin berada dalam pertempuran dan menjadi seorang pahlawan.

Ini lebih buruk lagi. Angela telah membuat dirinya terlihat sebagai seorang pengecut. Jika Angela membuka mulut dan menceritakan bagaimana ia diusir dengan bidikan senapan, ia akan membunuh gadis itu. Seharusnya ia menyingkirkan senapan itu dari tangan Angela dan menyerang gadis itu dengan ganas. Ia kemudian bisa menindih Angela dan mendapat apa yang menjadi tujuannya semula.

Karena terburu-buru ingin lari dari kejadian yang menurutnya sangat memalukan, Billy hampir menabrak kereta yang sedang lewat. Ia mengutuk keras-keras, kemudian menoleh untuk melihat siapa yang berada di dalam kereta tersebut. Crystal Lonsdale dan Candise Taylor hampir-hampir tidak melihat padanya saat mereka lewat. Melihat mereka membuat Billy ingat kembali akan kejadian pagi tadi dengan lebih jelas.

Sekarang Angela mungkin sedang menertawakannya, seperti Crystal. Namun itu takkan lama. Ia akan memiliki Angela. Gadis itu takkan pernah mempermalukannya lagi.



Next
Back
Synopsis



Kamis, 02 November 2017

Honor's Splendour (Sinopsis)


Honor's Splendour
(Cinta dan Kehormatan)

Oleh Julie Garwood

Diterjemahkan dari Honor's Splendour
terbitan Pocket Books, New York

Hak Cipta Terjemahan Dastan Books




Sinopsis


Menuntut balas dendam atas apa yang terjadi pada adik perempuannya, Baron Duncan of Wexton menyandera Lady Madelyne sebagai tawanan dari penaklukan benteng Baron Louddon. Namun setelah melihat kecantikan Madelyne yang sesungguhnya, Duncan pun menepikan rencana awalnya dan bersumpah untuk melindungi sang lady.

Lady Madelyne, yang telah bertahun-tahun hidup dalam penindasan Baron Louddon, sebenarnya telah bertekad untuk pergi ke tempat sepupunya di Skotlandia guna mencari rasa aman. Namun dalam masa penawanannya oleh Duncan, ia melihat sisi lain dari Duncan yang membuat hatinya bergetar oleh perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Bahaya masih mengancam Madelyne, Louddon ternyata mempunyai niat keji pada Madelyne dan berusaha mendapatkannya kembali. Apakah Duncan membiarkan Madelyne yang ia cintai lepas dari pelukannya? Siapkah Medelyne menerima keterpikatannya pada Duncan yang semakin tak terbendung? Semua bahaya dan rintangan yang menghadang menuntut pembuktian kekuatan cinta mereka berdua.



Honor's Splendour 1
Honor's Splendour 2
Honor's Splendour 3
Honor's Splendour 4
Honor's Splendour 5
Honor's Splendour 6
Honor's Splendour 7
Honor's Splendour 8
Honor's Splendour 9
Honor's Splendour 10
Honor's Splendour 11
Honor's Splendour 12
Honor's Splendour 13
Honor's Splendour 14
Honor's Splendour #Sampaisiniaja

Rabu, 01 November 2017

Glorious Angel 2



Billy Anderson memelankan laju kuda-kudanya. Ia telah membuat mereka berlari seolah-olah ada tentara Yankee yang sedang mengejar. Kesempatan yang ditunggu-tunggunya telah datang tanpa disangka-sangka pagi ini. William Sherrington pingsan di jalan karena terlalu mabuk, dan meninggalkan putrinya sendirian. Billy menyeringai membayangkannya.

Pagi telah mulai seperti biasanya, dengan matahari musim panas yang dengan cepat menghilangkan bekas-bekas malam yang sejuk. Hari ini akan menjadi hari panas lainnya, hari untuk menantang kesabaran dan menguji amarah seseorang. Billy merengangkan badannya dengan malas dan membuang sisa-sisa kantuk dari matanya. Sebelum membuka toko ayahnya, ia akan memandang ke arah jalan di mana para pekerja terlihat sibuk, para pelayan bergegas menuju pasar, anak-anak bermain saat udara memungkinkan, sebelum terik panas membuat mereka terpaksa kembali ke dalam rumah mereka yang teduh.

Keadaan tidak terlalu berbeda daripada sebelumnya, pikir Billy. Setidaknya Alabama tidak perti negara bagian di selatan lainnya, di mana perang terjadi. Tentara Union tertahan di luar Alabama. Bagi kebanyakan orang di sini, perang tidak terlalu terlihat nyata. Billy mendengus. Orang-orang Yankee itu pengecut--semua orang tahu itu. Hanya masalah waktu sampai Konfederasi menang perang. Keadaan akan kembali normal. Dan ayahnya akan terbebas dari utang.

Billy menghela napas panjang dan merenggangkan badannya yang kurus. Ia pindah ke meja besar, kemudian meraba bahan katun kasar yang melapisinya. Sudah lama sekali orang tidak membeli bahan katun, bahkan yang murah sekalipun.

Ini masa-masa yang sulit bagi semua orang. Namun ini takkan berlangsung lama. Suatu saat, toko ini akan menjadi miliknya. Ia sebenarnya tak menyukai perdagangan. Ia juga tidak suka hal-hal lainnya--kecuali perempuan.

Billy menyeringai, mata coklatnya berkerut. Ia menuju meja panjang tempat uang disimpan dan duduk di bangku di belakangnya. Sambil menelusuri rambutnya yang berwarna merah, ia memiringkan bangku tadi sampai menyandar ke rak di belakangnya, lalu mengangkat kakinya ke meja konter.

Sam Anderson akan marah jika melihat anaknya seperti ini, namun Sam tidak akan turun selama sekitar satu jam ke depan, karena kelelahan setelah keluar malam bersama teman-temannya. Ayah Billy itu sangat menyukai permainan kartu dan judi, dan apa pun yang bisa dipertaruhkan. Billy mesti manahan dongkol setiap kali ayahnya berkata, "Hanya butuh satu kemenangan besar, maka kita akan bebas dari utang." Namun keberuntungan Sam sudah berakhir, tidak seperti saat sebelum perang. Ia terus-menerus kalah dan bertarung.

Billy terkejut saat lonceng kecil di atas pintu berbunyi. Matanya terbuka lebar karena terkejut melihat masuknya dua wanita. Payung kecil mereka bergoyang di pinggang. Billy mengenali Crystal Lonsdale yang berusia sembilan belas tahun--wanita terhormat dari perkebunan The Shadow--dan temannya Candise Taylor. Billy dengan cepat mengamati mereka. Crystal sangat menawan, dengan mata biru bulat dan rambut pirang berkilau. Agak terlalu kurus untuk seleranya, namun yang pasti gadis itu cantik, dan juga salah seorang wanita yang paling diincar lelaki di Mobile.

Candise Taylor beberapa tahun lebih tua daripada Crustal, dengan rambut hitam yang ditata rapi di bawah topi biru yang ditalikan di dagu, serta mata biru yang memesona seperti warna dini hari. Candise adalah putri dari sahabat Jacob Maitland, yang datang berkunjung dari Inggris. Ia sama menawannya dengan Crystal, dengan wajah yang lebih lembut dan tingkah laku yang sopan.

Billy keluar dari sudut dan mendekati kedua wanita yang berdandan trendi itu. Yang satu menggunakan gaun warna pink, dan yang satu lagi warna biru. Billy berharap ia tak berpakaian seburuk ini.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Billy bertanya dengan suara yang paling terdengar seperti orang pintar dan senyum yang menawan di bibir tipisnya. Crystal memandang singkat ke arahnya, kemudian berpaling. "Kurasa tidak. Aku tidak tahu mengapa Candise ingin masuk ke sini."

"Tidak ada salahnya untuk lebih hemat, Crystal," Candise menjawab dengan malu-malu.

Candise terlihat sedikit malu, walau tidak semalu Billy saat ia mengawasi mereka menjauh darinya dan mendengar omelan Crystal. "Yang benar saja, Candise! Ayahmu itu sekaya ayahku. Saat Mr. Maitland memintaku untuk menemanimu berbelanja, aku tak menyangka akan menemanimu ke tempat semacam ini!"

Billy tercekat. Perempuan sombong yang bodoh! Ia sangat ingin melempar Crystal Lonsdale ke jalanan. Namun ia tahu ayah gadis itu akan mengamuk padanya meskipun ia hanya bersikap tidak ramah pada Crystal. Crystal termasuk dekat dengan keluarga Maitland. Jacob Maitland orang yang sangat kaya. Sam Anderson punya utang yang besar padanya.

Billy kembali ke meja konter dan duduk di bangku. Ia mengawasi kedua wanita itu dengan marah. Bintik-bintik merah di wajahnya pucat akibat terlalu marah.

Billy akan memberikan segalanya agar bisa sekaya Jacob Maitland. Ia selalu iri pada keluarga Maitland. Ia masih ingat saat pertama kali mereka tiba di Mobile, lima belas tahun yang lalu. Ia sedang ada di dermaga bersama ayahnya untuk mengambil kiriman barang. Sebuah kapal besar baru saja tiba dan di sana terlihat Jacob bersama istrinya dan kedua putra mereka, dan hanya mereka penumpang kapal tersebut. Billy sangat takjub dengan pakaian mereka yang mahal, kereta mewah yang telah menunggu, dan peti demi peti barang-barang mereka.

Gosip yang beredar menyebutkan bahwa jaringan bisnis Maitland begitu banyaknya sehingga ia termasuk salah satu orang terkaya di dunia. Ia punya banyak properti dan toko, tambang, rel kereta api, dan investasi lain yang tak terhitung di seluruh penjuru dunia. Billy tidak tahu pasti, namun yang pasti Maitland adalah salah satu orang terkaya di Alabama.

Jacob Maitland tidak harus tinggal di selatan saat perang pecah, ia bisa tinggal di mana saja di dunia ini. Namun sekarang ia telah menjadi pria terhormat dari Selatan, dan ia telah memilih untuk tetap tinggal dan mendukung Selatan. Ia juga sungguh-sungguh menunjukkan dukungannya, dengan uangnya dan dengan bergabungnya Zachary dengan tentara Selatan, sementara putra tertuanya, Bradford, mengurus bisnis keluarga. Sekarang ada seorang pria lagi yang membuat Billy iri--Bradford Maitland. Bradford punya uang, hidup semaunya, dan bisa pergi keliling dunia.

Sungguh beruntung menjadi seorang anggota keluarga Maitland! Billy sangat ingin menjadi salah seorang putra Jacob Maitland. Ia dulu sering berkhayal menjadi bagian dari keluarga itu. Sekarang ia sudah tidak memimpikan hal itu lagi, namun ia masih tetap merasa iri.

Perhatian Billy benar-benar teralih.

"Bagaimana manusia sampah seperti Sherrington bisa hidup di sini?" Crystal mendengus.

"Maksudmu pria menyedihkan yang tadi kau tunjuk? Yang sedang terbaring di lorong?"

"Pria menjijikan yang kita lihat pingsan di lorong akibat terlalu mabuk. Ya, William Sherrington. Tahukah kau bahwa mereka tinggal tak jauh dari Golden Oaks?" Crystal bertanya kepada temannya dengan jijik. "Aku tak bisa membayangkan mengapa Jacob Maitland membolehkan pria semacam itu bekerja di pertaniannya."

"Aku kasihan padanya," tutur Candise.

"Yang benar saja, Candise! Kau ini mudah kasihan pada semua orang. Sekarang cepat keluar dari sini sebelum ada yang melihat kita."

Sebuah cibiran terbentuk di bibir Billy saat ia memperhatikan kedua gadis tadi meninggalkan toko. Ya, larilah putri kecil, sebelum teman-teman kaya kalian menemukan kalian di toko kumuh ini. Dasar!

Darah Billy mengalir cepat saat mereka membicarakan ayah Angela Sherrington. Makhluk liar yang pemarah itu telah menjadi obsesinya sejak lama. Walau Angela baru berumur empat belas tahun, tubuhnya sudah terbentuk akhir-akhir ini. Angela adalah gadis tercantik yang pernah ia lihat.

Billy hampir tak mengenali Angela saat gadis itu mesuk ke tokonya beberapa bulan yang lalu. Angela bukan lagi anak kecil kurus dengan rambut ikal yang kusut, gadis itu sudah mulai berbentuk. Wajahnya juga sudah berubah. Angela Sherrington memang cantik. Matanya yang berwarna violet tersembunyi di balik bulu mata yang tebal dan teduh. Billy belum pernah melihat warna mata seperti itu. Mata Angela bisa membuat orang terbuai seperti terkena sihir.

Sejak saat itu, Billy mulai mendatangi lahan pertanian Sherrington dan bersembunyi di balik pepohonan cedar yang membentuk dinding tebal di depan pondok. Ia memperhatikan Angela yang sedang bekerja di ladang bersama sang ayah. Gadis itu mengenakan celana selutut yang ketat dan kaus katun dengan lengan yang digulung. Billy tak bisa mengalihkan pandangannya dari Angela.

Billy tak sabar menunggu ayahnya datang agar ia bisa pergi. Saat ia meninggalkan toko, ia sudah memastikan bahwa William Sherrington memang berada di tempat yang tadi dikatakan Crystal.

Sekarang ia punya waktu. Memikirkan Angela sendirian di pondok tersebut membuat perutnya sakit. Sekarang ia bisa memiliki gadis itu! Ia juga akan menjadi yang pertama, dan itu yang penting. Oh Tuhan, ia tak sabar lagi.

Billy menghentikan kudanya dan melompat turun dari kereta ayahnya.

"Sampai di situ saja, Billy Anderson."

Billy tersenyum. Angela menghentikannya, dan ini akan membuat semuanya jauh lebih menyenangkan.

"Apa begini caramu menyambutku, Angela?" Billy bertanya dengan rasa tak senang.

Ia menatap senapan yang dipegang Angela yang diarahkan kepadanya, namun kemudian matanya menuju ke pinggang Angela yang langsing, yang dibentuk oleh celana yang ketat, lalu ke kaus Angela yang juga ketat. Dada Angela tertekan ke kausnya yang ketat, dan sudah jelas ia tak memakai apa-apa di baliknya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Billy?"

Sekarang Billy memandang wajah Angela, yang penuh dengan kotoran dan tepung namun tetap cantik, kemudian ia menatap tajam ke mata gadis itu. Yang dilihatnya membuatnya terkejut. Apakah gadis itu merasa ada yang lucu? Apakah Angela sedang menertawakannya?

"Aku datang untuk mengunjungimu," kata Billy, sambil menyusuri rambutnya dengan gugup. "Apa yang salah dengan hal itu?"

"Sejak kapan kau datang berkunjung? Kukira kau tipe orang yang hanya bisa bersembunyi di balik pohon dan terlalu takut untuk keluar," sahut Angela.

"Jadi, kau tahu soal itu?" Billy bertanya dengan tenang walau wajahnya yang memerah tidak bisa mengelabui Angela.

"Ya, aku tahu. Aku sering melihatmu bersembunyi di sana," kata Angela sambil menunjuk ke arah pohon cedar dengan hidungnya. "Mengapa kau memata-mataiku?"

"Tidakkah kau tahu?"

Mata Angela terbuka lebar dan terlihat bertambah gelap, warna biru violet yang memesona. Sekarang sudah tidak ada sinar tawa lagi. "Pergilah, Billy! Sana!"

"Kau benar-benar tidak ramah, Angela," tukas Billy kering, mata coklatnya menatap senapan yang dipegang Angela dengan erat.

"Kau bukan tetanggaku, dan aku tidak perlu beramah-ramah dengan orang sepertimu."

"Aku hanya datang mengunjungimu. Duduk dan berbincanglah sebentar. Mengapa tidak kau letakkan dulu senapanmu itu, lalu..."

"Akui saja kenapa kau datang kemari, Billy, jadi kau tak perlu berbohong lagi," sergah Angela dingin. "Senapan ini tidak akan kulepas dari tanganku, jadi mengapa kau tidak kembali saja ke kota, ke tempat di mana kau seharusnya berada."

"Mulutmu memang berani, ya?" Billy menyeringai.

Angela tersenyum, menunjukkan giginya yang putih dan berkilau. "Yah, terima kasih, Billy Anderson. Itu pujian terbaik yang pernah kudengar."

Billy memutuskan untuk mencoba pendekatan berbeda.

"Baiklah, kau sudah tahu alasanku kemari, jadi kenapa kau menolakku? aku tidak akan mempermainkanmu. Aku akan menjagamu. Aku akan membuatkanmu rumah di kota. Kau bisa meninggalkan ladang kecil ini dan hidup lebih nyaman."

"Dan apa yang harus kulakukan agar bisa hidup lebih nyaman seperti katamu itu?" Tanya Angela.

"Kau tahu jawabannya."

"Ya, aku tahu," cetus Angela. "Dan jawabanku adalah tidak."

"Buat apa kau begitu protektif terhadap dirimu sendiri?" Billy bertanya, wajah bintik-bintiknya menunjukkan rasa marah dan tak senang.

"Yang pasti, bukan buat orang semacam dirimu."

"Satu-satunya harapanmu adalah menikahi petani kumuh lainnya dan tinggal di tempat seperti yang kau tinggali sekarang seumur hidupmu. Itukah yang kau inginkan?"

"Aku tak mengeluh," tukas Angela.

"Kau bohong!" Billy berteriak dan mulai maju mendekati Angela.

"Jangan mendekat lagi, Billy!" Suara Angela mulai meninggi. Ia menatap langsung ke mata Billy yang memancarkan kemarahan. "Aku sungguh-sungguh akan menembakmu tanpa ragu sedikit pun. Aku muak kepada kalian yang menyangka bisa memilikiku dengan mudahnya. Yah, kebanyakan dari kalian tidak bertanya dulu... kalian ingin langsung menjamahku. Aku sudah muak, kau dengar? Mungkin aku kalah kuat denganmu, tapi senapan ini tidak. Senapan ini bisa meledakkan kepalamu yang sempit itu. Jadi sebaiknya kau pergi sebelum hal itu terjadi!"

Billy mundur, suarah Angela yang bergemuruh memperingatkannya bahwa gadis itu sungguh-sungguh. Sial!

"Aku akan memilikimu, Angela, ingat itu!" Billy berteriak sambil memanjat keretanya. "Kau berhadapan dengan seorang pria dewasa sekarang, bukan anak-anak lagi!"

Angela tertawa. "Aku belum pernah menembak pria dewasa, tapi kurasa selalu ada yang pertama untuk segala hal."

"Aku akan kembali," Billy berjanji. "Dan aku akan menjadi yang pertama, dan bukan hanya sebatas yang kau kira. Aku akan memilikimu, Angela Sherrington, aku janji itu."

Billy Anderson pergi dengan tergesa-gesa, melampiaskan kemarahannya dengan dua kali entakkan pada tali kekang kudanya.



Next
Back
Synopsis


Minggu, 22 Oktober 2017

Glorious Angel 1



Bab 1

Angela Sherrington melempar sebatang kayu lagi ke dasar perapian. "Memang aku yang bodoh!" ia mengutuk dirinya sambil menatap percikan api yang melompat ke lantai.

Andai saja ia tidak menyia-nyiakan korek api itu! Sekarang terpaksa ia harus mengawasi perapiannya agar menyala siang dan malam. Korek apinya sudah habis sejak minggu lalu sehingga pondok yang disebut Angela sebagai rumahnya ini telah menjadi tempat yang tidak menyenangkan untuk ditinggali.

Angela melihat ke arah api itu sekali lagi, kemudian keluar ke teras sempit di depan sebuah kamar yang kecil. Ia berharap bisa merasakan tiupan angin, namun suhu di luar sana setidaknya dua puluh tujuh derajat Celsius. Ia mengutuk dirinya lagi. Di tahun 1862 yang menyedihkan ini, korek api menjadi barang langka. Perang telah membuat segala sesuatu langka, dan ia harus lebih berhati-hati.

Lahan pertanian Sherrington, jika bisa disebut sebagai ladang pertanian, hanya berjarak empat ratus meter dari Sungai Mobile, dan sekitar setengah hari perjalanan naik kuda dari Mobile, kota terbesar di Alabama. Ladang yang mengelilingi lahan pertanian tampak baru dipanen. Dinding lumbungnya mengelupas dan atapnya bocor. Rumah itu pernah dicat putih sebelumnya, tapi sekarang sangat sulit untuk melihat sisa-sisa cat yang menempel. Dua kursi berlengan dengan kondisi yang menyedihkan dan sebuah kotak kayu yang dimaksudkan sebagai meja, berada di teras itu.

Dengan enggan Angela kembali masuk ke rumah dan mulai bekerja di dapur. Udara panas telah membuatnya lelah, ditambah lagi dengan api yang menyala di belakangnya dan sinar matahari yang memancar dari jendela di depannya. Namun yang sangat membuatnya gelisah adalah ayahnya. Ayahnya pergi ke Mobile kemarin untuk menjual hasil panen jagung mereka yang terakhir. Seharusnya ayahnya kembali kemarin sore, tapi untuk kali keempat dalam hidupnya, Angela harus melewatkan malam sendirian. Sebuah kenyataan yang menyedihkan bahwa semua itu terjadi sejak perang pecah.

Dengan menghela napas dalam-dalam, Angela memandang lewat jendela yang retak ke arah ladang yang kemerahan. Ladang itu seharusnya dibajak pagi ini agar siap untuk ditanami buncis dan kacang lima. Angela pasti sudah memulainya sendiri jika mereka punya lebih dari satu kuda. Tapi mereka tidak punya, dan ayahnya membawa si tua Sarah untuk menarik kereta. Terkutuk semua ini, di manakah ayahnya?

Angela sudah bangun sebelum matahari terbit. Baginya itu waktu yang tepat untuk membersihkan rumah, satu-satunya saat di mana udaranya cukup sejuk di musim panas seperti ini. Rumahnya biasa saja, tapi tak ada yang bisa mengatakan rumahnya tidak bersih.

Angela menyeka keringat di wajahnya. Ia mencoba untuk tidak khawatir, namun gagal. Penyebab sebelumnya ayahnya tiga kali tidak pulang adalah karena ia terlalu mabuk untuk bisa kembali ke keretanya. Angela berharap ayahnya hanya terlalu mabuk dan bukan terlibat dalam sebuah perkelahian.

Angela bisa menjaga dirinya sendiri. Ia tak mengkhawatirkan hal itu. Bahkan saat ayahnya ada di rumah, ayahnya itu sering mabuk dan tertidur. Ia membenci hal itu, tapi ia tidak bisa menghentikan kebiasaan ayahnya. William Sherrington adalah seorang pemabuk.

Karena kebutuhan, Angela telah belajar berburu. Jika tidak, ia bisa mati kelaparan andai harus menunggu ayahnya tersadar kembali. Angela bisa membunuh seekor kelinci hanya dengan satu kali tembakan.

Ya, ia memang bisa menjaga dirinya sendiri, tapi ia tetap merasa khawatir saat ayahnya tidak pulang ke rumah.

Tak lama, bunyi kereta yang mendekat membuat semangat Angegla muncul. Sudah waktunya! Dan saat rasa cemasnya hilang, rasa marahnya muncul. Ayahnya akan ia marahi habis-habisan.

Namun, bukan si tua Sarah yang berderap mendekati pepohonan cedar yang tinggi. Dua kuda berwarna abu-abu menarik kereta yang berdebu dan penuh cipratan lumpur. Dan orang terakhir yang ingin dilihatnya, sedang mengemudikan kereta itu.



Lanjut
Sinopsis

Sabtu, 21 Oktober 2017

The Tarnished Lady 2


Tugas seorang wanita tak pernah berakhir...

Eadyth bangun di saat menjelang fajar keesokan harinya. Sejujurnya, ia hanya berbaring dengan mata terbuka lebar, berkat kasurnya yang dipenuhi kutu.

Pelayannya tidur di kasur jerami yang dihamparkan di atas rumput yang kotor di dekat pintu. Kasihan Girta! Kutu busuk pasti berpesta pora menggigiti dagingnya yang tebal. Saat melihat lebih dekat, Eadyth melihat pembantu kepercayaannya itu mendengkur dengan teratur, tak terganggu oleh hama-hama tersebut.

Mungkin kulit Girta lebih tebal, atau lebih tepatnya kulit terang Eadyth lebih manis rasanya, pikirnya, lalu tergelak pelan. Hah! Tuan menyebalkan pemilik kastil yang nyaris ambruk ini akan memiliki pendapat berbeda tentang masalah itu, ia berani bertaruh.

Eadyth melangkahi pelayannya, yang mulutnya kini mengeluarkan paduan suara yang berbeda-- dengkuran pelan diselingi beberapa dengkuran senang dan bunyi menciut. Eadyth memandang dengan sorot penuh sayang wanita gemuk yang telah melayaninya dengan setia beberapa tahun ini, pertama sebagai pengasuhnya ketika ibunya meninggal saat melahirkannya, dan kini sebagai pendamping.

Mencari semangkuk air, Eadyth berharap bisa menyegarkan diri sebelum menghadapi badai perlawanan Eirik sekali lagi. Ia tak berhasil menemukannya. Bahkan, tak hanya perapian di kamarnya yang sudah dingin, tapi suasana keheningan yang mencekam menyelimuti koridor-koridor di luar. Tentunya, para pelayan Ravenshire sudah bangun dan memulai aktivitas sekarang, menyiapkan hari baru.

Dengan penuh pertimbangan, Eadyth mengenakan pakaian kunonya dan merapikan rambutnya ke balik tudung dan cadarnya. Sebagai aksesori tambahan, ia mengambil segenggam abu dari perapian dan menorehkannya dengan hati-hati di wajahnya untuk memberikan warna keabu-abuan di wajahnya.

Ia tersenyum, teringat kemarahan Girta kemarin pagi ketika dengan sengaja ia memilih gaun  paling jelek dan tertutup yang bisa ditemukannya.

"Ini tak akan menarik untuk ranjang pernikahan," Girta mengeluh masam.

"Memang benar Girta sanyang. Memang itu tujuanku. Aku akan memikat suami dengan mas kawinku dan kemampuanku mengatur estat, bukan tubuhku." Eadyth bergidik jijik pada prospek terakhir itu, menambahkan, "Aku sudah kapok dalam hal itu."

"Ah, Nak. itu hanya satu pengalaman buruk. Tak semua pria terbuat dari potongan kain yang sama."

Sikap Eadyth mengeras saat itu. "Tidak, kau adalah wanita yang baik Girta, tapi  kenyataan yang kejam telah membuktikan padaku bahwa lebih banyak pria yang berpikir sama dengan Steven dari pada yang tidak jika menyangkut wanita. Mereka menganggap kita hanya sekadar barang untuk digunakan dan disingkirkan begitu mereka bosan. Aku mau lebih dari itu."

Girta menggeleng prihatin. "Aku tak bisa membayangkan bagaimana kau bisa menerima aturan dalam kehidupan seorang istri."

"Tak akan. Pengantin priaku harus setuju pada persyaratanku sebelumnya." Eadyth terdengar lebih percaya diri dari yang dirasakannya.

"Oh, Eadyth, sayang, aku kawatir kau akan terluka."

Terluka? Eadyth kini tercenung saat ia membuka pintu kamarnya menuju koridor yang luas. Tidak, ia sudah sejak lama mengeraskan hatinya yang rapuh. Tapi John... itu beda lagi. Eadyth akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk melindungi putranya dari luka -- bahkan jika itu berarti ia harus menikahi pria menyebalkan dari Ravenshire itu, atau pria lain yang sama menjengkelkannya.

Eadyth berjalan menyusuri koridor dan menuruni tangga dari bangunan kastil berlantai dua, bangunan yang terbuat dari kayu dan batu. Jauh lebih besar dari Hawks' Lair, kastil itu dulunya kompleks bangunan yang mengesankan, atau begitulah kata ayahnya. Tapi batu-batu yang mulai runtuh dan kayu yang lapuk menunjukkan bahwa telah bertahun-tahun bangunan itu ditelantarkan. Sebenarnya, Eadyth benci melihat sesuatu yang indah, baik orang atau bangunan, diperlakukan dengan begitu buruk. Itu menggambarkan karakter pemiliknya. Eirik harus menjelaskan alasan ia menyia-nyiakan warisannya, pikir Eadyth sambil menggeleng dengan penuh sesal.

Ia mencari pelayan yang bisa menunjukkan arah ke jamban, lalu ke air bersih untuk minum dan mandi. Tak ada seorang pun. Beberapa ksatria mabuk yang dilihatnya kemarin malam tidur di bangku lebar dan di ranjang di ujung aula utama, bersama dengan beberapa pelayan.

Segelintir wanita berbaring telanjang di balik selimut bulu, tungkai mereka bertaut dengan tungkai para pria bangsawan. Melalui pintu cekung yang setengah terbuka, Eadyth melihat seorang gadis berambut merah berbagi ranjang dengan Wilfrid, seneschal yang ditemuinya kemarin malam. Payudara wanita itu menempel dengan provokatif di dada berbulu gelap milik Wilfrid dan sebelah kaki panjangnya bertumpu di atas kedua pahanya yang besar. Lebih keterlaluan lagi, jari-jari tangan wanita itu yang kapalan memegang organ intim Wilfrid yang lemas.

Mata Eadyth membelalak melihat adegan erotis itu. Lalu bibir atasnya melengkung sinis. Mengenal tabiat pria, Wilfrid mungkin saja sudah menikah dan istrinya yang malang sedang tidur di lantai atas sementara ia bercinta seperti kelinci dengan gadis pelayan.

Tak terlalu terkejut, Eadyth tahu bahwa berbagi ranjang adalah kegiatan yang lumrah di banyak manor, terutama yang di dominasi pria seperti di Ravenshire. Tapi ia tak mengizinkan kelakuan bejat semacam itu di Hawks' Lair. Ia mendorong pernikahan di antara para pelayannya, dan tak ada gadis dipaksa tidur dengan bangsawan yang berkunjung di dalam kastilnya.

Eadyth menimbang untuk membangunkan mereka berdua dan menunjukkan sikap tak setuju, tapi, tak seprti kemarin malam, ia bersumpah untuk mengikuti jalur yang lebih masuk akal hari ini. Lagi pula, itu bukan kastinya - mungkin tak akan pernah jadi kastilnya. Alih-alih, ia berjalan menuju area dapur yang terpisah, yang terhubung ke kastil melalui lorong yang tertutup. Walaupun kastil itu tak mempunyai nyonya rumah atau istri dari Lord pemilik kastil, pasti ada pelayan yang bertugas mengurus rumah... mungkin kokinya.

Mendorong terbuka pintu yang berat, Eadyth terkesiap ngeri melihat mimpi buruk di depannya: belanga-belanga berminyak, tikus-tikus yang berlarian, sisa makanan, nampan dan gelas yang tak dicuci, bahkan ada dua ekor ayam yang sedang mematuki makanan yang jatuh di atas lantai batu yang penuh kotoran. Eadyth menyambar sebatang sapu dan mengusir seekor tikus gemuk yang melahap sebongkah daging domba di atas meja,lalu menghentakkan kakinya ke arah selembar kasur jerami di dekat perapian yang padam di mana seorang pelayan, mungkin sang juru masak, sedang mendengkur keras melalui giginya yang membusuk dengan mulut yang terbuka. Wanita itu berguling telentang dan buang angin dengan kencang. Menggunakan sapu, Eadyth memukul bokong lebarnya, dan wanita itu seketika bangun, menggosok bokongnya.

"AP... APA?" jerit wanita itu saat ia melompat bangun dari kasur jeraminya, hanya setinggi bahu Eadyth, tapi dua kali lebarnya. "Apa kau sudah tak waras, mengganggu pelayan jujur sepertiku?" menyipitkan matanya--bola mata hitam yang kecil di wajahnya yang bengkak--koki itu bertanya dengan kasar, "kau pikir siapa dirimu... seorang ratu?"

"Lady Eadyth of Hawks' Lair, dasar pemalas. Apa kau bertanggung jawab atas kondisi kotor dapur ini?"

Wanita juru masak itu kini tampak takut karena menyadari bahwa ia telah menghina seorang wanita bangsawan, wanita itu mengangguk ragu, menyeka kantuk dari mata bundarnya. Ketika ia menguap dengan lebar, Eadyth nyaris pingsan karena napas tak sedap yang berembus ke arahnya, kombinasi dari gigi yang buruk dan arak basi, belum lagi tubuh dan pakaian yang mungkin tak dibasuh sejak paskah. Syukurlah, ia belum makan hidangan apa pun yang disiapkan oleh tangan kotor wanita tua ini.

"Siapa namamu?" desak Eadyth dengan suara dingin.

"Bertha."

"Baiklah, Bertha, menurutmu bagaimana dengan dapur yang kotor ini?"

"Hah?"

Eadyth mendengus jijik. "Berapa banyak pelayan di kastil ini?"

Bertha menggaruk ketiaknya dengan malas, lalu mulai menghitung dengan jarinya. "Sekitar dua belas di dalam, mungkin ada dua belas lagi di luar. Banyak pelayan dan petani yang pergi selama dua tahun Master tak ada."

"Siapa yang bertanggung jawab saat dia tak ada?"

Koki itu mengangkat bahu gemuknya. "Master Wilfrid, tapi dia sering pergi, sejak kematian  istrinya tahun lalu. Berkatilah jiwanya!" Bertha tampak berduka atas kematian istri Eilfrid. Hah! Wilfrid sama sekali tak tampak berduka ketika terakhir kali Eadyth melihatnya, membayangkannya dengan si pelayan telanjang.

"Aku mau kau kumpulkan semua pelayan... yang budak atau merdeka... di dapur ini secepatnya. Kau mengerti?"

Koki itu mengangguk.

Ketika segerombolan pemalas memadati area dapur itu beberapa saat kemudian, Eadyth sudah memanaskan air di perapian, dan belanga-belanga, nampan, serta gelas-gelas telah direndam. Ia menceramahi para pelayan itu dengan kata-kata pedas yang tak akan segera mereka lupakan, lalu memberikan perintah spesifik tugas yang harus mereka selesaikan dalam sejam.

"Bertha, aku ingin lantai dan dinding dapur ini disapu dan disikat. Semua papan talenan harus digosok, dan tepung baru dibawa untuk membuat roti. Aku akan memeriksa persediaan makanan di gudang penyimpanan, barangkali ada yang basi atau bercacing, yang aku jamin, pastinya ada."

"Lambert, panggil seseorang lagi untuk membantumu memotong dan menumpuk kayu bakar, yang bisa digunakan untuk memasak lima hari ke depan. Agnes dan Syabil akan mengumpulkan telur dan susu dari sapi." Eadyth bimbang saat itu dan memandang Bertha. "Ada sapi di sini, kan?"

