“Jauhilah
segala yang jahat;
Lakukanlah
segala yang baik.
-PERJANJIAN
BARU, ROMA 12:9
Madelyne
ngeri melihat pemandangan yang berdiri di hadapannya. Ia langsung mengenali
Adela, sebab gadis itu terlihat amat sangat mirip dengan adiknya, Gilard. Adela
memiliki rambut coklat Gilard, serta mata coklat adiknya itu. Namun Adela tidak
setinggi Gilard, dan terlalu kurus, dengan kulit pucat yang bagi Madelyne
menandakan bahwa gadis itu tidak dalam keadaan sehat.
Adela
mengenakan gaun yang mungkin pernah berwarna pucat. Kini gaun tersebut
tertutupi oleh begitu banyak debu dan kotoran, sehingga warna aslinya tidak
bisa dikenali lagi. Rambutnya, panjang dan acak-acakan, tampak sekotor gaunnya.
Menurut Madelyne pasti ada lebih dari sekadar debu yang tinggal di rambut yang
terlihat lengket itu.
Madelyne
tidak merasa jijik karena penampilan Adela begitu perasaannya terguncangnya
yang pertama telah berkurang. Ia bisa melihat sorot tersiksa di mata gadis
malang itu. Ada rasa sakit di sana, dan keputusasaan. Madelyne merasa hendak
menangis. Ya Tuhan, kakak Madelyne-lah yang menyebabkan ini. Karena itu
Madelyne tahu bahwa Louddon akan selamanya berada di neraka.
Duncan
merangkul pundak Madelyne dan menarik gadis itu dengan kasar ke sisinya.
Madelyne tidak mengerti motif Duncan, namun ia berhenti gemetar dalam pelukan
pria itu.
“Aku akan
membunuhnya, Duncan.” Adela meneriakkan ancamannya.
Tiba-tiba
Edmond muncul. Madelyne mengawasi pria itu bergegas menghampiri adiknya dan
memegang lengan gadis itu.
Pelan-pelan
Adela mengikuti kakaknya menuju meja. Edmond berbicara kepada gadis itu, namun
suaranya terlalu pelan bagi Madelyne untuk mendengar apa yang pria itu katakan.
Tapi ia terlihat sedang menenangkan adiknya. Langkah-langkah Adela tidak kaku
lagi dan gadis itu mengangguk beberapa kali sebagai tanggapan terhadap
kata-kata kakaknya.
Ketika
Adela sudah duduk di samping Edmond, tiba-tiba ia meneriakkan ancamannya lagi. “Aku
berhak membunuhnya, Duncan.”
Ada
kebencian di mata itu. Madelyne pasti akan mundur selangkah andai Duncan tidak
memeganginya dengan erat.
Madelyne
tidak tahu harus bagaimana menanggapi ancaman tersebut. Ia akhirnya mengangguk,
menunjukkan kepada Adela bahwa ia mengerti apa yang gadis itu janjikan,
kemudian berpikir bahwa itu mungkin akan tampak seolah-olah ia menyetujui. “Kau
boleh mencobanya, Adela,” jawabnya.
Jawaban
Madelyne tampaknya mendorong Adela hingga menjadi sangat marah. Adik duncan itu
berdiri, begitu mendadak sampai-sampai bangku terjungkal dari platform dan
menghantam lantai batu.
“Saat kau
berbalik, aku akan...”
“Cukup.”
Suara Duncan memantul di tembok-tembok. Perintah itu mendapat reaksi langsung
dari Adela. Ia terlihat kehilangan keberaniannya tepat di depan mata Madelyne.
Edmond
jelas tidak menyukai cara Duncan berteriak kepada adik mereka. Ia merengut kepada
kakaknya sebelum menegakkan kembali kursi Adela dan membantu adiknya duduk.
Duncan
menggumamkan sumpah serapah. Ia melepaskan bahu Madelyne namun tetap menawan
gadis itu dengan cara menggenggam tangannya. Kemudian ia berjalan keluar dari
aula, menarik Madelyne di belakangnya. Madelyne harus berlari agar tidak
tertinggal.
Duncan
tidak memelankan langkahnya atau melonggarkan genggamannya sampai mereka
mencapai landasan sempit di luar kamar tidur menara Madelyne.
“Bagaimana
bisa kau membiarkannya bertingkah seperti itu?” tuntut Madelyne.
“Kakakmu
yang bertanggung jawab,” jawab Duncan.
Madelyne
tahu ia akan mulai menangis. Ia menegakkan bahunya. “Aku sangat lelah, Duncan.
Aku ingin pergi tidur sekarang.”
Perlahan-lahan
Madelyne berjalan ke dalam kamar, berdoa pria itu tidak mengikutinya. Ketika ia
mendengar langkah sepatu bot pria itu di anak tangga, ia tahu Duncan sudah
pergi.
Madelyne
berbalik dan menutup pintu, dan hampir berhasil mencapai tempat tidur sebelum ia
mulai menangis.
Duncan
segera kembali ke aula. Ia berniat memerintahkan kerja sama dari adik-adiknya
dalam rencananya menyangkut Madelyne.
Edmond
dan Gilard masih duduk di meja, sedang berbagi seteko ale. Adela, syukurlah telah meninggalkan aula.
Ketika
Duncan duduk, Gilard mengulurkan teko ale
itu kepada Duncan bersamaan dengan Edmond menanyainya. “Apakah kita para Wexton
kini harus melindungi adik Louddon dari anggota keluarga kita sendiri?”
“Madelyne
tidak berbuat apa-apa kepada Adela,” bela Gilard. “Dia sama sekali tidak mirip
dengan kakaknya dan kau sangat tahu itu, Edmond. Kita memperlakukannya dengan
tidak pantas, tapi dia tidak pernah mengucapkan sepatah pun kata protes.”
:Jangan
berlagak jadi pelindung Madelyne di depanku,” balas Edmond. “Dia memang berani,”
ia mengakui sambil mengangkat bahu. “Kau sudah menceritakan bagaimana dia
menyelamatkan bokongmu dari pertempuran itu, Gilard. Ya Tuhan, kau menceritakannya
berkali-kali, sampai-sampai aku hafal di luar kepala,” imbuhnya, kini memandang
Duncan. “Akan tetapi, masalahnya bukanlah kepribadian Madelyne. Kehadirannya
membuat Adela marah.”
“Aye, tukas Duncan. “Dan itu membuatku
senang.”
“Apa katamu?”
tuntut Edmond.
“Edmond,
sebelum kau meledak marah, jawab pertanyaan ini dulu. Kapan terakhir kali Adela
berbicara kepadamu?”
“Di
London, sesaat setelah kami menemukannya,” jawab Edmond. Suaranya terdengar
kesal namun Duncan tidak tersinggung karena hal itu.
“Gilard? Kapan
terakhir kali kakakmu berbicara kepadamu?”
“Sama
dengan Edmond,” jawab Gilard, mengernyit. “Dia memberitahuku apa yang terjadi
dan hanya itu saja. Kau tahu dia tidak mengucapkan swpatah kata pun kepada
siapa pun sejak malam itu.”
“Sampai
malam ini,” Duncan mengingatkan mereka. “Adela berbicara kepada Madelyne.”
“Dan kau
menganggap ini pertanda bagus?” tanya Edmond, suaranya ragu. “Adela akhirnya
bicara, aye, tapi hanya tentang
pembunuhan, Kak. Demi Tuhan, adik kita yang manis bersumpah untuk membunuh
Madelyne. Aku tidak menganggap ini sebagai pemulihan.”
“Adela
mulai kembali kepada kita,” jelas Duncan. “Ada amarah sekarang, begitu kuat
sampai-sampai menyita pikirannya, tapi menurutku, dengan bantuan Madelyne,
Adela akan mulai sembuh.”
Edmond
menggeleng. “Sewaktu kakak kita, Catherine, datang berkunjung, Adela bahkan
tidak mau menemuinya. Mengapa kau berpikir Madelyne bisa menolong ketika kakak
Adela sendiri tidak sanggap?”
Duncan
kesulitan dalam memberi penjelasan. Ia sama sekali tidak terbiasa mendiskusikan
hal-hal penting apa pun dengan kedua adiknya. Nay, kebiasaannya adalah mengeluarkan perintah, mengharapkan setiap
perintahnya dilaksanakan sesuai dengan keinginannya. Duncan memerintah rumahnya
sama seperti ia memerintah anak buahnya, dan dalam cara yang sama dengan cara
syshnya dulu memerintah. Satu-satunya pengecualian dalam hukum yang suci ini
adalah ketika ia berlatih dengan prajuritnya. Pada saat berlatih, Duncan
menjadi partisipan aktif serta instruktur mereka, menuntut dari setiap
prajuritnya hanya pencapaian-pencapaian yang sudah dicapai olehnya sendiri.
Tapi
sekarang memang bukan situasi yang biasa. Adik-adiknya berhak mengetahui apa
yang hendak Duncan lakukan. Adela saudara perempuan mereka juga. Aye, mereka juga berhak untuk
menyuarakan pendapat mereka.
“Menurutku
kita sebaiknya memanggil Catherine lagi,” tukas Edmond, rahangnya menegang.
“Itu
tidak perlu,” ujar Duncan. “Madelyne akan menolong Adela. Kita hanya perlu
mengarahkannya,” imbuhnya seraya tersenyum samar. “Madelyne satu-satunya orang
yang akan memahami apa yang sedang berlangsung di dalam benak Adela. Pada
akhirnya nanti saudara perempuan kita akan kembali kepada kita.”
“Aye, Duncan, Adela memang akan berpaling
kepada Madelyne-mu, tapi dengan sebilah belati di tangannya dan pembunuhan di
dalam benaknya. Kita harus mengambil segala macam tindakan pencegahan.”
“Aku
tidak ingin Madelyne ditempatkan dalam bahaya,” cetus Gilard. “Menurutku kita
seharusnya meninggalkannya saja. Louddon pasti segera menemukannya. Dan dia
memang bukan Madelyne-nya Duncan, Edmond. Kita semua sama-sama bertanggung
jawab atas dirinya.”
“Madelyne milikku, Gilard,” Duncan mengumumkan.
Suaranya halus namun tantangan itu ada di sana, di bahunya yang menegang dan
dalam caranya menatap adiknya.
Dengan
enggan gilard mengangguk menyetujui. Edmond mengawasi percakapan antara kedua
saudaranya itu. Ia sama sekali tidak senang dengan nada posesif dalam suara
Duncan.
Edmond
mendadak sangat sepakat dengan Gilard, yang merupakan peristiwa langka, karena
Gilard dan Edmond biasanya berbeda pendapat dalam hampir semua hal yang
substansial. “Mungkin seharusnya Madelyne ditinggalkan,” ujarnya, berniat untuk
sekali lagi mengemukakan kemungkinan untuk mengembalikan gadis itu secepatnya.
Tinju
Duncan menghantam meja dengan kekuatan yang cukup untuk menumpahkan ale. Teko itu pasti akan terlempar dari
meja andai Gilard tidak bereaksi dengan sangat cepat.
“Madelyne
tidak akan pergi ke mana-mana, Edmond. Aku tidak akan bertanya lagi, Dik.
Apakah kau mendukungku dalam keputusan ini?”
Momen
kebisuan yang panjang menyelimuti kedua bersaudara tersebut.
“Jadi,
begitu rupanya,” ujar Edmond akhirnya.
Duncan
mengangguk. Gilard mengawasi percakapan tersebut, bingung. Ia jelas tidak
melewatkan sesuatu, namun tidak dapat memahami apa sesuatu itu.
“Aye, memang seperti itu,” Duncan
mengiyakan. “Apa kau akan menentangku dalam hal ini?”
Edmond
menghela napas. Ia menggeleng. “Tidak. Aku akan mendukungmu, Duncan, meskipun
aku mau menasehatimu tentang masalah-masalah yang akan dibawa oleh keputusan
ini.”
“Itu
tidak akan menggoyahkanku, Edmond.”
Duncan
kelihatannya tidak akan bersedia menjelaskan percakapan itu. Gilard memutuskan
untuk menunggu hingga ia dan Edmond tinggal berdua saja, lalu mencari tahu apa
yang sedang terjadi. Di samping itu, ucapan yang lain membuatnya mencetuskan
sebuah pertanyaan cepat. “Duncan? Apa maksudmu waktu kau bilang Madelyne hanya
perlu diarahkan untuk menolong Adela?”
Duncan
akhirnya menoleh kepada Gilard. Ia senang atas dukungan Edmond, dan oleh sebab
itu suasana hatinya menjadi ringan. “Madelyne punya pengalaman yang akan
menolongnya dalam menghadapi saudara perempuan kita. Saranku adalah menempatkan
mereka berdua bersama-sama sesering mungkin. Edmond, tugasmu adalah mendampingi
adikmu ke acara makan malam setiap malam. Gilard, kau akan mendampingi
Madelyne. Dia tidak terlalu takut kepadamu.”
“Dia
takut kepadaku?” Edmond terdengar ragu.
Duncan
tidak mengacuhkan pertanyaan tersebut, kendati ia menatap jengkel kepada Edmond
untuk memberitahu adiknya itu bahwa ia tidak terlalu suka diinterupsi. “Tidak
penting apakah Adela atau Madelyne mau menolaknya. Seret mereka kalau memang
harus, tapi mereka harus makan bersama.”
“Adela
akan menghancurkan Madelyne yang lembut,” Gilard buru-buru berkata. “Madelyne
yang manis tidak akan pernah mampu mempertahankan dirinya sendiri melawan...”
“Madelyne
yang manis itu memiliki temperamen segarang badai musim dingin, Gilard.” Suara
Duncan terdengar jengkel. “Kita hanya harus mengarahkannya untuk melepaskan
sedikit temperamen itu.”
“Apa
katamu?” Gilard berteriak, jelas-jelas tercengang, “Madelyne adalah gadis yang
lembut. Kenapa...”
Kernyitan
Edmond yang biasa meninggalkannya. Sebetulnya, ia mulai terkekeh. “Dia juga
punya tinju kiri yang manis, Gilard. Dan kita sangat tahu gadis lembut macam
apa dia. Dia meneriakkannya dengan cukup keras untuk di dengar seluruh Inggris.”
“Demamnya
memengaruhi pikirannya pada saat itu. Aku sudah bilang padamu kalau kita
seharusnya memotong rambutnya untuk mengeluarkan iblis-iblis dari dalam
tubuhnya, Duncan. Madelyne bertingkah tidak seperti dirinya sendiri, kuberitahu
kau. Bahkan, dia tidak tahu kalau dia telah membuat mata Edmond memar.”
Duncan
menggeleng. “Kau tidak perlu membela Madelyne di hadapanku,” katanya.
“Well, apa yang akan kau lakukan
menyangkut Madelyne?” Gilard tak bisa menghilangkan tuntutan dari suaranya.
“Dia akan
mendapatkan tempat berlindung yang aman di sini, Gilard.” Kemudian Duncan
berdiri dan hampir melangkah keluar dari aula, saat komentar Edmond
mencapainya. “Ini tidak akan aman sampai Adela mendapatkan akal sehatnya.
Madelyne akan terpaksa melalui siksaan yang berat.”
“Siksaan
yang berat bagi kita semua,” seru Duncan. “Dengan kehendak Tuhan, ini semua
akan segera berakhir.”
Duncan
meninggalkan kedua adiknya. Ia berjalan menuju danau untuk berenang.
Pikiran
Duncan terus kembali kepada Madelyne. Kebenaran tidak terelakkan. Oleh sebuah
perubahan nasib yang tak terduga dan ironis, Madelyne tetap tak ternoda oleh
sifat jahat Louddon. Ia adalah wanita yang patut diperhitungkan. Gadis itu
menyembunyikan kepribadiannya yang sebenarnya dari dirinya sendiri, renung
Duncan sambil tersenyum. Namun Duncan telah diberi kilasan-kilasan yang
berharga tentang Lady Madelyne yang sebenarnya. Meskipun diperlukan demam hebat
terlebih dahulu untuk mengeluarkan jiwanya yang penuh gairah. Aye, gadis itu sensual, dengan rasa haus
akan kehidupan yang membuat Duncan sangat senang.
Barangkali,
renung Duncan, Adela juga akan menolong Madelyne. Mungkin adiknya itu tanpa
sadar akan menolong Madelyne mengenyahkan sebagian selubung dirinya.
Air yang
dingin akhirnya sukup mengganggu Duncan untuk mengesampingkan
pikiran-pikirannya. Ia menyelesaikan kegiatan berenangnya dan pergi untuk
mendatangi Madelyne. Motif tunggal itu membantunya melalui ritual renangnya
dalam waktu yang dipercepat.
Madelyne
baru saja membuka jendela kamarnya, ketika ia menangkap pemandangan Duncan yang
sedang berjalan menuju danau. Punggung Duncan menghadap ke arahnya dan Madelyne
mengawasi pria itu melepaskan setiap pakaian dan menyelam ke dalam air.
Madelyne tidak
merasa malu melihat pria itu tanpa pakaiannya. Aye, ketelanjangan Duncan tidak membuat Madelyne malu sama sekali.
Ia terlalu terpana dengan apa yang pria sinting itu lakukan untuk merona karena
ketelanjangannya. Di samping itu, punggung Duncan menghadapnya, menghindarkan
Madelyne dari perasaan tidak nyaman yang sebenarnya.
Madelyne
tidak mau percaya pria itu benar-benar akan menyelam ke dalam air, tapi Duncan
melakukannya, dan tanpa rasa ragu sedetik pun.
Bulan
purnama memberi Madelyne cahaya yang cukup untuk melihat Duncan melintasi Danau
dan kembali lagi. Madelyne tidak pernah kehilangan pemandangan pria itu, namun,
dikarenakan oleh kesadarannya akan sopan santun ia menutup matanya ketika
Duncan memanjat keluar ke atas tepi danau. Ia menunggu selama waktu yang
menurutnya cukup, lalu membuka matanya lagi.
Duncan
berdiri di tepi air, separuh bagian bawah tubuhnya tertutup. Ia persis seperti
anak baptis Zeus yang pendendam, sebab ia dikaruniai tubuh yang sangat luar biasa.
Pria itu
tidak repot-repot memakai kembali tuniknya, tapi malah melemparkan benda itu
dengan tidak peduli ke atas salah satu bahunya. Apakah pria itu merasa
kedinginan? Madelyne saja sudah menggigil karena angin yang bertiup melalui
jendela. Tapi Duncan bertingkah seolah sekarang adalah hari yang hangat di
musim semi. Bahkan, pria itu berjalan kembali ke rumahnya dengan
langkah-langkah yang malas dan santai.
Jantung
Madelyne berdetak lebih cepat ketika Duncan semakin dekat. Proporsi tubuh pria
itu memang bagus. Pria itu memiliki rusuk yang panjang, pinggang yang ramping,
dan pundak yang sangat lebar. Kekuatan di lengan atasnya tampak jelas tergambar
oleh cahaya bulan. Madelyne dapat melihat otot-otot bergerak-gerak di dada
Duncan. Kekuatan memancar dari pria itu, bahkan dari jarak sejauh ini, menarik
Madelyne dan membuatnya cemas pada saat yang sama.
Duncan
mendadak berhenti dan mendongak, memergoki Madelyne yang sedang menatap
dirinya. Secara insting Madelyne mengangkat tangannya untuk menyapa, kemudian
merasa bimbang di tengah-tengah gerakannya. Madelyne tidak bisa melihat
ekspresi di wajah Duncan, namun ia menduga pria itu sedang merengut. Tuhan tahu
itu adalah ekspresinya yang biasa.
Madelyne
berbalik dan kembali ke tempat tidurnya, dalam ketergesaannya ia lupa untuk
menutup jendela.
Madelyne
masih marah. Setiap kali gambaran Adela memasuki pikirannya, ia ingin menjerit.
Alih-alih ia menangis, selama hampir satu jam, hingga pipinya perih dan matanya
bengkak.
Adela
adalah alasan pertama Madelyne marah. Gadis malang itu telah mengalami sebuah
siksaan berat.
Madelyne
paham apa rasanya berada dalam belas kasihan orang lain. Ia tahu amarah yang
ada di dalam diri Adela dan merasa iba terhadap gadis itu.
Akan
tetapi, ia juga sangat marah pada Wexton bersaudara. Mereka membuat situasi
lebih buruk dengan cara memperlakukan Adela dengan sangat buruk.
Madelyne
memutuskan bahwa ia akan menerima tanggung jawab atas Adela sekarang. Ia tidak
merasa ia mau membantu adik Duncan itu karena Louddon yang menyebabkan
penderitaan gadis itu. Meskipun Madelyne adalah adik Louddon, ia tidak akan
merasa bersalah karena hubungan tersebut. Ia akan menolong Adela sebab adik
Duncan itu begitu rapuh dan terpuruk.
Ia akan
bersikap lembut dan baik kepada gadis itu, dan pada waktunya nanti Adela pasti
akan menerima penghiburannya.
Semoga
Tuhan menolongnya, Madelyne mulai menangis lagi. Ia merasa sangat terperangkap.
Ia begitu dekat dengan perbatasan dan rumah sepupunya Edwythe, tapi sekarang ia
harus menunggu untuk melarikan diri. Adela membutuhkan cinta dan bimbingan, dan
saudara-saudara lelakinya yang barbar tidak tahu bagaimana cara memberikannya. Aye,, dirinya dibutuhkan di sini, renung
Madelyne, sampai adik Duncan itu mendapatkan kekuatan yang baru.
Udara di
kamarnya menjadi sedingin es. Madelyne bergelung di bawah selimut, menggigil
sampai ia ingat kalau jendela terbuka lebar. Ia bangun dari tempat tidur,
menyampirkan selembar kulit binatang ke bahunya, dan bergegas menuju jendela.
Di luar
mulai hujan, cuaca yang sesuai dengan suasana hatinya, putus Madelyne. Ia
menatap ke bawah ke arah danau hanya untuk memastikan Duncan tidak ada di sana
lagi, kemudian memandang sekilas ke arah puncak bukit yang lebih rendah yang
terlihat dari dari atas atap terbuka benteng.
Kemudian
Madelyne melihat hewan itu. Ia begitu terkejut oleh pemandangan itu, sehingga
ia berjinjit dan mencondongkan tubuhnya keluar dari jendela, takut untuk
mengalihkan tatapannya bahkan untuk sedetik, kalau-kalau monster besar itu
pergi lenyap dari pandangannya.
Hewan
tersebut tampaknya sedang memandangnnya. Sadarlah Madelyne kalau otaknya sudah
rusak, persis seperti otak Adela. Ya Tuhan, hewan buas itu mirip sekali dengan
seekor serigala. Dan Tuhan, hewan itu luar biasa!
Madelyne
menggeleng, namun terus mengamati, terpesona oleh pemandangan itu. Ketika
serigala itu mendongakkan kepalanya. Madelyne menduga hewan itu sedang
melolong. Tapi suaranya tak pernah mencapai Madelyne, mungkin terbawa oleh
angin dan hujan yang memukul-mukul bebatuan.
Ia tidak
tahu berapa lama ia berdiri di sam ping jendela mengamati hewan itu. Ia menutup
matanya, dengan sengaja, namun ketika ia membuka matanya lagi, serigala itu
masih di sana.
“Itu
hanya seekor anjing,” gumam Madelyne pada diri sendiri. Aye, seekor anjing, bukan serigala. ”Seekor anjing yang sangat
besar,” tambahnya.
Seandainya
Madelyne cenderung percaya takhayul, ia pasti akan langsung menyimpulkan bahwa
serigala itu adalah sebuah pertanda buruk.
Madelyne
menutup jendela dan kembali ke tempat tidurnya.
Benaknya
dipenuhi dengan gambaran hewan liar itu, dan butuh waktu lama sebelum ia
akhirnya terlelap. Pikiran terakhirnya adalah pikiran yang keras kepala. Yang
ia lihat tadi bukan serigala.
Pada
suatu waktu di malam yang dingin itu Madelyne cukup menggigil untuk membuatnya
terbangun. Ia merasa Duncan melingkarkan lengan ke tubuhnya dan menariknya ke
kehangatan pria itu.
Madelyne
tersenyum karena mimpi penuh khayalnya itu dan terlelap lagi.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar