Home

Minggu, 22 Oktober 2017

Glorious Angel 1



Bab 1

Angela Sherrington melempar sebatang kayu lagi ke dasar perapian. "Memang aku yang bodoh!" ia mengutuk dirinya sambil menatap percikan api yang melompat ke lantai.

Andai saja ia tidak menyia-nyiakan korek api itu! Sekarang terpaksa ia harus mengawasi perapiannya agar menyala siang dan malam. Korek apinya sudah habis sejak minggu lalu sehingga pondok yang disebut Angela sebagai rumahnya ini telah menjadi tempat yang tidak menyenangkan untuk ditinggali.

Angela melihat ke arah api itu sekali lagi, kemudian keluar ke teras sempit di depan sebuah kamar yang kecil. Ia berharap bisa merasakan tiupan angin, namun suhu di luar sana setidaknya dua puluh tujuh derajat Celsius. Ia mengutuk dirinya lagi. Di tahun 1862 yang menyedihkan ini, korek api menjadi barang langka. Perang telah membuat segala sesuatu langka, dan ia harus lebih berhati-hati.

Lahan pertanian Sherrington, jika bisa disebut sebagai ladang pertanian, hanya berjarak empat ratus meter dari Sungai Mobile, dan sekitar setengah hari perjalanan naik kuda dari Mobile, kota terbesar di Alabama. Ladang yang mengelilingi lahan pertanian tampak baru dipanen. Dinding lumbungnya mengelupas dan atapnya bocor. Rumah itu pernah dicat putih sebelumnya, tapi sekarang sangat sulit untuk melihat sisa-sisa cat yang menempel. Dua kursi berlengan dengan kondisi yang menyedihkan dan sebuah kotak kayu yang dimaksudkan sebagai meja, berada di teras itu.

Dengan enggan Angela kembali masuk ke rumah dan mulai bekerja di dapur. Udara panas telah membuatnya lelah, ditambah lagi dengan api yang menyala di belakangnya dan sinar matahari yang memancar dari jendela di depannya. Namun yang sangat membuatnya gelisah adalah ayahnya. Ayahnya pergi ke Mobile kemarin untuk menjual hasil panen jagung mereka yang terakhir. Seharusnya ayahnya kembali kemarin sore, tapi untuk kali keempat dalam hidupnya, Angela harus melewatkan malam sendirian. Sebuah kenyataan yang menyedihkan bahwa semua itu terjadi sejak perang pecah.

Dengan menghela napas dalam-dalam, Angela memandang lewat jendela yang retak ke arah ladang yang kemerahan. Ladang itu seharusnya dibajak pagi ini agar siap untuk ditanami buncis dan kacang lima. Angela pasti sudah memulainya sendiri jika mereka punya lebih dari satu kuda. Tapi mereka tidak punya, dan ayahnya membawa si tua Sarah untuk menarik kereta. Terkutuk semua ini, di manakah ayahnya?

Angela sudah bangun sebelum matahari terbit. Baginya itu waktu yang tepat untuk membersihkan rumah, satu-satunya saat di mana udaranya cukup sejuk di musim panas seperti ini. Rumahnya biasa saja, tapi tak ada yang bisa mengatakan rumahnya tidak bersih.

Angela menyeka keringat di wajahnya. Ia mencoba untuk tidak khawatir, namun gagal. Penyebab sebelumnya ayahnya tiga kali tidak pulang adalah karena ia terlalu mabuk untuk bisa kembali ke keretanya. Angela berharap ayahnya hanya terlalu mabuk dan bukan terlibat dalam sebuah perkelahian.

Angela bisa menjaga dirinya sendiri. Ia tak mengkhawatirkan hal itu. Bahkan saat ayahnya ada di rumah, ayahnya itu sering mabuk dan tertidur. Ia membenci hal itu, tapi ia tidak bisa menghentikan kebiasaan ayahnya. William Sherrington adalah seorang pemabuk.

Karena kebutuhan, Angela telah belajar berburu. Jika tidak, ia bisa mati kelaparan andai harus menunggu ayahnya tersadar kembali. Angela bisa membunuh seekor kelinci hanya dengan satu kali tembakan.

Ya, ia memang bisa menjaga dirinya sendiri, tapi ia tetap merasa khawatir saat ayahnya tidak pulang ke rumah.

Tak lama, bunyi kereta yang mendekat membuat semangat Angegla muncul. Sudah waktunya! Dan saat rasa cemasnya hilang, rasa marahnya muncul. Ayahnya akan ia marahi habis-habisan.

Namun, bukan si tua Sarah yang berderap mendekati pepohonan cedar yang tinggi. Dua kuda berwarna abu-abu menarik kereta yang berdebu dan penuh cipratan lumpur. Dan orang terakhir yang ingin dilihatnya, sedang mengemudikan kereta itu.



Lanjut
Sinopsis

Sabtu, 21 Oktober 2017

The Tarnished Lady 2


Tugas seorang wanita tak pernah berakhir...

Eadyth bangun di saat menjelang fajar keesokan harinya. Sejujurnya, ia hanya berbaring dengan mata terbuka lebar, berkat kasurnya yang dipenuhi kutu.

Pelayannya tidur di kasur jerami yang dihamparkan di atas rumput yang kotor di dekat pintu. Kasihan Girta! Kutu busuk pasti berpesta pora menggigiti dagingnya yang tebal. Saat melihat lebih dekat, Eadyth melihat pembantu kepercayaannya itu mendengkur dengan teratur, tak terganggu oleh hama-hama tersebut.

Mungkin kulit Girta lebih tebal, atau lebih tepatnya kulit terang Eadyth lebih manis rasanya, pikirnya, lalu tergelak pelan. Hah! Tuan menyebalkan pemilik kastil yang nyaris ambruk ini akan memiliki pendapat berbeda tentang masalah itu, ia berani bertaruh.

Eadyth melangkahi pelayannya, yang mulutnya kini mengeluarkan paduan suara yang berbeda-- dengkuran pelan diselingi beberapa dengkuran senang dan bunyi menciut. Eadyth memandang dengan sorot penuh sayang wanita gemuk yang telah melayaninya dengan setia beberapa tahun ini, pertama sebagai pengasuhnya ketika ibunya meninggal saat melahirkannya, dan kini sebagai pendamping.

Mencari semangkuk air, Eadyth berharap bisa menyegarkan diri sebelum menghadapi badai perlawanan Eirik sekali lagi. Ia tak berhasil menemukannya. Bahkan, tak hanya perapian di kamarnya yang sudah dingin, tapi suasana keheningan yang mencekam menyelimuti koridor-koridor di luar. Tentunya, para pelayan Ravenshire sudah bangun dan memulai aktivitas sekarang, menyiapkan hari baru.

Dengan penuh pertimbangan, Eadyth mengenakan pakaian kunonya dan merapikan rambutnya ke balik tudung dan cadarnya. Sebagai aksesori tambahan, ia mengambil segenggam abu dari perapian dan menorehkannya dengan hati-hati di wajahnya untuk memberikan warna keabu-abuan di wajahnya.

Ia tersenyum, teringat kemarahan Girta kemarin pagi ketika dengan sengaja ia memilih gaun  paling jelek dan tertutup yang bisa ditemukannya.

"Ini tak akan menarik untuk ranjang pernikahan," Girta mengeluh masam.

"Memang benar Girta sanyang. Memang itu tujuanku. Aku akan memikat suami dengan mas kawinku dan kemampuanku mengatur estat, bukan tubuhku." Eadyth bergidik jijik pada prospek terakhir itu, menambahkan, "Aku sudah kapok dalam hal itu."

"Ah, Nak. itu hanya satu pengalaman buruk. Tak semua pria terbuat dari potongan kain yang sama."

Sikap Eadyth mengeras saat itu. "Tidak, kau adalah wanita yang baik Girta, tapi  kenyataan yang kejam telah membuktikan padaku bahwa lebih banyak pria yang berpikir sama dengan Steven dari pada yang tidak jika menyangkut wanita. Mereka menganggap kita hanya sekadar barang untuk digunakan dan disingkirkan begitu mereka bosan. Aku mau lebih dari itu."

Girta menggeleng prihatin. "Aku tak bisa membayangkan bagaimana kau bisa menerima aturan dalam kehidupan seorang istri."

"Tak akan. Pengantin priaku harus setuju pada persyaratanku sebelumnya." Eadyth terdengar lebih percaya diri dari yang dirasakannya.

"Oh, Eadyth, sayang, aku kawatir kau akan terluka."

Terluka? Eadyth kini tercenung saat ia membuka pintu kamarnya menuju koridor yang luas. Tidak, ia sudah sejak lama mengeraskan hatinya yang rapuh. Tapi John... itu beda lagi. Eadyth akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk melindungi putranya dari luka -- bahkan jika itu berarti ia harus menikahi pria menyebalkan dari Ravenshire itu, atau pria lain yang sama menjengkelkannya.

Eadyth berjalan menyusuri koridor dan menuruni tangga dari bangunan kastil berlantai dua, bangunan yang terbuat dari kayu dan batu. Jauh lebih besar dari Hawks' Lair, kastil itu dulunya kompleks bangunan yang mengesankan, atau begitulah kata ayahnya. Tapi batu-batu yang mulai runtuh dan kayu yang lapuk menunjukkan bahwa telah bertahun-tahun bangunan itu ditelantarkan. Sebenarnya, Eadyth benci melihat sesuatu yang indah, baik orang atau bangunan, diperlakukan dengan begitu buruk. Itu menggambarkan karakter pemiliknya. Eirik harus menjelaskan alasan ia menyia-nyiakan warisannya, pikir Eadyth sambil menggeleng dengan penuh sesal.

Ia mencari pelayan yang bisa menunjukkan arah ke jamban, lalu ke air bersih untuk minum dan mandi. Tak ada seorang pun. Beberapa ksatria mabuk yang dilihatnya kemarin malam tidur di bangku lebar dan di ranjang di ujung aula utama, bersama dengan beberapa pelayan.

Segelintir wanita berbaring telanjang di balik selimut bulu, tungkai mereka bertaut dengan tungkai para pria bangsawan. Melalui pintu cekung yang setengah terbuka, Eadyth melihat seorang gadis berambut merah berbagi ranjang dengan Wilfrid, seneschal yang ditemuinya kemarin malam. Payudara wanita itu menempel dengan provokatif di dada berbulu gelap milik Wilfrid dan sebelah kaki panjangnya bertumpu di atas kedua pahanya yang besar. Lebih keterlaluan lagi, jari-jari tangan wanita itu yang kapalan memegang organ intim Wilfrid yang lemas.

Mata Eadyth membelalak melihat adegan erotis itu. Lalu bibir atasnya melengkung sinis. Mengenal tabiat pria, Wilfrid mungkin saja sudah menikah dan istrinya yang malang sedang tidur di lantai atas sementara ia bercinta seperti kelinci dengan gadis pelayan.

Tak terlalu terkejut, Eadyth tahu bahwa berbagi ranjang adalah kegiatan yang lumrah di banyak manor, terutama yang di dominasi pria seperti di Ravenshire. Tapi ia tak mengizinkan kelakuan bejat semacam itu di Hawks' Lair. Ia mendorong pernikahan di antara para pelayannya, dan tak ada gadis dipaksa tidur dengan bangsawan yang berkunjung di dalam kastilnya.

Eadyth menimbang untuk membangunkan mereka berdua dan menunjukkan sikap tak setuju, tapi, tak seprti kemarin malam, ia bersumpah untuk mengikuti jalur yang lebih masuk akal hari ini. Lagi pula, itu bukan kastinya - mungkin tak akan pernah jadi kastilnya. Alih-alih, ia berjalan menuju area dapur yang terpisah, yang terhubung ke kastil melalui lorong yang tertutup. Walaupun kastil itu tak mempunyai nyonya rumah atau istri dari Lord pemilik kastil, pasti ada pelayan yang bertugas mengurus rumah... mungkin kokinya.

Mendorong terbuka pintu yang berat, Eadyth terkesiap ngeri melihat mimpi buruk di depannya: belanga-belanga berminyak, tikus-tikus yang berlarian, sisa makanan, nampan dan gelas yang tak dicuci, bahkan ada dua ekor ayam yang sedang mematuki makanan yang jatuh di atas lantai batu yang penuh kotoran. Eadyth menyambar sebatang sapu dan mengusir seekor tikus gemuk yang melahap sebongkah daging domba di atas meja,lalu menghentakkan kakinya ke arah selembar kasur jerami di dekat perapian yang padam di mana seorang pelayan, mungkin sang juru masak, sedang mendengkur keras melalui giginya yang membusuk dengan mulut yang terbuka. Wanita itu berguling telentang dan buang angin dengan kencang. Menggunakan sapu, Eadyth memukul bokong lebarnya, dan wanita itu seketika bangun, menggosok bokongnya.

"AP... APA?" jerit wanita itu saat ia melompat bangun dari kasur jeraminya, hanya setinggi bahu Eadyth, tapi dua kali lebarnya. "Apa kau sudah tak waras, mengganggu pelayan jujur sepertiku?" menyipitkan matanya--bola mata hitam yang kecil di wajahnya yang bengkak--koki itu bertanya dengan kasar, "kau pikir siapa dirimu... seorang ratu?"

"Lady Eadyth of Hawks' Lair, dasar pemalas. Apa kau bertanggung jawab atas kondisi kotor dapur ini?"

Wanita juru masak itu kini tampak takut karena menyadari bahwa ia telah menghina seorang wanita bangsawan, wanita itu mengangguk ragu, menyeka kantuk dari mata bundarnya. Ketika ia menguap dengan lebar, Eadyth nyaris pingsan karena napas tak sedap yang berembus ke arahnya, kombinasi dari gigi yang buruk dan arak basi, belum lagi tubuh dan pakaian yang mungkin tak dibasuh sejak paskah. Syukurlah, ia belum makan hidangan apa pun yang disiapkan oleh tangan kotor wanita tua ini.

"Siapa namamu?" desak Eadyth dengan suara dingin.

"Bertha."

"Baiklah, Bertha, menurutmu bagaimana dengan dapur yang kotor ini?"

"Hah?"

Eadyth mendengus jijik. "Berapa banyak pelayan di kastil ini?"

Bertha menggaruk ketiaknya dengan malas, lalu mulai menghitung dengan jarinya. "Sekitar dua belas di dalam, mungkin ada dua belas lagi di luar. Banyak pelayan dan petani yang pergi selama dua tahun Master tak ada."

"Siapa yang bertanggung jawab saat dia tak ada?"

Koki itu mengangkat bahu gemuknya. "Master Wilfrid, tapi dia sering pergi, sejak kematian  istrinya tahun lalu. Berkatilah jiwanya!" Bertha tampak berduka atas kematian istri Eilfrid. Hah! Wilfrid sama sekali tak tampak berduka ketika terakhir kali Eadyth melihatnya, membayangkannya dengan si pelayan telanjang.

"Aku mau kau kumpulkan semua pelayan... yang budak atau merdeka... di dapur ini secepatnya. Kau mengerti?"

Koki itu mengangguk.

Ketika segerombolan pemalas memadati area dapur itu beberapa saat kemudian, Eadyth sudah memanaskan air di perapian, dan belanga-belanga, nampan, serta gelas-gelas telah direndam. Ia menceramahi para pelayan itu dengan kata-kata pedas yang tak akan segera mereka lupakan, lalu memberikan perintah spesifik tugas yang harus mereka selesaikan dalam sejam.

"Bertha, aku ingin lantai dan dinding dapur ini disapu dan disikat. Semua papan talenan harus digosok, dan tepung baru dibawa untuk membuat roti. Aku akan memeriksa persediaan makanan di gudang penyimpanan, barangkali ada yang basi atau bercacing, yang aku jamin, pastinya ada."

"Lambert, panggil seseorang lagi untuk membantumu memotong dan menumpuk kayu bakar, yang bisa digunakan untuk memasak lima hari ke depan. Agnes dan Syabil akan mengumpulkan telur dan susu dari sapi." Eadyth bimbang saat itu dan memandang Bertha. "Ada sapi di sini, kan?"

Bertha mengangguk singkat. "Hanya ada satu sapi tersisa, dan mungkin dua lusin ayam."

"Bagus, kita akan membuat mentega saat susunya dibawa."

Ia terus dan terus mengoceh melanjutkan instruksinya sampai segelintir pelayan memutar mata muram mereka.

Lalu Eadyth beralih ke aula utama, memerintahkan beberapa pria untuk membawa keluar semua rush yang kotor dan menggantinya dengan rush yang baru dan terbuat dari tanaman herbal yang wangi. Yang lain diperintahkannya untuk menggosok meja-meja kayu dan memberihkan jaring laba-laba di tembok. Ia juga memerintahkan yang lain untuk mengangkat karpet berdebu dari dinding batu dan membawanya ke pelataran kastil untuk dibersihkan.

Yang paling penting menurutnya, ia melarang semua anjing memasuki aula utama untuk sementara waktu. Walaupun begitu, anjing bodoh dari malam sebelumnya terus membuntutinya seperti pemuda yang kasmaran. Menyerah sejenak, Eadyth memandang sekeliling untuk memastikan tak ada yang melihat, kemudian membungkuk dan membelai balik telinga anjing itu, membuat lidah hewan itu menjulur dengan sukacita. Eadyth menggeleng dengan sinis.

"Yang kau lakukan kemarin malam itu bodoh, apalagi di depan seorang wanita, tapi aku tak bermaksud menyakitimu, meskipun aku mendorongmu pelan dengan sepatuku." Eadyth masih membungkuk dan memeriksa hewan itu dengan teliti. "Ah, kau jenis yang bagus. aku bisa melihatnya sekarang. Tentunya, garis keturunanmu tak tercela. Apa kau punya nama? Tidak? Well, kalau begitu aku akan memanggilmu... apa? Prince?"

Anjing itu mengibaskan ekornya dengan antusias, dan Eadyth tertawa pelan. "kau suka nama itu ya? Well, sekarang, kita kan saling memahami satu sama lain." Ia membopong hewan bau itu, berjalan ke luar dan menurunkannya di pelataran kastil. "Jangan kembali masuk sampai kau mandi, Prince," ia menasehati hewan bodoh itu, yang matanya memandangnya dengan penuh perasaan seolah-olah memahami maksud Eadyth sepenuhnya.

Eadyth kembali ke aula dengan tergelak, ia melihat beberapa bangsawan telah bangun dengan terhuyung-huyung dari tidur mabuk mereka, dan ia mengirim mereka untuk berburu daging segar untuk makanan, bahkan Wilfrid, yang nampaknya terlalu terpana  dengan perintah Eadyth untuk protes. Bahkan, ia tersenyum aneh, bertanya dengan polos, "Apa Lord Eirik meminta bantuanmu, My Lady?"

Eadyth merasa dirinya tersipu--kebiasaan yang ingin sekali bisa segera dikendalikannya, tapi tak bisa. "Tidak. Aku duga dia masih tidur pulas setelah minum ale semalaman denganmu," balasnya dengan masam," lalu menoleh dengan defensif. "Aku membantunya memerintahkan para pelayannya yang malas untuk bekerja." Ia melirik cepat penuh makna ke tempat tidur Wilfris semalam, mengisyaratkan bahwa Eirik mungkin juga melakukan yang lain selain tidur di kamarnya.

Wilfrid menyunggingkan senyum penuh makna padanya dan memberi ciuman kilat pada gadis pelayan itu, yang berdiri di sampingnya, berhasil menutupi tubuh telanjangnya dengan selendang bulu. "Sampai jumpa nanti, Britta," katanya, mencubit bokong pelayan itu sambil mengedip genit.

Britta tersipu dan memandang Eadyth dengan ekspresi polos.

Eadyth berusaha menunjukkan tatapan marah pada pelayan bodoh itu, tapi Britta hanya seorang anak kecil, mungkin usianya tidak lebih dari lima belas tahun. Sebenarnya, ia tak terlalu yakin. "Britta, tolong tutupi tubuhmu dengan pakaian yang lebih layak, lalu copot semua selimut dari semua kasur jerami atau kamar yang tak ditempati. Bawa semua ke halaman dapur untuk di cuci."

Britta mengangguk dengan patuh. "Apakah kau akan menjadi nyonya baru?" tanyanya malu-malu. "Apakah kau akan menikah dengan tuan?"

Eadyth kembali merasakan semburat panas di pipinya yang tak diundang. "Aku ragu bahwa kami akan menikah, dan, tidak, aku bukan nyonyamu. Aku hanya bertindak sebagai... teman Lord Ravenshire untuk mengatur kastilnya."

Eadyth berusaha duduk dengan sopan waktu itu dan menunggu Lord Ravenshire, tapi tubuhnya gelisah tidak seperti biasanya. Ia tak tahan dengan hanya ongkang-ongkang kaki sambil menunggu tuan rumah, terutama ketika tangannya gemas untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang ada di sekitarnya. Ia segera saja menyerah pada instingnya.

Pada tengah hari, ia merasakan kepuasan saat memandang perkembangan luar biasa telah dilakukan. Dapur itu berkilau. Aula beraroma rush rumput yang segar dan tanaman obat yang baru ditumbuk. Pakaian bersih dan selimut direbus dalam ketel besar di atas perapian dan dibentangkan untuk dijemur di atas semak-semak kering  di taman kebun yang terlantar.

Beberapa pelayan sudah dikirim untuk mandi di kolam bermata air di belakan kastil, dan sisanya akan segera menyusul. Eadyth melarang siapa pun makan sampai mereka menyelesaikan tugas mereka dan mandi. Ia berharap mereka melakukannya buru-buru. Perutnya sudah keroncongan sama seperti yang lain. Aroma menggoda menguar dari roti yang baru dibakar di oven batu di sisi perapian yang lebar. Mentega yang baru dibuat berwarna kuning keemasan di dalam sebuah tempayan besar di atas meja kayu besar yang mendominasi di tengah dapur. Urat kayu ek itu akhirnya terlihat setelah meja itu disikat dengan kuat dengan pasir dan sabun yang kuat, walaupun Bertha mengeluhkan kulit jari-jarinya yang lecet.

Mengagumi keranjang yang dipenuhi telur ayam dan angsa yang baru dikumpulkan, Eadyth bertanya-tanya apakah Bertha tahu membuat puding yang enak. Kalau tidak, ia bisa memberikan wanita itu salah satu resepnya sendiri.

Perut Eadyth berbunyi lagi karena lapar saat ia mendengar bunyi mendesis air yang melompat di perapian dari daging babi panggang yang diasinkan. Seorang anak laki-laki kecil, Godric, seorang yatim dari budak di kastil yang telah lama tewas, membalik panggangan perlahan lalu mendongak memandang Eadyth, sorot matanya memuja, berterima kasih karena diberikan tugas kecilnya sendiri. Sebuah belanga kaldu  tulang rusa dan sisa cadangan sayuran musim dingin telah dimasak di ketel di balik api, dengan bubur kacang yang dibungkus kain tergantung di tengahnya.

Masih begitu banyak yang harus dilakukan, tapi itu sebuah awal yang abik. Eadyth mengawasi dengan puas. Akankah Eirik menghargai usahanya? Untuk pertama kalinya, Eadyth bertanya-tanya apakah ia sudah terlalu tergesa-gesa dalam tindakannya yang bermaksud baik.



Wanita itu mencuci APA-nya?...

Eirik terbangun mendengar gedoran di pintu kamarnya. Atau itu bunyi pukulan di kepalanya? Ia duduk seketika, lalu jatuh kembali ke kasurnya karena rasa nyeri yang tajam di pelipisnya.

Ya Tuhan! Ia pasti gila karena minum begitu banyak ale dengan Wilfrid kemarin malam. Ia tak pernah minum begitu banyak sejak ketika masih remaja ingusan yang senang bereksperimen dengan segala macam buah terlarang. Ia menggaruk rambutnya yang berantakan dengan kedua tangan dan duduk lagi, teringat alasannya mabuk-mabukan, wanita tua itu, Eadyth, dan saat ia menyebutkan nama Steven of Gravely. Ya Tuhan! Akankah ia benar-benar terlepas dari iblis itu? Dua tahun pergi dari daratan Inggris, dan begitu ia kembali ia disambut oleh teror kejahatan Gravely.

Sambil meringis jijik, Eirik mengenakan tunik dan celana panjang yang sama yang dipakainya semalam. Para pelayannya harus segera mencuci baju gantinya atau ia tak akan tahan dengan bau tubuhnya sendiri. Lebih baik lagi jika ia membuang semua pakaiannya ke tempat sampah dan menjahitkan pakaian-pakaian baru begitu ia pergi ke Jorvik. Sudah waktunya ia menikmati kekayaannya, alih-alih membiarkannya berlumut di ruang bawah tanah tersembunyi. Permainan melelahkan berpura-pura menjadi lord miskin pemilik kastil yang hampir runtuh sudah tak menyenangkan lagi belakangan ini.

Mungkin ia harus mengembalikan kastil kakeknya ke masa kejayaannya dulu, memerintah para petani musiman untuk menggarap ladang-ladangnya lagi. Ia menggigit bibirnya tercenung memikirkan prospek itu, yang sudah dipikirkannya dua minggu sejak ia kembali.

Ia tersenyum saat mengingat Lady Eadyth dan proposal pernikahannya yang luar biasa berani. Sejujurnya, itu bukan pertama kalinya seorang wanita mengejarnya untuk menikah. Dan banyak rencana jahat dilakukan untuk menjeratnya ke dalam perjanjian pertunangan--segalanya dari rayuan sampai pemerasan. Untungnya ia berhasil meloloskan diri dari semuanya. Satu pernikahan yang buruk sudah lebih dari cukup, pikirnya. Ketika Elizabeth meninggal sepuluh tahun lalu, ia sudah bersumpah tak akan menikah lagi--dengan alasan kuat.

Tapi kini nyonya dari Hawks' Lair itu menawarinya dengan bujukan yang mungkin tak mampu ditolaknya. Alisnya berkerut gusar. Oh, bukan mas kawinnya yang menggoda, dan yang pasti bukan kecantikan fisiknya, Demi Tuhan, tapi prospek untuk membalas dendam pada Steven of Gravely--itu yang mungkin tak mampu ditolaknya. Cara yang akhirnya bisa memancing Steven keluar dari persembunyiannya untuk bertarung sampai mati sudah pasti layak dipertimbangkan.

Gedoran di pintunya kembali terdengar, dan Eirik mengenali suara keluhan Bertha. "Master! Uh, kumohon, Master, keluarlah sebelum dia menjungkirbalikkan kami semua dan mengguncang kepala kami untuk mencari kutu."

Eirik terlompat dan berjalan ke pintu, membukanya di hadapan koki yang terkejut dan hendak mengetuk lagi dan, alih-alih, memukul dada Eirik. Perut Eirik bergejolak dan rasa arak basi yang naik ke tenggorokannya, membuatnya mual. Sial! Hanya itu yang dibutuhkannya, selain nyeri di kepalanya yang berdenyut.

Lalu mulutnya menganga kaget.

"Bertha? Benarkah ini kau?"

Ia nyaris tak mengenali koki tuanya dalam pakaian tuniknya yang bersih. Kulitnya kemerahan segar setelah digosok, dan rambutnya yang bersih terkulai basah dalam gumpalan yang meliuk-liuk di bahunya, membingkai wajah tembamnya yang sedang gusar.

"Ada apa, Bertha?" akhirnya Eirik bertanya, meredam tawa takjubnya.

"Lady ini, Mistress Eadyth. Wanita cere... maafkan kelancanganku Master... lady itu membangunkan semua orang sebelum fajar dengan omelannya dan membuat kami semua bekerja." Ia membentangkan telapak tangannya yang kasar dan merah untuk menunjukkan betapa kerasnya ia bekerja.

Eirik mengerutkan dahi dengan bingung. "Bukankah kalian selalu bangun saat fajar untuk mulai bekerja?"

Wajah Bertha tersipu memerah. "Well, iya sih, maksudku, kadang-kadang, tapi... tapi... dia tak berhak memerintah kami, dan dia menyebut kami pemalas dan sebutan yang lebih buruk lagi. Dia bilang kami begitu malas sehingga kami harus bersandar ke tembok hanya untuk bersendawa. Dia juga mengatakan kami berkutu, dan bilang kami punya waktu sampai tengah hari untuk membersihkannya atau dia akan menjungkirbalikkan kami dan menggoyangkan kepala kami."

Eirik tak mempu menahan tawa, dan Bertha memandangnya galak. Demi St. Bonifice! Suara lengkingan si koki  itu bisa mengelupaskan karat dari perisai, pikir Eirik, tapi Bertha tak menyadari bahwa Eirik mengernyit saat ia terengah-engah dan dengan berat menegakkan bahu lebarnya sebelum meneruskan keluhannya.

"Suasana hatinya pasti sedang buruk. Pasti sudah waktunya dia datang bulan, aku bertaruh. aku tak pernah mendengar seorang lady mengucapkan kata-kata seperti itu. Dia bilang aku bau seperti babi, dan dia menyuruh semua orang mandi, bilang tak ada yang boleh makan sampai semua bersih, dan..."

"Tunggu!" perintah Eirik, bibirnya berkedut geli.

"Hanya saja kami ini... kami ini kan pelayan setiamu, itu saja... aku pikir kau harus tahu apa yang dilakukannya," tambah Bertha, memperlambat bicaranya saat ia menyadari mungkin ia sudah melanggar batas.

"Aku menghargai informasimu, Bertha. Sekarang kembalilah ke dapur. Aku akan menyusul sebentar lagi."

Eirik mencipratkan air dingin ke wajahnya, lalu mencelupkan seluruh kepalanya ke baskom air itu untuk menyadarkan dirinya. Menggigil, ia mengguncangkan tetesan air dari rambutnya, mengumpat karena air yang sedingin es. Berpikir sebaiknya ia bercukur, ia menoleh ke logam mengilat berbentuk kotak di dinding dan meringis dengan tak suka. Ia tampak seperti orang barbar. Ia menyeringai. Bagus juga untuk menunjukkan pada wanita tua dari Hawks' Lair itu apa yang akan didapatkannya di ranjang pernikahan--kalau ia sudi memberikan kehormatan itu padanya.

Ia tersenyum sendiri saat berjalan menuruni tangga menuju aula utama, teringat kata-kata Eadyth semalam. "Lebah!" gumamnya. "Apa si penyihir itu benar-benar berusaha membeli bantuanku dengan lebah?" Eirik menggeleng tak percaya. Well, yang pasti itu jadi yang pertama baginya.

Eirik berhenti mendadak di dasar tangga. Ia mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan penglihatannya. Ke mana pun ia memandang, para pelayan bekerja dengan rajin--menggosok tiang dan meja, menggunakan sapu bergagang panjang untuk membersihkan jaring laba-laba di sudut tertinggi koridor, membersihkan abu lama dari perapian.

Ia maju, dan aroma manis tanaman wangi menyentak indranya. Ia menghirup napas dalam-dalam, lalu menunduk memandang rush rumput baru yang berderak di bawah sepatu kulitnya yang lembut.

Ia kagum pada serangga yang menyengat para pelayannya yang malas untuk membuat reformasi ini.

Merasakan embusan udara dingin, Eirik melayangkan pandangannya pada pintu aula yang terbuka, yang mengarah ke pelataran kastil dan bangunan di luar. Wilfrid bersandar dengan malas di tonggak pintu, beberapa bangkai kelinci diikat dan disampirkan di satu bahunya, dan seringai lebar menghiasi wajahnya.

"Dari mana saja kau," gerutu Eirik saat ia mendekat.

"Berburu."

Eirik memberengut. "Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku akan mau ikut denganmu."

"Tak ada waktu."

"Kenapa?" seringai kesal di bibir Wilfrid membuat Eirik bingung.

"Lady itu memerintah kami dari fajar dan bilang kami tak akan makan hari ini kecuali kami membawa daging segar ke meja." Wilfrid berhenti, tampaknya menikmati menceritakan kisah itu. Sambil berusaha menahan tawanya, ia melanjutkan, "kupikir dia bilang sesuatu tentang kau minum ale semalam denganku dan tidur untuk menghilangkan pengaruhnya pagi ini." Ia mengetuk sisi kepalanya dengan gaya berlebihan, seolah-olah berpikir keras, lalu menyeringai. "Atau dia menyiratkan kau melakukan sesuatu selain tidur di ranjangmu? Aku lupa sekarang."

Eirik menggeram. "Di mana tukang ikur campur itu?"

Wilfrid mengangkat bahunya. "Mungkin dia sedang di luar membangun lagi dinding kastil."

"Aku tak terhibur dengan... hiburanmu." geram Eirik menekan kepalanya yang berdenyut. Tuhan, ia perlu minum.

"Apa kepalamu sakit, My Lord?" tanya Wilfrid dengan perhatian yang mengejek. "Mungkin kau perlu istri yang bisa meredakannya dengan kata-kata manis dan tangan yang lembut."

Eirik mengumpat dan menuju dapur. Wilfrid mengikuti di belakangnya, pasti ingin menyaksikan adegan yang tak terhindarkan.

Ia melangkah cepat melewati dapur, melihat kondisinya yang bersih dan mencium aroma menggiurkan dari perapian. Anak kecil itu, Godric, berdiri dengan tekun membalik panggangan daging seukuran babi. Mungkin memang babi.

"Mistress menyuruh saya mengerjakan tugas ini, M'Lord. Apa Anda ingin saya berhenti?" kata Godric dengan takut pada wajah Eirik yang masam. Eirik melihat air mata menggenangi mata lebar anak itu dan tahu bahwa ia pikir Eirik marah padanya.

"Tidak, kerjamu bagus, Godric. Lanjutkan. Di mana Lady Eadyth?"

Godric menunjuk ke pintu terbuka yang menuju ke halaman dapur.

Eirik tak pernah lagi berada di bagian kastil yang ini sejak neneknya Aud membuat kebun tanaman obat dan sayur di sini beberapa tahun lalu. Setiap kali ayahnya Thork atau kakeknya Dar kembali dari pelayaran dagangnya, mereka selalu membawa oleh-oleh tanaman eksotis dari negeri-negeri jauh untuk menyenangkan neneknya. Kenangan menyedihkan tentang neneknya, yang sudah lama meninggal karena penyakit remeh, dan beberapa jam yang dihabiskannya untuk menemaninya, menyiangi tanaman thyme, rosemary, dan chives, membuat Eirik terpaku untuk sesaat.

Ia mengangkat bahunya, menguatkan dirinya untuk melihat kekacauan yang akan dilihatnya dari halaman yang sudah lama terlantar. Rasa bersalah menggelayutinya seperti gigi yang sakit. Seperti seluruh kastil itu, halaman itu pasti membutuhkan pembaruan.

Awalnya, sinar matahari yang terang menyilaukannya dan ia tak bisa melihat  kesibukan yang sedang berlangsung di sekelilingnya, membuat kepalanya kembali berdenyut. Ketika suara berisik percakapan akhirnya menembus kepalanya yang berdenyut, ia berhenti di tengah jalan, terpana tak percaya.

Ke mana pun ia menoleh, para pelayan pemalasnya berubah menjadi pegawai yang bersemangat dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dan mereka lebih bersih dari yang pernah dilihatnya sejak ia kembali. Bahkan tunik mereka, yang sudah usang, tampak baru dicuci. Eirik membelai kumisnya dengan penuh pertimbangan. Ia bahkan tak menyadari bahwa ada begitu banyak pelayan yang masih bekerja di Ravenshire.

Ada yang mengaduk ketel-ketel air sabun. Yang lain mengambil pakaian dari tempatnya direbus dan membilasnya dengan air bersih. Yang lain memerasnya dan menjemurnya di pepohonan dan semak sekitar, yang telah ditumbuhi dengan tanaman liar dan tak terawat seperti yang diperkirakannya. Mata Eirik nyaris melompat keluar saat itu saat ia menyadari pakaian dalamnya tergantung-gantung dengan jelasnya dari semak mulberry.

"Argh!" ia tercekat, lalu melihat penyebab kegusarannya, Lady Eadyth berdiri sedang mengomeli seorang pelayan muda, yang rambut basahnya menunjukkan bahwa baru kembali dari kolam pemandian. Ia menjewer daun telinga pelayan itu, mengomelinya untuk kembali ke kolam, berseru bahwa masih ada kotoran yang tersisa di lehernya dan telinganya.

"Menurutmu dia akan memeriksa telinga kita juga?" tanya Wilfrid masam di sisinya.

Eirik memandang Wilfrid kesal, lalu berjalan meuju wanita yang keterlaluan itu. Ia menggemertakkan giginya untuk menahan diri, takut ia akan melakukan kekerasan fisik pada wanita itu di depan para pelayannya, Eirik akhirnya berkata dengan ketenangan yang dipaksakan, "Lady Eadyth, boleh aku bicara denganmu?"

Wanita kurus itu tersentak dan menoleh. Mata mereka bertatapan di halaman yang seketika hening, dan jantung Eirik berdesir aneh di dadanya memandang ekspresi bertanya dan rapuh di wajah wanita itu yang dengan cepat ditutupinya dengan sikap tenangnya yang biasa.

Para pelayan terpaku menyaksikan adegan itu dengan penasaran dan ketakutan, tapi wanita bodoh itu tak punya rasa takut pada Eirik. Tidak, ia hanya membalas memandang Eirik berani dengan mata ungunya yang berkilat. Mata penyihir! Eirik tak menyadari warnanya yang aneh kemarin malam. MUngkin mata wanita itu hanya memudar karena usia, seperti mata neneknya sebelum kematiannya. Tentu saja, pasti begitu.

Sikapnya yang tenang dan tak terpengaruh menjengkelkan Eirik. Itu, dan ketertarikan Eirik yang tak bisa dijelaskan, tapi tak bisa dipungkiri, pada wanita yang lebih tua itu. Eirik mengutuk dirinya sendiri dengan kesal, lalu mencengkram lengan Eadyth dan menyeretnya kembali ke kastil, mengabaikan protesnya yang berhamburan.

"Duduk," perintah Eirik ketika mereka berada di satu kamar pribadi yang sempit di samping aula utama, di bawah tangga. Tanpa jendela, ruangan itu gelap dan pengap tak terawat. Eirik menyalakan lilin tapi tak bisa melihat dengan jelas kecuali lapisan debu dan kotoran yang tebal yang menutupi setiap benda di ruangan itu. Sialan! apa yang dilakukan para pelayannya selama ia tak ada dua tahun ini?

Eadyth menggerutu pelan dan menggosok lengannya yang tadi dicengkram Eirik. Lalu Eadyth mengeluarkan secarik sapu tangan dari korsetnya yang digunakannya untuk mengelap kursi sebelum duduk dengan patuh. Eirik melihat bahwa Eadyth berusaha memalingkan wajahnya dan menggerakkan tudung kepalanya, seolah-olah ia tak mau Eirik melihat wajahnya dengan saksama. Pasti karena ia sangat jelek. Eadyth menunduk saat Eirik memandangnya lekat-lekat, tapi bukan karena merendahkan diri, pikir Eirik.

Eirik berulang kali bersin karena debu yang diterbangkan Eadyth. Mungkin wanita itu sengaja melakukannya, hanya untuk membuatnya gusar. Eirik memandang galak ke arah Eadyth, masih mempunyai alasan lain untuk sangat tak menyukainya.


Hati-hati dengan doamu...

Eadyth berpura-pura tak peduli saat ia bergeser di kusinya di bawah wajah masam Eirik. Lalu ia teringat bahwa Eirik berpikir ia lebih tua dari umurnya yang sebenarnya dan menarik sedikit tudung kepalanya ke depan, sedikit membungkukkan bahunya, dan memalingkan wajahnya sehingga ia tak langsung berada di garis pandang Eirik. Eadyth menarik keluar beberapa helai rambutnya yang berminyak dari ikatannya untuk mengingatkan Eirik tentang warna yang "beruban." Ia mengintip ke atas dengan licik, melihat bahwa penampilannya sangat tak menyenangkan Eirik dan tahu bahwa ia sudah sukses bersandiwara untuk saat ini.

"Beraninya kau memerintah para pelayanku seenaknya," akhirnya Eirik bertanya dengan marah. "Kau menghinaku dan rumahku dengan melakukan hal itu."

"Aku tak bermaksud menghinamu, My Lord. Sungguh aku tak bermaksud begitu. Hanya saja aku tak bisa hanya duduk diam. Ketika aku melihat para pelayanmu memanfaatkanmu, kupikir... well, terkadang wanita lebih memperhatikan hal-hal semacam ini ketimbang pria. Dan kau sudah pergi lama..."

"Tetap saja kau tak berhak melakukannya."

Rasa malu melanda Eadyth seketika saat ia menyadari betapa tak pentasnya tindakannya di mata Eirik. Apakah ia sudah kehilangan semua sopan santunnya dalam perjuangannya yang tiada henti untuk mendapatkan kemandirian?

Dengan susah payah, Eadyth menelan harga dirinya. "Aku sekarang menyadari bahwa aku sudah bertindak lancang. Tapi bagaimana mungkin kau tahan makan makanan yang datang dari dapur yang kotor itu? Atau berjalan di atas rush rumput yang dikotori dengan kotoran hewan, tulang dan sisa makanan? Atau..." dan di sini ia bicara dengan menantang, memandang mata Eirik langsung, "...atau tidur di ranjang yang dipenuhi kutu."

Sekilas rasa menang melanda Eadyth saat ia melihat Eirik berkedip mendengar kritik pedasnya. Eirik tampaknya menahan diri untuk membalas cercaan Eadyth. Ia mengangkat dagunya menantang, tak mau menjelaskan dirinya pada Eadyth.

"Bagaimana caraku tidur bukan urusanmu."

Tiba-tiba Eadyth merasa bahwa misinya kemari sia-sia, meskipun Eirik memintanya menginap semalam. Ia berdiri dan berkata pendek pada Eirik, "Kau benar. Seharusnya aku tak ikut campur. Aku akan kembali ke Hawks' Lair sekarang. Maaf sudah mengganggumu."

Eirik memegang bahu Eadyth dan mengisyaratkannya untuk duduk kembali. "Tunggu. Mari kita diskusikan masalah ini," katanya dengan nada menenangkan, menawarkan Eadyth segelas wine.

"Sepagi ini? Tidak. Aku belum sarapan."

"Begitu juga semua orang di kastilku," Eirik menyindir.

"Apa kau lebih suka makan di dapur yang kotor? Astaga! Sedangkan kutu berdansa di rambut kokimu."

Mata biru Eirik berkilat geli, tapi ekspresinya tetap kesal. "Jaga bicaramu, Woman. Ini tak pantas diucapkan wanita di posisimu."

Eadyth menciut dikritik seperti itu. Sejujurnya, ia sudah terlalu lama bergaul dengan para pedagang dan cara bicara mereka yang kasar, tapi ia tak mau mengakui hal itu di depan ksatria ini.

"Apa kau menyeretku ke ruangan ini untuk mendiskusikan caraku bicara? Kalau benar, aku akan pergi, karena aku punya hal yang lebih penting kulakukan dengan waktuku."

"Kau pandai bersilat lidah, My Lady," Ujar Eirik, menyeringai. "Kebanyakan pria tak akan suka hal itu dari wanita. Aku bertaruh ini alasannya kau tak pernah menikah sebelumnya."

Eadyth menggemeretakkan giginya dan membalas tatapan Eirik. "Aku belum menikah," katanya melalui rahang yang tegang, "karena aku memilih tidak menikah. Berlawanan dengan pendapat kebanyakan pria tentang diri mereka sendiri yang berlebihan, banyak wanita puas dengan kehidupan melajang."

"Apakah saat itu kau ingin menikahi Steven?"

Eadyth menegang pada pertanyaan Eirik yang blak-blakan. Eirik memelintir ujung kumisnya dengan kedua jarinya, mengamati Eadyth seperti seekor gagak. Ia bisa melihat jawabannya penting bagi Eirik.

"Pertanyaanmu kasar dan pribadi, dan..."

Eirik mengangkat satu tangannya menghentikan kata-kata Eadyth. "Tidak, pertanyaan itu masuk akal untuk seorang calon pengantin pria."

Mata Eadyth membelalak terkejut. Ia mengira kemungkinan mereka menikah sudah sirna. Dengan wajah merah padam, ia memaksakan dirinya mengungkapkan detail intim dari masa lalunya yang ingin segera dilupakannya. "Ya, aku ingin menikahi Steven of Gravely saat itu, bodoh sekali aku."

"Apakah dia berjanji menikahimu?"

"Ya, benar... sebelum ia mendapatkan apa yang diinginkannya dariku."

"Dan apa itu?"

Eadyth memandangnya tajam yang mengatakan bahwa ia tak mungkin sebodoh itu. Eadyth bersandar di kursinya bersedekap, lalu segera berharap ia tak melakukannya ketika mata Eirik langsung tertuju  pada payudaranya yang tampak rata. Ia menjatuhkan lengannya sambil mendengus sebal dan berkata dengan berani, memandang langsung mata Eirik, "Dia menginginkan tubuhku." Pada ekspresi tak percaya di wajah Eirik, ia menambahkan sambil mengangkat bahu, "Tubuhku dulu indah dan menggoda."

Eirik mencibir.

Eadyth memandang galak.

"Dan apakah kau menginginkannya juga?"

Eadyth terperanjat. Sungguh, perbincangan ini sudah terlalu melenceng. Ia menutup bibirnya rapat-rapat untuk menghentikan umpatan kasar yang ingin dilontarkannya pada Eirik. Lalu, dengan sangat malu, ia mengakui dalam suara pelan yang getir, "Aku salah menganggap nafsu sebagai cinta. Tapi tak lama kemudian aku terguncang oleh tindakan bajingan itu."

"Kenapa begitu?" Eirik mendesak, wajahnya serius.

"Ketika aku tahu bahwa aku hamil dan menemuinya, berharap dengan sepenuh hati untuk segera bertunangan dan menikah, seperti janjinya, ia menertawakanku. Dia tak mau mengakui anak yang kukandung." Eadyth memandang Eirik dengan dingin, marah karena lelaki itu membuatnya harus mengungkapkan pengakuannya yang memalukan. Itu adalah topik yang tak pernah dibicarakannya. "Aku tak mau lagi membicarakan pria iblis itu denganmu."

"Ini satu hal, setidaknya, yang kita sepakati... kejahatan Steven of Gravely."

"Ya, benar."

"Begitu kau tahu dia berkhianat, apakah kau berpikir untuk mencari bidan untuk membantumu..."

"Apa?" desak Eadyth, tak mengerti arah pembicaraan Eirik.

Ia melihat bibir Eirik yang memucat tegang saat pria itu bimbang sebelum mengutarakan pertanyaan yang sepertinya penting baginya. "Ada wanita yang akan mencari cara untuk menyingkirkan anak yang tak diinginkannya. Apa kau pernah melakukan usaha seperti itu, dan gagal?"

"Tidak!" ia berseru. "Teganya kau bertanya seperti itu? John adalah satu-satunya hal terbaik dan murni yang lahir dari... hubungan yang menjijikkan itu." Eadyth berusaha meredam kemarahannya pada pertanyaan Eirik yang menghina. Ketika ia akhirnya bisa bicara tanpa berteriak, ia berkata, "Kau punya pandangan yang sangat rendah pada wanita, My Lord. Aku bertanya-tanya alasannya."

Eirik memandang dengan penuh pertimbangan beberapa saat, menggosok kumisnya yang mengerikan itu. Ekspresi kagumnya akhirnya memudar saat ia tampak membuat keputusan."Tunggu di sini," perintahnya sambil berdiri dan mendekati pintu. "Aku harus mengambil sesuatu."

Saat kembali tak lama kemudian, Eirik membawa buntelan kecil yang dibungkus linen yang diletakkannya di atas meja. Lalu ia duduk di kursi di dekat Eadyth dan mengambil dokumen maskawin Eadyth dari tuniknya. Ia mengisyaratkan Eadyth menarik kursinya mendekat ke meja.

"Sebelum aku panggil Wilfrid untuk menjadi saksi kita, aku akan menulis persyaratanku sendiri untuk kesepakatan tunangan kita, My Lady."

Terkejut, Eadyth memandangnya dengan bertanya-tanya. "Kau berniat menikahiku?"

Bibir Eirik membentuk seringai muram, seolah-olah ia sendiri tak percaya bahwa ia akan melakukan sesuatu tindakan yang begitu bodoh.

"Semoga Tuhan membantuku, benar."

Awalnya, benak Eadyth tak mampu menyerap pentingnya kata-kata Eirik. Perasaan campur aduk berperang dalam dirinya--lega bahwa John akan dilindungi ikatan pernikahan yang sah, dibayangi keputusasaannya karena ia benci dengan ikatan pernikahan itu sendiri. Ia tak benci pada pria, hanya nafsu syawat mereka, tapi anehnya ia merasa dirinya tertarik pada maskulinitas Eirik yang tampan.

"Kenapa?"

Eirik menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa. "Itu pertanyaan aneh untuk diajukan seorang pengantin wanita."

"Aku bukan pengantin biasa, dan kau tahu benar itu. Sudah jelas kau tak suka prospek menikahiku. Apakah maskawin dariku yang menggodamu? Apa kau memutuskan maskawin itu bisa digunakan untuk memperbaiki Ravenshire?"

Eirik mengerjap dengan kaget, lalu tawanya kembali berderai. "Mungkin aku lebih mirip Steven. Mungkin aku menginginkan tubuh indahmu." Eirik menggerakkan alisnya dengan menggoda.

Eadyth merasakan panas merayapi leher dan melintasi pipinya, dan ia mendengus kesal karena Eirik bersenang-senang dengan mempermalukannya. Sejauh ini, pria itu terlalu sembrono.

"Bukan tubuhku, indah atau tidak, yang akan menjadi bagian dari perjanjian pertunangan kita."

Eirik mengangkat satu alisnya bertanya mengejek, bulu matanya yang tebal dan hitam membentuk bayangan sepeti laba-laba di atas matanya yang anehnya berwarna pucat.

"Oh? Benarkah? Hmm. Kita lihat saja."

Jantung Eadyth berdegup dengan waspada, ia mendongak untuk melihat apa maksud Eirik dengan komentar misteriusnya, tapi kepala Eirik menunduk di atas dokumen saat pria itu menulis persyaratannya sendiri.

Eadyth memejamkan matanya dengan lelah.

Apakah aku membuat kesalahan yang lebih besar dengan bekerja sama dengan Lord of Ravenshire Ini?



Back
Next
Synopsis



Kamis, 19 Oktober 2017

Glorious Angel (Sinopsis)


Glorious Angel
(Kekasih Terindah)
Johanna Lindsey

Diterjemahkan dari Glorious Angel
terbitan AVON BOOKS, New York

Hak cipta terjemahan Dastan Books





Sinopsis

Angela Sherrington adalah putri petani miskin di Alabama. Dibesarkan tanpa seorang ibu dan hidup dengan ayah pemabuk, membuat Angela menjadi gadis kuat yang tegar. Ketika ayahnya meninggal, secara tiba-tiba Jacob Maitland, sahabat ibunya yang kaya raya, menawarkannya untuk menjadi anak asuh. Angela pun akhirnya memiliki kesempatan untuk semakin dekat dengan putra Jacob, Bradford, pria yang telah dicintainya sejak berusia sebelas tahun.

Bradford Maitland, pria tampan pewaris keluarga Maitland, memilih tinggal di New York setelah berpisah dengan tunangannya, Crystal Lonsdale. Ia menjadi pria keras yang tak sudi jatuh cinta. Akan tetapi, sejak bertemu kembali dengan Angela, ia terpikat pada gadis cantik dengan mata violet itu. Dan setelah Angela menyatakan cintanya, Bradford bersumpah takkan pernah melepaskan Angela.

Saat mereka mengumumkan pernikahan, Crystal mencoba menghalangi dengan mengungkit hubungan rahasia antara Jacob Maitland dan Charissa Stewart, ibu Angela. Apakah cinta Angela dan Bradford cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan yang menghadang? Akankah hati Angela yang luka bisa terobati?



Glorious Angel 1
Glorious Angel 2
Glorious Angel 3
Glorious Angel 4
Glorious Angel 5
Glorious Angel 6
Glorious Angel 7
Glorious Angel 8
Glorious Angel 9
Glorious Angel 10
Glorious Angel 11
Glorious Angel 12
Glorious Angel 13
Glorious Angel 14
Glorious Angel 15
Glorious Angel 16


Jumat, 06 Oktober 2017

The Tarnished Lady 1


Kastil Ravenshire, Northumbria, 946 M


Siapa yang mengira tahi lalat bisa membuat para pria mabuk kepayang?...


"Sialan! Apa yang dilakukan wanita itu di sini?" Eirik bergegas menenggak sisa ale di goblet kayunya, lalu membantingnya di atas meja. Selama itu, ia mengawasi dengan kesal saat figur semampai bagaikan alang-alang dengan anggun mengangkat pinggiran gaun yang bergelombang dan melangkah dengan hati-hati ke arahnya melalui rush yang kotor.


"Itu pasti Lady Eadyth of Hawks' Lair," Wilfrid, pekerja kastil juga sekaligus sahabat lamanya, berkomentar.

"Kupikir aku sudah memerintahkan para penjaga di gerbang untuk mencegahnya masuk kalau dia datang tiba-tiba."


"Sepertinya wanita itu akhirnya berhasil menemukanmu," kata Wilfrid sambil tergelak.


"Tampaknya, kegigihannya patut diacungi jempol."

"Hah! Aku sudah melihat cukup banyak ibu-ibu dan para wanita yang terlalu bersemangat selama dua tahun ini aku pergi dari Ravenshire. Yang kuinginkan hanyalah sedikit kedamaian untuk..."

Percakapan mereka terputus seketika saat terdengar suara dengkingan keras seekor anjing. Mata Eirik membelalak terkejut ketika melihat Eadyth mendorong hewan itu dengan ujung sepatu kulitnya ketika anjing itu melebarkan kaki belakang dan berjongkok di lantai dekat kaki Eadyth. Bahkan melalui cahaya Temaram berkabut di aula besar itu, Eirik bisa melihat bibir Eadyth melengkukung tak senang saat ia melihat "kado" menjijikkan yang ditinggalkan anjing pemburu yang besar itu. Dengan berkacak pinggang, wanita kurang ajar itu menatap galak anjing yang merintih itu sampai hewan itu dengan patuh menghilang dari pandangannya.


Eirik dan Wilfrid tak mampu menahan tawa, begitu pula dengan para kesatria kasar yang bersantai bersama mereka di aula itu. Tak Ada wanita yang tinggal di sana, kecuali para pelayan. Syukurlah! Ia berharap keadaan tidak berubah.


"Dasar wanita kurang ajar!" gumam Eirik akhirnya, menyeka air mata dari matanya dengan lengan tuniknya yang usang. "Pertama dia menerobos masuk tanpa diundang ke dalam rumahku. Lalu dia menendang anjingku. Apakah aku harus mendorong bokong kurusnya dengan separu botku dan mengirimnya keluar?"

"Oh, biarkan dia bicara. Mungkin 'hal genting' yang ingin didiskusikannya ini akan memberikan hiburan untuk mengurangi kebosanan kita."

Eirik mengangkat bahu. "Barangkali. Setidaknya, aku memang selalu ingin melihat dari dekat si Perhiasan Perak dari Northumbria."


"Bukan, Eirik. Apa kau belum dengar? Perhiasan itu sudah lama hilang kemilaunya. Apa kau tak tahu para penggosip di istana sekarang menjulukinya 'Perhiasan yang Tercemar'?" Wilfrid buru-buru membisikkan penjelasan.


Alis mata Eirik terangkat dengan minat dan keraguan. Ia sangat tahu dari pengalaman getirnya sendiri betapa sadisnya para bangsawan di istana King Edmund, tapi ia masih ragu apakah kata-kata Wilfrid itu benar.

Sementara itu, wanita itu masih berjalan dengan mantap ke arah panggung tempat mereka duduk. Seorang pelayan, wanita gemuk dan beberapa staf pelayan mengikuti di belakangnya seperti anak itik yang mengekori seekor angsa yang kurus kering.

Pada saat itu, wanita itu berhenti dan mengangkat hidungnya dengan gaya congkak, seolah mengendus udara disekitarnya. Lalu ia mengarahkan tatapan tajam pada Ignold, salah satu pelayam kepercayaan Eirik, dan melontarkan beberapa ucapan pedas ke arahnya. Prajurit berubuh besar yang terkenal garang di medan tempur dan tak kenal gentar itu, hanya memandang wanita itu dengan mulut ternganga.


Eirik bisa menerka apa yang dikatakannya.

Setelah memenangi ibukota Norse di Jorvik awal tahun itu, lalu menaklukkan seluruh Strathclyde, King Edmund mengirim Eirik sebagai utusannya di bawah standar Golden Dragon kepada Duke of Normandy untuk menegosisasikan pembebasan keponakan Edmund, Louis d'Outremer. Louis ditangkap oleh Northmen of Rouen musimpanas sebelumnya kemudian diselamatkan oleh Duke of the Franks, yang lalu menyekapnya sebagai sandera selama beberapa bulan belakangan ini. Akhirnya, setelah berbulan-bulan melalui tawar menawar yang alot dan banyak rintangan, Louis bisa kembali ke kerajaannya di Frank.

Banyak dari pasukan Eirik sudah berpencar di malam itu setelah perjalanan panjang kembali dari Frankland. Mereka mengikuti grup pelayan yang lebih kecil yang telah menemaninya kembali dua minggu lalu. Setelah berminggu-minggu berada di kapal, lalu berkuda tanpa mandi, tubuh mereka menjadi benar-benar bau. Bahkan Eirik sendiri mengendus bau tajam menyengat tubuh yang telah lama tak di basuh itu saat ia tadi melintas menuju kamar tidurnya. Ia Yakin, wanita kurang ajar dari Hawks' Lair itu pasti menyuarakan hal yang sama.


Wanita itu terus berjalan ke arahnya, mengabaikan komentar-komentar tak senonoh yang dilontarkan anak-anak buah Eirik yang duduk berkerumun sambil minum-minum atau bermain dadu. Tampaknya mereka semua sudah terlalu lama hidup di luar masyarakat yang santun.

Sengatan rasa bersalah menusuk hati nurani Eirik. Mungkin ia sudah bersikap kasar mengabaikan surat-surat wanita itu yang meminta bantuan dalam "masalah penting" yang tak dijelaskannya. Tapi ia benar-benar kelelahan setengah mati dari dua tahun bertempur dan ditambah lagi membawa pesan-pesan dari rajanya, belum lagi terus menerus mengelak dari serangan panas intrik politik. Ia sama sekali tak mau berurusan dengan kehidupan rumit para bangsawan - pria atau wanita. Hanya sedikit ketenangan, itu saja yang dimintanya.


Eirik bersandar di kursinya, dengan santai bersedekap dan menyilangkan kaki panjangnya. Ia menyipitkan matanya dan mempelajari Eadyth lebih dekat, nyaris tak bisa melihat tubuhnya atau wajahnya di balik pakaian longgar dan cadar yang dikenakannya. Mata Eirik berair karena asap dan ia lebih menyipitkannya lagi.

Wanita itu tampaknya memiliki rambut berwarna abu-abu yang diikat dengan erat ke belakang di bawah tudung kepalanya yang berwarna tanah. Tak ada untaian yang keluar untuk melunakkan wajahnya yang keras.

Sambil tercenung, Eirik membelai kumisnya dengan jari telunjuknya, kebiasaannya jika sedang bingung atau berkonsentrasi. "Tak kusangka dia sudah berumur."

"Aku juga begitu."


Mereka berdua kembali mengamati wanita yang mereka bicarakan. Wanita itu tinggi dan langsing, kalau bisa diukur dari pergelangan kakinya yang ramping yang tampak saat ia mengangkat pinggiran gaunnya untuk menghindari kotoran. Payudaranya tampak rata, serata perisai tempur Eirik. Tapi ekspresi masam di wajahnya yang paling mengganggu. Ya Tuhan! Ia datang meminta bantuan, tapi tak bisa mengendalikan raut masamnya.


Eirik tersenyum. Ia akan menikmati memainkan permainan kucing dan tikus dengan wanita congkak ini.

Sambil berdeham, wanita itu memanggil dengan lancangnya dari bawah anak tangga panggung tempat mereka duduk, "Dengan izinmu, My Lord Ravenshire, aku meminta waktu untuk berbicara denganmu mengenai masalah yang penting."


Masalah penting! Masalah penting! Semua bilang begitu saat minta tolong. Eirik mengangguk dengan enggan, dan melambaikan tangan kanannya ke arah salah seorang pelayannya, mengisyaratkan untuk menjamu para pengiring Eadyth dengan makanan dan minuman.


"Tampaknya anda tidak menerima surat yang saya kirimkan," ujar wanita itu dalam suara yang kaku, bibirnya melengkung tegang. Dua kerutan tipis di antara alisnya memperlihatkan pandangan tajam yang permanen. Eirik nyaris meledak tertawa saat ia menyadari bahwa wanita itu dengan susah payah berusaha bersikap merendah di depannya, padahal wanita itu sebenarnya sangat ingin mencetuskan kata-pedas untuk menghujatnya.


"Aku menerima suratmu."

Saat Eirik tak mau menjelaskan lebih lanjut, mulut Eadyth ternganga, mengejutkannya memperlihatkan barisan gigi putih yang sehat untuk seseorang yang begitu tua. Eirik membelai kumisnya dengan saksama dan menyipitkan matanya agar bisa lebih cermat memandang Eadyth. Selain kerutan di sekitar mata dan mulutnya, wanita itu sepertinya tak setua yang dipikirkannya. Malahan, kulit wajahnya tampak begitu halus karena krim baru di tempat-tempat dimana lipatan itu berada tak mengerut dengan buruk. Eirik berharap bisa mengamati lebih baik, sayangnya penglihatannya yang buruk membuatnya melihat lebih samar dalam jarak dekat.


"Ah! Pria yang jujur. Betapa menyenangkannya!"


"Apa kau berharap sebaliknya? Ini adalah sifat yang menurutku lebih penting dari yang lain... kejujuran, maksudku," sembur Eirik, anehnya merasa tersinggung dengan sikap Eadyth yang puas dengan pengakuannya bahwa ia sudah menerima suratnya dan dengan kasar tak membalas.


Jawaban Eirik tampak sangat memuaskan Eadyth. "Ya, seringnya aku memperkirakan orang tak akan jujur. Tak banyak pria yang benar-benar bisa dipercaya menurut pengalamanku."


"Atau wanita?"

"Atau wanita," ujarnya sambil mengangguk singkat, menghargai Eirik dengan berani.


Sekilas senyuman terbentuk di sudut-sudut bibir Eadyth yang indah dengan lekuka dalam di tengahnya dan tahi lalat kecil hitam tepat di atas sudut kanan bibirnya. Sejujurnya, wanita itu tak sejelek kuda seperti dugaan Eirik awalnya. Oh, hidung mancungnya terlalu kuat dan angkuh untuk seleranya, belum lagi dagunya yang mencuat dengan congkak, tapi kalau bukan karena rambut abu-abu dan tubuh sekurus sapu, wanita itu bisa dikatakan lumayan cantik. Mengamati lebih dekat, Eirik bisa melihat sekarang bahwa wanita itu dulunya cantik di masa mudanya -- Perhiasan Perak dari Northumbia.


Tangan Eirik terulur Tanpa sadar membelai kumisnya. Sesuatu dalam penampilan wanita itu memberinya perasaan aneh. Namun ia teringat kata-kata Wilfrid tentang skandal yang melingkupi wanita itu. Itu adalah teka-teki yang belum bisa dipecahkan Eirik. Ia tersenyum sendiri merenungkan prospek memecahkan misteri itu.


"Boleh aku bergabung denganmu?"


"Tentu saja," jawab Eirik, karena merasa malu hati sendiri, seperti seorang anak kecil, karena kata-kata halus yang diucapkan Eadyth menyindir sikapnya yang tak santun pada tamu. Ia brediri dan membantu Eadyth menaiki panggung tinggi itu, menyadari kurusnya lengan wanita itu dibalik bahan tebal pakaiannya. Oh Tuhan, di mana wanita ini menemukan warna kain russer yang sejelek itu? Eadyth cukup jangkung dibanding wanita kebanyakan tapi masih belum sampai setinggi bahu Eirik, pikir Eirik saat ia mengenalkannya pada Wilfrid.


Sebelum duduk, Eadyth memeriksa kursinya, sepertinya mencari debu. Persetan! Ia baru pulang beberapa pekan dan punya banyak urusan yang lebih penting dari pada menangani para pelayan yang tak becus. Eirik tak kesal saat Wilfrid mengomelinya untuk memberi dana demi memperbaiki keadaan Ravenshire, tapi berbeda halnya dengan tamu tak diundang ini yang memandang rendah dirinya dan rumahnya.


Sambil mengulurkan tangan mengambil gelas kosongnya, Eirik memandang wanita itu dengan tajam lalu menyeka pinggir goblet itu dengan lengan baju jubahnya hanya untuk membuat kesal wanita yang rewel itu. Lalu Eirik menuangkan minuman untuk tamunya itu dan menawarkan dengan ramah, berharap memperbaiki kekurangsopanannya tadi. Eirik melihat betapa wanita itu berhati-hati agar jari mereka tak bersentuhan. Dan, saat Eadyth menyesap ale-nya, Eirik mau tak mau melihat hidung wanita itu sejenak mengernyit menandakan ketidaksukaannya.


"Kau tak suka anjing dan ale, rupanya," komentar Eirik menyelidik.


"Tidak, itu tak benar. Aku cukup suka anjing, pada tempat mereka yang benar, di luar aula dan dapur. Dan tentang ale-mu, ini lumayan." Dagu wanita itu terangkat sedikit congkak. "Meskipun demikian, aku adalah orang yang pemilih. Aku membuat minuman yang terbaik di seluruh Northumbria dari madu hasil ternakku sendiri."


"Sungguh? Luar biasa. Bukan karena kau membuat minumanmu sendiri, tapi bahwa kau menyanjung dirimu sendiri."


Mata Eadyth menyorot galak dan mereka saling berpandangan, pipi Eadyth bersemburat merah.


Bagus! Pikir Eirik.


"Aku harus mengakui koreksimu atas tingkah lakuku yang tak pantas, My Lord. Memang benar aku tak sopan. Aku sudah kehilangan tata cara bertingkah laku, selama bertahun-tahun ini aku hidup di luar masyarakat," Eadyth Edyth meminta maaf tanpa sedikitpun merasa malu. "Sering aku lupa bahwa para lady seharusnya bersikap malu-malu dan lemah. Ayahku mendidikku untuk mandiri."


Bahkan jika Eirik tak memperhatikan dagu Eadyth yang congkak, yang cenderung terangkat, Eirik memiliki firasat bahwa wanita itu jarang merendahkan dirinya. Nada kerapuhan yang sangat samar di ujung suara Eadyth, membuat Eirik melunak.


"Dia pria yang baik... Ayahmu. Aku bertemu Arnulf beberapa tahun lalu saat dia datang mengunjungi kakekku, Dar. Aku ikut berduka mendengar kematiannya."


Eadyth mengangguk menanggapi ungkapan belasungkawa dari Eirik.


"Seingatku, kau tak punya saudara laki-laki, lanjutnya. "Siapa yang mengurus Hawks' Lair?"


"Aku."


Terkejut, Eirik tersedak ale yang sedang diminumnya dan Wilfrid menepuk punggungnya menenangkan.


Bibir Eadyth terangkat membentuk senyuman mengejek, dan sekali lagi perhatian Eirik tertuju pada tahi lalat kecil di dekat mulutnya. Ia pernah mendengar ada wanita yang sengaja membubuhkan tahi lalat di wajah mereka. Mungkinkah tahi lalat itu juga palsu? Tak mungkin! Seorang wanita yang menata rambutnya ke belakang seperti seorang biarawati dan mengenakan pakaian yang begitu membosankan akan meremehkan hiasan semu semacam itu.


"Kenapa reaksi pria selalu begitu? Sungguh, aku tak mengerti kenapa pria bersikeras memercayai bahwa wanita tak mampu melakukan apapun kecuali bergosip dan menjahit."


Eirik mencondongkan duduknya ke depan dan memandang Eadyth dengan rasa ketertarikan baru. "Menurut pengalamanku kebanyakan wanita itu makhluk bodoh, yang licik dan cukup puas melakukan hal yang tak lebih dari itu. Itu fakta yang kulihat dari istriku sebelum dia tewas. Kalau bukan karena butuh keturunan, kurasa kebanyakan pria akan menghindari ranjang pernikahan dan memilih mendapatkan permainan ranjang mereka di tempat lain."


Keterusterangan kata-kata Eirik tampaknya tak sedikit pun menggelitik kepekaan feminin Eadyth. Bahkan, wanita itu tampak menghargai kejujurannya.


Jemari Eadyth menelusuri pola tak terlihat di permukaan meja sambil mengamati Eirik lebih dekat. Kenapa? Eirik bertanya-tanya. Eadyth menjilat bibirnya dengan gugup, yang membuat Eirik kembali mengarahkan pandangannya ke arah tahi lalat yang terpampang nyata itu. Eirik memandangnya, terpesona, saat ujung merah jambu lidah Eadyth secara tak sadar menelusuri jalur dari satu sudut mulut, ke cekungan, ke sudut yang lain, lalu menyapu bibir bawahnya yang penuh. Bagaimana rasanya jika ia melakukan dengan lidahnya sendiri? Eirik berfantasi, merasakan seketika sesuatu membengkak di pangkal pahanya.


Demi semua orang suci! Ia mengutuk dirinya sendiri. Ia bertingkah seperti bocah ingusan. Sejujurnya, ia sudah terlalu lama tanpa sentuhan wanita kalau seorang wanita yang sudah tak muda pagi bisa membuatnya bereaksi.


Dan si wanita kurang ajar itu mengamatinya dengan cara penelusuran yang aneh. Sungguh, Eadyth wanita yang paling tak biasa.


"Apakah matamu biru... biru pucat seperti langit musim panas... seperti yang kudengar?" tanya Eadyth tiba-tiba, membuyarkan pikiran penuh berahinya.


Bingung dengan pertanyaan aneh Eadyth, Eirik sedikit menarik diri. "Ya, begitulah... warisan dari nenek moyang Vikingku."


Ya ampun! Kenapa wanita tua itu peduli apakah matanya berwarna biru langit atau coklat tanah?


"Kau tak terlihat seperti seorang dari Norse. Rambutmu hitam, kan?" tanyanya dengan santai, tapi Eirik bisa menebak dengan melihat buku jari-jarinya yang memutih, yang bahkan tampak di keremangan aula itu, bahwa jawaban Eirik penting baginya.


Apa sebenarnya tujuan wanita ini, menanyakan pertanyaan bodoh tentang warna rambut dan matanya? Eirik bersandar di kursinya dan memandangi Eadyth dengan curiga dari matanya yang menyipit. "Aku hanya separuh Viking. Ibuku orang Saxon." Ia menggigit bibir bawahnya karena kesal tak bisa menebak tujuan wanita itu, lalu melanjutkan dengan nakal, "Apa kau mau melihat bagian tubuhku yang separuh Viking?"


Wilfrid terkekeh di seberangnya, tapi Eadyth hanya tersipu dan pura-pura tak mendengar kata-katanya.


"Maksudku keperkasaanku di medan tempur," tambahnya mengejek, mengangkat dan memamerkan sebelah lengannya yang berotot, "dan kelihaianku bermanuver tanpa cela di antara kekacauan politik Saxon." Eirik menepuk kepalanya seolah-olah menunjukkan bahwa kepalanya itu bukannya tak berisi.


Eadyth, yang tampaknya tak punya selera humor, tak tersenyum menanggapi gurauannya. Alih-alih, ia dengan serius merapatkan bibirnya membentuk garis lurus sambl mengamati Eirik dengan berani. Akhirnya, ia bertanya, "Bolehkah kita bicara secara pribadi, My Lord?"


Eirik mempertahankan ekspresi datarnya, menyembunyikan kekagetannya, sebelum mengisyaratkan pada Wilfrid untuk meninggalkan mereka sejenak.


Seolah-olah memikirkan masalah yang serius, Eadyth mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan penuh pertimbangan di permukaan meja sebelum tampak membuat keputusan. Ia menunggu sampai Wilfrid turun dari panggung, lalu memandang langsung mata Eirik.


***


Kalau menyangkut lamaran untuk menikah, lamarannya buruk sekali...


"Aku perlu menikah secepatnya," sembur Eadyth tanpa tedeng aling-aling. "Apakah kau tertarik menjadi pasanganku?"


Eadyth memandang ksatria kekar itu yang berusaha tidak menganga karena terkejut. Setelah ia bisa mengatasi kekagetannya akibat lamaran tak terduga Eadyth, wajahnya berubah menjadi topeng tanpa ekspresi saat memahami tingkah aneh Eadyth.


Hah! Lelaki begitu transparan mereka pikir wanita tak mampu berpikir logis, dan disitulah kelemahan mereka, Eadyth telah mendapat pelajaran demi pelajaran selama delapan tahun ini tentang kekuasaan pria atas wanita. Tapi itu bukan kekuasaan yang mutlak, dan ia menjadi ahli untuk mengungguli mereka. Bukankah ia sudah membuktikan berkali-kali dengan kemampuannya mengatur Hawks' Lair dan menjual produknya sendiri di pasar Jorvik -- madu, arak madu, dan lilin lebah terbaik di seluruh Northumbria?


Sangat berat bagi Eadyth untuk datang merendahkan diri di depan Lord of Ravenshire yang tampan dan pandai bersilat lidah ini. Seolah-olah Eirik peduli apakah sosoknya yang terpahat indah itu bisa meluluhkan hati para gadis dari Yorshire sampai Strathclyde! Atau bahwa kata-kata manisnya bisa menyebabkan biarawati yang suci kehilangan kendali dirinya. Eadyth tak menginginkan pria mana pun menjadi suaminya, dan yang jelas bukan pria kasar dengan pakaian buruk di kastilnya yang nyaris runtuh, yang memandangnya rendah dengan arogan, nyaris tak mampu menutupi penghinaannya.


Demi St. Bridget! Gagasan memasuki ikatan perkawinan membuat Eadyth mengernyit benci. Ikatan! Itu satu-satunya kata yang penting di sini. Selama bertahun-tahun ini, ia menolak menjadi milik pria mana pun.


Tapi kini ia tak punya pilihan. Ia sudah kehabisan waktu. Yang bisa dilakukannya adalah mendapatkan transaksi perjanjian pertunangan terbaik, perjanjian yang bisa menguntungkan calon suaminya tapi tetap memberinya kebebasan. Akankah Lord of Ravenshire ini setuju?


"Mungkin aku salah dengar, My Lady. Apakah kau baru saja melamarku?" saat Eadyth mengangguk dan dengan menantang mengangkat dagunya, Eirik mendengus sebal. "Seharusnya dalam soal ini kau tak bertindak sendiri."


"Siapa yang akan melakukan negosiasi untukku? Ayahku sudah tewas. Aku tak punya keluarga." Ia mengangkat bahu. "Apa kau begitu kaku dan takut kejantananmu berkurang sehingga kau tak mau berurusan langsung dengan seorang wanita?"


Eirik menegakkan duduknya, otot berkedut di rahang kotaknya menghadapi tantangan Eadyth. "Hati-hati bicara, wanita bodoh. Dengarkan baik-baik, aku tak takut padamu, tidak pada pria mana pun atau wanita mana pun. Kau ingin langsung berurusan denganku. Baiklah, kau mendapatkannya. Kukatakan langsung... jawabanku adalah 'Tidak.' Aku tak tertarik tuk menikah denganmu."


Eadyth merasa malu, semburat merah bergerak ke atas lehernya dan mewarnai pipinya. Kenapa ia tidak bisa menahan lidahnya? Terbiasa berurusan dengan para pedagang yang licik dan orang-orang kasar, ia terkadang lupa bersikap diplomatis. Dengan hati-hati, ia menahan ledakan kemarahannya dan memaksakan dirinya bertindak hati-hati sebelum bicara lagi.


"Maafkan aku, My Lord, karena kata-kataku yang serampangan. Kegentingan situasiku membuatku tak mampu mengendalikan lidah, tapi, tolong... tolong jangan menolak lamaranku sebelum kau mendengar detailnya."


Eirik menuang lebih banyak ale ke dalam goblet kayunya dan menyesapnya perlahan, mengamati Eadyth dari matanya yang menyipit, dan tampaknya mendapati bahwa Eadyth tidak memiliki figur yang dicarinya dari seorang istri. Itu tidak mengejutkan Eadyth. Bahkan, ia berusaha sebaik-baiknya untuk tak menarik perhatian pria sejak ia membuat kesalahan yang mengerikan delapan tahun lalu.


"Tanpa mengurangi rasa hormat, My Lady, aku tak tertarik menikah lagi... dengan wanita mana pun. Sekali sudah cukup."


"Selamanya?" tanya Eadyth, terkejut. "Kupikir semua pria butuh mendapatkan keturunan sebagai ahli waris. Istrimu tak memberikanmu putra, kan?"


Eirik menggeleng. "Adikku Tykir adalah ahli warisku, dan aku tak ingin menggandakan diriku sendiri." Eirik menelengkan kepalanya bertanya-tanya, seolah-olah ia baru memikirkan sesuatu yang penting. "Lagi pula, kurasa kau sudah tak dalam usia bisa mengandung."


"Hah!" komentar Eirik menyadarkan Eadyth. Memang benar banyak gadis yang menikah pada usia empat belas tahun, tapi ia baru berusia dua puluh lima tahun dan jelas masih dalam usia produktif. Bukannya ia mau hamil. Dan yang jelas bukan dengan pria sebarbar Eirik. Tapi memangnya Eirik pikir berapa umurnya?


Aaah! Kemudian Eadyth sadar seketika, sambil menyentuh topinya, rambut peraknya yang membuat Eirik salah menerka umurnya -- itu dan pakaian longgar yang sengaja dikenakannya yang menyembunyikan dengan baik lekuk tubuh femininnya. Untung saja Eirik tak melihatnya pagi ini saat ia berusaha menata rambut berombaknya yang liar sepanjang pinggang di bawah topinya, akhirnya terpaksa menggunakan lemak babi untuk merapikan dan mengikat rambut lebatnya yang berombak itu. Tampaknya, lemak itu juga berhasil menyembunyikan rambut pirang emasnya di balik warna peraknya.


Tapi kemudian gagasan lain terlintas di kepalanya. Mungkin tebakan salah Eirik akan usianya bisa menguntungkannya. Setelah pengalamannya yang tak mengenakkan--tepatnya, mengerikan--dengan gairah pria, ia tak berminat mengalaminya lagi. Mendalami peran barunya sebagai wanita tua, Eadyth nyaris tersenyum saat ia membungkukkan sedikit bahunya dan memaksakan suaranya sedikit bergetar, mengelak Dari pertanyaan Eirik. "Heh! Heh! Heh! Tampaknya usiaku tak penting kalau kau ingin punya keturunan. Justru, bisa menguntungkan Kita berdua."


Minat Eirik tergerak, ia mengusap rambut hitam arangnya yang terurai sampai ke bahunya. Lalu membelai sekilas kumisnya, tindak tanduk yang beberapa kali dilihat Eadyth saat pria itu mengawasinya seperti burung yang waspada--ya, seperti burung gagak. Dan mata Eirik sering menyipit. Akhirnya, alisnya terangkat bertanya-tanya di atas mata biru yang bening itu.


Ya Tuhan! Seorang wanita bisa terhanyut ke dalam sorot mata yang memesona itu, Eadyth mengakui, lalu dalam hatinya, ia mengutuk dirinya sendiri karena memikirkan hal tersebut. Sebenarnya, Eirik tak setampan Steven, biang kerok masalahnya. Penampilan Steven terpoles rapi dan sosoknya nyaris sempurna, sementara keindahan Eirik tampak mentah dan terlalu jantan, Eirik terlalu maskulin untuk selera Eadyth. Dalam cara yang aneh, lelaki itu membuatnya takut.


Memaksakan diri untuk kembali menghadapi kenyataan, Eadyth melanjutkan, "Biarlan aku berterus terang..."


"Kenapa berhenti?"


Eadyth melayangkan tatapan galak. Ia akan mengabaikan kekurangajarannya untuk sekarang. Tap ia tak bisa menahan Buku jarinya mengepal dan membuka dengan tegang saat ia bicara. Demi Tuhan, betapa sulitnya menelan gengsinya karena merendahkan diri.


"Aku perlu menikah secepatnya. Suamiku harus bisa memimpin pasukan di medan tempur, tapi yang lebih penting lagi adalah lihai dalam politik... berbakat dalam politik, menghindari konfrontasi, jika mungkin. Apa kau mengerti maksudku?"


"Kenapa aku?" tanya Eirik singkat. "Sudah jelas kau tak tertarik pada pesonaku yang tak terhingga."


Eirik mengawasi dengan penuh minat, reaksi dari tangan Eadyth yang gugup. Eadyth berusaha mengendalikan dirinya. Eirik melihat terlalu banyak. Namun pada saat yang bersamaan, Eirik juga tak melihat penampilan Eadyth yang sesungguhnya. Aneh selalu!


Dan komentar usil Eirik tantang "pesona" membuatnya gusar. Apa Eirik mempermainkannya, menganggap lamarannya yang setengah hati sebagai alasan menjadikannya lelucon? Tentu saja begitu.

Dalam benaknya, Eadyth sudah melewati usia untuk tertarik pada sokongan seorang pria.


Cukup! Ia sudah membuang waktunya yang berharga berputar-putar di sekitar masalah genting yang dihadapinya. Eirik bilang ia menghargai kejujuran. Baiklah, Eadyth memberinya sedosis kejujuran dan menunjukkan pada pria itu apa yang menurutnya adalah "pesona."


"Memang benar, aku sama sekali tak tertarik pada tubuhmu yang indah bagaikan dewa," sindir Eadyth pedas. "Tulang-tulang tubuhku pun tak meleleh di depan kehadiranmu yang begitu jantan. Aku bahkan berani taruhan aku bisa bersamamu sejenak tanpa pingsan karena terpesona. Sejujurnya, aku mau saja menikahi anjingmu yang menyebalkan itu, kalau itu bisa memecahkan masalahku." Eadyth melihat ketegangan otot-otot di rahang Eirik yang kaku. Bagus! Sekarang ia mendapat perhatian penuh dari Eirik--tak ada lagi senyuman mengejek atau sindiran terselubung. "Tapi anjingmu sama sekali tak cocok menjadi calon suamiku, kau tahu, karena dia tak punya mata birumu... atau rambut hitammu. Bukankah sudah kusebutkan sebelumnya, itu adalah syarat penting calon suamiku."


"Mata biru! Rambut hitam!" sembur Eirik. "Hai-hati, Woman, kau sudah keterlaluan. Dan kau membuang waktuku dengan membicarakam persyaratan fisik yang bodoh. Aku tak ingin menikah, terutama dengan wanita berlidah tajam dan cerewet sepertimu. Dan ini adalah keputusan akhir." Eirik berdiri seolah-olah pertemuan mereka telah berakhir.


Harapan Eadyth layu oleh kata-kata pedas Eirik, dan tanda bahaya mengaliri tubuhnya. Sekali lagi, ia sudah membiarkan rasa tak sukanya pada pernikahan terpaksa mengaburkan akal sehatnya.


"Ini," katanya cepat, menyurukkan sebuah dokumen ke tangan Eirik. "Mungkin kau bisa mempertimbangkan sebelum kau langsung mencampakkannya begitu saja."


Eirik hanya memandang diam seperti batu, tapi akhirnya melihat dokumen itu, memegangnya dengan jarak satu lengan. Ia memindai kata-kata dan angka sekilas, lalu duduk kembali di kursinya, menghembuskan napas dengan tak sabar.


"Demi St. Cuthbert, apa-apaan ini?"


Eadyth pikir dokumen itu sudah cukup jelas karena kata-kata "Perjanjian Pertunangan" tertera jelas di atas naskahnya yang rapi. Mungkin Eirik tak bisa membaca. "Ini mas kawin yang kutawarkan padamu kalau kau setuju menikah denganku," Eadyth menjelaskan dengan bangga, dagunya terangkat tinggi.


Eirik memandang Eadyth tak percaya untuk waktu yang lama sebelum kembali menekuni isi dokumen itu, membacanya keras-keras, "Lima ratus mancus emas; dua ratus hide tanah yang menyatu dengan Ravenshire di utara; 20 ell sutra baudekin dari Baghdad; 3 sapi, 12 lembu jantan; 15 budak, termasuk seorang tukang batu dan pandai besi; dan 15 ratu lebah, bersama dengan sekitar 100 ribu lebah pekerja dan 10 ribu lebah jantan."

Eirik memandang Eadyth dengan tatapan heran, seringai mengejek berkedut di bibirnya. "Lebah? Apa yang bisa kulakukan dengan lebah?"


"Ini caraku menghasilkan kekayaan, My Lord. Jangan cepat mengejek sesuatu yang tak kau ketahui."


Eirik meletakkan dokumen itu ke meja, lalu mengetukkan jari-jarinya di depan mulut sambil bersandar di kursi dan mengamati Eadyth dengan saksama. Akhirnya ia bicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Ini mengesankan, sungguh... mas kawin yang kau tawarkan. Dan mengejutkan. Aku tak mengira bahwa Hawk's Lair adalah kastil yang kaya."

Eirik tersenyum. Senyum yang manis, pikir Eadyth. Dan Eadyth melihat mata Eirik yang sangat ekspresif berbinar senang. Sungguh, Eadyth bisa mengerti kenapa wanita bertekuk lutut di kaki Eirik jika pria itu menunjukkan pesona mematikan ini ke arah mereka.


"Apa raja tahu tentang kekayaanmu? Tentunya, dewannya akan tertarik untuk menarik pajak yang lebih tinggi dari kekayaanmu."

Eadyth bergidik dengan sindirannya yang telak. "Hawk's Lair adalah lastil kecil, tapi aku menggunakan setiap bagiannya dengan efisien. Setiap kekayaan yang kuperoleh, berasal dari bisnis lebahku. Beberapa tahun terakhir ini sangat menguntungkan karena reputasiku sudah terkenal sebagai pembuat arak, madu dan lilin lebah yang berkualitas. Lilin penanda waktu adalah produksiku yang paling menguntungkan."


"Kau menjualnya sendiri?"


"Ya, benar. Aku punya agen penjual di Jorvik, tapi aku selalu memeriksa orang-orang yang mengurus bisnisku, menurutku itu tindakan yang bijak."


Eirik tergelak dan menggeleng tak percaya.


Eadyth bergidik. "Kau menganggap lucu bisnis yang baik."


"Bukan, aku menganggap kau lucu, My Lady, dan banyak kontradiksimu."

"Kenapa begitu?"

"Kau datang menerjang kastilku, tak di undang, dengan bulu tegak siap berperang seperti seekor landak. Kau menghina anjingku, ale-ku, diriku dan integritasku, tapi kau memintaku untuk menikah denganmu. Kau seorang bangsawan, tapi kau rela mengotori tanganmu dengan berdagang sendiri. Dan..." ia bimbang, tampaknya berpikir ia sudah keterlaluan.

"Dan apa? Jangan berhenti. Mari kita saling bersikap jujur."

"Well, kudengar orang sering menyebutmu sebagai 'Perhiasan Perak dari Northumbria' karena kecantikanmu, tapi aku tak melihatnya."


Eadyth meringis pada penilaian Eirik yang kasar tapi jujur. Sejujurnya ia memang berusaha menyembunyikan kecantikan apa pun yang masih dimilikinya. Seharusnya tak penting apakah Eirik menganggapnya lebih dari sekadar tak menarik, tapi entah kenapa ia peduli. Itu hanya sisa dari harga diri wanitanya, pikir Eadyth. Ia menegakkan bahunya dan bertanya, "Apa ada lagi?"


"Ya, ada," Eirik berhenti sebelum melanjutkan, "Kau bersikap seperti seorang biarawati yang tak pernah mengangkangkan kakinya untuk seorang pria, tapi aku diberitahu bahwa kau liar semasa mudamu. Aku tak bisa membayangkan wanita sepertimu menahan berat badan seorang pria apalagi mengandung anak haram."

Eadyth memejamkan matanya sejenak, mempersiapkan diri mengenai topik pembicaraan akan putranya Jhon. Ia tahu anaknya pasti akan dibicarakan kalau Eirik setuju menikahinya. Lagi pula, anak itu adalah alasan ia harus melangkah menuju ikatan yang tak disukainya ini. Tapi Eadyth berharap ia bisa membahas topik ini pada saat ia merasa siap.


"Ya, aku punya seorang putra," akhirnya Eadyth mengakui, matanya menatap langsung ke arah mata Eirik.

"Apakah Jhon akan menjadi halangan dalam pernikahan ini?"

Eirik menelusuri gobletnya dengan jarinya yang kokoh sambil mengamati Eadyth lebih saksama. Eadyth melihat jari kelingkingnya hilang, terpotong dari dasarnya sepertinya sudah lama sekali, dan ia bertanya-tanya apakah ia kehilangan jari itu dalam pertempuran atau karena kecelakaan. Spekulasinya terusik saat Eirik melanjutkan ucapannya dengan perlahan, dengan kata-kata yang sepertinya dengan hati-hati dipilih.

"Kalau aku bertemu wanita yang ingin kunikahi, seorang anak tak akan menghalangiku. Aku tak membantah bahwa aku lebih suka mempunyai istri seorang gadis perawan, tapi aku tak berhak menilai. Aku juga disebut orang sebagai anak haram, dan aku punya putri kandung di luar pernikahan." Eirik menyeringai malu.

"Sepertinya kita mempunyai ikatan nasib yang sama."

Eadyth menggemeretakkan gigi dan mengepalkan tangannya begitu erat sehingga kuku jarinya menancap ke telapak tangannya yang halus. Ia ingin memberitahu apa yang dipikirkannya tentang fakta bahwa Eirik punya dua anak di luar pernikannya. Bukan salah Eadyth jika putranya terlahir di luar pernikahan. Tapi Eirik, seorang pria tak menikah, bisa memberi legitimasi pada kedua putrinya. Oh, betapa inginnya Eadyth memberitahu pria itu bahwa satu-satunya ikatan yang sama yang mereka miliki adalah pria-pria bejat tak bermoral yang berpikir alat vital mereka adalah hadiah dari Tuhan yang harus dihujamkan ke setiap gadis, yang sama-sama menghiasi jalan hidup mereka. Eirik membuatnya jijik. Eadyth, lebih dari yang lain, tahu betapa wanita bisa menderita dari bercinta di luar pernikahan, bahkan ketika janji-janji yang diumbar begitu banyak.

Tapi ia tak bisa menyuarakan pemikirannya. Tidak sekarang. Ia harus mendapatkan persetujuan pria itu untuk menikah. Begitu mereka menikah, kalau mereka menikah, baru Eirik akan mendapatkan semua pendapatnya tentang caranya mendapatkan dua anak haramnya.

Ia memaksakan suaranya terdengar sopan saat bertanya, "Oh? Dan di mana anak-anakmu?"

"Larise tinggal tak jauh bersama Earl Orm dan keluarganya. Umurnya delapan tahun."

"Apakah dia akan tinggal bersamamu sekarang setelah kau kembali dari Northumbria?"

Eirik mengangkat bahunya tak pasti. "Aku belum tahu. Tergantung apakah aku memutuskan untuk tinggal di Ravenshire."

Tak punya hati? Pikir Eadyth. Teganya pria itu menelantarkan putrinya yang masih kecil untuk diasuh orang lain? Malangnya anak itu! Dan apa tadi yang dikatakannya tentang tak akan tinggal di Ravenshire? Mungkin kepergiannya akan menguntungkan Eadyth kalau mereka manikah. Ia tak ingin ada suami yang merepotkan yang mencampuri kebebasannya.

"Dan anakmu yang lain?"

Sekilas duka menyelimuti mata Eirik. "Emma baru berusia enam tahun. Dia tinggal di panti asuhan di Jorvik, sejak umur tiga tahun. Paman angkatku Selik dan istrinya Rain, adik tiriku, mengasuhnya di sana." Suaranya sedikit pecah oleh emosi.

Kata-katanya membingungkan Eadyth. "Tapi kenapa panti asuhan untuk anak sekecil itu, dan bahkan bukan panti asuhan sesungguhnya?"

Ekspresi Eirik menjadi muram saat ia menjawab dengan terus terang, "Aku sering meninggalkan Ravenshire dalam waktu lama dan tak ada rumah untuk tempat tinggalnya. Lagi pula, Emma tak bisa bicara, dan dia mendapat perawatan khusus dari Rain, seorang tabib yang mahir." Lalu Eirik tampak tegang dan berkata dengan tegas, "Aku tak mau membicarakan Emma."

"Dan ibu mereka? Tidak bisakah dia merewat mereka?"

"Kedua ibu anak itu sudah meninggal."

Kedua? Eirik tak hanya menelantarkan satu, tapi dua wanita. Dasar keparat bejat!

Tetap saja, Eadyth menahan lidahnya untuk melontarkan pendapatnya yang mencerca. Ia harus berhati-hati.
"Mungkin aku bisa menjadi jawaban doamu."

Eirik tersenyum lebar pada pilihan kata-katanya yang buruk, dan Eadyth terpikat, di luar kehendaknya, pada daya tarik kharismatik wajah tampan pria itu.

"Doaku? Kurasa tidak, My Lady."

"Maksudku," Eadyth bersikeras, "adalah kalau kau setuju menikah aku bisa merawat kedua anakmu."

"Dengan segala hormat, kurasa pernikahan terlalu mahal untuk sekadar merawat dua anak."

Sekadar merawat! Eadyth menyingkirkan rasa muaknya dan memandang tunik samite Eirik, yang dulunya berwarna biru safir, kini memudar akibat dimakan usia dan seringnyadipakai, dan hiasan emas di mantel luarnya sudah usang sehingga membentuk pola yang tak bermakna lagi. Sebuah bros naga emas yang indah dengan mata kuning menghiasi bahu dari mantelnya, tapi, secara keseluruhan, pakaian pria itu menunjukkan kemiskinan -- itu, ditambah lagi dengan dinding kastilnya yang mulai runtuh dan kurangnya pelayan untuk merawat kastil yang kotor itu. Lebih jauh lagi, Eadyth tadi melihat beberapa pondok petani yang kosong dan ladang-ladang yang tak lagi ditanami.

Ia memutuskan menggunakan pendekatan lain.

"Kalau boleh aku memberi saran, My Lord Ravenshire, mas kawin yang kutawarkan bisa digunakan untuk memperbaiki keadaan manormu," sarannya, mengabaikan tatapan terkejut di wajah Eirik. "Aku tahu banyak tentang hal ini, kau tahu. Kalau kau tak berminat menjalankan kastilmu dan ingin kembali ke istana... atau... atau di mana pun... aku lebih dari sekadar bersedia mengatur urusanmu. Kau akan punya cukup koin untuk membeli kain baru untuk membuat pakaian yang indah dan mengisi gudang makananmu dan..." kata-katanya terputus saat ia menyadari tatapan tajam Eirik yang membuatnya ciut.

"Dan apa yang akan kulakukan saat kau... mengatur semua ini? Duduk bertopang dagu dan mengawasi kuku-kuku tumbuh?"

Eadyth hanya memandangnya, tak siap dengan respon ketus semacam itu atas tawarannya yang baik hati.

"Lady, kau melanggar batas. Apa kau begitu merendahkanku sehingga kau pikir aku tak mampu mengurus urusanku sendiri? Bagaimana aku akan menghabiskan waktuku? Minum ale? Meniduri setiap wanita yang kulihat?"

Ekspresi Eadyth pasti menampakkan apa yang dipikirkannya, memang, ia memikirkan apa yang dikatakan Eirik, karena Eirik mendengus keras sehingga menarik perhatian beberapa ksatria di aula yang ada di bawah panggung. Dengan menggemeretakkan gigi, Eirik membentak kesal, "Apakah kau akan menemukan cara meniduri dirimu sendiri di malam pernikahan? Karena sepertinya, kau  tak butuh seorang pria."

Dengan sangat kecewa, Eadyth mendesah pasrah. Tampaknya pria itu tak akan menikahinya sekarang.

"Aku tak bermaksud lancang, My Lord. Kau salah dengan mengatakan bahwa aku tak butuh pria. Aku sangat butuh seorang suami. Oh, memang benar aku tak butuh pria di ranjangku. Sejujurnya, kalau kita menikah, kau boleh tetap berhubungan dengan semua kekasih simpananmu, aku tak peduli."

"Berapa tepatnya kau pikir kekasih simpanan yang kupunya?" tanya Eirik dengan takjub, tak lagi marah.

Eadyth mengibaskan tangannya di udara seolah-olah jumlahnya tak penting. "Kau punya reputasi meniduri banyak wanita, dan..."

"Meniduri banyak wanita?" Eirik tercekat. "Bersama-sama?"

"Jangan konyol," kata Eadyth, tapi kemudian wajahnya memerah membayangkan. Tanpa berpikir, ia berkomentar, "Aku tak menyadari bahwa itu bisa dilakukan, lebih dari satu wanita dalam waktu bersamaan."

Tawa Eirik pecah.

Eadyth mengkerut dicemooh seperti itu dan berusaha melanjutkan. "Aku tahu kau punya kekasih simpanan di Jorvik, dan, kalau ada lagi yang lain, itu tak masalah bagiku."

Eirik menaikkan satu alisnya terkejut. "Kau kenal Asa? Mata-matamu bekerja dengan baik, My Lady."

Eadyth mengangkat dagunya. "Itu tak penting. Aku tahu sekarang kau tak akan menikahiku. Tampaknya aku harus segera mulai mencari pria bangsawan yang lain dengan rambut hitam dan mata biru."

"Sungguh, kau membuatku tertarik, My Lady. Tolong jelaskan. Kenapa syarat itu yang dibutuhkan?"

Eadyth mulai ragu sebelum membicarakan putranya, Jhon dengan Eirik, tapi, karena peluangnya untuk menikah dengan Eirik kini sudah pupus, ia pikir Eirik mungkin bisa memberinya saran calon lain.

"Ayah putraku berubah pikiran setelah bertahun-tahun ini tidak mengakui Jhon sebagai anak. Ia mengajukan petisi pada Witan untuk memperoleh hak asuh atas Jhon untuk tujuan jahatnya sendiri. Aku perlu suami untuk melindungiku dalam pertarunganku. Dan"-- Eadyth kembali ragu, mempertanyakan sebanyak apa informasi yang bisa dipercayakannya pada Eirik--"dan kalau pria itu bersumpah dia adalah ayah Jhon itu akan membantuku, terutama jika dia memiliki rambut hitam dan mata biru pucat, seperti anakku. Seperti ayah kandungnya."

Eirik menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa terbahak-bahak. Ketika tawanya akhirnya berhenti, ia menggeleng, takjub pada pemikiran Eadyth yang licik. "Sepertinya kau sudah memikirkan semuanya. Tapi apa yang membuatmu berpikir dewan raja akan mengabulkan permintaan yang begitu terlambat untuk hak asuh dari ayah kandung?"

Eadyth mencondongkan tubuhnya lebih dekat untuk menjelaskan. "King Edmund mendukungku di Witan melawan... melawan laki-laki mengerikan itu selama bertahun-tahun ini, terutama karena menghormati ayahku yang melayaninya dengan setia, seperti yang dilakukan ayahku pada kakaknya King Athelstan sebelumnya. Luka yang di derita ayahku di pertempuran Leicester, saat mengabdi pada Edmund, membawa kepada kematiannya. Posisiku melemah setelah kematian ayahku."

"Edmund lelaki yang baik. Dia tak akan mengingkari janjinya untuk melindungi."

Eadyth mengangkat satu tangannya untuk mengindikasikan ada hal lain lagi. "Seperti yang kau tahu banyak usaha yang dilancarkan untuk membunuh raja, dan Steven, iblis keparat itu, menjilat Edred, yang akan menjadi ahli waris karena anak-anak Edmund yang masih begitu muda. Tak ada keraguan bahwa Steven akan sukses kalau Edred naik takhta."

Eadyth mendesah dan bersandar di kursi. Memejamkan matanya dengan lelah. Ia lelah setengah mati dengan semua gejolak ini, dan sekarang ia harus mulai mencari dari awal lagi. Setelah beberapa saat, Eadyth mulai menyadari keheningan Eirik yang janggal. Ketika Eadyth membuka matanya, ekspresi wajah Eirik menggelap karena amarah membuat Eadyth terpana, semua emosi itu tampaknya tertuju padanya.

"App-aa?" Eadyth terkesiap saat Eirik berdiri seketika tanpa peringatan, dan menyambar lengannya, mengangkatnya dari kursi dan dari atas lantai sehingga ia berhadapan dengannya, hidung dengan hidung, dengan kedua lengannya terpaku di kedua sisi  tubuhnya.

"Ayah dari anakmu... apa mungkin maksudmu si nithing, Steven of Gravely?" tanyanya dengan suara dingin.

Eadyth mengangguk, menyadari ia pasti tidak sengaja menyebutkan nama Steven. Dan ia setuju bahwa Steven pantas mendapatkan penghinaan paling rendah, nithing - makhluk yang paling rendah dari semua manusia.

"Kau mengangkangkan kakimu untuk ular licik itu dan berani mempermasalahkan karakterku?"

Eirik mengguncangnya begitu keras hingga giginya gemeretak. Eadyth tahu ia akan memar-memar besok. Eadyth menatap mata es Eirik. sikap Eirik yang meledak-ledak menakutkannya, tapi ia tak mau membela dirinya di depan pria menyebalkan ini. Sejujurnya, hanya seorang wanita yang bisa mengerti apa yang dilakukannya dengan Steven dan kenapa penghianatan pria itu melukainya begitu dalam.

Akhirnya, Eirik melepaskan Eadyth. Sambil mengibaskan satu jarinya di depan wajah Eadyth, Eirik memerintah dengan suara yang tidak bisa di bantah, "Kau akan tinggal di kastil ini malam ini. Kita akan bicara lebih lanjut pagi besok saat aku punya waktu memikirkan semua yang kau katakan padaku. Astaga!Steven of Gravely! Aku bahkan tak bisa mensyukuri kebetulan ini."

"Aku mengerti." Benak Eadyth dipenuhi kebingungan.

"Kau tak perlu mengerti, Woman," katanya dengan masam, "tapi ketahuilah, sebaiknya kau memang sudah menyiapkan perjanjian pernikahan. Dan semoga Tuhan dan semua orang suci mengampunimu. Karena aku tidak."



Lanjut
Sinopsis


Kamis, 05 Oktober 2017

The Tarnished Lady (sinopsis)


The Tarnished Lady
(Permata Tersembunyi)
Oleh Sandra Hill


Diterjemahkan Dari The Tarnished Lady
Terbitan Avon Books, New York

Hak cipta Terjemahan Dastan Books




Sinopsis


Lady Eadyth of Hawk's Lair ternoda karena kebodohan masa lalu. Ia melahirkan seorang anak haram hasil hubungannya dengan Steven of Gravely, yang kemudian menolak menikahinya. Selang beberapa tahun, Steven membutuhkan putranya untuk membantunya mendapatkan warisan anak itu. Eadyth yang sangat membenci Steven rela melakukan segala cara untuk mencegah Steven mendapatkan hak asuh atas putranya, bahkan jika ia harus menikah dengan seorang pria yang tidak dikenalnya untuk melindunginya.


Sementara itu, Eirik of Ravenshire tidak pernah menduga kalau ia akan mendapat lamaran dari seorang perempuan tua yang ternyata adalah Eadyth yang menyamar. Eirik yang jelas-jelas tidak membutuhkan istri, apalagi yang sudah tua, menolak lamaran itu. Tapi, ketika Eidyth menjelaskan situasinya, Eirik menerimanya karena Steven adalah musuh bebuyutannya. Setelah menikah, Eirik tidak mampu memahami ketertarikannya terhadap Eadyth yang menyamar. Ia menyadari kalau ia tidak mampu meredam hasrat yang menariknya ke istrinya itu. Di lain pihak, Eadyth tidak menduga kalau ada pria selembut Eirik, meskipun di dalam hatinya, ia masih trauma dengan perlakuan Steven.

Berhasilkah Eadyth mencegah Steven merebut hak asuh atas anaknya? Bagaimana sikap Eirik setelah mengetahui penyamaran Eadyth? Dan apakah yang akan terjadi kemudian pada hubungan antara Eirik dan Eadyth?



The Tarnished Lady 1
The Tarnished Lady 2
The Tarnished Lady 3
The Tarnished Lady 4
The Tarnished Lady 5
The Tarnished Lady 6
The Tarnished Lady 7
The Tarnishe Lady 8
The Tarnished Lady 9
The Tarnished Lady 10
The Tarnished Lady 11
The Tarnished Lady 12
The Tarnished Lady 13
#sampaisiniaja