Bertha mengangguk singkat. "Hanya ada satu sapi tersisa, dan mungkin dua lusin ayam."

"Bagus, kita akan membuat mentega saat susunya dibawa."

Ia terus dan terus mengoceh melanjutkan instruksinya sampai segelintir pelayan memutar mata muram mereka.

Lalu Eadyth beralih ke aula utama, memerintahkan beberapa pria untuk membawa keluar semua rush yang kotor dan menggantinya dengan rush yang baru dan terbuat dari tanaman herbal yang wangi. Yang lain diperintahkannya untuk menggosok meja-meja kayu dan memberihkan jaring laba-laba di tembok. Ia juga memerintahkan yang lain untuk mengangkat karpet berdebu dari dinding batu dan membawanya ke pelataran kastil untuk dibersihkan.

Yang paling penting menurutnya, ia melarang semua anjing memasuki aula utama untuk sementara waktu. Walaupun begitu, anjing bodoh dari malam sebelumnya terus membuntutinya seperti pemuda yang kasmaran. Menyerah sejenak, Eadyth memandang sekeliling untuk memastikan tak ada yang melihat, kemudian membungkuk dan membelai balik telinga anjing itu, membuat lidah hewan itu menjulur dengan sukacita. Eadyth menggeleng dengan sinis.

"Yang kau lakukan kemarin malam itu bodoh, apalagi di depan seorang wanita, tapi aku tak bermaksud menyakitimu, meskipun aku mendorongmu pelan dengan sepatuku." Eadyth masih membungkuk dan memeriksa hewan itu dengan teliti. "Ah, kau jenis yang bagus. aku bisa melihatnya sekarang. Tentunya, garis keturunanmu tak tercela. Apa kau punya nama? Tidak? Well, kalau begitu aku akan memanggilmu... apa? Prince?"

Anjing itu mengibaskan ekornya dengan antusias, dan Eadyth tertawa pelan. "kau suka nama itu ya? Well, sekarang, kita kan saling memahami satu sama lain." Ia membopong hewan bau itu, berjalan ke luar dan menurunkannya di pelataran kastil. "Jangan kembali masuk sampai kau mandi, Prince," ia menasehati hewan bodoh itu, yang matanya memandangnya dengan penuh perasaan seolah-olah memahami maksud Eadyth sepenuhnya.

Eadyth kembali ke aula dengan tergelak, ia melihat beberapa bangsawan telah bangun dengan terhuyung-huyung dari tidur mabuk mereka, dan ia mengirim mereka untuk berburu daging segar untuk makanan, bahkan Wilfrid, yang nampaknya terlalu terpana  dengan perintah Eadyth untuk protes. Bahkan, ia tersenyum aneh, bertanya dengan polos, "Apa Lord Eirik meminta bantuanmu, My Lady?"

Eadyth merasa dirinya tersipu--kebiasaan yang ingin sekali bisa segera dikendalikannya, tapi tak bisa. "Tidak. Aku duga dia masih tidur pulas setelah minum ale semalaman denganmu," balasnya dengan masam," lalu menoleh dengan defensif. "Aku membantunya memerintahkan para pelayannya yang malas untuk bekerja." Ia melirik cepat penuh makna ke tempat tidur Wilfris semalam, mengisyaratkan bahwa Eirik mungkin juga melakukan yang lain selain tidur di kamarnya.

Wilfrid menyunggingkan senyum penuh makna padanya dan memberi ciuman kilat pada gadis pelayan itu, yang berdiri di sampingnya, berhasil menutupi tubuh telanjangnya dengan selendang bulu. "Sampai jumpa nanti, Britta," katanya, mencubit bokong pelayan itu sambil mengedip genit.

Britta tersipu dan memandang Eadyth dengan ekspresi polos.

Eadyth berusaha menunjukkan tatapan marah pada pelayan bodoh itu, tapi Britta hanya seorang anak kecil, mungkin usianya tidak lebih dari lima belas tahun. Sebenarnya, ia tak terlalu yakin. "Britta, tolong tutupi tubuhmu dengan pakaian yang lebih layak, lalu copot semua selimut dari semua kasur jerami atau kamar yang tak ditempati. Bawa semua ke halaman dapur untuk di cuci."

Britta mengangguk dengan patuh. "Apakah kau akan menjadi nyonya baru?" tanyanya malu-malu. "Apakah kau akan menikah dengan tuan?"

Eadyth kembali merasakan semburat panas di pipinya yang tak diundang. "Aku ragu bahwa kami akan menikah, dan, tidak, aku bukan nyonyamu. Aku hanya bertindak sebagai... teman Lord Ravenshire untuk mengatur kastilnya."

Eadyth berusaha duduk dengan sopan waktu itu dan menunggu Lord Ravenshire, tapi tubuhnya gelisah tidak seperti biasanya. Ia tak tahan dengan hanya ongkang-ongkang kaki sambil menunggu tuan rumah, terutama ketika tangannya gemas untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang ada di sekitarnya. Ia segera saja menyerah pada instingnya.

Pada tengah hari, ia merasakan kepuasan saat memandang perkembangan luar biasa telah dilakukan. Dapur itu berkilau. Aula beraroma rush rumput yang segar dan tanaman obat yang baru ditumbuk. Pakaian bersih dan selimut direbus dalam ketel besar di atas perapian dan dibentangkan untuk dijemur di atas semak-semak kering  di taman kebun yang terlantar.

Beberapa pelayan sudah dikirim untuk mandi di kolam bermata air di belakan kastil, dan sisanya akan segera menyusul. Eadyth melarang siapa pun makan sampai mereka menyelesaikan tugas mereka dan mandi. Ia berharap mereka melakukannya buru-buru. Perutnya sudah keroncongan sama seperti yang lain. Aroma menggoda menguar dari roti yang baru dibakar di oven batu di sisi perapian yang lebar. Mentega yang baru dibuat berwarna kuning keemasan di dalam sebuah tempayan besar di atas meja kayu besar yang mendominasi di tengah dapur. Urat kayu ek itu akhirnya terlihat setelah meja itu disikat dengan kuat dengan pasir dan sabun yang kuat, walaupun Bertha mengeluhkan kulit jari-jarinya yang lecet.

Mengagumi keranjang yang dipenuhi telur ayam dan angsa yang baru dikumpulkan, Eadyth bertanya-tanya apakah Bertha tahu membuat puding yang enak. Kalau tidak, ia bisa memberikan wanita itu salah satu resepnya sendiri.

Perut Eadyth berbunyi lagi karena lapar saat ia mendengar bunyi mendesis air yang melompat di perapian dari daging babi panggang yang diasinkan. Seorang anak laki-laki kecil, Godric, seorang yatim dari budak di kastil yang telah lama tewas, membalik panggangan perlahan lalu mendongak memandang Eadyth, sorot matanya memuja, berterima kasih karena diberikan tugas kecilnya sendiri. Sebuah belanga kaldu  tulang rusa dan sisa cadangan sayuran musim dingin telah dimasak di ketel di balik api, dengan bubur kacang yang dibungkus kain tergantung di tengahnya.

Masih begitu banyak yang harus dilakukan, tapi itu sebuah awal yang abik. Eadyth mengawasi dengan puas. Akankah Eirik menghargai usahanya? Untuk pertama kalinya, Eadyth bertanya-tanya apakah ia sudah terlalu tergesa-gesa dalam tindakannya yang bermaksud baik.



Wanita itu mencuci APA-nya?...

Eirik terbangun mendengar gedoran di pintu kamarnya. Atau itu bunyi pukulan di kepalanya? Ia duduk seketika, lalu jatuh kembali ke kasurnya karena rasa nyeri yang tajam di pelipisnya.

Ya Tuhan! Ia pasti gila karena minum begitu banyak ale dengan Wilfrid kemarin malam. Ia tak pernah minum begitu banyak sejak ketika masih remaja ingusan yang senang bereksperimen dengan segala macam buah terlarang. Ia menggaruk rambutnya yang berantakan dengan kedua tangan dan duduk lagi, teringat alasannya mabuk-mabukan, wanita tua itu, Eadyth, dan saat ia menyebutkan nama Steven of Gravely. Ya Tuhan! Akankah ia benar-benar terlepas dari iblis itu? Dua tahun pergi dari daratan Inggris, dan begitu ia kembali ia disambut oleh teror kejahatan Gravely.

Sambil meringis jijik, Eirik mengenakan tunik dan celana panjang yang sama yang dipakainya semalam. Para pelayannya harus segera mencuci baju gantinya atau ia tak akan tahan dengan bau tubuhnya sendiri. Lebih baik lagi jika ia membuang semua pakaiannya ke tempat sampah dan menjahitkan pakaian-pakaian baru begitu ia pergi ke Jorvik. Sudah waktunya ia menikmati kekayaannya, alih-alih membiarkannya berlumut di ruang bawah tanah tersembunyi. Permainan melelahkan berpura-pura menjadi lord miskin pemilik kastil yang hampir runtuh sudah tak menyenangkan lagi belakangan ini.

Mungkin ia harus mengembalikan kastil kakeknya ke masa kejayaannya dulu, memerintah para petani musiman untuk menggarap ladang-ladangnya lagi. Ia menggigit bibirnya tercenung memikirkan prospek itu, yang sudah dipikirkannya dua minggu sejak ia kembali.

Ia tersenyum saat mengingat Lady Eadyth dan proposal pernikahannya yang luar biasa berani. Sejujurnya, itu bukan pertama kalinya seorang wanita mengejarnya untuk menikah. Dan banyak rencana jahat dilakukan untuk menjeratnya ke dalam perjanjian pertunangan--segalanya dari rayuan sampai pemerasan. Untungnya ia berhasil meloloskan diri dari semuanya. Satu pernikahan yang buruk sudah lebih dari cukup, pikirnya. Ketika Elizabeth meninggal sepuluh tahun lalu, ia sudah bersumpah tak akan menikah lagi--dengan alasan kuat.

Tapi kini nyonya dari Hawks' Lair itu menawarinya dengan bujukan yang mungkin tak mampu ditolaknya. Alisnya berkerut gusar. Oh, bukan mas kawinnya yang menggoda, dan yang pasti bukan kecantikan fisiknya, Demi Tuhan, tapi prospek untuk membalas dendam pada Steven of Gravely--itu yang mungkin tak mampu ditolaknya. Cara yang akhirnya bisa memancing Steven keluar dari persembunyiannya untuk bertarung sampai mati sudah pasti layak dipertimbangkan.

Gedoran di pintunya kembali terdengar, dan Eirik mengenali suara keluhan Bertha. "Master! Uh, kumohon, Master, keluarlah sebelum dia menjungkirbalikkan kami semua dan mengguncang kepala kami untuk mencari kutu."

Eirik terlompat dan berjalan ke pintu, membukanya di hadapan koki yang terkejut dan hendak mengetuk lagi dan, alih-alih, memukul dada Eirik. Perut Eirik bergejolak dan rasa arak basi yang naik ke tenggorokannya, membuatnya mual. Sial! Hanya itu yang dibutuhkannya, selain nyeri di kepalanya yang berdenyut.

Lalu mulutnya menganga kaget.

"Bertha? Benarkah ini kau?"

Ia nyaris tak mengenali koki tuanya dalam pakaian tuniknya yang bersih. Kulitnya kemerahan segar setelah digosok, dan rambutnya yang bersih terkulai basah dalam gumpalan yang meliuk-liuk di bahunya, membingkai wajah tembamnya yang sedang gusar.

"Ada apa, Bertha?" akhirnya Eirik bertanya, meredam tawa takjubnya.

"Lady ini, Mistress Eadyth. Wanita cere... maafkan kelancanganku Master... lady itu membangunkan semua orang sebelum fajar dengan omelannya dan membuat kami semua bekerja." Ia membentangkan telapak tangannya yang kasar dan merah untuk menunjukkan betapa kerasnya ia bekerja.

Eirik mengerutkan dahi dengan bingung. "Bukankah kalian selalu bangun saat fajar untuk mulai bekerja?"

Wajah Bertha tersipu memerah. "Well, iya sih, maksudku, kadang-kadang, tapi... tapi... dia tak berhak memerintah kami, dan dia menyebut kami pemalas dan sebutan yang lebih buruk lagi. Dia bilang kami begitu malas sehingga kami harus bersandar ke tembok hanya untuk bersendawa. Dia juga mengatakan kami berkutu, dan bilang kami punya waktu sampai tengah hari untuk membersihkannya atau dia akan menjungkirbalikkan kami dan menggoyangkan kepala kami."

Eirik tak mempu menahan tawa, dan Bertha memandangnya galak. Demi St. Bonifice! Suara lengkingan si koki  itu bisa mengelupaskan karat dari perisai, pikir Eirik, tapi Bertha tak menyadari bahwa Eirik mengernyit saat ia terengah-engah dan dengan berat menegakkan bahu lebarnya sebelum meneruskan keluhannya.

"Suasana hatinya pasti sedang buruk. Pasti sudah waktunya dia datang bulan, aku bertaruh. aku tak pernah mendengar seorang lady mengucapkan kata-kata seperti itu. Dia bilang aku bau seperti babi, dan dia menyuruh semua orang mandi, bilang tak ada yang boleh makan sampai semua bersih, dan..."

"Tunggu!" perintah Eirik, bibirnya berkedut geli.

"Hanya saja kami ini... kami ini kan pelayan setiamu, itu saja... aku pikir kau harus tahu apa yang dilakukannya," tambah Bertha, memperlambat bicaranya saat ia menyadari mungkin ia sudah melanggar batas.

"Aku menghargai informasimu, Bertha. Sekarang kembalilah ke dapur. Aku akan menyusul sebentar lagi."

Eirik mencipratkan air dingin ke wajahnya, lalu mencelupkan seluruh kepalanya ke baskom air itu untuk menyadarkan dirinya. Menggigil, ia mengguncangkan tetesan air dari rambutnya, mengumpat karena air yang sedingin es. Berpikir sebaiknya ia bercukur, ia menoleh ke logam mengilat berbentuk kotak di dinding dan meringis dengan tak suka. Ia tampak seperti orang barbar. Ia menyeringai. Bagus juga untuk menunjukkan pada wanita tua dari Hawks' Lair itu apa yang akan didapatkannya di ranjang pernikahan--kalau ia sudi memberikan kehormatan itu padanya.

Ia tersenyum sendiri saat berjalan menuruni tangga menuju aula utama, teringat kata-kata Eadyth semalam. "Lebah!" gumamnya. "Apa si penyihir itu benar-benar berusaha membeli bantuanku dengan lebah?" Eirik menggeleng tak percaya. Well, yang pasti itu jadi yang pertama baginya.

Eirik berhenti mendadak di dasar tangga. Ia mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan penglihatannya. Ke mana pun ia memandang, para pelayan bekerja dengan rajin--menggosok tiang dan meja, menggunakan sapu bergagang panjang untuk membersihkan jaring laba-laba di sudut tertinggi koridor, membersihkan abu lama dari perapian.

Ia maju, dan aroma manis tanaman wangi menyentak indranya. Ia menghirup napas dalam-dalam, lalu menunduk memandang rush rumput baru yang berderak di bawah sepatu kulitnya yang lembut.

Ia kagum pada serangga yang menyengat para pelayannya yang malas untuk membuat reformasi ini.

Merasakan embusan udara dingin, Eirik melayangkan pandangannya pada pintu aula yang terbuka, yang mengarah ke pelataran kastil dan bangunan di luar. Wilfrid bersandar dengan malas di tonggak pintu, beberapa bangkai kelinci diikat dan disampirkan di satu bahunya, dan seringai lebar menghiasi wajahnya.

"Dari mana saja kau," gerutu Eirik saat ia mendekat.

"Berburu."

Eirik memberengut. "Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku akan mau ikut denganmu."

"Tak ada waktu."

"Kenapa?" seringai kesal di bibir Wilfrid membuat Eirik bingung.

"Lady itu memerintah kami dari fajar dan bilang kami tak akan makan hari ini kecuali kami membawa daging segar ke meja." Wilfrid berhenti, tampaknya menikmati menceritakan kisah itu. Sambil berusaha menahan tawanya, ia melanjutkan, "kupikir dia bilang sesuatu tentang kau minum ale semalam denganku dan tidur untuk menghilangkan pengaruhnya pagi ini." Ia mengetuk sisi kepalanya dengan gaya berlebihan, seolah-olah berpikir keras, lalu menyeringai. "Atau dia menyiratkan kau melakukan sesuatu selain tidur di ranjangmu? Aku lupa sekarang."

Eirik menggeram. "Di mana tukang ikur campur itu?"

Wilfrid mengangkat bahunya. "Mungkin dia sedang di luar membangun lagi dinding kastil."

"Aku tak terhibur dengan... hiburanmu." geram Eirik menekan kepalanya yang berdenyut. Tuhan, ia perlu minum.

"Apa kepalamu sakit, My Lord?" tanya Wilfrid dengan perhatian yang mengejek. "Mungkin kau perlu istri yang bisa meredakannya dengan kata-kata manis dan tangan yang lembut."

Eirik mengumpat dan menuju dapur. Wilfrid mengikuti di belakangnya, pasti ingin menyaksikan adegan yang tak terhindarkan.

Ia melangkah cepat melewati dapur, melihat kondisinya yang bersih dan mencium aroma menggiurkan dari perapian. Anak kecil itu, Godric, berdiri dengan tekun membalik panggangan daging seukuran babi. Mungkin memang babi.

"Mistress menyuruh saya mengerjakan tugas ini, M'Lord. Apa Anda ingin saya berhenti?" kata Godric dengan takut pada wajah Eirik yang masam. Eirik melihat air mata menggenangi mata lebar anak itu dan tahu bahwa ia pikir Eirik marah padanya.

"Tidak, kerjamu bagus, Godric. Lanjutkan. Di mana Lady Eadyth?"

Godric menunjuk ke pintu terbuka yang menuju ke halaman dapur.

Eirik tak pernah lagi berada di bagian kastil yang ini sejak neneknya Aud membuat kebun tanaman obat dan sayur di sini beberapa tahun lalu. Setiap kali ayahnya Thork atau kakeknya Dar kembali dari pelayaran dagangnya, mereka selalu membawa oleh-oleh tanaman eksotis dari negeri-negeri jauh untuk menyenangkan neneknya. Kenangan menyedihkan tentang neneknya, yang sudah lama meninggal karena penyakit remeh, dan beberapa jam yang dihabiskannya untuk menemaninya, menyiangi tanaman thyme, rosemary, dan chives, membuat Eirik terpaku untuk sesaat.

Ia mengangkat bahunya, menguatkan dirinya untuk melihat kekacauan yang akan dilihatnya dari halaman yang sudah lama terlantar. Rasa bersalah menggelayutinya seperti gigi yang sakit. Seperti seluruh kastil itu, halaman itu pasti membutuhkan pembaruan.

Awalnya, sinar matahari yang terang menyilaukannya dan ia tak bisa melihat  kesibukan yang sedang berlangsung di sekelilingnya, membuat kepalanya kembali berdenyut. Ketika suara berisik percakapan akhirnya menembus kepalanya yang berdenyut, ia berhenti di tengah jalan, terpana tak percaya.

Ke mana pun ia menoleh, para pelayan pemalasnya berubah menjadi pegawai yang bersemangat dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dan mereka lebih bersih dari yang pernah dilihatnya sejak ia kembali. Bahkan tunik mereka, yang sudah usang, tampak baru dicuci. Eirik membelai kumisnya dengan penuh pertimbangan. Ia bahkan tak menyadari bahwa ada begitu banyak pelayan yang masih bekerja di Ravenshire.

Ada yang mengaduk ketel-ketel air sabun. Yang lain mengambil pakaian dari tempatnya direbus dan membilasnya dengan air bersih. Yang lain memerasnya dan menjemurnya di pepohonan dan semak sekitar, yang telah ditumbuhi dengan tanaman liar dan tak terawat seperti yang diperkirakannya. Mata Eirik nyaris melompat keluar saat itu saat ia menyadari pakaian dalamnya tergantung-gantung dengan jelasnya dari semak mulberry.

"Argh!" ia tercekat, lalu melihat penyebab kegusarannya, Lady Eadyth berdiri sedang mengomeli seorang pelayan muda, yang rambut basahnya menunjukkan bahwa baru kembali dari kolam pemandian. Ia menjewer daun telinga pelayan itu, mengomelinya untuk kembali ke kolam, berseru bahwa masih ada kotoran yang tersisa di lehernya dan telinganya.

"Menurutmu dia akan memeriksa telinga kita juga?" tanya Wilfrid masam di sisinya.

Eirik memandang Wilfrid kesal, lalu berjalan meuju wanita yang keterlaluan itu. Ia menggemertakkan giginya untuk menahan diri, takut ia akan melakukan kekerasan fisik pada wanita itu di depan para pelayannya, Eirik akhirnya berkata dengan ketenangan yang dipaksakan, "Lady Eadyth, boleh aku bicara denganmu?"

Wanita kurus itu tersentak dan menoleh. Mata mereka bertatapan di halaman yang seketika hening, dan jantung Eirik berdesir aneh di dadanya memandang ekspresi bertanya dan rapuh di wajah wanita itu yang dengan cepat ditutupinya dengan sikap tenangnya yang biasa.

Para pelayan terpaku menyaksikan adegan itu dengan penasaran dan ketakutan, tapi wanita bodoh itu tak punya rasa takut pada Eirik. Tidak, ia hanya membalas memandang Eirik berani dengan mata ungunya yang berkilat. Mata penyihir! Eirik tak menyadari warnanya yang aneh kemarin malam. MUngkin mata wanita itu hanya memudar karena usia, seperti mata neneknya sebelum kematiannya. Tentu saja, pasti begitu.

Sikapnya yang tenang dan tak terpengaruh menjengkelkan Eirik. Itu, dan ketertarikan Eirik yang tak bisa dijelaskan, tapi tak bisa dipungkiri, pada wanita yang lebih tua itu. Eirik mengutuk dirinya sendiri dengan kesal, lalu mencengkram lengan Eadyth dan menyeretnya kembali ke kastil, mengabaikan protesnya yang berhamburan.

"Duduk," perintah Eirik ketika mereka berada di satu kamar pribadi yang sempit di samping aula utama, di bawah tangga. Tanpa jendela, ruangan itu gelap dan pengap tak terawat. Eirik menyalakan lilin tapi tak bisa melihat dengan jelas kecuali lapisan debu dan kotoran yang tebal yang menutupi setiap benda di ruangan itu. Sialan! apa yang dilakukan para pelayannya selama ia tak ada dua tahun ini?

Eadyth menggerutu pelan dan menggosok lengannya yang tadi dicengkram Eirik. Lalu Eadyth mengeluarkan secarik sapu tangan dari korsetnya yang digunakannya untuk mengelap kursi sebelum duduk dengan patuh. Eirik melihat bahwa Eadyth berusaha memalingkan wajahnya dan menggerakkan tudung kepalanya, seolah-olah ia tak mau Eirik melihat wajahnya dengan saksama. Pasti karena ia sangat jelek. Eadyth menunduk saat Eirik memandangnya lekat-lekat, tapi bukan karena merendahkan diri, pikir Eirik.

Eirik berulang kali bersin karena debu yang diterbangkan Eadyth. Mungkin wanita itu sengaja melakukannya, hanya untuk membuatnya gusar. Eirik memandang galak ke arah Eadyth, masih mempunyai alasan lain untuk sangat tak menyukainya.


Hati-hati dengan doamu...

Eadyth berpura-pura tak peduli saat ia bergeser di kusinya di bawah wajah masam Eirik. Lalu ia teringat bahwa Eirik berpikir ia lebih tua dari umurnya yang sebenarnya dan menarik sedikit tudung kepalanya ke depan, sedikit membungkukkan bahunya, dan memalingkan wajahnya sehingga ia tak langsung berada di garis pandang Eirik. Eadyth menarik keluar beberapa helai rambutnya yang berminyak dari ikatannya untuk mengingatkan Eirik tentang warna yang "beruban." Ia mengintip ke atas dengan licik, melihat bahwa penampilannya sangat tak menyenangkan Eirik dan tahu bahwa ia sudah sukses bersandiwara untuk saat ini.

"Beraninya kau memerintah para pelayanku seenaknya," akhirnya Eirik bertanya dengan marah. "Kau menghinaku dan rumahku dengan melakukan hal itu."

"Aku tak bermaksud menghinamu, My Lord. Sungguh aku tak bermaksud begitu. Hanya saja aku tak bisa hanya duduk diam. Ketika aku melihat para pelayanmu memanfaatkanmu, kupikir... well, terkadang wanita lebih memperhatikan hal-hal semacam ini ketimbang pria. Dan kau sudah pergi lama..."

"Tetap saja kau tak berhak melakukannya."

Rasa malu melanda Eadyth seketika saat ia menyadari betapa tak pentasnya tindakannya di mata Eirik. Apakah ia sudah kehilangan semua sopan santunnya dalam perjuangannya yang tiada henti untuk mendapatkan kemandirian?

Dengan susah payah, Eadyth menelan harga dirinya. "Aku sekarang menyadari bahwa aku sudah bertindak lancang. Tapi bagaimana mungkin kau tahan makan makanan yang datang dari dapur yang kotor itu? Atau berjalan di atas rush rumput yang dikotori dengan kotoran hewan, tulang dan sisa makanan? Atau..." dan di sini ia bicara dengan menantang, memandang mata Eirik langsung, "...atau tidur di ranjang yang dipenuhi kutu."

Sekilas rasa menang melanda Eadyth saat ia melihat Eirik berkedip mendengar kritik pedasnya. Eirik tampaknya menahan diri untuk membalas cercaan Eadyth. Ia mengangkat dagunya menantang, tak mau menjelaskan dirinya pada Eadyth.

"Bagaimana caraku tidur bukan urusanmu."

Tiba-tiba Eadyth merasa bahwa misinya kemari sia-sia, meskipun Eirik memintanya menginap semalam. Ia berdiri dan berkata pendek pada Eirik, "Kau benar. Seharusnya aku tak ikut campur. Aku akan kembali ke Hawks' Lair sekarang. Maaf sudah mengganggumu."

Eirik memegang bahu Eadyth dan mengisyaratkannya untuk duduk kembali. "Tunggu. Mari kita diskusikan masalah ini," katanya dengan nada menenangkan, menawarkan Eadyth segelas wine.

"Sepagi ini? Tidak. Aku belum sarapan."

"Begitu juga semua orang di kastilku," Eirik menyindir.

"Apa kau lebih suka makan di dapur yang kotor? Astaga! Sedangkan kutu berdansa di rambut kokimu."

Mata biru Eirik berkilat geli, tapi ekspresinya tetap kesal. "Jaga bicaramu, Woman. Ini tak pantas diucapkan wanita di posisimu."

Eadyth menciut dikritik seperti itu. Sejujurnya, ia sudah terlalu lama bergaul dengan para pedagang dan cara bicara mereka yang kasar, tapi ia tak mau mengakui hal itu di depan ksatria ini.

"Apa kau menyeretku ke ruangan ini untuk mendiskusikan caraku bicara? Kalau benar, aku akan pergi, karena aku punya hal yang lebih penting kulakukan dengan waktuku."

"Kau pandai bersilat lidah, My Lady," Ujar Eirik, menyeringai. "Kebanyakan pria tak akan suka hal itu dari wanita. Aku bertaruh ini alasannya kau tak pernah menikah sebelumnya."

Eadyth menggemeretakkan giginya dan membalas tatapan Eirik. "Aku belum menikah," katanya melalui rahang yang tegang, "karena aku memilih tidak menikah. Berlawanan dengan pendapat kebanyakan pria tentang diri mereka sendiri yang berlebihan, banyak wanita puas dengan kehidupan melajang."

"Apakah saat itu kau ingin menikahi Steven?"

Eadyth menegang pada pertanyaan Eirik yang blak-blakan. Eirik memelintir ujung kumisnya dengan kedua jarinya, mengamati Eadyth seperti seekor gagak. Ia bisa melihat jawabannya penting bagi Eirik.

"Pertanyaanmu kasar dan pribadi, dan..."

Eirik mengangkat satu tangannya menghentikan kata-kata Eadyth. "Tidak, pertanyaan itu masuk akal untuk seorang calon pengantin pria."

Mata Eadyth membelalak terkejut. Ia mengira kemungkinan mereka menikah sudah sirna. Dengan wajah merah padam, ia memaksakan dirinya mengungkapkan detail intim dari masa lalunya yang ingin segera dilupakannya. "Ya, aku ingin menikahi Steven of Gravely saat itu, bodoh sekali aku."

"Apakah dia berjanji menikahimu?"

"Ya, benar... sebelum ia mendapatkan apa yang diinginkannya dariku."

"Dan apa itu?"

Eadyth memandangnya tajam yang mengatakan bahwa ia tak mungkin sebodoh itu. Eadyth bersandar di kursinya bersedekap, lalu segera berharap ia tak melakukannya ketika mata Eirik langsung tertuju  pada payudaranya yang tampak rata. Ia menjatuhkan lengannya sambil mendengus sebal dan berkata dengan berani, memandang langsung mata Eirik, "Dia menginginkan tubuhku." Pada ekspresi tak percaya di wajah Eirik, ia menambahkan sambil mengangkat bahu, "Tubuhku dulu indah dan menggoda."

Eirik mencibir.

Eadyth memandang galak.

"Dan apakah kau menginginkannya juga?"

Eadyth terperanjat. Sungguh, perbincangan ini sudah terlalu melenceng. Ia menutup bibirnya rapat-rapat untuk menghentikan umpatan kasar yang ingin dilontarkannya pada Eirik. Lalu, dengan sangat malu, ia mengakui dalam suara pelan yang getir, "Aku salah menganggap nafsu sebagai cinta. Tapi tak lama kemudian aku terguncang oleh tindakan bajingan itu."

"Kenapa begitu?" Eirik mendesak, wajahnya serius.

"Ketika aku tahu bahwa aku hamil dan menemuinya, berharap dengan sepenuh hati untuk segera bertunangan dan menikah, seperti janjinya, ia menertawakanku. Dia tak mau mengakui anak yang kukandung." Eadyth memandang Eirik dengan dingin, marah karena lelaki itu membuatnya harus mengungkapkan pengakuannya yang memalukan. Itu adalah topik yang tak pernah dibicarakannya. "Aku tak mau lagi membicarakan pria iblis itu denganmu."

"Ini satu hal, setidaknya, yang kita sepakati... kejahatan Steven of Gravely."

"Ya, benar."

"Begitu kau tahu dia berkhianat, apakah kau berpikir untuk mencari bidan untuk membantumu..."

"Apa?" desak Eadyth, tak mengerti arah pembicaraan Eirik.

Ia melihat bibir Eirik yang memucat tegang saat pria itu bimbang sebelum mengutarakan pertanyaan yang sepertinya penting baginya. "Ada wanita yang akan mencari cara untuk menyingkirkan anak yang tak diinginkannya. Apa kau pernah melakukan usaha seperti itu, dan gagal?"

"Tidak!" ia berseru. "Teganya kau bertanya seperti itu? John adalah satu-satunya hal terbaik dan murni yang lahir dari... hubungan yang menjijikkan itu." Eadyth berusaha meredam kemarahannya pada pertanyaan Eirik yang menghina. Ketika ia akhirnya bisa bicara tanpa berteriak, ia berkata, "Kau punya pandangan yang sangat rendah pada wanita, My Lord. Aku bertanya-tanya alasannya."

Eirik memandang dengan penuh pertimbangan beberapa saat, menggosok kumisnya yang mengerikan itu. Ekspresi kagumnya akhirnya memudar saat ia tampak membuat keputusan."Tunggu di sini," perintahnya sambil berdiri dan mendekati pintu. "Aku harus mengambil sesuatu."

Saat kembali tak lama kemudian, Eirik membawa buntelan kecil yang dibungkus linen yang diletakkannya di atas meja. Lalu ia duduk di kursi di dekat Eadyth dan mengambil dokumen maskawin Eadyth dari tuniknya. Ia mengisyaratkan Eadyth menarik kursinya mendekat ke meja.

"Sebelum aku panggil Wilfrid untuk menjadi saksi kita, aku akan menulis persyaratanku sendiri untuk kesepakatan tunangan kita, My Lady."

Terkejut, Eadyth memandangnya dengan bertanya-tanya. "Kau berniat menikahiku?"

Bibir Eirik membentuk seringai muram, seolah-olah ia sendiri tak percaya bahwa ia akan melakukan sesuatu tindakan yang begitu bodoh.

"Semoga Tuhan membantuku, benar."

Awalnya, benak Eadyth tak mampu menyerap pentingnya kata-kata Eirik. Perasaan campur aduk berperang dalam dirinya--lega bahwa John akan dilindungi ikatan pernikahan yang sah, dibayangi keputusasaannya karena ia benci dengan ikatan pernikahan itu sendiri. Ia tak benci pada pria, hanya nafsu syawat mereka, tapi anehnya ia merasa dirinya tertarik pada maskulinitas Eirik yang tampan.

"Kenapa?"

Eirik menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa. "Itu pertanyaan aneh untuk diajukan seorang pengantin wanita."

"Aku bukan pengantin biasa, dan kau tahu benar itu. Sudah jelas kau tak suka prospek menikahiku. Apakah maskawin dariku yang menggodamu? Apa kau memutuskan maskawin itu bisa digunakan untuk memperbaiki Ravenshire?"

Eirik mengerjap dengan kaget, lalu tawanya kembali berderai. "Mungkin aku lebih mirip Steven. Mungkin aku menginginkan tubuh indahmu." Eirik menggerakkan alisnya dengan menggoda.

Eadyth merasakan panas merayapi leher dan melintasi pipinya, dan ia mendengus kesal karena Eirik bersenang-senang dengan mempermalukannya. Sejauh ini, pria itu terlalu sembrono.

"Bukan tubuhku, indah atau tidak, yang akan menjadi bagian dari perjanjian pertunangan kita."

Eirik mengangkat satu alisnya bertanya mengejek, bulu matanya yang tebal dan hitam membentuk bayangan sepeti laba-laba di atas matanya yang anehnya berwarna pucat.

"Oh? Benarkah? Hmm. Kita lihat saja."

Jantung Eadyth berdegup dengan waspada, ia mendongak untuk melihat apa maksud Eirik dengan komentar misteriusnya, tapi kepala Eirik menunduk di atas dokumen saat pria itu menulis persyaratannya sendiri.

Eadyth memejamkan matanya dengan lelah.

Apakah aku membuat kesalahan yang lebih besar dengan bekerja sama dengan Lord of Ravenshire Ini?



Back
Next
Synopsis