Senin, 07 Mei 2018

The Tarnished Lady 5

Pertalian keluarga punya banyak ikatan...

Eirik mengawasi Tykir dan istrinya dengan curiga. Wanita itu tampak santai bersama saudaranya dalam cara yang tak pernah dilakukan Eadyth bersamanya, seolah-olah mereka menyimpan rahasia besar bersama.


Eirik mengkhawatiran nasib Tykir selama semabilan tahun ini karena ia nyaris kehilangan sebelah kakinya di "Pertempuran Besar." Kemudian tersiar kabar yang sampai ke telinga Eirik awal tahun ini di Frankland, bahwa King Edmund telah menginvasi kerajaan Celtic of Strathclyde dan menguasai seluruh Cumberland. Pada akhirnya, Edmund mengangkat Malcom sebagai penguasa baru seluruh Skotlandia dengan syarat Malcom membantunya memerangi para penyerbu Norse dari laut dan darat. Dan kalau seseorang bisa disebut sebagai penyerbu dari Norse, orang itu adalah adiknya Tykir.


Untunglah, Eirik telah menyeberangi terusan dan bisa menghindari perang dengan raja Saxon di Brunanburh kemudian lagi di Strathclyde. Ia sudah bersumpah setia pada kedua bersaudara, Athelstan dan Edmund, dan sudah membuktikan dirinya di banyak pertempuran, tapi ia menolak berperang melawan saudaranya sendiri.


Well, kaki pincang Tykir sudah nyaris tak terlihat sekarang. Eirik senang bertemu adiknya, walaupun ia sama terkejutnya dengan istrinya saat Tykir menginstrupsi upacara pernikahan mereka.


Istrinya! Sialan! Kata-kata itu terdengar buruk, seperti lonceng kematian. Ia menoleh ke arah Eadyth dengan masam, tahu bahwa ia sudah menghindari saat ini terlalu lama.


"Eadyth, sudah waktunya. Jemput anak itu dan bawa padaku. Dan Larise juga."


Ia melihat kekagetan di wajah istrinya, tapi wanita itu melawan ketakutannya  dengan gagah dan mengangguk menyanggupi. Mata wanita itu memindai aula dan menemukan putranya, John, duduk di bawah mereka di meja pertama, kepalanya menunduk karena mengantuk. Putri Eirik yang berumur delapan tahun, di lain sisi, yang datang bersama Earl Orm, menikmati setiap saat pesta makan malam pertamanya. Kepalanya berputar ke belakang dan ke depan pada lehernya yang seperti burung saat ia berusaha menyerap semua pemandangan menakjubkan di sekelilingnya, dan ia berbicara tak henti-hentinya pada ksatria muda di sebelahnya.


Tykir menyelinap duduk di kursi Eadyth saat ia berjalan dengan punggung kaku menuruni panggung untuk menjemput anak-anak, dicerca bangsawan yang dilewatinya. Eirik sudah berbicara pada para ksatria dan pengikutnya bahwa ia berharap mereka menunjukkan hormat pada istrinya. Tapi Eirik tak bisa mengendalikan tamu-tamunya, dan ia memperhatikan cara mereka memandang Eadyth dengan menghina, tak menutupi ketidaksukaan mereka. Para wanita mencibir di belakang tangan mereka saat Eadyth melintas; para pria memandangnya dengan mencemooh.


Mata Eirik menyipit dengan marah. Akan ada harga yang harus dibayar saat perjamuan pernikahan ini berakhir, ia bersumpah.


"Jadi, kakakku," kata Tykir, "setelah aku berbicara dengan Eadyth, aku semakin mengerti kenapa kau berubah pikiran tentang pernikahan. Apa kau bahagia dengan perjodohan ini?"


Eirik mengangkat satu alisnya, ragu pada pernyataan Tykir.


"Apa kau memperhatikan goyangan pinggulnya saat ia berjalan di depan kita melewati pintu kapel pagi ini?"


"Goyangan! Pikiranmu pasti mabuk karena arak. Wanita itu tak pernah menggoyangkan pinggul sehari pun dalam hidupnya. Lagi pula, dia tak punya pinggul."


"Dan bibirnya! Demi para dewa! Bibir itu tampak lezat untuk dicium."


"Apakah mungkin ayah kita menjatuhkanmu di kepala saat kau masih bayi?"


"Oh. Mungkin aku salah."


Eirik bisa melihat kilatan jahil di mata adiknya. "Apa lagi rencanamu sekarang?"


"Aku? Kau menyakiti hatiku, Kak, dengan ketidakpercayaanmu."


"Hah! Aku akan melukai kepalamu kalau kupikir itu bisa membuatmu berpikir jernih. Dari mana saja kau selama beberapa tahun ini?


Tykir mengangkat bahu. "Di sana-sini."


"Aku mencemaskanmu, Bodoh, terutama setelah aku bertemu Selik di Jorvik bulan lalu. Dia dan Rain memberitahuku bahwa kau bertempur di daerah pertengahan dengan Anlaf. Tidak bisakah kau tinggal di Norwegia di rumahmu sendiri?'


"Rumah? Aku tak punya rumah." Wajah Tykir menjadi serius.


"Tykir, sudah berulang kali kukatakan bahwa Ravenshire adalah rumahmu kalau kau tak mau tinggal di Norwegia, tapi..."


Tykir mengangkat tangannya untuk menghentikan kata-kata Eirik, lalu memaksa suaranya menjadi ringan saat ia berkomentar, "Apa kau tahu Rain sedang mengandung lagi? Ya Tuhan! Selik berkeliaran seperti orang bodoh sepanjang waktu dengan senyum tersungging di wajahnya. Kau akan berpikir bahwa dia sudah menemukan cara membuat bayi."


Eirik mengangguk tersenyum. Teman ayah mereka, Selik, telah menjaga mereka dengan protektif selepas kematian ayah mereka ketika mereka masih anak-anak. Kemudian Selik menikahi saudari tiri mereka.


"Mereka berdua membuat bayi seperti kelinci," Tykir melanjutkan menggerutu. "Lima anak mereka sendiri, termasuk satu yang ada di kandungan, dan lusinan anak yatim."


"Ya, suara gaduh di panti asuhan mereka cukup untuk membuat kuping berdarah, tapi aku salut pada mereka. Selik dan Rain tampak saling mencintai sama seperti saat mereka menikah sepuluh tahun lalu."


"Mungkin kalau mereka sedikit saja tak saling mencintai, Jorvik tak terlalu sepadat itu." Mengubah topik pembicaraan, Tykir bertanya, "Apa kau memperhatikan betapa cepatnya kakiku pulih sejak Brunanburh? Aku hanya sedikit pincang sekarang. Dan para wanita sepertinya sangat menyukainya."


Eirik menggeleng sedih dan mendorong lengan adiknya dengan bercanda. Ya Tuhan! Dia berharap Tykir lebih berhati-hati. Lagi pula, selain putri-putrinya, Tykir adalah satu-satunya keluarganya yang tersisa. Ia segera mengoreksi dirinya sendiri. Tidak, ia punya keluarga lain sekarang. Dia punya istri. Dan seorang putra.


Akankah mereka menjadi berkah atau kutukan? Eirik bertanya-tanya.


"Kau bertanya apakah aku bahagia dengan pernikahanku dengan Eadyth. Jawabannya tidak, tapi aku sudah mempersiapkan diri untuk menikah selama tiga minggu Eadyth tak ada," katanya dengan pelan. "Kau tahu alasan sesungguhnya mengapa aku memutuskan untuk menikah."


Tykir mengangguk. "Menurutmu kau bisa melupakan Steven dan kejahatannya, Kak?"


"Tidak sebelum cacing memakan daging busuknya. Tidak sebelum jiwanya terbakar di neraka."


"Selik bisa menghentikan keinginannya untuk membalas dendam. Kenapa kau tak bisa?"


"Kau sendiri?"


"Tidak, tapi aku memang saudara yang haus darah. Ingat?" Eirik menyeringai menggoda, lalu kembali serius. "Apakah kau akan menggunakan anak itu sebagai umpan untuk memancing Steven keluar dari persembunyiannya?"


"Ya. Steven sepertinya butuh seorang putra untuk meyakinkan Odel pada haknya atas tanah warisan kakeknya di Frankland. Aku benar-benar percaya John akan menjadi cara menjatuhkan Steven. Tapi, Tykir, jangan menganggap aku akan mengorbankan anak itu. John tak bisa disalahkan atas kejahatan ayahnya. Aku akan menjaganya dengan baik."


"Dan bagaimana dengan istri barumu?" tanya Tykir dengan santai, sengaja mengubah topik pembicaraan saat senyum aneh terbentuk di bibirnya. "Apakah usianya tak menganggumu? Atau hmm, penampilan fisiknya yang buruk?"


Eirik waspada. Ia terlalu mengenal adiknya, dan kilatan aneh di mata adiknya itu menyiratkan kejahilan.


"Usia dan penampilan fisiknya tak terlalu penting bagiku. Kau tahu dulu aku menikahi gadis muda dan cantik dengan reputasi bersih, dan aku segera menemukan kesengsaraan. Kali ini aku memilih berdasarkan akal sehat." Ia mengangkat bahunya. "Walau begitu, rasanya sangat sulit membiasakan diri dengan tabiat Eadyth yang tak menyenangkan. Apa dia harus selalu bermuka masam setiap saat? Dan suaranya! Suaranya yang melengking itu membuatku merinding."


Tykir tersedak arak yang sedang diminumnya, dan Eirik menelengkan kepalanya dengan curiga sekali lagi. Tykir menyembunyikan sesuatu. Apa itu? Apakah menyangkut Eadyth?


Dengan ragu, ia meneruskan, "Aku merasa tersentuh bahwa dia memperbaiki penampilannya hari ini. Demi Tuhan! Seharusnya kau lihat penampilannya tiga minggu lalu. Sejelek ayam betina dan dua kali lipat lebih kejam."


"Dan sekarang?" Tykir menaikkan satu alisnya dengan minat yang berlebihan.


"Sekarang, setidaknya, gaun sutranya tampak baru, dan topi bercadar anehnya itu menambah daya tarik pakaian itu, terutama saat dia menariknya menutupi wajahnya. Apa menurutmu sebenarnya dia hanya malu di balik penampilan luarnya yang angkuh itu?"


Mulut tykir ternganga tak percaya. "Hah! Lebih seperti gadis budak perawan di kediaman selir di Timur jauh yang pernah kukunjungi."


Eirik tersenyum pada perbandingan yang tak sepadan itu dan menggelengkan kepalanya dengan muram. "Eadyth, budak harem? Tak mungkin. Dia bisa menimbulkan kericuhan dalam waktu seminggu."


"Eirik, jangan terlalu keras menilai istri barumu," kata Tykir dengan suara yang tiba-tiba serius. "Di balik sikap tegar dan mandirinya, aku merasakan ada luka di dalam dirinya."


"Kau meremehkan pandanganku, Dik. Kerapuhan yang tak bisa disembunyikan Eadyth dalam beberapa kesempatan juga menyentuhku. Apa kau lihat wajahnya tadi saat aku memperkenalkannya pada Earl Orm dan putrinya Aldgyth? Mereka mempermalukannya dengan sangat tak sopan."


"Ya, kakau kau tak berdiri di samping Eadyth, aku berani jamin Orm dan putrinya akan menghina Eadyth, tapi karena mereka munafik, mereka hanya tersenyum palsu."


Eirik mengangkat bahu. "Mereka butuh dukunganku dalam kepentingan politik mereka. Aku tahu benar itu. Mereka tak akan menghina Eadyth terang-terangan. Dan Uskup Agung Wulfstan, pendeta culas itu, lihat bagaimana caranya berjalan di antara kerumunan dalam rencananya menggulingkan penguasa Saxon di Northumbria."


"Ya, dia yang memimpin upacara pernikahan, tapi dia pun nyaris tak bisa menyembunyikan rasa tak setujunya pada pernikahanmu dan masa lalu Eadyth yang penuh skandal. Haruskah kupenggalkan kepalanya untukmu?"


Eirik menyeringai pada adiknya. "Tidak, kau si bodoh yang haus darah. Walaupun aku juga merasakan dorongan untuk melindunginya. Perjamuan pernikahanku ini memberiku sekilas gambaran seperti apa kehidupan Eadyth selama delapan tahun ini... ejekan, pandangan menilai, dan pengucilan."


"Dan kau tahu benar betapa para bangsawan Saxon bisa begitu kejam, Kakakku. Bagaimana kau bisa bertahan begitu lama, aku tak pernah tahu."


Eirik mengangguk pada kenangan pahit yang terlintas karena kata-kata Tykir. "Aku pasti bodoh kalau tidak tertarik pada karakter kuat Eadyth sehingga sanggup bertahan dengan perlakuan kejam mereka. Aku hanya bisa mengira-ngira derita apa yang telah di derita istriku yang masih dipendamnya."


"Mungkin satu-satunya perisai dirinya adalah cangkang rapuh yang didirikannya di sekeliling dirinya yang lembut?"


Eirik tak memikirkan sebelumnya, tapi memutuskan Tykir mungkin benar.


"Dan apakah kau ingin menemukan sisi dalam Eadyth itu?" tanya Tykir sambil menggoyangkan alisnya.


Eirik tertawa. "Oh, aku akan menemuka rahasia 'terdalam' Eadyth malam ini. Kau bisa pastikan itu. Tapi kalau kau bicara tentang bagian dari dirinya yang berusaha disembunyikannya, ketahuilah ini: seorang pria melindungi mereka yang berada di balik berlindungannya, dan aku mungkin tak bisa menghapus kesalahan masa lalu, tapi aku akan memastikan tak ada yang menyakitinya lagi. Dan termasuk Steven of Gravely."


"Dan bagaimana kau akan melunakkan tabiatnya yang tak menyenangkan?"


Eirik menggeleng menanggapi tugas yang luar biasa itu. "Aku akan sering meninggalkan Ravenshire. Bahkan sekarang, aku menunggu pesan dari Edmund. Dia memindahkan pasukannya ke..." Eirik membiarkan kata-katanya mengambang, menyadari bahwa seharusnya ia tak mengatakan informasi semacam itu pada adiknya, yang sering berada di pihak yang berbeda dengannya. "Tykir, berjanjilah kau akan meninggalkan Inggris dan menghindari pertempuran yang akan datang."


Tykir tak mampu menanggapinya, malahan bertanya, "Apa kau tak pernah lelah dengan peran ganda yang kau mainkan ini, Kak? Kau tak selalu bisa berjalan di tengah di antara Saxon dan Viking. Suatu hari kau harus memilih, dan kalau para tamu bangsawan di sini mendapat keinginan mereka, itu akan segera terjadi. Pertempuran akan segera terjadi untuk memperebutkan kekuasaan di Northumbria. Kau akan berada di pihak mana?"


"Aku sungguh tak tahu. Tapi ketahuilah ini... aku berutang budi pada King Athelstan dan aku berjanji pada saat dia meninggal untuk mendukung adiknya Edmund. Aku tak akan melanggar sumpah setiaku padanya, tapi aku tak mau berperang melawan kau, Adikku."


"Ah, Eirik, kenapa kau selalu membuat hidup begitu rumit? Ini pilihan yang sederhana sebenarnya. Apa kau orang Norseman atau Saxon?"


"Di sinilah kau salah. Aku keduanya. Dan perlu kau tahu para pendahulu kita memberikan kesetiaan mereka pada pemimpin mereka, bukan pada negara." Saat itu Eirik berdiri dan meremas tangan adiknya dengan hangat. "Tapi jangan bahas masalah ini lagi. Ini pernikahanku, malam untuk bersenang-senang," katanya datar. "Ayo berdiri di sampingku saat kau mengangkat gelas untuk bersulang."


"Ya, tapi pertama-tama mari kita bersulang di antara kita berdua dulu," ujar Tykir santai, menyentuhkan gelasnya dengan gelas Eirik. "Ketahuilah bahwa istri yang telah kau pilih ini memang Perhiasan Perak dari Northumbria di balik semua kekurangannya. Semoga kau menjadi Norseman sejati yang kukenal di dalam relung hatimu, pria yang menghargai wanita untuk nilai mereka yang sesungguhnya, bukan dari kemilau permukaannya."


Eirik menaikkan alisnya tak percaya. "Kata-katamu cukup indah untuk menjadi seorang penyair, Adikku. Apa kau bepergian dengan prajurit dan penyair Egil Skallagrimmson itu lagi?"


Tykir menggeleng dan tertawa.


"Lalu kenapa aku sulit percaya bahwa pria yang terkenal meniduri para wanita yang paling cantik di setiap daerah ini tiba-tiba tertarik pada kecantikan hati?"


"Tidak," kata Tykir tertawa. "Bukan begitu maksudku. Aku tak bilang kecantikan tak penting, hanya terkadang seorang pria bisa kita katakan, buta dengan kecantikan yang bersinar di hadapannya."


"Bicaramu tak jelas, Tykir. Mungkin kau terlalu banyak minum arak. Aku tak buta."


Tykir tergelak dan menciprati Eirik dengan Arak.


Menyeka dadanya yang basah, Eirik melayangkan tatapan kesal pada Tykir. "Dan bicara tentang wanita cantik, Tykir, menjauhlah dari Britta. Dia itu kekasih Wilfrid."


Mereka tertawa bersama, lalu berdiri saat Eadyth mendekat sambil menggandeng tangan putranya John di satu tangan dan dengan tangan lain menggandeng putri Eirik, Larise.


Mata biru Larise memuja ayahnya dengan sorot kekanak-kanakannya. Eirik merasa bersalah telah menelantarkan putri sulungnya itu sekian lama dan senang Earl Orm mengantarkan Larise pulang pagi ini -untuk selamanya. Walaupun dengan segala kekurangan pria itu, Eirik tetap berutang budi pada sang earl karena telah merawat putrinya dengan telaten selama beberapa tahun ini.


Mata Eirik beralih pada John. Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu kurus seperti ibunya, dan mungkin akan setinggi dirinya suatu hari kelak. Sejujurnya, Eadyth memang cerdas. Rambut hitam dan mata biru pucat itu benar-benar mirip dengan Eirik.


Seharusnya Eirik benci dengan putra musuh bebuyutannya itu, tapi entah mengapa Eirik tak bisa menyalahkan anak itu atas dosa ayahnya. Ia mengulurkan tangannya ke arah John, dan anak itu memeluk lutut ibunya dengan erat, menjadi ketakutan, matanya menatap ibunya bertanya. Eadyth mengangguk dengan muram dan mendorongnya maju dengan lembut.


Eirik meletakkan tangannya dengan gaya menenangkan di bahu John dan menarik Eadyth ke sisi tubuhnya yang lain, merengkuhnya juga di lengannya yang lain. Eirik mengisyaratkan pada Tykir dan Larise untuk berdiri di sebelah John dan Eadyth. Lalu mereka semua menghadap ke aula utama, menunggu keheningan dari para tamu dan anak buahnya.


Ketika suasana menjadi sunyi senyap, Eirik berbicara dengan suara yang tegas dan jernih yang terdengar di segenap aula itu, "Teman-teman dan pendukung setiaku, aku perkenalkan istriku, Eadyht of Ravenshire." Ia membungkuk dan mencium bibir dingin Eadyth dengan santai sebelum Eadyth sempat menarik diri karena terkejut. Para tamu tampaknya tak menyadari reaksi insting Eadyth itu. Mereka bersorak, mengangkat gelas untuk bersulang pada pasangan pengantin baru tersebut.


Lalu Eirik mengangkat satu tangannya untuk meminta mereka kembali diam dan memperkenalkan adiknya, Tykir, yang menerima sambutan yang enggan. ditambah lagi, Tykir pernah bertempur melawan beberapa pria di ruangan itu beberapa tahun belakangan.


Giliran putri Eirik, Larise untuk diperkenalkan. Eirik tersenyum saat gadis kecil itu tampak berbangga hati seperti seekor merak di depan sambutan para tamu.


Ketika ruangan kembali hening, Eirik menunggu beberapa saat sebelum mengangkat pinggang John dan mendudukkannya di meja di depannya. Dengan satu tangan di kepala John dan tangan lain merangkul bahu tegang istri barunya, Eirik mengumumkan, "Teman-temanku, kuperkenalkan putra kandungku, John of Hawk's Lair dan Ravenshire. Aku sangat senang akhirnya aku bisa mengakuinya sebagai anakku setelah sebelumnya tak bisa mengakuinya selama beberapa tahun ini."


Keheningan mencekam menyambut kata-kata itu, lalu berbisik-bisik terkejut pecah di antara kerumunan saat mereka mulai meresapi kata-kata Eirik itu ke dalam kepala mereka yang dikeruhkan arak. Akhirnya, Tykir menguasai rasa takjubnya, lalu mengangkat gelasnya dan berseru, "Untuk keponakanku John, dan kakaku Eirik. Semoga keluarganya diberkahi dengan hasil yang sudah dipanennya sejauh ini, dan dengan benih yang akan ditanamnya di ladang subur pernikahan barunya." Ia mengedipkan mata pada Eadyth yang setegang tombak.


Saat itu hadirin pun bereaksi dan ikut bersulang dengan sorak-sorai dan seruan doa.


Eirik tergelak saat merasakan Eadyth meringis di sampingnya, tahu benar bahwa Eadyth keberatan dengan kata-kata adiknya tentang benih yang ditanam di ladangnya.


Eirik meremas bahu istrinya itu, hanya untuk melihat reaksinya. Ia tak terkejut saat Eadyth menyikutnya dan mendesis. "Mungkin aku bisa menaruh beberapa lebah di celana panjang adikmu. Sepertinya tempat yang subur!"


Eirik menyeringai.


"Aku pernah punya istri yang penurut, Eadyth. Bukan pengalaman yang menyenangkan," ia mengakui dengan suara yang lirih, mencondongkan diri ke telinga Eadyth, suka dengan rasa kain tipis topi bercadarnya itu bergetar di bibirnya, seketika merasakan dorongan untuk mengecap mulut Eadyth lagi. "Akan menarik untuk menguji sifat beringasmu di ranjang pernikahan."


Eirik mendapati bahwa ia senang menggoda istri barunya, dan sangat puas saat istri barunya bersiap marah. Wanita itu terlalu berlagak suci sejauh ini.


Sejujurnya, meniduri Eadyth mungkin tidak akan terlalu buruk, pikir Eirik, terutama karena ia tak perlu melihat wajah masam Eadyth atau tubuh kurusnya di kamar mereka yang gelap. Andai saja ia bisa menyumpal mulut Eadyth agar berhenti mengoceh.


Mata ungu Eadyth berkilat dengan sorot mata marah seolah-olah ia bisa membaca pikiran Eirik, dan dagu wanita itu terangkat dengan marah.


Eirik tergelak. Tuhan, ia suka dengan pertempuran yang seimbang.



Saat kau pikir kau mengerti pria, mereka melakukan hal tak terduga... 


Sebenarnya Eadyth tak terlalu kesal dengan komentar tak senonoh Tykir atau cara Eirik menggodanya.


Ketika suami barunya itu mengakui John sebagai anaknya sendiri di hadapan semua tamu kehormatan, Eirik telah menyentuh titik yang jauh tersembunyi dalam emosi Eadyth yang telah lama membeku. Ia akan selamanya berterima kasih, dan, dalam suasana hatinya yang sekarang, akan memafkannya -walaupun Eirik menggodanya dan membuatnya malu.


Eadyth memaksakan dirinya meletakkan satu tangannya di lengan Eirik ketika mereka duduk bersandar di meja makan. Dalam suara yang sarat emosi, Eadyth berkata, "Eirik, aku berterima kasih atas kata-katamu mengenai John. Itu lebih dari yang kuharapkan."


Eirik memandang ke arah tangan Eadyth, lalu menaikkan satu alisnya bertanya, "Berterima kasih? Benarkah? Seberapa besar?"


"Tak sebesar itu, dasar kau lelaki mesum." Meskipun Eadyth cemberut, ia tak bisa mencegah tawa kecil menyembul dari bibirnya pada cara Eirik yang terus menggodanya.


"Oh? Dan bagaimana kau tahu maksudku? Mungkin maksudku adalah untuk menambah maskawinmu... beberapa koin lagi, atau tambahan gulungan kain sutra." Eirik tergelak dan melanjutkan, "Atau lebih banyak lebah."


Eadyth menggeleng sebal. "Kurasa adikmu tak benar-benar mengenalmu seperti yang dikiranya."


"Kenapa begitu?" tanya Eirik sambil tersenyum ringan.


Eadyth mengernyit dalam hati pada sentakan daya tarik yang dirasakannya terhadap Eirik. Ia pikir dirinya kebal terhadap pesona pria setelah pengalamannya dengan Steven. Dan pastinya ia tak menduga akan tertarik pada seorang pria kasar yang kini disebutnya suami.


Suami, erangnya dalam hati. Oh, Tuhan 


Ia bahkan kesulitan mengingat apa yang sedang mereka bicarakan. Oh, ya, sekarang ia ingat. "Ketika aku memberitahu adikmu bahwa dia sama selengeannya denganmu, dia bilang aku salah, bahwa kau selalu serius. Dia bilang kau tak punya sisi ceria dalam dirimu. Tapi aku lebih tahu. Sejak saat pertama bertemu denganmu, kau selalu menggoda dan mengejekku."


Eirik menyeringai. "Tykir benar. Aku dulu memang dibilang terlalu serius. Mungkin kau mengeluarkan sisi diriku yang lebih ceria," balas Eirik dengan suara selembut sutra.


"Mungkin kau memainkan permainan yang sia-sia jika kau berharap aku akan tersanjung dengan kata-kata manismu. Simpan saja rayuanmu itu untuk gadis bodoh yang lain."


Eirik tersenyum dengan gaya yang membuat gusar, seolah-olah pria itu sangat mengenal wanita, dan Eadyth sama seperti wanita lain.


"Dan apa yang akan melunakkan cangkangmu yang keras itu, Istriku?" tanya Eirik dengan suara pelan yang menggoda, mencondongkan diri ke depan untuk meniup topi bercadarnya, tampak takjub dengan kain yang bergetar itu.


Eadyth menguatkan diri untuk tak menjauh karena napas manis Eirik, campuran dari arak madu yang dibawanya dari Hawk's Lair dan aroma khasnya sendiri.


"Perhiasan mahal? Apa itu menggodamu?" lanjut Eirik, sepenuhnya sadar, pengaruhnya yang merangsang panca indra Eadyth. "Atau jubah sutra yang halus? Karpet baru untuk menghiasi tembok?" ketika ia tak bereksi pada semua tawarannya, Eirik berpikir sejenak, lalu tiba-tiba sumringah. "Bagaimana dengan buku cara beternak lebah dari seorang Biksu dari Frank? Sepertinya aku ingin buku itu ada di koleksi Athelstan yang diwariskannya pada King Edmund."


Melihat rasa senang yang tampaknya terlihat di wajah Eadyth, Eirik menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa. "Ah, istriku, apakah kau benar-benar begitu mudah disenangkan?"


"Sebenarnya, aku memang sangat mudah untuk dibuat senang. Kau tak bisa memberiku yang lebih dari yang kau berikan malam ini saat mengakui John sebagai anakmu. Dan aku sangat berterima kasih."


Eadyth melihat Eirik sedang mengamatinya dengan saksama, sedikit menyipitkan mata dalam ruangan yang temaram itu, tapi kali ini ia tak takut dan melanjutkan, "Aku berjanji untuk membalas bantuanmu bahwa aku akan menjadi istri terbaik yang pernah ada. Aku akan menjadikan tempat tinggal ini menjadi rumah yang nyaman. Aku akan mengatur para pelayanmu. Aku akan membantumu kaya raya dalam perdagangan ternak lebhku. Aku akan merawat anak-anakmu seperti anakku sendiri. Aku akan..."


Eirik menggenggam tangan Eadyth dengan tangannya yang jauh lebih besar, dan mata Eadyth membelalak dengan waspada. Ia melayangkan pandangannya ke seluruh aula, tapi tak seorang pun menyadari sentuhan intimnya.


Well, mungkin itu sikap sederhana yang dilakukan seorang suami pada saat perjamuan pernikahan. Tapi, oh Tuhan, rasa telapak tangan Eirik yang kasar akibat ditempa pertempuran sama sekali tak menjijikkan bagi Eadyth. Rasanya jauh dari itu. Bahkan, sesuatu yang aneh membuat darah Eadyth berpacu dan membuat jantungnya berdebar.


Apakah ini yang dirasakannya dengan Steven, pada awalnya? Ia berusaha keras mengingat. Tidak, perasaan ini terlalu kuat, terlalu primitif. Sama sekali berbeda dengan hasrat manis yang dirasakannya pada Lord of Gravely sebelum mengetahui kebusukan bajingan itu.


Ia berusaha menarik tangannya, tapi Eirik tergelak dan memegangnya lebih erat, membalikkan tangannya sehingga telapak tangan mereka bersentuhan, jari-jari bertaut. Hanya ibu jari Eirik yang bergerak, mengukir lingkaran kecil yang menimbulkan sensasi manis di bekas luka di pergelangan tangan Eadyth.


Senyum simpul bermain di sudut-sudut bibir Eirik saat memandangnya, dan gelenyar di dada Eadyth makin menjadi-jadi dan menyebar hingga ke ujung payudaranya. Tanpa sadar, Eadyth menunduk, lalu dengan cepat berpaling. Ia tahu Eirik tak bisa melihat puncak dadanya yang mengeras dari balik kain tebal gaunnya, namun meskipun demikian wajahnya menghangat karena malu.


Eadyth mengerling ke arah Eirik, dan wajahnya semakin panas. Eirik menyeringai seperti kucing yang disuguhi semangkuk susu. Pria itu tahu persis pengaruhnya terhadap Eadyth, pasti dari pengalamannya bertahun-tahun dengan para wanita bodoh. Sepertinya. 


"Argh!" Eadyth menggeram keras dan berusaha lebih keras menarik tangannya dari genggaman Eirik, tapi pria itu hanya tertawa dan menariknya lebih dekat, menyelipkan lengan Eadyth ke sisi tubuhnya.


"Mengapa kau menyangkal gairah alamimu, Eadyth?' tanya Eirik dalam bisikan parau. "Dan jangan bicara tentang usiamu lagi seolah-olah itu penting dalam olahraga ranjang. Aku melihat dengan jelas bahwa bara panas yang membara di balik kulit dinginmu hanya menunggu untuk disulut dengan tepat."


"Disulut? Disulut? Sebaiknya simpan penyulutmu di dalam celanamu, Lelaki Mesum. Dan berhenti merayuku. Aku sudah pernah bilang aku tak mau mendengar rayuanmu."


"Kenapa? Apa kau takut akan apa yang mungkin kau rasakan?"


"Tidak! Aku tak merasakan apa pun, dan kau salah mengharapkan hal yang sebaliknya dariku. Oh, Eirik, kumohon, jangan mencoba menjadikan pernikahan ini lebih dari sekadar... sebauh kontrak."


"Dan kau pikir tidak bijak untuk memaksimalkan... kontrak kita? Baru beberapa saat lalu, kau bicara tentang menjadi istri yang terbaik. Apa maksudmu berarti sebaliknya?"


Bulu kuduk Eadyth meremang. Eirik benar. Ia baru saja berjanji untuk menjadi istri yang terbaik yang pernah ada, dan sekarang Eadyth mendebatnya lagi. Ia menenangkan dirinya, berusaha menjelaskan dengan sabar, "Aku tak mencintaimu. Kau tak mencintaiku. Kita tak akan pernah saling mencintai."


"Siapa yang bicara soal cinta? Aku tak menginginkan emosi itu yang membuat otak beku. Tapi saat malam suhu menjadi dingin di wilayan ini dan..."


"Oh, kau menyebalkan menggodaku begitu. Bawa wanita simpananmu ke sini kalau perlu, tapi jangan ganggu aku."


Eirik tampak tak senang dengan persetujuan Eadyth begitu saja mengenai kekasih simpanannya. Sekali lagi, Eadyth berusaha menarik diri dari genggaman Eirik, tapi sia-sia. Alih-alih, dengan tangan kirinya, Eirik meraih dan menyentuh tahi lalat di atas bibir Eadyth dengan ujung jari telunjuknya. Eirik tersenyum seolah-olah puas bahwa tanda itu masih di sana. Lalu menelusuri pinggiran bibir Eadyth dari satu sudut ke lekukan di tengahnya di mana ia berhenti sejenak dan mendesah senang, begitu lirih, sebelum menggerakkan jarinya ke sudut yang lain dan ke sepanjang tepi bibir bawahnya.


"Akan sangat menyenangkan, Istriku, melakukan ini dengan ujung lidahku," bisiknya.


Payudara Eadyth membengkak dan nyeri, dan rasa penuh yang aneh terasa di daerah pangkal pahanya. Bibirnya merekah tanpa sadar.


Tak seorang pun pernah mengatakan hal itu kepadanya.


"Aku tua dan jelek," protesnya lemah.


Eirik mengangkat bahu tak peduli. "Aku pernah bersama-sama wanita berusia dua kali lipat dariku di Frankland." Ia tertawa mengenang. "Lebih tepatnya, dia yang bersamaku... selama seminggu penuh. Aku tak akan pernah melupakan pengalaman itu sepanjang hidupku. Aku ingat saat itu aku berpikir bahwa usianya membuat banyak hal luar biasa terjadi di ranjang. Dan di atas lantai. Dan di atas kuda."


Eirik menatap Eadyth, dan bibirnya berkedut senang. "Tutup mulutmu, Eadyth."


Rahang Eadyth mengatup rapat. "Di atas kuda?" dia terkesiap. "Kau bercanda."


Eirik tersenyum manis.


Oh, senyum yang manis! Pikir Eadyth. Manis namun begitu berbahaya.


"Apa kau mau mencobanya kapan-kapan?" bisik Eirik menawarkan.


"Tidak! Kau menyebalkan, membicarakan hal yang... mesum pada seorang Lady."


"Pada istriku," Eirik mengoreksi sambil menyeringai tak sedikit pun merasa bersalah.


"Apakah aku mendengar seseorang menyebut soal bercinta di atas kuda?" sela Tykir dari belakang mereka sambil tersenyum sumringah.


Eadyth bergetar karena malu dan akhirnya menarik tangannya dari genggaman Eirik.


Eirik menyeringai.


"Hah! Itu juga termasuk tunggangan yang menggairahkan, menurutku," Tykir melanjutkan, mengabaikan Eadyth yang malu. "Aku pernah bersama wanita di haluan kapalku, di tengah badai, dan saat gelombang bergejolak, naik dan turun, naik dan turun, well, kukatakan itu sangat luar biasa untuk..."


Cukup! Eadyth berdiri mendadak dan memandang galak mereka berdua sebelum menghentakkan kakinya menuruni panggung, menggerutu, "Pria! Makhluk bodoh mesum dengan akal sehat yang terletak di antara kedua kakinya."


Tawa Eirik dan Tykir berderai mengikuti Eadyth, dan sepertinya ia mendengar Eirik mengatakan sesuatu pada Tykir yang terdengar seperti, "Mungkin kau benar tentang goyangannya." Ia menoleh ke belakang dan ngeri ketika melihat mereka memandangi pinggulnya.


Kemudian Eadyth berada di dapur dengan Girta memberikan perintah untuk membersihkan sisa makan malam dan mengisi kembali minuman ketika ia mendengar kegaduhan di aula. Ketika ia muncul, ia melihat sekelompok peria mengenakan lambang naga emas dari House of Wessex di perisai mereka.


Oh, jangan tamu lagi! Pikir Eadyth, berjalan menuju pintu aula di mana sekumpulan orang itu berbicara pada Eirik dengan semangat dan serius. Earl Orm, Uskup Agung Wulfstan, dan Anlaf, bahkan Tykir, memandang dengan saksama dari panggung.


"My Lord?" tanya Eadyht pada saat ia mendekati suami barunya. "Apakah aku harus menyiapkan meja untuk tamu-tamumu?"


Eirik mengisyaratkan Eadyth untuk mendekat dengan sentakan tangannya dan memperkenalkan pada tiga orang pria berpakaian rapi di sebelahnya. "Istriku, aku ingin memperkenalkanmu pada Earl Robert of Leicester, Earl Oswald of Hereford dan Bapa Aelfhead, salah satu pendeta raja kita."


"Salam, My Lord, dan Anda juga, Bapa Aelfhead," gumam Eadyth, menunduk hormat. Ia berpaling dan memberitahu girta dan Britta untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk puluhan pasukan bersenjata yang berdiri di belakang, wajah lelah dan perisai mereka yang berdebu menunjukkan bahwa mereka telah menempuh perjalanan panjang dan buru-buru agar bisa segera mencapai Ravenshire. Kenapa? Eadyth bertanya-tanya dengan gelisah.


Eirik dan orang-orang raja bertukar pandang penuh makna dan Eadyth tahu bahwa mereka tak ingin bicara di depannya. Ia menyingkirkan rasa penasarannya dan bertanya pada Eirik kalau ia harus menyiapkan kamar untuk para tamu bangsawan itu.


"Tidak," Bapa Aelfhead menyela dengan cepat, "kami harus segera kembali ke Gloucester secepat mungkin." Ia melayangkan tatapan bertanya pada Eirik sementara kepala botaknya mengangguk-angguk dengan gugup memindai ruangan. Kemudian pria itu menggerutu saat melihat Uskup Agung Wulfstan berdiri di atas panggung tampaknya bersiap bergerak ke arah mereka.


Melihat niat Uskup Agung, Eirik memberitahu Eadyth, "Kami akan berada di ruang pribadi di sebelah aula utama. Beritahu Wilfrid untuk memastikan kami tidak diganggu." Ketika Eadyth mengangguk tanpa bertanya, ia melihat sekilas kepuasan di wajah Eirik sebelum suaminya itu menambahkan, "Bisakah kau kirimkan kami makanan dan minuman? Terutama minuman." Ia berpaling ke arah tiga tamu baru itu dan berkata dengan bangga, "Istriku membuat arak terbaik di seluruh Northumbria."


Eadyth terpana, tak mampu bicara mendengar pujiannya. Sebelum ia sempat mundur, Eirik membungkuk dan menyapukan bibirnya di atas bibir Eadyth dengan sentuhan seringan bulu, bergumam, "Aku minta maaf, Istriku, karena harus meninggalkanmu sendirian di perjamuan pernikahan. Aku tahu ini bukanlah sikap seorang suami yang layak kau dapatkan malam ini."


Dengan takjub, Eadyth memandangi kepergian Eirik saat pria itu membimbing para tamu ke ruangan pribadi. Oh, Eadyth tahu ciuman itu hanya sekadar tindakan untuk melanjutkan sandiwara sebagai pasangan pengantin yang saling mencintai di hadapan para tamu mereka. Tapi Eadyth tetap tak tahan untuk tidak menyentuh bibirnya dengan takjub dengan ujung jari-jarinya, atau membayangkan rasa Eirik masih ada di sana.


Lebih dari itu, Eadyth tak bisa berhenti memikirkan apakah malam pernikahan yang ditakutkannya benar akan seburut yang dibayangkannya. Dan sensasi aneh bergetar melandanya, membuat wajahnya merah panas dan detak jantungnya berpacu saat ia memikirkan kamar Eirik di lantai atas dan malam yang akan datang.



 


Next
Back
Synopsis



Tidak ada komentar:

Posting Komentar