Jumat, 18 Mei 2018

One Good Earl Deserves a Lover 1


Lokasi investigasi menjadi sangat terbatas, begitu pula dengan waktunya.
Demi penyelidikan yang cermat, aku sudah membuat penyesuaian untuk risetku.
Penyesuaian yang rahasia serius.

Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
21 Maret 1831; lima belas hari sebelum pernikahannya


Tujuh tahun kemudian

Gadis itu gila. 

Cross pasti sudah menyadarinya sejak lima menit yang lalu kalau ia tidak setengah tertidur, kaget setengah mati karena mendapati seorang wanita muda, pirang, dan berkacamata di mejanya, membaca buku besarnya.

Mungkin ia sudah menyadarinya sejak tiga menit yang lalu bila gadis itu tidak mengumumkan, dengan penuh keyakinan, bahwa ia salah menjumlah kolom F, memastikan bahwa pemahamannya akan ketidakwarasan gadis itu tergeser oleh keterkejutan karena keberanian serta ketrampilan matematis gadis itu. Atau mungkin sebaliknya.

Dan Cross pasti menyadari bahwa gadis itu benar-benar tidak waras enam puluh detik yang lalu kalau ia tidak sedang sibuk berusaha mengenakan pakaian. Selama beberapa saat, kemejanya seolah tidak memiliki bukaan yang sangat penting; itu saja sudah membuat perhatiannya terpecah.

Akan tetapi, sekarang ia sudah terjaga, sudah menutup buku besarnya (yang dijumlahkan dengan benar), dan sudah berpakaian lengkap (walaupun tidak rapi). Semesta sudah pulih, dan akal sehat sudah kembali, tepat ketika gadis itu menjelaskan apa yang ia inginkan.

Dan di sana di tengah kesenyapan yang menyusul pengumuman gadis itu, Cross memahami yang sebenarnya.

Tidak diragukan lagi: Lady Philippa Marbury, putri Marquess of Needham dan Dolby, adik ipar Marquess of Bourne, dan lady dari dunia bangsawan, jelas sekali sudah sinting.

"Maaf," ucap Cross, terkesan oleh kemampuannya mempertahankan ketenangan ketika dihadapkan dengan ketidakwarasan total Philippa. "Aku yakin aku salah dengar."

"Oh, aku yakin kau tidak salah," timpal sang lady dengan sederhana, seperti sedang mengomentari cuaca, mata biru besarnya tampak meresahkan dan seperti burung hantu di balik kacamata yang tebal. "Mungkin aku mengejutkanmu, tapi menurutku pendengaranmu baik-baik saja."

Philippa menghampiri Cross, menyusuri jalur di tengah setengah lusin tumpukan buku yang menjulang dan sebuah patung dada Medussa yang sebenarnya ingin Cross pindahkan. Keliman rok biru pucat Philippa menyapu tubuh salah satu ular, dan suara kain yang gemerisik di atas perunggu membuat Cross memperhatikan.

Salah.

Cross tahu ia tidak boleh memperhatikan Philippa. Ia tidak akan memperhatikan Philippa.

Ruangan terkutuk ini terlalu gelap. Cross beranjak untuk menyalakan sebuah lampu yang agak jauh darinya, di dekat pintu. Sewaktu mendongak setelah melakukannya, ia mendapati Philippa sudah mengubah arah.

Philippa mendekat, memojokkan Cross ke meja mahoni yang besar, membuatnya kelimpungan. Selama sesaat, Cross ingin membuka pintu hanya untuk melihat apakah Philippa akan bergegas melewatinya, meninggalkannya di ruang kantor ini, sendirian dan terbebas dari gadis itu. Dari apa yang disuguhkan oleh gadis itu. Lalu ia bisa menutup pintu rapat-rapat di belakang Philippa, berpura-pura pertemuan ini tidak pernah terjadi, dan memulai kembali harinya.

Cross menjatuhkan sebuah sempoa besar, dan suara eboni yang bergemerincing menyadarkan dari lamunannya.

Ia berhenti bergerak.

Philippa terus mendekat.

Cross merupakan salah seorang pria yang paling berkuasa di Inggris, pemegang saham di salah satu klub judi yang paling terkenal di London, jelas-jelas dua puluh lima senti meter lebih tinggi dari Philippa, dan sangat sangar kalau ia mau.

Philippa bukan jenis wanita yang biasanya ia perhatikan atau jenis wanita yang berharap bisa memenangi perhatiannya. Dan jelas Philippa bukan jenis wanita yang bisa mengusik pengendalian dirinya.

Tenangkan dirimu, Bung. 

"Berhenti."

Philippa berhenti, kata yang Cross ucapkan menggantung kasar dan defensif di tengah mereka. Cross tidak menyukainya. Tidak menyukai makna dari suara tertahan itu tentang bagaimana makhluk asing ini telah memengaruhinya dalam sekejap mata.

Tapi Philippa tidak tahu menahu, puji Tuhan. Alih-alih Philippa memiringkan kepala seperti seekor anak anjing penasaran serta penuh semangat, dan Cross menolak godaan untuk berlama-lama memperhatikan gadis itu.

Philippa bukan untuk diperhatikan

Yang pasti bukan untuk diperhatikan olehnya. 

"Apa perlu kuulangi?" tanya Philippa sewaktu Cross tidak berkata apa-apa lagi.

Cross tidak merespon. Pengulangan tidak dibutuhkan. Permintaan Lady Philippa Marbury sudah terpatri di benaknya.

Akan tetapi, Philippa mengangkat sebelah tangan, mengangkat kacamata di hidungnya, lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku menginginkan maksiat." Kata-kata itu terdengar sesederhana dan semantap saat ia pertama kali mengucapkannya, tanpa kegugupan.

