Pada saat Eadyth dengan enggan meninggalkan kamar tamunya, senja sudah menyelubungi keremangan koridor yang tertutup itu.
Partikel debu beterbangan di aliran cahaya yang sempit yang datang dari celah berbentuk panah di ujung koridor. Sebaliknya, bayangan mengerikan yang bergerak di cekungan dinding batu itu menghantuinya, mengingatkannya pada sejarah panjang tragedi yang menghantui rumah ini selama tiga generasi.
Akankah nasibnya sebagai nyonya rumah Ravenshire sama menyedihkannya?
Sebenarnya, Eadyth mengingatkan dirinya sendiri, sejarah Ravenshire tak lebih sial dari banyak manor lain di belahan utara yang luas, termasuk Hawk's Lair. Northumbria selalu menjadi tulang yang diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan yang berperang, yang terbentang di antara kerajaan Saxon di selatan dan tanah bangsa Skotlandia, Cumbria, dan Stracthclyde Welsh di utara dan barat laut.
Dan orang Northumbria sendiri! Keturunan dari campuran berbagai ras ini, Norse dan Saxon bergabung membela kemerdekaan mereka dengan bengis. Mereka senang memprovokasi keturunan asli Saxon yang sangat angkuh dengan minum terlalu banyak, berbicara dengan aksen yang kasar, dan tak mau mengikuti standar masyarakat.
Terkadang para pemberontak Northumbria ini berhasil dalam pemberontakannya. Tapi tidak akhir-akhir ini, Eadyth mengingatkan dirinya. Oh, tidak. Tidak akhir-akhir ini. Sejak pertempuran Brunanburh sembilan tahun lalu, di mana ribuan prajurit Viking, Skotlandia, dan Welsh tewas dalam usaha menjatuhkan penindasan tiran. Northumbria tak pernah benar-benar pulih.
Eadyth mendengar suara berisik di belakangnya dan nyaris terperanjat. Dengan terkejut, ia menekankan sebelah jarinya di sebelah dadanya untuk meredakan jantungnya yang berdegup kencang, lalu terkekeh, menyadari bahwa itu suara Prince yang mengikutinya, binatang itu mengibaskan ekornya dengan senang.
Eadyth melanjutkan langkahnya menuju aula utama, berharap sekali lagi bahwa ia bisa menghindari lord dari kastil muram ini dan bersembunyi dalam kepompong kamarnya yang aman sampai pagi. Tapi Eadyth tahu ia harus menyingkirkan ketakutan bodohnya itu dan menuruti permintaan Eirik untuk merayakan pertunangan mereka. Calon suaminya sudah mengutus tiga orang untuk mengingatkan bahwa Eadyth sudah terlambat untuk bergabung dengannya di meja utama.
Pesan terakhir sudah begitu terang-terangan, kalau kejujuran Godric dalam menceritakan ulang bisa dipercaya. "Katakan pada wanita itu untuk menyeret bokongnya kemari, atau aku akan membopongnya di bahuku. Atau lebih dari itu, aku akan datang merayakan pernikahan dengan caraku sendiri, dan itu bukan dengan segelas minuman."
Dasar tak tahu adat!
Eadyth sudah berusaha meyakinkan Girta untuk turun dan memberitahu Eirik ia menderita kram perut, tapi pengasuh setianya itu keras kepala, menolak untuk berpartisipasi dalam penipuan Eadyth.
"Sepertinya kau akan mempermalukan Master dengan berpakaian seperti itu untuk perjamuan pertunangan," Girta berdecak tak setuju sebelum ia keluar. "Dan lebih buruk lagi kau mempermalukannya dengan datang terlambat. Itu tamparan menghina baginya. Setidaknya kau bisa, mencuci bau menyengat itu dari rambutmu. Ya Tuhan, Eadyth, bahkan aku tak tahan berdekatan denganmu lebih dari beberapa saat."
Dengan kesal, Girta meninggalkannya beberapa saat lalu, sepertinya untuk melihat persiapan makanan, tapi lebih tepatnya untuk melarikan diri dari suasana hati Eadyth yang buruk.
Andai saja wanita lebih punya pilihan dalam hidup.
Tapi Eadyth tahu benar bahwa, jika suaminya sejelek katak sekalipun, Gereja dan hukum Saxon mengatakan bahwa seorang istri harus tunduk pada suaminya. Tunduk! Kata yang sangat buruk. itulah kenapa wanita seperti dirinya terpaksa berdalih untuk melawan perhatian dari pria yang hanya memikirkan syahwat.
Walaupun demikian, kekhawatiran menghantam ketenangannya yang rapuh. Eadyth menderita harus terus berpura-pura menjadi tua dan jelek, walaupun ia punya alasan yang kuat untuk melakukannya.
Akankah Eirik menganggap asalannya masuk akal?
Pasti tidak, Eadyth menjawab sendiri. Betapa ia tahu bahwa pria memuja harga diri mereka seperti organ tubuh tambahan, dan sedikit saja yang dilakukan wanita untuk membuat mereka tampak kurang jantan bisa sangat menyinggung mereka. Eadyth merasakan -tidak, ia tahu tanpa keraguan- bahwa Eirik akan sangat, sangat marah ketika tahu bahwa Eadyth sudah tak jujur padanya. Ia tak akan melihat lelucon dalam penyamarannya, dan semakin lama Eadyth membodohinya, semakin besar kemarahannya nanti.
Tapi apa yang bisa dilakukannya? Mengaku sebelum pernikahan dan mengambil resiko Eirik membatalkan kesepakatan pertunangan? Tidak, ia harus meneruskan sandiwaranya untuk setidaknya tiga minggu lagi. Lalu ia akan memikirkan cara yang cerdas untuk membuka jati dirinya. -satu cara yang tak akan menjatuhkan harga diri Eirik dalam hal apapun.
Begitu ia menghadiri acara malam ini, ia akan kembali ke Hawk's Lair sampai pernikahan. Bahkan saat itu -Eadyth memutuskan- akan memberitahu Eirik usianya yang sebenarnya, tapi tak akan melakukan apa pun untuk mempercantik penampilannya di mata Eirik, tak satu hal pun untuk menarik dorongan hasrat pria itu. Itu bukanlah termasuk ketidakjujuran, Eadyth berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Yang perlu dilakukannya hanyalah melewati malam ini.
Oh Tuhan, bantulah aku, dan aku bersumpah untuk menundukkan caraku yang angkuh. Aku tak akan lagi membuat lelucon tentang Bapa Benedict, atau memandang rendah wanita yang lemah. Atau...
Eadyth melihat kesalahannya begitu memasuki aula utama, di mana para pria menggerutu dengan tak sabar menunggu kedatangannya sebelum perjamuan bisa dimulai. Ia sudah melupakan satu hal yang besar. Dengan menunda waktu, ia memberikan Eirik dan para ksatrianya terlalu banyak waktu untuk minum ale sementara perut mereka kosong. Karena kesal dengan keterlambatannya, suasana hati mereka pun terdorong untuk menggodanya dengan komentar kasar saat ia melintas. Dengan wajah merah padam, Eadyth melewati suara siulan mereka, dan gelak tawa mengejek terdengar sampai ke ujung panggung.
"Si Gagak menunggumu dengan tak sabar, M'Lady," seru seorang prajurit muda. "Maukah kau membelai bulu-bulunya yang kasar dengan lembut?"
"Bukan, hanya satu bulu di antara selangkangannya," sahut seorang prajurit tua dengan terkekeh. Itu adalah ksatria yang sama yang ditegurnya karena bau badan kemarin malam.
Para pria lain terbahak-bahak mendengar olok-olok itu.
Seorang ksatria tampan berambut pirang menghalangi jalannya sebentar, sepertinya para pelayan dari pihak keluarga Viking Eirik. Semua pria itu sudah mabuk ke tahap nyaris ambruk, termasuk si tampan Norseman yang sempoyongan ini. Sebelum Eadyth melewatinya, keparat yang arogan itu bersendawa keras, lalu bertanya, cukup keras untuk didengar semua temannya, "Nyonya penjaga lebah, apakah kau akan membiarkan tuan mencicipi madumu malam ini?" lalu ia menyentakkan tubuh ke belakang tertawa keras-keras pada leluconnya sendiri.
"Tidak," yang lain masih menyahut dengan kasar saat ia melintas dengan cepat, "dia akan mengajari Lord kita cara membuat madunya sendiri."
"Bzzz. Bzzz. Bzzz," mereka semua mulai bersorak sambil mengetukkan gelas ke meja mereka.
Eadyth akhirnya bisa melewati mereka semua, dengan dagu terangkat tinggi dan mata berlinang karena malu. Di mana Girta, satu-satunya sekutunya di sini? Dan kenapa Eirik tak menghentikan lelucon kasar mereka? Sebagai tunangannya, seharusnya Eirik melindunginya dari hinaan semacam itu. Benar, seharusnya ia melakukannya, Eadyth berseru dalam hati.
Penghinaan di masa lalu terbersit kembali di benaknya, kenangan yang ia pikir sudah lama dilupakannya. Betapa naifnya ia pada masa itu! Eadyth tak pernah berharap teman-temannya memaafkan kesalahannya karena terlibat dengan Steven, tapi kekejaman mereka sudah keterlaluan, melampaui semua yang pernah dialaminya dalam hidupnya yang terlindungi. Tak heran ia sudah menutup rapat dirinya selama bertahun-tahun ini!
Eadyth mengangkat dagunya menantang dan tak mau terlihat terluka. Ia tak mau lagi membiarkan orang seperti itu menyakitinya.
Ia mengerjapkan matanya, mencari Eirik melalui ruangan aula utama yang penuh asap dan membuat perih mata. Yang benar saja, sesuatu harus dilakukan saat ia memegang kendali pengurusan rumah itu seperti memperbesar cerobong asap, atau menemukan ventilasi yang lebih baik, putus Eadyth, lalu menyeka matanya dengan punggung tangan. Pasti tak tertahankan di bulan-bulan musim dingin.
Pandangannya bersitatap dengan tunangannya saat itu, dan ia tahu benar kenapa Eirik tak membelanya. Walaupun pria itu bersandar dengan santai di kursi bersandaran tinggi di panggung dan mengetuk-ngetukan ujung jarinya dengan malas di meja, rahangnya yang keras dan matanya yang berkilat menampakkan kemurkaan. Edyth sedikit terhuyung tapi kemudian melanjutkan dengan tabah menaiki tangga menuju panggung.
Oh, ya Tuhan.
"Maafkan keterlambatanku," kata Eadyth langsung begitu ia akhirnya berdiri di samping Wirik. "Aku mengalami sedikit gangguan di perutku, My Lord."
Eirik mendongak memandangnya dengan malas dengan mata yang menyipit, bahkan tak mau berdiri, lalu mengatakan sesuatu yang sangat buruk bahkan kenalan dagang Eadyth yang paling liar pun tak berani mengatakan di depannya.
Eadyth menegang. "Apakah membuatmu merasa lebih baik, sama sekali tak menghormati tunanganmu, sama seperti ksatriamu?" keluh Eadyth dengan ketus. Ia menunjuk dengan muak ke bagian bawah aula di mana anak buah Eirik memandangi mereka, masih mengeluarkan komentar-komentar kotor atau hanya menirukan suara dengungan. "Aku mungkin kadang bicara terlalu blak-blakan, tapi aku tak terbiasa menghadapi parlakuan yang begitu kasar."
Setidaknya, tidak akhir-akhir ini. Terutama sejak aku jarang meninggalkan rumahku.
"Dan bagaimana dengan sikap tak sopanmu memperlakukanku dan para ksatriaku yang mengikuti standarku? Penghinaan pada pertunangan ini jelas sekali dengan menolak bersulang dengan kami." Eirik mengangkat bahu. "Kau memaksa kami bersulang sendiri."
Eirik mengangkat gelasnya, menghabiskan isinya dalam sekali tegukan panjang, dan Eadyth menyadari bahwa Eirik sudah mengangkat gelasnya lusinan kali sambil menunggu kedatangannya.
Oh, Tuhan! Eirik yang sadar saja sudah cukup sulit baginya untuk dihadapi.
Eadyth melihat tatapan Wilfrid saat ia duduk disebelah tuannya, yang memandangnya dengan sorot mata kasihan. Eadyth menunduk malu, menyadari sepenuhnya bagaimana rasanya direndahkan dihadapan orang banyak. Ia tidak bermaksud mempermalukan Eirik di depan anak buahnya. Hanya saja ia takut Eirik mengetahui penyamarannya. Dan, demi Tuhan, dalam suasana hatinya saat ini, tampaknya Eirik akan segera mencekik lehernya seperti ayam secepat ia menikahinya.
"Kau bahkan tak mau repot berdandan untuk acara ini," Eirik menegurnya lebih lanjut, memindai pakaiannya dengan kesal.
Eirik mandi dan merapikan kumisnya. Ia mengenakan tunik dan jubah hitam yang usang tapi dihiasi dengan benang emas dan diikat di pinggangnya dengan sabuk rantai emas yang indah. Mungkin ia tak semiskin yang dikira Eadyth. Ia menunduk memandangi dirinya sendiri dan menyadari betapa buruk penampilannya, berdiri di samping Eirik.
"Tidak adil menegurku karena pakaianku," serunya. "Aku tak membawa pakaian yang lain, dan mana mungkin aku tahu kau akan segera setuju dengan lamaranku?"
"Benar juga."
Eadyth menguatkan dirinya untuk ditolak. Mengasihani diri sendiri adalah hal yang jarang ditunjukannya, dan ia tak mau menyerah sekarang. Ketika merasa emosi
Eirik sudah terkendali, ia bertanya dengan tenang, "Apakah kau akan memutuskan pertunangan karena tindakanku yang sembrono?" ia memejamkan matanya sejenak dengan lelah. Apakah ia sampai pada usahanya yang sudah sejauh ini hanya untuk gagal? Ia memaksa dirinya menghadapi Eirik, menawarkan, "Aku akan membebaskanmu dari sumpahmu kalau itu yang kau inginkan."
Eirik mengamati saat Eadyth salah tingkah, membentangkan jari-jari tangannya dengan gugup di wajahnya yang ditundukkan. Eirik tampaknya dengan serius mempertimbangkan tawaran Eadyth, lalu mengangkat bahunya.
"Apa yang kuinginkan sudah lama tak lagi penting. Dan aku sudah memberitahumu sebelumnya, aku tak melanggar sumpahku."
"Tapi aku..."
Eirik mengangkat sebelah tangannya, menghentikan kata-kata Eadyth. "Mari kita memahami dari awal. Aku tak akan tinggal diam dengan sikap keras kepalamu sebagai seorang istri. Aku bukan tiran, tapi aku tak bisa menolerir istriku yang menentangku terus-menerus. Pertarungan kehendak bukanlah visiku tentang kehidupan pernikahan. Aku sudah mengalami pertarungan yang lebih dari cukup dalam hidupku. Kalau ini jalur yang kau inginkan untuk pernikahan kita, aku tak menginginkannya. Mari kita akhiri pernikahan ini sekarang."
Eadyth menunduk dengan menyesal. Bagaimana mungkin ia mengabaikan kalau pria sombong ini biasanya sangat sensitif? Seharusnya Eadyth menyadari bahwa hanya dengan tampak gusar sekalipun di malam pertunangan mereka akan merendahkan Eirik di mata anak-anak buahnya.
"Aku salah telah membuang-buang waktu. Sebenarnya aku takut." Well, itu benar adanya, namun dalam satu sisi, Eadyth mengelak. Ia memang takut, tapi untuk alasannya sendiri.
Eirik tampaknya melunak saat itu dan memegang lengannya. "Kau tak punya alasan untuk takut padaku, Eadyth. Selama kau jujur padaku, aku tak akan menyakitimu."
Jantung Eadyth berhenti sejenak mendengar kata-kata itu. Oh, Tuhan, Eirik menuntut kejujuran -satu hal yang tak bisa diberikan Eadyth pada saat ini. Ia tak suka pada penipuan, dan Eadyth mempertimbangkan untuk membuka kedoknya di hadapan Eirik. Tapi lalu ia memikirkan John di tangan ayahnya yang jahat dan tahu ia tak bisa mengambil resiko.
Eirik tiba-tiba berdiri dan menyerukan para ksatrianya untuk diam dengan mengangkat lengannya. Ia menunggu perhatian mereka tanpa mengatakan sepatah kata pun. Akhirnya, ia mengumumkan dengan suara yang dalam dan berwibawa, "Para pendukung setiaku, aku akan menghadirkan di hadapan kalian tunanganku, Lady Eadyth of Hawk's Lair."
Para anak buahnya berdiri dengan gerakan cekatan, meskipun mereka sedang mabuk. Ketika beberapa masih melontarkan komentar-komentar tak senonoh, Eirik mengangkat tangannya, menuntut keheningan sepenuhnya. Lalu memerintah, "Aku akan meminta kalian untuk memberikan kesetiaan yang sama yang kalian berikan padaku. Dan kalian akan menunjukkan hormat kalian padanya sebagai Lady of Ravenshire."
Eirik memanggil anak buahnya satu per satu untuk maju, mengenalkannya pada Eadyth, lalu berdiri dengan tenang sementara setiap orangnya bersumpah setia pada Eadyth. Eadyth melirik memandang Eirik dengan tatapan berterima kasih, tapi pria itu bahkan tak melihat ke arahnya. Sejujurnya, sikap Eirik ini bukanlah merupakan bantuan untuk Eadyth, tapi sebagai lord yang meminta rasa hormat yang layak didapatkan dari anak buahnya.
Beberapa kata yang mereka ucapkan nyaris tak terdengar, mengingat kondisi mereka yang mabuk, dan Ignold, seorang pejuang bertubuh kekar yang bau badan, dengan lancangnya berani mengedipkan mata pada Eadyth saat ia selesai memperkenalkan diri.
Sejak saat itu, suasana malam itu semakin tidak menyenangkan. Walaupun peran Girta dalam mempersiapkan perjamuan yang tak disangkanya mewah, semua hidangan terasa bagaikan abu bagi Eadyth dan ia nyaris tak bisa menelan melewati gumpalan kecemasan tenggorokannya. Ia terus menerus gugup, seperti sakit gigi yang terus berdenyut, dan ia bergeser gelisah di tempat duduknya setiap kali Eirik memandang ke arahnya, takut kalau pria itu akhirnya akan mengetahui penyamarannya. Ia tak benar-benar bisa bernapas sampai mereka berada di jalan menuju Hawk's Lair fajar keesokan harinya.
Tapi Eadyth tahu ia tak bisa beristirahat dengan tenang. Ia kini punya tiga minggu untuk mempersiapkan pernikiahannya, dan pada saat itulah Eirik akhirnya mengetahui penyamarannya.
Semakin dalam dan dalam...
"Kau kesal pada kakakku?"
"Kesal? Lebih tepatnya marah yang membuat mata membelalak, napas berdesis, dan tangan mengepal," kata Eadyth datar pada Tykir, yang duduk di sebelahnya di panggung pada perjamuan pernikahannya tiga minggu kemudian. Adik Eirik itu muncul tak terduga di kapel Ravenshire pagi itu, menimbulkan kericuhan di tempat upacara pernikahan.
Tapi Tykir bukan satu-satunya tamu tak terduga. Puluhan bangsawan bersama istri dan pelayan mereka memadati kapel kecil itu dan kini memenuhi aula. Demi St. Bridiet. Hanya saja Eadyth tak butuh -lebih banyak saksi mata akan tipu dayanya. Bahkan Uskup Agung Wulfstan yang berpengaruh dalam hal politik dan rombongan pendetanya datang dari Jorvik untuk melakukan pemberkatan. Tentunya pendeta desa biasa cukup untuk ikatan tanpa cinta ini.
Eadyth mengibaskan tangannya dengan muram. Demi Maria! Entah bagaimana Eirik bahkan sempat menutup meja panjang dengan kain putih. Gelas-gelas perak yang mengkilat dan kain lap tangan kecil menghiasi setiap sela tempat yang diperuntukan untuk membersihkan jari-jari di sela-sela makan. Dan barisan hidangan yang melimpah, well, Eirik pasti sudah menghabiskan koin terakhirnya untuk membuat pesta yang terlalu berlebihan ini, Eadyth bergumam sendiri.
"Eirik tahu aku suka upacara yang sepi, bukan perayaan yang meriah seperti ini," Eadyth mengeluh keras-keras.
Tykir menyeringai.
Tuhan, apa ketampanan yang melelehkan tulang sudah menurun dalam keluarga Eirik? Ia harus menyembunyikan semua gadis cantik yang sudah berusia di atas empat belas tahun di rumah itu. Oh, Tykir berbeda dengan Eirik, tapi pemuda itu punya daya tarik liarnya sendiri. Eirik mempunyai rambut hitam dan mata biru pucat, sementara adiknya adalah seorang Viking sejati dengan rambut pirang panjang sampai ke bahunya, mata berwarna coklat yang begitu terang sehingga nyaris terlihat keemasan, kulit perunggu terbakar matahari hasil dari mengarungi lautan, dengan tubuh tegap dan jangkung yang siap tempur, dan senyuman yang bisa memikat seekor naga. Bahkan lebih buruknya, si bengal ini mengepang rambut indahnya ke satu sisi, menampakkan sebelah telinga yang dihiasi dengan anting berbentuk petir.
Ketika Eadyth mengangkat satu alisnya dengan tertarik, Tykir menggoyangkannya sedikit dengan jari telunjuknya. "Ini warisan dari ayahku. Eirik mendapatkan bros naga. Aku mendapatkan anting ini."
Eadyth mau tak mau tersenyum dan menggeleng mengejek. "Kau sama selengeannya dengan kakakmu."
"Kakakku, selengean? Tidak, kau tak begitu mengenalnya jika kau berpikir begitu. Dia selalu serius dan sedingin batu, bahkan saat baru berusia sepuluh tahun dan memilih tinggal di istana Saxon King Athelstan." Ia mencolek pipi Eadyth dan berkomentar, "Kau menikahi saudara yang salah kalau sifat ceria sepertiku yang kau cari dalam diri seorang suami."
Eadyth menertawakan tingkah Tykir yang penuh canda, tapi ia tak senang ketika melayangkan pandangan ke sisi kanannya di mana Eirik duduk memunggunginya. Pria itu sedang berbicara serius dengan Earl Orm, tuan tanah kaya raya dari Nothumbria, keturunan Norse yang estatnya menyatu dengan estat Eirik di selatan. Pria itu datang dengan putri setengah Saxonnya, Aldgyth, yang pernah ditemui Eadyth dulu saat ia pergi ke istana. Aldgyth adalah janda Anlaf Guthfrithsson, yang pernah menjadi raja Norse dan Northumbria dalam waktu singkat sebelum kematiannya. Bergabung dalam pembicaraan itu juga Anlaf Sigtryggsson, yang pernah menjadi raja di seluruh Dublin, dan calon penguasa Norse dari Northumbria.
Ya Tuhan! "Aku kaget dia tidak sekalian mengundang raja Norwegia. Atau King Edmund," gumam Eadyth dengan sarkastik.
"Paman Haakon sedang berburu babi hutan minggu ini jadi tak bisa datang," kata Tykir santai, lalu tersenyum jahil, tampaknya senang dengan reaksi Eadyth yang terkesiap. "Dan Edmund, well, aku tak akan datang ke sini kalau dia ada di sini... keparat Saxon itu."
Eadyth menghembuskan napasnya dengan kencang dan muak.
"Kau kesal karena Eirik menghargaimu dengan cara mengundang teman-temannya pada perjamuan pernikahan kalian?"
"Ya, benar. Dia mempermalukanku dengan berpura-pura bahagia dengan pernikahan kami. Semua orang tahu, hanya dengan melihat bahwa kami tak serasi, bahwa pasti ada alasan tersembunyi kenapa dia mau menikahi wanita sepertiku."
"Kenapa begitu?"
"Oh, yang benar saja! Lihat kami. Dia berlagak seperti seekor gagak yang bangga dengan kemegahannya. Dan aku?" Eadyth menunduk memandang dirinya sendiri dengan merendahkan. "Aku, temanku, hanya seekor elang."
Tykir menelengkan kepalanya dengan ekspresi bertanya dan mengulurkan satu jarinya ke arah tudung kepala Eadyth yang unik yang ia desain untuk menyerasikannya dengan pakaian pernikahannya. Girta membantunya membuat tunik dan jubahnya dari kain berwarna ungu tua, lalu menghiasi tepiannya dengan benang perak yang berdesain bunga lili yang saling bertautan. Gelang perak kecil menahan tudung kepala yang terbuat dari lapisan ganda kain transparan yang digunakannya untuk masker baju antilebahnya, yang dicelup dengan warna ungu pucat.
Ia tahu Eirik akan malu jika ia mengenakan pakaian biasanya jadi ia harus berkompromi. Ia bahkan mencuci minyak babi dari rambutnya, walaupun ia menatanya ke belakang di bawah tudung putih dengan minyak tak berbau yang dibuat Girta untuknya.
Eadyth mencoba menepiskan jari Tykir dari tudungnya. Ia sudah berlatih di depan logam mengilap dua minggu belakangan ini bagaimana cara menyelubungi mukanya untuk menyembunyikan fiturnya, bagaimana cara mempertahankan bahu yang terus merosot dan keriput di wajahnya. Ia berharap kebanyakan orang akan berpikir ia berusaha menyembunyikan kesederhanaannya. Suara berdecak tua lebih sulit untuk dipertahankan.
"Kenapa kakakku perlu alasan untuk menikahi wanita cantik sepertimu?"
Eadyth terkesiap dan akhirnya berhasil menarik diri dari Tykir, membungkukkan tubuhnya. Sejauh ini Tykir terlalu memperhatikan.
"Cantik? He he he! Tak ada kecantikan dalam diriku akhir-akhir ini."
Tykir mendengus keras.
"Kau pasti sama rabunnya dengan Lord Eirik. Memang benar, aku punya kecantikan yang langka bertahun lalu. Ada orang yang bahkan menyebutku Perhiasan Perak dari Northumbria. Tapi sekarang..." kata-katanya berhenti dengan gerakan mengangkat bahu, menunduk memandang tubuhnya seolah-olah itu sudah cukup berbicara.
Awalnya, Tykir hanya memandang Eadyth dengan mengerutkan keningnya bingung. "Penglihatanku sempurna, dan rabun Eirik hanya sedikit. Apa kau bercanda denganku?" lalu, seolah-olah sebuah pikiran terlintas di benaknya, ia bertanya dengan tak percaya, "Atau kau memainkan sandiwara ini untuk kakakku?"
Sebelum Eadyth sempat menutupi rasa tak senangnya, tawa Tykir pecah. Eirik dan Earl Orm menoleh ke arah mereka, tapi Tykir hanya melambaikan tangannya untuk menepiskan tatapan curiga mereka, menyeka matanya dari air mata tawa.
Eadyth mendesis dan berbisik, "Hentikan, sekarang juga. Ini bukan seperti dugaanmu , Bodoh."
"Oh, menurutku bukan begitu, My Lady," katanya dengan geli. "Ini tepat seperti yang kupikirkan. Kau mempermainkan kakakku."
"Tidak."
"Ya."
"Rambutku sudah ubanan."
"Ada rambut yang berwarna pirang keperakan di bawah semua minyak rambut itu, aku jamin."
"Buhuku sudah bungkuk."
"Hah! Payudaramu sangat indah."
Eadyth mengernyit pada kata-kata tak sopannya. "Sekujur tubuhku sudah dimakan usia," katanya lemah, semangatnya menciut menjadi putus asa.
"Kalau yang menghias bibir atasmu itu adalah tanda usia, aku jamin kakakku akan menggerayanginya dengan lidahnya sebelum malam ini berakhir, atau dia bukan pria seperti yang kukenal selama ini."
Eadyth mengerang keras. "Kulitku sudah keriput," protesnya, berusaha menjaga kerutan di wajahnya yang ditahannya sepanjang hari itu. Sejujurnya, wajahnya mulai pegal karena hal itu.
Bibir Tykir terangkat membentuk senyuman tak percaya.
Akhirnya bahu Eadyth merosot menyerah saat ia menyadari bahwa ia kalah perang dengan Tykir. Pria itu tahu yang sebenarnya.
"Apa ada orang lain yang curiga?"
Tykir menggeleng perlahan.
"Apa yang salah yang kulakukan?"
"Kau tak melakukan apa pun. Tapi sepertinya kau lupa bahwa kita pernah bertemu beberapa tahun lalu di Hawk's Lair saat aku masih anak-anak, menemani kakekku Dar. Aku tahu sebelum aku datang hari ini bahwa kau lebih muda dariku, dan aku baru berusia dua puluh sembilan tahun."
Eadyth menghela napas dalam-dalam.
"Tepatnya berapa usiamu menurut kakakku?"
Eadyth mengibaskan satu tangannya ke udara tanda menyerah. "Empat puluh atau lebih, kurasa," katanya dengan sebal.
"Empat puluh!" Tykir tercekat. "Empat puluh! Tak mungkin dia sebodoh itu."
"Dia tak bodoh. Hanya saja aku berusaha keras menampilkan gambaran itu, dan kami baru bersama beberapa kali. Keadaan membantu penyamaranku."
"Tapi kenapa?"
"Oh, aku tak tahu. Aku tak pernah berencana menipunya, tapi ketika aku menyadari di pertemuan pertama kami bahwa dia pikir aku lebih tua... well, tampaknya itu cara yang bagus untuk menunda..."
Tykir menaikkan satu alisnya dengan ekspresi bertanya.
Eadyth menggeser duduknya dengan salah tingkah, lalu nyerocos, "...untuk menunda penggerayangannya yang penuh safsu."
Sambil tertawa Tykir berkomentar, "Ya, 'penggerayangan' kakakku memang biasanya sering penuh nafsu sesekali."
"Oh, tidak ada hubungannya dengan Eirik. Ini tentang semua pria. Aku berusaha keras untuk tak menarik perhatian pria. siapa pun."
Tykir tampaknya ingin mengatakan lebih banyak tentang topik itu, lalu mengurungkan niatnya. "Berapa lama kau pikir kau bisa meneruskan sandiwara ini?"
"Aku tak tahu," keluh Eadyth dengan putus asa. "Sudah terlalu jauh."
Tykir menggeleng dengan prihatin. "Kakakku tak gampang marah, tapi dia akan seperti singa saat marah. Dan, aku memperingatkanmu, Sister, Eirik sangat sensitif dengan rabun matanya. Kau memainkan permainan yang bodoh."
Eadyth merasakan beban di lengan kanannya dan menoleh untuk melihat tangan Eirik mendarat dengan posesif di lengan bajunya. Ia memaksa dirinya untuk tak menarik diri dengan kesal.
"My Lady, bagilah cerita lucumu padaku," pinta Eirik dengan parau. "Aku ingin tahu cerita apa yang membuat Tykir tertawa terbahak-bahak."
Eadyth melayangkan sorot mata memohon pada Tykir, yang bimbang, lalu mengangguk pada permohonan diam-diamnya. Tykir kemudian memberitahu kakaknnya, "Ini rahasia kami, Kak... rahasiaku dan Eadyth... rahasia yang kuharap bisa kutertawakan bersamamu beberapa tahun nanti. Tapi tidak sekarang. Bukan, belum saatnya."
Eadyth menghembuskan napas lega. Ia aman. Untuk saat ini.
Tapi kemudian Tykir menambahkan dengan jahil, "Aku tahu seorang penyair di Dublin yang berbakat menyusun kata-kata menjadi hidup. Kurasa aku punya rancangan saga yang akan kusampaikan padanya pada perjalananku selanjutnya."
Eirik menaikkan satu alisnya menanggapi kejahilan adiknya. "Apakah aku akan menyukai saga itu?"
"Oh, tentu saja."
Eadyth mengernyit dengan firasat buruk.
"Dan Eadyth?" tanyanya curiga. "Apakah dia menikmati saga itu, juga?"
"Kakakku," kata Tykir, tertawa sambil menepuk punggung Eirik, "menurutku dia pasti akan sangat menikmatinya."
Next
Back
Synopsis