Minggu, 14 Oktober 2018

The Duke and I #1


Sejauh ini, keluarga Bridgerton merupakan keluarga paling berlimpah dalam masyarakat kelas atas. Tingkat produktivitas sang viscountess dan almarhum viscount patut dipuji, walaupun kita hanya bisa menemukan kedangkalan dalam pemilihan nama anak-anak mereka. Anthony, Benedict, Colin, Daphne, Eloise, Francesca, Gregory, and Hyacinth? Tentu saja keturunan itu penting dalam segala hal, tapi kita selalu berpikir orang tua yang cerdas bisa mengingat anak-anak mereka tanpa perlu mengurutkan nama mereka sesuai alfabet.


Selain itu, pemandangan sang viscountes dan kedelapan anaknya di satu ruangan sudah cukup untuk membuat kita merasa mendapat penglihatan ganda –atau lipat tiga –atau malah lebih parah. Penulis tidak pernah melihat sekumpulan kakak beradik yang sangat konyolnya begitu mirip dari segi fisik. Walaupun penulis tidak pernah sengaja mencatat warna mata mereka, kedelapan bersaudara itu memiliki struktur tulang yang serupa serta rambut coklat terang tebal yang sama. Kita harus merasa iba pada sang viscountess manakala beliau mengharapkan pernikahan menguntungkan bagi anak-anaknya karena beliau tidak menghasilkan seorang pun anak dengan warna mata dan rambut yang lebih modis. Namun, ada satu keuntungan bagi keluarga dengan penampilan konsisten seperti itu –tidak diragukan lagi, kedelapan anak itu memang anak mereka yang sah.

Ah, Pembaca Budiman, Penulis yang berdedikasi ini berharap demikianlah situasinya di dalam semua keluarga besar....

LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN
12 APRIL 1813

“OOOOOOOOOHHHHHHHHHH!” Violet Bridgerton meremas lembaran koran itu menjadi bola dan melemparnya ke seberang ruang duduk elegan itu.

Putrinya Daphne dengan bijak tidak berkomentar dan pura-pura sibuk dengan sulamannya.

“Kau baca tidak apa yang dikatakannya?” tuntut Violet. “Baca, tidak?”

Daphne melirik bola kertas yang kini berada di bawah meja kecil dari mahoni. “Aku tidak sempat membacanya sebelum kau, ehem, selesai membacanya.”

“Bacalah kalau begitu,” ratap Violet, tangannya melambai-lambai dengan dramatis. “Bacalah bagaimana wanita itu menghina kita.”

Daphne dengan tenang meletakkan sulamannya dan meraih ke bawah meja kecil. Ia merapikan lembar kertas itu di pangkuannya dan membaca paragraf tentang keluarganya. Ia berkedip lalu mendongak. “Ini tidak terlalu buruk, Ibu. Bahkan, ini bisa dibilang sangat memuji dibandingkan dengan apa yang ditulisnya tentang keluarga Featherington minggu lalu.”

“Bagaimana aku bisa mencarikan suami untukmu jika wanita itu mencoreng nama baikmu?”

Daphne memaksa dirinya mengembuskan napas. Setelah nyaris dua musim di London, mendengar kata suami saja sudah bisa membuat keningnya berdenyut-denyut. Ia ingin menikah, sungguh, dan bahkan tidak mengharapkan pasangan sehati yang saling mencintai. Tapi terlalu tinggikah cita-citanya mengharapkan suami yang setidaknya ia sukai?

Sejauh ini sudah ada empat pria yang melamarnya, tapi ketika membayangkan menjalani sisa kehidupannya bersama salah satu dari mereka, Daphne tidak bisa menerimanya. Ada sejumlah pria yang menurutnya mungkin akan menjadi suami yang lumayan baik, tapi masalahnya, tak seorang pun dari mereka yang tertarik padanya. Oh, mereka semua menyukainya. Semua orang menyukainya. Semua orang beranggapan dirinya lucu, baik hati, cerdas, dan tidak seorang pun berpikir penampilannya sama sekali tidak menarik, tapi pada saat yang sama tidak seorang pun terpukau oleh kecantikannya, terpana hingga membisu oleh kehadirannya, atau tergerak untuk menulis puisi untuknya.

Kaum pria hanya tertarik pada wanita yang takut pada mereka, pikir Daphne sebal. Tidak seorang pun yang terlihat ingin mendekati wanita sepertiku. Mereka semua menyayanginya, atau begitulah yang mereka bilang, karena ia sangat mudah diajak bicara, dan seolah selalu mengerti perasaan kaum pria. Seperti yang dikatakan salah satu pria yang ia pikir bisa menjadi suami yang lumayan baik, “Ya ampun, Daff, kau tidak seperti wanita biasa. Kau benar-benar normal.”

Yang mungkin bisa dianggapnya sebagai pujian jika pria itu tidak melanjutkannya dengan pergi mencari si cantik berambut pirang yang sedang naik daun.

Daphne menunduk dan menyadari tangannya mengepal. Kemudian ia mendongak dan mendapati ibunya memandanginya, jelas menunggunya mengatakan sesuatu. Karena sudah menghela napas, ia berdeham dan berkata, “Aku yakin kolom pendek Lady Whistledown takkan merusak peluangku mencari suami.”

“Daphne, tapi ini kan sudah dua tahun!”

“Dan Lady Whistledown baru terbit selama tiga bulan, jadi aku tidak bisa mengerti kenapa kita harus menyalahkannya.”

“Aku akan menyalahkan siapa pun yang aku mau,” gerutu Violet.

Kuku Daphne menusuk telapak tangannya manakala ia menyuruh dirinya untuk tidak melontarkan balasan. Ia tahu Violet hanya memikirkan masa depannya, tahu ibunya mencintainya. Ia juga mencintai ibunya. Bahkan, sampai Daphne mencapai usia yang pantas untuk menikah, Violet sungguh-sungguh ibu terbaik. Violet masih menjadi ibu terbaik, ketika tidak mengeluhkan fakta bahwa setelah Daphne, dia masih harus mencarikan suami untuk ketiga putrinya yang lain.

Violet menekankan tangan yang ramping ke dadanya. “Dia mencurigai keabsahan statusmu sebagai anakku.”

“Tidak,” jawab Daphne pelan. Lebih baik melangkah dengan waspada ketika ia membantah ibunya. “Sebaliknya, dia mengatakan bahwa tidak perlu diragukan lagi kami sebagai anak sah kalian. Sementara sebagian besar keluarga bangsawan tidak seperti itu.”

“Seharusnya dia bahkan tidak perlu mengungkitnya,” isak Violet.

“Ibu, dia itu penulis lembar gosip. Sudah tugasnya mengungkit hal semacam itu.”

“Dia bahkan bukan orang sungguhan,” tambah Violet geram. Ia berkacak pinggang, kemudian berubah pikiran dan menggoyang jarinya. “Whistledown, hah! Aku tidak pernah mendengar keluarga bernama Whistledown. Siapa pun wanita bejat ini, aku ragu dia salah satu dari kita. Tidak mungkin orang keturunan baik-baik menulis kebohongan kejam semacam itu.”

“Tentu saja dia salah satu dari kita,” sahut Daphne, mata coklatnya memancarkan kegelian. “Jika bukan warga bangsawan, mustahil dia bisa mengetahui berbagai macam berita yang ditulisnya. Menurutmu dia itu semacam penipu, mengintip dari jendela, dan menguping dari balik pintu?”

“Aku tidak suka nada bicaramu, Daphne Bridgerton,” ujar Violet, matanya menyipit.

Daphne menahan senyumnya lagi. “Aku tidak suka nada bicaramu,” adalah jawaban standar Violet ketika salah satu anaknya memenangkan perdebatan. Tapi terlalu menyenangkan rasanya bisa menggoda wanita itu. “Aku takkan terkejut jika Lady Whistledown ternyata salah seorang ‘temanmu’,” cetusnya sembari menelengkan kepala.

“Jaga mulutmu, Daphne. Tak seorang pun temanku yang akan bertindak sehina itu.”

“Baiklah,” aku Daphne, “mungkin itu bukan salah satu temanmu. Tapi aku yakin itu seseorang yang kita kenal. Tidak mungkin ada penyelundup yang bisa mendapatkan informasi seperti itu.”

Violet menyilangkan lengannya. “Aku ingin mengakhiri pekerjaannya untuk selamanya.”

Daphne tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, “Kalau memang ingin mengakhiri pekerjaannya, seharusnya ibu jangan membeli korannya.”

“Memang apa gunanya aku bertindak seperti itu?” desak Violet. “Semua orang membacanya. Embargo kecilku tak berpengaruh apa pun kecuali membuatku terlihat bodoh ketika semua orang terkekeh sembari membicarakan gosip terbaru.”

Itu memang betul, Daphne mengiyakan dalam hati. Warga terkemuka London amat sangat kecanduan pada Lembar Berita Lady Whistledown. Koran misterius itu tiba di setiap ambang pintu rumah kaum bangsawan tiga bulan lalu. Selama dua minggu koran itu dikirim tanpa izin setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Kemudian, pada Senin ketiga, para kepala pelayan di London menunggu dengan sia-sia gerombolan loper koran yang biasanya mengirim Whistledown, dan mendapati, alih-alih pengiriman gratis, mereka menjual lembaran gosip itu seharga lima penny per koran, harga yang sangat mahal.

Daphne harus mengakui kecerdikan Lady Whistledown fiktif itu. Begitu wanita tersebut mulai memaksa orang-orang membayar demi mendapatkan gosip mereka, seluruh kaum bangsawan sudah kecanduan. Semua orang membayar biaya berlangganan tersebut dan, di suatu tempat, seorang wanita tukang ikut campur menjadi kaya raya.

Sementara Violet mondar-mandir di ruangan dan berkeluh-kesah tentang “penghinaan menjijikan” terhadap keluarganya, Daphne mendongak untuk memastikan ibunya tidak memperhatikan dirinya, kemudian menunduk dan membaca sisa tulisan lembaran gosip itu. Whistledown –demikian sebutannya– merupakan gabungan unik komentar, kabar sosial, hinaan pedas, dan terkadang pujian. Yang membedakannya dari lembaran berita masyarakat sebelumnya adalah bahwa si penulis menuliskan nama subjeknya secara lengkap. Tidak ada sembunyi-sembunyi dibalik singkatan seperti misalnya Lord S, atau Lady G. Jika menulis tentang seseorang, Lady Whistledown menggunakan nama lengkap mereka. Seluruh bangsawan menyatakan diri mereka sangat tersinggung dengan cara penulisan seperti itu, walaupun diam-diam mereka kecanduan.

Edisi terbaru ini khas Whistledown. Selain tulisan singkat tentang keluarga Bridgerton, yang sebenarnya tidak lebih dari sekadar penggambaran keluarga ini, Lady Whistledown menceritakan kejadian di pesta dansa semalam. Daphne tidak menghadirinya, karena kemarin adalah hari ulang tahun adik perempuannya, dan keluarga Bridgerton selalu merayakan hari ulang tahunnya. Dengan delapan anak, ada banyak ulang tahun yang perlu dirayakan.

“Kau membaca sampah itu,” tuduh Violet.

Daphne mendongak, tidak bersedia merasa bersalah sedikit pun. “Hari ini artikelnya lumayan bagus. Tampaknya Cecil Tumbley menjatuhkan seluruh menara gelas sampanye semalam.”

“Benarkah?” tanya Violet, berusaha tidak terlihat tertarik.

“He-eh,” sahut Daphne. “Dia menuliskan pesta dana Middlethorph dengan lumayan mendetail. Menyebutkan siapa berbicara dengan siapa, dan apa yang dipakai orang-orang–“

“Dan kurasa dia merasa perlu melontarkan pendapatnya soal itu,” sela Violet.

Daphne tersenyum jail. “Oh, ayolah, Bu. Kau tahu Mrs. Featherington selalu terlihat mengerikan dalam nuansa ungu.”

Violet berusaha tidak tersenyum. Daphne bisa melihat ujung bibir wanita itu berkedut manakala ibunya berusaha mempertahankan sikap yang menurutnya pantas bagi seorang viscountess sekaligus seorang ibu.. Tapi dalam dua detik Violet menyengir dan duduk di samping putrinya di sofa. “Coba kulihat itu,” ujarnya, menyambar koran tersebut. “Apa lagi yang terjadi? Apa kita melewatkan sesuatu yang penting?”

Daphne berkata, “Astaga, Ibu, dengan reporter seperti Lady Whistledown, kita tidak perlu menghadiri acara apa pun.” Ia melambai ke arah koran itu. “Ini nyaris sebagus jika kita sendiri datang ke sana. Mungkin malah lebih baik. Aku yakin makanan kita semalam lebih baik dibanding makanan di pesta dansa itu. Dan kembalikan korannya.” Ia menyambar lembaran itu lagi, meninggalkan sobekan bagian sudut di tangan Violet.

“Daphne!”

Daphne pura-pura tersinggung. “Aku kan sedang membacanya.”

“Astaga!”

“Dengar ini.” Violet mencondongkan badan mendekat. Daphne membaca, “Sang playboy yang dulu dikenal sebagai Earl Clyvedon akhirnya menaganggap sudah waktunya menampakkan diri di London. Walaupun dia belum bersedia muncul di acara malam yang terhaormat, Duke of Hastings yang baru ini beberapa kali terlihat di White’s dan sekali di Tattersall’s.” Ia berhenti sejenak untuk menarik napas. “His Grace tinggal di luar negeri selama enam tahun. Apa hanya kebetulan dia baru kembali sekarang karena duke yang sebelumnya sudah meninggal?”

Daphne mendongak. “Astaga, dia memang blak-blakan, ya? Bukankah Clyvedon itu salah satu teman Anthony?”

“Sekarang namanya Hastings,” ralat Violet otomatis, “dan ya, kurasa dia dan Anthony berteman di Oxford. Di Eton juga, rasanya.” Alisnya berkerut dan mata birunya menyipit ketika ia mencoba mengingatnya. “Jika ingatanku tidak keliru, dia itu agak liar. Tapi terkenal lumayan brilian. Aku cukup yakin Anthony bilang dia menempati rangking pertama dalam matematika. Dan itu lebih baik dibanding anak-anakku yang mana pun,” tambahnya sambil memutar bola mata layaknya seorang ibu.

“Sudahlah, Ibu,” goda Daphne. “Aku yakin aku akan mendapat rangking pertama jika Oxford bersedia menerima murid wanita.”

Violet mendengus. “Aku memperbaiki tugas aritmatikamu ketika guru pribadimu sakit, Daphne.”

“Yah, kalau begitu mungkin dalam pelajaran sejarah,” balas Daphne sambil menyengir. Ia kembali menunduk mencermati koran di tangannya, tatapannya tertarik ke nama duke baru itu. “Kedengarannya dia lumayan menarik,” gumamnya.

Violet menatapnya dengan tajam. “Dan tidak pantas bagi wanita muda seusiamu.”

“Lucu sekali bagaimana ‘usiaku’, seperti istilah kau gunakan, berubah-ubah antara terlalu muda sampai-sampai aku bahkan tidak boleh bertemu teman Anthony dan terlalu tua hingga kau putus asa melihatku mendapatkan suami yang layak.”

“Daphne Bridgerton, aku tidak –”

“–suka nada bicaramu, aku tahu.” Daphne menyengir. “Tapi kau menyayangiku.”

Violet tersenyum hangat dan melingkarkan tangan di bahu Daphne. “Ya, aku menyayangimu.”

Daphne mencium singkat pipi ibunya. “Itu kutukan para ibu. Kau diharuskan mencintai kami bahkan ketika kami membuatmu kesal.”

Violet hanya mendesah. “Kuharap suatu hari nanti kau punya anak–”
“–persis sepertiku, aku tahu.” Daphne tersenyum sendu dan merebahkan kepala di bahu ibunya. Ibunya bisa bersikap terlalu ingin tahu, sementara ayahnya terlalu tertarik pada anjing pemburu dan kegiatan berburu itu sendiri dibanding urusan masyarakat kelas atas, tapi pernikahan mereka hangat, penuh dengan cinta, tawa, dan anak-anak. “Aku bisa mendapatkan sesuatu yang jauh lebih buruk dibanding mengikuti jejakmu, Ibu,” gumamnya.

“Oh, Daphne, kata-katamu indah sekali,” ujar Violet, matanya mulai berkaca-kaca.

Daphne memilin sejumput rambut coklatnya di jari dan menyengir, membiarkan suasana sentimentil ini berubah menjadi lebih riang. “Aku akan dengan senang hati mengikuti jejakmu menyangkut pernikahan dan anak-anak, Ibu, asalkan aku tidak perlu punya delapan anak.”

***

Tepat pada detik itu, Simon Basset, Duke of Hastings yang baru dan topik pembicaraan para wanita Bridgerton, sedang duduk-duduk di White’s. Orang yang menemaninya tidak lain dan tidak bukan adalah Anthony Bridgerton, kakak laki-laki tertua Daphne. Keduanya terlihat sangat menawan, sama-sama jangkung dan atletis, dengan rambut gelap dan tebal. Tapi jika mata Anthony berwarna coklat tua, sama dengan adik perempuannya, mata Simon berwarna biru terang, dengan tatapannya yang sangat menusuk.

Mata itulah, ditambah hal-hal lain, yang menghasilkan reputasinya sebagai pria yang patut diperhitungkan. Ketika Simon menatap seseorang, lekat-lekat dan lama, para pria menjadi gelisah. Sementara para wanita malah gemetar.

Tapi tidak demikian halnya dengan Anthony. Kedua pria itu sudah bertahun-tahun saling mengenal, dan Anthony hanya tertawa ketika Simon mengangkat sebelah alisnya dan melontarkan tatapan dingin itu ke arahnya. “Kau lupa ya, aku sudah melihatmu dengan kepala di dalam pispot,” begitulah dulu yang dikatakan Anthony. “Sejak itu aku sulit menganggapmu serius.”

Yang kemudian dibalas Simon dengan, “Ya, tapi seingatku, kaulah yang memegangiku di atas wadah wangi itu.”

“Itu sudah pasti salah satu kenanganku yang paling dibanggakan. Tapi besok malamnya kau membalas dengan menaruh selusin belut di ranjangku.”

Simon mengizinkan dirinya tersenyum sembari  mengenang insiden serta pembicaraan mereka setelah itu. Anthony memang teman baik, tipe yang diinginkan kaum pria untuk mendampingi mereka dalam keadaan terjepit. Dialah orang pertama yang ditemui Simon begitu kembali ke Inggris.

“Senang sekali melihat kau kembali, Clyvedon,” ujar Anthony, begitu menempati meja mereka di White’s. “Oh, tapi kurasa kau memintaku memanggilmu Hastings sekarang.”

“Tidak,” jawab Simon agak tegas. “Hastings akan selalu menjadi ayahku. Dia tidak pernah menerima sebutan lain.” Ia berhenti sejenak. “Jika harus, aku akan menerima gelarnya, tapi aku takkan mau dipanggil dengan namanya.”

“Jika harus?” mata anthony melebar sedikit. “Kebanyakan orang takkan terdengar begitu pasrah menghadapi prospek menjadi duke.”

Simon menyusurkan tangan di rambut gelapnya. Ia tahu seharusnya ia menghargai leluhurnya dan menunjukkan kebanggan besar akan sejarah luar biasa keluarga Basset, tapi sebenarnya semua itu membuatnya muak. Ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk tidak memenuhi harapan ayahnya; tampaknya konyol jika sekarang ia berusaha bertindak sesuai gelarnya. “Itu Cuma beban,” akhirnya ia menggerutu.

“Sebaiknya kau terbiasa,” ujar Anthony pragmatis, “karena orang akan memanggilmu seperti itu.”

Simon tahu itu benar, tapi ragu gelar itu akan pernah terasa nyaman di pundaknya.

Yah, bagaimanapun situasin ya,” tambah Anthony, menghormati privasi temannya dengan tidak memperpanjang sesuatu yang jelas merupakan topik pembicaraan yang tidak nyaman, “Aku senang melihatmu kembali di sini. Mungkin akhirnya aku bisa merasa lebih tenang lain kali aku mengantar adik perempuanku ke pesta dansa.”

Simon bersandar, menyilangkan kakinya yang jenjang dan berotot di mata kaki. “Komentar menarik.”

Anthony mengangkat sebelah alisnya. “Komentar yang kau yakin akan kujelaskan?”

“Tentu saja.”

“Seharusnya aku membiarkan kau mengalaminya sendiri, tapi yah, aku tidak pernah bersikap kejam pada orang lain.”

Simon terkekeh. “Omongan ini berasal dari orang yang memasukkan kepalaku ke pispot?”

Anthony melambaikan tangan dengan santai. “Waktu itu aku masih muda.”

“Dan sekarang kau menjadi panutan sikap pria dewasa dan terhormat?”

Anthony menyengir. “Sudah pasti.”

“Jadi, katakan padaku,” ucap Simon malas, “bagaimana tepatnya aku bisa membuat hidupmu jauh lebih tenang?”

“Aku berasumsi kau berencana mengisi posisimu di masyarakat.”

“Asumsimu keliru.”

“Tapi kau berencana menghadiri pesta dansa Lady Danbury minggu ini,” ucap Anthony.

“Hanya karena aku entah kenapa menyukai wanita tua itu. Dia mengatakan apa yang dimaksudkannya, dan–” Mata Simon mendadak terlihat agak murung.

“Dan?” desak Anthony.

Simon menggeleng sebentar. “Bukan apa-apa. Hanya saja dia lumayan baik kepadaku sewaktu aku kecil. Aku menghabiskan beberapa liburan sekolah di rumahnya bersama Rivaldale. Keponakannyam kau tahu kan.”

Anthony mengangguk sekali. “Ah, aku mengerti. Jadi kau tidak berniat memasuki masyarakat. Aku mengagumi tekadmu. Tapi izinkan aku memperingatkanmu, bahkan jika kau tidak berniat menghadiri acara-acara bangsawan, mereka akan menemukanmu.”

Simon, yang pada saat itu menyesap brendinya, tersedak melihat ekspresi di wajah Anthony ketika pria itu berkata, ‘mereka.’ Setelah terbatuk sebentar, akhirnya ia bisa berhasil berkata. “Tolong katakan, siapa ‘mereka’ itu?”

Anthony bergidik. “Para ibu.”

“Karena tidak punya ibu, aku tidak bisa berkata aku memahami maksudmu.”

“Para ibu masyarakat kelas atas, tolol. Naga penyembur api dengan putri –semoga Tuhan membantu kita– yang sudah pantas menikah. Kau bisa kabur, tapi kau takkan pernah bisa bersembunyi dari mereka. Dan aku harus memperingatkanmu, ibuku sendiri naga yang paling ganas dibanding semuanya.”

“Demi Tuhan. Padahal kupikir Afrika itu berbahaya.”

Anthony memandang iba kepada sahabatnya. “Mereka akan memburumu. Dan ketika mereka menemukanmu, kau akan mendapati dirimu terjebak dalam percakapan dengan gadis muda berkulit pucat berpakaian serba putih yang tak bisa berbincang-bincang dengan topik selain cuaca, siapa yang menerima undangan ke Almack’s, dan pita rambut.”

Rasa geli melintasi wajah Simon. “Kalau begitu aku bisa menyimpulkan bahwa selama aku berada di luar negeri, kau bisa dibilang menjadi pria yang memenuhi syarat?”

“Percayalah, itu bukan karena aku beraspirasi menjadi pria semacam itu. Jika terserah padaku, aku akan menghindari acara masyarakat kelas atas jauh-jauh. Tapi adik perempuanku melakukan debutnya tahun lalu, dan kadang-kadang aku terpaksa mendampinginya.

“Maksudmu Daphne?”

Anthony mendongak kaget. “Kalian pernah bertemu?”

“Tidak,” Simon mengakui, “tapi aku mengingat surat-suratnya kepadamu semasa sekolah, dan seingatku dia anak keempat dalam keluargamu, jadi namanya pasti dimulai dengan huruf D, dan–”

“Ah, ya,” sahut Anthony sambil memutar bola matanya, “metode penamaan anak keluarga Bridgerton. Dijamin takkan ada yang bisa melupakan siapa dirimu.”

Simon tertawa. “Tapi itu berhasil, bukan?”

“Hei, Simon,” mendadak Anthony berkata sambil mencondongkan badan ke depan. “Aku berjanji pada ibuku untuk makan malam bersama di Bridgerton House minggu ini. Bagaimana kalau kau ikut denganku?”

Simon mengangkat alis gelapnya. “Bukankah kau baru saja memperingatkanku soal para ibu  masyarakat kelas atas dan para putri yang baru melakukan debutnya?”

Anthony tertawa. “Aku akan menyuruh ibuku untuk menahan diri, dan tidak usah khawatir soal Daff. Dia pengecualian dari pakem itu. Kau pasti akan sangat menyukainya.”

Simon menyipitkan mata. Apa Anthony berniat mencomblangkan mereka? Ia tidak bisa menebaknya.

Seolah anthony membaca pikirannya, pria itu terbawa. “Demi Tuhan, kau tidak berpikir aku hendak menjodohkanmu dengan Daphne, bukan?”

Simon tidak berkata apa-apa.

“Kalian tidak mungkin cocok. Kau agak terlalu pemurung bagi Daphne.”

Simon berpikir komentar itu aneh, tapi alih-alih memilih untuk bertanya, “Kalau begitu sudah ada yang melamarnya?”

“Beberapa.” Anthony menegak sisa brendinya, kemudian menghela napas puas. “Aku mengizinkan dia menolak semuanya.”

“Sikapmu agak mengejutkan.”

Anthony mengangkat bahu. “Mungkin mengharapkan cinta itu terlalu muluk pada masa kini, tapi aku tidak melihat alasan dia tidak hidup berbahagia bersama suaminya. Kami mendapat lamaran dari pria yang cukup tua untuk menjadi ayahnya, satu lagi yang cukup tua untuk menjadi adik ayahnya, satu orang yang agak terlalu sombong bagi keluarga besar kami yang sering ribut, lalu minggu ini, ya Tuhan, itu paling parah!”

“Apa yang terjadi?” tanya Simon penasaran.

Anthony memijit keningnya dengan letih. “Yang terakhir ini sangat kalem, tapi otaknya agak dangkal. Kupikir, setelah hari-hari liar kita, aku takkan punya perasaan seperti itu.”

“Benarkah?” tanya Simon sambil menyengir jail. “Kau berpikir seperti itu?”

Anthony mengerutkan dahi ke arah sahabatnya. “Aku tidak terlalu suka menghancurkan harapan pria bodoh itu.”

“Eh, bukankah Daphne yang melakukannya?”

“Ya, tapi aku harus memberitahunya.”

“Tidak banyak kakak laki-laki yang mengizinkan adik perempuan mereka bersikap seprti itu terhadap pinangan yang mereka terima,” ujar Simon pelan.

Anthony hanya mengangkat bahu lagi seolah tidak bisa membayangkan memperlakukan adik perempuannya dengan cara lain. “Dia adik yang baik bagiku. Ini Cuma hal kecil yang bisa kulakukan baginya.”

“Bahkan kika itu berarti mendampinginya ke Almack’s?” tanya Simon jail/

Anthony mengerang. “Termasuk itu.”

“Aku ingin menghiburnya dengan mengingatkan bahwa semua ini akan segera berakhir, tapi, kalau tidak salah kau punya tiga adik perempuan lain yang masih kecil?”

Anthony benar-benar bersandar lemas di kursinya “Eloise akan melakukan debutnya dua tahun lagi, dan Francesca setahun setelahnya, tapi sehabis itu aku punya waktu luang sebentar sebelum Hyacincth cukup umur untuk melakukan debut.”

Simon terkekeh. “Aku tidak iri pada tanggung jawabmu dalam masalah itu.” Tapi bahkan ketika ia mengucapkannya, ia merasakan rasa mendamba yang aneh, dan bertanya-tanya bagaimana rasanya tidak begitu sendirian di dunia ini. Ia tidak berencana untuk berkeluarga, tapi, jika ia memang punya keluarga sejak dulu, hidupnya pasti sedikit berbeda.

“Jadi, kau mau datang untuk makan malam?” Anthony berdiri. “Tentu saja tidak resmi. Kami tidak pernah makan secara formal ketika hanya antar keluarga.”

Simon punya selusin hal yang harus dilakukannya beberapa hari ke depan, tapi, sebelum bisa mengingat dirinya bahwa ia harus mengurus masalah warisan ayahnya, ia mendengar dirinya berkata, “Dengan senang hati.”

“Bagus. Dan aku akan bertemu denganmu di pesta Danbury terlebih dahulu?”

Simon bergidik. “Tidak jika aku bisa menghindarinya. Aku bertekad datang dan pergi dalam waktu kurang dari setengah jam.”

“Kau benar-benar berpikir kau bisa pergi ke pesta, memberi salam pada Lady Danbury, lalu pergi?” komentar Anthony sambil mengangkat alisnya dengan pesimis.

Anggukan Simon tegas dan sepenuh hati.

Tapi dengusan Anthony tidak terlalu meyakinkannya.



Sinopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar