Home

Senin, 30 April 2018

The Tarnished Lady 4


Kebohongan itu seperti pasir isap; mengisapmu semakin dalam...

Pada saat Eadyth dengan enggan meninggalkan kamar tamunya, senja sudah menyelubungi keremangan koridor yang tertutup itu.

Partikel debu beterbangan di aliran cahaya yang sempit yang datang dari celah berbentuk panah di ujung koridor. Sebaliknya, bayangan mengerikan yang bergerak di cekungan dinding batu itu menghantuinya, mengingatkannya pada sejarah panjang tragedi yang menghantui rumah ini selama tiga generasi.

Akankah nasibnya sebagai nyonya rumah Ravenshire sama menyedihkannya?

Sebenarnya, Eadyth mengingatkan dirinya sendiri, sejarah Ravenshire tak lebih sial dari banyak manor lain di belahan utara yang luas, termasuk Hawk's Lair. Northumbria selalu menjadi tulang yang diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan yang berperang, yang terbentang di antara kerajaan Saxon di selatan dan tanah bangsa Skotlandia, Cumbria, dan Stracthclyde Welsh di utara dan barat laut.

Dan orang Northumbria sendiri! Keturunan dari campuran berbagai ras ini, Norse dan Saxon bergabung membela kemerdekaan mereka dengan bengis. Mereka senang memprovokasi keturunan asli Saxon yang sangat angkuh dengan minum terlalu banyak, berbicara dengan aksen yang kasar, dan tak mau mengikuti standar masyarakat.

Terkadang para pemberontak Northumbria ini berhasil dalam pemberontakannya. Tapi tidak akhir-akhir ini, Eadyth mengingatkan dirinya. Oh, tidak. Tidak akhir-akhir ini. Sejak pertempuran Brunanburh sembilan tahun lalu, di mana ribuan prajurit Viking, Skotlandia, dan Welsh tewas dalam usaha menjatuhkan penindasan tiran. Northumbria tak pernah benar-benar pulih.

Eadyth mendengar suara berisik di belakangnya dan nyaris terperanjat. Dengan terkejut, ia menekankan sebelah jarinya di sebelah dadanya untuk meredakan jantungnya yang berdegup kencang, lalu terkekeh, menyadari bahwa itu suara Prince yang mengikutinya, binatang itu mengibaskan ekornya dengan senang.

Eadyth melanjutkan langkahnya menuju aula utama, berharap sekali lagi bahwa ia bisa menghindari lord dari kastil muram ini dan bersembunyi dalam kepompong kamarnya yang aman sampai pagi. Tapi Eadyth tahu ia harus menyingkirkan ketakutan bodohnya itu dan menuruti permintaan Eirik untuk merayakan pertunangan mereka. Calon suaminya sudah mengutus tiga orang untuk mengingatkan bahwa Eadyth sudah terlambat untuk bergabung dengannya di meja utama.

Pesan terakhir sudah begitu terang-terangan, kalau kejujuran Godric dalam menceritakan ulang bisa dipercaya. "Katakan pada wanita itu untuk menyeret bokongnya kemari, atau aku akan membopongnya di bahuku. Atau lebih dari itu, aku akan datang merayakan pernikahan dengan caraku sendiri, dan itu bukan dengan segelas minuman."

Dasar tak tahu adat!

Eadyth sudah berusaha meyakinkan Girta untuk turun dan memberitahu Eirik ia menderita kram perut, tapi pengasuh setianya itu keras kepala, menolak untuk berpartisipasi dalam penipuan Eadyth.

"Sepertinya kau akan mempermalukan Master dengan berpakaian seperti itu untuk perjamuan pertunangan," Girta berdecak tak setuju sebelum ia keluar. "Dan lebih buruk lagi kau mempermalukannya dengan datang terlambat. Itu tamparan menghina baginya. Setidaknya kau bisa, mencuci bau menyengat itu dari rambutmu. Ya Tuhan, Eadyth, bahkan aku tak tahan berdekatan denganmu lebih dari beberapa saat."

Dengan kesal, Girta meninggalkannya beberapa saat lalu, sepertinya untuk melihat persiapan makanan, tapi lebih tepatnya untuk melarikan diri dari suasana hati Eadyth yang buruk.

Andai saja wanita lebih punya pilihan dalam hidup.

Tapi Eadyth tahu benar bahwa, jika suaminya sejelek katak sekalipun, Gereja dan hukum Saxon mengatakan bahwa seorang istri harus tunduk pada suaminya. Tunduk! Kata yang sangat buruk. itulah kenapa wanita seperti dirinya terpaksa berdalih untuk melawan perhatian dari pria yang hanya memikirkan syahwat.

Walaupun demikian, kekhawatiran menghantam ketenangannya yang rapuh. Eadyth menderita harus terus berpura-pura menjadi tua dan jelek, walaupun ia punya alasan yang kuat untuk melakukannya.

Akankah Eirik menganggap asalannya masuk akal?

Pasti tidak, Eadyth menjawab sendiri. Betapa ia tahu bahwa pria memuja harga diri mereka seperti organ tubuh tambahan, dan sedikit saja yang dilakukan wanita untuk membuat mereka tampak kurang jantan bisa sangat menyinggung mereka. Eadyth merasakan -tidak, ia tahu tanpa keraguan- bahwa Eirik akan sangat, sangat marah ketika tahu bahwa Eadyth sudah tak jujur padanya. Ia tak akan melihat lelucon dalam penyamarannya, dan semakin lama Eadyth membodohinya, semakin besar kemarahannya nanti.

Tapi apa yang bisa dilakukannya? Mengaku sebelum pernikahan dan mengambil resiko Eirik membatalkan kesepakatan pertunangan? Tidak, ia harus meneruskan sandiwaranya untuk setidaknya tiga minggu lagi. Lalu ia akan memikirkan cara yang cerdas untuk membuka jati dirinya. -satu cara yang tak akan menjatuhkan harga diri Eirik dalam hal apapun.

Begitu ia menghadiri acara malam ini, ia akan kembali ke Hawk's Lair sampai pernikahan. Bahkan saat itu -Eadyth memutuskan- akan memberitahu Eirik usianya yang sebenarnya, tapi tak akan melakukan apa pun untuk mempercantik penampilannya di mata Eirik, tak satu hal pun untuk menarik dorongan hasrat pria itu. Itu bukanlah termasuk ketidakjujuran, Eadyth berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Yang perlu dilakukannya hanyalah melewati malam ini.

Oh Tuhan, bantulah aku, dan aku bersumpah untuk menundukkan caraku yang angkuh. Aku tak akan lagi membuat lelucon tentang Bapa Benedict, atau memandang rendah wanita yang lemah. Atau...

Eadyth melihat kesalahannya begitu memasuki aula utama, di mana para pria menggerutu dengan tak sabar menunggu kedatangannya sebelum perjamuan bisa dimulai. Ia sudah melupakan satu hal yang besar. Dengan menunda waktu, ia memberikan Eirik dan para ksatrianya terlalu banyak waktu untuk minum ale sementara perut mereka kosong. Karena kesal dengan keterlambatannya, suasana hati mereka pun terdorong untuk menggodanya dengan komentar kasar saat ia melintas. Dengan wajah merah padam, Eadyth melewati suara siulan mereka, dan gelak tawa mengejek terdengar sampai ke ujung panggung.

"Si Gagak menunggumu dengan tak sabar, M'Lady," seru seorang prajurit muda. "Maukah kau membelai bulu-bulunya yang kasar dengan lembut?"

"Bukan, hanya satu bulu di antara selangkangannya," sahut seorang prajurit tua dengan terkekeh. Itu adalah ksatria yang sama yang ditegurnya karena bau badan kemarin malam.

Para pria lain terbahak-bahak mendengar olok-olok itu.

Seorang ksatria tampan berambut pirang menghalangi jalannya sebentar, sepertinya para pelayan dari pihak keluarga Viking Eirik. Semua pria itu sudah mabuk ke tahap nyaris ambruk, termasuk si tampan Norseman yang sempoyongan ini. Sebelum Eadyth melewatinya, keparat yang arogan itu bersendawa keras, lalu bertanya, cukup keras untuk didengar semua temannya, "Nyonya penjaga lebah, apakah kau akan membiarkan tuan mencicipi madumu malam ini?" lalu ia menyentakkan tubuh ke belakang tertawa keras-keras pada leluconnya sendiri.

"Tidak," yang lain masih menyahut dengan kasar saat ia melintas dengan cepat, "dia akan mengajari Lord kita cara membuat madunya sendiri."

"Bzzz. Bzzz. Bzzz," mereka semua mulai bersorak sambil mengetukkan gelas ke meja mereka.

Eadyth akhirnya bisa melewati mereka semua, dengan dagu terangkat tinggi dan mata berlinang karena malu. Di mana Girta, satu-satunya sekutunya di sini? Dan kenapa Eirik tak menghentikan lelucon kasar mereka? Sebagai tunangannya, seharusnya Eirik melindunginya dari hinaan semacam itu. Benar, seharusnya ia melakukannya, Eadyth berseru dalam hati.

Penghinaan di masa lalu terbersit kembali di benaknya, kenangan yang ia pikir sudah lama dilupakannya. Betapa naifnya ia pada masa itu! Eadyth tak pernah berharap teman-temannya memaafkan kesalahannya karena terlibat dengan Steven, tapi kekejaman mereka sudah keterlaluan, melampaui semua yang pernah dialaminya dalam hidupnya yang terlindungi. Tak heran ia sudah menutup rapat dirinya selama bertahun-tahun ini!

Eadyth mengangkat dagunya menantang dan tak mau terlihat terluka. Ia tak mau lagi membiarkan orang seperti itu menyakitinya.

Ia mengerjapkan matanya, mencari Eirik melalui ruangan aula utama yang penuh asap dan membuat perih mata. Yang benar saja, sesuatu harus dilakukan saat ia memegang kendali pengurusan rumah itu seperti memperbesar cerobong asap, atau menemukan ventilasi yang lebih baik, putus Eadyth, lalu menyeka matanya dengan punggung tangan. Pasti tak tertahankan di bulan-bulan musim dingin.

Pandangannya bersitatap dengan tunangannya saat itu, dan ia tahu benar kenapa Eirik tak membelanya. Walaupun pria itu bersandar dengan santai di kursi bersandaran tinggi di panggung dan mengetuk-ngetukan ujung jarinya dengan malas di meja, rahangnya yang keras dan matanya yang berkilat menampakkan kemurkaan. Edyth sedikit terhuyung tapi kemudian melanjutkan dengan tabah menaiki tangga menuju panggung.

Oh, ya Tuhan.

"Maafkan keterlambatanku," kata Eadyth langsung begitu ia akhirnya berdiri di samping Wirik. "Aku mengalami sedikit gangguan di perutku, My Lord."

Eirik mendongak memandangnya dengan malas dengan mata yang menyipit, bahkan tak mau berdiri, lalu mengatakan sesuatu yang sangat buruk bahkan kenalan dagang Eadyth yang paling liar  pun tak berani mengatakan di depannya.

Eadyth menegang. "Apakah membuatmu merasa lebih baik, sama sekali tak menghormati tunanganmu, sama seperti ksatriamu?" keluh Eadyth dengan ketus. Ia menunjuk dengan muak ke bagian bawah aula di mana anak buah Eirik memandangi mereka, masih mengeluarkan komentar-komentar kotor atau hanya menirukan suara dengungan. "Aku mungkin kadang bicara terlalu blak-blakan, tapi aku tak terbiasa menghadapi parlakuan yang begitu kasar."

Setidaknya, tidak akhir-akhir ini. Terutama sejak aku jarang meninggalkan rumahku.

"Dan bagaimana dengan sikap tak sopanmu memperlakukanku dan para ksatriaku yang mengikuti standarku? Penghinaan pada pertunangan ini jelas sekali dengan menolak bersulang dengan kami." Eirik mengangkat bahu. "Kau memaksa kami bersulang sendiri."

Eirik mengangkat gelasnya, menghabiskan isinya dalam sekali tegukan panjang, dan Eadyth menyadari bahwa Eirik sudah mengangkat gelasnya lusinan kali sambil menunggu kedatangannya.

Oh, Tuhan! Eirik yang sadar saja sudah cukup sulit baginya untuk dihadapi.

Eadyth melihat tatapan Wilfrid saat ia duduk disebelah tuannya, yang memandangnya dengan sorot mata kasihan. Eadyth menunduk malu, menyadari sepenuhnya bagaimana rasanya direndahkan dihadapan orang banyak. Ia tidak bermaksud mempermalukan Eirik di depan anak buahnya. Hanya saja ia takut Eirik mengetahui penyamarannya. Dan, demi Tuhan, dalam suasana hatinya saat ini, tampaknya Eirik akan segera mencekik lehernya seperti ayam secepat ia menikahinya.

"Kau bahkan tak mau repot berdandan untuk acara ini," Eirik menegurnya lebih lanjut, memindai pakaiannya dengan kesal.

Eirik mandi dan merapikan kumisnya. Ia mengenakan tunik dan jubah hitam yang usang tapi dihiasi dengan benang emas dan diikat di pinggangnya dengan sabuk rantai emas yang indah. Mungkin ia tak semiskin yang dikira Eadyth. Ia menunduk memandangi dirinya sendiri dan menyadari betapa buruk penampilannya, berdiri di samping Eirik.

"Tidak adil menegurku karena pakaianku," serunya. "Aku tak membawa pakaian yang lain, dan mana mungkin aku tahu kau akan segera setuju dengan lamaranku?"

"Benar juga."

Eadyth menguatkan dirinya untuk ditolak. Mengasihani diri sendiri adalah hal yang jarang ditunjukannya, dan ia tak mau menyerah sekarang. Ketika merasa emosi
Eirik sudah terkendali, ia bertanya dengan tenang, "Apakah kau akan memutuskan pertunangan karena tindakanku yang sembrono?" ia memejamkan matanya sejenak dengan lelah. Apakah ia sampai pada usahanya yang sudah sejauh ini hanya untuk gagal? Ia memaksa dirinya menghadapi Eirik, menawarkan, "Aku akan membebaskanmu dari sumpahmu kalau itu yang kau inginkan."

Eirik mengamati saat Eadyth salah tingkah, membentangkan jari-jari tangannya dengan gugup di wajahnya yang ditundukkan. Eirik tampaknya dengan serius mempertimbangkan tawaran Eadyth, lalu mengangkat bahunya.

"Apa yang kuinginkan sudah lama tak lagi penting. Dan aku sudah memberitahumu sebelumnya, aku tak melanggar sumpahku."

"Tapi aku..."

Eirik mengangkat sebelah tangannya, menghentikan kata-kata Eadyth. "Mari kita memahami dari awal. Aku tak akan tinggal diam dengan sikap keras kepalamu sebagai seorang istri. Aku bukan tiran, tapi aku tak bisa menolerir istriku yang menentangku terus-menerus. Pertarungan kehendak bukanlah visiku tentang kehidupan pernikahan. Aku sudah mengalami pertarungan yang lebih dari cukup dalam hidupku. Kalau ini jalur yang kau inginkan untuk pernikahan kita, aku tak menginginkannya. Mari kita akhiri pernikahan ini sekarang."

Eadyth menunduk dengan menyesal. Bagaimana mungkin ia mengabaikan kalau pria sombong ini biasanya sangat sensitif? Seharusnya Eadyth menyadari bahwa hanya dengan tampak gusar sekalipun di malam pertunangan mereka akan merendahkan Eirik di mata anak-anak buahnya.

"Aku salah telah membuang-buang waktu. Sebenarnya aku takut." Well, itu benar adanya, namun dalam satu sisi, Eadyth mengelak. Ia memang takut, tapi untuk alasannya sendiri.

Eirik tampaknya melunak saat itu dan memegang lengannya. "Kau tak punya alasan untuk takut padaku, Eadyth. Selama kau jujur padaku, aku tak akan menyakitimu."

Jantung Eadyth berhenti sejenak mendengar kata-kata itu. Oh, Tuhan, Eirik menuntut kejujuran -satu hal yang tak bisa diberikan Eadyth pada saat ini. Ia tak suka pada penipuan, dan Eadyth mempertimbangkan untuk membuka kedoknya di hadapan Eirik. Tapi lalu ia memikirkan John di tangan ayahnya yang jahat dan tahu ia tak bisa mengambil resiko.

Eirik tiba-tiba berdiri dan menyerukan para ksatrianya untuk diam dengan mengangkat lengannya. Ia menunggu perhatian mereka tanpa mengatakan sepatah kata pun. Akhirnya, ia mengumumkan dengan suara yang dalam dan berwibawa, "Para pendukung setiaku, aku akan menghadirkan di hadapan kalian tunanganku, Lady Eadyth of Hawk's Lair."

Para anak buahnya berdiri dengan gerakan cekatan, meskipun mereka sedang mabuk. Ketika beberapa masih melontarkan komentar-komentar tak senonoh, Eirik mengangkat tangannya, menuntut keheningan sepenuhnya. Lalu memerintah, "Aku akan meminta kalian untuk memberikan kesetiaan yang sama yang kalian berikan padaku. Dan kalian akan menunjukkan hormat kalian padanya sebagai Lady of Ravenshire."

Eirik memanggil anak buahnya satu per satu untuk maju, mengenalkannya pada Eadyth, lalu berdiri dengan tenang sementara setiap orangnya bersumpah setia pada Eadyth. Eadyth melirik memandang Eirik dengan tatapan berterima kasih, tapi pria itu bahkan tak melihat ke arahnya. Sejujurnya, sikap Eirik ini bukanlah merupakan bantuan untuk Eadyth, tapi sebagai lord yang meminta rasa hormat yang layak didapatkan dari anak buahnya.

Beberapa kata yang mereka ucapkan nyaris tak terdengar, mengingat kondisi mereka yang mabuk, dan Ignold, seorang pejuang bertubuh kekar yang bau badan, dengan lancangnya berani mengedipkan mata pada Eadyth saat ia selesai memperkenalkan diri.

Sejak saat itu, suasana malam itu semakin tidak menyenangkan. Walaupun peran Girta dalam mempersiapkan perjamuan yang tak disangkanya mewah, semua hidangan terasa bagaikan abu bagi Eadyth dan ia nyaris tak bisa menelan melewati gumpalan kecemasan tenggorokannya. Ia terus menerus gugup, seperti sakit gigi yang terus berdenyut, dan ia bergeser gelisah di tempat duduknya setiap kali Eirik memandang ke arahnya, takut kalau pria itu akhirnya akan mengetahui penyamarannya. Ia tak benar-benar bisa bernapas sampai mereka berada di jalan menuju Hawk's Lair fajar keesokan harinya.

Tapi Eadyth tahu ia tak bisa beristirahat dengan tenang. Ia kini punya tiga minggu untuk mempersiapkan pernikiahannya, dan pada saat itulah Eirik akhirnya mengetahui penyamarannya.


Semakin dalam dan dalam...

"Kau kesal pada kakakku?"

"Kesal? Lebih tepatnya marah yang membuat mata membelalak, napas berdesis, dan tangan mengepal," kata Eadyth datar pada Tykir, yang duduk di sebelahnya di panggung pada perjamuan pernikahannya tiga minggu kemudian. Adik Eirik itu muncul tak terduga di kapel Ravenshire pagi itu, menimbulkan kericuhan di tempat upacara pernikahan.

Tapi Tykir bukan satu-satunya tamu tak terduga. Puluhan bangsawan bersama istri dan pelayan mereka memadati kapel kecil itu dan kini memenuhi aula. Demi St. Bridiet. Hanya saja Eadyth tak butuh -lebih banyak saksi mata akan tipu dayanya. Bahkan Uskup Agung Wulfstan yang berpengaruh dalam hal politik dan rombongan pendetanya datang dari Jorvik untuk melakukan pemberkatan. Tentunya pendeta desa biasa cukup untuk ikatan tanpa cinta ini.

Eadyth mengibaskan tangannya dengan muram. Demi Maria! Entah bagaimana Eirik bahkan sempat menutup meja panjang dengan kain putih. Gelas-gelas perak yang mengkilat dan kain lap tangan kecil menghiasi setiap sela tempat yang diperuntukan untuk membersihkan jari-jari di sela-sela makan. Dan barisan hidangan yang melimpah, well, Eirik pasti sudah menghabiskan koin terakhirnya untuk membuat pesta yang terlalu berlebihan ini, Eadyth bergumam sendiri.

"Eirik tahu aku suka upacara yang sepi, bukan perayaan yang meriah seperti ini," Eadyth mengeluh keras-keras.

Tykir menyeringai.

Tuhan, apa ketampanan yang melelehkan tulang sudah menurun dalam keluarga Eirik? Ia harus menyembunyikan semua gadis cantik yang sudah berusia di atas empat belas tahun di rumah itu. Oh, Tykir berbeda dengan Eirik, tapi pemuda itu punya daya tarik liarnya sendiri. Eirik mempunyai rambut hitam dan mata biru pucat, sementara adiknya adalah seorang Viking sejati dengan rambut pirang panjang sampai ke bahunya, mata berwarna coklat yang begitu terang sehingga nyaris terlihat keemasan, kulit perunggu terbakar matahari hasil dari mengarungi lautan, dengan tubuh tegap dan jangkung yang siap tempur, dan senyuman yang bisa memikat seekor naga. Bahkan lebih buruknya, si bengal ini mengepang rambut indahnya ke satu sisi, menampakkan sebelah telinga yang dihiasi dengan anting berbentuk petir.

Ketika Eadyth mengangkat satu alisnya dengan tertarik, Tykir menggoyangkannya sedikit dengan jari telunjuknya. "Ini warisan dari ayahku. Eirik mendapatkan bros naga. Aku mendapatkan anting ini."

Eadyth mau tak mau tersenyum dan menggeleng mengejek. "Kau sama selengeannya dengan kakakmu."

"Kakakku, selengean? Tidak, kau tak begitu mengenalnya jika kau berpikir begitu. Dia selalu serius dan sedingin batu, bahkan saat baru berusia sepuluh tahun dan memilih tinggal di istana Saxon King Athelstan." Ia mencolek pipi Eadyth dan berkomentar, "Kau menikahi saudara yang salah kalau sifat ceria sepertiku yang kau cari dalam diri seorang suami."

Eadyth menertawakan tingkah Tykir yang penuh canda, tapi ia tak senang ketika melayangkan pandangan ke sisi kanannya di mana Eirik duduk memunggunginya. Pria itu sedang berbicara serius dengan Earl Orm, tuan tanah kaya raya dari Nothumbria, keturunan Norse yang estatnya menyatu dengan estat Eirik di selatan. Pria itu datang dengan putri setengah Saxonnya, Aldgyth, yang pernah ditemui Eadyth dulu saat ia pergi ke istana. Aldgyth adalah janda Anlaf Guthfrithsson, yang pernah menjadi raja Norse dan Northumbria dalam waktu singkat sebelum kematiannya. Bergabung dalam pembicaraan itu juga Anlaf Sigtryggsson, yang pernah menjadi raja di seluruh Dublin, dan calon penguasa Norse dari Northumbria.

Ya Tuhan! "Aku kaget dia tidak sekalian mengundang raja Norwegia. Atau King Edmund," gumam Eadyth dengan sarkastik.

"Paman Haakon sedang berburu babi hutan minggu ini jadi tak bisa datang," kata Tykir santai, lalu tersenyum jahil, tampaknya senang dengan reaksi Eadyth yang terkesiap. "Dan Edmund, well, aku tak akan datang ke sini kalau dia ada di sini... keparat Saxon itu."

Eadyth menghembuskan napasnya dengan kencang dan muak.

"Kau kesal karena Eirik menghargaimu dengan cara mengundang teman-temannya pada perjamuan pernikahan kalian?"

"Ya, benar. Dia mempermalukanku dengan berpura-pura bahagia dengan pernikahan kami. Semua orang tahu, hanya dengan melihat bahwa kami tak serasi, bahwa pasti ada alasan tersembunyi kenapa dia mau menikahi wanita sepertiku."

"Kenapa begitu?"

"Oh, yang benar saja! Lihat kami. Dia berlagak seperti seekor gagak yang bangga dengan kemegahannya. Dan aku?" Eadyth menunduk memandang dirinya sendiri dengan merendahkan. "Aku, temanku, hanya seekor elang."

Tykir menelengkan kepalanya dengan ekspresi bertanya dan mengulurkan satu jarinya ke arah tudung kepala Eadyth yang unik yang ia desain untuk menyerasikannya dengan pakaian pernikahannya. Girta membantunya membuat tunik dan jubahnya dari kain berwarna ungu tua, lalu menghiasi tepiannya dengan benang perak yang berdesain bunga lili yang saling bertautan. Gelang perak kecil menahan tudung kepala yang terbuat dari lapisan ganda kain transparan yang digunakannya  untuk masker baju antilebahnya, yang dicelup dengan warna ungu pucat.

Ia tahu Eirik akan malu jika ia mengenakan pakaian biasanya jadi ia harus berkompromi. Ia bahkan mencuci minyak babi dari rambutnya, walaupun ia menatanya ke belakang di bawah tudung putih dengan minyak tak berbau yang dibuat Girta untuknya.

Eadyth mencoba menepiskan jari Tykir dari tudungnya. Ia sudah berlatih di depan logam mengilap dua minggu belakangan ini bagaimana cara menyelubungi mukanya untuk menyembunyikan fiturnya, bagaimana cara mempertahankan bahu yang terus merosot dan keriput di wajahnya. Ia berharap kebanyakan orang akan berpikir ia berusaha menyembunyikan kesederhanaannya. Suara berdecak tua lebih sulit untuk dipertahankan.

"Kenapa kakakku perlu alasan untuk menikahi wanita cantik sepertimu?"

Eadyth terkesiap dan akhirnya berhasil menarik diri dari Tykir, membungkukkan tubuhnya. Sejauh ini Tykir terlalu memperhatikan.

"Cantik? He he he! Tak ada kecantikan dalam diriku akhir-akhir ini."

Tykir mendengus keras.

"Kau pasti sama rabunnya dengan Lord Eirik. Memang benar, aku punya kecantikan yang langka bertahun lalu. Ada orang yang bahkan menyebutku Perhiasan Perak dari Northumbria. Tapi sekarang..." kata-katanya berhenti dengan gerakan mengangkat bahu, menunduk memandang tubuhnya seolah-olah itu sudah cukup berbicara.

Awalnya, Tykir hanya memandang Eadyth dengan mengerutkan keningnya bingung. "Penglihatanku sempurna, dan rabun Eirik hanya sedikit. Apa kau bercanda denganku?" lalu, seolah-olah sebuah pikiran terlintas di benaknya, ia bertanya dengan tak percaya, "Atau kau memainkan sandiwara ini untuk kakakku?"

Sebelum Eadyth sempat menutupi rasa tak senangnya, tawa Tykir pecah. Eirik dan Earl Orm menoleh ke arah mereka, tapi Tykir hanya melambaikan tangannya untuk menepiskan tatapan curiga mereka, menyeka matanya dari air mata tawa.

Eadyth mendesis dan berbisik, "Hentikan, sekarang juga. Ini bukan seperti dugaanmu , Bodoh."

"Oh, menurutku bukan begitu, My Lady," katanya dengan geli. "Ini tepat seperti yang kupikirkan. Kau mempermainkan kakakku."

"Tidak."

"Ya."

"Rambutku sudah ubanan."

"Ada rambut yang berwarna pirang keperakan di bawah semua minyak rambut itu, aku jamin."

"Buhuku sudah bungkuk."

"Hah! Payudaramu sangat indah."

Eadyth mengernyit pada kata-kata tak sopannya. "Sekujur tubuhku sudah dimakan usia," katanya lemah, semangatnya menciut menjadi putus asa.

"Kalau yang menghias bibir atasmu itu adalah tanda usia, aku jamin kakakku akan menggerayanginya dengan lidahnya sebelum malam ini berakhir, atau dia bukan pria seperti yang kukenal selama ini."

Eadyth mengerang keras. "Kulitku sudah keriput," protesnya, berusaha menjaga kerutan di wajahnya yang ditahannya sepanjang hari itu. Sejujurnya, wajahnya mulai pegal karena hal itu.

Bibir Tykir terangkat membentuk senyuman tak percaya.

Akhirnya bahu Eadyth merosot menyerah saat ia menyadari bahwa ia kalah perang dengan Tykir. Pria itu tahu yang sebenarnya.

"Apa ada orang lain yang curiga?"

Tykir menggeleng perlahan.

"Apa yang salah yang kulakukan?"

"Kau tak melakukan apa pun. Tapi sepertinya kau lupa bahwa kita pernah bertemu beberapa tahun lalu di Hawk's Lair saat aku masih anak-anak, menemani kakekku Dar. Aku tahu sebelum aku datang hari ini bahwa kau lebih muda dariku, dan aku baru berusia dua puluh sembilan tahun."

Eadyth menghela napas dalam-dalam.

"Tepatnya berapa usiamu menurut kakakku?"

Eadyth mengibaskan satu tangannya ke udara tanda menyerah. "Empat puluh atau lebih, kurasa," katanya dengan sebal.

"Empat puluh!" Tykir tercekat. "Empat puluh! Tak mungkin dia sebodoh itu."

"Dia tak bodoh. Hanya saja aku berusaha keras menampilkan gambaran itu, dan kami baru bersama beberapa kali. Keadaan membantu penyamaranku."

"Tapi kenapa?"

"Oh, aku tak tahu. Aku tak pernah berencana menipunya, tapi ketika aku menyadari di pertemuan pertama kami bahwa dia pikir aku lebih tua... well, tampaknya itu cara yang bagus untuk menunda..."

Tykir menaikkan satu alisnya dengan ekspresi bertanya.

Eadyth menggeser duduknya dengan salah tingkah, lalu nyerocos, "...untuk menunda penggerayangannya yang penuh safsu."

Sambil tertawa Tykir berkomentar, "Ya, 'penggerayangan' kakakku memang biasanya sering penuh nafsu sesekali."

"Oh, tidak ada hubungannya dengan Eirik. Ini tentang semua pria. Aku berusaha keras untuk tak menarik perhatian pria. siapa pun."

Tykir tampaknya ingin mengatakan lebih banyak tentang topik itu, lalu mengurungkan niatnya. "Berapa lama kau pikir kau bisa meneruskan sandiwara ini?"

"Aku tak tahu," keluh Eadyth dengan putus asa. "Sudah terlalu jauh."

Tykir menggeleng dengan prihatin. "Kakakku tak gampang marah, tapi dia akan seperti singa saat marah. Dan, aku memperingatkanmu, Sister, Eirik sangat sensitif dengan rabun matanya. Kau memainkan permainan yang bodoh."

Eadyth merasakan beban di lengan kanannya dan menoleh untuk melihat tangan Eirik mendarat dengan posesif di lengan bajunya. Ia memaksa dirinya untuk tak menarik diri dengan kesal.

"My Lady, bagilah cerita lucumu padaku," pinta Eirik dengan parau. "Aku ingin tahu cerita apa yang membuat Tykir tertawa terbahak-bahak."

Eadyth melayangkan sorot mata memohon pada Tykir, yang bimbang, lalu mengangguk pada permohonan diam-diamnya. Tykir kemudian memberitahu kakaknnya, "Ini rahasia kami, Kak... rahasiaku dan Eadyth... rahasia yang kuharap bisa kutertawakan bersamamu beberapa tahun nanti. Tapi tidak sekarang. Bukan, belum saatnya."

Eadyth menghembuskan napas lega. Ia aman. Untuk saat ini.

Tapi kemudian Tykir menambahkan dengan jahil, "Aku tahu seorang penyair di Dublin yang berbakat menyusun kata-kata menjadi hidup. Kurasa aku punya rancangan saga yang akan kusampaikan padanya pada perjalananku selanjutnya."

Eirik menaikkan satu alisnya menanggapi kejahilan adiknya. "Apakah aku akan menyukai saga itu?"

"Oh, tentu saja."

Eadyth mengernyit dengan firasat buruk.

"Dan Eadyth?" tanyanya curiga. "Apakah dia menikmati saga itu, juga?"

"Kakakku," kata Tykir, tertawa sambil menepuk punggung Eirik, "menurutku dia pasti akan sangat menikmatinya."




Next
Back
Synopsis




Jumat, 27 April 2018

Glorious Angel 7


Angela Sherrington duduk di salah satu kursi kayu di teras sempit, menatap sendu ke ladang yang telanjang di hadapan rumahnya. Dalam pikirannya, ia bisa melihat ladang itu penuh dengan tanaman jagung seperti minggu lalu. Apakah ia akan pernah melihatnya seperti ini lagi? Apakah semuanya akan pernah sama lagi?

Koin emas pemberian Bradford Maitland digenggamnya erat-erat. Entah bagaimana koin emas itu memberinya ketenangan saat ia membutuhkannya. Dan ia saat ini benar-benar membutuhkan ketenangan.

Angela masih mengenakan gaun coklat tua yang dikenakannya ke pemakaman pagi ini. Ia ingin mengenakan gaun warna hitam, tapi ia tak punya.

Minggu terakhir ini seperti mimpi buruk yang datang dan pergi. Mereka beruntung panen jagung tahun ini cukup bagus -ia harus ke kota tiga kali untuk menjual semuanya. Angela ikut bersama ayahnya. William Sherrington menepati janjinya tiga tahun yang lalu bahwa ia takkan pernah meninggalkan Angela sendirian lagi. Tiga tahun yang lampau. Waktu telah berlalu begitu cepat, terutama bagi Angela. Anak laki-laki yang biasa mengganggu dan berkelahi dengannya tidak mengganggunya lagi, dan Bobo mengingat peringatan darinya. Bobo tak pernah mendekatinya lagi. Ayahnya bahkan mengizinkannya pergi sendirian seperti dulu, dan ia tidak selalu harus berada di dekat ayahnya. Ya, tahun-tahun berlalu biasa saja, sampai tahun 1865 tiba.

Setahun yang lalu Union memenangkan pertempuran penting, yaitu Pertempuran Teluk Mobile. Pertempuran akhirnya mencapai Alabama. Benteng Gaines jatuh setelah beberapa hari pertempuran sengit. Dan Benteng Morgan menyerah setelah bertahan selama delapan belas hari. Orang-orang Yankee akhirnya berhasil menjejakkan kaki mereka di Alabama.

Enam bulan kemudian, Benteng Blakely dan Benteng Spanyol dikepung. Kemudian pada bulan April tahun ini, delapan bulan setelah Pertempuran Teluk Mobile, pasukan Union, dikomandai Jendral E.R.S. Canby, berhasil mengalahkan pasukan Konfederasi dan menguasai Mobile.

Ajaibnya, pertanian kecil keluarga Sherrington terlewati. Selama saat-saat menakutkan itu, William menutup rumah dan mereka menunggu, bertanya-tanya apakah rumah mereka akan dibakar. Apakah hasil panen mereka akan habis? Apakah mereka akan hidup? Namun bahaya lewat begitu saja dan rekonstruksi pun dimulai.

Bagi Angela, kalah perang tidak membawa dampak pribadi apa pun. Ia tak pernah memiliki budak. Ia tak punya tanah, dan tidak berhadapan dengan pajak yang tak bisa dibayarnya. Tanah mereka juga tidak akan diambil karena kekayaan tuan tanah mereka tetap stabil.

Angela juga tidak kaget dengan kemiskinan seperti kebanyakan wanita kaya di Selatan, karena ia sudah akrab kemiskinan sejak lahir. Ia dan ayahnya sudah terbiasa hidup susah.

Frank Colman, teman lama ayahnya yang suka minum-minum juga, menemuinya hari itu saat Angela menunggu ayahnya di dalam kereta. Ia langsung menduga ada sesuatu yang terjadi, karena Frank tidak mau menatap wajahnya. Frank bercerita padanya tentang perkelahian yang melibatkan ayahnya. Perkelahian di kedai minum tentang orang-orang Yankee yang memenangkan perang, kata Frank.Seorang pemabuk memulainya. Ayahnya jatuh, kepalanya terhantam meja dan langsung meninggal.

Angela segera berlari ke kedai tersebut dan menemukan Willian Sherrington terbaring di lantai yang berdebu dan kotor -berdarah akibat perkelahian dan tak bernyawa.

Saat terjatuh di samping ayahnya dengan rasa tak percaya, ingatannya akan beberapa kali pertengkarannya dengan ayahnya karena kebiasaan mabuk pria itu, melintasi ingatannya. Semua kata menyakitkan yang pernah diucapkannya pada ayahnya selama bertahun-tahun ini disebabkan masalah itu.

Ia menangis tersedu-sedu di lantai dan semua lelaki di sekelilingnya mundur dengan wajah malu, saat ia menumpahkan kesedihan dan dukanya.

Ayahnya telah dimakamkan pagi ini. Sekarang ia sendirian di dunia, benar-benar sendirian. Apa yang akan dilakukannya? Ia berulang kali mengajukan pertanyaan itu pada dirinya sendiri, tapi tetap tak mendapat jawaban.

Ia bisa saja menikahi Clinton Pratt, pikirnya. Clinton sudah berulang kali melamarnya tahun lalu, dan Angela yakin pria itu akan melamarnya lagi. Clinton pemuda yang sangat baik. Ia menggarap sebuah lahan pertanian kecil di dekat sungai. Angela suka ditemani Clinton tapi tak ingin menikah dengan pria itu. Ia tidak mencintai Clinton.

Genangan air mata mulai muncul lagi. Oh, Papa, mengapa kau harus meninggalkanku? aku tak ingin sendirian, Pa! Aku tak suka sendirian!

Ia ingin sekali tetap tinggal di sini. Ini adalah rumahnya. Ia  punya si tua Sarah. Ia bisa menggarap ladang sendirian, ia yakin. Tapi tentu saja, itu bukan tergantung dirinya, tapi tergantung Jacob Maitland. Mr. Maitland mungkin takkan mengizinkannya tetap tinggal di lahan pertanian ini, mengira ia tak bisa menggarap ladang sendirian.

ia mungkin akan mengetahui jawabannya hari ini karena Jacob Maitland hadir di pemakaman pagi ini, dan berkata akan menemuinya sesudahnya. Ia harus meyakinkan Jacob Maitland bahwa ia bisa tinggal sendirian. Ia harus melakukannya!


***


Jacob Maitland naik kereta terindah yang pernah dilihat Angela. Keretanya baru, dengan tempat duduk beludru warna hijau yang mewah dan cat hitam yang mengilat.

Orang bilang Jacob Maitland sangat kaya hingga perang pun sama sekali tidak mengurangi kekayaannya. Jacob tak pernah menggantungkan hidupnya pada pertanian. Tanahnya sama sekali tidak ditanami saat perang. Ini membuat orang bertanya-tanya mengapa ia tinggal di Selatan dan menempati Golden Oaks selama perang, bukannya pindah ke Eropa, di mana sebagian besar bisnisnya berada.

Dulu Jacob sering datang berkunjung saat Angela masih kecil, selalu membawakannya permen, terkadang mainan. Angela mengira alasan kedatangan Jacob adalah untuk mengontrol tanah miliknya. Lalu delapan tahun kemudian, ayahnya dan Jacob bertengkar hebat. Angela hampir yakin mereka akan diusir setelahnya, tapi ternyata tidak. Namun Jacob tak pernah datang lagi ke ladang mereka. Ia tak pernah tahu apa yang mereka pertengkarkan.

Jacob Maitland adalah tuan tanah yang baik, itu tak bisa disangkal lagi. Walau hasil panen mereka tidak bagus, Jacob tak pernah mengeluh. Dan selama perang, ia berkeras untuk mengurangi bagiannya. Itu membuat Angela merasa dua kali lebih bersalah karena telah menerima makanan yang dibawakan Hannah untuknya.

Namun sekarang ia benar-benar takut.

"Angela sayang, aku ikut berduka cita sedalam-dalamnya atas wafatnya ayahmu," Jacob Maitland memulai. "Kau pasti merasa sangat hampa sekarang."

"Ya," Angela menjawab dengan bisikan yang lemah, matanya menunduk.

"Aku mengenal ayahmu hampir selama delapan belas tahun," Jacob melanjutkan dengan suara yang lembut. "Dia sudah menggarap lahan pertanian ini sebelum aku datang ke Alabama."

"Kalau begitu, Anda juga mengenal ibu saya?" Angela bertanya penasaran, matanya bersinar.

"Ya, ya, benar." Jacob tersadar, tatapannya nanar. "Seharusnya dulu ia tidak pergi ke Barat sendirian. Dia..."

"Barat?" Angela berkata dengan bersemangat. "Ke sanakah perginya ibu saya? Ayah saya tak pernah menceritakannya."

"Ya, ibumu pergi ke sana," Jacob menjawab dengan sedih. "Tahukah kau bahwa kau sangat mirip dengan ibumu?"

"Ayah saya selalu bilang kalau rambut dan mata saya mirip ibu saya," sahut Angela, sudah lebih tenang.

"Kau jauh lebih mirip dari itu, Sayang. Ibumu wanita tercantik yang pernah kukenal. Dia punya keanggunan, kerapuhan, dan kecantikan yang menarik. Kau sama persis dengannya."

"Anda mengolok-olok saya, Mr. Maitland. Saya tidak anggun, yang pasti sama sekali tidak rapuh."

"Kau bisa menjadi anggun, dengan latihan yang tepat," cetus Jacob dengan lembut.

"Latihan? Oh, maksud anda semacam sekolah?" Angela bertanya. "Saya tidak punya waktu untuk itu. Ayah saya membutuhkan saya di sini untuk menggarap ladang."

"Ya. Mengenai ladang ini, Angela. Karena ayahmu sekarang sudah... tidak bersama kita lagi, aku ingin..."

"Kumohon, Mr. Maitland," sela Angela, takut pada apa yang akan dikatakan Jacob. "Saya bisa menggarap ladang ini sendirian. Saya sudah membantu ayah saya sejak kecil. Saya lebih kuat daripada kelihatannya, sungguh."

"Apa yang ada dalam pikiranmu, Nak? Aku tidak bisa membiarkanmu tinggal sendirian di sini," seru Jacob terkejut, menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tapi saya..."

Jacob mengangkat tangannya untuk menghentikan Angela. "Aku tak mau mendengar apa pun lagi. Dan jangan terlihat begitu sedih, Sayangku. Sebelum kau menyela, aku tadi akan mengatakan bahwa aku ingin kau ikut bersamaku dan tinggal di Golden Oaks."

Raut tidak percaya muncul di wajah Angela, "Kenapa?"

Jacob Maitland tertawa. "Anggap saja aku meresa bertanggung jawab padamu. Lagi pula, aku sudah mengenalmu sejak lahir, Angela. Aku menunggu bersama William Sherrington saat ibumu melahirkanmu. Dan aku ingin membantumu."

"Tapi bagaimana dengan keluarga Anda? Anda juga memiliki banyak pelayan di rumah."

"Omong kosong," sanggah Jacob. "Para pelayan tidak tinggal di dalam rumah, Nak. Dan keluargaku akan menerimamu dengan senang hati. Jangan khawatirkan hal itu."

"Anda memang pria terbaik yang pernah saya kenal!" Angela berseru, air mata menggenangi matanya lagi.

"Jika demikian, selesai sudah. Aku akan meninggalkanmu di sini untuk mengemasi barang-barangmu, dan aku akan mengirimkan kereta untuk menjemputmu beberapa jam lagi."



Next
Back
Synopsis


Rabu, 25 April 2018

Honor's Splendour 3


"Melakukan ketidakadilan lebih buruk daripada menderita karenanya."
                                                                      PLATO, GORGIAS


Mereka bepergian menuju selatan, menunggang kuda dengan keras dan cepat melewati sisa malam itu dan sebagian besar hari berikutnya, hanya berhenti dua kali untuk mengistirahatkan kuda-kuda mereka dari kecepatan dahsyat yang sang baron tetapkan. Madelyne diberikan sedikit waktu untuk mengurus keperluan pribadinya, namun kakinya nyaris tidak mampu menahan bobot tubuhnya, membuat tugas untuk mengurus keperluan pribadinya menjadi sebuah siksaan yang luar biasa berat, dan sebelum ia punya kesempatan untuk meregangkan otot-otot yang protes, ia diangkat ke atas kuda Duncan lagi.

Demi menjaga keamanan dalam jumlah mereka yang banyak, Duncan memutuskan untuk mengikuti jalan utama. Jalan itu paling baik adalah sebuah jalan kecil rusak yang menyedihkan, dengan semak belukar yang terlalu lebat dan cabang-cabang pohon gundul yang membuat jalan tersebut menjadi sebuah tantangan yang tak putus-putusnya bagi para kesatria yang paling tangguh. Perisai para prajurit diangkat hampir sepanjang waktu. Madelyne, bagaimanapun terlindungi dengan baik, dipeluk dengan aman di bawah jubah dan perisai Duncan.

Para prajurit terlindungi dengan baik oleh perlengkapan berat mereka, kecuali mereka yang mengenakan helm berbentuk kerucut yang terbuka di bagian wajah dan menunggang kuda dengan tangan kosong, dan hutan belantara tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi mereka selain selain agak memperlambat kuda-kuda mereka.

Perjalanan yang menyiksa itu tidak berhenti selama hampir dua hari. Pada saat Duncan mengumumkan bahwa mereka akan bermalam di sebuah lembah yang terpencil yang dilihatnya, Madelyne sudah betul-betul yakin bahwa pria itu bukan manusia. Madelyne pernah mendengar para prajurit menyebut pemimpin mereka itu sebagai serigala dan ia cukup memahami persamaan yang menjijikan itu; Duncan mengenakan gambaran hewan buas yang mengerikan itu pada lambangnya yang berwarna biru dan putih. Madelyne membayangkan ibu penawannya itu pastilah seorang iblis dari neraka dan ayahnya seekor serigala yang besar dan jelek, dan itulah satu-satunya alasan pria itu mampu mempertahankan kecepatan yang melelahkan dan tidak manusiawi seperti ini.

Pada saat mereka berhenti untuk bermalam, Madelyne mual karena lapar. Ia duduk di atas sebuah batu besar dan mengamati para prajurit mengurus kuda-kuda mereka. Perhatian utama seorang bangsawan, putus Madelyne, tahu bahwa tanpa kudanya, kesatria benar-benar tidak akan efektif. Aye, kuda harus diurus lebih dulu.

Selanjutnya adalah menyalakan api unggun, dengan delapan hingga sepuluh orang yang mengelilingi masing-masing api unggun tersebut, dan saat semua api unggun sudah dinyalakan, ada setidaknya tiga puluh api unggun yang terpisah, semuanya membentuk pundak-pundak kelelahan milik para prajurit yang siap untuk beristirahat. Terakhir adalah makanan, jatah yang sangat sedikit yang terdiri dari roti berkulit keras dan keju yang menguning. Gelas-gelas tanduk berisi ale dengan rasa asin juga diedarkan. Namun Madelyne memperhatikan para prajurit itu hanya minum dengan porsi kecil saja. Ia rasa kewaspadaan bisa jadi telah menghilangkan hasrat mereka untuk bersenang-senang, sebab mereka pasti akan membutuhkan akal sehat mereka malam ini, karena mereka berkemah dalam posisi yang rentan.

Ada bahaya yang senantiasa hadir dari gerombolan pria pengembara, orang-orang terlantar yang telah berubah menjadi burung pemakan bangkai yang menunggu untuk menerkam siapa pun yang lebih lemah dari mereka, dan ada juga hewan-hewan liar yang berkeliaran di hutan belantara itu, dengan niat yang hampir sama.

Squire Duncan diperintahkan untuk mengurusi segala keperluan Madelyne. Namanya Ansel, dan Madelyne bisa melihat dari wajahnya yang cemberut bahwa pemuda itu tidak terlalu suka dengan tugasnya.

Madelyne menghibur dirinya sendiri dengan pengetahuan bahwa setiap kilometer ke utara sama dengan satu kilometer lebih dekat dengan tujuan rahasianya sendiri. Sebelum Baron Wexton mengacaukan rencananya, Madelyne sudah merencanakan pelariannya sendiri. Ia tadinya akan bepergian ke Skotlandia menuju rumah sepupunya Edwythe. Ia sadar ia telah bersikap naif dengan berpikir bahwa ia mampu melakukannya. Aye, ia menyadari kebodohannya sekarang, bahkan mengakui kalau ia tidak akan bertahan lebih dari satu hari atau lebih sendirian, dengan menunggangi satu-satunya kuda betina di istal Louddon yang tidak akan melemparnya dari pelana. Si kuda betina, yang berpunggung lemah dan sangat tua, tidak akan memiliki stamina untuk perjalanan sejauh itu. Tanpa kuda yang kuat dan pakaian yang cocok, pelarian tersebut akan menjadi tinddakan bunuh diri. Dan peta yang digambarkan dengan tergesa-gesa berdasarkan ingatan Simon yang kabur pasti hanya akan membuat Madelyne berputar-putar.

Meski Madelyne mengakui itu sebagai impian bodoh, ia memutuskan ia harus berpegangan pada hal itu. Madelyne berpegangan erat pada kerlip harapan itu karena hanya itulah yang ia punya. Rumah Duncan pasti hanya berjarak satu teriakan dari perbatasan Skotlandia. Memangnya seberapa jauhnya rumah pria itu dari rumah baru sepupunya? Barangkali Madelyne bahkan bisa berjalan kaki ke sana.

Rintangan-rintangan itu akan membebaninya jika Madelyne membiarkan hal itu memengaruhinya. Madelyne mengesampingkan akal sehat dan sebagai gantinya berkonsentrasi pada daftar hal-hal yang akan ia butuhkan. Kuda yang kuat di urutan pertama, persediaan makanan yang kedua, dan berkat Tuhan yang ketiga. Madelyne memutuskan ia terbalik  dalam mengurutkan tingkat kepentingan ketiga hal itu, lalu menempatkan Tuhan diurutan pertama dan kuda yang terakhir, ketika ia tidak sengaja melihat Duncan yang sedang berjalan ke tengah-tengah perkemahan. Oh Tuhan, bukankah pria itu merupakan rintangan yang paling besar dari segalanya? Aye, Duncan, separuh manusia, separuh serigala, akan menjadi rintangan yang paling sukar untuk diatasi.

Duncan belum berbicara lagi kepadanya sejak mereka meninggalkan benteng Louddon. Madelyne membuat dirinya sendiri cemas sampai mual karena pernyataan garang pria itu bahwa kini Madelyne adalah miliknya. Dan apa maksudnya itu? Ia berharap ia memiliki keberanian untuk menuntut penjelasan. Namun sang baron begitu dingin, begitu asing sekarang, dan amat sangat menakutkan untuk Madelyne dekati.

Ya Tuhan, ia kelelahan. Ia tidak bisa mengkhawatirkan pria itu sekarang. Saat ia sudah beristirahat, ia akan menemukan cara untuk melarikan diri. Itu adalah tugas seorang tawanan, ya, kan?

Madelyne tahu dirinya tidak trampil dalam hal-hal seperti ini. Apa bagusnya kalau ia bisa membaca dan menulis? Tak seorang pun akan tahu tentang kemampuannya yang tak biasa itu, sebab sangat tidak dapat diterima bila seorang wanita untuk memiliki pendidikan seperti itu. Bahkan, mayoritas bangsawan tidak bisa menuliskan nama mereka sendiri. Mereka bergantung pada para pastor untuk melakukan tugas tak berarti semacam itu untuk mereka.

Tentu saja Madelyne tidak menyalahkan pamannya atas kurangnya pelatihan dirinya. Sang pastor tersayang itu benar-benar senang mengajari Madelyne tentang semua cerita kuno. Cerita favorit Madelyne adalah kisah tentang Odysseus. Pejuang dalam mitologi itu telah menjadi teman Madelyne ketika ia masih kecil dan sangat ketakutan sepanjang waktu. Ia berlagak seolah-olah Edysseus duduk disampingnya selama malam-malam yang panjang dan gelap. Odysseus membantu Madelyne mengurangi ketakutannya kalau-kalau Louddon datang dan membawanya pulang.

Louddon! Bahkan nama kelam pria itu membuat perut Madelyne mengencang. Aye, pria itulah alasan sebenarnya Madelyne kekurangan keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Ia bahkan tidak bisa menunggang kuda, demi Tuhan. Pria itu juga yang pantas disalahkan. Kakaknya itu pernah membawanya berkuda beberapa kali, saat Madelyne berusia enam tahun, dan masih ingat perjalanan tersebut sama jelasnya seakan itu terjadi kemarin. Oh, Madelyne membuat dirinya sendiri tampak bodoh, atau begitulah yang diteriakkan oleh Louddon, terpental-pental di pelana seperti serumpun jerami yang tidak diikat dengan kencang.

Dan waktu menyadari betapa ketakutannya Madelyne, kakaknya itu mengikatnya ke pelana dan memukul kudanya hingga berpacu melewati pedesaan.

Ketakutan Madelyne membuat kakaknya bersemangat. Saat Madelyne akhirnya belajar untuk menyembunyikan ketakutannya, berulah Louddon menghentikan permaian sadis itu.

Sepanjang yang bisa diingatnya, Madelyne tahu bahwa ayah dan kakaknya tidak menyukainya, dan sudah mencoba segala cara yang ia tahu untuk membuat mereka mencintainya sedikit saja. Ketika berusia delapan tahun, Madelyne dikirim kepada Bapa Berton, adik ibunya, untuk sebuah kunjungan singkat yang berubah menjadi tahun-tahun yang panjang dan damai. Bapa Berton adalah satu-satunya kerabat dari keluarga pihak ibunya yang masih hidup. Sang pastor berusaha sebaik-baiknya untuk membesarkan Madelyne, dan pamannya itu terus menerus memberitahunya, hingga ia hampir memercayai pria itu, bahwa ayahnya dan kakaknyalah yang kekurangan, bukan dirinya.

Oh, pamannya adalah seorang pria yang baik dan penyayang, yang watak lembutnya memengaruhi karakter Madelyne. Pamannya itu mengajarinya banyak hal, tak satu pun dari pelajaran-pelajaran itu yang nyata, dan pria itu sungguh-sungguh mencintainya, sebesar ayah mana pun yang bisa mencintai putrinya. Bapa Berton menjelaskan kepada Madelyne bahwa Louddon memandang hina semua wanita, namun di dalam hati, Madelyne tidak memercayainya. Kakak lelakinya itu peduli kepada kakak-kakak perempuannya. Clarissa dan Sara dikirim ke manor-manor yang bagus untuk mendapatkan pendidikan yang baik, dan mereka berdua memiliki maskawin yang mengesankan untuk dibawa ke dalam pernikahan mereka, meskipun hanya Clarissa yang sudah menikah.

Bapa Berton juga memberitahu Madelyne bahwa ayahnya tidak mau berurusan dengan Madelyne karena ia sangat mirip dengan ibunya, seorang wanita lemah lembut yang ayahnya nikahi dan kemudian berbalik menentangnya segera setelah sumpah setia diucapkan. Pamannya tidak tahu apa alasan dari perubahan sikap ayah Madelyne, tapi pamannya tetap menyalahkan ayahnya itu.

Madelyne hampir tidak ingat pada tahun-tahun masa kecilnya, walaupun sebuah perasaan yang hangat memenuhinya ketika ia memikirkan ibunya. Louddon tidak terlalu sering berada di sana untuk mengganggunya, dan Madelyne terlindungi dengan baik oleh cinta ibunya.

Hanya Louddon yang memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Madelyne. Barangkali kakaknya itu akan menjelaskan segalanya kepadanya suatu hari nanti dan kemudian Madelyne akan mengerti. Dan bersama pengertian akan datang penyembuhan, kan?

Ya, Tuhan aku harus mengesampingkan pikiran-pikiran muram ini, putus Madelyne. Ia turun dari batu besar itu lalu berjalan mengelilingi perkemahan, menjaga jarak yang cukup jauh dari para prajurit.

Ketika Madelyne berbelok dan masuk ke dalam hutan yang lebat, tak seorang pun yang mengikuti, sehingga ia dapat memenuhi tuntutan-tuntutan tubuhnya. Madelyne sedang dalam perjalanan kembali ke perkemahan saat ia melihat sebuah sungai kecil. Permukaannya mengeras, tapi Madelyne menggunakan sebatang kayu untuk memecahkan es tersebut. Berlutut, ia membasuh kedua tangan dan wajahnya. Airnya cukup dingin untuk membuat ujung jemarinya mengerut, namun cairan jernih itu terasa luar biasa.

Madelyne merasakan seseorang berdiri di belakangnya. Ia berbalik, begitu cepat hingga ia nyaris kehilangan keseimbangan. Duncan-lah yang menjulang di atasnya. "Ayo, Madelyne. Sudah saatnya beristirahat."

Duncan tidak memberi waktu kepada Madelyne untuk menjawab perintahnya tapi meraih ke bawah dan menarik gadis itu berdiri. Tangan pria itu yang besar dan kapalan menyelimuti kedua tangan Madelyne. Genggaman Duncan kuat, namun sentuhannya lembut, dan pria itu tidak melepaskan Madelyne hingga mereka mencapai pintu tendanya, sesuatu yang terlihat aneh yang terdiri dari kulit-kulit binatang liar yang ditahan oleh cabang-cabang pohon yang tebal dan kuat hingga menjadi sebuah lengkungan. Kulit-kulit tersebut akan menghalangi angin yang semakin kencang. Sebuah kulit berbulu berwarna abu-abu telah diletakkan di atas tanah di dalam tenda, jelas dimaksudkan untuk digunakan sebagai kasur. Cahaya dari perapian terdekat membuat bayang-bayang yang menari-nari di atas kulit-kulit tersebut, membuat tenda itu tampak hangat dan mengundang.

Duncan memberi isyarat agar Madelyne masuk ke dalam tenda. Gadis itu cepat-cepat mematuhinya. Akan tetapi ia tampaknya tidak bisa membuat dirinya nyaman. Kulit-kulit binatang itu sudah menyerap banyak kelembapan tanah dan Madelyne merasa seolah-olah dirinya diletakkan di atas sebalok es.

Duncan berdiri di sana, kedua lengannya bersedekap di dadanya yang bidang, mengamati gadis itu yang berusaha merasa nyaman. Madelyne menjaga ekspresinya tetap terkendali. Ia bersumpah untuk mati lebih dulu sebelum mengeluh kepada pria itu.

Tiba-tiba saja Duncan menariknya berdiri lagi, nyaris saja meruntuhkan tenda dalam kecepatan gerakannya. Pria itu mengambil jubah dari pundak madelyne, berlutut dengan sebelah lututnya, dan menghamparkan jubah tersebut di atas kulit-kulit binatang itu.

Madelyne tidak mengerti maksud pria itu. Ia mengira tenda itu untuknya, tapi Duncan membaringkan dirinya sendiri di dalam tenda, meregangkan tubuhnya hingga sepanjang-panjangnya, mengambil hampir semua ruang. Madelyne hendak berbalik pergi, merasa gusar dengan cara pria itu merebut jubahnya untuk kenyamanan pria itu sendiri. Mengapa Duncan tidak meninggalkannya saja di benteng Louddon jika pria itu bermaksud membiarkan Madelyne mati kedinginan, daripada menyeretnya separuh jalan melintasi dunia?

Madelyne bahkan tidak punya waktu untuk menghembuskan napas. Duncan menangkap gadis itu secepat kilat. Madelyne jatuh ke atas tubuh pria itu dan mengeluarkan erangan protes. Madelyne hampir tidak mendapatkan udara segar dan amarah baru kembali ke dadanya sebelum Duncan berguling ke samping, membawa serta gadis itu. Duncan melemparkan jubah ke atas mereka, memerangkap Madelyne di dalam pelukannya. Wajah Madelyne menghadap pangkal leher Duncan, puncak kepalanya terperangkap tepat di bawah dagu pria itu.

Madelyne langsung mencoba melepaskan diri, merasa ngeri karena posisi yang intim seperti itu. Ia mengerahkan setiap ons energi yang ia miliki, namun dekapan Duncan terlalu kuat untuk dipatahkan.

"Aku tidak bisa bernapas," gumam Madelyne di leher pria itu.

"Ya, kau bisa," sahut Duncan.

Madelyne pikir ia mendengar rasa terhibur dalam suara pria itu. Itu membuat Madelyne berang hampir sebesar sikap sombong pria itu. Beraninya pria itu memutuskan apakah dirinya bisa bernapas atau tidak?

Madelyne terlalu marah untuk merasa takut. Tiba-tiba ia sadar kalau kedua tangannya masih bebas dari kekangan itu. Madelyne menampar kedua bahu Duncan sampai telapak tangannya terasa perih. Duncan sudah menanggalkan tunik besinya sebelum masuk ke tenda. Hanya selembar kemeja katun yang kini menutupi dada bidang pria itu. Kain yang tipis itu meregang dengan pas di bahu Duncan yang lebar, menunjukkan garis-garis otot-ototnya yang tebal. Madelyne dapat merasakan kekuatan memancar melalui kain yang lembut itu. Ya Tuhan, tidak ada satu ons pun lemak untuk di cengkram dan dicubit. Kulit Duncan tidak lentur, sama seperti sifat keras kepala pria itu.

Akan tetapi, ada satu perbedaan yang jelas. Dada Duncan terasa hangat di pipi Madelyne, hampir panas dan amat sangat mengundang untuk meringkuk di situ. Pria itu juga berbau enak, seperti kulit dan pria, dan mau tak mau Madelyne bereaksi. Madelyne kelelahan. Aye, itulah alasan mengapa kedekatan pria itu memiliki efek yang mengganggu terhadapnya. Jantung Madelyne berdegup kencang.

Napas Duncan menghangatkan sisi leher Madelyne, membuatnya merasa nyaman. Bagaimana itu bisa terjadi? Ia begitu bingung; tak ada lagi yang masuk akal baginya. Madelyne menggeleng, bertekad untuk mengusir perasaan mengantuk yang menyerang pikiran baiknya, kemudian mencengkram kemeja pria itu dan mulai menarik kemeja tersebut.

Duncan pasti menjadi bosan dengan perlawanan gadis itu. Madelyne mendengar Duncan menghela napas hanya beberapa detik sebelum memerangkap kedua tangan dan menyelipkan tangan gadis itu ke bawah kemejanya, menempelkan tangan gadis itu di dadanya. Lapisan tebal bulu yang menutupi kulit hangat pria itu membuat ujung jemari Madelyne menggelenyar.

Bagaimana bisa ia merasa begitu hangat ketika udara begitu dingin di luar sana? Kedekatan pria itu adalah sebuah tarikan erotis dan sensual terhadap akal sehat Madelyne, membanjirinya dengan perasaan-perasaan yang tidak pernah ia tahu ia miliki. Aye, rasanya erotis, yang jelas-jelas membuat hal itu penuh dosa, dan juga tidak bermoral, sebab pangkal paha pria itu menindih pangkal paha Madelyne. Ia bisa merasakan kejantanan pria itu di sana, menempel dengan begitu intim pada tubuhnya. Gaunnya ternyata bukan pelindung yang cukup terhadap kejantanan pria itu, dan kekurangan pengalaman Madelyne tidak memberinya perlindungan sama sekali terhadap perasaan-perasaan aneh dan membingungkan yang pria itu timbulkan. Mengapa ia tidak merasa mual karena sentuhan pria itu? Sebetulnya, Madelyne tidak merasa mual sama sekali, hanya sesak napas.

Sebuah pikiran yang mengerikan memasuki benaknya dan Madelyne terkesiap keras. Bukankah ini pelukan yang pria gunakan saat berhubungan seks dengan wanita? Madelyne cemas dengan pemikiran itu beberapa lama dan kemudian mengenyahkan ketakutannya itu. Ia ingat si wanita harus menelentang, dan walaupun tidak yakin bagaimana persisnya itu dilakukan, ia yakin saat ini ia tidak sungguh-sungguh sedang berada dalam bahaya. Ia tidak sengaja mendengar Marta mengobrol dengan para pelayan dan ingat bahwa wanita kasar itu selalu memulai setiap petualangan penuh gairahnya dengan peryataan bahwa dirinya menelentang. Aye, Madelyne mengingat dengan kelegaan tajam, Marta berbicara dengan sangat spesifik saat itu. "Aku menelentang," Marta selalu memulai. Madelyne menyesal sekarang karena waktu itu ia tidak tinggal untuk mendengarkan sisa cerita blak-blakan wanita itu.

Oh Tuhan, ia juga kekurangan pengetahuan dalam area itu. Kemudian Madelyne menjadi marah, sebab, bagaimanapun juga, seorang lady terhormat tidak seharusnya mencemaskan hal itu.

Ini semua salah Duncan, tentu saja. Apakah pria itu memeluknya dengan begitu intim hanya untuk mengejeknya? Madelyne berada cukup dekat untuk merasakan kekuatan dalah paha kuat pria itu yang mencoba meremukkan pahanya. Duncan bisa meremukkannya jika pria itu berniat melakukan hal itu. Madelyne bergidik karena gambaran tersebut dan seketika menghentikan perlawanannya. Ia tidak mau memprovokasi si orang barbar. Paling tidak tangannya melindungi payudaranya. Ia bersyukur untuk itu. Akan tetapi, rasa syukurnya hanya sesaat, sebab segera setelah ia berpikir untuk bersyukur, Duncan menggeser bobot tubuhnya, lalu payudara Madelyne menempel di tubuh pria itu pula. Puncak payudara Madelyne mengeras, membuatnya semakin malu.

Duncan tiba-tiba bergerak lagi. "Apa yang..." Duncan meraungkan pertanyaan tak terselesaikan itu ke telinga gadis itu. Madelyne tidak tahu apa yang menyebabkan semburan marah Duncan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia akan tuli sepanjang sisa hidupnya.

Ketika Duncan melompat, menggumamkan sumpah serapah yang mau tak mau ia dengar, Madelyne beringsut menjauh. ia mengamati Duncan dari sudut matanya. Penawan Madelyne bangun dengan bertumpu pada satu siku dan mencari-cari sesuatu di bawah tubuhnya sendiri.

Madelyne teringat pada belati milik si squire yang ia sembunyikan di lapisan baju jubahnya tepat ketika Duncan mengangkat senjata tersebut.

Mau tak mau Madelyne mengernyitkan dahi.

Mau tak mau Duncan tersenyum lebar.

Madelyne begitu terkejut karena senyum spontan pria itu, membuatnya hampir balas tersenyum. Lalu ia kebetulan menyadari senyum pria itu tidak betul-betul menyentuh matanya. Madelyne memutuskan ia lebih baik tidak tersenyum sama sekali.

"Untuk ukuran makhluk penakut, kau ternyata banyak akal, Madelyne."

Suara Duncan begitu lunak. Apakah pria itu baru saja memuji atau mengejeknya? Madelyne tidak bisa memutuskan. Ia memutuskan untuk tidak memberitahu pria itu bahwa ia lupa tentang senjata tersebut. Duncan pasti berpikir Madelyne bodoh jika ia mengakui yang sebenarnya.

"Kaulah yang menawanku," Madelyne mengingatkan pria itu. "Kalau ternyata aku banyak akal, itu hanya karena aku berkewajban untuk melarikan diri. Itu adalah tugas seorang tawanan."

Duncan mengernyitkan dahi.

"Apakah kejujuranku menyinggungmu, Milord?" tanya Madelyne. "Kalau begitu, mungkin seharusnya aku tidak berbicara padamu sama sekali. Aku ingin tidur sekarang," imbuhnya. "Dan aku akan mencoba untuk melupakan bahwa kau ada di sini."

Untuk membuktikan bahwa ia bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan, Madelyne memejamkan matanya.

"Kemarilah, Madelyne."

Perintah yang diucapkan dengan lembut itumengirimkan getar ketakutan di sepanjang tulang belakang Madelyne, dan sebuah simpul terbentuk di dasar perutnya. Pria itu melakukannya lagi, putus Madelyne, menakuti hingga dirinya tidak bisa bernapas. Dan ia mulai muak karena hal tersebut. Madelyne yakin tidak banyak rasa takut yang tersisa dalam dirinya. Ia membuka matanya untuk memandang pria itu, dan saat ia melihat belati itu sedang diarahkan kepadanya, ia sadar ia ternyata masih punya persediaan rasa takut yang cukup banyak.

Betapa pengecutnya diriku, pikir Madelyne seraya beringsut mendekati Duncan. ia berbaring menyamping menghadap pria itu, hanya beberapa senti jauhnya.

"Nah, kau senang sekarang?" ujar gadis itu.

Madelyne menduga itu tidak terlalu membuat duncan senang, ketika ia tahu-tahu menelentang, dengan pria itu menjulang di atasnya. Oh, pria itu begitu dekat hingga Madelyne benar-benar bisa melihat titik-titik perak di mata kelabunya.

Madelyne pernah mendengar, mata seharusnya menggemakan pikiran-pikiran di dadalam benak seseorang, namun ia tidak dapat mengetahui apa yang sedang Duncan pikirkan. Itu membuatnya cemas.

Duncan mengamati Madelyne. Ia merasa terhibur dan kesal dengan emosi-emosi membingungkan yang secara tidak sadar gadis itu perlihatkan. Ia tahu gadis itu takut padanya. Tapi gadis itu tidak menangis atau memohon pada Duncan. Dan Tuhan, gadis itu cantik. Ada taburan bintik-bintik di batang hidungnya. Menurut Duncan ketidaksempurnaan itu sangat menarik. Mulut gadis itu juga sangat menarik. Duncan bertanya-tanya seperti apa rasa gadis itu baginya, dan ia bisa merasakan dirinya bergairah hanya dengan pikiran tersebut.

"Apa kau akan menatapku sepanjang malam?" tanya Madelyne.

"Mungkin," jawab Duncan. "Kalau aku mau," imbuhnya, tersenyum melihat cara gadis itu mencoba untuk tidak merengut kepadanya.

"Kalau begitu aku harus menatapmu sepanjang malam," jawab Madelyne.

"Dan kenapa begitu, Madelyne?" suara Duncan lembut dan serak.

"Kalau kau berpikir untuk mengambil keuntungan dariku sementara aku tidur, kau salah, Baron."

Gadis itu terlihat sangat marah. "Dan bagaimana caranya aku mengambil keuntungan darimu, Madelyne?"

Duncan kini tersenyum kepada gadis itu, senyum lebar yang sesungguhnya, tercermin di kedalaman matanya.

Madelyne berharap dirinya tetap diam. Ya Tuhan, ia sedang memasukkan pikiran-pikiran tidak senonoh ke dalam kepala pria itu.

"Aku lebih suka tidak mendiskusikan masalah ini," Madelyne tergagap. "Aye, lupakanlah kalau aku sudah mengatakan sesuatu, kalau kau berkenan."

"Tapi aku tidak berkenan," jawab Duncan. "Apa kau pikir aku akan memuaskan hasratku malam ini dan menidurimu saat kau beristirahat?"

Duncan merendahkan kepalanya hingga hanya berjarak nyaris setarikan napas jauhnya dari wajah Madelyne. Ia senang melihat gadis itu merona, bahkan mendengkurkan persetujuannya.

Madelyne sediam kelinci betina, terperangkap oleh kecemasannya sendiri.

"Kau tidak akan menyentuhku," sembur Madelyne tiba-tiba. "Tentunya kau terlalu lelah untuk berpikir tentang... dan kita sedang berkemah di ruangan terbuka... nay, kau tidak akan menyentuhku," pungkasnya.

"Mungkin."

Dan apa artinya itu? Madelyne melihat kilat misterius di mata pria itu. Apakah pria itu memperoleh kesenangan besar dari kesengsaraan Madelyne yang terlihat jelas?

Madelyne memutuskan pria itu tidak akan mengambil keuntungan darinya tanpa mendapatkan perlawanan hebat. Dengan pikiran tersebut di dalam benaknya, ia menyerang Duncan, mengarahkan tinjunya tepat di bawah mata kanan pria itu. Sasaran Madelyne tepat, tapi ia rasa ia mendapat rasa sakit yang lebih besar dari yang Duncan dapatkan. Madelyne-lah yang menjerit kesakitan. Duncan bahkan bergeming. Oh Tuhan, Madelyne mungkin sudah mematahkan tangannya, dan semuanya demi hal yang sia-sia.

"Kau terbuat dari batu," gerutu Madelyne.

"Kenapa kau melakukan itu?" tanya Duncan, nada suaranya penasaran.

"Untuk memberitahumu bahwa aku akan melawan sampai mati kalau kau mencoba memaksakan dirimu kepadaku," gagap Madelyne. Menurutnya itu adalah pernyataan paling berani, namun kekuatan dari pernyataan tersebut dihancurkan oleh suaranya yang bergetar. Ia menghela napas, kehilangan semangat.

Duncan tersenyum lagi. "Sampai mati, Madelyne?"

Dari ekspresi mengerikan di wajah Duncan, Madelyne memutuskan pria itu mendapati bahwa ide tersebut menyenangkan.

"Kau terlalu cepat menarik kesimpulan," komentar Duncan. "Itu sebuah kekurangan, kau tahu."

"Kau mengancam," balas Madelyne. "Itu kekurangan yang lebih besar, kau tahu."

"Nay," bantah pria itu. "Kau yang mengatakannya."

"Aku adalah adik musuhmu," Madelyne mengingatkan Duncan, senang melihat kernyitan di wajah pria itu yang disebabkan oleh peringatannya. "Kau tidak bisa mengubah fakta itu," imbuhnya untuk lebih menekankan.

Ketegangan meninggalkan pundak Madelyne. Ia seharusnya memikirkan argumen itu lebih cepat.

"Tapi dengan mata terpejam, aku tidak akan tahu apakah kau adik Louddon atau bukan," ujar Duncan. "Rumor yang kudengar, kau tinggal bersama seorang pastor yang dikucilkan oleh gerejanya dan kau menjadi pelacur untuknya. Tapi dalam kegelapan, itu tidak akan menggangguku. Semua wanita sama jika menyangkut hubungan seks."

Madelyne berharap ia dapat memukul pria itu lagi. Madelyne begitu geram mendengar gosip jahat itu, sehingga matanya dipenuhi air mata. Ia ingin meneriaki pria itu, memberitahunya bahwa Bapa Berton telah memenuhi kewajibannya kepada Tuhan dan gerejanya, dan bahwa sang pastor kebetulan adalah pamannya juga. Sang pastor satu-satunya orang yang mencintainya. Berani-beraninya Duncan menodai reputasi pamannya?

"Siapa yang menyampaikan cerita-cerita ini kepadamu?" tanya Madelyne, suaranya berupa bisikan serak.

Duncan dapat melihat betapa kata-katanya telah melukai gadis itu. Kemudian ia tahu bahwa semua cerita itu tepat seperti dugaannya. Cerita itu bohong. Madelyne tidak bisa menyembunyikan sakit hatinya dari Duncan. Di samping itu, ia sudah melihat kepolosan gadis itu.

Madelyne merasa remuk redam oleh kata-kata jahat Duncan. "Apa kau kira aku akan mencoba meyakinkanmu bahwa gosip yang kau dengar tentang diriku itu tidak benar?" tanyanya. "Well, pikirkan lagi, Baron. Percayai apa pun yang kau mau. Kalau kau pikir aku adalah pelacur, maka aku adalah pelacur."

Semburan marah gadis itu berapi-api, pertunjukan amarah pertama yang Duncan saksikan sejak ia menawan Madelyne. Ia mendapati dirinya terpesona oleh mata biru yang luar biasa itu, yang berkilat dengan amarah. Aye, gadis itu memang polos.

Duncan memutuskan untuk mengakhiri percakapan mereka supaya Madelyne tidak perlu tersiksa lebih jauh lagi. "Tidurlah," perintah Duncan pada gadis itu.

"Bagaimana aku bisa tidur sambil ketakutan kau akan mengambil keuntungan dariku pada malam hari?" tanya Madelyne.

"Apa kau benar-benar berpikir kau akan bisa tetap tidur pada saat aku mengambil keuntungan darimu?" tanya Duncan. Suaranya terdengar ragu. Ya Tuhan, gadis itu telah menghinanya, namun Duncan sadar gadis itu terlalu naif untuk menyadarinya. Duncan menggeleng. "Jika aku memutuskan untuk mengambil keuntungan darimu, seperti yang kau utarakan, aku berjanji untuk membangunkanmu terlebih dahulu. Sekarang pejamkan matamu dan tidurlah."

Duncan menarik Madelyne ke dalam pelukannya, menekankan punggung gadis itu ke dadanya. Lengannya melingkari Madelyne dalam cara yang intim, menempel di bagian bawah payudara gadis itu. Kemudian Duncan melemparkan jubah ke atas mereka berdua, bertekad untuk mengusir gadis itu dari pikirannya.

Itu lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Aroma mawar melekat pada Madelyne, dan gadis itu terasa lembut di tubuh Duncan. Kedekatan gadis itu hampir memabukkannya. Duncan tahu akan butuh waktu lama sebelum ia terlelap.

"Kau menyebutnya apa?" pertanyaan Madelyne menghampirinya dari bawah jubah. Suara gadis itu teredam namun Duncan menangkap setiap kata. Duncan harus mengingat percakapan mereka sebelum ia merasa mengerti apa yang gadis itu tanyakan.

"Mengambil keuntungan?" tanya Duncan, memperjelas pertanyaan gadis itu.

Duncan merasakan anggukan Madelyne. "Memerkosa." Duncan menggumamkan kata kotor tersebut di puncak kepala gadis itu.

Madelyne tersentak, menabrak dagu Duncan dalam kecepatan gerakannya. Kesabaran Duncan semakin menipis. ia memutuskan seharusnya ia tidak pernah berbicara kepada gadis itu. "Aku tidak pernah memaksakan diriku kepada wanita mana pun, Madelyne. Kesucianmu betul-betul aman. Nah, sekarang tidurlah."

"Tidak pernah?" Madelyne membisikkan pertanyaannya.

"Tidak pernah!" Duncan meneriakkan jawabannya.

Madelyne memercayai pria itu. Aneh, tapi ia kini merasa aman dan tahu pria itu tidak akan menyakitinya sementara ia tidur. Kedekatan Duncan mulai membuat Madelyne merasa nyaman lagi.

Madelyne segera dibius oleh kantuk karena kehangatan pria itu. Ia meringkuk lebih dekat kepada Duncan, mendengar pria itu mengerang saat ia menggerak-gerakkan bokongnya di tubuh pria itu untuk lebih banyak mendapatkan kenyamanan, dan bertanya-tanya apa yang mengganggu pria itu sekarang. Saat Duncan mencengkram pinggul Madelyne dan mendiamkannya, gadis itu menduga gerakannya membuat pria itu tidak bisa tidur.

Sepatu Madelyne sudah terlepas dan ia pelan-pelan menyelipkan kakinya di antara betis Duncan untuk lebih banyak mendapatkan kehangatan pria itu. ia berhati-hati agar tidak terlalu banyak bergerak sebab ia takut akan membuat pria itu kesal lagi.

Napas hangat Duncan memanaskan sisi leher gadis itu. madelyne memejamkan matanya dan mendesah. ia tahu ia harus melawan godaan itu, namun kehangatan pria itu menariknya, membuainya. Ia teringat pada salah satu cerita favoritnya tentang Odyssius dan petualangan-petualangannya dengan para Siren. Aye, kehangatan Duncan merayunya seperti lagu yang dinyanyikan oleh nymph-nymph dalam mitologi itu untuk memikat Odysseus dan pasukan prajuritnya ke dalam kehancuran mutlak. Odysseus mengecoh para Siren tersebut dengan cara menjejalkan lilin ke dalam telinga prajuritnya untuk menghalangi suara yang luar biasa menggoda tersebut.

Madelyne berharap ia sepintar dan secerdik sang pejuang hebat itu.

Angin melengking dan mengerang dalam nada pilu di sekelilingnya, namun Madelyne terlindungi dengan baik, didekap dengan erat dalam pelukan penawannya. Ia memejamkan matanya dan kemudian menerima kebenaran itu. Nyanyian para Siren telah menawan dirinya.

Madelyne terbangun hanya sekali malam itu. Punggungnya cukup hangat, namun dada dan lengannya kedinginan. Dengan sangat perlahan, agar tidak mengganggu Duncan, madelyne berbalik dalam pelukan pria itu. Ia menempelkan pipinya di pundak Duncan dan menyelipkan kedua tangannya di bawah kemeja pria itu.

Madelyne tidak terbangun sepenuhnya, dan ketika Duncan mulai menggosok-gosokkan dagu ke keningnya, gadis itu mendesah puas dan meringkuk semakin dekat. Jambang Duncan menggelitik hidung gadis itu. Madelyne mendongak dan pelan-pelan membuka matanya.

Duncan sedang menatapnya. Ekspresi Duncan tidak waspada, begitu hangat dan lembut. Akan tetapi mulut pria itu terlihat keras; Madelyne bertanya-tanya bagaimana rasanya jika pria itu menciumnya.

Tak satu pun dari mereka yang bicara, namun ketika Madelyne bergerak ke arah Duncan, pria itu menemuinya di tengah gerakannya.

Madelyne terasa selezat yang Duncan bayangkan. Oh Tuhan, gadis itu lembut, mengundang. Madelyne tidak bangun sepenuhnya dan oleh sebab itu tidak menolak Duncan, meski mulutnya tidak cukup terbuka untuk pria itu masuki. Duncan dengan cepat mengatasi masalah tersebut dengan cara mendorong dagu gadis itu ke bawah dengan ibu jarinya, lalu memasukkan lidahnya sebelum Madelyne dapat menebak maksudnya.

Duncan menangkap embusan napas Madelyne dan memberi gadis itu erangannya.

Saat Madelyne dengan takut-takut menggunakan lidahnya sendiri untuk membelai lidah Duncan, pria itu menelentangkan Madelyne, dan menempatkan dirinya di antara kaki gadis itu. Kedua tangan Duncan menangkup sisi wajah Madelyne, mendiamkan gadis itu untuk serangan lembutnya.

Tangan madelyne terperangkap di bawah kemeja Duncan. Jemari gadis itu mulai membelai dada Duncan, menggoda kulitnya hingga menjadi panas.

Duncan ingin mengetahui seluruh rahasia gadis itu, memuaskan dirinya sendiri, seketika itu juga, dan semua karena Madelyne amat sangat responsif.

Ciuman itu berubah menjadi sangat panas, sangat intens, sehingga Duncan tahu dirinya berada dalam bahaya akan kehilangan kendali. Mulutnya dimiringkan di atas mulut Madelyne lagi dan lagi, lidahnya menerobos, membelai, mengambil. Oh Tuhan,ia sepertinya tidak bisa puas akan gadis itu.

Itu adalah ciuman paling luar biasa yang pernah Duncan alami, dan ia pasti tidak akan berhenti andai gadis itu tidak mulai gemetar. Rengekan lembut terdengar dari dalam tenggorokan gadis itu. suara sensual itu nyaris menyingkirkan akal sehat.

Madelyne terlalu terpana untuk bereaksi ketika Duncan mendadak menarik diri darinya. Pria itu berbaring telentang, dengan mata terpejam, dan satu-satunya indikasi bahwa ia berpartisipasi dalam ciuman mereka adalah napasnya yang kasar dan tak teratur.

Madelyne tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Oh Tuhan, ia malu sekali pada dirinya sendiri. Apa gerangan yang telah merasukinya? Ia bertingkah begitu jalang, begitu... rendah. Dan ia bisa melihat dari kerutan di wajah Duncan kalau dirinya tidak membuat pria itu senang.

Madelyne ingin menangis.

"Duncan?" Madelyne merasa suaranya terdengar seolah-olah ia sudah menangis.

Duncan tidak menjawab, namun helaan napasnya memberitahu Madelyne bahwa ia mendengar gadis itu memanggil namanya.

"Aku minta maaf."

Duncan begitu terkejut mendengar permintaan maaf gadis itu, membuatnya berbalik menyamping untuk menatap gadis itu. Nyeri di pinggangnya terasa menyakitkan dan ia tidak bisa menghilangkan kernyitan dari wajahnya.

"Maaf untuk apa?" tuntut Duncan, kesal karena suaranya terdengar kasar.

Duncan tahu ia membuat gadis itu ketakutan lagi, sebab Madelyne buru-buru memunggunginya. Gadis itu juga cukup gemetar untuk Duncan sadari. Ia hendak meraih dan menarik Madelyne kembali ke dalam pelukannya, ketika akhirnya gadis itu menjawabnya.

"Karena sudah mengambil keuntungan darimu."

Duncan tidak bisa memercayai apa yang baru saja ia dengar. Itu adalah permintaan maaf paling konyol yang pernah diberikan kepadanya.

Sebuah senyum perlahan menggantikan kernyitan Duncan. Ya Tuhan, ia merasa ingin tertawa sekarang, dan pasti akan menyerah kepada dorongan itu, seandainya Madelyne tidak terdengar begitu tulus. Akan tetapi, hasratnya untuk menjaga perasaan gadis itu membuat tawanya tertahan. Duncan tidak mengerti alasan dirinya ingin menjaga perasaan gadis itu, namun keinginan itu ada di sana, menyiksanya.

Duncan mengerang panjang. Madelyne mendengarnya dan langsung menyimpulkan bahwa pria itu sungguh-sungguh merasa jijik kepadanya. "Aku berjanji padamu, Duncan, itu tidak akan terjadi lagi."

Duncan melingkarkan lengannya ke pinggang Madelyne dan menarik gadis itu ke arahnya. "Dan aku berjanji padamu bahwa itu akan terjadi lagi, Madelyne."

Madelyne pikir itu terdengar seperti sebuah sumpah.



Next
Back
Synopsis