Maksiat. Cross memperhatikan bagaimana bibir Philippa meliuk mengucapkan setiap suku katanya, membelai konsonannya, berlama-lama pada huruf vokalnya, mengubah pengalaman mendengar kata itu menjadi sesuatu yang sangat menyerupai maknanya.

Udara di ruang kantor Cross menjadi sangat hangat.

"Kau gila."

Philippa tertegun, jelas terkejut mendengar pernyataan tersebut. Bagus pikir Cross. Sudah waktunya seseorang selain dirinya dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa hari ini. Akhirnya, gadis itu menggelengkan kepala. "Kurasa tidak."

"Kau harus mempertimbangkan kemungkinannya baik-baik," tukas Cross, berjalan miring melewati Philippa, memperlebar jarak diantara mereka -upaya yang sulit di kantornya yang berantakan, "karena tidak ada penjelasan logis mengapa kau mendatangi klub judi yang paling terkenal di London tanpa pendamping, menginginkan maksiat."

"Toh, membawa pendamping bukan pilihan yang rasional," cetus Philippa. "Bahkan, seorang pendamping akan membuat skenario ini mustahil diwujudkan."

"Tepat," kata Cross, mengambil langkah panjang ke setumpuk surat kabar, mengabaikan aroma linen segar dan sinar mentari yang meliputi Philippa. Meliputinya.

"Malah, membawa seorang pendamping ke klub judi yang paling terkenal di London ini jauh lebih gila lagi, kan?" Philippa mengulurkan tangan lalu menelusuri sempoa besar dengan satu jari. "Benda ini indah. Apa kau sering menggunakannya?"

Perhatian Cross teralihkan oleh permainan jemari Philippa yang lentik dan pucat di manik-manik hitam, oleh bagaimana ujung jari telunjuk Philippa condong sedikit ke kanan. Tidak sempurna.

Mengapa Philippa tidak memakai sarung tangan? Apa tidak ada yang normal dalam diri gadis ini?

"Tidak."

Philippa menoleh ke arah Cross, matabirunya memancarkan sorot penasaran. "Maksudmu kau tidak menggunakan sempoa ini? Atau menurutmu membawa seorang pendamping tidak gila?"

"Dua-duanya. Sempoa itu sulit..."

Philippa mendorong sebuah manik-manik besar dari salah satu sisi ke sisi yang lain. "Kau bisa bekerja lebih cepat tanpanya?"

"Tepat."

"Begitu pula dengan pendamping," kata Philippa dengan serius. "Aku jauh lebih produktif tanpa mereka."

"Menurutku kau jauh lebih berbahaya tanpa mereka."

"Menurutmu aku bahaya, Mr. Cross?"

"Cross. Tidak usah pakai mister. Dan ya. Menurutku kau berbahaya."

Philippa tidak tersinggung. "Bagimu?" Bahkan, ia kedengaran bangga akan dirinya sendiri.

"Terutama bagi dirimu sendiri, tapi kalau kakak iparmu sampai tahu kau ada di sini, kurasa kau akan menjadi bahaya bagiku juga." Tak peduli teman lama atau pun mitra bisnis, Bourne pasti memenggal kepalanya kalau Lady Philippa tepergok berada di sini, pikir Cross.

Sepertinya Philippa menerima penjelasan itu. "Baiklah kalau begitu, aku akan cepat-cepat dalam masalah ini."

"Aku lebih suka kalau kau cepat-cepat dalam masalah pergi dari sini."

Philippa menggelengkan kepala, nada suaranya meninggi sedikit sehingga Cross memperhatikannya. "Oh tidak. Sayangnya itu tidak akan terjadi. Kau harus mengerti, aku punya rencana yang sangat jelas, dan aku membutuhkan bantuanmu."

Cross sudah sampai di mejanya, puji Tuhan. Duduk di kursi yang berkeriat-keriut, ia membuka buku besar lalu berpura-pura memperhatikan angka-angka di sana, mengabaikan fakta bahwa keberadaan Philippa membuat angka-angka itu kabur menjadi garis-garis kelabu yang tak tebaca. "Sayangnya, rencanamu bukanlah rencanaku, Lady Philippa. Kau datang jauh-jauh tanpa hasil." Ia mendongak "Omong-omong bagaimana kau bisa sampai di sini?"

Tatapan teguh Philippa goyah. "Dengan cara yang biasa, kurasa begitu."

"Seperti yang sudah kita bahas, cara yang biasa melibatkan seorang pendamping. Dan tidak melibatkan sebuah klub judi."

"Aku jalan kaki."

Sesaat berlalu. "Kau... jalan kaki?"

"Iya."

"Sendirian?"

"Pada siang hari bolong." Ada nada defensif pada suara Philippa.

"Kau jalan kaki sendirian melintasi London..."

"Tidak terlalu jauh. Rumah kami..."

"Lebih dari setengah kilometer jauhnya dari Sungai Thames."

"Kau tidak perlu mengucapkannya seolah letaknya di Skotlandia."

"Kau jalan kaki sendirian melintasi London pada siang hari bolong ke pintu The Fallen Angel, di mana kurasa kau mengetuk dan menunggu untuk dipersilahkan masuk."

Philippa mengerucutkan bibirnya. Cross tidak mau dialihkan oleh gerakan itu. "Iya."

"Di jalan umum."

"Di Mayfair."

Cross tidak menghiraukan penekanan Philippa. "Jalan umum yang merupakan rumah bagi klub-klub pria yang paling eksklusif di London." Ia terdiam sejenak. "Apa ada yang melihatmu?"

"Mana kutahu."

Sinting. "Kurasa kau tahu bahwa wanita baik-baik tidak berbuat seperti itu, kan?"

Kerutan samar muncul di tengah alis Philippa. "Itu peraturan yang konyol, kan? Maksudku, kaum wanita sudah  bisa berjalan dengan dua kaki sejak... sejak... zaman Hawa."

Cross sudah mengenal banyak sekali wanita dalam hidupnya. Ia menyukai keberadaan mereka, percakapan bersama mereka, serta rasa penasaran mereka. Tapi belum pernah sekali pun bertemu dengan wanita yang seaneh gadis ini. "Akan tetapi, ini tahun 1831. Sekarang, wanita sepertimu naik kereta kuda. Dan mereka tidak mendatangi klub judi."

Philippa tersenyum. "Yah, berarti mereka tidak persis seperti aku, karena aku berjalan kaki, dan di sinilah aku berada. Di sebuah klub judi."

"Siapa yang mempersilahkanmu masuk?"

"Seorang pria. Agaknya dia sangat bersemangat melakukannya begitu aku memperkenalkan diri."

"Tentu saja. Bourne pasti menghancurkannya kalau reputasimu sampai rusak."

Philippa mempertimbangkan kata-kata tersebut. "Itu tidak terpikir olehku. Malah aku belum pernah punya pelindung."

Ia bisa melindungi Philippa. 

Dari mana datangnya pemikiran itu?

Masa bodoh. "Lady Philippa, rupanya kau membutuhkan sepasukan pelindung." Cross kembali mengalihkan perhatiannya ke buku besar. "Sayangnya, aku tidak punya waktu ataupun keinginan untuk mendaftar. Aku yakin kau bisa keluar sendiri."

Philippa mendekat, tidak menggubrisnya. Cross mendongak, terkejut. Orang-orang tidak pernah tak menggubrisnya. "Oh, tidak perlu memanggilku Lady Philippa. Apalagi mengingat alasanku ke sini. Kumohon panggil aku Pippa."

Pippa. Nama tersebut cocok untuk gadis itu. Jauh lebih cocok daripada versi nama yang lebih lengkap dan lebih rumit. Tapi Cross enggan memanggil Philippa dengan nama seperti itu. Ia enggan memanggil Philippa dengan nama apa pun. "Lady Philippa..." Cross sengaja memperpanjang nama itu, "sudah waktunya kau pergi."

Philippa maju selangkah lagi ke arah Cross, sebelah tangan diletakkan di bola dunia besar yang ada di sisi mejanya. Cross mengalihkan pandangannya ke tempat di mana telapak tangan Philippa yang datar menutupi Inggris dan menahan keinginan untuk menarik makna kosmik dari gerakan tersebut.

"Sayangnya aku tidak bisa pergi, Mr. Cross. Aku menginginkan..."

Cross tidak sanggup mendengar Philippa mengucapkannya lagi. "Maksiat. Ya. Kau sudah menyatakan niatmu dengan jelas. Sebagaimana aku juga sudah menyatakan penolakanku."

"Tapi... kau tidak bisa menolak."

Cross kembali mengalihkan perhatiannya ke buku besar. "Sayangnya, aku sudah menolak."

Philippa tidak menimpali, tapi dari sudut matanya, Cross bisa melihat jemari gadis itu -jemari aneh dan tidak sempurna itu, menelusuri tepi meja eboninya. Ia menunggu jemari itu berhenti. Diam. Pergi.

Saat Cross mendongak,Philippa tengah memandanginya, mata biru gadis itu tampak besar di balik lensa kacamata yang bundar, seolah Philippa sudah menunggu Cross membalas tatapannya di sepanjang hidupnya. "Aku memilihmu, Mr. Cross. Dengan sangat cermat. Aku punya rencana yang sangat spesifik, sangat jelas, dan sangat mendesak. Dan rencanaku membutuhkan seorang mitra riset. Kau adalah mitra itu."

Seorang mitra riset? 

Cross tidak peduli. Tidak. 

"Riset apa?"

Sial. 

Tangan Philippa ditangkupkan, digenggam erat-erat. "Kau sangat legendaris, Sir."

Kata-kata itu membuat Cross ngeri.

"Semua orang membicarakanmu. Katanya kau pakar dalam masalah maksiat."

Cross menggertakkan gigi, membenci kata-kata Philippa, dan pura-pura tidak tertarik. "Oh, ya?"

Philippa mengangguk dengan penuh semangat lalu menghitung cepat-cepat dengan jari sambil bicara. "Iya. Berjudi, minum-minum, bertinju, dan..." Ia terdiam. "Dan..."

Pipi Philippa merah padam, dan Cross ingin gadis itu mengurungkan kelanjutannya. Menghentikan kegilaan ini. "Dan...?"

Philippa memulihkan ketenangannya, berdiri tegak. Cross berani mempertaruhkan semua yang ia miliki kalau gadis itu tidak akan menjawab.

Cross salah.

"Persetubuhan." Kata itu terucap dengan lembut dan diiringi oleh helaan napas, seolah akhirnya Philippa mengucapkan apa yang hendak ia katakan. Itu tidak mungkin. Cross yakin ia pasti salah dengar. Tubuhnya pasti merespon Philipa secara keliru.

Sebelum Cross bisa meminta Philippa mengulangi perkataannya, gadis itu sudah menarik napas lagi dan melanjutkan, "Dalam hal itulah kabarnya kau paling piawai. Dan, jujur saja, itulah yang kubutuhkan."

Hanya tahun-tahun yang ia habiskan dengan bermain kartu bersama para penjudi paling ulung di Eropalah yang membuat Cross berhasil menyembunyikan kekagetannya. Ia berlama-lama memperhatikan Philippa dengan cermat.

Philippa tidak terlihat seperti orang gila.

Malah, sang Lady kelihatan sangat wajar -rambut pirang yang wajar, mata biru yang wajar, tinggi di atas rata-rata, tapi tidak terlalu tinggi untuk menarik perhatian, mengenakan gaun wajar yang memperlihatkan kulit bersih nan mulus yang sangat wajar.

Tidak, tidak ada satu hal pun yang menyiratkan kalau Lady Philippa Marbury, putri dari seorang bangsawan yang paling berkuasa di Inggris, lebih dari sekadar seorang wanita muda yang sangat wajar.

Tidak ada, setidaknya hingga Philippa membuka mulut dan mengucapkan hal-hal seperti berjalan dengan dua kaki. 

Dan persetubuhan. 

Philippa menghela napas. "Kau membuat ini sangat sulit, kau tahu."

Tidak tahu menahu apa yang harus ia katakan, Cross mencoba dengan, "Maafkan aku."

Mata Philippa disipitkan sedikit di balik kacamatanya. "Aku tidak yakin aku memercayai permintaan maafmu, Mr. Cross. Kalau gosip di kamar-kamar kecil di seluruh penjuru London bisa dipercaya... dan percayalah, gosipnya banyak sekali... kau pria flamboyan sejati."

Semoga Tuhan menjauhkannya dari wanita dan lidah mereka yang gemar bergunjing, renung Cross. "Kau tidak boleh percaya kepada apa pun yang kau dengar di kamar kecil."

"Biasanya tidak, tapi kalau seseorang mendengar gosip tentang seorang pria sesering aku mendengar gosip tentangmu... dia pasti percaya gosip itu ada benarnya. Di mana ada asap, pasti ada api."

"Aku tak bisa membayangkan apa yang sudah kau dengar."

Itu bohong. Tentu saja Cross tahu.

Philippa melambaikan sebelah tangan. "Yah, sebagian benar-benar omong kosong. Misalnya, katanya kau bisa melucuti pakaian seorang wanita tanpa menggunakan tanganmu."

"Benarkah?"

Philippa tersenyum. "Memang konyol, aku tahu. Aku sama sekali tidak percaya."

"Mengapa tidak?"

"Tanpa adanya gaya fisik, suatu objek yang tidak bergerak akan tetap tidak bergerak," Philippa menjelaskan.

Cross tidak kuasa menahan diri. "Pakaian wanita adalah objek yang tidak bergerak dalam skenario ini?"

"Benar. Dan gaya fisik yang dibutuhkan untuk menggerakkan objek yang dimaksud adalah tanganmu."

Apa Philippa tahu fantasi menggoda apa yang sudah ia lukiskan dengan deskripsi saksama dan ilmiah semacam itu? Cross rasa tidak. "Kabarnya tanganku sangat berbakat."

Philippa mengerjap. "Seperti yang sudah kita bahas, aku juga mendengar kabar serupa. Tapi percayalah, Sir, tanganmu tidak mungkin menentang hukum fisika."

Oh, betapa inginnya Cross membuktikan kalau Philippa salah.

Tapi Philippa sudah melanjutkan, "Bagaimanapun juga, semua itu hanya perkataan saudari pelayan si anu, teman sepupu si anu, sepupu teman atau sepupu pelayan si anu... obrolan wanita, Mr. Cross. Dan kau perlu tahu kalau mereka tidak malu-malu mengungkapkan detailnya. Tentang dirimu."

Cross mengangkat sebelah alisnya. "Detail macam apa?"

Philippa ragu, dan rona kembali muncul di pipinya. Cross meredam kegembiraan yang menyambarnya begitu melihat sapuan merah muda cantik itu. Apa ada yang lebih menggoda daripada seorang wanita yang wajahnya merona karena pemikiran-pemikiran cabul?

"Konon kau jenis pria yang memiliki pemahaman mendalam mengenai... mekanisme... perbuatan yang dimaksud." Philippa benar-benar blak-blakan. Seolah mereka sedang berdiskusi tentang cuaca saja.

Philippa tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Binatang buas yang sedang ia pancing. Yang ia miliki merupakan keberanian -jenis keberanian yang pasti membawa wanita baik-baik dan terhormat ke dalam masalah.

Dan Cross tahu ia tidak boleh ikut ambil bagian di dalamnya.

Cross meletakkan kedua tangannya di meja, berdiri, lalu untuk yang pertama kalinya siang itu, mengatakan yang sebenarnya, "Sayangnya kau mendengar kabar yang keliru, Lady Philippa. Dan sudah waktunya kau pergi, aku akan membantumu dan tidak melaporkan kepada kakak iparmu kalau kau ke sini. Malah, aku akan melupakan kalau kau pernah ke sini."

Philippa terdiam selama beberapa saat, dan Cross menyadari bahwa kurangnya gerakan bertolak belakang dengan karakter Philippa. Philippa tidak pernah diam sejak ia terbangun karena suara lembut yang ditimbulkan oleh ujung jemari gadis itu di halaman-halaman buku besar. Cross mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi selanjutnya, untuk mencari perhatian logis dari kata-kata yang dapat menggodanya mengatakan lebih daripada yang ingin ia akui.

"Kurasa mudah bagimu untuk melupakanku."

Tidak ada apa pun pada suara itu yang menyiratkan bahwa Philippa menginginkan pujian atau penyangkalan. Tapi Cross berani menjamin kalau melupakan Philippa mustahil dilakukan.

"Tapi sayangnya aku tidak bisa membiarkannya," Philippa melanjutkan, nada frustasi terdengar jelas pada suaranya sementara Cross mendapat kesan bahwa Philippa berbicara pada dirinya sendiri. "Aku punya beberapa pertanyaan, dan tidak ada yang bisa menjawabnya. Dan aku hanya punya waktu empat belas hari untuk belajar."

"Apa yang terjadi empat belas hari lagi?"

Brengsek. Ia tidak peduli. Semestinya ia tidak bertanya.

Kekagetan melintas karena pertanyaan itu. Philipph memiringkan kepalanya lagi, dahinya dikerutkan seolah pertanyaan Cross konyol.

"Aku akan menikah."

Cross tahu diri. Selama dua seasion, Lady Philippa sudah didekati oleh Lord Castleton, seorang pesolek muda yang berotak udang. Tapi Cross langsung melupakan pria itu begitu Philippa memperkenalkan diri, berani, cerdas, dan sangat aneh.

Tidak ada satu hal pun dari diri Philippa yang mengindikasikan bahwa ia pantas menjadi Countess of Castleton barang sedikit saja.

Itu bukan urusanmu. 

Cross berdeham. "Selamat."

"Kau bahkan tidak tahu siapa calon suamiku."

"Sebenarnya aku tahu."

Alis Philippa terangkat. "Kau tahu? Dari mana?"

"Selain fakta bahwa kakak iparmu adalah mitra bisnisku dan bahwa pernikahan ganda dari kedua putri Marbury yang terakhir menjadi bahan pembicaraan para bangsawan, kau harus tahu bahwa hanya ada segelintir kejadian di dunia bangsawan yang tidak kuketahui." Cross berhenti sebentar. "Lord Castleton sangat beruntung."

"Baik sekali kau."

Cross menggelengkan kepala. "Bukan kebaikan. Kejujuran."

Salah satu ujung bibir Philippa terangkat. "Sedangkan aku?"

Cross bersedekap. Philippa akan bosan dengan Castleton dalam waktu dua puluh empat jam setelah mereka menikah. Kemudian gadis itu akan merana.

itu bukan urusanmu

"Castleton seorang pria terhormat."

"Diplomatis sekali," komentar Philippa, ia memutar bola dunia dan membiarkan jemarinya menelusuri topografi yang menonjol pada bola yang sedang berputar. "Lord Catleston memang begitu. Dia juga seorang earl. Dan dia suka anjing."

"Dan itu pembawaan yang dicari oleh wanita dalam diri suami zaman sekarang?"

Bukankah Philippa sudah mau pergi? Lantas, mengapa ia masih bisa bicara kepada gadis itu?

"Itu lebih baik daripada beberapa karakter lain yang lebih tidak menyenangkan yang biasa dimiliki oleh para suami," cetus Philippa, dan rasanya Cross mendengar nada defensif pada suara gadis itu.

"Misalnya?"

"Ketidaksetiaan. Kegemaran terhadap minuman keras. Ketertarikan terhadap bull-baiting."

"Bull-baiting?"

Philippa mengangguk sekali, dengan singkat. "Olahraga yang kejam. Bagi Banteng sekaligus anjingnya."

"Menurutku, itu sama sekali bukan olahraga. Tapi yang lebih penting lagi, apa kau familier dengan para pria yang menyukainya?"

Philippa mendorong kacamatanya tinggi-tinggi di hidungnya. "Aku pernah membaca sedikit. Ada diskusi yang sangat serius tentang hal itu di News of London minggu lalu. Agaknya jumlah pria yang menikmati kebarbarannya lebih banyak daripada yang kau sangaka. Untungnya, Lord Castleton tidak."

"Pangeran mulia di tengah kaum pria," ujar Cross mengabaikan bagaimana mata Philippa disipitkan karena nada sinis pada suaranya. "Kalau begitu, bayangkan kekagetanku saat mendapati calon countess-nya ada di samping tempat tidurku pagi ini, menginginkan maksiat."

"Aku tidak tahu kau tidur di sini," kilah Philipha. "Aku juga tidak menyangka kau masih tidur pada jam satu siang."

Cross mengangkat sebelah alisnya. "Aku bekerja sampai larut."

Philippa mengangguk, "Kurasa begitu. Tapi, kau benar-benar harus membeli tempat tidur sungguhan." Philippa melambaikan sebelah tangan ke kasur Cross yang ala kadarnya. "Itu pasti tidak nyaman."

Philippa mengalihkan mereka dari topik yang tengah dibahas. Dan Cross ingin gadis itu keluar dari kantornya. Secepatnya. "Aku tidak tertarik, seharusnya kau juga, untuk berlaku bejat di muka umum."

Pandangan Philippa dialihkan ke mata Cross, matanya memancarkan kekagetan. "Aku tidak mau berlaku bejat di muka umum."

Cross sering berpikir kalau ia pria yang cerdas dan berakal sehat. Ia terkagum-kagum akan ilmu pengetahuan dan dipandang sebagai seorang genius matematika oleh banyak orang. ia tidak mungkin bermain vingt-et-un tanpa menghitung kartu, dan ia berdebat dalam soal politik serta hukum dengan presisi yang tenang serta logis.

Lantas, mengapa ia merasa seperti orang dungu di dekat gadis ini?

"Bukankah kau sudah... sebanyak dua kali dalam dua puluh menit terakhir... memintaku untuk membuatmu berbuat maksiat?"

"Sebenarnya tiga kali." Philippa memiringkan kepala ke samping. "Yah, yang terakhir, kau bilang berlaku bejat, tapi menurutku itu bisa dihitung."

Persis seperti orang dungu.

"Tiga kali, kalau begitu."

Philippa mengangguk. "Benar. tapi bukan di muka umum. Itu jauh berbeda."

Cross menggelengkan kepala. "Rasanya aku kembali ke diagnosis awalku, Lady Philippa."

Philippa mengerjap.  "Gila?"

"Tepat."

Philippa terdiam selama beberapa saat, dan Cross bisa melihat Philippa berusaha mencari kata-kata untuk membujuknya agar mau memenuhi permintaan gadis itu. Philippa menunduk melihat meja Cross, pandangannya tertuju ke sepasang pendulum perak berat yang berdampingan. Philippa menulurkan tangan lalu menggerakkannya dengan lembut. Mereka memperhatikan beban berat itu bergoyang dengan sinkroni yang sempurna selama beberapa saat.

"Mengapa kau memajangnya?" tanya Philippa.

"Aku suka gerakannya." Kepastiannya. Yang bergerak ke satu arah akhirnya akan bergerak ke arah yang berlawanan. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada kejutan.

"Begitu pula dengan Newton," kata Philippa, dengan sederhana, dengan suara pelan, bicara lebih kepada dirinya sendiri ketimbang kepada Cross. "Empat belas hari lagi, aku akan menikah dengan seorang pria yang dengannya aku hanya punya sedikit kesamaan. Aku akan melakukannya karena itulah yang diharapkan akan kulakukan sebagai seorang wanita bangswan. Aku akan melakukannya karena itulah yang akan dinantikan oleh seisi London untuk kulakukan. Aku akan melakukannya karena menurutku tidak ada kemungkinan bagiku untuk menikah dengan seseorang yang dengannya aku punya lebih banyak kesamaan. Dan yang lebih penting lagi, aku akan melakukannya karena aku sudah bersedia, dan aku tidak mau mengingkari kata-kataku."

Cross memperhatikan Philippa, berharap ia bisa melihat mata itu tanpa perisai lensa tebal dari kacamata sang lady. Philippa menelan ludah, riak gerakan di lehernya yang halus. "Mengapa menurutmu kau tidak akan menemukan seseorang yang dengannya kau punya lebih banyak kesamaan?"

Philippa mendongak memandang Cross lalu berkata dengan sederhana, "Aku aneh."

Alis Cross terangkat, tapi ia tidak bicara. Ia tidak yakin apa yang harus dikatakan untuk menanggapi pengumuman semacam itu.

Philippa tersenyum melihat kebimbangan Cross. "Kau tidak perlu bersikap sopan tentang itu. Aku bukan orang bodoh. Aku sudah aneh di sepanjang hidupku. Seharusnya aku bersyukur karena ada yang sudi menikahiku... dan bersyukur karena seorang earl mau menikahiku. Karena dia benar-benar mendekatiku. Dan, jujur saja, aku cukup senang dengan masa depan yang akan terwujud. Aku akan pindah ke Sussex dan tidak harus mengunjungi Bond Street ataupun ruang-ruang dansa lagi. Lord Castleton sudah memberi tempat untuk rumah kaca dan eksperimen-eksperimenku,dia bahkan memintaku membantunya mengelola estat. Kurasa dia senang mendapat bantuan."

Mengingat bahwa Castleton adalah pria yang sangat baik sekaligus bodoh, Cross membayangkan sang earl bersukaria karena fakta  bahwa tunangannya yang cerdas bersedia mengelola estat keluarganya dan menghindarkannya dari kerumitan. "Kedengarannya itu bagus. Apa dia juga akan memberimu sekawanan anjing?"

Bila mendengar sindiran pada kata-kata Cross, Philippa tidak menunjukkannya, dan Cross mendapati dirinya menyesali nada itu. "Kuharap begitu. Aku sudah tidak sabar lagi. Aku sangat menyukai anjing." Philippa berhenti sebentar, memiringkan dagunya ke samping, memandangi langit-langit sejenak sebelum berkata, "Tapi aku mencemaskan sisanya."

Seharusnya Cross tidak bertanya. Janji pernikahan bukanlah sesuatu yang sering ia pikirkan. Jelas ia tidak mau memulainya sekarang. "Sisanya?"

Philippa mengangguk. "Jujur saja, aku merasa agak kurang siap. Aku tidak tahu apa-apa tentang aktivitas yang berlangsung setelah pernikahan... pada malam harinya... di ranjang pengantin," ia menambahkan, seolah Cross tidak mengerti.

"Dan jujur saja, menurutku janji pernikahan agak keliru."

Alis Cross terangkat. "Janjinya?"

Philippa mengangguk. Yah, khususnya bagian sebelum janji."

"Firasatku berkata bahwa kekhususan itu sangat penting bagimu."

Philippa tersenyum, dan ruang kantor itu bertambah hangat. "Kau lihat? Aku sudah tahu kau akan menjadi mitra riset yang baik. Cross tidak menanggapi, dan Philippa memecah keheningan, mengutip dengan tenang, "Pernikahan tidak boleh dianggap main-main, dan dilaksanakan secara gegabah dan sembarangan." 

Cross mengerjap.

"Itu bagian dari upacaranya," Philippa menjelaskan.

 Itu, tidak diragukan lagi, merupakan satu-satunya kesempatan di mana seseorang mengutip Buku Doa Umum di kantor Cross. Mungkin, di seluruh penjuru gedung ini. Sampai kapan pun. "Kedengarannya itu masuk akal."

Philippa mengangguk. "Aku sependapat. Tapi masih ada kelanjutannya. Pernikahan tidak boleh dianggap main-main guna memuaskan kebutuhan serta hasrat jasmani pria, seperti binatang buas yang tidak berakal.

Cross tidak kuasa menahan diri. "Itu ada di upacaranya?"

"Aneh, kan? Maksudku, kalau aku menyebut-nyebut hasrat jasmani dalam percakapan pada, katakanlah, perjamuan minum teh, aku pasti diusir dari dunia bangsawan, tapi di hadapan Tuhan dan seluruh penduduk London di Gereja St. George, itu sah-sah saja." Philippa menggelengkan kepala. "Sudahlah. Kau bisa mengerti mengapa aku cemas."

"Kau terlalu mengkhawatirkannya, Lady Philippa. Lord Castleton mungkin tidak terlalu pintar, tapi aku yakin dia bisa mengurus masalah ranjang pengantin."

Alis Philippa menyambung. "Aku ragu."

"Jangan."

"Kurasa kau tidak mengerti," kata Philippa. "Aku harus mengetahui apa yang akan terjadi. mempersiapkan diri menghadapinya. Yah... masa kau tidak mengerti? Semua ini termasuk ke dalam tugas terpenting yang akan kuemban sebagai istri."

"Yaitu?"

"Prokreasi."

Kata itu -ilmiah dan tidak lumrah- seharusnya tidak menggugah Cross. Kata itu seharusnya tidak menimbulkan khayalan tentang kaki jenjang, kulit lembut, dan mata besar yang berkacamata. Tapi ternyata begitu.

Cross bergeser saking resahnya sementara Philippa melanjutkan, "Aku sangat menyukai anak-anak, jadi aku yakin itu tidak akan bermasalah. Tapi tentu kau mengerti aku butuh pemahaman. Dan, karena kau dikenal sebagai pakar dalam masalah tersebut, rasanya tidak ada orang lain yang lebih bisa membantuku dalam risetku."

"Topik anak-anak?"

Philippa menghela napas saking frustasinya. "Topik berkembang biak."

Cross ingin mengajari Philippa semua yang ia ketahui tentang berkembang biak.

"Mr. Cross?"

Cross berdeham. "Kau tidak mengenalku."

Philippa mengerjap. Rupanya gagasan tersebut belum terpikir olehnya. "Yah, aku tahu tentang dirimu. Itu cukup. Kau akan menajadi mitra riset yang baik."

"Riset tentang apa?"

"Aku sudah sering membaca tentang subjek itu, tapi aku ingin memahaminya dengan lebih baik. Agar aku bisa memasuki dunia pernikahan dengan tenang tanpa kecemasan apa pun. Jujur saja, bagian binatang buasnya agak meresahkan."

"Kurasa begitu," gumam Cross dengan datar.

Namun, Philippa terus bicara, seolah Cross tidak ada di sana. "Aku juga mengerti bagi wanita yang... belum berpengalaman... terkadang tindakan yang dimaksud terasa tidak terlalu... menyenangkan. Dalam kasus itu, riset dapat membantu, begitu menurutku. Malah, aku berhipotesis bahwa bila aku belajar dari pengalamanmu yang banyak jumlahnya, Castleton dan aku akan mendapat pengalaman yang lebih menyenangkan. Kurasa kami harus melakukannya beberapa kali sebelum itu bisa berhasil, jadi apa pun yang bisa kau lakukan guna memberi pencerahan dalam aktivitas itu..."

Entah mengapa, Cross merasa semakin sulit untuk mendengarkan Philippa. Untuk mendengarkan pemikiran-pemikirannya sendiri. Tidak mungkin Philippa berkata...

"Pendulumnya berpasangan?"

Apa? 

Cross mengikuti arah pandangan Philippa, ke bola logam yang bergoyang, diayun ke arah yang sama, sekarang bergerak ke arah yang berlawanan. Betapa pun persisnya kedua bola itu digerakkan ke jalur yang sama, salah satu beban besar itu pada akhirnya akan mengubah posisinya. Selalu.

"Memang."

"Yang satu memicu gerakan yang satunya," kata Philippa dengan sederhana.

"Begitulah teorinya."

Philippha mengangguk, memperhatikan bola perak itu mengayun saling mendekati, lalu menjauh. Sekali. Dua kali. Philippa mendongak memandang Cross, dengan sangat serius. "Kalau harus berjanji, aku ingin memahami setiap bagiannya. Jelas hasrat jasmani merupakan sesuatu yang harus kupahami. Dan apa kau tahu mengapa pernikahan menggugah pria seperti binatang buas?"

Sebuah fantasi berkelebat, ujung jemari yang  miring di atas kulit, mata biru mengerjap, membelalak karena kenikmatan.

Ya. Cross tahu persis. "Tidak."

Philippa mengangguk sekali, menanggapi jawaban Cross dengan serius. "Jelas itu berhubungan dengan persetubuhan."

Oh, Tuhan. 

Philippa menjelaskan, "Ada seekor sapi jantan di Coldharbour, di mana estat ayahku berada. Aku tidak sehijau yang kau pikir."

"Kalau menurutmu sapi jantan di tanah penggembalaan mirip dengan pria manusia, kau memang sehijau yang kupikir."

"Nah, kau mengerti, kan? Karena itulah aku butuh bimbinganmu."

Sial.  Cross tahu ia sudah masuk ke perangkap Philippa. Ia memaksakan diri untuk tidak bergerak. Melawan tarikan Philippa.

"Setahuku kau sangat piawai dalam bidang itu," Philippa melanjutkan, tidak tahu-menahu tentang pergolakan yang telah ia timbulkan. Atau, mungkin gadis itu tahu persis. Cross sudah tidak tahu lagi. Sudah tidak bisa memercayai dirinya sendiri. "Apa itu benar?"

"Tidak," tukas Cross, langsung. Mungkin itu akan membuat Philippa pergi.

"Aku tahu cukup banyak tentang pria sehingga tahu bahwa mereka tidak mungkin mengakui kurangnya keahlian dalam bidang ini, Mr. Cross. Tentunya kau tidak berharap akan memercayainya." Philippa tertawa, suara riang, segar, dan bertolak belakang dengan ruangan suram ini. "Sebagai pria yang jelas terpelajar... kupikir kau akan bersedia membimbingku dalam risetku."

"Risetmu dalam soal prilaku berpasangan sapi jantan?"

Senyum Philippa berubah menjadi senyum geli. "Risetku dalam soal hasrat dan nafsu jasmani."

Hanya ada satu pilihan. Menakut-nakuti Philippa sampai sang lady pergi. Menghina Philippa sampai gadis itu pergi. "Kau memintaku menggaulimu?"

Mata Philippa membelalak. "Tahukah kau, aku belum pernah mendengar kata itu diucapkan keras-keras?"

Dan, begitulah, dengan pernyataan Philippa yang sederhana dan blak-blakan, Cross merasa seperti kutu. Ia membuka mulut untuk meminta maaf.

Philippa mendahuluinya, bicara seolah Cross seorang anak kecil. Seolah mereka tengah membahas sesuatu yang sangat wajar. "Sepertinya maksudku belum jelas. aku tidak mau kau melakukan aktivitasnya, bisa dibilang begitu." Aku hanya mau kau membantuku untuk lebih memahaminya."

"Memahaminya..."

"Tepat. Masalah janjinya, masalah anak-anak, dan yang lainnya." Philippa terdiam sejenak, lalu menambahkan. "Semacam kuliah. Dalam bidang perkembangbiakan. Semacam itu."

"Cari saja orang lain. Semacam itu."

Mata Philippa disipitkan begitu ia mendengar nada mengejek Cross. "Tidak ada orang lain."

 "Apa kau sudah mencari?"

"Menurutmu siapa yang bersedia menjelaskan prosesnya kepadaku? Yang pasti bukan ibuku."

"Bagaimana dengan kakak-kakakmu? Apa kau sudah bertanya pada mereka?"

"Pertama, aku tidak yakin Victoria atau Valerie punya ketertarikan besar atau pun pengalaman banyak dalam hal itu. Sedangkan Penelope... dia menjadi absurb kalau ditanya tentang apa pun yang berhubungan dengan Bournie. Mengoceh tentang cinta dan hal-hal yang tidak penting." Philippha memutar bola matanya. "Tidak ada waktu untuk meneliti cinta."

Alis Cross terangkat. "Begitu, ya?"

Philippa tampak ngeri. "Tentu saja. Akan tetapi, kau merupakan pria terpelajar dengan pengalaman yang legendaris. Aku yakin ada banyak hal yang dapat kau klarifikasi. Misalnya, aku sangat penasaran dengan bagian tubuh pria."

Cross tersedak. Kemudian terbatuk.

Setelah kemampuan bicaranya kembali, ia berkata, "Aku yakin itu."

"Aku pernah melihat gambarnya, tentu saja... dalam buku anatomi... tapi mungkin kau bisa membantuku dengan beberapa bagian yang spesifik? Misalnya..."

"Tidak," sela Cross sebelum Philippa memberi penjelasan dengan salah satu pertanyaa ilmiahnya yang blak-blakan.

"Aku bersedia membayarmu," bujuk Philippa. "Untuk jasamu."

Suara kasar dan tertahan membelah ruangan. Suara itu berasal dari Cross. "Membayarku?"

Philippa mengangguk. "Apa dua puluh lima pound cukup?"

"Tidak."

Alis Philippa menyambung. "Tantu saja, orang dengan... kepiawaian sepertimu... pasti lebih mahal dari itu. Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu. Lima puluh? Sayangnya aku tidak bisa membayar lebih tinggi lagi. Jumlah itu sudah sangat banyak."

Philippa mengira jumlah uang itu yang membuat penawaran tadi menyinggung perasaan? Cross tak habis pikir. Sang lady tidak mengerti kalau ia sudah hampir melakukannya secara gratis. Sudah hampir membayar Philippa untuk kesempatan menunjukkan semua yang diminta oleh gadis itu.

Di sepanjang hidupnya, belum pernah ada yang lebih ingin ia lakukan daripada menghempaskan wanita aneh ini ke mejanya dan memberikan apa yang gadis itu minta.

Keinginan tidaklah relevan. Atau mungkin itulah satu-satunya hal yang relewan. Bagaimanapun juga, ia tidak bisa membantu Lady Philippa Marbury.

Philippha merupakan wanita paling berbahaya yang pernah ia jumpai.

Cross menggelengkan kepala lalu mengucapkan satu-satunya kalimat yang ia percaya untuk dirinya ucapkan. Singkat. Tanpa basa-basi. "Sayangnya aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, Lady Philippa. Kusarankan agar kau meminta bantuan orang lain. Mungkin tunanganmu." Ia membenci saran itu bahkan selagi mengucapkannya. Menahan keinginan untuk menarik kembali.

Philippa membisu selama beberapa saat, mengerjap kepada Cross dari balik kacamatanya yang tebal, mengingatkan Cross kalau ia tak terjamah.

Cross menunggu. Philippa menghampiri Cross dengan tatapan tajam serta kata-kata blak-blakannya.

Tentu saja, tidak ada yang bisa ditebak dari diri gadis ini.

"Aku sungguh-sungguh berharap kau mau memanggilku Pippa," cetus Philippa, dan sesudah mengucapkannya, ia membalikkan badan lalu pergi.




Next
Back
Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar