Selasa, 08 Mei 2018

One Good Earl Deserves a Lover, Cross


London
Awal Musim semi 1824

Menjadi putra kedua ada untungnya.

Bahkan, bila ada satu kebenaran dalam dunia bangsawan, itu adalah: Seorang ahli waris bisa saja menjadi pria flamboyan, bajingan, berandalan... tapi ia harus berubah. Ia bisa bertindak sesukanya, berbuat onar, dan membuat skandal di dunia bangsawan dengan kesembronoan masa mudanya, tapi masa depannya sudah terpatri. Pada akhirnya ia akan mendapati dirinya terbelenggu oleh gelarnya, tanahnya, dan estatnya -seorang tawanan kebangsawanan bersama sesamanya di House of Lords.

Bukan, kebebasan bukan untuk para ahli waris, melainkan untuk para orang cadangan. Dan Jasper Arlesey, putra kedua dari Earl Harlow, mengetahuinya. Ia juga tahu dengan keyakinan milik seorang penjahat yang lolos dari tiang gantungan, bahwa -walaupun tak mewarisi gelar turun-temurun, estat serta harta- ia merupakan pria yang paling beruntung di muka bumi karena dilahirkan tujuh belas bulan setelah Owen Elwood Arthur Arlesey, anak sulung, putra pertama, Viscount Baine dan ahli waris earldom.

Di bahu Baine yang sempurna, santun, dan membosankan pun memenuhi semua harapan itu.

Untungnya begitu. 

Karena itulah malam ini, Baine mendampingi adik perempuan mereka dalam kunjungan pertamanya ke Almack's. Memang, awalnya Jasper bersedia melakukan tugas itu, berjanji kepada Lavinia bahwa ia tidak akan berani melewatkan malam sepenting itu dalam masa muda adiknya. Tapi janji-janjinya lebih berupa bisikan ketimbang kata-kata -semua orang mengetahuinya- maka Baine-lah yang menjadi pendamping. Memenuhi harapan, seperti biasanya.

Sementara Jasper malah sibuk mengumpulkan uang di salah satu klub judi yang paling terkenal di London... kemudian merayakannya dengan melakukan apa yang sudah biasa dilakukan oleh putra yang lebih muda. Di tempat tidur seorang wanita cantik.

Bukan hanya Baine yang memenuhi harapan. 

Salah satu ujung bibir Jasper terangkat mengulas senyum diam-diam sewaktu ia teringat kepada kenikmatan yang melimpah-limpah malam itu, kemudian sirna karena hujaman penyesalan yang ia rasakan saat meninggalkan seprai hangat dan lengan yang mengundang.

Ia membuka gerendel pintu belakang daput Arlesey House lalu menyelinap masuk. Ruangannya gelap dan sunyi di tengah cahaya kelabu pucat pada pagi bulan Maret yang dingin, cukup gelap untuk menyembunyikan pakaian yang berantakan, carvat-nya yang separuh terbuka, dan bekas ciuman yang mengintip dari kerahnya yang dilonggarkan.

Ketika pintu tertutup di belakang Jasper, seorang pelayan dapur yang terkejut mendongak dari tempatnya berjongkok, separuh di dalam perapian, menyulut lidah api sebagai persiapan untuk kedatangan koki. Gadis itu berdiri, sebelah tangannya terangkat ke payudaranya yang cantik dan mulai merekah. "My Lord! Anda mengagetkan saya!"

Jasper mengulas senyum genit untuk pelayan itu sebelum membungkuk dengan gaya yang dapat membuat orang istana bangga. "Maaf, Darling," ucapnya dengan perlahan, mengagumi rona yang muncul di pipi si pelayan.

Jasper melewati gadis itu, menyenggolnya sedikit hingga mendengar napasnya tertahan, melihat nadi yang berdenyut cepat di lehernya, mengambil sekeping biskuit keras dari piring yang disiapkan oleh pelayan untuk staf dapur yang lain, berlama-lama, menyukai bagaimana gadis itu gemetar penuh harap.

Jasper tidak akan menyentuh si pelayan, tentu saja; ia sudah lama belajar bahwa staf tidak boleh dijamah.

Tapi itu tidak membuat berhenti mengagumi gadis itu sejenak.

Tidak membuatnya berhenti mengagumi semua wanita -semua bentuk, semua ukuran, semua kelas sosial. Kulit lembut mereka dan lekuk-lekuk yang lebih lembut lagi, bagaimana mereka terengah, cekikikan, dan mendesah, bagaimana wanita kaya sok malu-malu, sementara yang kurang beruntung menatapnya dengan mata berbinar menantikan perhatiannya.

Wanita memang kreasi terindah Tuhan. Dan, pada usia dua puluh tiga tahun, Jasper sudah berencana untuk mengagumi mereka di sepanjang hidupnya.

Jasper mengunyah biskuit manis itu lalu mengedipkan mata kepada si pelayan. "Jangan bilang siapa-siapa kalau kau melihatku, ya?"

Mata gadis itu membelalak, dan ia langsung menggelengkan kepalanya. "Ti... tidak akan, Sir. My Lord, Sir."

Ya, menjadi putra kedua memang ada untungnya.

Setelah mengedipkan mata dan mengambil sekeping biskuit lagi, Jasper meninggalkan dapur lalu memasuki lorong belakang yang mengarah ke tangga pelayan.

"Dari mana saja Anda?"

Mengenakan mantel hitam, Stine, tangan kanan ayah Jasper, muncul dari balik bayangan, tuduhan dan sesuatu yang lebih buruk terpancar dari wajah panjang pria itu yang pucat. Jantung Jasper berdebar kencang saking kagetnya walaupun ia tidak mungkin mengakuinya. Ia tidak perlu menjawab Stine. Sudah cukup mengesalkan kalau ia harus menjawab majikan Stine.

Ayahnya.

Pria yang harapannya terhadap putra bungsunya terlalu rendah untuk bisa disebut harapan.

Putra yang dimaksud bergoyang ke belakang lalu tersenyum lebar dengan gaya dibuat-buat yang sudah terlatih. "Stern," kata Jasper dengan perlahan, senang melihat tubuh pria yang lebih tua itu menegang karena pengucapan nama yang keliru. "Ini masih terlalu pagi untuk mengendap-endap, kan?"

"Tidak terlalu pagi untuk Anda."

Jasper tersenyum, bagaikan seekor kucing yang melihat burung kenari. "Benar sekali. Bahkan terlalu larut. Aku melalui malam yang menyenangkan, dan aku tidak mau kau... merusak sensasinya." Jasper menepuk bahu pria yang satu lagi lalu melewatinya.

"Ayah Anda mencari Anda."

Jasper tidak menoleh ke belakang. "Aku yakin itu. Aku juga yakin dia bisa menunggu."

"Menurut saya tidak, Lord Baine."

Dibutuhkan waktu sejenak untuk mendengar kata-kata itu. Untuk mendengar gelarnya. Untuk memahami maknanya. Jasper membalikkan badan, kengerian dan ketidakpercayaan meliputinya. Saat ia bicara, kata-katanya terdengar polos dan rapuh, hanya berupa bisikan, "Kau memanggilku apa?"

Mata Stine disipitkan sedikit. Sekilas. Nantinya, gerakan nyaris tak terlihat pada mata hitam nan dingin itulah yang akan Jasper ingat.

Suara Jasper meninggi, gusar. "Aku bertanya kepadamu."

"Dia memanggilmu Baine."

Jasper berbalik dan melihat ayahnya, Earl Harlow, tinggi, kuat, dan tetap teguh bahka pada saat ini. Bahkan pada momen ini. Bahkan saat harta pusakanya hancur di sekelilingnya, dan ia menghadapi kekecewaan hidupnya.

Sekarang ahli warisnya.

Jasper berjuang untuk bernapas, kemudian untuk mencari kata-kata.

Ayahnya menemukan lebih dulu.

"Itulah kau sekarang."



Next
Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar