Jumat, 04 Mei 2018

Honor's Splendour 4


"Kejahatan adalah pria yang mengenal kehormatan namun membuangnya."

Baron Louddon hanya berjarak setengah hari berkuda cepat dari tempat Duncan dan prajuritnya berkemah. Keberuntungan berada di pihak Louddon, sebab ia dapat berkuda pada malam hari dengan diterangi cahaya bulan purnama yang cemerlang. Prajuritnya sebanding dengan prajurit Duncan dalam hal kesetiaan dan jumlah, dan tak seorang pun yang mengeluhkan perubahan rencana yang mendadak ini.
Seorang pelayan setengah gila mengejar mereka untuk menyampaikan berita tentang perbuatan Duncan. Kemudian mereka semua kembali ke Benteng Louddon. Mereka semua menyaksikan pesan yang telah ditinggalkan oleh Baron Wexton. Aye, mereka semua sudah melihat tubuh-tubuh termutilasi para prajurit yang ditinggalkan untuk menjaga wilayah Louddon. Para prajurit bergabung dalam kemarahan dan balas dendam, dan masing-masing mereka bersumpah akan menjadi orang yang membunuh Duncan.

Fakta bahwa mereka pernah bergabung dengan Louddon dan menipu Baron Wexton kini diabaikan; sebaliknya, mereka berkonsentrasi untuk membalaskan dendam pemimpin mereka.

Louddon dengan cepat memutuskan untuk mengejar Duncan. Alasannya berlipat ganda. Yang lebih penting lagi adalah kesadaran bahwa rencananya sendiri untuk menghancurkan Baron Wexton dengan cara yang tidak terhormat akan terungkap, dan akan menjadikannya seorang pengecut yang akan diolok-olok di istana. Duncan akan memperingatkan William II, dan sang raja, walaupun menyukai Louddon, akan terpaksa memerintahkan pertarungan sampai mati di antara kedua musuh itu demi mengakhiri apa yang mungkin sang raja anggap sebagai sebuah perbedaan pendapat yang tidak penting. Sang raja, yang diberi julukan Rufus si Merah, karena wajah dan watak garangnya, pasti akan kesal karena percekcokan ini. Louddon juga tahu bahwa jika ia harus menghadapi Duncan sendiri di medan tempur, ia akan menjadi pihak yang kalah. Baron Wexton adalah seorang pejuang tak terkalahkan yang sudah berkali-kali menunjukkan kemampuannya. Aye, Duncan akan membunuhnya jika diberi kesempatan.

Louddon adalah seorang pria yang trampil, tapi ketrampilannya menyangkut hal-hal yang tidak akan membantunya dalam menghadapi orang-orang seperti Duncan. Louddon memiliki kekuatan yang patut diperhitungkan di istana. Ia berperan sebagai semacam sekretaris, kendati ia tidak bisa membaca atau menulis dan menyerahkan hal-hal remeh itu kepada dua orang pastor residen. Ketika sang raja mengadakan pertemuan, tugas utama Louddon adalah menyortir mereka yang benar-benar mempunyai urusan dengan sang raja, dan mereka yang tidak. Itu adalah posisi yang kuat. Louddon adalah seorang manipulator ulung. Ia menanamkan rasa takut ke dalam benak orang-orang yang bergelar lebih rendah yang dengan sukarela membayar demi kesempatan untuk berbicara dengan raja mereka. Ia memuluskan jalan bagi orang-orang yang bersemangat ini, memenuhi kantongnya dengan emas mereka.

Sekarang, jika usahanya untuk membunuh Duncan ketahuan, Louddon bisa kehilangan segalanya.

Kakak Madelyne itu dianggap sebagai pria yang tampan. Rambut pirang tanpa ada satu pun ikal kusut yang merusak kilau rambutnya, mata berwarna hazel dengan serpihan emas, berbadan tinggi pula, meski sekurus gelagah, dengan bibir yang terpahat sempurna. Dan ketika ia tersenyum, para lady di istana nyaris pingsan. Saudari-saudari Louddon, Clarissa dan Sara, sama-sama memiliki rambut berwarna pirang gandum dan mata berwarna hazel. Mereka hampir sama rupawannya dengan Louddon, dan sama-sama menjadi incaran.

Louddon dikenal sebagai bujangan yang sangat menarik dan bisa memilih wanita mana pun di Inggris. Meski demikian, ia tidak menginginkan sembarang wanita. Ia menginginkan Madelyne. Adik tirinya itu merupakan alasan kedua Louddon mengejar Duncan. Baru dua bulan yang lalu Madelyne kembali kepadanya, dan setelah melupakan Madelyne selama tahun-tahun pertumbuhan gadis itu, Louddon amat terguncang sewaktu melihat perubahan yang luar biasa dalam penampilan Madelyne. Dulu Madelyne seorang anak yang jelek. Mata biru yang besar menelan seluruh wajahnya. Bibir bawahnya terlalu penuh, ekspresinya diatur untuk cemberut sepanjang waktu, dan gadis itu begitu kurus sampai-sampai terlihat berpenyakitan. Aye, dulu Madelyne adalah seorang anak yang canggung, dengan kaki yang panjang dan kurus yang membuatnya tersandung setiap kali mencoba membungkuk untuk memberi hormat.

Louddon betul-betul telah salah menilai potensi gadis itu. Pada masa kanak-kanak, tidak ada satu pun tanda dalam penampilan Madelyne yang memberi kesan bahwa gadis itu suatu hari nanti akan terlihat sangat mirip dengan ibunya. Madelyne telah berubah dari sesuatu yang memalukan menjadi gadis yang cantik, begitu menawan, sebetulnya, sampai-sampai mengalahkan kedua saudara tirinya.

Siapa yang akan menyangka keajaiban seperti itu dapat terjadi? Si ulat penakut telah berubah menjadi kupu-kupu yang menawan. Teman-teman Louddon juga kehilangan kata-kata sewaktu mereka pertama kali melihat gadis itu. Morcar, rekan terdekat Louddon, bahkan memohon padanya untuk menikahi Madelyne, dan meletakkan berpound-pound emas di depan petisinya.

Louddon tidak tahu apakah dirinya bisa menyerahkan Madelyne kepada pria lain. Gadis itu begitu mirip dengan ibunya. Ketika Louddon pertama kali melihat gadis itu, ia bereaksi secara fisik. Itu pertama kalinya ia begitu bergairah kepada seorang wanita selama bertahun-tahun ini, sehingga Lousson nyaris hancur karenanya. Hanya ibu Madelyne yang mampu memengaruhinya seperti itu. Ah, Rachel, jantung hatinya. Wanita itu telah menghancurkan gairah Louddon terhadap wanita lain. Ia tidak bisa lagi memiliki Rachel sekarang; perangai buruknya telah merenggut wanita itu darinya. Louddon dulu yakin obsesinya akan berakhir bersama kematian wanita itu. Sebuah harapan bodoh, ia mengakuinya kini. Tidak, obsesi tersebut terus hidup. Madelyne. Adik tirinya itu bisa menjadi kesempatan keduanya untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pria sejati.

Louddon adalah seorang pria yang tersiksa. Ia tidak dapat memutuskan antara keserakahannya dan gairahnya. Ia menginginkan Madelyne untuk dirinya sendiri, tapi juga menginginkan emas yang akan gadis itu hasilkan. Barangkali, batin Louddon, jika ia cukup cerdik, ia bisa memiliki keduanya.



Madelyne terbangun dalam posisi yang paling janggal. Ia berada di atas Duncan. Sisi wajahnya menempel di perut keras dan rata pria itu, kakinya terjalin dengan kaki Duncan, dan tangannya terjepit di antara paha pria itu.

Karena keadaannya yang masih mengantuk, Madelyne tidak serta merta menyadari di mana tepatnya kedua tangannya berada. Duncan terasa begitu hangat, walaupun... begitu keras. Oh Tuhan, tangannya merapat di bagian tubuh paling pribadi pria itu.

Mata Madelyne tersentak terbuka. Ia menegang di tubuh penawannya itu, bahkan tidak berani untuk bernapas. Semoga pria itu tetap tertidur, ia berdoa dengan panik sambil perlahan-lahan menjauhkan tangannya dari api pria itu.

"Jadi, akhirnya kau bangun."

Duncan tahu ia membuat Madelyne terkejut ketika gadis itu tersentak di tubuhnya. Tangan Madelyne menghantam pangkal paha pria itu. Duncan mengerang sebagai reaksi. Sial, Madelyne akan menjadikannya seorang kasim kalau Duncan memberi setengah saja kesempatan padanya.

Madelyne berguling ke samping, memberanikan diri untuk melirik cepat ke arah Duncan. Madelyne rasa ia mungkin harus meminta maaf sebab tanpa sengaja menabrak pria itu di sana, tapi kalau begitu pria itu akan tahu bahwa Madelyne sangat sadar di mana tepatnya tangannya berada tadi, ya, kan?

Oh, astaga, Madelyne bisa merasakan dirinya merona merah. Dan Duncan mengernyit lagi pagi ini. Lagi pula pria itu tidak tampak bersedia mendengar permintaan maaf apa pun lagi dari Madelyne, jadi ia menyingkirkan kecemasannya.

Duncan terlihat galak. Aye, janggut berwarna coklat gelap yang baru tumbuh benar-benar membuatnya lebih terlihat seperti seekor serigala ketimbang manusia, dan ia sedang mengamati Madelyne dengan rasa penasaran yang menurut gadis itu terlihat menakutkan. Kedua tangan Duncan terus melindungi punggung Madelyne. Gadis itu kemudian teringat pada bagaimana Duncan telah menghangatkannya sepanjang malam. Pria itu pasti bisa menyakiti dengan sama mudahnya. Madelyne sadar ia sedang berusaha menekan rasa takutnya terhadap pria itu, namun cukup jujur untuk mengakui bahwa yang sebenarnya justru sebaliknya. Oh, Duncan memang membuatnya takut, tapi tidak dalam cara yang sama dengan Louddon.

Hari ini adalah pertama kalinya dalam berminggu-minggu, sejak Madelyne kembali ke rumah kakaknya, ia tidak terbangun dengan gumpalan rasa takut berdiam di dalam perutnya. Ia juga tahu alasannya; itu karena Louddon tidak berada di sana.

Duncan sama sekali tidak seperti Louddon. Nay, seorang pria yang ingin bersikap kejam tentunya tidak akan membagi kehangatannya sementara mereka tidur. Dan pria itu memegang janjinya juga. Duncan tidak mengambil keuntungan... ya Tuhan, Madelyne menciumnya. Ia mendadak teringat pada setiap bagian dari ciuman itu dengan jelas yang membuat nadinya berpacu.

Syukurlah dirinya sudah belajar untuk menyembunyikan perasaan-perasaannya. Madelyne yakin ekspresinya tidak mengungkapkan pikiran-pikirannya yang mengerikan. Itu adalah sebentuk kecil anugerah, ya kan? Aye, batinnya sambil mendesah kecil. Duncan tidak mungkin bisa mengetahui apa yang sedang Madelyne pikirkan.

Duncan mengamati Madelyne, diam-diam terhibur dengan cara gadis itu memperhatikan satu per satu emosinya pada Duncan. Mata gadis itu mengungkapkan rahasianya; dalam beberapa menit yang telah lewat, Duncan sudah melihat rasa takut, malu dan menurutnya kelegaan juga.

Duncan adalah pria yang terlatih untuk menemukan kelemahan-kelemahan pada orang lain. Sebagai seorang pejuang, mengetahui apa yang ada di dalam benak lawannya mempercepat reaksinya sendiri. Ia juga telah belajar untuk mencari apa yang paling berharga bagi musuhnya. Kemudian ia akan merebutnya. Ini adalah cara para petarung, tapi pelajaran-pelajaran itu memengaruhi hubungan personalnya pula. Mustahil untuk memisahkan kedua hal tersebut. Dan walaupun Madelyne tidak menyadarinya, gadis itu telah memberikan Duncan petunjuk-petunjuk penting tentang karakternya. Madelyne adalah wanita yang menghargai kendali diri. Menjaga agar emosinya tak terlihat tampaknya menjadi sebuah misi yang penting. Madelyne telah menunjukkan kepada Duncan bahwa tidak semua wanita dikuasai oleh emosi mereka. Hanya sekali, yaitu pada saat penghancuran rumahnya, gadis itu benar-benar memperlihatkan reaksi nyata. Madelyne menjerit penuh derita saat melihat tubuh prajurit Louddon termutilasi. Namun Duncan ragu Madelyne bahkan sadar kalau dirinya lepas kendali saat itu.

Aye, Duncan mempelajari semua rahasia Madelyne dan apa pun yang Duncan ketahui sejauh ini membuatnya bingung. Sebenarnya gadis itu membuatnya senang juga.

Duncan menjauh dari Madelyne, kalau tidak dorongan untuk menarik kembali gadis itu ke dalam pelukannya dan menciumnya lagi akan menjadi terlalu kuat untuk diabaikan. Ia mendadak sangat ingin pulang ke rumah. Ia tidak akan merasa tenang sampai ia sudah menempatkan Madelyne di balik keamanan tembok-tembok bentengnya.

Duncan berdiri, meregangkan otot-ototnya, lalu berjalan menjauh dari Madelyne, hampir mengusir gadis itu dari pikirannya. Matahari berangsur naik menuju awan-awan yang seperti susu, awan-awan yang pastinya akan menghalangi cahaya matahari melelehkan dinginnya malam yang menyelimuti tanah. Ada banyak hal yang harus dilakukan sebelum cahaya matahari cukup terang untuk perjalanan mereka. Kendati hari yang baru ini sudah terasa sangat dingin, anginnya cukup sejuk untuk membuat Duncan senang.

Madelyne tahu mereka akan segera berangkat. Ia mengenakan sepatunya, menyapu tanah dari gaunnya, dan menyampirkan jubahnya ke pundaknya. Ia tahu dirinya terlihat berantakan dan memutuskan bahwa ia harus melakukan sesuatu tentang itu.

Madelyne pergi mencari Ansel. Si squire sedang menyiapkan kuda jantan Duncan. Madelyne menanyai pemuda itu di mana tasnya, meskipun ia berdiri pada jarak aman dari hewan buas yang besar itu dan harus meneriakkan pertanyaannya. Lalu berterima kasih dengan amat sangat ketika pemuda itu melemparkan tas tersebut kepada Madelyne.

Madelyne awalnya hanya ingin membasuh kantuk dari matanya, namun air yang jernih itu terlalu menggoda. Ia menggunakan sabun beraroma yang ia masukkan ke dalam tasnya untuk mandi cepat dan mengganti gaunnya.

Ya Tuhan, airnya dingin. Madelyne menggigil pada saat selesai berpakaian. Ia mengenakan tunik dalaman sepanjang mata kaki berwarna kuning pucat dengan bliaut sepanjang lutut berwarna emas cerah di atasnya.. Sebuah pita jahitan tangan berwarna biru keunguan melingkari lengan panjang tunik tersebut.

Madelyne membereskan kembali tasnya lalu berlutut di tepi sungai kecil itu dan mulai menyisir rambutnya. Sekarang setelah ia beristirahat, dan pikirannya tidak tersita oleh rasa takut, ia memiliki banyak waktu untuk memikirkan tentang situasinya. Pertanyaan yang paling penting adalah menemukan alasan Duncan membawa Madelyne bersamanya. Pria itu sudah mengatakan bahwa Madelyne adalah miliknya. Madelyne tidak mengerti apa maksud pria itu dengan pernyataan tersebut, tapi terlalu takut untuk meminta Duncan menjelaskan hal itu.

Gilard datang untuk menjemput Madelyne. Ia mendengar pria itu mendekat dan berbalik tepat pada waktunya untuk melihatnya mendekat.

"Sudah waktunya berangkat," teriak Gilard. Kekuatan suaranya nyaris membuat membuat Madelyne jatuh ke dalam sungai. Gilard cepat-cepat meraih dan menarik Madelyne agar berdiri, tanpa sengaja menyelamatkan gadis itu dari rasa malu.

"Aku masih harus mengepang rambutku, Gilard. Setelah itu aku akan siap. Dan kau benar-benar tidak perlu berteriak kepadaku," tambah Madelyne, dengan sengaja menjaga suaranya tetap lembut. "Pendengaranku sebenarnya cukup bagus."

"Rambutmu? Kau masih harus..." Gilard terlalu tercengang untuk melanjutkan kalimatnya. Ia memberi Madelyne tatapan yang menyatakan bahwa gadis itu sudah gila. "Kau adalah tawanan kami, demi Tuhan," ia akhirnya berhasil tergagap.

"Aku sudah menduganya," sahut Madelyne. Ia terdengar setenang angin pagi. "Tapi apakah itu berarti aku boleh atau tidak boleh mengepang rambutku sebelum kita berangkat?"

"Apa kau mencoba membuatku marah?" Teriak Gilard. "Lady Madelyne, kau sedang berada dalam posisi lemah. Apa kau terlalu bodoh untuk menyadarinya?"

Madelyne menggeleng. "Mengapa kau begitu marah kepadaku? Kau meneriakkan setiap kata. Apakah itu kebiasaan normalmu, ataukah karena aku adik Louddon?"

Gilard tidak segera menjawab. Akan tetapi wajahnya berubah merah padam. Madelyne tahu ia membuat pria itu berang. . Ia menyesal karenanya, namun ia tetap memutuskan untuk terus memancingnya. Gilard jelas tidak terlalu bisa mengendalikan temperamennya, dan kalau Madelyne bisa cukup memancingnya, barangkali pria itu mau memberitahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Gilard lebih mudah dimengerti dari pada kakaknya. Dan jauh lebih mudah dimanipulasi, kalau Madelyne cukup pintar.

"Mengapa aku ditawan?" sembur Madelyne. Pertanyaan yang blak-blakan itu membuatnya mengernyit. Ia memang tidak pernah menjadi sangat pintar, dan oleh sebab itu ia cukup terkejut waktu Gilard benar-benar menjawabnya.

"Kakakmulah yang memulai perang ini, Madelyne. Kau sangat tahu itu."

"Aku sama sekali tidak mengerti apa pun," protes Madelyne. "Jelaskan kepadaku, jika kau berkenan. Aku ingin memahaminya."

"Kenapa kau berlagak seolah kau tidak bersalah di depanku?" desak Gilard. "Setiap orang di Inggris tahu apa yang telah terjadi tahun lalu."

"Tidak semua orang, Gilard," sahut Madelyne. "Aku baru kembali ke rumah kakakku dua bulan yang lalu. Aku tinggal di wilayah yang sangat terisolasi selama bertahun-tahun."

"Aye, benar," ejek Gilard. "Tinggal bersama pastormu yang dikucilkan oleh gerejanya, aku mengerti."

Madelyne bisa merasakan ketenangannya memudar. Ia ingin meneriaki si prajurit yang arogan itu. Apakah setiap orang di Inggris percaya pada rumor mengerikan itu?

"Baiklah," cetus Gilard. Ia kelihatan tidak menyadari kemarahan Madelyne saat ini. "Aku akan menceritakan seluruh kebenaran padamu, dan kemudian kau tidak akan bisa berpura-pura lagi. Prajurit Louddon telah menyerang dua tanah milik bawahan-bawahan Duncan yang setia. Dalam setiap serangan, terjadi pembunuhan yang tidak perlu terhadap wanita dan anak-anak. Para bawahan itu juga tidak diberi peringatan apa pun; kakakmu berpura-pura menjadi teman sampai anak buahnya masuk ke dalam benteng mereka."

"Kenapa? Kenapa Louddon melakukan hal semacam itu? Apa yang dia harapkan dari hal itu?"

Madelyne mencoba untuk tidak menunjukkan betapa terkejutnya ia karena kata-kata Gilard. Madelyne tahu kakaknya mampu melakukan muslihat seperti itu, tapi tidak bisa memahami motifnya. "Louddon tentu tahu kalau Duncan, sebagai tuan bagi mereka yang diserang akan membalas dendam."

"Aye, itu harapannya, Madelyne. Dia sudah mencoba membunuh Duncan selama ini," imbuh Gilard seraya tertawa samar. "Kakakmu serakah terhadap kekuasaan. Dia hanya harus menakuti satu orang lagi di Inggris. Duncan. Mereka sebanding dalam kekuasaan. Louddon terkenal mendapat dukungan sang raja, benar, tapi prajurit Duncan merupakan pasukan pejuang yang paling tangguh di dunia. Sang raja menghargai kesetiaan kakakku sebesar dia menghargai persahabatan Louddon."

"Sang raja membiarkan tipu daya ini?" tanya Madelyne.

"William menolak bertindak tanpa bukti," jawab Gilard. Suaranya terdengar jijik. "Dia tidak membela Louddon maupun Duncan. Aku bisa menjanjikan ini padamu, Lady Madelyne. Pada saat raja kita kembali dari Normandia, dia tidak akan bisa menghindar dari masalah ini lagi."

"Kalau begitu Duncan belum bisa bertindak atas nama para bawahannya?" tanya Madelyne. "Sebaliknya, itulah alasan rumah kakakku dihancurkan?"

"Kau naif jika percaya Duncan tidak akan membalas dendam. Dia segera mengusir para keparat itu dari tanah para bawahannya."

"Pembalasan yang setimpal, Gilard?" Madelyne membisikkan pertanyaannya. "Apakah Duncan juga membunuh orang-orang yang tak berdosa seperti dia membunuh mereka yang bersalah?"

"Nay," jawab Gilard. "Para wanita dan anak-anak dibiarkan. Kami para Wexton bukan penjagal, Madelyne, tidak peduli apa yang kakakmu katakan kepadamu. Dan prajurit kami juga tidak bersembunyi di balik kepura-puraan saat mereka menyerang."

"Louddon tidak mengatakan apa-apa kepadaku," protes Madelyn lagi. "Kau lupa kalau aku hanyalah seorang adik perempuan. Aku tidak cukup berharga untuk mengetahui pikiran-pikirannya." Bahunya terkulai. Ya Tuhan, ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan, begitu banyak keputusan yang harus dibuat. "Apa yang akan terjadi jika sang raja memihak Louddon? Apa yang akan terjadi pada kakakmu?"

Gilard mendengar rasa takut di dalam suara gadis itu. Madelyne bertingkah seakan-akan peduli kepada Duncan. Itu tidak masuk akal, mengingat posisi gadis itu sebagai tawanan. Lady Madelyne akan membuat Gilard bingung jika ia membiarkannya. "Duncan bukan orang yang penyabar, dan saat kakakmu berani menyentuh seorang Wexton, dia telah menyegel nasibnya. Kakakku tidak akan menunggu sang raja kembali ke Inggris sehingga dia bisa memerintahkan pertarungan hingga mati dengan kakak keparatmu itu. Nay, Duncan akan membunuh Louddon, dengan atau tanpa restu sang raja."

"Apa maksudmu ketika kau mengatakan Louddon menyentuh seorang Wexton?" tanya Madelyne. "Ada seorang anggota keluarga Wexton lagi dan Louddon membunuhnya?" duganya.

"Ah, jadi kau berpura-pura tidak tahu apa-apa tentang Adela juga, begitukah cara mainnya?" desak Gilard.

Sebuah gumpalan rasa takut menetap di perut Madelyne, sebab ia menangkap sorot menakutkan di mata Gilard. "Please," bisiknya, kepalanya menunduk untuk menghindari kebencian pria itu, "Aku harus tahu semuanya. Siapa Adela?"

"Saudara perempuan kami."

Kepala Madelyne tersentak. "Kau akan berperang karena seorang saudara perempuan?" tanyanya.

Gadis itu terlihat sangat heran, Gilard tidak tahu harus ia artikan apa reaksi tersebut. "Saudara perempuan kami pergi ke istana tahun lalu, dan saat dia berada di sana, Louddon menangkapnya ketika dia sedang sendirian. Kakakmu memerkosanya, Madelyne, dan memukulinya dengan sangat brutal sampai-sampai merupakan suatu keajaiban dia bisa bertahan hidup. Tubuhnya sudah sembuh, tapi pikirannya rusak."

Ketenangan Madelyne hancur. Ia memunggungi Gilard sehingga pria itu tidak akan melihat air mata yang mengalir di pipinya. "Aku sangat menyesal, Gilard," bisiknya.

"Dan kau percaya pada apa yang baru saja kukatakan padamu?" desak Gilard, suaranya kasar. Ia ingin memastikan Lady Madelyne tidak akan bisa mengingkari kebenarannya lagi.

"Sebagian dari cerita ini, aye," jawab Madelyne. "Louddon sanggup memukul wanita sampai mati. Walau demikian aku tidak tahu apakah dia mampu memerkosa wanita, tapi kalau kau mengatakan itulah yang sebenarnya, aku akan percaya kepadamu. Kakakku adalah pria yang jahat. Aku tidak akan membelanya."

"Kalau begitu apa yang tidak kau percayai?" tanya Gilard, kembali berteriak lagi.

"Kau membuatku berpikir kalau kau menghargai adikmu," ujar Madelyne mengakui. "Itulah yang membingungkan."

"Demi Tuhan, apa yang sedang kau bicarakan?"

"Apakah kau marah padaku karena Louddon telah mencemarkan nama Wexton atau karena kau sungguh-sungguh mencintai saudara perempuanmu?"

Gilard berang karena pertanyaan yang meninggung itu. Ia mencengkram Madelyne dan menyentak gadis itu untuk menghadapnya. Kedua tangannya mencengkram bahu gadis itu dengan menyakitkan. "Tentu saja aku mencintai saudara perempuanku," teriaknya. "Mata dibalas mata, Madelyne. Kami telah merebut sesuatu yang sangat kakakmu hargai. Kau! Dia akan datang mengejarmu, dan ketika dia datang, dia akan mati."

"Jadi aku bertanggung jawab atas dosa-dosa kakakku?"

"Kau adalah bidak untuk menarik keluar sang iblis," jawab Gilard.

"Ada kelemahan dalam rencana ini," bisik Madelyne. Suaranya terdengar malu. "Louddon tidak akan datang mengejarku. Aku tidak cukup penting baginya."

"Louddon tidak bodoh," kata Gilard, berang sebab ia mendadak sadar kalau Madelyne bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan.

Baik Madelyne maupun Gilard tidak mendengar Duncan mendekat. "Lepaskan tanganmu darinya, Gilard. Sekarang!"

Gilard cepat-cepat mematuhi, bahkan mundur selangkah, memberi jarak di antara dirinya dan tawanan mereka.

Duncan memandangi adiknya, berniat mencari tahu kenapa Madelyne menangis. Ia membiarkan Gilard melihat betapa marahnya dirinya.

Madelyne menempatkan dirinya di antara dua bersaudara itu. Ia menghadap Duncan. "Dia tidak menyakitiku," ujarnya. "Adikmu hanya menjelaskan tentang kegunaanku. Hanya itu."

Duncan bisa melihat rasa sakit di mata Madelyne, tapi sebelum ia bisa menanyainya, gadis itu berbalik mengambil tasnya, kemudian menambahkan, "Sudah saatnya berangkat."

Gadis itu mencoba berjalan melewati Gilard untuk kembali ke kemah mereka. Duncan mengamati ketika adiknya buru-buru menyingkir dari Jalan Madelyne.

Adik Duncan terlihat khawatir. "Dia ingin aku percaya kalau dia tidak bersalah," gumamnya.

"Apakah Madelyne mengatakan itu padamu?" tanya Duncan.

"Nay, dia tidak mengatakannya," aku Gilard seraya mengangkat bahu. "Dia tidak membela dirinya sama sekali, Duncan, tapi dia bertingkah begitu tanpa dosa. Sial, aku tidak mengerti. Dia tampak terkejut mengetahui kita peduli pada saudara perempuan kita. Dan kurasa itu juga reaksi yang sungguh-sungguh. Bahkan, dia benar-benar bertanya kepadaku apakah kita menghargai Adela."

"Dan saat kau menjawabnya?" tanya Duncan.

"Dia terlihat semakin bingung. Aku tidak mengerti dirinya," gerutu Gilard. "Semakin cepat rencana ini diselesaikan, semakin baik. Lady Madelyne sama sekali tidak seperti yang kuduga sebelumnya."

"Dia adalah sebuah paradoks," Duncan membenarkan. "Sebenarnya dia tidak mengerti arti dirinya sendiri." Ia menghela napas karena pengamatannya itu, lalu berkata, "Ayo, hari semakin siang, kalau bergegas, kita akan sampai di rumah saat senja."

Gilard menjawab perintah itu dengan anggukan dan berjalan di sebelah kakaknya.

Dalam perjalanannya kembali ke tenda, Madelyne memutuskan ia tidak akan pergi ke mana-mana. Ia berdiri di tengah-tengah area terbuka itu, jubahnya membungkus pundaknya. Ansel telah mengambil tasnya dan ia tidak mendebat si squire. Ia tidak peduli jika tasnya pergi bersama Duncan. Sebetulnya, ia pikir ia tidak peduli pada apa pun lagi. Ia hanya ingin dibiarkan sendiri.

Duncan berjalan ke arah si squire, hendak menyelesaikan memakai baju zirahnya. Ia memberi isyarat kepada Madelyne untuk menaiki kuda jantannya, lalu melanjutkan langkahnya. Tapi, ia mendadak berhenti dan perlahan-lahan berbalik untuk menatap Madelyne, tidak percaya pada apa yang ia pikir ia lihat.

Gadis itu mengatakan tidak lagi pada Duncan. Duncan begitu tercengang dengan pembangkangan gadis itu, sehingga ia tidak seketika bereaksi. Madelyne menggeleng untuk yang ketiga kalinya, kemudian tiba-tiba berbalik dan mulai berjalan kembali ke dalam hutan.

"Madelyne!"

Raungan Duncan membuat Madelyne berhenti. Secara insting ia berbalik untuk menghadap Duncan, dalam hati memohon keberanian untuk menentang pria itu lagi.

"Naik ke kudaku. Sekarang."

Mereka bertatapan selama sesaat yang panjang dan hening. Kemudian Madelyne menyadari bahwa semua orang telah berhenti mengerjakan tugas-tugas mereka dan sedang menonton. Duncan tidak akan mundur di hadapan para prajuritnya. Cara pria itu menatap Madelyne menyatakan hal itu pada gadis itu.

Madelyne mengangkat roknya dan bergegas menghampiri dan berdiri langsung di hadapan Duncan. Para prajurit mungkin sedang menonton, tapi kalau ia memelankan suaranya, mereka tidak akan bisa mendengar apa yang ia ucapkan kepada pemimpin mereka.

"Aku tidak akan pergi denganmu, Duncan. Dan kalau saja kau tidak begitu keras kepala, kau pasti akan menyadari kalau Louddon tidak akan datang untuk mengejarku. Kau membuang-buang waktumu. Tinggalkan aku di sini."

"Untuk bertahan di hutan belantara?" tanya Duncan, suaranya berupa bisikan lembut seperti suara gadis itu. "Kau tidak akan mampu bertahan selama satu jam."

"Aku pernah bertahan dari situasi yang lebih buruk, Milord," jawab Madelyne, menegakkan bahunya. "Aku sudah mengambil keputusan, Baron. Aku tidak akan pergi denganmu."

"Madelyne, jika seorang pria menentang perintahku dengan cara seperti yang baru kau lakukan tadi, dia tidak akan hidup cukup lama untuk menyombongkannya. Dan saat aku memberi perintah, aku mengharapkan perintah itu dilaksanakan. Jangan berani-berani menggelengkan lagi kepalamu kepadaku, atau aku akan menamparmu habis-habisan sebagai balasan."

Itu adalah kebohongan yang menjijikan bagi Duncan, dan ia menyesalinya segera setelah kata-kata tersebut keluar dari mulutnya. Ia sedang mencengkram lengan gadis itu, tahu bahwa ia telah menyakiti Madelyne secara tidak sengaja ketika gadis itu meringis kesakitan. Duncan segera melepaskan Madelyne, sepenuhnya berharap gadis itu akan lari secepat yang ia bisa untuk melaksanakan perintahnya.

Madelyne tidak bergerak. Ia menatap Duncan, ketenangan yang hebat itu kembali ke wajahnya, dan berkata dengan tenang, "Aku terbiasa dipukul habis-habisan, jadi lakukan yang terburuk. Dan saat aku bisa berdiri lagi, kau boleh memukulku lagi jika itu yang kau inginkan."

Kata-kata gadis itu menganggu Duncan. Ia tahu Madelyne mengatakan yang sebenarnya. Ia merengut murka karena seseorang sudah berani memukul gadis itu dan tahu, di dalam hatinya, bahwa Louddon-lah yang telah memberikan siksaan tersebut. "Mengapa kakakmu..."

"Itu tidak penting," tukas Madelyne sebelum Duncan bisa menyelesaikan pertanyaannya. Ia kini menyesal karena telah bicara. Madelyne tidak menghendaki simpati atau rasa iba. Yang ia inginkan hanyalah dibiarkan sendiri.

Duncan menghela napas. "Naiklah ke kudaku, Madelyne."

Sikap berani Madelyne yang singkat tadi lenyap saat ia melihat otot di pipi Duncan menegang. Gerakan Duncan itu menonjolkan rahangnya yang terkatup.

Duncan membuat suara geraman rendah jauh di dalam tenggorokannya, melampiaskan rasa frustasinya. Ia memutar Madelyne hingga gadis itu menghadap area di mana kuda jantannya tertambat dan mendorong gadis itu dengan lembut. "Kau memberiku satu lagi alasan untuk membunuh Louddon," bisiknya.

Madelyne hendak berbalik untuk meminta Duncan menjelaskan pernyataannya tadi, namun sorot mata pria itu menyatakan bahwa kesabarannya sudah menipis. Madelyne menerima fakta bahwa dirinya telah kalah dalam perdebatan ini. Duncan bertekad untuk membawa Madelyne bersamanya, tidak peduli apa yang gadis itu katakan atau lakukan.

Madelyne menghembuskan napas yang panjang dan sedih, lalu mulai melangkah menuju kuda Duncan. Sebagian besar prajurit masih belum melanjutkan tugas-tugas mereka. Mereka semua mengamati Madelyne. Gadis itu berusaha terlihat tenang. Namun di dalam, jantungnya berdebar dengan cukup kencang untuk meledak. Kendati rasa takut terhadap amarah Duncan membebani ketenangan pikiran Madelyne ada kekhawatiran yang lebih mendesak yang mengganggunya saat ini. Hewan buas milik Duncan. Disambar dan dilemparkan ke atas monster besar dan jelek itu adalah satu hal, tapi lain halnya jika menaikinya tanpa bantuan.

"Betapa pengecutnya diriku," Gerutu Madelyne pada dirinya sendiri. Ia meniru Bapa Berton sekarang, sebab pamannya itu sering berbicara pada dirinya sendiri, dan Madelyne juga ingat pria itu pernah memberitahunya bahwa tak seorang pun yang lebih tertarik dengan apa yang harus diucapkan daripada dirinya sendiri. Madelyne benar-benar tersenyum pada kenangan konyol tersebut.

"Oh, Bapa, andai kau dapat melihatku sekarang ini, betapa malunya dirimu pasti. Ada seekor kuda iblis yang harus kutunggangi dan aku pasti akan mempermalukan diriku sendiri."

Ironi dari kecemasan Madelyne akhirnya menembus rasa takutnya. "Kenapa aku cemas akan mempermalukan diriku sendiri, sementara kuda Duncan akan menginjak-injak diriku sampai mati? Apa peduliku kalau mereka berpendapat bahwa aku adalah seorang pengecut? Aku mungkin sudah mati saat itu."

Argumen Madelyne membantu mengurangi ketakutan dirinya. Madelyne mulai merasa tenang sedikit, sampai ia menyadari bahwa kuda jantan itu tampaknya sedang mengamati dirinya. Hewan tersebut juga tidak menyukai apa yang dilihatnya, Madelyne menyimpulkan, saat kuda itu mulai mengentak-entakkan kaki depannya ke tanah. Hewan itu bahkan mendengus pada Madelyne. Kuda bodoh itu sudah mengambil semua karakter mengerikan majikannya, putus Madelyne.

Madelyne mengumpulkan keberaniannya dan mendekat ke sisi kuda jantan itu. Hewan itu tidak terlalu menyukainya, dan sebenarnya, mencoba menyenggol Madelyne agar menjauh dengan sisi tubuh belakangnya. Madelyne meraih ke atas untuk mencengkram pelana, namun kuda itu meringkik, hingga gadis itu melompat mundur.

Madelyne berkacak pinggang dengan jengkel. "Kau lebih besar daripada aku, tapi tentunya tidak sepintar aku." Ia senang melihat kuda itu meliriknya. Ia tahu hewan itu tidak mungkin bisa memahami apa yang ia katakan, tapi ia tetap merasa lebih baik hanya karena mendapatkan perhatian dari kuda tersebut.

Madelyne tersenyum kepada hewan buas itu sambil perlahan melangkah ke depan dengan takut-takut.

Saat sudah berhadapan dengan hewan itu, Madelyne menarik tali kekang, menarik kepala kuda itu ke bawah. Kemudian ia mulai berbisik kepada kuda itu, suaranya rendah, menenangkan, saat ia menjelaskan ketakutannya dengan hati-hati. "Aku tidak pernah mempelajari cara menunggang kuda dan itulah mengapa aku begitu takut kepadamu. Kau begitu kuat, kau bisa saja menginjakku. Aku belum pernah mendengar majikanmu memanggilmu dengan nama, tapi kalau kau adalah milikku, aku akan memanggilmu Silenus. Itu adalah nama salah seorang dewa favoritku dari kisah-kisah kuno. Silenus adalah salah satu roh alam yang kuat, liar dan tak dapat dijinakkan, sangat mirip dengan dirimu. Aye, Silenus adalah nama yang cocok untukmu."

Ketika sudah menyelesaikan percakapan satu arahnya, Madelyne melepaskan tali kekang. "Aku diperintahkan oleh majikanmu untuk naik di punggungmu, Silenus. Kumohon berdirilah dengan diam, sebab aku masih sangat takut kepadamu."

Duncan selesai berpakaian. Ia kini berdiri di seberang area terbuka itu, mengamati dengan keheranan yang semakin meningkat ketika Madelyne berbicara dengan kudanya. Ia tidak dapat mendengar apa yang gadis itu ucapkan. Ya Tuhan, gadis itu mencoba menaiki pelana dari sisi yang salah. Ia mulai meneriakkan peringatan, yakin kudanya akan melompat kabur, tapi kata-kata tersangkut di tenggorokannya saat ia melihat Madelyne mendudukkan dirinya sendiri di atas hewan besar itu. Semuanya tidak benar dan sudah pasti aneh. Ia harus menghela napas melihatnya. Kini ia mengerti kenapa Madelyne berpegangan erat-erat kepadanya ketika mereka berkuda bersama. Gadis itu ketakutan pada kudanya. Duncan bertanya-tanya apakah ketakutan konyol gadis itu terbatas pada kuda jantannya saja atau kepada semua kuda.

Kuda jantan yang penggugup itu tidak bergerak sedikit pun untuk menganggu Madelyne yang memanjat dengan kikuk ke pelana. Dan terkutuklah jika gadis itu tidak menunduk dan mengatakan sesuatu lagi kepada hewan itu begitu ia sudah duduk di pelana.

"Apakah kau melihat apa yang baru saja  kulihat?" Gilard bertanya dari balik punggung Duncan.

Duncan mengangguk namun tidak berbalik. Ia menatap Madelyne, sebuah senyum muncul di sudut-sudut mulutnya.

"Menurutmu siapa yang telah mengajarinya cara berkuda?" tanya Gilard, menggeleng terhibur. "Dia tidak terlihat memiliki sedikit pun keterampilan menunggang kuda."

"Tak ada seorang pun mengajarinya," sahut Duncan. "Itu jelas sekali, Gilard. Aneh, tapi kudaku tidak terlihat terganggu dengan kurangnya pendidikan Madelyne." Kemudian ia menggeleng dan mulai melangkah menuju sang lady yang sedang diperbincangkan.

Si squire muda, Ansel, mendekati Madelyne dari arah yang berlawanan. Wajahnya yang berbintik-bintik mencemooh dan ia mulai menguliahi Madelyne tentang keterampilan jelek gadis itu. "Kau harus menaikinya dari sisi kiri," ujarnya dengan wibawa besar. Ia memegang tangan Madelyne, seolah hendak menarik Madelyne turun supaya ia bisa menaiki kembali kuda itu dengan benar. Si kuda jantan mulai mengentak-entak tepat ketika Duncan muncul. Tangan Ansel melayang, begitu pula seluruh tubuhnya.

"Jangan pernah menyentuhnya lagi." Raungan Duncan menyusul Ansel ke tanah. Squire itu cepat-cepat berdiri lagi, tampak tidak terluka karena jatuhnya tadi, dan mengangguk patuh.

Pemuda malang itu terlihat sangat ngeri karena sudah membuat tuannya tidak senang sehingga Madelyne turun tangan demi pemuda itu. "Squire-mu sangat perhatian karena mau mengajariku," ujarnya. "Dia hendak membantuku turun tadi, sebab aku dengan bodohnya lupa karena terlalu tergesa-gesa untuk menaiki kuda dari sisi yang benar."

Ansel melayangkan tatapan berterima kasih kepada madeline sebelum berbalik dan membungkuk kepada tuannya. Duncan mengangguk, tampak puas dengan penjelasan tersebut.

Saat Madelyne sadar Duncan hendak menaiki Silenus, ia memejamkan matanya erat-erat, yakin kalau dirinya akan dilemparkan ke tanah.

 Duncan melihat Madelyne menutup matanya sebelum gadis itu memalingkan wajahnya. Ia menggeleng, bertanya dalam hati, dalam nama Tuhan, apa yang terjadi pada gadis itu sekarang, kemudian naik ke pelana dan mengangkat Madelyne ke pangkuannya dalam satu gerakan cepat.

Madelyne terbungkus di dalam jubah tebal Duncan dan menempel di dada pria itu sebelum ia sempat mencemaskan tindakan itu.

"Kau tidak lebih baik daripada Louddon," gerutu Madelyne pada dirinya sendiri. "Kau pikir aku tidak memperhatikan kalau kau bahkan tidak menyisihkan waktu untuk menguburkan prajuritmu yang tewas sebelum kalian meninggalkan benteng kakakku? Aye, aku memang memperhatikannya. Kau memang sama kejamnya dengan kakakku. Kau membunuh tanpa memperlihatkan tanda-tanda penyesalan."

Dibutuhkan segenap disiplin diri Duncan untuk tidak mencengkram tawanannya itu dan mengguncang Madelyne untuk memasukkan akal sehat ke dalam kepala gadis itu. "Madelyne, kami tidak menguburkan mereka yang tewas di pihak kami, sebab tak seorang pun dari prajuritku yang tewas."

Madelyne begitu terkejut dengan jawaban Duncan dan memberanikan diri menatap pria itu. Puncak kepala Madelyne terantuk kepala Duncan tapi tidak berhenti untuk minta maaf. "Ada begitu banyak mayat di tanah, Duncan."

"Prajurit Louddon, Madelyne, bukan prajuritku," jawab Duncan.

"Apa kau berharap aku percaya bahwa prajuritmu begitu superior sehingga mereka..."

"Aku berharap kau berhenti memancing amarahku, Madelyne," timpal Duncan.

Madelyne tahu bahwa Duncan bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan ketika menarik jubahnya kembali ke atas kepala Madelyne.

Duncan adalah pria yang mengerikan, Madelyne menyimpulkan. Dan pria itu jelas-jelas tidak punya hati. Aye, pria itu tidak akan mampu membunuh dengan begitu mudahnya kalau ia dikaruniai emosi manusia.

Sebetulnya, Madelyne tidak dapat membayangkan dirinya merenggut nyawa orang lain. Menjalani kehidupan yang terlindungi hanya bersama Bapa Berton dan dua orang teman pamannya itu membuat Madelyne tidak siap menghadapi orang-orang semacam Louddon atau Duncan.

Madelyne sudah belajar bahwa kerendahan hati adalah tujuan yang berharga. Ia terpaksa bersikap penurut di hadapan kakaknya. Dalam hati, ia murka. Ia berdoa ia tidak memiliki jiwa yang gelap seperti Louddon. Mereka terlahir dari ayah yang sama. Madelyne ingin meyakini bahwa ia hanya dianugrahi kebaikan dari keluarga pihak ibunya dan tak satu pun karakter buruk dari ayahnya. Apakah ia membodohi dirinya sendiri karena mengharapkan hal itu?

Tidak lama kemudian, Madelyne merasa terlalu lelah untuk khawatir. Perjalanan hari ini ternyata menjadi perjalanan yang paling sukar untuk ditanggung. Otot-ototnya menegang hingga ke titik yang tak tertahankan lagi. Ia mendengar salah saorang prajurit berkata bahwa mereka hampir sampai di rumah, dan barangkali karena ia yakin akhir dari perjalanan ini sudah terlihat, setiap jamnya menjadi lebih panjang.

Medan yang berat dan berbukit-bukit memperlambat kemajuan mereka. Duncan tidak  bisa menjaga kecepatan mematikannya yang biasa. Beberapa kali Madelyne merasa yakin kuda besar Duncan ini akan tersandung, dan ia menghabiskan hampir sebagian besar hari yang panjang dan menyiksa ini dengan mata terpejam dan lengan Duncan yang merangkulnya. Aye, Madelyne membuat dirinya sendiri cemas sampai kelelahan, yakin kalau sebenar lagi mereka akan terlempar ke dalam salah satu retakan dalam dan bergerigi yang tampaknya sangat suka dilewati sedekat mungkin oleh Silenus.

Salah satu prajurit meneriakkan pemberitahuan ketika mereka akhirnya mencapai tanah Wexton. Sorakan keras bergema di seantero perbukitan itu. Madelyne mendesah lega. Ia terkulai ke dada Duncan dan merasakan ketegangan meninggalkan bahunya. Ia terlalu lelah untuk mencemaskan apa yang akan terjadi padanya saat ia memasuki rumah Duncan. Turun dari Silenus saja sudah merupakan anugerah untuk saat ini.

Cuaca telah berubah amat sangat dingin pada hari itu. Madelyne menjadi semakin dan semakin tidak sabar saat menit-menit sejak mereka mencapai tanah Wexton berubah menjadi jam-jam yang panjang, dan masih tak ada satu pun kilasan benteng Duncan.

Sinar matahari memudar ketika Duncan memerintahkan untuk beristirahat. Gilard-lah yang mendesak Duncan untuk berhenti. Madelyne dapat mengetahui dari percakapan mereka yang kasar bahwa penghentian ini tidak disukai oleh Duncan. Ia juga menyadari bahwa Gilard tidak tampak tersinggung sedikit pun oleh ucapan-ucapan kakaknya.

"Apakah kau lebih lemah daripada tawanan kita?" tanya Duncan kepada Gilard saat adiknya itu bersikeras agar mereka beristirahat selama beberapa menit.

"Kakiku mati rasa," timpal gilard sembari mengangkat bahu.

"Lady Madelyne tidak mengeluh," komentar Duncan setelah mengangkat tangannya untuk memberi isyarat kepada pasukan prajuritnya.

"Tawananmu terlalu takut untuk mengatakan apa pun," ejek Gilard. "Dia bersembunyi di bawah jubahmu dan menangis di dadamu."

"Kurasa tidak," sahut Duncan. Ia menyentakkan jubahnya supaya Gilard dapat melihat wajah Madelyne. "Apa kau melihat ada air mata, Gilard?" tanyanya, suaranya terhibur.

Gilard menggeleng. Duncan mencoba membuat Gilard merasa lebih rendah daripada wanita cantik yang di dekap dalam pelukannya. Gilard tidak marah sedikit pun dengan taktik itu, dan sebenarnya, pria itu terkekeh. Keinginan untuk merenggangkan kaki dan merasakan sedikit ale merupakan satu-satunya perhatian Gilard sekarrang. Itu, dan fakta bahwa kantong kemihnya nyaris meledak.

"Tawananmu barangkali terlalu bodoh untuk menyadari rasa takut," cetus Gilard seraya tersenyum lebar.

Duncan tidak terhibur dengan pernyataan tersebut. Ia mengusir Gilard dengan sebuah kernyitan yang cukup sengit untuk membuat adiknya itu kabur, kemudian turun dari kuda pelan-pelan.

Duncan mengamati Gilard sampai adiknya itu menghilang ke dalam hutan, lalu berpaling kembali kepada Madelyne. Gadis itu mengulurkan tangan kepada Duncan untuk meminta bantuan, dan meletakkan kedua tangannya di lekukan pundak lebar Duncan. Madelyne bahkan mencoba tersenyum.

Duncan tidak membalas senyum itu. Akan tetapi, ia menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menurunkan Madelyne ke tanah. Kedua tangannya memegangi pinggang Madelyne ketika ia menarik gadis itu ke arahnya, namun segera setelah mata mereka sejajar, dengan jarak yang sangat dekat, ia berhenti.

Madelyne meluruskan kakinya seraya mengerang kesakitan yang tidak bisa betul-betul ia tahan. Setiap otot di bokongnya menjerit kesakitan.

Duncan punya keberanian untuk tersenyum melihat kesengsaraan Madelyne.

Madelyne menyimpulkan seketika itu juga bahwa Duncan membuatnya mengeluarkan sisi terburuk dari dirinya. Bagaimana lagi ia bisa menjelaskan dorongan yang mendadak dan luar biasa untuk berteriak kepada Duncan ini. Aye, pria itu memunculkan sisi gelap dirinya. Madelyne sekali pun tidak pernah berteriak kepada siapa pun.  Ia adalah seorang wanita yang lembut, yang dikaruniai watak yang manis dan tenang. Bapa Berton cukup sering mengatakan hal itu kepadanya.

Sekarang pejuang ini mencoba mengikis sifat lembut itu dari diri Madelyne dengan ejekan.

Well, Madelyne tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Duncan tidak akan membuatnya meledak marah sekarang, tak peduli seberapa lebar pria itu tersenyum di atas penderitaan Madelyne.

Madelyne menatap ke dalam mata pria itu, bertekad untuk tidak mundur kali ini. Duncan sedang memandang Madelyne dengan intens, seolah-olah pria itu berpikir bahwa ia mungkin akan menemukan jawaban untuk suatu teka-teki yang tak terpecahkan yang mengganggunya.

Tatapan Duncan perlahan-lahan turun hingga menatap mulut gadis itu, dan Madelyne bertanya-tanya mengenai itu sampai ia sadar bahwa ia sedang menatap mulut pria tersebut.

Madelyne merona, namun tidak tahu mengapa. "Gilard salah. Aku tidak bodoh."

Senyum pria itu, terkutuklah jiwanya yang jahat, melebar.

"Kau bisa melepasku sekarang." Madelyne memandang Duncan dengan apa yang ia harapkan sebagai tatapan angkuh.

"Kau akan terjerembab kalau aku melakukan itu," cetus Duncan.

"Dan apakah itu akan membuatmu senang?" tanya Madelyne, berusaha untuk sebaik mungkin untuk menjaga suaranya sepelan mungkin seperti suara Duncan ketika pria itu membuat komentar yang memalukan itu. Duncan mengangkat bahu dan tiba-tiba melepas Madelyne.

Oh, Duncan memang pria yang mengerikan. Pria itu tahu pasti apa yang akan terjadi. madelyne akan jatuh terduduk andai ia tidak menyambar lengan pria itu. Kaki Madelyne tampaknya tidak  bisa mengingat tugas mereka. "Aku tidak terbiasa menunggang kuda dalam waktu yang sangat lama."

Menurut Duncan, gadis itu tidak terbiasa berkuda sama sekali. Ya Tuhan, gadis itu membuatnya bingung. Tak diragukan lagi, Lady Madelyne adalah wanita yang paling membingungkan yang pernah Duncan temui. Gadis itu anggun ketika berjalan, tapi bisa jadi sangat canggung juga. Madelyne membenturkan kepalanya ke dagu Duncan berkali-kali hingga ia berpikir puncak kepala gadis itu pasti memar.

Madelyne sama sekali tidak tahu apa yang sedang pria itu pikirkan. Namun pria itu tersenyum kepada Madelyne dan itu membuat gadis itu cemas. Ia akhirnya bisa melepaskan pria itu. Lalu ia memunggungi Duncan dan perlahan-lahan melangkah menuju hutan untuk mendapatkan privasi. Ia tahu ia bergerak seperti seorang wanita tua dan berdoa Duncan tidak memperhatikan.

Saat Madelyne kembali dari area yang lebat dan tertutup oleh pepohonan, ia mengitari para prajurit, bertekad untuk menghilangkan rasa nyeri dan kejang dari kakinya sebelum ia dipaksa kembali ke punggung Silenus lagi. Ia berhenti ketika mencapai ujung terjauh dari area berbentuk segitiga tersebut, dan menunduk menatap lembah yang baru saja mereka daki.

Duncan tampaknya tidak terburu-buru untuk berangkat lagi. Itu tidak masuk akal bagi Madelyne, sebab ia ingat betapa kesalnya pria itu sewaktu Gilard mendesak agar mereka berhenti. Kini Duncan bertingkah seakan-akan mereka memiliki seluruh waktu di dunia. Madelyne menggeleng. Duncan of Wexton adalah pria yang paling membingungkan yang pernah ia temui.

Madelyne memutuskan untuk bersyukur atas waktu istirahat ini. Ia membutuhkan beberapa menit lagi untuk sendirian demi menjernihkan pikirannya dari segala kecemasannya; beberapa menit yang berharga dalam kesendirian yang damai untuk mengendalikan emosinya.

Hari sebentar lagi gelap, sebab matahari kini sedang terbenam. Garis-garis jingga terang yang megah dan merah pudar melapisi langit, melengkung ke bawah, memberi kesan kepada Madelyne kalau garis-garis tersebut menyentuh tanah di suatu titik yang jauh. Ada suatu keindahan dalam ganasnya musim dingin yang akan datang; setiap musim memiliki harta mereka masing-masing. Madelyne mencoba mengabaikan suara ribut di belakangnya dan berkonsentrasi pada keindahan di bawah, saat perhatiannya tertarik oleh percikan cahaya yang tiba-tiba muncul melalui pepohonan.

Kerlipan cahaya itu menghilang sedetik kemudian. Penasaran, Madelyne bergeser ke kanan, sampai ia menangkap cahaya itu lagi. Aneh, tapi kini percikan cahaya itu tampaknya berasal dari arah lain yang lebih jauh di bawah lembah.

Cahaya tersebut mendadak bertambah banyak, hingga terlihat seolah-olah ratusan lilin dinyalakan pada saat yang bersamaan. Cahaya-cahaya itu berkilau dan berkedip.

Jaraknya jauh, namun matahari berperan sebagai sebuah cermin, membawa percikan-percikan cahaya itu semakin dekat dan semakin dekat. Bagaikan api, renungnya... atau besi.

Kemudian ia mengerti. Hanya prajurit yang mengenakan baju zirah yang bisa menjelaskan pantulan seperti itu.

Dan jumlah mereka ratusan.



Next
Back
Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar