Sejauh ini, keluarga Bridgerton
merupakan keluarga paling berlimpah dalam masyarakat kelas atas. Tingkat
produktivitas sang viscountess dan almarhum viscount patut dipuji, walaupun
kita hanya bisa menemukan kedangkalan dalam pemilihan nama anak-anak mereka.
Anthony, Benedict, Colin, Daphne, Eloise, Francesca, Gregory, and Hyacinth?
Tentu saja keturunan itu penting dalam segala hal, tapi kita selalu berpikir
orang tua yang cerdas bisa mengingat anak-anak mereka tanpa perlu mengurutkan
nama mereka sesuai alfabet.
Selain itu, pemandangan sang viscountes
dan kedelapan anaknya di satu ruangan sudah cukup untuk membuat kita merasa
mendapat penglihatan ganda –atau lipat tiga –atau malah lebih parah. Penulis
tidak pernah melihat sekumpulan kakak beradik yang sangat konyolnya begitu
mirip dari segi fisik. Walaupun penulis tidak pernah sengaja mencatat warna
mata mereka, kedelapan bersaudara itu memiliki struktur tulang yang serupa
serta rambut coklat terang tebal yang sama. Kita harus merasa iba pada sang
viscountess manakala beliau mengharapkan pernikahan menguntungkan bagi
anak-anaknya karena beliau tidak menghasilkan seorang pun anak dengan warna
mata dan rambut yang lebih modis. Namun, ada satu keuntungan bagi keluarga
dengan penampilan konsisten seperti itu –tidak diragukan lagi, kedelapan anak
itu memang anak mereka yang sah.
Ah, Pembaca Budiman, Penulis yang
berdedikasi ini berharap demikianlah situasinya di dalam semua keluarga
besar....
LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN
12
APRIL 1813
“OOOOOOOOOHHHHHHHHHH!”
Violet Bridgerton meremas lembaran koran itu menjadi bola dan melemparnya ke
seberang ruang duduk elegan itu.
Putrinya
Daphne dengan bijak tidak berkomentar dan pura-pura sibuk dengan sulamannya.
“Kau
baca tidak apa yang dikatakannya?” tuntut Violet. “Baca, tidak?”
Daphne
melirik bola kertas yang kini berada di bawah meja kecil dari mahoni. “Aku
tidak sempat membacanya sebelum kau, ehem, selesai membacanya.”
“Bacalah
kalau begitu,” ratap Violet, tangannya melambai-lambai dengan dramatis.
“Bacalah bagaimana wanita itu
menghina kita.”
Daphne
dengan tenang meletakkan sulamannya dan meraih ke bawah meja kecil. Ia
merapikan lembar kertas itu di pangkuannya dan membaca paragraf tentang
keluarganya. Ia berkedip lalu mendongak. “Ini tidak terlalu buruk, Ibu. Bahkan,
ini bisa dibilang sangat memuji dibandingkan dengan apa yang ditulisnya tentang
keluarga Featherington minggu lalu.”
“Bagaimana
aku bisa mencarikan suami untukmu jika wanita
itu mencoreng nama baikmu?”
Daphne
memaksa dirinya mengembuskan napas. Setelah nyaris dua musim di London,
mendengar kata suami saja sudah bisa
membuat keningnya berdenyut-denyut. Ia ingin menikah, sungguh, dan bahkan tidak
mengharapkan pasangan sehati yang saling mencintai. Tapi terlalu tinggikah
cita-citanya mengharapkan suami yang setidaknya ia sukai?
Sejauh
ini sudah ada empat pria yang melamarnya, tapi ketika membayangkan menjalani
sisa kehidupannya bersama salah satu dari mereka, Daphne tidak bisa
menerimanya. Ada sejumlah pria yang menurutnya mungkin akan menjadi suami yang
lumayan baik, tapi masalahnya, tak seorang pun dari mereka yang tertarik
padanya. Oh, mereka semua menyukainya.
Semua orang menyukainya. Semua orang beranggapan dirinya lucu, baik hati,
cerdas, dan tidak seorang pun berpikir penampilannya sama sekali tidak menarik,
tapi pada saat yang sama tidak seorang pun terpukau oleh kecantikannya, terpana
hingga membisu oleh kehadirannya, atau tergerak untuk menulis puisi untuknya.
Kaum
pria hanya tertarik pada wanita yang takut pada mereka, pikir Daphne sebal.
Tidak seorang pun yang terlihat ingin mendekati wanita sepertiku. Mereka semua
menyayanginya, atau begitulah yang mereka bilang, karena ia sangat mudah diajak
bicara, dan seolah selalu mengerti perasaan kaum pria. Seperti yang dikatakan
salah satu pria yang ia pikir bisa menjadi suami yang lumayan baik, “Ya ampun,
Daff, kau tidak seperti wanita biasa. Kau benar-benar normal.”
Yang
mungkin bisa dianggapnya sebagai pujian jika pria itu tidak melanjutkannya
dengan pergi mencari si cantik berambut pirang yang sedang naik daun.
Daphne
menunduk dan menyadari tangannya mengepal. Kemudian ia mendongak dan mendapati
ibunya memandanginya, jelas menunggunya mengatakan sesuatu. Karena sudah
menghela napas, ia berdeham dan berkata, “Aku yakin kolom pendek Lady
Whistledown takkan merusak peluangku mencari suami.”
“Daphne,
tapi ini kan sudah dua tahun!”
“Dan
Lady Whistledown baru terbit selama tiga bulan, jadi aku tidak bisa mengerti
kenapa kita harus menyalahkannya.”
“Aku
akan menyalahkan siapa pun yang aku mau,” gerutu Violet.
Kuku
Daphne menusuk telapak tangannya manakala ia menyuruh dirinya untuk tidak
melontarkan balasan. Ia tahu Violet hanya memikirkan masa depannya, tahu ibunya
mencintainya. Ia juga mencintai ibunya. Bahkan, sampai Daphne mencapai usia
yang pantas untuk menikah, Violet sungguh-sungguh ibu terbaik. Violet masih
menjadi ibu terbaik, ketika tidak mengeluhkan fakta bahwa setelah Daphne, dia
masih harus mencarikan suami untuk ketiga putrinya yang lain.
Violet
menekankan tangan yang ramping ke dadanya. “Dia mencurigai keabsahan statusmu
sebagai anakku.”
“Tidak,”
jawab Daphne pelan. Lebih baik melangkah dengan waspada ketika ia membantah
ibunya. “Sebaliknya, dia mengatakan bahwa tidak perlu diragukan lagi kami
sebagai anak sah kalian. Sementara sebagian besar keluarga bangsawan tidak
seperti itu.”
“Seharusnya
dia bahkan tidak perlu mengungkitnya,” isak Violet.
“Ibu,
dia itu penulis lembar gosip. Sudah tugasnya mengungkit hal semacam itu.”
“Dia
bahkan bukan orang sungguhan,” tambah Violet geram. Ia berkacak pinggang,
kemudian berubah pikiran dan menggoyang jarinya. “Whistledown, hah! Aku tidak
pernah mendengar keluarga bernama Whistledown. Siapa pun wanita bejat ini, aku
ragu dia salah satu dari kita. Tidak
mungkin orang keturunan baik-baik menulis kebohongan kejam semacam itu.”
“Tentu
saja dia salah satu dari kita,” sahut Daphne, mata coklatnya memancarkan
kegelian. “Jika bukan warga bangsawan, mustahil dia bisa mengetahui berbagai
macam berita yang ditulisnya. Menurutmu dia itu semacam penipu, mengintip dari
jendela, dan menguping dari balik pintu?”
“Aku
tidak suka nada bicaramu, Daphne Bridgerton,” ujar Violet, matanya menyipit.
Daphne
menahan senyumnya lagi. “Aku tidak suka nada bicaramu,” adalah jawaban standar
Violet ketika salah satu anaknya memenangkan perdebatan. Tapi terlalu
menyenangkan rasanya bisa menggoda wanita itu. “Aku takkan terkejut jika Lady
Whistledown ternyata salah seorang ‘temanmu’,” cetusnya sembari menelengkan
kepala.
“Jaga
mulutmu, Daphne. Tak seorang pun temanku yang akan bertindak sehina itu.”
“Baiklah,”
aku Daphne, “mungkin itu bukan salah satu temanmu. Tapi aku yakin itu seseorang
yang kita kenal. Tidak mungkin ada penyelundup yang bisa mendapatkan informasi
seperti itu.”
Violet
menyilangkan lengannya. “Aku ingin mengakhiri pekerjaannya untuk selamanya.”
Daphne
tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, “Kalau memang ingin mengakhiri
pekerjaannya, seharusnya ibu jangan membeli korannya.”
“Memang
apa gunanya aku bertindak seperti itu?” desak Violet. “Semua orang membacanya.
Embargo kecilku tak berpengaruh apa pun kecuali membuatku terlihat bodoh ketika
semua orang terkekeh sembari membicarakan gosip terbaru.”
Itu
memang betul, Daphne mengiyakan dalam hati. Warga terkemuka London amat sangat
kecanduan pada Lembar Berita Lady
Whistledown. Koran misterius itu tiba di setiap ambang pintu rumah kaum
bangsawan tiga bulan lalu. Selama dua minggu koran itu dikirim tanpa izin
setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Kemudian, pada Senin ketiga, para kepala pelayan
di London menunggu dengan sia-sia gerombolan loper koran yang biasanya mengirim
Whistledown, dan mendapati, alih-alih
pengiriman gratis, mereka menjual lembaran gosip itu seharga lima penny per koran, harga yang sangat
mahal.
Daphne
harus mengakui kecerdikan Lady Whistledown fiktif itu. Begitu wanita tersebut
mulai memaksa orang-orang membayar demi mendapatkan gosip mereka, seluruh kaum
bangsawan sudah kecanduan. Semua orang membayar biaya berlangganan tersebut
dan, di suatu tempat, seorang wanita tukang ikut campur menjadi kaya raya.
Sementara
Violet mondar-mandir di ruangan dan berkeluh-kesah tentang “penghinaan
menjijikan” terhadap keluarganya, Daphne mendongak untuk memastikan ibunya
tidak memperhatikan dirinya, kemudian menunduk dan membaca sisa tulisan
lembaran gosip itu. Whistledown
–demikian sebutannya– merupakan gabungan unik komentar, kabar sosial, hinaan
pedas, dan terkadang pujian. Yang membedakannya dari lembaran berita masyarakat
sebelumnya adalah bahwa si penulis menuliskan nama subjeknya secara lengkap.
Tidak ada sembunyi-sembunyi dibalik singkatan seperti misalnya Lord S, atau
Lady G. Jika menulis tentang seseorang, Lady Whistledown menggunakan nama
lengkap mereka. Seluruh bangsawan menyatakan diri mereka sangat tersinggung
dengan cara penulisan seperti itu, walaupun diam-diam mereka kecanduan.
Edisi
terbaru ini khas Whistledown. Selain
tulisan singkat tentang keluarga Bridgerton, yang sebenarnya tidak lebih dari
sekadar penggambaran keluarga ini, Lady Whistledown menceritakan kejadian di
pesta dansa semalam. Daphne tidak menghadirinya, karena kemarin adalah hari
ulang tahun adik perempuannya, dan keluarga Bridgerton selalu merayakan hari
ulang tahunnya. Dengan delapan anak, ada banyak ulang tahun yang perlu
dirayakan.
“Kau
membaca sampah itu,” tuduh Violet.
Daphne
mendongak, tidak bersedia merasa bersalah sedikit pun. “Hari ini artikelnya
lumayan bagus. Tampaknya Cecil Tumbley menjatuhkan seluruh menara gelas
sampanye semalam.”
“Benarkah?”
tanya Violet, berusaha tidak terlihat tertarik.
“He-eh,”
sahut Daphne. “Dia menuliskan pesta dana Middlethorph dengan lumayan mendetail.
Menyebutkan siapa berbicara dengan siapa, dan apa yang dipakai orang-orang–“
“Dan
kurasa dia merasa perlu melontarkan pendapatnya soal itu,” sela Violet.
Daphne
tersenyum jail. “Oh, ayolah, Bu. Kau tahu Mrs. Featherington selalu terlihat
mengerikan dalam nuansa ungu.”
Violet
berusaha tidak tersenyum. Daphne bisa melihat ujung bibir wanita itu berkedut
manakala ibunya berusaha mempertahankan sikap yang menurutnya pantas bagi
seorang viscountess sekaligus seorang
ibu.. Tapi dalam dua detik Violet menyengir dan duduk di samping putrinya di
sofa. “Coba kulihat itu,” ujarnya, menyambar koran tersebut. “Apa lagi yang
terjadi? Apa kita melewatkan sesuatu yang penting?”
Daphne
berkata, “Astaga, Ibu, dengan reporter seperti Lady Whistledown, kita tidak
perlu menghadiri acara apa pun.” Ia
melambai ke arah koran itu. “Ini nyaris sebagus jika kita sendiri datang ke
sana. Mungkin malah lebih baik. Aku yakin makanan kita semalam lebih baik
dibanding makanan di pesta dansa itu. Dan kembalikan korannya.” Ia menyambar
lembaran itu lagi, meninggalkan sobekan bagian sudut di tangan Violet.
“Daphne!”
Daphne
pura-pura tersinggung. “Aku kan sedang membacanya.”
“Astaga!”
“Dengar
ini.” Violet mencondongkan badan mendekat. Daphne membaca, “Sang playboy yang dulu dikenal sebagai Earl
Clyvedon akhirnya menaganggap sudah waktunya menampakkan diri di London.
Walaupun dia belum bersedia muncul di acara malam yang terhaormat, Duke of
Hastings yang baru ini beberapa kali terlihat di White’s dan sekali di
Tattersall’s.” Ia berhenti sejenak untuk menarik napas. “His Grace tinggal di
luar negeri selama enam tahun. Apa hanya kebetulan dia baru kembali sekarang
karena duke yang sebelumnya sudah
meninggal?”
Daphne
mendongak. “Astaga, dia memang blak-blakan, ya? Bukankah Clyvedon itu salah
satu teman Anthony?”
“Sekarang
namanya Hastings,” ralat Violet otomatis, “dan ya, kurasa dia dan Anthony
berteman di Oxford. Di Eton juga, rasanya.” Alisnya berkerut dan mata birunya
menyipit ketika ia mencoba mengingatnya. “Jika ingatanku tidak keliru, dia itu
agak liar. Tapi terkenal lumayan brilian. Aku cukup yakin Anthony bilang dia
menempati rangking pertama dalam matematika. Dan itu lebih baik dibanding anak-anakku yang mana pun,” tambahnya
sambil memutar bola mata layaknya seorang ibu.
“Sudahlah,
Ibu,” goda Daphne. “Aku yakin aku akan mendapat rangking pertama jika Oxford
bersedia menerima murid wanita.”
Violet
mendengus. “Aku memperbaiki tugas aritmatikamu ketika guru pribadimu sakit,
Daphne.”
“Yah,
kalau begitu mungkin dalam pelajaran sejarah,” balas Daphne sambil menyengir.
Ia kembali menunduk mencermati koran di tangannya, tatapannya tertarik ke nama duke baru itu. “Kedengarannya dia
lumayan menarik,” gumamnya.
Violet
menatapnya dengan tajam. “Dan tidak pantas bagi wanita muda seusiamu.”
“Lucu
sekali bagaimana ‘usiaku’, seperti istilah kau gunakan, berubah-ubah antara
terlalu muda sampai-sampai aku bahkan tidak boleh bertemu teman Anthony dan
terlalu tua hingga kau putus asa melihatku mendapatkan suami yang layak.”
“Daphne
Bridgerton, aku tidak –”
“–suka
nada bicaramu, aku tahu.” Daphne menyengir. “Tapi kau menyayangiku.”
Violet
tersenyum hangat dan melingkarkan tangan di bahu Daphne. “Ya, aku
menyayangimu.”
Daphne
mencium singkat pipi ibunya. “Itu kutukan para ibu. Kau diharuskan mencintai
kami bahkan ketika kami membuatmu kesal.”
Violet
hanya mendesah. “Kuharap suatu hari nanti kau punya anak–”
“–persis
sepertiku, aku tahu.” Daphne tersenyum sendu dan merebahkan kepala di bahu
ibunya. Ibunya bisa bersikap terlalu ingin tahu, sementara ayahnya terlalu
tertarik pada anjing pemburu dan kegiatan berburu itu sendiri dibanding urusan
masyarakat kelas atas, tapi pernikahan mereka hangat, penuh dengan cinta, tawa,
dan anak-anak. “Aku bisa mendapatkan sesuatu yang jauh lebih buruk dibanding
mengikuti jejakmu, Ibu,” gumamnya.
“Oh,
Daphne, kata-katamu indah sekali,” ujar Violet, matanya mulai berkaca-kaca.
Daphne
memilin sejumput rambut coklatnya di jari dan menyengir, membiarkan suasana
sentimentil ini berubah menjadi lebih riang. “Aku akan dengan senang hati
mengikuti jejakmu menyangkut pernikahan dan anak-anak, Ibu, asalkan aku tidak
perlu punya delapan anak.”
***
Tepat
pada detik itu, Simon Basset, Duke of Hastings yang baru dan topik pembicaraan
para wanita Bridgerton, sedang duduk-duduk di White’s. Orang yang menemaninya
tidak lain dan tidak bukan adalah Anthony Bridgerton, kakak laki-laki tertua
Daphne. Keduanya terlihat sangat menawan, sama-sama jangkung dan atletis,
dengan rambut gelap dan tebal. Tapi jika mata Anthony berwarna coklat tua, sama
dengan adik perempuannya, mata Simon berwarna biru terang, dengan tatapannya
yang sangat menusuk.
Mata
itulah, ditambah hal-hal lain, yang menghasilkan reputasinya sebagai pria yang
patut diperhitungkan. Ketika Simon menatap seseorang, lekat-lekat dan lama,
para pria menjadi gelisah. Sementara para wanita malah gemetar.
Tapi
tidak demikian halnya dengan Anthony. Kedua pria itu sudah bertahun-tahun
saling mengenal, dan Anthony hanya tertawa ketika Simon mengangkat sebelah
alisnya dan melontarkan tatapan dingin itu ke arahnya. “Kau lupa ya, aku sudah
melihatmu dengan kepala di dalam pispot,” begitulah dulu yang dikatakan
Anthony. “Sejak itu aku sulit menganggapmu serius.”
Yang
kemudian dibalas Simon dengan, “Ya, tapi seingatku, kaulah yang memegangiku di
atas wadah wangi itu.”
“Itu
sudah pasti salah satu kenanganku yang paling dibanggakan. Tapi besok malamnya
kau membalas dengan menaruh selusin belut di ranjangku.”
Simon
mengizinkan dirinya tersenyum sembari
mengenang insiden serta pembicaraan mereka setelah itu. Anthony memang
teman baik, tipe yang diinginkan kaum pria untuk mendampingi mereka dalam
keadaan terjepit. Dialah orang pertama yang ditemui Simon begitu kembali ke
Inggris.
“Senang
sekali melihat kau kembali, Clyvedon,” ujar Anthony, begitu menempati meja
mereka di White’s. “Oh, tapi kurasa kau memintaku memanggilmu Hastings
sekarang.”
“Tidak,”
jawab Simon agak tegas. “Hastings akan selalu menjadi ayahku. Dia tidak pernah
menerima sebutan lain.” Ia berhenti sejenak. “Jika harus, aku akan menerima
gelarnya, tapi aku takkan mau dipanggil dengan namanya.”
“Jika
harus?” mata anthony melebar sedikit. “Kebanyakan orang takkan terdengar begitu
pasrah menghadapi prospek menjadi duke.”
Simon
menyusurkan tangan di rambut gelapnya. Ia tahu seharusnya ia menghargai
leluhurnya dan menunjukkan kebanggan besar akan sejarah luar biasa keluarga
Basset, tapi sebenarnya semua itu membuatnya muak. Ia menghabiskan seluruh
hidupnya untuk tidak memenuhi harapan ayahnya; tampaknya konyol jika sekarang
ia berusaha bertindak sesuai gelarnya. “Itu Cuma beban,” akhirnya ia
menggerutu.
“Sebaiknya
kau terbiasa,” ujar Anthony pragmatis, “karena orang akan memanggilmu seperti
itu.”
Simon
tahu itu benar, tapi ragu gelar itu akan pernah terasa nyaman di pundaknya.
Yah,
bagaimanapun situasin ya,” tambah Anthony, menghormati privasi temannya dengan
tidak memperpanjang sesuatu yang jelas merupakan topik pembicaraan yang tidak
nyaman, “Aku senang melihatmu kembali di sini. Mungkin akhirnya aku bisa merasa
lebih tenang lain kali aku mengantar adik perempuanku ke pesta dansa.”
Simon
bersandar, menyilangkan kakinya yang jenjang dan berotot di mata kaki.
“Komentar menarik.”
Anthony
mengangkat sebelah alisnya. “Komentar yang kau yakin akan kujelaskan?”
“Tentu
saja.”
“Seharusnya
aku membiarkan kau mengalaminya sendiri, tapi yah, aku tidak pernah bersikap
kejam pada orang lain.”
Simon
terkekeh. “Omongan ini berasal dari orang yang memasukkan kepalaku ke pispot?”
Anthony
melambaikan tangan dengan santai. “Waktu itu aku masih muda.”
“Dan
sekarang kau menjadi panutan sikap pria dewasa dan terhormat?”
Anthony
menyengir. “Sudah pasti.”
“Jadi,
katakan padaku,” ucap Simon malas, “bagaimana tepatnya aku bisa membuat hidupmu
jauh lebih tenang?”
“Aku
berasumsi kau berencana mengisi posisimu di masyarakat.”
“Asumsimu
keliru.”
“Tapi
kau berencana menghadiri pesta dansa
Lady Danbury minggu ini,” ucap Anthony.
“Hanya
karena aku entah kenapa menyukai wanita tua itu. Dia mengatakan apa yang
dimaksudkannya, dan–” Mata Simon mendadak terlihat agak murung.
“Dan?”
desak Anthony.
Simon
menggeleng sebentar. “Bukan apa-apa. Hanya saja dia lumayan baik kepadaku
sewaktu aku kecil. Aku menghabiskan beberapa liburan sekolah di rumahnya
bersama Rivaldale. Keponakannyam kau tahu kan.”
Anthony
mengangguk sekali. “Ah, aku mengerti. Jadi kau tidak berniat memasuki
masyarakat. Aku mengagumi tekadmu. Tapi izinkan aku memperingatkanmu, bahkan
jika kau tidak berniat menghadiri acara-acara bangsawan, mereka akan menemukanmu.”
Simon,
yang pada saat itu menyesap brendinya, tersedak melihat ekspresi di wajah
Anthony ketika pria itu berkata, ‘mereka.’ Setelah terbatuk sebentar, akhirnya
ia bisa berhasil berkata. “Tolong katakan, siapa ‘mereka’ itu?”
Anthony
bergidik. “Para ibu.”
“Karena
tidak punya ibu, aku tidak bisa berkata aku memahami maksudmu.”
“Para
ibu masyarakat kelas atas, tolol. Naga penyembur api dengan putri –semoga Tuhan
membantu kita– yang sudah pantas menikah. Kau bisa kabur, tapi kau takkan
pernah bisa bersembunyi dari mereka. Dan aku harus memperingatkanmu, ibuku
sendiri naga yang paling ganas dibanding semuanya.”
“Demi
Tuhan. Padahal kupikir Afrika itu berbahaya.”
Anthony
memandang iba kepada sahabatnya. “Mereka akan memburumu. Dan ketika mereka
menemukanmu, kau akan mendapati dirimu terjebak dalam percakapan dengan gadis
muda berkulit pucat berpakaian serba putih yang tak bisa berbincang-bincang
dengan topik selain cuaca, siapa yang menerima undangan ke Almack’s, dan pita
rambut.”
Rasa
geli melintasi wajah Simon. “Kalau begitu aku bisa menyimpulkan bahwa selama
aku berada di luar negeri, kau bisa dibilang menjadi pria yang memenuhi
syarat?”
“Percayalah,
itu bukan karena aku beraspirasi menjadi pria semacam itu. Jika terserah
padaku, aku akan menghindari acara masyarakat kelas atas jauh-jauh. Tapi adik
perempuanku melakukan debutnya tahun lalu, dan kadang-kadang aku terpaksa
mendampinginya.
“Maksudmu
Daphne?”
Anthony
mendongak kaget. “Kalian pernah bertemu?”
“Tidak,”
Simon mengakui, “tapi aku mengingat surat-suratnya kepadamu semasa sekolah, dan
seingatku dia anak keempat dalam keluargamu, jadi namanya pasti dimulai dengan
huruf D, dan–”
“Ah,
ya,” sahut Anthony sambil memutar bola matanya, “metode penamaan anak keluarga
Bridgerton. Dijamin takkan ada yang bisa melupakan siapa dirimu.”
Simon
tertawa. “Tapi itu berhasil, bukan?”
“Hei,
Simon,” mendadak Anthony berkata sambil mencondongkan badan ke depan. “Aku
berjanji pada ibuku untuk makan malam bersama di Bridgerton House minggu ini.
Bagaimana kalau kau ikut denganku?”
Simon
mengangkat alis gelapnya. “Bukankah kau baru saja memperingatkanku soal para
ibu masyarakat kelas atas dan para putri
yang baru melakukan debutnya?”
Anthony
tertawa. “Aku akan menyuruh ibuku untuk menahan diri, dan tidak usah khawatir
soal Daff. Dia pengecualian dari pakem itu. Kau pasti akan sangat menyukainya.”
Simon
menyipitkan mata. Apa Anthony berniat mencomblangkan mereka? Ia tidak bisa
menebaknya.
Seolah
anthony membaca pikirannya, pria itu terbawa. “Demi Tuhan, kau tidak berpikir
aku hendak menjodohkanmu dengan Daphne, bukan?”
Simon
tidak berkata apa-apa.
“Kalian
tidak mungkin cocok. Kau agak terlalu pemurung bagi Daphne.”
Simon
berpikir komentar itu aneh, tapi alih-alih memilih untuk bertanya, “Kalau
begitu sudah ada yang melamarnya?”
“Beberapa.”
Anthony menegak sisa brendinya, kemudian menghela napas puas. “Aku mengizinkan
dia menolak semuanya.”
“Sikapmu
agak mengejutkan.”
Anthony
mengangkat bahu. “Mungkin mengharapkan cinta itu terlalu muluk pada masa kini,
tapi aku tidak melihat alasan dia tidak hidup berbahagia bersama suaminya. Kami
mendapat lamaran dari pria yang cukup tua untuk menjadi ayahnya, satu lagi yang
cukup tua untuk menjadi adik ayahnya, satu orang yang agak terlalu sombong bagi
keluarga besar kami yang sering ribut, lalu minggu ini, ya Tuhan, itu paling
parah!”
“Apa
yang terjadi?” tanya Simon penasaran.
Anthony
memijit keningnya dengan letih. “Yang terakhir ini sangat kalem, tapi otaknya
agak dangkal. Kupikir, setelah hari-hari liar kita, aku takkan punya perasaan
seperti itu.”
“Benarkah?”
tanya Simon sambil menyengir jail. “Kau berpikir seperti itu?”
Anthony
mengerutkan dahi ke arah sahabatnya. “Aku tidak terlalu suka menghancurkan
harapan pria bodoh itu.”
“Eh,
bukankah Daphne yang melakukannya?”
“Ya,
tapi aku harus memberitahunya.”
“Tidak
banyak kakak laki-laki yang mengizinkan adik perempuan mereka bersikap seprti
itu terhadap pinangan yang mereka terima,” ujar Simon pelan.
Anthony
hanya mengangkat bahu lagi seolah tidak bisa membayangkan memperlakukan adik
perempuannya dengan cara lain. “Dia adik yang baik bagiku. Ini Cuma hal kecil
yang bisa kulakukan baginya.”
“Bahkan
kika itu berarti mendampinginya ke Almack’s?” tanya Simon jail/
Anthony
mengerang. “Termasuk itu.”
“Aku
ingin menghiburnya dengan mengingatkan bahwa semua ini akan segera berakhir,
tapi, kalau tidak salah kau punya tiga adik perempuan lain yang masih kecil?”
Anthony
benar-benar bersandar lemas di kursinya “Eloise akan melakukan debutnya dua
tahun lagi, dan Francesca setahun setelahnya, tapi sehabis itu aku punya waktu
luang sebentar sebelum Hyacincth cukup umur untuk melakukan debut.”
Simon
terkekeh. “Aku tidak iri pada tanggung jawabmu dalam masalah itu.” Tapi bahkan
ketika ia mengucapkannya, ia merasakan rasa mendamba yang aneh, dan
bertanya-tanya bagaimana rasanya tidak begitu sendirian di dunia ini. Ia tidak
berencana untuk berkeluarga, tapi, jika ia memang punya keluarga sejak dulu,
hidupnya pasti sedikit berbeda.
“Jadi,
kau mau datang untuk makan malam?” Anthony berdiri. “Tentu saja tidak resmi. Kami
tidak pernah makan secara formal ketika hanya antar keluarga.”
Simon
punya selusin hal yang harus dilakukannya beberapa hari ke depan, tapi, sebelum
bisa mengingat dirinya bahwa ia harus mengurus masalah warisan ayahnya, ia
mendengar dirinya berkata, “Dengan senang hati.”
“Bagus.
Dan aku akan bertemu denganmu di pesta Danbury terlebih dahulu?”
Simon
bergidik. “Tidak jika aku bisa menghindarinya. Aku bertekad datang dan pergi
dalam waktu kurang dari setengah jam.”
“Kau
benar-benar berpikir kau bisa pergi ke pesta, memberi salam pada Lady Danbury,
lalu pergi?” komentar Anthony sambil mengangkat alisnya dengan pesimis.
Anggukan
Simon tegas dan sepenuh hati.
Tapi
dengusan Anthony tidak terlalu meyakinkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar