Jumat, 20 Juli 2018

Honor's Splendour 9


“Jauhilah segala yang jahat;
Lakukanlah segala yang baik.
-PERJANJIAN BARU, ROMA 12:9


Madelyne ngeri melihat pemandangan yang berdiri di hadapannya. Ia langsung mengenali Adela, sebab gadis itu terlihat amat sangat mirip dengan adiknya, Gilard. Adela memiliki rambut coklat Gilard, serta mata coklat adiknya itu. Namun Adela tidak setinggi Gilard, dan terlalu kurus, dengan kulit pucat yang bagi Madelyne menandakan bahwa gadis itu tidak dalam keadaan sehat.


Adela mengenakan gaun yang mungkin pernah berwarna pucat. Kini gaun tersebut tertutupi oleh begitu banyak debu dan kotoran, sehingga warna aslinya tidak bisa dikenali lagi. Rambutnya, panjang dan acak-acakan, tampak sekotor gaunnya. Menurut Madelyne pasti ada lebih dari sekadar debu yang tinggal di rambut yang terlihat lengket itu.

Madelyne tidak merasa jijik karena penampilan Adela begitu perasaannya terguncangnya yang pertama telah berkurang. Ia bisa melihat sorot tersiksa di mata gadis malang itu. Ada rasa sakit di sana, dan keputusasaan. Madelyne merasa hendak menangis. Ya Tuhan, kakak Madelyne-lah yang menyebabkan ini. Karena itu Madelyne tahu bahwa Louddon akan selamanya berada di neraka.

Duncan merangkul pundak Madelyne dan menarik gadis itu dengan kasar ke sisinya. Madelyne tidak mengerti motif Duncan, namun ia berhenti gemetar dalam pelukan pria itu.

“Aku akan membunuhnya, Duncan.” Adela meneriakkan ancamannya.

Tiba-tiba Edmond muncul. Madelyne mengawasi pria itu bergegas menghampiri adiknya dan memegang lengan gadis itu.

Pelan-pelan Adela mengikuti kakaknya menuju meja. Edmond berbicara kepada gadis itu, namun suaranya terlalu pelan bagi Madelyne untuk mendengar apa yang pria itu katakan. Tapi ia terlihat sedang menenangkan adiknya. Langkah-langkah Adela tidak kaku lagi dan gadis itu mengangguk beberapa kali sebagai tanggapan terhadap kata-kata kakaknya.

Ketika Adela sudah duduk di samping Edmond, tiba-tiba ia meneriakkan ancamannya lagi. “Aku berhak membunuhnya, Duncan.”

Ada kebencian di mata itu. Madelyne pasti akan mundur selangkah andai Duncan tidak memeganginya dengan erat.

Madelyne tidak tahu harus bagaimana menanggapi ancaman tersebut. Ia akhirnya mengangguk, menunjukkan kepada Adela bahwa ia mengerti apa yang gadis itu janjikan, kemudian berpikir bahwa itu mungkin akan tampak seolah-olah ia menyetujui. “Kau boleh mencobanya, Adela,” jawabnya.

Jawaban Madelyne tampaknya mendorong Adela hingga menjadi sangat marah. Adik duncan itu berdiri, begitu mendadak sampai-sampai bangku terjungkal dari platform dan menghantam lantai batu.

“Saat kau berbalik, aku akan...”

“Cukup.” Suara Duncan memantul di tembok-tembok. Perintah itu mendapat reaksi langsung dari Adela. Ia terlihat kehilangan keberaniannya tepat di depan mata Madelyne.

Edmond jelas tidak menyukai cara Duncan berteriak kepada adik mereka. Ia merengut kepada kakaknya sebelum menegakkan kembali kursi Adela dan membantu adiknya duduk.

Duncan menggumamkan sumpah serapah. Ia melepaskan bahu Madelyne namun tetap menawan gadis itu dengan cara menggenggam tangannya. Kemudian ia berjalan keluar dari aula, menarik Madelyne di belakangnya. Madelyne harus berlari agar tidak tertinggal.

Duncan tidak memelankan langkahnya atau melonggarkan genggamannya sampai mereka mencapai landasan sempit di luar kamar tidur menara Madelyne.

“Bagaimana bisa kau membiarkannya bertingkah seperti itu?” tuntut Madelyne.

“Kakakmu yang bertanggung jawab,” jawab Duncan.

Madelyne tahu ia akan mulai menangis. Ia menegakkan bahunya. “Aku sangat lelah, Duncan. Aku ingin pergi tidur sekarang.”

Perlahan-lahan Madelyne berjalan ke dalam kamar, berdoa pria itu tidak mengikutinya. Ketika ia mendengar langkah sepatu bot pria itu di anak tangga, ia tahu Duncan sudah pergi.

Madelyne berbalik dan menutup pintu, dan hampir berhasil mencapai tempat tidur sebelum ia mulai menangis.

Duncan segera kembali ke aula. Ia berniat memerintahkan kerja sama dari adik-adiknya dalam rencananya menyangkut Madelyne.

Edmond dan Gilard masih duduk di meja, sedang berbagi seteko ale. Adela, syukurlah telah meninggalkan aula.

Ketika Duncan duduk, Gilard mengulurkan teko ale itu kepada Duncan bersamaan dengan Edmond menanyainya. “Apakah kita para Wexton kini harus melindungi adik Louddon dari anggota keluarga kita sendiri?”

“Madelyne tidak berbuat apa-apa kepada Adela,” bela Gilard. “Dia sama sekali tidak mirip dengan kakaknya dan kau sangat tahu itu, Edmond. Kita memperlakukannya dengan tidak pantas, tapi dia tidak pernah mengucapkan sepatah pun kata protes.”

:Jangan berlagak jadi pelindung Madelyne di depanku,” balas Edmond. “Dia memang berani,” ia mengakui sambil mengangkat bahu. “Kau sudah menceritakan bagaimana dia menyelamatkan bokongmu dari pertempuran itu, Gilard. Ya Tuhan, kau menceritakannya berkali-kali, sampai-sampai aku hafal di luar kepala,” imbuhnya, kini memandang Duncan. “Akan tetapi, masalahnya bukanlah kepribadian Madelyne. Kehadirannya membuat Adela marah.”

Aye, tukas Duncan. “Dan itu membuatku senang.”

“Apa katamu?” tuntut Edmond.

“Edmond, sebelum kau meledak marah, jawab pertanyaan ini dulu. Kapan terakhir kali Adela berbicara kepadamu?”

“Di London, sesaat setelah kami menemukannya,” jawab Edmond. Suaranya terdengar kesal namun Duncan tidak tersinggung karena hal itu.

“Gilard? Kapan terakhir kali kakakmu berbicara kepadamu?”

“Sama dengan Edmond,” jawab Gilard, mengernyit. “Dia memberitahuku apa yang terjadi dan hanya itu saja. Kau tahu dia tidak mengucapkan swpatah kata pun kepada siapa pun sejak malam itu.”

“Sampai malam ini,” Duncan mengingatkan mereka. “Adela berbicara kepada Madelyne.”

“Dan kau menganggap ini pertanda bagus?” tanya Edmond, suaranya ragu. “Adela akhirnya bicara, aye, tapi hanya tentang pembunuhan, Kak. Demi Tuhan, adik kita yang manis bersumpah untuk membunuh Madelyne. Aku tidak menganggap ini sebagai pemulihan.”

“Adela mulai kembali kepada kita,” jelas Duncan. “Ada amarah sekarang, begitu kuat sampai-sampai menyita pikirannya, tapi menurutku, dengan bantuan Madelyne, Adela akan mulai sembuh.”

Edmond menggeleng. “Sewaktu kakak kita, Catherine, datang berkunjung, Adela bahkan tidak mau menemuinya. Mengapa kau berpikir Madelyne bisa menolong ketika kakak Adela sendiri tidak sanggap?”

Duncan kesulitan dalam memberi penjelasan. Ia sama sekali tidak terbiasa mendiskusikan hal-hal penting apa pun dengan kedua adiknya. Nay, kebiasaannya adalah mengeluarkan perintah, mengharapkan setiap perintahnya dilaksanakan sesuai dengan keinginannya. Duncan memerintah rumahnya sama seperti ia memerintah anak buahnya, dan dalam cara yang sama dengan cara syshnya dulu memerintah. Satu-satunya pengecualian dalam hukum yang suci ini adalah ketika ia berlatih dengan prajuritnya. Pada saat berlatih, Duncan menjadi partisipan aktif serta instruktur mereka, menuntut dari setiap prajuritnya hanya pencapaian-pencapaian yang sudah dicapai olehnya sendiri.

Tapi sekarang memang bukan situasi yang biasa. Adik-adiknya berhak mengetahui apa yang hendak Duncan lakukan. Adela saudara perempuan mereka juga. Aye, mereka juga berhak untuk menyuarakan pendapat mereka.

“Menurutku kita sebaiknya memanggil Catherine lagi,” tukas Edmond, rahangnya menegang.

“Itu tidak perlu,” ujar Duncan. “Madelyne akan menolong Adela. Kita hanya perlu mengarahkannya,” imbuhnya seraya tersenyum samar. “Madelyne satu-satunya orang yang akan memahami apa yang sedang berlangsung di dalam benak Adela. Pada akhirnya nanti saudara perempuan kita akan kembali kepada kita.”

Aye, Duncan, Adela memang akan berpaling kepada Madelyne-mu, tapi dengan sebilah belati di tangannya dan pembunuhan di dalam benaknya. Kita harus mengambil segala macam tindakan pencegahan.”

“Aku tidak ingin Madelyne ditempatkan dalam bahaya,” cetus Gilard. “Menurutku kita seharusnya meninggalkannya saja. Louddon pasti segera menemukannya. Dan dia memang bukan Madelyne-nya Duncan, Edmond. Kita semua sama-sama bertanggung jawab atas dirinya.”

“Madelyne  milikku, Gilard,” Duncan mengumumkan. Suaranya halus namun tantangan itu ada di sana, di bahunya yang menegang dan dalam caranya menatap adiknya.

Dengan enggan gilard mengangguk menyetujui. Edmond mengawasi percakapan antara kedua saudaranya itu. Ia sama sekali tidak senang dengan nada posesif dalam suara Duncan.

Edmond mendadak sangat sepakat dengan Gilard, yang merupakan peristiwa langka, karena Gilard dan Edmond biasanya berbeda pendapat dalam hampir semua hal yang substansial. “Mungkin seharusnya Madelyne ditinggalkan,” ujarnya, berniat untuk sekali lagi mengemukakan kemungkinan untuk mengembalikan gadis itu secepatnya.

Tinju Duncan menghantam meja dengan kekuatan yang cukup untuk menumpahkan ale. Teko itu pasti akan terlempar dari meja andai Gilard tidak bereaksi dengan sangat cepat.

“Madelyne tidak akan pergi ke mana-mana, Edmond. Aku tidak akan bertanya lagi, Dik. Apakah kau mendukungku dalam keputusan ini?”

Momen kebisuan yang panjang menyelimuti kedua bersaudara tersebut.

“Jadi, begitu rupanya,” ujar Edmond akhirnya.

Duncan mengangguk. Gilard mengawasi percakapan tersebut, bingung. Ia jelas tidak melewatkan sesuatu, namun tidak dapat memahami apa sesuatu itu.

Aye, memang seperti itu,” Duncan mengiyakan. “Apa kau akan menentangku dalam hal ini?”

Edmond menghela napas. Ia menggeleng. “Tidak. Aku akan mendukungmu, Duncan, meskipun aku mau menasehatimu tentang masalah-masalah yang akan dibawa oleh keputusan ini.”

“Itu tidak akan menggoyahkanku, Edmond.”

Duncan kelihatannya tidak akan bersedia menjelaskan percakapan itu. Gilard memutuskan untuk menunggu hingga ia dan Edmond tinggal berdua saja, lalu mencari tahu apa yang sedang terjadi. Di samping itu, ucapan yang lain membuatnya mencetuskan sebuah pertanyaan cepat. “Duncan? Apa maksudmu waktu kau bilang Madelyne hanya perlu diarahkan untuk menolong Adela?”

Duncan akhirnya menoleh kepada Gilard. Ia senang atas dukungan Edmond, dan oleh sebab itu suasana hatinya menjadi ringan. “Madelyne punya pengalaman yang akan menolongnya dalam menghadapi saudara perempuan kita. Saranku adalah menempatkan mereka berdua bersama-sama sesering mungkin. Edmond, tugasmu adalah mendampingi adikmu ke acara makan malam setiap malam. Gilard, kau akan mendampingi Madelyne. Dia tidak terlalu takut kepadamu.”

“Dia takut kepadaku?” Edmond terdengar ragu.

Duncan tidak mengacuhkan pertanyaan tersebut, kendati ia menatap jengkel kepada Edmond untuk memberitahu adiknya itu bahwa ia tidak terlalu suka diinterupsi. “Tidak penting apakah Adela atau Madelyne mau menolaknya. Seret mereka kalau memang harus, tapi mereka harus makan bersama.”

“Adela akan menghancurkan Madelyne yang lembut,” Gilard buru-buru berkata. “Madelyne yang manis tidak akan pernah mampu mempertahankan dirinya sendiri melawan...”

“Madelyne yang manis itu memiliki temperamen segarang badai musim dingin, Gilard.” Suara Duncan terdengar jengkel. “Kita hanya harus mengarahkannya untuk melepaskan sedikit temperamen itu.”

“Apa katamu?” Gilard berteriak, jelas-jelas tercengang, “Madelyne adalah gadis yang lembut. Kenapa...”

Kernyitan Edmond yang biasa meninggalkannya. Sebetulnya, ia mulai terkekeh. “Dia juga punya tinju kiri yang manis, Gilard. Dan kita sangat tahu gadis lembut macam apa dia. Dia meneriakkannya dengan cukup keras untuk di dengar seluruh Inggris.”

“Demamnya memengaruhi pikirannya pada saat itu. Aku sudah bilang padamu kalau kita seharusnya memotong rambutnya untuk mengeluarkan iblis-iblis dari dalam tubuhnya, Duncan. Madelyne bertingkah tidak seperti dirinya sendiri, kuberitahu kau. Bahkan, dia tidak tahu kalau dia telah membuat mata Edmond memar.”

Duncan menggeleng. “Kau tidak perlu membela Madelyne di hadapanku,” katanya.

Well, apa yang akan kau lakukan menyangkut Madelyne?” Gilard tak bisa menghilangkan tuntutan dari suaranya.

“Dia akan mendapatkan tempat berlindung yang aman di sini, Gilard.” Kemudian Duncan berdiri dan hampir melangkah keluar dari aula, saat komentar Edmond mencapainya. “Ini tidak akan aman sampai Adela mendapatkan akal sehatnya. Madelyne akan terpaksa melalui siksaan yang berat.”

“Siksaan yang berat bagi kita semua,” seru Duncan. “Dengan kehendak Tuhan, ini semua akan segera berakhir.”

Duncan meninggalkan kedua adiknya. Ia berjalan menuju danau untuk berenang.

Pikiran Duncan terus kembali kepada Madelyne. Kebenaran tidak terelakkan. Oleh sebuah perubahan nasib yang tak terduga dan ironis, Madelyne tetap tak ternoda oleh sifat jahat Louddon. Ia adalah wanita yang patut diperhitungkan. Gadis itu menyembunyikan kepribadiannya yang sebenarnya dari dirinya sendiri, renung Duncan sambil tersenyum. Namun Duncan telah diberi kilasan-kilasan yang berharga tentang Lady Madelyne yang sebenarnya. Meskipun diperlukan demam hebat terlebih dahulu untuk mengeluarkan jiwanya yang penuh gairah. Aye, gadis itu sensual, dengan rasa haus akan kehidupan yang membuat Duncan sangat senang.

Barangkali, renung Duncan, Adela juga akan menolong Madelyne. Mungkin adiknya itu tanpa sadar akan menolong Madelyne mengenyahkan sebagian selubung dirinya.

Air yang dingin akhirnya sukup mengganggu Duncan untuk mengesampingkan pikiran-pikirannya. Ia menyelesaikan kegiatan berenangnya dan pergi untuk mendatangi Madelyne. Motif tunggal itu membantunya melalui ritual renangnya dalam waktu yang dipercepat.

Madelyne baru saja membuka jendela kamarnya, ketika ia menangkap pemandangan Duncan yang sedang berjalan menuju danau. Punggung Duncan menghadap ke arahnya dan Madelyne mengawasi pria itu melepaskan setiap pakaian dan menyelam ke dalam air.

Madelyne tidak merasa malu melihat pria itu tanpa pakaiannya. Aye, ketelanjangan Duncan tidak membuat Madelyne malu sama sekali. Ia terlalu terpana dengan apa yang pria sinting itu lakukan untuk merona karena ketelanjangannya. Di samping itu, punggung Duncan menghadapnya, menghindarkan Madelyne dari perasaan tidak nyaman yang sebenarnya.

Madelyne tidak mau percaya pria itu benar-benar akan menyelam ke dalam air, tapi Duncan melakukannya, dan tanpa rasa ragu sedetik pun.

Bulan purnama memberi Madelyne cahaya yang cukup untuk melihat Duncan melintasi Danau dan kembali lagi. Madelyne tidak pernah kehilangan pemandangan pria itu, namun, dikarenakan oleh kesadarannya akan sopan santun ia menutup matanya ketika Duncan memanjat keluar ke atas tepi danau. Ia menunggu selama waktu yang menurutnya cukup, lalu membuka matanya lagi.

Duncan berdiri di tepi air, separuh bagian bawah tubuhnya tertutup. Ia persis seperti anak baptis Zeus yang pendendam, sebab ia dikaruniai tubuh yang sangat luar biasa.

Pria itu tidak repot-repot memakai kembali tuniknya, tapi malah melemparkan benda itu dengan tidak peduli ke atas salah satu bahunya. Apakah pria itu merasa kedinginan? Madelyne saja sudah menggigil karena angin yang bertiup melalui jendela. Tapi Duncan bertingkah seolah sekarang adalah hari yang hangat di musim semi. Bahkan, pria itu berjalan kembali ke rumahnya dengan langkah-langkah yang malas dan santai.

Jantung Madelyne berdetak lebih cepat ketika Duncan semakin dekat. Proporsi tubuh pria itu memang bagus. Pria itu memiliki rusuk yang panjang, pinggang yang ramping, dan pundak yang sangat lebar. Kekuatan di lengan atasnya tampak jelas tergambar oleh cahaya bulan. Madelyne dapat melihat otot-otot bergerak-gerak di dada Duncan. Kekuatan memancar dari pria itu, bahkan dari jarak sejauh ini, menarik Madelyne dan membuatnya cemas pada saat yang sama.

Duncan mendadak berhenti dan mendongak, memergoki Madelyne yang sedang menatap dirinya. Secara insting Madelyne mengangkat tangannya untuk menyapa, kemudian merasa bimbang di tengah-tengah gerakannya. Madelyne tidak bisa melihat ekspresi di wajah Duncan, namun ia menduga pria itu sedang merengut. Tuhan tahu itu adalah ekspresinya yang biasa.

Madelyne berbalik dan kembali ke tempat tidurnya, dalam ketergesaannya ia lupa untuk menutup jendela.

Madelyne masih marah. Setiap kali gambaran Adela memasuki pikirannya, ia ingin menjerit. Alih-alih ia menangis, selama hampir satu jam, hingga pipinya perih dan matanya bengkak.

Adela adalah alasan pertama Madelyne marah. Gadis malang itu telah mengalami sebuah siksaan berat.

Madelyne paham apa rasanya berada dalam belas kasihan orang lain. Ia tahu amarah yang ada di dalam diri Adela dan merasa iba terhadap gadis itu.

Akan tetapi, ia juga sangat marah pada Wexton bersaudara. Mereka membuat situasi lebih buruk dengan cara memperlakukan Adela dengan sangat buruk.

Madelyne memutuskan bahwa ia akan menerima tanggung jawab atas Adela sekarang. Ia tidak merasa ia mau membantu adik Duncan itu karena Louddon yang menyebabkan penderitaan gadis itu. Meskipun Madelyne adalah adik Louddon, ia tidak akan merasa bersalah karena hubungan tersebut. Ia akan menolong Adela sebab adik Duncan itu begitu rapuh dan terpuruk.

Ia akan bersikap lembut dan baik kepada gadis itu, dan pada waktunya nanti Adela pasti akan menerima penghiburannya.

Semoga Tuhan menolongnya, Madelyne mulai menangis lagi. Ia merasa sangat terperangkap. Ia begitu dekat dengan perbatasan dan rumah sepupunya Edwythe, tapi sekarang ia harus menunggu untuk melarikan diri. Adela membutuhkan cinta dan bimbingan, dan saudara-saudara lelakinya yang barbar tidak tahu bagaimana cara memberikannya. Aye,, dirinya dibutuhkan di sini, renung Madelyne, sampai adik Duncan itu mendapatkan kekuatan yang baru.

Udara di kamarnya menjadi sedingin es. Madelyne bergelung di bawah selimut, menggigil sampai ia ingat kalau jendela terbuka lebar. Ia bangun dari tempat tidur, menyampirkan selembar kulit binatang ke bahunya, dan bergegas menuju jendela.

Di luar mulai hujan, cuaca yang sesuai dengan suasana hatinya, putus Madelyne. Ia menatap ke bawah ke arah danau hanya untuk memastikan Duncan tidak ada di sana lagi, kemudian memandang sekilas ke arah puncak bukit yang lebih rendah yang terlihat dari dari atas atap terbuka benteng.

Kemudian Madelyne melihat hewan itu. Ia begitu terkejut oleh pemandangan itu, sehingga ia berjinjit dan mencondongkan tubuhnya keluar dari jendela, takut untuk mengalihkan tatapannya bahkan untuk sedetik, kalau-kalau monster besar itu pergi lenyap dari pandangannya.

Hewan tersebut tampaknya sedang memandangnnya. Sadarlah Madelyne kalau otaknya sudah rusak, persis seperti otak Adela. Ya Tuhan, hewan buas itu mirip sekali dengan seekor serigala. Dan Tuhan, hewan itu luar biasa!

Madelyne menggeleng, namun terus mengamati, terpesona oleh pemandangan itu. Ketika serigala itu mendongakkan kepalanya. Madelyne menduga hewan itu sedang melolong. Tapi suaranya tak pernah mencapai Madelyne, mungkin terbawa oleh angin dan hujan yang memukul-mukul bebatuan.

Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sam ping jendela mengamati hewan itu. Ia menutup matanya, dengan sengaja, namun ketika ia membuka matanya lagi, serigala itu masih di sana.

“Itu hanya seekor anjing,” gumam Madelyne pada diri sendiri. Aye, seekor anjing, bukan serigala. ”Seekor anjing yang sangat besar,” tambahnya.

Seandainya Madelyne cenderung percaya takhayul, ia pasti akan langsung menyimpulkan bahwa serigala itu adalah sebuah pertanda buruk.

Madelyne menutup jendela dan kembali ke tempat tidurnya.

Benaknya dipenuhi dengan gambaran hewan liar itu, dan butuh waktu lama sebelum ia akhirnya terlelap. Pikiran terakhirnya adalah pikiran yang keras kepala. Yang ia lihat tadi bukan serigala.

Pada suatu waktu di malam yang dingin itu Madelyne cukup menggigil untuk membuatnya terbangun. Ia merasa Duncan melingkarkan lengan ke tubuhnya dan menariknya ke kehangatan pria itu.

Madelyne tersenyum karena mimpi penuh khayalnya itu dan terlelap lagi.



Synopsis



Tidak ada komentar:

Posting Komentar