Home

Senin, 28 Mei 2018

The Tarnished Lady 7


Bagaimana kau bisa membenci pria yang memilih hadiah yang sempurna?...

Sayangnya, Tykir bersiap berangkat keesokan harinya. Eadyth tak tahu bagaimana ia bisa bertahan di sisa waktu dalam perjamuan pernikahan itu kalau bukan karena bantuan Tykir. Begitu Eirik pergi, kebanyakan tamu yang kejam mencerca Eadyth dengan terang-terangan, tapi tidak ketika Tykir berdiri memandang tajam di sebelahnya. Beberapa tamu pergi ke kamar yang dipersiapkan untuk mereka, yang lain pergi tergesa-gesa, pasti merencanakan rencana busuk.

Tindakan Eirik saat perpisahan mereka masih membuat marah Eadyth, tapi kemarahannya sedikit mereda ketika Tykir membungkuk dari atas kudanya dan menyerahkan bungkusan dari kain linen padanya.

“Sebaiknya itu bukan sepatu yang disimpan Eirik untuk menipuku,” komentarnya ketus.

Tykir menyeringai. “Bukan, kakakku menyimpan hadiah itu untuk kesempatan lain. Eirik berniat memberimu ini sebagai morgen-gifu pagi ini, setelah malam pertama kalian... sebagai penghargaan karena kau telah memuaskannya di ranjang, kurasa.” Ia menggerakkan alisnya dengan lucu. Tapi kau perlu melunak sekarang, sebelum dia kembali, kalau tidak, tak akan ada penyatuan tubuh sama sekali.” Eadyth mendengus kesal pada komentar Tykir yang selalu berhubungan dengan ranjang pernikahan. Namun kemudian Eadyth terkesiap senang ketika membuka paket itu dan melihat buku beternak lebah yang sangat berharga yang pernah disebutkan Eirik sebelumnya. Eirik pasti memintanya dari King Edmund. Eadyth juga menyadari, bahwa Raja pasti benar-benar menganggap suaminya sebagai teman hingga mau menghadiahkan buku yang sangat berharga dari koleksi terkenal yang diwariskan pada Raja Edmund dari kakak tirinya Athelstan. Tak heran Raja memanggil Eirik saat ia membutuhkan bantuan.

Ia mendongakkan mata yang berlinang air mata pada adik Eirik dan berkata dengan suara tercekat, “Dia tidak mungkin memilih hadiah yang lebih baik dari ini. Sejujurnya, aku tak ingat ada seseorang yang begitu perhatian untuk memilih kado untukku.”

“Ingat itu, Kakak ipar, sebelum kau memenggal kepalanya begitu dia pulang,” katanya, sambil mengedipkan mata.

Tykir berangkat menuju kapalnya di Jorvik, gerbang ke semua rute perdagangan dunia –Irlandia, Shetland, Rhineland, dan Baltik, dan lebih jauh lagi. Kepergian Tykir yang hanya seorang diri membuat Eadyth sangat sedih karena ia tak tahu kapan lagi bisa melihat saudara barunya. Membayangkan kota perdagangan yang sibuk, ia bertanya-tanya apakah Tykir akan pergi ke tanah yang eksotis, atau kembali ke Paman Haakonnya di daerah Norse, seperti yang dikehendaki kakaknya.

“Ini aneh,” kata Girta di sisinya, “bahwa kau menerima begitu saja Tykir menjadi saudaramu tapi tak bisa menerima ide Eirik sebagai suamimu.”

“Humph!” Eadyth menggerutu, berjalan kembali ke rumah bersama pengasuhnya. “Ini karena aku selalu menginginkan punya seorang saudara, tapi aku benci memerlukan seorang suami. Terutama suami menyebalkan seperti Eirik.”

“Tak selalu begitu.”

Eadyth melayangkan pandangan menegurnya.

Tapi Girta mengabaikannya dan terus berjalan. “Kali ini, cerialah sedikit, Gadisku,” seru Girta ke balik bahunya. “Sejujurnya, kau mulai berubah semasam wanita tua penyamaranmu. Mulailah melihat nasib yang diberikan Tuhan padamu sebagai berkah, bukannya musibah.”

“Berkah? Kau menyebut Eirik of Ravenshire sebagai berkah?”

“Mungkin,” jawab Girta, mata Abu-abunya berbinar.

Eadyth mendecak kesal. “Ya ampun, Girta! Kau jatuh ke perangkap yang sama seperti para wanita itu, terlena pada mulut manis pria dan ketampanannya.”

Girta tersenyum penuh makna, seolah-olah Eadyth juga termasuk ke dalam kategori itu.


Beberapa hal sebaiknya tidak dipelajari...

“Apa Lord Eirik benar-benar ayahku?” tanya John hari itu. Ia duduk di bangku mengawasi Eadyth menaruh lilin ke dalam wadah kayu untuk dibawa ke agen penjualnya di Jorvik.

“Ya, benar,” Eadyth berbohong tanpa sesal.

Wajah mungil John menjadi cerah. “Dia bicara padaku sebelum berangkat kemarin malam. Dia bilang aku harus menjagamu, dan dia memberitahuku aku boleh memanggilnya Ayah.”

“Apa itu membuatmu bahagia, Sayang?”

Putranya tanpa ragu mengangguk dengan semangat.

Eadyth terkejut dan sangat senang bahwa Eirik meluangkan waktu untuk bicara pada “putra” barunya. Tapi rasa senangnya tak berlangsung lama.

“Semua anak laki-laki di Hawks Lair punya ayah yang mengajari mereka menghunus pedang, atau menjerat kelinci, atau kencing, atau...”

“John!”

Well, itu benar. Lord Eirik... maksudku, Ayah... menunjukkan padaku cara kencing semalam sehingga aku tak membasahi celanaku. Tepat sebelum dia menaiki kudanya, di luar kandang kuda.”

Mulut Eadyth menganga karena prihatin.

“Pria berbeda dengan wanita, kau tahu,” katanya bersikap seperti guru yang mengajari muridnya pengetahuan baru. “Mereka harus menggoyangkan sumbu mereka setelah kencing. Aku tak tahu cara yang tepat sampai Lord Eir... Ayah mengajariku. Dan apa kau tahu kalau paman Tykir bisa bersiul dan kencing dalam waktu bersamaan?”

Eadyth nyaris tak bisa menahan tawanya.

“Apa menurutmu Ayah akan mengajariku cara mengumpat saat dia kembali?”

“Tentu saja tidak! Dan kuharap kau tak lagi menggunakan kata-kata kasar itu di depanku.”

“Kata-kata apa?” tanya John dengan polos. “Kencing atau sumbu?”

“Dua-duanya,” Eadyth tercekat. “Dan kalau kau mengulanginya lagi, aku bersumpah akan menyabuni mulutmu.”

“Apakah kau akan melakukan hal yang sama pada Ayah? Dia mengucapkan dua kata itu. Dan dia bisa menyebutkan beberapa kata makian. Kau harus mendengar apa yang dikatakannya pada Master Wilfrid saat dia mengucapkan selamat atas pernikahannya. Dan...”

“Cukup!”


Daftar pekerjaan yang haus dilakukannya berkembang seperti sulur...

Keesokan harinya Eadyth siap bekerja. Ia mengumpulkan semua pelayan, yang merdeka maupun budak. Sejak kepergiannya tiga minggu lalu, jumlah mereka sudah meningkat dengan dramatis, pastinya karena kabar yang menyebar tentang kembalinya tuan ruamah dan pertunangannya. Di pembukuan kastil, yang diserahkan Wilfrid padanya, ia mendata semua nama mereka dan bakat khusus mereka sehingga bisa lebih efisien dalam membagi tugas.

Bertha yang sudah jauh berubah akan terus memimpin dapur dengan bantuan beberapa pembantu masak, pelayan laki-laki, dan penyaji makanan. Britta dan dua budak muda bertugas mengurus kamar tidur. Theodric, pelayan senior di Ravenshire, akan mengurus aula utama dengan para bawahannya. Pelayan lain ditugaskan untuk mengurus cucian, memerah susu, membuat mentega, membuat arak, beternak unggas, kandang kuda, peternakan, tukang besi, dan kebun dapur.

Godric, si anak yatim piatu, akan menjadi asisten pribadi Eadyth, sekaligus juga teman bermain untuk John, yang sudah membiasakan diri dengan rumah barunya, dan “kakak” barunya Larise. Bahkan, tiga anak itu dengan cepat menjadi teman, menjerit dengan sukacita saat mereka berlarian di seluruh penjuru rumah, mengitari halaman yang luas dan di kebun bungan dengan Prince yang menyalak senang mengikuti mereka. Karena ancaman dari Steven, mereka dijaga ketat sepanjang waktu dan tak pernah diizinkan meninggalkan dinding dalam kastil atau dapur.

Suasana di dalam kastil dan sekitarnya tampaknya sedikit lebih cerah dan semakin lapang dengan pengaruh anak-anak. Bertha menggerutu, “Berandalan-berandalan kecil itu pasti akan membuat kental krim segarku dengan jeritan mereka yang tiada henti.” Tapi walaupun begitu ia tak bisa menahan senyumnya saat trio itu berlarian melewati dapurnya, berhenti sejenak untuk mencuil roti atau sepotong keju, lalu melanjutkan kegiatan memekik mereka.

Eadyth harus melarang mereka masuk kamarnya saat mereka menggoda Abdul yang koakannya bisa terdengar sampai ke kebun halaman kastil. Walaupun begitu, burung bodoh itu tampaknya sedikit muram ketika anak-anak tak mengunjunginya.

Para pengikut Eirik mengumpat saat anak-anak itu mendekati mereka di lapangan latihan, tapi terlihat dalam satu kesempatan sedang mengajari mereka cara memanah lurus dan mengenai sasaran yang bergerak. Dalam satu hal, pikir Eadyth, anak-anak yang tanpa beban itu mewakili harapan dan lahirnya kembali Ravendhire, yang membantah banyak anggapan bahwa kastil itu akan terlantar.

Pada akhir minggu, kastil itu bersih dan berjalan dengan efisien. Eadyth ingin meluncurkan banyak proyek baru untuk kastil itu, tapi tak bisa melakukannya sampai ia tahu tentang kondisi keuangan Eirik. Hanya sedikit yang bisa diaturnya –tak ada karpet cerah atau perabotan yang mewah- ia harus puas dengan kebersihannya.

Tetap saja, ia membayangkan ruang santai keluarga dibangun di samping kamar lantai dua. Dan kapel kayu di ujung halaman kastil, yang hanya berupa gubuk, harus dibangun kembali. Semua ranjang perlu seprai dan tirai baru. Senjata-senjata yang kini tak lagi berkarat yang tergantung di dinding telah digosok sampai berkilau, tapi beberapa karpet dan panji yang menghiasi dinding tampak lapuk dimakan usia dan tak terurus. Dapur sangat kekurangan peralatan –pisau, sendok, bahkan ketel. Tampaknya banyak yang telah dicuri sejak bertahun-tahun kepergian Eirik. Dan kain harus dibeli untuk menjahitkan pakaian baru bagi para pelayan, juga untuk Eirik dan para tentaranya.

Ketika Eadyth telah melakukan semua yang bisa dilakukannya di dalam, Eadyth berkuda keluar kastil ditemani Wilfrid. Itu bukan pengalaman yang menyenangkan seperti seharusnya, karena ia harus melanjutkan penyamarannya... membungkukkan bahunya, menurunkan tudung kepalanya, memekikkan suaranya, dan berdecak sesekali. Eadyth juga mempertahankan sandiwaranya yang melelahkan itu di sekitar para pelayan.

Sesekali ia melihat ekspresi aneh di wajah Wilfrid yang tidak mengira Eadyth tak menyadarinya. Bukan hal yang baik kalau para pengikut suaminya sudah membongkar penyamarannya sebelum ia berkesempatan mengakui penyamaran bodohnya ini di depan Eirik.

Saat mereka berkuda mengitari estat yang luas itu, membagikan benih tanaman pada para petani musiman penghuni gubuk yang mulai berdatangan, mereka membicarakan harapan untuk hasil panen gandum dan barley yang melimpah di musim semi.

“Tanah pertanian ini subur,” kata Wilfrid. “Aku mengikuti saranmu untuk membajak dalam jalur sempit yang dibagi tiga bagian... bagian pertama untuk musim tanam yang berlangsung sekarang, yang berikutnya untuk menanam gandum di musim dingin, dan yang ketiga untuk dibiarkan tak ditanami selama satu tahun.”

“Dan kau akan membiarkan beberapa ternak yang masih tersisa di Ravenshire untuk memakan rumput di lahan yang kosong dan tunggul tanaman setelah panen musim semi?”

“Ya, My Lady. Kau sudah mengingatkanku tiga kali sekarang.”

Eadyth tersenyum pada keluhan halus Wilfrid. “Aku memang suka mengomel sesekali.”

Wilfrid memutar bola matanya.

“Gubuk para petani sangat memprihatinkan,” keluh Eadyth saat mereka meninggalkan ladang dan pergi menuju desa.

Wilfrid mengangkat bahunya. “Pertahanan kastil dan penanaman ladang menjadi prioritas utama.”

Eadyth hendak protes, lalu menutup mulutnya. Seperti sebelumnya, ia tak tahu apakah Eirik punya dana untuk melakukan renovasi-renovasi itu.

Eadyth terutama sedih melihat estat yang pernah dikenal sebagai penghasil wol Yorkshire berkualitas itu kini kosong tanpa domba. “Menurutmu, apakah Eirik akan keberatan kalau kita mulai membeli sekawanan domba?” tanyanya ragu. Melihat tatapan gusar Wilfrid pada semua rencananya, Eadyth menambahkan, “Tentu saja, awalnya hanya sekawanan kecil.”

Wilfrid menggeleng dan menyeringai. “Lady Eadyth, kurasa yang kau lakukan tak ada yang dalam skala kecil. Dalam tiga hari saja, kau sudah membuatku mencatat untuk membeli tambahan sapi, lebih banyak lembu untuk membajak, renovasi gubuk-gubuk petani, memangkas pepohonan di kebun buah, menggali sumur baru dan dua lubang pembuangan baru, memperbaiki atap kastil, meluaskan kandang kuda, memindahkan lebah-lebah untuk bisnis madu dan lilin, dan sekarang sekawanan domba yang bau.”

“Jangan lupa membersihkan jamban.”

Wilfrid menggerutu jijik diingatkan akan tugas itu.

“Jamban adalah prioritas utama,” kata Eadyth dengan penekanan khusus. Tiga jamban terletak tepat di dalam dinding terluar di dalam halaman, dengan tempat duduk baru yang menonjol keluar jadi kotoran dan cairan jatuh langsung ke parit di bawahnya. Mengatakan bahwa baunya tercium sampai ke atas surga adalah meremehkan keadaan. “Parit tak pernah dikeruk selama dua tahun kepergian Eirik, aku yakin. Begitu juga dua lubang pembuangan di bawah dua jamban yang di dalam. Kapan terakhir kali jamban itu bahkan dikapur?”

Wilfrid menunduk malu. “Itu adalah tugas tak menyenangkan yang kuhindari sekian lama.”

“Hmm! Lebih buruk lagi, aku lihat tak ada jerami atau daun anggur tersedia di jamban para pelayan untuk membersihkan diri. Gambaran apa itu bagi para penghuni Ravenshire? Tak heran Ignold dan lainnya memiliki bau begitu menyengat.”

“My Lady!” Wilfrid mengerang, wajahnya memerah karena malu. “Haruskah kau bicarakan semua detailnya? Sudah cukup bahwa aku tahu kalau kau ingin lubang-lubang itu dibersihkan.”

Keesokan harinya ia menyuruh Jeremy, tukang kayu yang dibawanya dari Hawk’s Lair sebagai bagian dari maskawinnya, untuk memperbaiki masalah ventilasi di aula utama. Pada satu masa, ada perapian besar bergaya Viking dengan cerobong asap di atap, tapi kakek Eirik, Dar, sudah melakukan banyak perbaikan dengan gaya Saxon, termasuk dua perapian yang langka di setiap sisi ruangan luas itu. Sayangnya, cerobongnya tak cukup besar untuk mengakomodasi ukuran aula, karena itu asap terus menggumpal.

Keahlian Jeremy juga sangat dibutuhkan di luar, mengerjakan rekonstruksi dinding kastil. Seprti Hawk’s Lair dan banyak kastil lain di seluruh Britania. Ravenshire dibangun di atas dataran tinggi yang rata, dikelilingi parit besar.

“Dar mengganti pagar kayu runcing dan menara penjaganya dengan pagar dan menara batu,” Wilfrid menjelaskan, “baik di dinding luar dan di dalam yang melingkupi halaman dengan bangunannya dan lapangan tempat berlatih. Tapi serangan Saxon pada Ravenshire beberapa dekade lalu memperlemah pertahanannya.”

“Aku melihat saat aku kembali kemari untuk menikah bahwa Eirik sudah memulai pekerjaan memperbaiki tembok. Aku yakin Jeremy bisa mempercepat pekerjaan itu.”

Wilfrid mengeluh pada prioritas Eadyth menarik tukang batunya untuk mengerjakan aula lebih dulu. “Sedikit asap di matamu tak akan jadi masalah kalau musuhmu menyerbu ke dalam dinding kastil.”

Well, setidaknya seseorang di Ravenshire menghargai bagian dari maskawinku. Eirik sudah cukup mengejek lebah-lebahku.”

Wilfrid hanya tersenyum, ia kini sudah terbiasa dengan keluhan Eadyth tentang Eirik.

“Kalau dipikir-pikir, lebah-lebah itu hanya satu-satunya bagian dari maskawinku yang belum kukirimkan kepada suamiku, dan aku tak sabar untuk memindahkan mereka ke rumah baruku.”

Wilfrid menggumamkan sesuatu yang vulgar.

“Dengan semua pekerjaan yang harus dilakukan di Ravenshire, dan tidak banyak bukti bahwa Eirik punya sarana untuk membayarnya, aku ingin membangun ternak lebahku di sini sehingga estat bisa berkembang dan makmur.”

“My Lady,” Wilfrid menggerutu, “Hanya Lord Ravenshire yang berhak memutuskan apa yang mampu atau tidak mampu dilakukan dengan kastilnya. Lagi pula, kupikir itu dimaksud menanam benih di musim semi.”

“Menanami ladang tentu saja, langkah pertama, tapi itu hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan manor sehari-hari. Juga domba dan pengoperasian penenunan akan menguntungkan pada waktunya, tapi, untuk kebutuhan koin yang segera, madu, lilin, dan arakku dibutuhkan.”

“Kau berniat menjual produkmu sendiri?” Wilfrid bertanya, ngeri.

Eadyth mengerling ke arahnya dengan mencemooh. “Ya, benar. Ada permintaan besar untuk produkku, terutama lilin penanda waktu unik yang kubuat.”

Wilfrid memandangnya ragu.

“Lilin penanda waktu diciptakan oleh King Alfred beberapa tahun lalu, tapi lilin buatanku berkualitas tinggi.”

Wilfrid menggeleng putus asa, sepertinya sedang menghitung-hitung berapa banyak pekerjaan yang harus dilakukannya. Tapi semua rencana Eadyth bertumpu pada memindahkan lebah-lebah itu ke Ravenshire, yang membutuhkan kesabarannya untuk menunggu suaminya kembali. Dan kesabaran bukanlah salah satu sifatnya.


Dia bukannya sengaja melanggar perintah...

Pada akhir minggu ke enam, Eadyth menerima pesan singkat dari suaminya, yang anehnya membuatnya sakit hati karena ketegasannya dan kurang perasaan.


My Lady Eadyth,

Maafkan keterlambatanku. Aku masih berada di Skotlandia terkait urusan rajaku. Aku akan kembali ke Ravenshire dua minggu lagi. Hati-hati.

                                                                                                                          Suamimu,
                                                                                                                           Eirik


“Ya Tuhan, aku lelah menunggu dia kembali,” Eadyth menggerutu di depan Wilfrid, yang sedang membaca suratnya sendiri dari tuannya, yang jauh lebih panjang. “Apa dia memberitahumu kenapa dia terlambat?”

Wilfrid bertanya memandangnya kosong, lalu mengangkat bahu, tak mau memberitahunya rahasia apa pun.

Melihat tanggal surat itu dikirim, Eadyth menghitung setidaknya ada 6 hari lagi sebelum Eirik pulang. Cukup banyak waktu baginya pergi ke Hawk’s Lair, membawa lebah-lebahnya dan perlengkapannya, dan kembali ke Ravenshire sebelum kedatangan Eirik.

Ia hendak mengatakan itu pada Wilfrid, lalu mengurungkan niatnya. Eirik memberitahunya untuk tetap tinggal di Ravenshire dan menjaga baik-baik anak-anak, mengingat ancaman Steven. Tapi tak ada alasan kenapa ia tak bisa pergi sendiri pada waktu malam dan meninggalkan anak-anak di bawah pengawasan Girta dan para pengikut Eirik.

Bagaimana pun, Wilfrid tak akan setuju Eadyth bepergian sendiri. Pria itu mematuhi Eirik kata per kata.

Jadi ia tak memberitahu Wilfrid rencananya. Alih-alih, ia meninggalkan pesan untuk Girta, memberitahunya ke mana ia pergi dan bahwa ia akan kembali secepat mungkin.


Ia tersengat pengkhianatan wanita itu...

Eirik mendekati Ravenshire dengan rombongan kecilnya empat malam kemudian. Eirik menoleh ke arah Sigurd yang berkuda di sampingnya.

“Tuhan, senangnya bisa pulang. Aku sangat lelah dan kotor, dan muak setengah mati mencoba membujuk para pemimpin Skots, Norse, dan Welsh untuk tetap loyal pada raja Saxon.”

Sigurd tertawa.

“Aku membujuk sampai suaraku serak. Aku  minum arak dan wine untuk berbasa-basi sampai bola mataku rasanya hampir copot. Aku menggigit lidahku sampai berdarah untuk menahan diri dalam diplomasi.”

“Dan kita sudah begini jauh bepergian di atas kuda kita sampai bokong kita berubah jadi kulit,” tambah Sigurd sambil tersenyum.

“Ya, kita sudah melakukan tugas dari raja dengan baik, mengantarkan pesan King Edmund ke seluruh Britania dan lebih jauh dari itu. Tapi apakah kita berhasil?”

Sigurd mengangkat bahu. “Di depanmu, mereka tampak loyal, tapi beberapa lord di perbatasan itu begitu independen mereka bisa saja mempermainkan Raja ketika pergolakan terjadi.”

“Satu-satunya hal yang tak diragukan adalah bahwa pemberontakan sedang bergulir. Ke mana saja kita pergi, aku melihat semakin banyak bukti para petarung berdatangan ke Negeri ini. Semua datang karena rumor bahwa Raja akan segera tewas,” Eirik menyimpulkan, mendesah dengan lelah saat mereka melintasi bukit terakhir sebelum Ravenshire.

Saat hersir-nya, komandan militernya, mendahuluinya, Eirik berseru, “Sialan, Sigurd, kau bau.”

Sigurd terkekeh, “Kau juga tak wangi seperti mawar, My Lord. Aku melihat seorang gadis di Jorvik yang menutup hidungnya saat kita melewatinya pagi ini. Gadis itu berkomentar tentang bau unik orang-orang Norseman yang barbar.”

Bibir Eirik terangkat membentuk senyuman lelah. Sejujurnya, ia terlalu lelah untuk tertawa. “Mungkin aku harus membiarkannya mencium separuh tubuh Saxonku. Untuk perbandingan. Aku bertaruh akan menjadi kontes yang adil.”

Semua anak buahnya tertawa mendengar leluconnya.

Mereka harusnya menginap di Jorvik, setidaknya semalam, pikir Eirik. Bahkan, ia sudah pergi ke kota dagang dengan maksud mencari kekasih simpanannya, Asa. Ia sudah membayangkan mandi air hangat, istirahat sebentar, dan semalaman bercinta dengan menggebu dengan pembuat perhiasan kesayangannya itu. Tapi Eirik bertemu dengan adiknya di pelabuhan. Tykir sedang mengawasi perbaikan kapalnya yang menunda keberangkatannya. Adiknya itu mengingatkannya bahwa istri barunya menunggunya di Ravenshire.

“Pernikahan itu belum disempurnakan, Eirik.”

“Hah! Kurasa aku lebih tahu soal itu darimu, Dik. Jangan ikut campur.”

Tykir hanya mengangkat bahunya. “Kurasa kau punya motif menikahi wanita tua.” Ia menyeringai dengan aneh, seolah-olah menikmati memancing kakaknya tentang topik usia Eadyth. “Apa kau berhasil di Winchester dengan Raja dan dewan Witannya menyangkut petisi Steven?”

“Kurang lebih. Edmund menjanjikan dukungannya, dan aku mengajukan protes resmi di depan Witan, mengakui John sebagai anakku.” Ia mengangkat bahu menambahkan, “Kau tahu tentang Eitan, pada akhirnya, akan bertindak searah dengan angin politik yang kuat. Tapi, yang paling penting, aku beberapa kali berbicara di depan publik tentang istriku dan anakku di Ravenshire. Semoga, kata-kataku membuat marah Steven dan membuatnya melakukan tindakan sembrono, dan kita akhirnya bisa mengakhiri kejahatannya.”

“Kalau begitu bau harus segera kembali ke Ravenshire, Eirik. Bukankah kau akan membahayakan rencanamu dengan berlama-lama di Jorvik? Sebelum ikrar pernikahan itu diresmikan dengan penyatuan tubuh?”

Eirik menyipitkan matanya dengan curiga, mengamati wajah prihatin adiknya. “Aku lebih tertarik pada motifmu mendorongku ke arah istriku yang cerewet. Kau tahu sesuatu yang tak kutahu?”

“Aku?” Taykir bertanya, memukul dadanya. “Ini hanya karena aku sudah melunakkan wanita itu untukmu dengan kado pernikahan yang kau titipkan padaku. Bisa dibilang aku sudah melicinkan jalan masukmu. Aku tak mau usahaku sia-sia.”

Eirik menggeleng teringat adiknya yang licik tiba-tiba sarius saat mereka berpisah: “Ingat kata-kataku, Kak, ketika waktunya tepat. Kecantikan itu di hati, bukan di mata.”

Mudah saja baginya bicara, pikir Eirik, saat ia melambaikan tangan pada Wilfrid dan para pasukannya yang lain di atas benteng. Tykir tak harus meniduri wanita tua pemberang itu.

Eirik mengerutkan keninya kesal, teringat penghinaan Eadyth di saat perpisahan mereka mengenai babi yang menggeram dan ancamannya untuk membuat wanita itu membalas saat ia kembali.

Sebenarnya, pikiran lain mengusik benak Eirik sejak keberangkatannya. Eirik banyak memikirkan ciuman mereka di kamarnya, dan ia bertanya-tanya apakah penyatuan mereka tak akan begitu menjijikan.

Sebenarnya, kalau Eadyth tak bersuara, dan kegelaoan kamarnya bisa menyamarkan rambut abu-abu dan keriputnya, Eirik mungkin akan menikmati menjinakkan jiwa liar Eadyth di atas ranjang. Apa yang selalu dikatakan Selik tentang semua kucing dalam kegelapan? Sambil tertawa, ia mendongak ke atas benteng, mencari objek hiburannya.

Lalu ia cemberut.

Girta berdiri di sana, bersama dengan Larise dan John, yang melambaikan tangan dengan bersemangat. Tapi tak ada Eadyth. Di mana istrinya?

Mungkin wanita merepotkan itu berharap menghukumnya. Eirik sudah membuatnya marah saat pergi dengan ciuman kasar di depan semua pengikut dan tamunya. Wanita itu pasti berharap untuk membalas dendam. Well, ia sudah lebih muak dari harga diri dan sikap keras kepala wanita itu. Bibir Eirik menipis dengan kesal. Ia akan mengakhiri tabiat melawan Eadyth malam ini saat wanita itu berbaring telentang dengan kedua kaki kurusnya terbentang lebar.

“Di mana istriku?” tanyanya pada Wilfrid begitu ia turun dari kuda di halaman, gagal menahan erangannya karena otot-ototnya yang nyeri. “Suruh dia mengaturkan mandi air hangat untukku secepatnya.”

Wajah Wilfrid memerah cerah. “Um... ah...”

“Apa?”

“Dia tak ada.”

“Tak ada? Ke mana?”

“Kembali ke Hawk’s Lair.”

“Kau pasti bercanda,” kata Eirik tak percaya, lalu menegang dangan tanda bahaya. Istri bodohnya membahayakan dirinya sendiri dengan sikap mandirinya. “Aku sudah memerintahkannya untuk tidak meninggalkan kastil. Dan aku sudah memberitahumu untuk memastikan dia dan anak-anak dijaga setiap waktu.”

“Anak-anak sudah membuat lelah selusin penjaga saat kau pergi,” Wilfrid menjawab dengan defensif; lalu ia mengaku dengan malu, “Tapi istrimu pergi saat semua orang tidur... empat malam lalu.”

“Dan tentang penjaga?”

“Ya, tapi mereka pikir dia boleh pergi.”

“Siapa yang berkuda dengannya?” tanya Eirik dingin, tangannya mengepal di sisi tubuhnya menahan amarah. Demi semua santa! Dia akan mencekik penyihir itu karena sudah melanggar aturannya. Sebaiknya wanita itu menyembunyikan tubuh kurusnya itu beberapa saat sampai kemarahannya mereda.

Tepat saat itu, Eirik mendengar jeritan keras diiringi salak anjing yang keras. Tiga makhluk, bukan, empat, datang menyerbu masuk melalui pintu yang terbuka di aula dan menuruni tangga menuju halaman.

Larise berhenti mendadak di depan Eirik hingga menerbangkan debu, diikuti John dan anak lelaki pelayan dapur, Godric, yang nyaris tak bisa berhenti menabrak punggung Larise. Sementara itu, anjing besar yang diadopsi istrinya menyalak keras di kaki mereka.

“Ayah!” Larise berteriak senang dan memanjat ke pelukan Eirik, kedua lengannya memeluk leher ayahnya erat dan kakinya di seputar pinggangnya. Kuda perang Eirik berjingkrak-jingkrak dengan gelisah di belakangnya, mendengus tak senang, dan Eirik, yang kelelahan dari perjalanannya, nyaris terjatuh ke belakang karena kuatnya pelukan Larise.

“Ya Tuhan! Apa aku pulang ke rumah yang dipenuhi anak-anak bengal?” tanya Eirik sambil menurunkan Larise ke tanah. Rambutnya masih basah dan wangi sabun, dan wajahnya yang bersinar bersih menandakan ia baru saja mandi. Dua anak lainnya juga tampaknya baru saja mandi, begitu juga anjing yang dipeluk John sambil menatap Eirik dengan mata lebarnya.

Girta melangkah maju, menyuruh anak-anak kembali ke kastil. “Pergilah tidur sekarang.”

“Di mana nyonyamu?” tanya Eirik dengan nada dingin.

“Dia pergi ke Hawk’s Lair untuk suatu keperluan. Dia tidak mengira Anda akan pulang begitu cepat.”

“Apa yang begitu penting sehingga dia tak bisa menunggu kepulanganku?”

Girta mengangkat bahunya, ekspresinya menyimpan rahasia. Tampaknya wanita itu tahu misi Eadyth dan memilih tak memberitahunya. “Saya yakin dia akan kembali pagi besok. Lalu dia bisa menjelaskan sendiri pada Anda.”

“Oh, tentu saja dia akan menjelaskan,” kata Eirik dingin, berpikir ia tak perlu berterima kasih pada adiknya untuk malam ini. Seharusnya ia bisa berbagi ranjang yang hangat dengan Asa alih-alih bergegas pulang menemui istri yang tak ada di rumah.

Kemudian malam itu, setelah ia akhirnya mandi dan makan, Eirik mendengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

“Masuklah.”

Wilfrid masuk dengan langkah ragu, ekspresi serius menyelimuti wajahnya yang biasanya ceria.

“Ayo minum wine bersamaku. Ini dari Frankland, kurasa. Aku membelinya di Jorvik pagi ini.”

Wilfrid menggeleng dan menolak duduk di seberang tuannya. Tanpa basa-basi lagi, ia menyerocos, “My Lord, Brita baru saja menunjukkan pada saya surat yang ditemukannya pagi ini di bawah kasur kamar istrimu.”

Ia ragu, lalu menyerahkan surat terlipat itu pada Eirik. Surat itu ditujukan pada Lady Eadyth of Ravenshire.

“Segelnya sudah dibuka saat Brita menemukannya,” Wilfrid menjelaskan ketika melihat Eirik memeriksanya dengan teliti

Eirik membuka surat itu dengan hati-hati, tahu dari sikap Wilfrid bahwa ia tak akan menyukai istrinya.

Dan memang benar.


Eadythku sayang,

Aku diberitahu pernikahanmu sudah berlangsung, seperti rencana kita. Hatiku menangis untukmu dan pengorbanan yang kau lakukan untukku, dan masa depan kita. Mari berdoa. Hewan buas dari Ravenshire tak tahu soal kehamilanmu. Aku masih berusaha mengakhiri pernikahanku yang tak berketurunan ini sehingga kedua anakku bisa mempunyai stempel legal. Bertahanlah, Cintaku, sebentar lagi saja sampai kita bisa bersama akhirnya dalam cinta kita yang abadi.

                                                                                                                      Suami hatimu
                                                                                                                      Steven


Awalnya, kemarahan membuat Eirik tak mampu bicara. Lalu ia melempar surat itu ke lantai dan menginjaknya dengan marah ke dalam jerami di bawah sepatu kulitnya.

“Wanita jalang pendusta itu,” Eirik mengumpat, berharap Eadyth berdiri di depannya, bukan Wilfrid agar bisa melampiaskan kemarahan pada wanita pendusta itu. Dengan frustrasi. Eirik mengambil gelas wine-nya dan menghantamkannya ke dinding kamar. Gelas yang lain, kemudian ikat pinggang peraknya, helm perangnya, tempat lilin dari batu, bahkan wadah keramik berisi wine segera menyusul. Itu tak cukup.

“Seharusnya aku tahu,” Eirik menggemeretakkan giginya. “Demi Tuhan, seharusnya aku tahu. Semua tandanya ada di sana. Anak haramnya. Penolakannya pada sentuhanku. Sikapnya yang misterius.”

“My Lord, mungkin kau harus bicara dulu pada Lady Eadyth sebelum menilainya terlalu kejam,” kata Wilfrid dengan hati-hati.

Eirik menjawab pada saran temannya. “Tidak, kau dan adikku memberi saran untuk memaklumi sikap menantangnya. Hah! Menantang adalah kata yang terlalu halus untuknya. Pengkhianatan. Seharusnya aku mengikuti instingku, yang memberitahuku untuk tak percaya pada wanita.”

“Tapi tidak masuk akal...”

“Akal! Satu-satunya akal di semua kekacauan ini adalah kebusukan wanita pengkhianat itu.” Eirik menjambak rambutnya sendiri, lalu menggeleng. “Ya Tuhan! Berapa kali seorang pria harus terbakar sebelum dia belajar untuk tak percaya pada api?”

“Tapi aku tak mengerti. Kenapa dia harus menikah denganmu, kecuali dia benar-benar takut pada Lord of Gravely?”

“Steven selalu ingin menghancurkanku. Pasti dia menggunakan wanita itu untuk rencana jahatnya. Dan siapa yang tahu apa tujuan Eadyth.” Eirik mengangkat bahunya. “Dia mencintai iblis itu, pastinya.”

“Rasanya, Lady Eadyth tak seperti itu,” kata Wilfrid ragu.

“Aku tahu maksudmu. Kupikir dia sudah tak bisa mengandung lagi. Dan lebih dari itu, Steven biasanya memilih gadis yang lebih cantik.”

“Mungkin kau salah. Dengan segala hormat, aku sering berkuda mengitari estat dengannya saat kau pergi. Dia seperti duri di bokongku, dengan segala tuntutannya. Tapi ada rasa curiga yang selalu mengusikku, bahwa dia tak seperti yang kita pikir selama ini.”

Eirik menunggu Wilfrid menjelaskan maksudnya, tapi sahabatnya itu menjadi tersipu dan tergagap, “Tapi bukan hakku untuk mengatakan semua itu tanpa  bukti. Dan kau akan berpikir aku bodoh kalau aku bilang dia tak sejelek itu.”

“Hah! Lebih tepatnya matamu mulai rabun. Seperti aku. Atau Britta telah mengubah kejantananmu menjadi bubur.”

Wilfrid menunduk malu.

Eirik memungut gelas wine-nya dan mengitari ruangan mencari wine, lalu sadar ia telah melemparkan semua ke dinding dan ke rush rumput. Bibirnya berkerut kesal melihat kekacauan di sekitarnya ketika akhirnya ia kembali bisa berpikir jernih.

“Bawakan aku lebih banyak wine,” ujarnya pada Wilfrid. Dan atur penjaga untuk mengawasi John dan Larise sepanjang waktu. Jangan biarkan mereka pergi sendirian walaupun hanya ke jamban.”

“Ya,” kata Wilfrid sambil mengangguk, menuju pintu, lalu melongok. “Apa kau mau aku mengirim orang untuk mencari Lady Eadyth malam ini?”

Mata Eirik menatap Wilfrid dengan tajam. “Tidak, kita akan pergi besok. Kemudian, aku bersumpah atas nama Tuhan, dia akan membayar mahal atas semua muslihatnya.”

Walaupun sangat lelah, eirik tak tidur sama sekali malam itu. Ia menghabiskan gelas wine dari Frank tapi tetap tidak bisa mati rasa. Malahan, pikirannya terus bekerja, menimbang segala bukti, mencari jawaban, mencapai kesimpulan. Ia terus kembali pada dua fakta yang sudah terbukti: Eadyth sudah membodohinya, paling sedikitnya, dan mungkin bahkan membantu merencanakan kematiannya, itu paling maksimalnya.

Begitu sinar fajar merayap melalui celah berbentuk anak panah di dinding kamar, Eirik tegang dengan kemarahan, tapi ia mengendalikan kemarahannya di balik topeng dengan bersikap tenang. Ia turun ke aula utama dan menuju dapur di mana pelayan-pelayannya sedah bekerja dengan rajin.

Walaupun marah, ia melihat bukti sentuhan Eadyth di mana-mana. Kastil itu beraroma segar akibat sering dibersihkan, dan setiap permukaan kayu mengilat dengan pelitur, atau dalam kondisi terbaiknya yang bisa mengingat keadaan kastil yang nyaris runtuh. Dia melihat dua cerobong asap baru di aula utama, proyek yang direncanakannya bertahun-tahun tapi tak sempat dilakukan karena ia tak pernah tinggal lama.

Jerami kering mengirimkan aroma dedaunan yang manis saat ia menginjaknya dalam perjalanan menyusuri aula. Di dapur, Bertha bekerja di depan perapian, mengenakan tunik yang bersih, menata rambutnya ke belakang di bawah tudung putih dan topi bercadar yang rapi.

“My Lord,” ia membungkuk hormat, “Apa kau mau semangkuk bubur, atau roti dan keju untuk sarapan?”

“Tidak,” jawab Eirik, ternganga kaget dengan semua perubahan di dapur yang bersih tak bernoda itu. Ranting panjang wangi dan bunga kering digantung terbalik dari kasau langit-langit. Jerami dibersihkan dari lantai batu dapur, yang digosok dengan pasir dan air sabun oleh seorang budak.’’

Godric, anak yatim yang dilihatnya bersama John dan Larise semalan, sedang memotong-motong buncis di depan perapian. Bocah itu mengangguk malu pada Eirik.

Lalu Britta datang terburu-buru dengan setumpuk penuh seprai linen, menyanyikan lagu cinta yang ceria. Ketika melihat Eirik, gadis itu memperlambat langkahnya dan tersipu malu sebelum bergegas keluar untuk memberikan kain-kain itu kepada tukang cuci.

Sambil menggumamkan pekerjaan yang harus dilakukan, Eirik berbalik melewati aula dan keluar ke dinding kastil yang nyaris selesai diperbaiki di bawah pengawasan Jeremy, tukang batu yang dibawa Eadyth sebagai bagian dari maskawinnya. Sebenarnya sejauh mana pengkhianatan Eadyth terbentang? Ia bertanya-tanya. Jeremy bisa saja menggunakan pasir yang jelek ke dalam semen sehingga begitu tembok itu diserang, tembok itu akan langsung ambruk. Ia harus memeriksanya dengan teliti.

Tepat saat ia akan masuk ke kandang kuda dan hendak mengatur pasukan untuk memburu istrinya yang keluyuran, penjaga di puncak menara membunyikan lonceng besar di menara yang menandakan bahwa ada pengunjung yang datang. Wilfrid menemaninya ke atas benteng. Mereka makin cemas ketika melihat Lady Eadyth, dengan beraninya menunggang kuda putih melintasi tanjakan menuju kawasan kastil. Di belakangnya karavan kereta kuda poni memuat segala macam benda yang beraneka bentuk –lusinan keranjang kerucut yang besar, kotak-kotak kayu besar dengan pinggiran berkisi-kisi yang indah, ratusan wadah keramik dan cetakan logam.

Yang paling buruk dari semua itu, Eadyth dan para pemuda yang mengemudikan kereta kuda itu mengenakan pakaian transparan bercadar yang sering dipakainya, menutupi kepala sampai kaki mereka. Mata Eirik menyipit dengan sungguh-sungguh. Demi st. Sebastian! Mungkin ia akan mencekik wanita itu dengan salah satu kain tipis tersebut, memotong tubuhnya menjadi potongan-potongan kecil yang pas untuk dimasukkan ke dalam salah satu keranjang besar itu, dan mengirimnya ke kekasihnya di Gravely.

Eirik menyeringai sinis memikirkannya.

Eadyth terkejut, dan anehnya merasa senang, melihat suami barunya berdiri di halaman bersama Wilfrid dan beberapa pengikutnya ketika ia mengendarai kereta kudanya memasuki halaman. Ia tak berharap bertemu dengan pria itu sampai besok, tapi keadaan seperti sekarang juga ada bagusnya. Eirik bisa membantunya membongkar muatan dan menaruh perlengkapan ternak lebahnya di kebun buah.

Tapi kemudian Eadyth menyadari cara berdirinya yang menantang. Eirik mengenakan celana panjang ketat, dibalut  shert wol berwarna hitam. Suaminya itu pasti baru bangun karena ikatan kulit di belakang lehernya memperlihatkan kulit terbakar matahari yang memikat dan bulu dada ikal berwarna hitam. Tapi Eadyth tak punya waktu untuk memikirkannya karena perhatiannya terarah pada kapalan tangan Eirik, yang mengepal dan terbuka berkali-kali di sisi pinggulnya.

Oh Tuhan. Ia tahu Eirik tak akan suka ia meninggalkan Ravenshire melawan perintahnya, tapi ia tak mengira pria itu akan semarah ini.

Seorang pelayan maju dan membantu Eadyth turun dari kuda. Keenam kereta kuda itu berhenti di belakangnya, para pengemudinya menunggu sinyal darinya untuk turun.

Eirik tak bergerak sedikit pun dari tempatnya di puncak tangga yang menuju ke aula. Tampaknya, pria itu berharap Eadyth melewainya dan menyapanya. Ia mengernyit tapi memutuskan setidaknya itu yang bisa dilakukannya setelah melanggar perintahnya.

Ketika ia menapaki setengah jalan di tangga batu itu, ia melihat kilatan kemarahan sedingin batu di mata biru Eirik dan berhenti sejenak. Ia melihat tatapan Eirik dengan cara merendahkan saat memandang masker anti lebahnya. Ya Tuhan! Apa Eirik mengharapkannya memindahkan lebah tanpa pakaian yang bisa melindunginya?

Ketika ia bergerak mendekat, Eirik menyambar lengan Eadyth dan menarik istrinya cukup dekat untuk mendengar kata-kata pedasnya. “Istriku yang jalang, dari mana saja kau?”

Eadyth meringis mendengar kata-kata kasarnya dan berusaha melepaskan diri dari cengkramannya, tapi sia-sia.

“Aku dari Hawk’s Lair,” Eadyth tergagap, bingung dengan sikap bengis Eirik.

“Dan dengan siapa kau di sana? Kekasihmu?”

Apa-ku?” sembur Eadyth. “Apa kau bodoh? Kekasih adalah hal terakhir yang kuinginkan. Bukan kau, atau pria mana pun, dasar kau hewan liar.”

“Ya, kekasihmu menyebutku sebagai Hewan Liar dari Ravenshire di suratnya, seingatku. Apa itu nama kesayangan kalian berdua untuk menyebutku?”

Tanda bahaya menyambar Eadyth seperti  nyala api. Apa yang dibicarakannya? Kekasih apa? Surat apa? “Eirik, ayo masuk dan bicara. Pasti ada kesalahpahaman di sini yang aku yakin bisa...”

“Tidak. Satu-satunya yang salah paham di sini adalah kau. Aku sudah memperingatkanmu sebelum pernikahan bahwa kau tak menolerir kepalsuan seorang istri.”

Wilfrid menengahi saat itu dan memegang lengan Eirik. “My Lord, tak pantas untuk meneruskan perbincangan ini di depan para pelayan dan pengikutmu.”

Eirik memandang sekelilingnya dan menggeleng seolah baru sadar. Masih memegang lengan Eadyth, ia mulai menariknya ke dalam rumah.

“Tunggu,” kata Eadyth, menolak bergerak. “Aku harus membantu menurunkan muatan dari kereta lebih dulu.”

“Kenapa?” tanya Eirik curiga. “Apa ada kado dari Steven yang ingin kau sembunyikan dariku? Atau mungkin racun khusus yang kau masukkan ke dalam arakku?”

“Steven?” tanya Eadyth, terpana setelah menyadari bahwa Earl of Gravely-lah yang dituduhkan Eirik menjadi teman selingkuhnya. Selama beberapa saat ketika Eadyth bimbang karena tak percaya, Eirik melesat menuruni tangga dan mulai melemparkan sarang lebah yang dijalin khusus yang berbentuk kerucut ke tanah, memaki keras-keras saat ia mencari-cari dengan kalap benda tersembunyi untuk membuktikan kesalahan Eadyth.

Eirik hendak membuka salah satu kotak ketika Eadyth menjerit, “Jangan!” tapi mata pria itu hanya memandangnya dengan menghina, dan Eadyth menyadari bahwa protesnya hanya akan mendorongnya melakukan sebaliknya.

Lalu terlambatlah sudah.

Eadyth mengerang dan bergegas menghampiri saat Eirik membuka kotak pertama dan ratusan lebah yang marah menyerbu keluar, mengerubungi wajah dan lehernya, ke bawah tuniknya yang longgar, di atas celana panjang ketatnya.

“Oh Tuhanku! Diam, Eirik. Demi Tuhan, aku tak bisa menolongmu kalau kau melompat-lompat seperti ini.”

Eirik mengumpat keras-keras, melakukannya dengan fasih dalam beberapa bahasa, menggunakan kata-kata yang membuat Eadyth tersipu, saat ia berusaha menyingkirkan serangga penyengat itu dari tubuhnya. Tapi lebah-lebah itu terlalu banyak dan tindakannya hanya membuat mereka semakin agresif.

Eadyth memanggil Edgar dan Oslac, dua pengemudi kereta, yang terlindung dengan masker antilebah dan sarung tangan kulit, untuk membantunya. Eadyth memungut beberapa ratu lebah yang berharga, yang mudah dikenali dari bentuk dan warnanya, dan menaruhnya kembali ke kotak lebah. Lalu kedua asistennya menggunakan obor yang berasap untuk mengusir lebah yang masih mengerubuti tubuh suaminya dan mengembalikan binatang-binatang itu ke kotak.

Ketika lebah-lebah itu akhirnya kembali di dalam kotak atau tergeletak mati di tanah, Eadyth memandang Eirik. Air mata mengaliri wajah Eirik karena asap dan bekas gigitan berwarna putih kecil-kecil memenuhi wajah, lengan, dan tampaknya seluruh kulitnya di balik kemeja dan celana panjangnya.

Eadyth memberi instruksi cepat kepada para pria yang datang bersamanya tentang di mana meletakkan sarang lebah dan lebahnya, menyuruh Girta, yang baru saja keluar untuk menhyelidiki kegaduhan yang terjadi, untuk menunjukkan mereka jalannya. Ia menyuruh Bertha menyiapkan bak air panas untuk mandi ke kamar Eirik, beberapa periuk garam dan segenggam bawang merah mentah.

“Eirik, cepat! Aku harus mencabut sengatnya secepat mungkin sebelum gigitannya membengkak dan bernanah.”

Eirik hanya memandangnya, syok. Lalu berkata dengan sangat serius. “Eadyth, aku akan membunuhmu.”



Back
Synopsis