Home

Kamis, 29 Maret 2018

Glorious Angel 6



Bukannya pergi ke Golden Oaks, Bradford terus berkendara sampai pertanian The Shadows, ke tempat tunangannya, Crystal Lonsdale.

Crystal sama sekali tidak sadar akan aktivitasnya selama satu setengah tahun yang lalu -setidaknya begitulah dugaannya. Setelah percakapannya dengan Angela Sherrington, ia sama sekali tidak yakin akan rahasianya lagi.

Yah, Crystal tidak tahu, cepat atau lambat gadis itu akan tahu, karena selain ingin menemui ayahnya, alasannya pulang ke rumah adalah untuk berterus terang pada Crystal. Lebih baik sekarang dari pada setelah perang. Ini akan memberi Crystal waktu agar terbiasa dengan pendiriannya. Setelah itu, saat ia kembali pada Crystal usai perang, takkan ada yang menghalangi mereka untuk segera menikah.

Bradford berbelok ke arah jalan berbatu yang menuju The Shadows. Ini bukanlah waktu yang tepat, namun ia memilih waktu ini untuk menghindari ayah Crystal, juga Robert. Memberi tahu Crystal mengenai pilihan politiknya adalah sesuatu yang sulit. Tapy Crystal adalah wanita yang mencintainya dan tidak akan pernah menghianatinya. Namun menghadapi seluruh keluarga Crystal bisa berarti bunuh diri. Ia bisa ditembak karena dianggap sebagai mata-mata, seperti yang dikatakan gadis Sherrington itu.

Ia bukan mata-mata, ia takkan bisa. Bradford terlalu jujur untuk menjadi mata-mata.

Api masih menyala di bagian bawah rumah, dan saat Bradford mendekati pintu masuk, ia bisa mendengar nada-nada lembut dari piano. Ia membeku sejenak, bertanya-tanya apakah Crystal sedang menghibur tamu.

Rueben, kepala pelayan keluarga Lonsdale yang berkulit hitam, mundur karena terkejut.

"Apakah ini sungguh-sungguh Anda, Mr. Brad? Oh Tuhan, Miss Crystal pasti sangat senang bertemu Anda!"

"Kuharap demikian, Rueben." Bradford menyeringai. "Apa dia ada di ruang melukis?"

"Ya, Sir. Anda bisa langsung masuk. Kurasa Anda tak ingin ada orang lain saat pertemuan ini." Rueben tersenyum. "Begitu juga Miss Crystal."

"Kalau begitu dia sendirian?"

"Ya."

Bradford menyeberangi ruang tengah dan berhenti sejenak sebelum membuka pintu ganda ke arah ruang melukis. Crystal duduk di depan piano, mengenakan gaun pink dan sutra putih. Gadis itu sedang memainkan karya yang tak dikenalnya. Segala sesuatu yang ada di ruangan itu membawanya ke masa lalu, termasuk Crystal. Gadis itu sama sekali tidak berubah -masih wanita tercantik yang pernah dikenalnya.

Crystal begitu hanyut dalam musiknya hingga tak menyadari kehadiran Bradford. Dan saat ia selesai, ia mendesah panjang.

"Kuharap desahan itu untukku," Bradford berkata lembut.

Crystal berdiri. Tak lama ia berteriak dan berlari ke dalam pelukan Bradford.

Bradford mencium Crystal dengan bersemangat. Crystal membalas ciumannya, tapi tidak selama yang ia inginkan. Crystal tidak pernah membiarkan Bradford memeluknya lama-lama. Namun sebaliknya, Crystal sangat ingin mengajak Bradford ke tempat tidur andai Bradford menginginkannya. Bradfor-lah yang menundanya.

Ia pria yang sangat memegang teguh kepantasan sebelum perang pecah, dan ia menyesalinya sekarang. Andai saja mereka sudah tidur bersama, Crystal pasti akan lebih bisa menerima dan memahami sudut pandang politiknya.

"Oh, Brad." Crystal mendorongnya hingga menjauh dan memandanginya dengan bertanya-tanya. "Kenapa kau tak membalas surat-suratku? Aku menulis begitu banyak surat hingga tak bisa menghitungnya lagi."

"Aku sama sekali tidak menerima surat."

"Ayahmu bilang mungkin kau tidak menerimanya, karena blokade dan sebagainya, tapi aku masih berharap mendengar kabar darimu," ujar Crystal. Lalu matanya mulai menyipit dan tangannya diletakkan di pinggang. Ia bertanya dengan tegas, "Jadi, kemana saja kau, Bradford Maitland, saat aku pergi ke Inggris bersama rombongan turku? Aku menunggumu muncul, tapi kau tak muncul juga. Dua tahun, Brad. Aku tak melihatmu selama dua tahu!"

"Bisnis ini telah membuatku bepergian ke sana-kemari, Crystal. Perang juga masih berlangsung," Bradford mengingatkan dengan lembut.

"Kau pikir aku tak tahu soal itu? Robby bergabung dengan anak muda lainnya. Dia menjaga Benteng Morgan. Aku jadi jarang bertemu dengannya. Adikmu juga bergabung. Tapi bagaimana denganmu? Bisnismu lebih penting bagimu." Bradford sudah akan bicara, tapi Crystal tak berhenti. "Aku sangat malu tidak bisa mengatakan pada teman-temanku bahwa tunanganku berjuang untuk negeri kita bersama pria-pria pemberani lainnya."

Bradford meraih bahu Crystal dan menjauhkannya. "Apakah begitu penting bagimu, Crystal, apa yang dipikirkan teman-temanmu?" ia bertanya tajam.

"Yah, tentu saja penting. Aku tidak mungkin punya suami pengecut, bukan?"

Bradford merasakan amarahnya muncul. "Bagaimana dengan dengan suami yang menjadi simpatisan Union? Apakah lebih buruk dari pengecut bagimu?"

"Seorang Yankee!" Crystal terhenyak dengan ngeri. "Jangan konyol, Brad, kau membuatku takut."

Bradford meraih lengan Crystal agar tidak menjauh darinya. Ia telah merencanakan dengan baik apa-apa yang akan dikatakannya pada Crystal, sesuatu mengenai bangsa yang terpecah belah, sesuatu yang masuk akal yang pernah diucapkan Lincoln, namun ia sama sekali tidak bisa mengingatnya sekarang.

"Aku  bukan orang Selatan, Crystal. Aku tak pernah menjadi orang Selatan dan kukira kau tahu itu."

"Tidak!" Crystal menjerit, menaruh tangannya di telinganya. "Aku tidak akan mendengarkan ini! Tidak akan!"

"Ya, kau akan mendengarnya!" Bradford merenggut tangan Crystal, kemudian merapatkan pelukannya, agar gadis itu tak bisa bergerak. "Apa kau kira aku akan bertempur untuk sesuatu yang tidak aku yakini, berjuang untuk menegakkan sesuatu yang benar-benar aku tentang? Jika keyakinanku mengharuskanku untuk memilih salah satu, aku tidak akan memilih Selatan. Seharusnya kau menghargainya."

Bradford menghela napas. Tak mungkin ia mengatakan semuanya pada Crystal sekarang, bahwa ia sudah bergabung dengan militer Union dan akan melakukannya lagi. Crystal mungkin akan berteriak kesetanan dan ia takkan pernah bisa meninggalkan Mobile lagi. Ia sangat ingin membuat Crystal mengerti.

"Crystal, jika aku tidak membela keyakinanku, aku bukan pria sejati. Bisakah kau mengerti itu?"

"Tidak!" Crystal membalas dengan marah, mencoba menjauh dari Bradford. "Yang kutahu adalah bahwa aku telah menyia-nyiakan tahun-tahun terbaikku untuk seorang simpatisan Yankee! Lepaskan aku sekarang juga sebelum aku berteriak!"

Bradford segera melepaskannya dan Crystal terjungkal ke belakang, lalu menatap Bradford. "Pertunangan kita sudah berakhir. Aku tidak akan pernah menikahi seseorang yang seperti... seperti... oh! Kau mungkin tidak menjadi tentara Utara, tapi kau tetap seorang Yankee. Dan aku benci semua Yankee!"

"Crystal, kau sedang kesal, namun jika kau sudah agak tenang dan bisa berpikir jernih..."

"Keluar dari sini!" sela Crystal, nada suaranya meninggi dengan mulai histeris. "Aku membencimu, Bradford! Aku tidak mau melihatmu lagi! Tidak akan pernah mau!"

Bradford berbalik akan pergi, namun ia berhenti di pintu. "Kita belum berakhir, Crystal. Kau akan tetap menjadi istriku, dan aku akan kembali untuk membuktikannya."

Bradford pergi sebelum Crystal dapat menimpalinya. Anehnya, ia memikirkan gadis Sherrington itu. Angela mengerti keadaannya. Gadis itu tidak mengecamnya. Sedangkan wanita yang katanya mencintainya tidak bisa mengerti.

Namun ia belum selesai dengan Crystal Lonsdale. Suatu hari nanti ia akan kembali dan membuat Crystal mengerti.



Next
Back
Synopsis


Sabtu, 24 Maret 2018

Honor's Splendour 2



"Pembalasan itu hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan..."
PERJANJIAN BARU, ROMA 12:19

"Apa kau sudah gila?" bisik Madelyne. Suaranya terdengar keheranan.

Sang baron tidak menjawab, namun wajah cemberutnya mengatakan bahwa ia tidak terlalu suka dengan pertanyaan gadis itu. Ia menarik Madelyne berdiri lalu memegangi bahu gadis itu untuk menatapnya. Madelyne pasti akan jatuh berlutut tanpa bantuan pria itu. Aneh, tapi sentuhan pria itu lembut untuk pria seukurannya, renung Madelyne, dan sepotong pengetahuan itu semakin membingungkan dirinya.

Tipu daya pria itu di luar pemahaman Madelyne. Duncan adalah tawanan dan Madelyne adalah penyelamatnya, dan pastinya pria itu menyadari fakta tersebut, ya kan? Ia mempertaruhkan segalanya demi menyelamatkan pria itu. Ya Tuhan, ia sudah menyentuh kaki pria itu, menghangatkannya; aye, dia telah memberikan segalanya yang berani ia berikan kepada pria itu.

Pria itu, sang bangsawan yang berubah menjadi manusia barbar itu, menjulang di atas Madelyne, dan memasang ekspresi ganas yang lebih dari sesuai dengan ukuran raksasanya. Ia merasakan kekuatan memancar dari pria itu, sama kuat dan menyengatnya seperti sentuhan alat pengorek api yang panas, dan meskipun ia berusaha keras untuk tidak berjengit karena tatapan dingin di mata kelabu sedingin es pria itu, ia sadar ia sedang gemetar cukup untuk pria itu sadari.

Duncan salah paham pada reaksi Madelyne dan meraih jubah gadis itu. Ketika menyampirkan jubah di bahu madelyne, tangan Duncan menyapu bagian bawah payudara gadis itu. Madelyne berpendapat sentuhan itu tidak disengaja, namun secara insting ia mundur selangkah, mencengkram jubahnya di depannya. Sang baron semakin cemberut. Pria itu meraih tangan Madelyne, berbalik, dan memimpin jalan di koridor gelap, menyeret gadis itu di belakangnya.

Madelyne harus berlari untuk menyamai langkah pria itu, kalau tidak, pria itu akan menyeretnya. "Mengapa kau ingin menghadapi prajurit Louddon padahal itu tidak perlu?"

Tidak ada tanggapan dari sang baron, tapi Madelyne tidak gentar. Sang pejuang sedang berjalan menuju kematiannya sendiri. Madelyne merasa terdorong untuk menghentikannya. "Please, Baron, jangan lakukan ini. Dengarkan aku. Udara dingin telah mengacaukan pikiranmu. Mereka akan membunuhmu."

Lalu Madelyne menyentak tangannya dari genggaman pria itu, kuat-kuat, mengerahkan seluruh tenaganya, namun pria itu bahkan tidak memperlambat langkah.

Bagaimana, dalam nama Tuhan, Madelyne dapat menolong pria itu?

Mereka sampai di pintu berat yang menuju ke halaman. Sang Baron mendorong pintu itu dengan begitu kuat sehingga engselnya terlepas. Pintu tersebut hancur berkeping-keping karena menghantam tembok batu. Madelyne ditarik melewati melalui pintu yang terbuka, ke dalam angin sedingin es yang menampar-nampar wajahnya dan mengejek keyakinan kuatnya bahwa pria yang ia bebaskan kurang dari sejam yang lalu itu gila. Tidak, pria itu sama sekali tidak gila.

Buktinya mengelilingi Madelyne. Lebih dari seratus orang prajurit berbaris di halaman bagian dalam, dengan lebih banyak lagi yang sedang memanjat ke atas puncak tembok batu, semuanya secepat angin yang semakin kencang dan sehening pencuri, dan setiap prajurit mengenakan warna biru dan putih Baron Wexton.

Madelyne begitu terkesima pada pemandangan tersebut, sehingga ia bahkan tidak menyadari penawan dirinya sudah berhenti untuk mengamati anak buahnya selagi mereka berkumpul dalam jumlah banyak di hadapannya. Ia menabrak punggung Duncan, secara insting mengulurkan tangan untuk mencengkram tunik besi pria itu untuk menyeimbangkan dirinya, dan baru pada saat itulah ia sadar, pria itu telah melepaskan tangannya.

Duncan tidak memberikan indikasi sedikit pun kalau Madelyne ada di sana, menunggu di balik punggungnya, mencengkram tunik besinya seakan-akan benda itu mendadak telah menjadi tali penolong gadis itu. Madelyne sadar dirinya mungkin terlihat seperti sedang bersembunyi, atau lebih buruk lagi, ketakutan, maka ia segera memberanikan diri untuk maju selangkah ke sisi pria itu sehingga semua orang bisa melihatnya. Puncak kepalanya mencapai bahu sang baron. Ia berdiri dengan pundak tegak, berusaha mengimbangi sikap menantang sang baron, berdoa sepanjang waktu supaya kengeriannya tidak terlihat.

Ya Tuhan, Madelyne ketakutan. Sebenarnya, ia tidak terlalu takut dengan kematian; keadaan sekarat yang datang sebelum kematianlah yang membuatnya ngeri. Aye, pikiran tentang tingkah lakunya sendiri sebelum tindakan keji itu dilakukanlah yang membuatnya merasa mual. Apakah pembunuhannya akan delakukan dengan cepat atau lambat? Apakah ia akan kehilangan kendali dirinya yang telah dipeliharanya dengan hati-hati pada menit terakhir dan bersikap pengecut? Gagasan tersebut begitu mengganggunya, sehingga ia hampir saja berkata pada saat itu juga bahwa ia ingin menjadi yang pertama yang merasakan pedang kematian. Tapi memohon demi kematian yang cepat juga akan menjadikan dirinya pengecut, ya kan? Dan prediksi kakaknya akan tebukti.

Baron Wexton tidak tahu-menahu tentang pikiran-pikiran yang berpacu di dalam benak tawanannya. Ia memandang sekilas gadis itu, menangkap ekspresi tenangnya, dan agak terkejut karena hal itu. Gadis itu tampak sangat tenang, nyaris damai, tapi Duncan tahu sikap gadis itu akan segera berubah. Sebentar lagi Madelyne akan menyaksikan pembalasan dendam Duncan, dimulai dari penghancuran total rumah gadis itu. Pasti Madelyne akan menangis dan memohon belas kasihan sebelum penghancuran itu selesai.

Salah seorang prajurit bergegas menghampiri dan berdiri tepat di hadapan sang baron. Tampak jelas bagi Madelyne bahwa prajurit tersebut berhubungan darah dengan penawannya, sebab prajurit itu memiliki warna rambut coklat kehitaman yang identik dan tubuh kekar yang sama, walau tidak setinggi sang baron. Si prajurit tidak mengacuhkan madelyne, dan menyapa pemimpinnya. "Duncan? Apa kau akan memberikan perintah ataukah kita akan berdiri di sini sepanjang malam?"

Nama pria itu Duncan. Aneh, akan tetapi, mendengar nama keluarganya betul-betul mengurangi ketakutan Madelyne. Duncan... aye, rasanya nama tersebut membuat pria itu sedikit lebih manusiawi dalam benak Madelyne.

"Well, Kakak?" desak si prajurit kemudian memberitahu Madelyne tentang hubungan mereka dan alasan sang baron membiarkan saja sikap tidak sopan seperti itu dari bawahannya.

Si prajurit, pastinya adik sang baron jika dilihat dari penampilan mudanya dan bekas luka perangnya yang sedikit, kemudian menoleh memandang Madelyne. Mata coklat pria itu menampakkan kemarahannya terhadap Madelyne. Pria itu terlihat seakan-akan hendak memukul Madelyne. Bahkan, si prajurit yang marah itu mundur selangkah, seolah berharap untuk memperlebar jarak antara dirinya dan Madelyne yang mendadak saja berubah menjadi penderita kusta.

"Louddon tidak ada di sini, Gilard," Duncan memberitahu adiknya.

Komentar sang baron diucapkan dengan begitu ringan, sehingga Madelyne segera dipenuhi harapan baru. "Kalau begitu kalian akan pulang, Milord?" tanya Madelyne, menoleh untuk menatap pria itu.

Duncan tidak menjawab. Madelyne pasti akan mengulangi pertanyaannya seandainya si prajurit tidak menyelanya dengan meneriakkan serentetan sumpah serapah. Tatapan Gilard terpaku pada Madelyne sementara pria itu memuntahkan rasa frustasinya. Kendati tidak mengerti sebagian besar dari kalimat buruk itu, Madelyne dapat mengetahui bahwa kalimat-kalimat itu keji hanya dengan melihat sorot menakutkan di mata Gilard.

Duncan hendak memerintahkan adiknya agar menghentikan cacian yang kekanak-kanakan itu, ketika ia merasakan Madelyne menggenggam tangannya. Ia begitu tercengang dengan sentuhan gadis itu, hingga ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Madelyne menempel padanya dan Duncan bisa merasakan gadis itu gemetar, tapi saat ia menoleh untuk melihat gadis itu, Madelyne tampak terkendali. Gadis itu menatap Gilard. Duncan menggeleng. Ia tahu adiknya tidak sadar betapa menakutnya dirinya bagi Madelyne. Sebetulnya, Duncan ragu Gilard akan peduli jika adiknya itu memang menyadarinya.

Kemarahan Gilard tiba-tiba membuat Duncan sebal. Madelyne adalah tawanannya, bukan lawan Gilard, dan semakin cepat adiknya mengerti bagaimana cara memperlakukan gadis itu, semakin baik. "Cukup!" perintahnya. "Louddon sudah pergi. Umpatanmu tidak akan membawanya kembali."

Tiba-tiba Duncan menarik tangannya dari genggaman Madelyne. Ia merangkul  bahu Madelyne, hampir saja membuat gadis itu terjatuh dalam kecepatan gerakannya, lalu menarik gadis itu ke sisinya. Gilard begitu tercengang melihat pertunjukan proteksi yang terlihat jelas itu, hingga dirinya hanya dapat ternganga menatap kakaknya.

"Louddon pasti mengambil jalan selatan, Gilard, kalau tidak kau pasti sudah melihatnya," ujar Duncan.

Madelyne tidak mampu menghentikan dirinya untuk turut bicara. "Dan sekarang kalian akan pulang?" tanyanya berusaha untuk tidak terdengar terlalu bersemangat. "Kalian bisa menantang Louddon di lain waktu," ia menyarankan berharap untuk mengurangi kekecewaan mereka.

Kakak-beradik itu menoleh untuk memandang Madelyne. Tak seorang pun yang menjawabnya, namun ekspresi di wajah mereka menyiratkan bahwa mereka berpendapat bahwa Madelyne sudah tidak waras lagi.

Ketakutan Madelyne mulai meningkat lagi. Sorot dingin di mata sang baron nyaris membuat lututnya tertekuk. Ia cepat-cepat menurunkan  tatapannya hingga ia memandang dada pria itu, sungguh-sungguh malu hingga ke sudut jiwanya karena ia terbukti berkepribadian lemah. "Aku bukan orang gila," gumamnya. "Kalian bisa pergi dari sini tanpa tertangkap."

Duncan tidak memedulikan pernyataan gadis itu. Ia mencengkram tangan terikat Madelyne dan menariknya ke tiang tempat gadis itu membebaskannya tadi. Madelyne tersandung dua kali, kakinya lemah karena rasa takut. Ketika Duncan akhirnya melepaskannya, Madelyne bersandar ke kayu yang pecah itu, menunggu untuk melihat apa yang selanjutnya akan pria itu lakukan.

Sang baron memberi Madelyne tatapan tajam yang lama. Itu merupakan perintah tanpa kata agar ia tetap diam di tempat, Madelyne menyimpulkan. Kemudian duncan berbalik hingga bahunya menghalangi pandangan Madelyne dari pasukannya. Paha Duncan yang berotot dilebarkan dan tangannya yang besar dikepalkan di lekuk pinggangnya. Itu adalah sikap bertempur yang dengan jelas menantang penontonnya. "Tak seorang pun yang boleh menyentuhnya. Dia milikku." Suara kuat Duncan berkumandang, menyapu anak buahnya dengan kekuatan sebesar peluru batu sedingin es yang dilontarkan dari atas.

Madelyne menoleh ke arah pintu yang menuju kastil Louddon. Pasti suara Duncan terdengar hingga ke dalam, dan memperingatkan para prajurit yang sedang tidur. Akan tetapi, saat anak buah Louddon tidak segera menghambur ke halaman, Madelyne menyimpulkan bahwa angin kencang pastilah telah menyapu suara sang baron.

Duncan mulai berjalan menjauh dari gadis itu. Madelyne mengulurkan tangan dan menyambar bagian belakang tunik besi Duncan. Mata rantai bundar dari besi menusuk jemarinya. Ia meringis kesakitan, namun tidak yakin reaksinya itu disebabkan oleh mata rantai yang kasar itu atau ekspresi marah di wajah sang baron ketika pria itu berbalik kembali ke arahnya. Duncan berdiri begitu dekat, dada pria itu benar-benar menyentuh dada Madelyne. Ia terpaksa mendongak supaya bisa melihat wajah pria itu.

"Kau tidak mengerti, baron," sembur Madelyne. "Seaindainya kau mau mendengarkan akal sehat, kau akan melihat betapa bodohnya rencanamu ini."

"Betapa bodohnya rencanaku ini?" ulang Duncan, tercengang hingga membuatnya berteriak karena pernyataan kurang ajar gadis itu. Duncan tidak tahu mengapa ia mau mendengarkan apa yang gadis itu katakan, tapi ia memang mau melakukannya. Sial, gadis itu baru saja menghinanya. Ia akan membunuh seorang pria karena melakukan itu. Namun ekspresi tak berdosa di wajah gadis itu, dan ketulusan dalam suaranya, mengindikasikan bahwa gadis itu bahkan tidak menyadari kesalahannya.

Menurut Madelyne, Duncan terlihat seolah-olah hendak mencekiknya. Madelyne melawan dorongan untuk memejamkan matanya untuk menghindari tatapan yang mengintimidasi tersebut. "Kalau kau datang untuk menjemputku, maka kau sudah membuang-buang waktumu."

"Kau percaya nilai dirimu tidak cukup berharga untuk mendapatkan perhatianku?" tanya Duncan.

"Tentu saja. Di mata kakakku, aku tidak berharga. Itu adalah fakta yang sangat kusadari," tambah Madelyne dengan sikap yang sangat biasa-biasa saja, sehingga Duncan sadar gadis itu meyakini apa yang ia ucapkan tadi. "Dan kau pasti mati malam ini. Aye, kalian kalah jumlah, setidaknya empat banding satu, menurut perhitunganku. Ada menara utama kedua untuk prajurit di halaman kastil di bawah kita, dengan lebih dari seratus orang prajurit yang sedang tidur di sana. Mereka akan mendengar pertempuran ini. Bagaimana pendapatmu tentang itu?" tanyanya, sadar bahwa saat ini ia sedang meremas-remas kedua tangannya namun tidak mampu menghentikan dirinya sendiri.

Duncan berdiri di sana, menatap Madelyne dengan ekspresi bingung di wajahnya. Madelyne berdoa informasi yang baru saja ia bagikan pada pria itu tentang menara utama kedua untuk prajurit akan memaksa pria itu melihat betapa bodohnya rencana ini.

Doa Madelyne tidak terkabul. Ketika pada akhirnya sang baron bereaksi, itu sama sekali tidak seperti yang Madelyne harapkan. Pria itu hanya mengangkat bahu.

Gerakan itu membuat Madelyne geram. Sang pejuang bodoh itu jelas-jelas ingin mati.

"Percuma saja berdoa dan berpikir kau akan meninggalkan pertempuran ini, tak peduli apa pun rintangannya, benar kan?" tanya Medelyne.

"Memang,"Jawab Duncan. Kerlip hangat muncul di mata pria itu, membuat Madelyne terkejut. Kerlip itu hilang sebelum Madelyne bahkan bisa bereaksi. Apakah sang baron menertawainya?

Madelyne tidak berani bertanya pada pria itu. Duncan melanjutkan menatapnya beberapa lama lagi. Kemudian Duncan menggeleng, berbalik dan mulai berjalan menuju kastil Louddon. Pria itu jelas-jelas telah memutuskan bahwa ia sudah membuang cukup waktu untuk Madelyne.

Tidak ada petunjuk sedikit pun dari niat pria itu sekarang. Duncan bisa saja sedang berkunjung jika dinilai dari ekspresi lunak di wajahnya serta langkahnya yang pelan dan tidak terburu-buru itu.

Madelyne tahu lebih baik. Tiba-tiba dirinya begitu dipenuhi dengan ketakutan, sehingga ia pikir ia akan muntah. Ia bisa merasakan cairan empedu naik, membakar sepanjang tenggorokannya. Madelyne terengah menarik napas sedalam-dalamnya seraya berusaha melonggarkan simpul yang mengikat kedua tangannya dengan panik. Kepanikan membuat usahanya mustahil, sebab madelyne baru saja menyadari ada pelayan-pelayan yang sedang tidur di dalam sana. Ia ragu prajurit Duncan akan mengingatkan diri mereka sendiri supaya hanya membunuh prajurit bersenjata yang melawan mereka. Louddon tentu tidak akan membuat perbedaan.

Madelyne tahu ia akan segera mati. Fakta itu tidak terelakkan; ia adalah adik Louddon. Tapi kalu ia dapat menyelamatkan orang-orang yang tidak berdosa sebelum kematiannya, bukankah tindakan baik hati itu akan memberi suatu tujuan pada eksistensinya? Ya Tuhan, bukankah menyelamatkan orang lain akan membuat hidupnya berarti... bagi seseorang?''

Madelyne terus berjuang melepaskan tali itu sambil mengawasi sang baron. Saat pria itu mencapai anak tangga dan berbalik menghadap anak buahnya, tujuannya yang sebenarnya terlihat jelas. Aye, ekspresi pria itu menunjukkan amarahnya.

Duncan pelan-pelan mengangkat pedangnya ke udara. kemudian suaranya berkumandang dengan kekuatan yang sudah pasti menembus dinding-dinding batu yang mengelilingi mereka. Tujuannya tidak salah lagi.

"Tiada ampun!"



Teriakan-teriakan perang menyiksa Madelyne. Benaknya menggambarkan apa yang tidak mampu ia lihat, menjebaknya di dalam siksaan pikiran-pikiran mengerikan. Ia tidak pernah benar-benar menyaksikan pertempuran sebelumnya, hanya mendengar kisah-kisah yang dilebih-lebihkan tentang kecerdikan dan kekuatan superior daripada prajurit yang menang dan sombong. Namun tak satu pun dari kisah-kisah tersebut yang menyertakan gambaran-gambaran pembunuhan, dan ketika para prajurit yang bertempur itu tumpah ruah di halaman, siksaan di dalam benak Madelyne berubah menjadi neraka nyata, dengan darah para korban yang bertransformasi menjadi api balas dendam penawannya.

Kendati jumlah yang lebih banyak sangat menguntungkan anak buah Louddon, Madelyne segera menyadari bahwa mereka tidak siap untuk melawan prajurit Duncan yang terlatih dengan baik. Ia menyaksikan saat salah seorang prajurit kakaknya mengangkat pedang melawan sang baron dan kehilangan nyawanya sebagai akibatnya, menyaksikan seorang lagi prajurit yang bersemangat menusukkan tombaknya ke depan lalu menatap tercengang ketika tombak beserta lengannya dipisahkan dari tubuhnya. Jeritan kesakitan yang menusuk telinga mengikuti serangan itu saat si prajurit tersungkur ke tanah yang kini terendam oleh darahnya sendiri.

Perut Madelyne bergolak melihat kekejaman itu; ia memejamkan matanya untuk menghalangi horor itu, namun gambaran-gambaran itu terus menghantuinya.

Seorang pemuda yang menurut Madelyne merupakan squire Duncan berlari ke arahnya dan berdiri di samping Madelyne. Pemuda itu berambut kuning terang serta bertinggi tubuh sedang, dan begitu tebal dengan otot-otot sampai-sampai terlihat gemuk. Ia menghunuskan sebuah belati dan menggenggam benda itu di hadapannya.

Pemuda itu tidak terlalu memedulikan Madelyne, terus mengarahkan tatapannya kepada Duncan, tapi Madelyne rasa pemuda itu memosisikan dirinya sendiri untuk melindunginya. Ia melihat Duncan memberi isyarat kepada pemuda itu sesaat sebelumnya.

Madelyne matia-matian berusaha fokus ke wajah si squire. Pemuda itu menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Madelyne tidak yakin apakah itu disebabkan oleh ketakutan atau semangat. lalu, tiba-tiba saja pemuda itu lari, meninggalkan Madelyne tak terjaga lagi.

Madelyne menoleh untuk melihat Duncan, menyadari kalau pria itu telah menjatuhkan perisainya, kemudian menyaksikan si squire berlari kencang untuk memungut benda itu untuk tuannya. Dalam ketergesaannya, si squire menjatuhkan belatinya sendiri.

Madelyne berlari ke arah belati tersebut, mengambil benda itu, dan bergegas kembali ke tiangnya kalau-kalau Duncan mendatanginya. Ia berlutut di tanah, jubahnya melindungi aksinya, dan mulai memotong tali yang mengikat kedua tangannya. Bau tajam asap menyentuhnya. Ia mendongak tepat pada saat semburan api meledak melalui pintu kastil yang terbuka. Para pelayan kini berbaur dengan para prajurit yang sedang bertempur, mencoba mendapatkan kebebasan mereka sambil berlari cepat ke arah gerbang. Api menyusul mereka, seakan membakar udara.

Simon, putra pertama si pengurus rumah tangga Saxon dan sudah tua sekarang mendatangi Madelyne. Air mata mengalir di pipinya yang keras, bahunya yang tebal membungkuk dengan sedih. "Saya kira mereka telah menghabisi Anda, Milady," bisiknya ketika ia menolong Madelyne berdiri.

Si pelayan mengambil belati dari Madelyne dan cepat-cepat memotong tali itu. Bagitu Madelyne sudah bebas ia memegang sisi pundak si pelayan. "Selamatkanlah dirimu, Simon. Perang ini bukan untukmu. Bergegaslah, pergi dari sini. keluargamu membutuhkanmu."

"Tapi Anda..."

"Pergilah, sebelum terlambat," Madelyne memohon pada pria itu.

Suara Madelyne terdengar kasar karena rasa takut. Simon adalah seorang pria saleh dan baik yang telah memperlakukan Madelyne dengan baik hati di masa lalu. Pria itu terperangkap, seperti halnya para pelayan yang lain, karena posisi dan warisan, terikat secara hukum kepada tanah Louddon, dan itu hukuman yang sangat berat untuk ditanggung oleh manusia mana pun. Tuhan tidak mungkin begitu kejam dengan menuntut nyawanya juga.

"Ikutlah bersama saya, Lady Madelyne," Simon memohon. "Saya akan menyembunyikan anda."

Madelyne menggeleng, menolak permohonan pria itu. "Kau memiliki kesempatan yang lebih baik tanpa diriku, Simon. Sang baron akan mengejarku. Kumohon, jangan membantah," ia buru-buru menambahkan katika melihat pria itu akan memprotes lagi. "Pergilah." Ia meneriakkan perintah itu dan menambahkan penekanan dengan mendorong bahu Simon.

"Semoga Tuhan melindungi Anda," bisik Simon. Ia menyerahkan belati itu kepada Madelyne dan berbalik menuju gerbang. Pria tua itu baru melangkah beberapa kaki dari nonanya ketika ia dijatuhkan ke tanah oleh adik Duncan. Gilard, dalam ketergesaannya untuk menyerang seorang lagi prajurit Louddon, tidak sengaja menabrak si pelayan. Simon berhasil bangun ke posisi berlutut, ketika Gilard tiba-tiba berbalik, seolah-olah ia baru saja sadar ada seorang lagi musuh yang berada lebih dekat dengannya.

Niat Gilard terlihat jelas bagi Madelyne. Ia menjeritkan peringatan dan berlari ke depan Simon, menggunakan tubuhnya untuk melindungi si pelayan dari pedang Gilard.

"Minggir," teriak Gilard, pedangnya dinaikkan.

"Nay," Madelyne balas berteriak. Kau harus membunuhku dulu sebelum membunuhnya."

Gilard seketika mengangkat pedangnya lebih tinggi, menyiratkan bahwa ia akan melakukan itu. Wajahnya diwarnai amarah. manurut Madelyne, Gilard lebih dari mampu untuk membunuhnya tanpa merasa menyesal sedikit pun.

Duncan melihat apa yang sedang terjadi. Ia segera berlari menuju Madelyne. Perangai Gilard terkenal garang, tapi Duncan tidak khawatir kalau adiknya itu akan menyakiti Madelyne. Gilard akan mati sebelum melawan perintahnya. Saudara atau bukan, Duncan adalah baron of Wexton dan Gilard adalah bawahannya. Gilard akan menghormati hubungan itu. Dan Duncan sudah mengatakannya dengan sangat jelas. Madelyne adalah miliknya. Tak seorang pun yang boleh menyentuh gadis itu. Tak seorang pun.

Pelayan-pelayan yang lain hampr tiga puluh orang jumlahnya, juga menyaksikan apa yang tengah terjadi. Mereka tidak berada cukup dekat dengan kebebasan bergegas berkerumun di belakang Simon demi perlindungan.

Madelyne membalas tatapan murka Gilard dengan ekspresi terkendali, ketenangan yang menyembunyikan kehancuran yang sedang berlangsung di dalam dirinya.

Duncan tiba di samping adiknya tepat pada waktunya untuk menyaksikan tindakan Madelyne yang ganjil. Tawanan Duncan itu perlahan-lahan mengangkat tangan di sisi lehernya. Dengan suara yang terdengar sangat tenang, Madelyne menyarankan agar Gilard menusukkan pedangnya di sana, dan jika Gilard berkenan, lakukan itu dengan cepat.

Gilard tampak tercengang dengan reaksi Madelyne terhadap gertakannya. Ia perlahan-lahan menurunkan pedangnya sampai ujungnya yang berlumuran darah menghadap tanah.

Ekspresi Madelyne tidak berubah. Ia mengalihkan perhatiannya kepada Duncan.

"Apakah kebencianmu terhadap Louddon mencakup para pelayan juga? Apakah kau membunuh pria dan wanita yang tak berdosa karena mereka terikat oleh hukum untuk melayani kakakku?"

Sebelum Duncan bisa menjawab, Madelyne memunggunginya. Ia meraih tangan Simon dan menolong pria itu berdiri. "Aku pernah mendengar kalau baron Wexton adalah seorang pria yang terhormat, Simon. Berdirilah di sisiku. Kita akan menghadapinya bersama-sama, Sahabatku."

Menghadapi Duncan lagi, Madelyne menambahkan, "Dan kita akan lihat apakah lord ini seorang yang terhormat ataukah dia tidak berbeda dengan Louddon."

Tiba-tiba Madelyne sadar kalau ia sedang menggenggam belati di tangannya yang lain. Ia menyembunyikan benda itu ke balik punggungnya sampai ia merasakan robekan di lapisan jubahnya, lalu menyelipkan belati itu ke dalam, berdoa keliman jubahnya cukup kuat untuk menahan benda itu. Untuk menutupi aksinya, ia berteriak, "semua orang baik ini telah berusaha melindungi aku dari kakakku, dan aku lebih baik mati daripada melihatmu menyentuh mereka. Itu pilihanmu."

Suara Duncan dipenuhi amarah saat ia menjawab tantangan gadis itu. "Tidak seperti kakakmu, aku tidak memangsa yang lemah. Pergilah, Orang Tua, tinggalkan tempat ini. Kau boleh membawa yang lain bersamamu."

Para pelayan itu cepat-cepat mematuhi. Madelyne mengamati mereka berlari ke gerbang. Pertunjukan belas kasih pria itu mengejutkannya. "Dan sekarang, Baron, aku punya satu permintaan lagi. Kumohon, bunuh aku sekarang juga. Aku tahu aku bersikap pengecut karena memintanya, tapi penantian ini menjadi tak tertahankan lagi. Lakukan apa yang harus kau lakukan."

Madelyne yakin pria itu bermaksud membunuhnya. Duncan sekali lagi mendapati dirinya tertegun oleh ucapan gadis itu. Ia memutuskan bahwa Lady Madelyne adalah wanita paling membingungkan yang pernah ia temui. "Aku tidak akan membunuhmu, Madelyne," cetusnya sebelum menjauh dari gadis itu.

Gelombang kelegaan menerpa Madelyne. Ia percaya Duncan mengatakan yang sebenarnya. Pria itu terlihat sangat terkejut sewaktu Madelyne memintanya menuntaskan perbuatan yang mengerikan itu... aye, pria itu mengatakan yang sebenarnya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Madelyne merasa menang. Ia telah menyelamatkan nyawa Duncan dan akan hidup untuk menceritakannya.

Pertempuran telah selesai. Kuda-kuda telah dipelaskan dari istal, dan menyusul para pelayan melalui gerbang yang terbuka beberapa detik sebelum lidah api menghancurkan yang baru melahap kayu yang rapuh.

Medelyne tidak bisa memunculkan satu ons pun kemarahan atas penghancuran kastil kakaknya. Kastil itu tidak pernah menjadi rumahnya. Tidak ada kenangan bahagia di sini.

Tidak, tak ada perasaan marah. Pembalasan Duncan adalah ganjaran yang pantas atas dosa-dosa kakaknya. Keadilan sedang ditegakkan pada malam yang gelap itu oleh seorang barbar yang mengenakan pakaian ksatria seorang radikal menurut penilaian Madelyne, yang telah berani mengabaikan persahabatan kuat antara Louddon dengan Raja Inggris.

Apa yang sudah dilakukan oleh Louddon kepada Baron Wexton sehingga mengakibatkan pembalasan seperti ini? Dan berapa harga yang harus Duncan bayar atas tindakan gegabahnya ini? Apakah William II, setelah mendengar tentang serangan ini, akan menuntut nyawa Duncan? Berarti sang raja lebih cenderung mendukung Louddon jika ia memerintahkan tindakan itu. Konon, pengaruh Louddon atas sang raja tidak biasa; Medelyne pernah mendengar rumor bahwa mereka adalah teman spesial. Dan baru seminggu yang lalu Medelyne mengetahui apa arti sebenarnya dari desas-desus yang tak senonoh itu. Marta, istri kepala istal yang blak-blakan, sangat senang sekali mengungkapkan hubungan mereka yang menjijikan pada suatu malam, setelah wanita itu menegak terlalu banyak ale.

Madelyne tidak memercayainya. Ia merona dan menyangkal itu semua, memberitahu Marta bahwa Louddon tetap tidak menikah karena sang lady yang ia cintai telah meninggal. Marta mencemooh kepolosan Madelyne. Wanita itu akhirnya memaksa nonanya untuk mengakui kemungkinan tersebut.

Sampai malam itu, Madelyne tidak sadar kalau beberapa pria bisa bersikap intim dengan pria lainnya, dan kesadaran bahwa salah seorang dari mereka adalah Raja Inggris membuat segalanya semakin memuakkan. Kejijikannya memengaruhi fisiknya; Madelyne ingat ia memuntahkan makan malamnya, membuat Marta tertawa terbahak-bahak.

"Bakar kapelnya." Perintah Duncan terdengar di seluruh halaman, menarik benak Madelyne kembali ke masa sekarang. Ia cepat-cepat mengangkat roknya dan berlari menuju gereja, berharap ia masih punya waktu untuk mengumpulkan barang miliknya yang tak seberapa sebelum perintah tersebut dilaksanakan. Tak seorang pun yang sepertinya memperhatikan dirinya.

Duncan mencegat tepat ketika Madelyne mencapai pintu masuk samping. Pria itu menghantamkan kedua tangannya ke tembok, menghalangi Madelyne di kedua sisi. Madelyne terkesiap dan menoleh untuk menatap pria itu.

"Tidak ada satu pun tempat di mana kau bisa bersembunyi dariku, Madelyne."

Suara Duncan lembut. Ya Tuhan, pria itu terdengar nyaris bosan. "Aku tidak bersembunyi dari siapa pun," jawab Madelyne, mencoba menghilangkan amarah dari suaranya.

"Kalau begitu kau mau terbakar bersama kapelmu?" tanya Duncan. "Atau barangkali kau berpikir untuk menggunakan jalan rahasia yang kau ceritakan tadi."

"Bukan keduanya," jawab Madelyne. "Semua barang milikku ada di dalam gereja. Aku mau mengambilnya. Kau bilang kau tidak akan membunuhku dan aku ingin membawa serta barang-barangku dalam perjalananku."

Saat Duncan tidak menanggapi penjelasannya, Madelyne mencoba lagi. Akan tetapi, sulit baginya untuk membentuk pemikiran yang jelas, dengan Duncan yang menatapnya lekat-lekat. "Aku tidak akan meminta kuda darimu, hanya pakaianku dari balik altar."

"Kau tidak akan meminta?" Duncan membisikkan pertanyaannya. Madelyne tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap pertanyaan tersebut, atau terhadap senyuman yang kini pria itu berikan padanya. "Kau sungguh-sungguh berharap aku percaya kalau selama ini kau tinggal di gereja itu?"

Madelyne berharap ia memiliki cukup keberanian untuk memberitahu Duncan bahwa ia tidak peduli pada apa yang pria itu percayai. Oh Tuhan, ia seorang pengecut. Namun bertahun-tahun pelajaran yang menyakitkan untuk mengontrol perasaan-perasaannya yang sebenarnya menguntungkan dirinya sekarang. Ia menunjukkan ekspresi tenang kepada pria itu, dengan paksa mengesampingkan amarahnya. Bahkan, ia berhasil mengangkat bahu.

Duncan melihat percikan amarah tersulut di mata biru gadis itu. Sungguh suatu ejekan terhadap ekspresi damai di wajahnya, dan menghilang dengan begitu cepat, sehingga Duncan yakin ia tidak akan melihatnya andai tidak menatap gadis itu lekat-lekat. Gadis itu mengontrol dirinya dengan keahlian mengagumkan untuk ukuran wanita biasa.

"Jawab aku, Madelyne. Apa kau berharap aku akan percaya kalau selama ini kau tinggal di gereja itu?"

"Aku tidak tinggal di sana," jawab Madelyne ketika ia tidak tahan menghadapi tatapan tajam pria itu lebih lama lagi. "Aku hanya menyembunyikan barang-barangku sehingga aku bisa melarikan diri pada pagi hari."

Duncan mengernyit mendengar pernyataan Madelyne. Apakah gadis itu mengira Duncan gila hingga memercayai cerita konyol seperti itu? Tidak ada seorang wanita pun yang mau meninggalkan kenyamanan rumahnya untuk bepergian dalam bulan-bulan yang ganas ini. Dan ke mana tujuannya yang gadis itu ingin Duncan percayai?

Duncan membuat keputusan cepat untuk membuktikan kalau cerita Madelyne itu bohong, hanya untuk melihat reaksi gadis itu saat kebohongannya terungkap. "Kau boleh mengambil barang-barangmu."

Madelyne tidak ingin berdebat atas keberuntungannya. Ia yakin dengan memberikan izinnya, Duncan juga menyetujui rencananya untuk meninggalkan benteng ini. "Kalau begitu aku boleh meninggalkan benteng ini?" Ia menyemburkan asumsi tersebut sebelum bisa menahan diri. Dan demi Tuhan, betapa bergetarnya suaranya.

"Aye, Madelyne, kau boleh meninggalkan benteng ini," Duncan mengiyakan.

Sebenarnya, Duncan tersenyum kepadanya. Madelyne khawatir melihat perubahan dalam sikap pria itu. Ia mendongak menatap Duncan, mencoba membaca pikiran pria itu. Usaha sia-sia, Madelyne seketika menyadari. Duncan menutupi perasaannya dengan sangat baik, terlalu baik bagi Madelyne untuk memutuskan apakah pria itu mengatakan yang sebenarnya atau tidak.

Madelyne merunduk ke bawah lengan pria itu dan berlari di sepanjang koridor menuju ke bagian belakang gereja. Duncan mengikuti tepat di belakangnya.

Tas dari kain goni itu berada tepat di tempat Madelyne menyembunyikannya kemarin. Madelyne mengangkat bundelan itu ke dalam pelukannya lalu berbalik untuk menatap Duncan. Ia hendak mengucapkan terima kasih, tapi bimbang sewaktu melihat ekspresi terkejut di wajah pria itu lagi.

"Kau tidak percaya padaku?" tanya Madelyne. Suaranya terdengar sama ragunya dengan ekspresi pria itu.

Duncan menjawab dengan kernyitan. Ia berbalik dan berjalan keluar dari gereja. Madelyne mengikutinya. Kedua tangannya hampir gemetar hebat sekarang. Madelyne memutuskan horor dalam pertempuran yang ia saksikan tadi baru saja mengendap dalam benaknya. Ia melihat begitu banyak darah, begitu banyak mayat. Perut dan pikirannya memberontak, dan ia hanya bisa berdoa ia mampu menjaga ketenangannya hingga Duncan dan prajuritnya pergi.

Pada saat Madelyne keluar dari kapel, obor-obor yang berkobar dilemparkan ke dalam bangunan itu. Lidah apinya bagaikan beruang yang kelaparan, melahap bangunan tersebut dengan kekuatan bengis.

Madelyne memandang api itu cukup lama, sampai ia sadar ia sedang memegang tangan Duncan erat-erat. Ia buru-buru menjauh dari pria itu.

Madelyne berpaling dan melihat kuda para prajurit diarahkan menuju halaman kastil bagian dalam. Hampir semua anak buah Duncan sudah menunggangi kuda-kuda mereka dan sedang menunggu perintah darinya. Di tengah-tengah halaman berdiri seekor monster yang paling luar biasa, seekor kuda jantan putih yang sangat besar, nyaris dua puluh sentimeter lebih tinggi dari kuda-kuda lainnya. Si squire berambut pirang berdiri tepat di depan kuda tersebut, berusaha tanpa terlalu berhasil untuk menggenggam tali kekang kuda itu. Hewan yang penuh semangat itu pasti milik Duncan, seekor monster yang sesuai dengan perawakan dan status sang baron.

Duncan memberi isyarat pada Madelyne agar pergi ke kuda jantan itu. Madelyne mengernyitkan dahi darena perintah pria itu, tapi secara insting mulai berjalan ke arah kuda besar itu. Semakin ia mendekat, semakin takut dirinya. Di sudut pikirannya yang kacau, sebuah pikiran gelap mengkristal.

Ya Tuhan, dirinya tidak akan ditinggalkan.

Madelyne menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia berkata dalam hati bahwa ia hanya terlalu bingung untuk berpikir jernih. Tentu saja sang baron tidak akan membawa serta dirinya. Lagi pula, ia tidak cukup penting untuk diperhatikan.

Madelyne memutuskan ia masih perlu mendengar penolakan pria itu. "Kau tidak berniat untuk membawaku bersamamu, kan?" ujarnya. Suaranya terdengar tegang, ia tahu ia tidak mampu mengenyahkan ketakutan dari suaranya.

Duncan menghampiri Madelyne. Pria itu mengambil tasnya dan melemparkan benda itu kepada si squire. Akhirnya Madelyne mendapatkan jawabannya. Ia mendongak menatap Duncan, mengawasi pria itu yang dengan cepat menaiki kudanya, kemudian mengulurkan tangannya kepada Madelyne.

Madelyne mulai berjalan mundur. Semoga Tuhan menolongnya, ia akan menentang pria itu. Ia tahu jika dirinya mencoba menaiki kuda iblis pria itu, ia akan mempermalukan dirinya sendiri dengan cara pingsan, atau lebih buruk lagi, menjerit. Sesungguhnya, ia lebih memilih mati daripada dipermalukan.

Ia lebih takut pada si kuda jantan ketimbang pada sang baron. Madelyne sangat kurang dalam pendidikannya, dan tidak punya satu pun keterampilan berkuda yang paling mendasar. Memori tentang masa kecilnya, ketika Louddon menggunakan beberapa pelajaran berkuda sebagai alat untuk menimbulkan sikap patuh, masih menghantuinya sesekali. Sebagai wanita yang sudah dewasa, ia sadar ketakutannya tidak masuk akal, namun anak kecil rewel dalam dirinya masih memberontak dengan rasa takut yang keras kepala dan tidak logis.

Madelyne mundur selangkah lagi. Kemudian ia pelan-pelan menggeleng, menolak bantuan Duncan. Keputusannya sudah bulat; ia akan memaksa Duncan membunuhnya jika memang itu niat pria itu, tapi ia tidak akan menaiki kuda jantan itu.

Tanpa memikirkan kemana dirinya akan pergi, Madelyne berbalik dan berjalan menjauh. Ia gemetar hebat, sehingga membuatnya tersandung beberapa kali. Kepanikan bangkit di dalam dirinya sampai ia nyaris dibutakan oleh perasaan itu, namun ia terus mengarahkan pandangannya ke tanah dan terus berjalan, selangkah demi selangkah yang penuh tekad.

Madelyne berhenti ketika sampai di dekat mayat salah satu prajurit Louddon yang sudah termutilasi. Wajah pria itu rusak dengan mengerikan. Pemandangan itu ternyata menjadi titik kehancuran madelyne. Ia berdiri di sana, di tengah-tengah pembantaian, menatap prajurit yang sudah tewas itu, sampai ia mendengar teriakan tersiksa bergema di kejauhan. Suara itu menyayat hati. Madelyne menempelkan kedua tangannya di telinganya untuk mencoba menghalangi suara tersebut, akan tetapi tindakan itu tidak membantu. Suara yang mengerikan itu terus dan terus terdengar.

Duncan memacu kudanya pada saat Madelyne mulai menjerit. Ia sampai di sisi Madelyne, mencondongkan tubuh ke bawah, dan dengan mudah mengangkat gadis itu ke dalam pelukannya.

Gadis itu berhenti menjerit saat Duncan menyentuhnya. Duncan mengatur jubahnya yang berat sampai tawanannya tersebut tertutupi seluruhnya. Wajah Madelyne bersandar di mata rantai baja pada tunik besi, namun Duncan menyisihkan waktu dan perhatian untuk menarik sebagian jubah Madelyne ke depan supaya pipi gadis itu menempel pada bagian lembut dari lapisan kulit domba.

Duncan tidak mempertanyakan keinginannya untuk bersikap lembut kepada gadis itu. Gambaran Madelyne yang sedang berlutut di hadapannya dan membawa kakinya yang nyaris beku ke bawah gaun untuk menghangatkannya terlintas dalam pikirannra. Itu adalah tindakan yang sungguh baik hati. Ia tidak dapat melakukan yang kurang dari itu untuk Madelyne sekarang. Bagaimanapun juga, Duncan-lah satu-satunya orang yang bertanggung jawab karena menyebabkan Madelyne merasakan penderitaan ini.

Duncan menarik napas panjang. Ini tidak bisa diubah lagi. Sial, awalnya semua ini berjalan semudah rencananya. Serahkan kepada wanita untuk mengacaukannya.

Ada banyak hal yang harus dievaluasi ulang sekarang. Kendati Duncan tahu Madelyne tidak menyadarinya, gadis itu memang telah memperumit masalah. Ia harus memilah-milah segala hal, batin Duncan. Rencananya kini telah berubah, entah ia suka atau tidak, sebab ia tahu dengan keyakinan yang membuatnya takjub sekaligus marah, bahwa ia tidak akan pernah melepaskan Madelyne.

Duncan mengetatkan pegangannya di tubuh tawanannya dan akhirnya memberi sinyal untuk berangkat. Ia tetap berada di belakang untuk membentuk akhir dari prosesi yang panjang itu. Saat prajuritnya yang terakhir sudah meninggalkan area tersebut, dan hanya Gilard dan si squire muda yang mengapit di sisinya, Duncan mengambil beberapa menit yang berharga untuk menatap kehancuran itu.

Madelyne menelengkan kepalanya ke belakang agar dapat melihat wajah Duncan dengan jelas. Duncan pasti merasakan Madelyne memandangnya, sebab ia pelan-pelan menunduk hingga matanya menatap langsung ke dalam mata gadis itu.

"Mata dibalas mata, Madelyne."

Madelyne menunggu pria itu untuk mengatakan lebih banyak lagi, untuk menjelaskan apa yang sudah kakaknya lakukan hingga menyebabkan pembalasan seperti ini, tapi Duncan hanya terus memandangnya, seolah-olah memaksanya untuk memahami. Duncan tidak akan membuat alasan apa pun atas kekejaman yang ia lakukan. Madelyne mengerti itu sekarang. Kemenangan tidak membutuhkan pembenaran.

Madelyne berpaling untuk melihat reruntuhan. Ia teringat pada salah satu kisah yang diceritakan oleh pamannya, Bapa Berton, tentang Perang Punisia pada zaman dahulu kala. Ada banyak kisah yang diwariskan, sebagian besar dari kisah-kisah itu membuat gereja yang sui mengernyitkan dahi, namun Bapa Berton tetap menceritakan kisah-kisah tersebut kepada Madelyne, mendidiknya dalam cara yang paling tidak bisa diterima, bahkan patut di hukum dengan disiplin yang keras seandainya para pemimpin gereja mendapatkan petunjuk sedikit saja tentang apa yang sedang pastor lakukan.

Pembantaian yang kini Madelyne saksikan mengingatkannya pada kisah Kartago. Dalam perang ke tiga dan terakhir antara kekuatan besar, sang pemenang membinasakan kota secara menyeluruh ketika ketika Kartago jatuh. Apa yang tidak dibakar hingga menjadi abu, maka dikuburkan di bawah tanah yang subur. Tak satu pun batu yang dibiarkan berada di atas batu yang lain. Sebagai tindakan terakhir, sawah-sawah ditaburi garam supaya tidak ada yang tumbuh di sana pada masa yang akan datang.

Sejarah terulang kembali malam ini; Louddon dan segala yang menjadi miliknya telah dirusak.
"Delenda est Carthago," bisik Madelyne kepada dirinya sendiri, mengulangi sumpah yang diucapkan jauh di masa lampau oleh Cato, seorang tetua pada zaman dahulu kala.

Duncan terkejut karena ucapan Madelyne. Ia bertanya-tanya bagaimana gadis itu mendapatkan pengetahuan semacam itu. "Aye, Madelyne. Seperti Kartago, kakakmu harus dibinasakan."

"Dan apakah aku milik Loud... Kartago juga?" tanya Madelyne, menolak untuk menyebutkan nama kakaknya.

"Nay, Madelyne, kau bukan milik Kartago."

Madelyne mengangguk lalu memejamkan matanya. Ia terkulai ke dada Duncan.

Duncan menggunakan tangannya untuk mengangkat dagu Madelyne, memaksa gadis itu untuk menatapnya lagi.

"Kau bukan milik Louddon, Madelyne. Sejak saat ini, kau adalah milikku. Kau mengerti?"

Madelyne mengangguk.

Duncan melepaskan dagu Madelyne ketika ia melihat bagaimana dirinya telah membuat gadis itu ketakutan. Ia memandang Madelyne sesaat lagi dan perlahan-lahan, aye, dengan lembut, menarik jubahnya ke atas wajah gadis itu.

Dari tempat persembunyiannya yang hangat di dada pria itu, Madelyne berbisik, "Kurasa aku lebih suka tidak menjadi milik siapa pun."

Duncan mendengar ucapan Madelyne. Senyum perlahan melintasi wajah Duncan. Apa yang Lady Madelyne inginkan sama sekali tidak penting bagi Duncan. Aye, madelyne miliknya sekarang, tak peduli gadis itu menginginkannya atau tidak.

Lady Madelyne telah menyegel nasibnya sendiri.

Gadis itu telah menghangatkan kaki Duncan.



Next
Back
Synopsis