Home

Senin, 15 Januari 2018

Glorious Angel 5



Matahari telah terbenam saat Angela tiba di kota. Ia telah berjalan sepanjang sore, tetap dekat dengan sungai agar tidak bertemu dengan siapa pun. Ia menyukai sungai. Sungai itu telah membawanya dan ayahnya sampai ke Montgomery tahun lalu di bulan Februari untuk menyaksikan Jefferson Davis diambil sumpahnya sebagai presiden pertama Konfederasi. Angela belum pernah sejauh itu dari rumah. Saat itu sangat menyenangkan, namun menjadi awal ketidakbahagiaan ayahnya selanjutnya.

William Sherington orang Selatan sejati. Lahir dan dibesarkan di Selatan, dan ia sangat ingin bisa berjuang untuk tanah kelahirannya. Namun ia terlalu tua, juga seorang pemabuk. Militer tidak menginginkannya.

William mulai munum lebih banyak lagi setelah penolakkan tersebut, dan benar-benar mengutuk orang-orang Yankee dengan rasa benci. Ia tak pernah berseteru dengan orang Utara sebelumnya, namun sekarang membenci mereka dengan perasaan mendalam. Angela merasa bahwa ia juga harus membenci mereka, walau ia tak tahu pasti mengapa. Ia tak mengerti bagaimana orang yang dulunya adalah teman, sekarang bisa saling membunuh. Hal itu sama sekali tidak masuk akal.

Angela benci perang. Ia tak peduli bagaimana perang tersebut bisa terjadi dan apakah masih berlangsung. Ia hanya tahu bahwa karena perang, ia tak lagi mencintai Bradford Maitland. Sekarang ia membenci Bradford. Apalagi yang bisa dilakukannya selain membenci pria itu? Hannah secara tidak sengaja menceritakan sebuah rahasia -bahwa Bradford tidak berada di Eropa seperti yang dikira semua orang, melainkan bertempur untuk membela Union! Betapa gelisahnya Hannah sampai Angela berjanji untuk tetap menjaga rahasia tersebut. Bradford tidak akan merasakan dampak buruknya karena tidak berada di sini. Jacob-lah yang akan menanggung akibatnya, dan ia tak bisa melakukannya. Namun Angela membenci Bradford sekarang. Dan ia lebih benci pada kenyataan bahwa ia harus membenci Bradford Maitland.

Saat Angela memasuki kota, ia sadar bahwa ayahnya sekarang mungkin sudah sampai di rumah. Tapi, mungkin saja tidak. Dan setelah apa yang terjadi hari ini, ia tak ingin sendirian di rumah pada malam hari. Ia tidak keberatan menyusuri sungai malam-malam selama ia memegang senapannya.

Langit sudah berwarna jingga gelap sekarang, dan lampu jalan di kota sudah dinyalakan. Angela tahu di mana ia harus mencari ayahnya. Ada sebuah bar dan kedai minum yang kerap dikunjungi ayahnya jika pergi ke kota.

Angela menuju gerbang depan. Ia mengenakan gaun terbarunya, gaun katun berwarna kuning muda. Hannah mengatakan padanya bahwa seorang gadis tidak boleh tampil di depan umum dengan mengenakan celana ketat selutut. Gaun itu sudah kekecilan -mengetat dibagian dadanya dan terlalu pendek- namun ia tak peduli.

Angela mulai menyusuri jalanan sambil mencari-cari kereta ayahnya dan si tua Sarah. Ia bersembunyi di lorong yang gelap, berusaha menghindari para pemabuk dan gelandangan. Satu jam sudah berlalu, dan tak lama, satu jam lagi.

Ia sudah kelelahan saat sampai di sebuah bagian tak terurus dari dermaga, harapannya yang terakhir. Ada sebuah kedai minum di daerah ini dan ia tahu bahwa ayahnya pernah ke sini sebelumnya. Di ujung jalan, ia melihat kereta yang mirip milik ayahnya, namun ia tak yakin. ia mulai lari menuju kereta tersebut, harapan baru muncul. Namun Angela terhenti tiba-tiba saat sebuah tangan yang kuat menjangkau lengannya.

Senapannya lepas dari tangannya dan ia mulai berteriak. Ia menutup rapat mulutnya saat ia melihat Bobo Doleron. Ia sudah lama tidak melihat Bobo sejak musim dingin yang lalu. Bobo sudah semakin besar. Tinggi anak itu sekarang menjulang di atas tubuh Angela yang mungil. Ada janggut di dagu Bobo yang persegi, dan matanya yang abu-abu di bawah alisnya yang tipis melihat ke arah Angela sambil tertawa.

"Mau ke mana kau terburu-buru, Angie? Apa kau akan menembak seseorang dengan senapanmu ini?"

Bobo tidak sendirian, dan Angela mengerang saat tubuh yang lebih besar itu membungkuk dan merampas senapannya.

"Senapan ini belum ditembakkan, Bobo," anak laki-laki itu berkata. "Tapi yang pasti senapan ini sangat cantik." Ia memandang ke atas lalu menyeringai saat matanya meneliti Angela. "Gadis ini juga sama."

"Ya, kurasa begitu," Bobo berkata sambil menggumam. "Gadis ini Angela Sherrington." Sambil menyebutkan nama Angela, jari-jari Bobo mencengkram lengan Angela, membuatnya meringis kesakitan. "Angela juga dari desa seperti kita, Seth, tapi dia mengira dia lebih baik daripada kita. Bukan begitu, Angie?"

"Aku tak pernah beranggapan seperti itu, Bobo Deleron, dan kau tahu itu."

"Memang tidak, namun kau jelas bersikap seperti itu."

Nada suara Bobo jelas sudah berubah marah, membuat Angela tidak tenang. Ia mencium bau minuman keras dari mulut Bobo, dan ia ingat terakhir kalinya ia berurusan dengan anak itu. Ia harus menendang selangkangan Bobo untuk kabur waktu itu, dan Bobo bersumpah akan membalas perbuatannya itu.

Sekarang Angela semakin sadar bahwa langit sudah semakin gelap dan di sekeliling mereka tidak ada orang.

"Aku... aku akan menemui ayahku, Bobo," Angela berkata dengan suara yang lebih mirip sebuah rintihan. "Jadi sebaiknya kau lepaskan aku sekarang."

"Di mana ayahmu?"

"Di dekat sana."

Ia mengarahkan lengannya yang tak dicengkram ke arah kereta yang tadi ditujunya, namun sekarang ia sudah lebih dekat dan sadar ayahnya bahkan tidak ada di sana.

"Menurutku ayahmu ada di kedai minum Nina dan dia akan sibuk untuk sementara waktu." Anak laki-laki lebih tua sekarang cekikikan . "Mengapa kau tidak di sini saja dan menemani kami, Sayang?"

"Jika itu maksud kalian, sebaiknya aku mencari ayahku lalu pulang." Angela mencoba meninggikan nada suaranya, tapi ia tahu ia terdengar ketakutan seperti yang dirasakannya.

Bobo telah jauh lebih besar. Usianya setidaknya tujuh belas tahun sekarang. Bobo sangat marah -dan tidak sendirian.

Angela merasa harus lari."Bisakah aku mengambil senapanku kembali sekarang? Aku harus segera berangkat."

Ia mulai menggapai senapannya, namun Bobo kembali menariknya. "Bagaimana menurutmu, Seth?"

Seth menyeringai. "Kurasa, senapan sebagus ini seharusnya kusimpan. Ya, benar. sebaiknya aku ambil senapan ini."

Mata Angela terbelalak ketakutan. "Kau tak bisa melakukannya! Aku dan ayahku akan kelaparan jika tanpa senapan!"

Seth tergelak. "Kau memang pandai melebih-lebihkan, gadis manis. Jika memang kau punya ayah yang bisa minum di kedai Nina, kau takkan mungkin kelaparan."

Angela menoleh ke arah Bobo dengan mata yang memohon. "Bobo, tolonglah! Katakan padanya kami tak bisa hidup tanpa senapan. Kami tak punya uang untuk membeli senapan baru."

Namun Bobo lebih dari sekedar mabuk. "Tutup mulutmu, Angie. Dia boleh mengambil senapanmu dan dirimu juga begitu aku selesai danganmu."

Tapi masih ada kesempatan. Bobo memegangnya, dan anak itu mabuk. Angela menunggu sampai Bobo mulai bergerak, kemudian dengan gerakan cepat, ia mengentakkan lengannya hingga bebas dan kemudian lari. Namun Bobo lebih capat. Jari-jari Bobo menjangkau rambut Angela dan menariknya ke belakang hingga terasa sakit.

"Lepaskan aku!" teriaknya, amarahnya akhirnya muncul. "Lepaskan aku, dasar kau pengecut hina! Aku akan..."

Tawa Bobo menghentikannya. "Nah, itu baru Angela si tukang marah yang dulu kukenal. Aku tak mengenali gadis yang sebelumnya memohon-mohon."

"Dasar kau anak babi! Lepaskan rambutku!" Angela berteriak, dan saat tidak berhasil, ia mengayunkan tinjunya.

Namun Bobo menangkap lengannya dan memelintirnya ke belakang. "Kau tidak akan membuat hidungku berdarah lagi, Angie." Ia menarik rambut Angela ke belakang dan memaksa Angela untuk menatapnya. "Kau tidak akan melakukan apa-apa kecuali ditiduri. Seharusnya kau melakukannya pada musim dingin lalu, tapi kau berhasil melarikan diri dariku, bukan?"

Angela mulai berteriak, namun Bobo melepaskan rambutnya dan mendepat mulutnya. Tak lama, Seth datang dari arah belakang Angela, mengangkat roknya, lalu menggerakkan tangannya yang berkeringat ke bagian di antara paha Angela.

"Apa kita hanya akan berdiri di sini dan berbicara, atau akan memulai aksi kita?" Seth bertanya.

"Menjauh darinya, Seth," Bobo memperingatkan dengan dingin. "Aku harus menyeimbangkan skorku dulu dengannya. Kau bisa mendapatkan apa pun yang tersisa."

Seth mundur. "Begini, Bobo. Kau yakin ada lagi yang tersisa dari gadis ini yang patut di coba?"

"Dia mungkin agak sedikit berantakan, tapi masih cukup baik. Angie punya sesuatu yang istimewa." Bobo tergelak kemudian menekan Angie ke tubuhnya. "Dia tidak akan berbaring dan membuka kakinya untuk kita. Dia akan bertahan habis-habisan. Namun akhirnya, dia akan mendapatkan apa yang dia cari di sini."

"Aku tidak yakin, Bobo." Seth menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa memukuli gadis yang tidak berbuat apa-apa padaku."

Bobo membalikkan tubuh Angela dengan tangannya hingga menghadap Seth, sambil tetap membekap mulut Angela erat-erat. Sekarang tangannya yang lain menutupi salah satu dada Angela dan meremasnya keras-keras, hingga Angela menjerit.

"Lihat dia," Bobo berkata kepada Seth. Kau menginginkannya, bukan? Dan bukan kau yang akan menyakitinya... aku yang akan melakukannya. Tidak lama kau akan tahu betapa liarnya gadis ini. Banyak anak laki-laki yang akhirnya senang bahwa dia kalah dalam pertarungan."

Bobo menyeret Angela ke lorong sempit yang berjarak hanya beberapa langkah. Angela mencoba membebaskan dirinya untuk terakhir kalinya. Ia membuka mulutnya dan membenamkan giginya ke bagian lunak tangan Bobo. Bobo berteriak kesakitan dan melepaskan Angela yang segera lari ke arah jalan, langsung menuju lengan Seth. Ia memberontak liar agar bisa terlepas dari lengan kuat yang memeganginya.

"Tenanglah, aku tak akan menyakitimu."

Itu bukan suara Seth. Melalui matanya yang dipenuhi air, Angela melihat pria yang memeganginya mengenakan pakaian mahal, yang pasti bukan baju lusuh yang dikenakan Seth. Akhirnya pertolongan datang! Angela mengeluarkan air mata lagi dan membenamkan wajahnya di dada lebar pria itu, lalu terkulai.

"Hei, Sir. Aku berterima kasih karena kau telah menghentikan gadis ini, tapi aku akan mengambilnya lagi darimu sekarang." Bobo berteriak.

"Apa yang ditakuti gadis ini?" pria itu bertanya dengan tenang. Satu lengannya memegangi Angela, dan lengan satu lagi membelai rambut Angela untuk menenangkannya, karena Angela mulai gemetaran saat mendengar suara Bobo.

"Ah, sial. Kami hanya bersenang-senang sedikit, kemudian dia mulai menggigitku!"

"Kenapa?"

Angela mundur dan memandang wajah penyelamatnya siap untuk menjelaskan. Namun kata-katanya tersangkut di tenggorokannya saat ia menatap mata coklat emas terang yang menatapnya dengan cermat. Walau saat itu gelap, Angela masih mengenali mata itu.

"Kau terlihat sangat ketakutan. Kau selamat sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu."

Angela tidak bisa bicara. Ia tak pernah sedekat ini dengan Bradford Maitland.

Bradford tersenyum. "Ada masalah apa ini? Apa kau sungguh-sungguh menggigit anak laki-laki itu?"

Angela berhasil mengeluarkan suara, "Aku terpaksa. Hanya itu satu-satunya cara agar bisa lepas darinya."

"Jangan bohong lagi," Bobo memperingatkan dengan nada suara mengancam.

Angela mengayunkan badannya untuk bisa melihat ke arah Bobo. Matanya memancarkan kemarahan sekarang. "Tutup mulutmu, Bobo Deleron! Aku tidak dalam tahananmu lagi dan aku tidak berbohong sepertimu." Angela membalikkan badannya menghadap Bradford yang memancarkan sinar kekhawatiran melelehkan amarahnya. Ia mulai menagis. "Dia... dia mau memperkosa aku. Keduanya akan melakukan itu. Yang satunya mau merebut senapan ayahku. Kami bisa kelaparan jika tak punya senapan."

Bradford menarik Angela ke dekatnya, tapi di saat bersamaan ia memasukkan tangannya ke mantelnya dan mengambil sepucuk pistol. Ia mengarahkannya pada Seth, yang matanya membelalak ketakutan.

"Jatuhkan senapan itu," Bradford berkata dengan suara lembut namun mematikan. "Setelah itu menjauh darinya."

Seth melakukan apa yang disuruh, namun rasa malu Bobo lebih menguasainya daripada rasa takutnya. "Seharusnya kau tidak melibatkan diri, Sir. Gadis ini hanya sampah  berkulit putih dan sama sekali bukan urusanmu. Lagi pula, dia bohong. Kami tidak akan menyakitinya."

"Sebaiknya biar Sheriff saja yang memutuskan," Bradford mengusulkan dengan tenang.

"Itu tidak perlu," Bobo dengan cepat mundur. "Tidak ada yang tersakiti."

"Menurutku gadis ini tidak setuju," sahut Bradford. "Bagaimana menurutmu, Sayang? Apa kita sebaiknya melapor ke sheriff?"

Angela berbisik di dada Bradford, "Aku tidak mau merepotkanmu lagi." Lalu ia menambahkan dengan tegas, "Namun kau bisa bilang pada Bobo jika dia mendekatiku lagi, aku akan meledakkan kepalanya!"

Bradford tertawa keras, lebih ditujukan kepada Bobo dan Seth.

"Kalian telah mendengarnya." Bradford tergelak. "Sebaiknya kalian segera pergi sebelum dia sadar senapannya mudah dijangkau dan menyesal telah begitu mudah melepaskan kalian kali ini untuk apa yang..." ia berhenti sebelum mengakhirinya. "...tidak kalian lakukan."

Bobo tidak butuh waktu lama untuk segera pergi, dan Seth dengan cepat mengikuti.

Angela tidak berpikir untuk balas dendam. Dengan perginya Bobo dan Seth, jalan itu terasa sangat hening. Satu-satunya suara yang bisa didengarnya adalah debar jantungnya. Atau apakah itu debar jantung Bradford? Ia merasa sangat tidak nyaman hingga hanya ingin berdiri di sini dan bersandar di tubuh Bradford Maitland yang tinggi dan kokoh sepanjang malam. Tapi ia tahu ia tak bisa melakukannya.

Ia mundur, siap untuk berterima kasih, namun Bradford melihatnya dengan perasaan takjub dan penasaran. Angela sekali lagi merasa lidahnya tercekat.

"Bukan kebiasaanku menyelamatkan gadis yang ketakutan," Bradford mengatakannya dengan serius. "Biasanya mereka yang harus diselamatkan dariku. Jadi, mengapa kau tidak berterima kasih padaku karena telah menyelamatkanmu dari musibah yang lebih buruk daripada kematian? Kau masih perawan, kan?" ia bertanya terus terang.

Pertanyaan Bradford membuat Angela tersentak dari diamnya, "Ya, dan aku memang berterima kasih padamu."

"Itu lebih baik. Siapa namamu?"

"Angela," Angela menjawab perlahan, masih merasa sulit untuk berbicara dengan Bradford.

"Well, Angela, bukankah kau sudah tahu bahwa tidak aman keluar sendirian, terutama di bagian kota yang ini?"

"Aku... aku harus menemukan ayahku."

"Apa kau telah menemukannya?"

"Belum, kurasa dia sudah pulang sekarang," Angela menjawab dengan lebih mudah sekarang.

"Yah, kurasa sebaiknya kau juga pulang," kata Bradford, lalu mengembalikan senapan Angela. "Aku sangat senang bisa membantumu, Angela."

Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali berbalik dan mulai menyusuri sungai lagi. Namun tak lama, Bradford menyusulnya.

"Akan kutemani kau sampai rumah," Bradford menawarkan dengan suara enggan, seperti orang yang terpaksa dan tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya.

"Aku bisa sendiri, Mr. Maitland," Angela menjawab, dagunya terangkat dengan gaya angkuh.

Bradford menyeringai. "Aku yakin kau bisa, Angel," ia mengatakannya dengan suara yang lebih lembut. "Tapi aku merasa bertanggung jawab padamu sekarang."

"Namaku... namaku Angela," ia mengatakannya dengan suara tenang yang aneh.

"Ya, aku tahu. Nah, sekarang di mana kau tinggal?" Bradford bertanya dengan sabar, matanya menghangat.

Hati Angela bergemuruh. Bradford memanggilnya Angel dengan sengaja!

"Aku tinggal di sisi lain Golden Oaks."

"Demi Tuhan, kenapa kau tidak bilang sejak awal? Ayo." Bradford memegang lengan Angela dan mengarahkannya kembali ke jalanan menuju kereta. "Aku sedang dalam perjalanan ke Golden Oaks sebelum kau... bertemu denganku."

Bradford Maitland tidak bicara lagi sampai mereka meninggalkan kota dan menyusuri jalan di tepi sungai dengan kecepatan sedang. Jalan itu sudah terabaikan. Bulan bersembunyi di balik awan tebal kelabu yang mengancam akan menurunkan hujan. Kegelapan menyelimuti mereka saat mereka melaju pulang.

"Kau akan berjalan sejauh ini?" Bradford bertanya dengan suara tidak percaya.

"Jalannya tidak begitu jauh."

"Aku tahu seberapa jauh jalan ini, Angela. Aku pernah melewatinya sebelumnya, dan menghabiskan hampir seharian. Kau mungkin baru sampai besok pagi."

"Aku akan bisa melakukannya."

Bradford tertawa mendengar jawaban Angela yang penuh keyakinan, kemudian bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu namaku?"

"Yah, kau pasti memperkenalkan dirimu tadi," ia menjawab dengan gugup.

"Tidak, aku tidak melakukannya. Kau kenal aku, kan?"

"Ya," ia menjawab sambil berbisik, kemudian menambahkan, "Bagaimana kau bisa ada di Alabama? Kau tidak sedang memata-matai kami untuk pihak Utara, kan?"

Angela hampir terpelanting dari kursinya saat Bradford menghentikan kereta tiba-tiba. Pria itu kemudian merenggut lengan Angela dan membalikkan badannya hingga mereka saling berhadapan.

"Memata-matai? Dari mana kau mendapat kesan seperti itu?"

Bradford Maitland terdengar sangat marah hingga Angela terlalu takut untuk menjawab. Angela merasa ingin memotong lidahnya saat itu juga karena telah membuat Bradford marah.

"Jawab aku!" sekarang Bradford menuntut. "Kenapa kau mempertanyakan kesetiaanku?"

"Aku tidak mempertanyakan kesetiaanmu, Mr. maitland," Angela berkata lemah. "Aku tahu kau tergabung dengan militer Union tahun lalu." Angela tahu tubuh Bradford mengeras dan dengan cepat ia menambahkan. "Saat pertama kali aku mendengarnya, aku sangat terkejut, tapi sekarang bagiku itu tidak masalah lagi."

"Dari mana kau mendengar hal ini?"

"Hannah yang mengatakannya padaku. Dia tidak sengaja, hal itu keluar begitu saja."

"Hannah?"

"Dari Golden Oaks. Hannah itu teman terdekatku. Kau tidak akan memarahinya karena telah memberitahuku, kan? Aku tidak mengatakannya pada orang lain. Dan aku tidak akan pernah begitu. Maksudku, aku tidak merasa perlu. Perang ini sangat gila bagiku. Kita bertarung melawan saudara kita sendiri... ini gila. Kau sudah menolongku malam ini, dan aku tidak akan pernah berniat mencelakakanmu. Aku tidak akan bilang pada siapa pun bahwa kau bergabung dengan pasukan Yankee... aku bersumpah."

"Kau tidak bisa berhenti jika sudah bicara, bukan begitu, Angela?" Nada suara Bradford lebih ringan sekarang dan lengan Angela sudah dilepaskan.

"Aku hanya ingin kau tahu bahwa rahasiamu aman padaku. Kau memercayaiku, kan?" ia memohon.

Bradford mengentak tali kekangnya dan mereka bergerak lagi. "Aku terpaksa memercayaimu. Kau pikir aku ini pengkhianat?"

"Aku tak mengerti mengapa kau harus pergi dan bergabung dengan tentara Bluecoat," ia menjawab dengan tegas, kemudian wajahnya berubah menjadi pink. Untungnya, saat itu gelap hingga Bradford tidak bisa melihatnya. "Tapi kurasa itu urusanmu."

Bradford kembali merasa takjub. "Sebenarnya sederhana. Aku bukan orang Selatan. Keluargaku hanya tinggal di Selatan selama lima belas tahun terakhir ini. Sebelumnya aku tinggal di Utara, dan pernah juga di Barat. Bahkan setelah ayah kami membeli Golden oaks dan memindahkan keluarga kami ke sini, aku masih menghabiskan tahun-tahun sesudahnya di Utara, bersekolah atau mengurus bisnis ayahku. Aku tidak percaya pada perbudakan. Lebih jauh lagi, aku tidak percaya pada bangsa yang terpecah belah. Jika negara-negara bagian terus memisahkan diri dan membentuk negara baru, apa yang akan menghentikan negara bagian lain untuk tidak melakukannya? Kita akan seperti Eropa. itulah kenapa kesetiaanku kuperuntukkan bagi utara dan Union."

"Tapi adikmu bergabung dengan Konfederasi," Angela mengingatkan.

"Zachary seorang munafik," sergah Bradford, suaranya tiba-tiba dingin. "Dia bergabung dengan Konfederasi entah karena alasan apa, dan itu tidak ada hubungannya dengan kesetiaan."

"Sudah berapa lama kau kembali? Maksudku..."

Bradford tergelak. "Kau sungguh ingin tahu mengapa aku berada di sini, kan?" katanya, nada suaranya sudah lebih ramah. "Yah, ini bukan rahasia militer yang besar. Aku datang bersama pasukan penerobos blokade hari ini, jika kau tahu. Saat ini, aku sudah tidak bergabung dengan militer. Aku terluka saat pertempuran Tujuh Hari di Virginia dan diberhentikan karenanya."

"Tapi sekarang kau sudah sehat?" Angela bertanya dengan cemas.

"Ya. Dadaku terluka dan mereka menganggap aku takkan bisa sembuh. Tapi seperti yang kau lihat, aku mengelabui dokter-dokter militer itu."

Angela tertawa. "Aku senang mendengarnya."

"Tapi," Bradford menambahkan dengan serius, "aku akan bergabung dengan mereka lagi, begitu komandanku yang dulu diganti. Kami tak pernah bertemu langsung. Malahan, aku lebih frustrasi karena komandanku daripada karena musuh. Sementara itu, kau bisa menganggap aku sedang liburan. Wah, aku memberitahumu lebih daripada yang seharusnya. Kau punya cara untuk membuatku bercerita. Angel."

Angela jatuh cinta pada Bradford Maitland sekali lagi. Ini hari paling bahagia dalam hidupnya.

"Sudah cukup membicarakan diriku," cetus Bradford. "Bagaimana dengan keluargamu?"

"Keluargaku? Yang ada hanya aku dan ayahku."

"Siapa nama ayahmu?"

"William Sherrington."

Angela tak bisa melihat wajah Bradford yang membeku di antara alisnya yang berkerut. "Jika begitu, ibumu Carissa Stewart?"

"Itu namanya sebelum menikahi ayahku," Angela menjawab dengan terkejut. "Tapi bagaimana kau bisa tahu soal itu?"

"Jadi, kau memang putri Charissa Stewart," gumam Bradford dengan suara aneh tanpa memedulikan pertanyaan Angela.

"apa kau kenal ibuku?"

"Tidak, untungnya aku tidak pernah bertemu... wanita itu," sahut Bradford, lalu ia terdiam.

Angela menatap tubuh besar Bradford dalam kegelapan. Apa maksudnya "untungnya?" Apakah ia sungguh-sungguh mendengar nada marah dalam suara Bradford? Tidak, itu pasti hanya imajinasinya.

Angela memejamkan matanya, bergoyang-goyang karena guncangan kereta, dan memutar kembali ingatannya saat pertama kali bertemu Bradford Maitland. Saat itu tiga tahun yang lalu. Usianya baru sebelas tahun, sedangkan Bradford sekitar dua puluh tahun. Bradford sedang liburan musim panas. Angela sedang ke kota bersama ayahnya untuk menjual hasil panen jagung, namun ia kelelahan menunggu di sekitar pasar dan memutuskan untuk pulang. Malam sebelumnya hujan lebat, dan sambil berlari di sepanjang jalan dekat sungai, ia bermain melompati lumpur.

Kemudian Bradford muncul dengan kuda jantan warna hitam, menuju kota. Pria itu terlihat seperti malaikat penyelamat, berpakaian putih-putih, duduk dengan tegap di atas kuda hitam yang perkasa. Saat melewati Angela, kuda Bradford menyiprati bagian depan gaun kuningnya. Bradford menghentikan kudanya dan menghampiri Angela. Ia melemparkan sekeping koin emas, minta maaf, menyuruh Angela membeli gaun baru, kemudian mengentak kudanya lagi.

Sejak saat ia menatap wajah Bradford yang tampan, Angela sudah jatuh cinta. Ia sering mengatakan pada dirinya sendiri betapa bodohnya mengira dirinya jatuh cinta, karena ia sama sekali tidak tahu apa cinta itu. Mungkin ia hanya mengagumi Bradford. Namun apa pun itu, lebih mudah menyebutnya cinta.

Ia masih menyimpan koin emas itu. Ia telah membuat lubang kecil dan memohon pada ayahnya untuk membelikannya rantai panjang agar bisa memakai koin itu di leher. Sekarang kalung koin itu melilit lehernya selama tiga tahun ini. Ia terus mengenakannya bahka sesudah ia memutuskan membenci Bradford lagi sekarang. Ia takkan bisa membenci pria itu lagi.

Mereka tiba di rumahnya terlalu cepat. Setelah bradford pergi, ia lama berdiri di teras, mengingat-ingat kata-kata pria itu.

"Jaga dirimu Angel. Kau sudah terlalu tua untuk terlibat dalam masalah." Sambil mengentak tali kekang kudanya, Bradford pun pergi.

"Apa itu kau, Angela?"

Angela membeku saat William Sherrington mendekati pintu.

"Ini aku, Pa."

"Kau dari mana?"

"Pergi mencarimu!" ia berteriak marah, walau sebenarnya ia merasa lega karena ayahnya telah kembali ke rumah. "Dan jika kau semalam pulang, aku tidak perlu mencarimu."

"Aku sangat menyesal, Angie," sahut ayahnya dengan suara yang sedikit ketakutan. "Ini takkan terjadi lagi. Apa Billy Anderson yang tadi mengantarmu pulang?"

"Oh Tuhan, tidak!" ia berteriak. "Yang mengantarku Bradford Maitland."

"Yah, dia sangat baik. Dan aku berjanji, Angie, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian lagi. Jika aku pergi ke kota, kau akan ikut denganku. aku tahu akhir-akhir ini aku bukan ayah yang baik bagimu, tapi mulai sekarang aku akan berubah. Aku berjanji."

Ayahnya hampir menangis, dan amarah Angela telah hilang. "Sudahlah, Pa. Kau tahu aku tidak menginginkan ayah lain kecuali dirimu." Ia mendekati ayahnya dan memeluk ayahnya erat-erat. "Sekarang tidurlah. Kita harus menggarap ladang kita besok pagi."



Next
Back
Synopsis


Kamis, 11 Januari 2018

The Tarnished Lady 3

Apakah ia telah membuat perjanjian dengan iblis?

Kata-kata Eirik tentang kesepekatan pertunangan akhirnya mengendap dalam benak Eadyth, dan ia pun bergidik. Jadi sekarang ia akan tahu apa yang sebenarnya diinginkan pria itu darinya.

"Persyaratan? Apa maksudmu?" desak Eadyth dalam suara yang sengaja dibuat tua saat Eirik berusaha menggoreskan kata-kata di bawah dokumen Eadyth.

Eadyth senang melihat Eirik mengernyit mendengar suara tuanya, bahkan saat pria itu mengabaikan pertanyaannya dan terus menulis. Eirik menjauhkan kertas itu sedikit saat menulis, sesekali menyipitkan matanya.

Kening Eadyth berkerut bingung melihat tindakan aneh Eirik itu. Lalu senyum tipis tersungging di bibirnya seketika mendapat ide, Eadyth menyadari bahwa pria itu pasti kesulitan melihat benda-benada yang dekat, persis seperti yang diderita ayahnya.

Jadi inilah sebabnya kenapa Eirik mengira kerutan di dahinya adalah keriput, padahal sebenarnya saat itu Eadyth sedang berpikir, dan pria itu juga tidak bisa membedakan debu dari kulit abu-abu tua. Kini Eadyth mengerti mengapa warna rambutnya dan bahunya yang sengaja dibungkukkan begitu mudah membodohi pria itu.

Eadyth nyaris tertawa keras-keras karena geli. Tipuan kecil ini bukanlah sesuatu yang direncanakannya dari awal, tapi apapun yang bisa menghalangi berahi seorang pria akan sangat dimanfaatkannya.

Eirik tak menyadari senyuman Eadyth yang tertahan, karena ia begitu sulit berkonsentrasi untuk menulis. Akhirnya ia menghela napas puas dan bersandar kembali di kursinya, menyorongkan perjanjian pertunganan itu kearah Eadyth. Kilatan jahil di mata Eirik membuat Eadyth menduga bahwa ia tak akan menyukai persyaratan yang baru saja ditulis pria itu.

Eadyth dengan hati-hati memalingkan wajahnya, tahu bahwa Eirik mengawasinya dengan saksama saat ia membaca. Penglihatannya pasti tidak terlalu rabun. Lagi pula, hal itu tak mengurangi kemampuannya sebagai ksatria bayaran, kalau reputasinya benar. Eadyth harus mengingatkan dirinya sendiri untuk sedikit membungkukkan bahu, dan sesekali melirik ke arah Eirik dari jari-jari tangannya yang dengan malu-malu terentang di wajahnya yang menunduk, seolah-olah kejantanannya membuat Eadyth menjadi malu. Hah! Ia harus melakukan banyak pengakuan dosa saat bertemu Bapa Benedict nanti.

"Apa kau paham kata-kataku itu, My Lady?"

"Ya, aku cukup pintar membaca." Ia melanjutkan memindai kata-kata Eirik, lalu memprotes, "Kau tak perlu menyediakan tunjangan pemeliharaan untukku. Ayahku sudah meninggal."

"Seorang suami seharusnya membayar ayah pengantin wanita karena telah membesarkannya. Karena dia tak ada, aku akan memberimu tunjangan atas namanya."

Eadyth mengangkat dagunya dengan bangga, menantang, dan mencoret persyaratan itu dari dokumen. "Mengakui putraku sebagai anakmu sudah cukup menjadi tunjangan perawatan bagiku."

Eirik mengangkat bahu.

"Dan aku tak menginginkan sebagian dari propertimu sebagai morgen-gifu. Kado pagi hariku adalah janjimu untuk melindungiku. Kau sudah memberitahuku bahwa estatmu akan diwarisi oleh adikmu."

Eirik memandang langsung ke mata Eadyth. "Dan jika kita punya seorang putra, atau beberapa putra? Bagaimana?"

Eadyth merasakan wajahnya memerah. Ia ingin mengingatkan Eirik tujuan awal pernikahan ini, tapi tak menemukan kata-kata yang tepat. Putra! "Apa kau menganggap lamaran pernikahanku lebih dari sekedar kesepakatan bisnis?"

"Kesepakatan bisnis! Aku tak pernah bertemu wanita sepertimu sebelumnya. Tak pernah!" seru Eirik, menggeleng tak percaya. Ia mengibaskan satu tangannya mengabaikan protes Eadyth dan berkata, "Tidak usah dibahas dulu sekarang. Dengan bahaya yang dihadapi adikku Tykir setiap harinya, aku yakin umurku akan lebih panjang darinya."

Lalu Eadyth membaca persyaratan Eirik yang terakhir dan tanda bahaya menyambarnya seperti kilatan cahaya. "Aku tak bisa menerima apa yang kau minta dariku."

"Oh, persyaratan yang mana?" tanya Eirik santai, mengulurkan kaki panjangnya sekenanya kemudian menyilangkan pergelangan kakinya. Kain usang celana panjang ketatnya tertarik kencang di pahanya, dan Eadyth memandangnya ternganga beberapa saat. Jubah pria itu terjatuh ke belakang, memaparkan dada bidang berbalut tunik biru yang sama yang dipakainya kemarin malam. Beberapa untai rambut hitam sutranya mengintip dari belahan leher yang terbuka, dan tak luput dari pengamatan Eadyth.

Sudut-sudut bibir Eirik terangkat sedikit membentuk senyum, sadar sekali dengan pesona yang ditampilkannya, dan mulut Eadyth pun terkatup rapat. Rasanya ia ingin menendang dirinya sendiri karena tingkahnya yang mengkhianati kehendaknya. Sambil meredakan denyut nadinya yang berdebur, ia menggerutu, "Haruskah kau mempertontonkan tubuhmu? Kau mungkin berpikir kau bahkan bisa memikat seekor babi betina, tapi aku bukan salah satu kekasih simpananmu yang bodoh sehingga mau bertekuk lutut di depanmu."

Eirik hanya menyeringai menyebalkan. "Aku pikir kita sedang membicarakan tentang persyaratan di sini. Persyaratan pertunangan." Eirik menunduk memandang pahanya, lalu kembali memandang Eadyth, diam-diam memancing Eadyth untuk bereaksi terhadap ejekannya.

Eadyth berdehem dengan kesal dan menunjukkan pada kata-kata yang ditulis Eirik di bawah dokumennya. "Ya, aku akan membicarakan persyaratanmu. Pertama-tama, aku lebih suka tinggal di Hawks' Lair. Aku tak melihat ada alasan aku dan John harus pindah kemari ke Ravenshire."

Eirik mengangkat satu alisnya bertanya. "Apakah kau tak punya pengurus rumah tangga yang bertugas saat kau tak ada?"

"Ya, aku punya. Gerald of Brimley, tapi..."

"Apakah dia bisa dipercaya?"

"Ya, tapi dia hanya bertugas saat aku ada. Aku diperlukan di sana, walau mungkin hanya untuk mengawasi ternak lebahku."

"Pindahkan saja ternak lebah sialanmu itu kemari."

Eadyth tersenyum mengejek pada ketidaktahuan Eirik. "Lebah tak seperti orang. Mereka tak bisa langsung mengemasi barang mereka dan pindah rumah."

Eirik memandangnya serius membuat Eadyth salah tingkah dipandangi seperti itu. Ia berharap Eirik bisa berhenti membelai kumisnya. Membuatnya resah.

"Kalau begitu tinggalkan lebah-lebah itu di sana. Tapi kau, My Lady," katanya dengan datar, sambil mengacungkan jarinya ke wajah Eadyth, "akan tinggal di sini bersama dengan putramu atau tak akan ada pernikahan."

"Kenapa kau peduli dimana aku tinggal? Ini kan bukan pernikahan atas dasar cinta."

"Pastinya," balas Eirik mengejek, mengerling ke arah Eadyth.

Tuhan, rasanya Eadyth ingin sekali menampar senyuman mengejek di wajah tampan Eirik yang menyebalkan itu. "Kupikir kau akan lebih senang jika aku tak tinggal di Ravenshire."

"Kenapa kau pikir aku akan sungkan jika ada kau di sini?"

Eadyth menegang karena amarah dan menarik turun tudung kepalanya untuk menyembunyikan emosinya. Lalu dengan tegas ia berkata, mengangkat dagunya dengan bangga, "Aku tak sudi menerima kekasih simpananmu tinggal di rumah yang sama denganku."

Mata jernih Eirik membelalak terkejut. Lalu ia menyunggingkan senyum mencemooh yang membuat gusar.

"My Lady, kau menyinggungku. Aku sudah memberitahumu sebelumnya, dan aku tak akan mengulanginya lagi. Aku pria terhormat. Aku tak akan membuat malu istriku dengan cara seperti itu."

Eadyth melirik ragu kepada Eirik, bertanya, "Maksudmu kau tak akan pernah mempunyai kekasih simpanan?"

Eadyth senang melihat semburat merah di wajah Eirik dan caranya beringsut di tempat duduknya. Ia menolak untuk menjawab, hanya memandang Eadyth dengan saksama sambil bersedekap, terus membelai kumisnya.

"Aku tak bermaksud membuatmu tak nyaman, Eirik. Aku tak memintamu memutuskan hubungan dengan wanita-wanitamu."

"Wanita-wanita! Oh, Eadyth, kau menilai harta dan daya tahanku lebih dari yang sebenarnya kumiliki," ujar Eirik, menggeleng tak percaya. "Dari mana kau dapat ide tentang wanita-wanita simpananku?"

"Kabarnya kau bercinta seperti rusa jantan di musim kawin." Oh, Tuhan, apa aku benar-benar mengatakannya?

Eirik terkesiap mendengar kata-kata yang diucapkan Eadyth tanpa berpikir, dan rahangnya menegang karena amarah.

"Kau dengar kabar seperti itu tentangku?"

"Well, tak persis seperti itu."

"Kalau begitu, katakanlah dengan lebih spesifik," desaknya. "Siapa yang menghinaku seperti itu? Aku bertaruh pasti Steven of Gravely, bajingan penyebar fitnah itu."

"Bukan, bukan Steven," seru Eadyth, berharap sekali lagi ia bisa menutup mulutnya. Buru-buru ia menambahkan, "Sebenarnya, kurasa aku dengar selintingan di pasar yang bunyinya seperti ini, 'si Gagak itu tak mungkin melewati gadis cantik tanpa mencicipi madunya, dan para wanita berdengung dengan puas pada hujamannya.'"

Eadyth mengangkat bahunya tak peduli.

Mata Eirik nyaris keluar dari kepalanya dan mulutnya ternganga mendengar ucapan blak-blakannya. Lalu tawanya pecah.

"Oh, Eadyth! Hal-hal yang kau katakan!" katanya di tengah tawanya. "Aku tak pernah bertemu wanita seblak-blakan dirimu. Sayang sekali kau... ah, well, seorang pria tak bisa mendapatkan semuanya."

Entah bagaimana Eadyth tahu Eirik ingin mengatakan tentang usia dan rupanya yang buruk. Satu bagian kecil dalam diri Eadyth mengerut pada kata-kata yang tak terucap itu. Penilaian rendah pria yang sangat tampan ini seharusnya tak jadi masalah baginya, tapi tetap saja melukainya.

Tanda bahaya melanda Eadyth dengan perlawanannya yang melemah. Apa yang terjadi pada akal sehatnya? Duduklah lebih tegak, ia bersumpah untuk mempertahankan kendali pada emosinya yang anehnya sedang tak keruan.

Memasang ekspresi datar, menolak untuk menunjukkan betapa penghinaan tersirat itu menyakitinya, Eadyth bersikeras, "Aku tetap ingin tahu kenapa kau bersikeras agar aku tinggal di sini."

"Aku ingin membawa pulang para putriku. Ingat? Kau berjanji akan merawat mereka."

Dengan lega, Eadyth mengangguk pada penjelasan Eirik, kini mengerti alasan Eirik menginginkannya tinggal di Ravenshire.

"Well, mungkin aku bisa membawa sebagian sarang lebahku kemari. Setidaknya, ini yang kujanjikan di perjanjian mas kawin. Mari berkompromi. Aku akan menghabiskan setengah waktuku di sini dan setengahnya lagi di Hawks' Lair, membawa para gadis bersamaku sehingga kau bebas untuk... bepergian atau... atau... apa pun yang ingin kau lakukan." Eadyth tak mau lagi menyebutkan masalah wanita simpanan dan membuka dirinya untuk diejek lebih lanjut.

Eirik menyeringai pada cara Eadyth menghindari topik tentang kekasih simpanannya. "Kau akan tinggal di Ravenshire," katanya tegas, "dan sesekali berkunjung ke Hawks' Lair, dengan seizinku."



Wanita itu adalah misteri yang akan dipecahkannya, ia bersumpah...

Eirik mengentakkan kaki melintasi medan latihan sore itu, didorong oleh keluhan beberapa pelayan yang mengadu padanya mengeluhkan tentang hantu di kebun buah yang datang untuk menghantui Ravenshire. Sialan! Memang ini yang dibutuhkannya -istri tua, rumah yang bobrok dan sekarang hantu.

Eirik berjalan dengan cepat menyusuri lapangan di bagian luar kebun dapur, yang ditumbuhi semak berbunga dan berduri, melewati kolam bermata air tempatnya berenang saat masih anak-anak dan sekarang digunakan untuk pemandian, dan melewati kebun tanaman buah apel, pir, peach, dan plum yang sudah lama ditelantarkan. Neneknya menanam dan merawat pohon buah-buahan ini dengan telaten selama bertahun-tahun. Ia bertanya-tanya apakah pohon-pohon itu sudah terserang penyakit parah dan tak bisa lagi diselamatkan.

Akhirnya, ia melihat "penampakan" yang menakutkan para pelayannya dan yang mereka keluhkan sepanjang sore. Sejujurnya, wanita penyihir dari Hawks' Lair itu memang mirip hantu dengan masker pelindung panjang transparan yang menutupi seluruh tubuhnya dari kepala sampai kaki, seperti hantu, dengan lengan baju yang dibuat khusus dengan sarung kulit aneh yang menonjol dan memanjang sampai sikunya. Anjing yang ditendangnya malam sebelumnya tampak berbaring di sekitarnya seperti kekasih setia.

"Demi para santa, Woman! Apa yang kau lakukan di sini, jam segini, dalam pakaian yang konyol itu? Sudah hampir waktunya untuk perjamuan pertunangan kita."

Eadyth berbalik seketika, baru menyadari Eirik berdiri di belakangnya. "Jangan mendekat. Lebah-lebah ini sedang berkerumun dan mungkin menyerang."

Mata Eirik membelalak saat ia melihat retusan lebah menutupi tangan dan lengan Eadyth yang terlindungi sarung tangan. Bahkan mereka berdengung di sekujur pakaian yang tipis, seperti hiasan hidup.

"Apa kau bodoh, My Lady? Ayo pergi dari sini. Cepat!"

"Aku tak dalam bahaya. Ini pekerjaanku, beternak lebah. Aku sudah bilang padamu sebelumnya. Aku hanya ingin melihat spesies liar seperti apa yang kau miliki di Ravenshire sebelum aku membawa ternak lebahku kemari. Aku sudah pernah berhasil memadukan keturunan, tapi ini jenis yang berkualitas rendah dan mungkin harus dipindahkan ke lokasi lain."

Eirik menggeleng tak percaya pada wanita aneh yang akan dinikahinya ini. Apakah wanita ini akan terus menerus mengejutkannya? Dan ada apa dengan wanita itu yang membuatnya gusar dan memikatnya dalam waktu bersamaan? Ia tak pernah berhasrat pada wanita tua sebelumnya, tapi ia berpikir bahwa meniduri wanita itu tak seburuk anggapannya semula.

"Mungkin kita akan menyempurnakan malam pernikahan," katanya parau, tak menyadari ia mengucapkan kata-kata itu keras-keras sebelum ia melihat tubuh Eadyth yang menjadi kaku dan dagunya terangkat menantang.

"Mungkin sapi punya sayap," dengus Eadyth, menyingkirkan lebah-lebah dari pakaiannya dengan gerakan menyentak. Lalu ia memandangnya dengan marah. "Aku akan kembali ke Hawks' Lair sekarang. Aku tak akan tinggal malam ini di Ravenshire, dasar keparat mesum. Hah! Pasti ada kekurangan wanita sehingga kau mengajukan usul yang begitu menggelikan padaku."

Anjing itu mengikuti selangkah di belakangnya seperti tentara yang terlatih saat ia berseru memanggilnya, "Ayo, Prince."

"Prince? Nama macam apa itu untuk anjing kampung seperti ini?" lalu Eirik kembali memikirkan kegusaran Eadyth pada usulnya. "Ini bukan hal menggelikan. Banyak pernikahan yang disempurnakan hanya setelah pertunangan."

Eirik tak benar-benar berharap ia setuju. Sejujurnya, ia bahkan tak tahu kenapa ia mengangkat topik pembicaraan itu. Sebenarnya, ia tak mau bercinta dengan wanita kurus. Tapi tetap saja, kegusaran Eadyth melukai harga dirinya, dan ia mengikuti sosok Eadyth yang menghentakkan langkahnya kembali ke rumah, memaki pelan pada kebodohannya -tak hanya karena ucpannya, tapi karena setuju untuk menikahinya.

"Aku hanya bercanda," ia berbohong. "Apa kau tak punya selera humor sama sekali?"

"Humph! Berhenti mengikutiku."

"Berhentilah melarikan diri dariku. Dan hentikan anjing itu agar tidak terus-terusan membuntutiku."

"Dia anjingmu, bukan anjingku. Dia hanya bersikap protektif padaku karena kau meninggikan suara kasarmu."

"Lady, jangan lancang. Kita belum menikah. Ingat itu."

Eadyth cukup pintar untuk menahan diri mendengar peringatannya. Lagi pula, lebih banyak yang menguntungkannya dalam pernikahan ini daripada Eirik. Atau setidaknya begitulah yang dipikirkannya.

Eirik menyeringai saat berhasil menyusul Eadyth dan meraih lengannya, anjing itu menyalak liar. Eadyth mengentakkan tangannya dari sentuhan Eirik dan Eirik memberengut. Eirik tak suka sikapnya yang sensitif. Sebenarnya wanita itu gugup seperti seekor kucing hamil setiap kali Eirik berada dekat dengannya.

Dengan sengaja, Eirik memegang lengannya, menguji reaksinya. Mendorongnya ke dinding agar bisa melihat lebih jelas, ia melihat mata Eadyth membelalak waspada. Bahkan melalui selubung maskernya, Eirik bisa melihat bahwa napasnya menjadi berat melalui mulutnya yang terbuka. Dengan takjub Eirik memandang saat bibir Eadyth yang penuh dan menggoda bergetar gugup di balik jala-jala masker putihnya. "Aku pernah melihat kain seperti itu di kediaman pada selir raja-raja di Timur jauh, walaupun digunakan untuk hal yang jauh berbeda," gumamnya, lalu tersenyum mengenang.

Eadyth hanya mendengus.

Tahi lalat kecil di sudut mulutnya menarik perhatian Eirik. Ia mengulurkan tangannya, tak mempu menahan godaan, dan menyentuhnya ringan melalui kain masker. Sengatan hasrat mengguncang indranya dan membuatnya seketika mengeras.

"Jangan menyentuhku," bisik Eadyth, berusaha menarik diri dari cengkraman Eirik. "Tolong. Kumohon. Aku akan membebaskanmu dari sumpah pertunangan."

Eirik menjatuhkan tangannya dan memandang Eadyth, bingung. Apa yang begitu menakutkannya? Lagi pula, wanita itu bukan seorang gadis perawan, yang belum pernah disentuh pria sebelumnya. Dan kalau mengenal kegemaran Steven of Gravely pada seks yang berlebihan, ia menduga keparat itu sudah mengajarinya lebih dari beberapa trik dalam hal bercinta.

"My Lady, aku tak menganggap remeh sumpahku. Sejauh anggapanku, sumpah pertunanganku sama mengikatnya dengan ikrar pernikahan."

Eadyth menunduk dan menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Jelas sekali bahwa sentuhan Eirik sangat meresahkannya.

Atau membuatnya jijik, Pikir Eirik, dan menegang memikirkan penghinaan itu. Kaum wanita menganggapnya menarik. Selalu seperti itu. Kenapa Eadyth berbeda? Ada sesuatu yang janggal.

Akhirnya, ia mengangkat matanya, bahkan dengan warna ungu yang jernih di balik kabut air matanya, dan berkata dengan suara gemetar, "Aku juga menganggap serius sumpahku. Hanya saja kau mengejutkanku. Aku tak pernah mengira kau akan mengajukan saran yang begitu mengerikan."

"Mengerikan?" Kening Eirik berkerut. "Apa kau bodoh? Kau meminta pria menikahimu dan tak berharap untuk menidurimu?"

Pipi Eadyth menjadi merona, dan Eirik berusaha melihat lebih jelas melalui selubung maskernya. Sialan rambutnya! Ia menggeleng seolah-olah untuk menyingkirkan kabut dari matanya dan melihat lagi. Ya Tuhan! Kalau bukan karena rambutnya yang berwarna abu-abu, ia berani bersumpah wanita itu lebih muda darinya, padahal Eirik baru berumur tiga puluh satu tahun.

"Hentikan."

"Hentikan apa?"

"Memandangi mulutku."

Eirik menyeringai. Ia mengangkat satu tangannya menyentuh bibir Eadyth yang tertutupi masker dengan ibu jarinya.

Eadyth menepisnya.

Eirik tertawa, pelan dan parau.

Eadyth salah tingkah di bawah pengamatan intens Eirik, menjauh dan meletakkan satu tangan di punggungnya seolah-olah punggungnya sakit, ia berdecak dengan sikap yang yang membuat Eirik merinding.

"Aku hanya tak berpikir pria sepertimu akan mau untuk melakukan... sesuatu... dengan wanita seusiaku, dan dengan penampilan sepertiku."

"Lady, aku mulai berpikir bahwa pria dengan berahi akan mengabaikan usiamu dan... kekuranganmu... hanya karena bibirmu yang menggoda dan tahi lalat yang memikat itu."

Kalimat itu membuat tubuh Eadyth kaku seperti tombak dan Eirik tertawa sendiri pada betapa cepatnya Eadyth termakan ucapannya. Terlebih lagi, ia melihat sekilas sorot tersipu di wajah wanita itu karena pujiannya sebelum Eadyth sempat memasang topeng seriusnya lagi.

Ah! Akhirnya ada celah memasuki benteng pertahanannya yang kokoh.

Tapi kemudian Eadyth membalas dengan ketus, "Ya Tuhan! Kalau sebuah tahi lalat bisa membuatmu bernafsu, aku punya sekumpulan tukang tenun tua yang sudah tak bergigi di rumahku yang bisa membuat kejantananmu mengeras seperti batu dan membuatku sibuk selama berminggu-minggu."

"My Lady, kata-kata kasarmu tak berbatas. Tak pernah... tak pernah aku mendengar seorang wanita keturunan bangsawan yang menggunakan kata-kata seperti itu sebelumnya."

"Sepertinya ada saat pertama untuk segalanya, karena aku juga tak pernah mendengar pria berharta yang normal yang ingin meniduri seorang nenek tua."

Eirik mengepalkan tinjunya.

Jangan pukul wanita lancang ini. Jangan pukul wanita lancang ini. Jangan pukul wanita lancang ini, Eirik mengulang-ulang ucapan itu dalam hati, tapi, demi para santa, ia benar-benar gatal untuk mencekik leher kurus Eadyth dan memeras segenap napas dari tubuh cekingnya.

"Kau bukan seorang nenek," ia menyerocos, kemudian berhenti. "Benar, kan?"

Eadyth menatapnya dengan sorot mata aneh, dan tawa kecil keluar dari bibirnya. "Belum. Belum."

Saat mereka terus berjalan kembali ke rumah, sebuah pikiran tebersit di benak Eirik. "Jadi berapa usia putramu John?"

Eadyth tersandung, tapi lalu berhasil menyeimbangkan dirinya sendiri dan terus berjalan. Eirik terpaku melihat reaksi Eadyth atas pertanyaannya, tapi segera menyusulnya. Tindakan Eadyth semakin dan semakin membingungkannya.

"Jadi?"

"Menurutmu berapa tahun usianya?" tanyanya gemetar, sengaja menghindari tatapan mata Eirik.

Lonceng peringatan kecil berdering di kepala Eirik. Ia merasa ia sudah semakin dekat untuk menguas misteri dan menjawab ragu, "Aku tak tahu persisnya. Mungkin lima belas atau sekitarnya."

Terkesiap, Eadyth mulai terbatuk-batuk. Eirik menepuk punggungnya keras-keras sebelum akhirnya wanita itu berhasil bicara, "Cukup! Kau mau mematahkan tulangku."

"Kau tak menjawab pertanyaanku, Eadyth," kata Eirik dingin dan mengajaknya berhenti di luar pintu dapur di halaman kebun. "Aku ingin tahu kebenarannya."

Eadyth memandang langsung matanya. "Tujuh."

"Tujuh!" Eirik terperanjat. "Dia masih anak-anak. Kenapa kau tak bilang padaku sebelumnya?"

Eadyth mengangkat bahunya. "Kurasa tak penting menyebutkan usianya." Lalu mempelajari wajah Eirik. "Apakah itu penting?"

"Tidak," sahut Eirik ragu. "Kau hanya mengejutkanku."

Sekarang setelah Eirik punya waktu memikirkannya, tidak terlalu aneh bagi wanita seusia Eadyth untuk punya anak berusia tujuh tahun. Eadyth pasti berusia awal atau pertengahan tigapuluhan saat berhubungan dengan Steven. Eirik mendongak, hendak menanyakan pada wanita itu, tapi wanita itu sudah melesat melewati pintu.

"Sampai bertemu di perjamuan," serunya dari balik bahunya. "Jangan bawa masuk anjing itu, kumohon. Aku sudah memperingatkannya untuk tidak masuk sampai dia mandi dan belajar bersikap baik."

Eirik menyeringai dan menggeleng pada sikap pengatur Eadyth, tapi seringaiannya segera sirna begitu Eadyth menambahkan dengan jahil, "Mungkin kau perlu belajar hal yang sama, My Lord." Tawa pun bergema mengikuti langkah Eadyth.

Eirik memandangi kepergian Eadyth beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa wanita bermulut pedas itu sudah menyiaratkan bahwa ia perlu mandi dan belajar sopan santun. Hah! Ia akan segera menunjukkan pada Eadyth apa ganjaran yang akan didapatkannya karena ucapan kurang ajar itu. Wanita itu terlalu angkuh dan tinggi menilai diri sendiri, sejauh ini. Eirik akan menikmati mengajarinya agar dapat rendah hati.

Pikiran jahat terbersit di pikirannya saat itu. Ia menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa keras. Oh, ya, ia baru memikirkan cara hebat menggunakan kain setipis masker yang dipakai wanita itu.

Dengan langkah lebar dan santai, ia berpaling dan memanggil si anjing. "Ayo, Prince, kita harus mandi. Lady ini bilang kita bau."

Sang anjing pun menyalak setuju.



Next
Back
Synopsis