Selasa, 25 Desember 2018

Honor's Splendour #12


Sekuntum bunga di antara duri, seorang malaikat di antara duri...

“Dan kadang-kadang, Adela, jika seorang bayi dilahirkan dengan kecacatan yang mencolok, para ayah Sparta akan membuang saja anak yang baru lahir tersebut keluar jendela terdekat atau dari puncak tebing sekitar untuk mengenyahkannya. Aye, aku bisa melihat kau merasa terguncang sebagaimana mestinya, tapi Paman Berton-ku memang menceritakan kisah-kisah tentang para pejuang garang dari masa yang telah lewat itu, dan dia tidak melebih-lebihkan kisah-kisah tersebut hanya untuk menyenangkan aku. Adalah tugasnya untuk menceritakan kembali kisah-kisah tersebut dengan akurat, kau mengerti.”


“Seperti apa wanita-wanita Sparta? Apakah Paman Berton-mu menceritakan segalanya tentang mereka kepadamu?” tanya Adela, suaranya sangat bersemangat. Adik Duncan itu duduk di tepi tempat tidurnya, berusaha sebaik mungkin untuk tidak menghalangi sementara Madelyne mengatur ulang perabot di kamar tidurnya. Adela sudah menyerah untuk mencoba meyakinkan Madelyne bahwa sangat tidak biasa jika ia bekerja layaknya gadis pelayan. Teman barunya itu memiliki watak keras kepala dan percuma saja berdebat dengannya.

Sudah lebih dari tiga minggu sejak Madelyne memksa mengonfrontasi Adela. Begitu pula Adela menceritakan yang sebenarnya tentang siksaan beratnya itu, kesakitan dan perasaan bersalahnya benar-benar berkurang. Madelyne benar tentang hal itu, Madelyne tidak tampak terguncang sedikit pun mendengar cerita tersebut. Aneh, tapi itu membantu Adela sama besar dengan tindakannya menceritakan kejadian yang menimpanya itu. Madelyne bersimpati kepada Adela, namun tidak mengasihaninya.

Kini Adela mencontoh Madelyne, dan percaya gadis itu tahu apa yang paling baik. Adela menerima bahwa masa lalu tidak dapat dibatalkan dan berusaha untuk melupakannya, seperti yang Madelyne sarankan. Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, tentu saja, namun persahabatan Madelyne, begitu tak terbatas dan murah hati, membantu Adela melupakan masalah-masalahnya. Adela akhirnya mendapatkan haidnya seminggu yang lalu, maka berkurang satu masalah yang perlu ia pikirkan.

Madelyne telah membuka dunia baru bagi Adela. Ia menceritakan kisah-kisah yang paling menakjubkan. Adela takjub dengan kekayaan informasi dalam memori Madelyne dan dengan bersemangat menanti kisah baru setiap harinya.

Adela tersenyum sementara mengawasi Madelyne. Temannya itu benar-benar terlihat berantakan. Noda debu mengotori batang hidung Madelyne, dan rambutnya, walaupun diikat dengan sehelai pita biru di belakang lehernya, sedikit demi sedikit terbebas dari ikatannya.

Madelyne berhenti menyapu debu dari sudut ruangan dan bersandar pada gagang sapunya. “Aku bisa melihat aku telah menarik minatmu,” ujarnya. Ia berhenti sejenak untuk menepis ikat rambut yang berkeliaran dari wajahnya, membuat noda debu baru di keningnya, dan kemudian melanjutkan ceritanya. “Aku benar-benar percaya kalau wanita-wanita Sparta sangat tidak bermartabat. Mereka pasti sama mengerikannya dengan pria-pria mereka, Adela. Bagaimana mereka bisa bergaul dengan baik kalau mereka bermartabat?”

Adela menjawab pertanyaan itu dengan kikikan. Suara itu menghangatkan hati Madelyne. Perubahan pada adik Duncan itu sangat menyenangkan. Mata Adela kini berkilau dan ia cukup sering tersenyum.

“Karena sekarang pastor yang baru telah datang, kita harus berhati-hati untuk tidak berbicara seperti ini di depannya,” bisik Adela.

“Aku belum bertemu dengannya,” jawab Madelyne. “Tapi aku menantikannya. Sudah waktunya bagi Wexton bersaudara memiliki seorang pastor untuk menjaga jiwa-jiwa mereka.”

“Dulu mereka punya,” ujar Adela. “Tapi sewaktu Pastor John meninggal, lalu gereja terbakar, well, tak seorang pun yang berbuat banyak tentang hal itu.” Ia mengangkat bahu lalu berkata, “Ceritakan padaku lebih banyak tentang rakyat Sparta, Madelyne.”

Well, para wanitanya mungkin menjadi gemuk semua pada saat mereka berusia dua belas tahun atau lebih, walau itu hanya denganku saja dan bukan dari yang diceritakan oleh pamanku yang tersayang. Akan tetapi, aku tahu kalau mereka membawa lebih dari saru orang pria ke tempat tidur mereka.”

Adela terkesiap dan Madelyne mengangguk, sepenuhnya puas dengan reaksi temannya itu. “Lebih dari satu pria pada satu waktu?” tanya Adela. Ia membisikkan pertanyaan itu dan kemudian merona malu.

Madelyne menggigit bibirnya sementara ia mempertimbangkan apakah hal itu mungkin.

“Kurasa tidak seperti itu,” cetus Madelyne pada akhirnya. Punggungnya menghadap ke pintu, dan perhatian penuh Adela terpusat kepadanya. Tak seorang pun dari mereka yang menyadari kalau saat ini Duncan sedang berdiri di ambang pintu yang terbuka.

Duncan baru saja hendak mengumumkan kehadirannya, ketika Madelyne bicara lagi.

“Aku tidak yakin menelentang dengan lebih dari satu orang pria pada satu waktu itu mungkin,” ujar Madelyne mengakui.

Adela terkikik, Madelyne mengangkat bahu, dan Duncan, yang mendengar sebagian besar penjelasan Madelyne tentang cara hidup rakyat Sparta, memutar bola matanya ke atas.

Madelyne telah menyandarkan sapunya ke dinding dan kini berlutut di depan lemari Adela. “Kita harus mengosongkan ini kalau mau memindahkannya ke seberang ruangan,” ujarnya.

“Kau harus menyelesaikan ceritamu dulu,” desak Adela. “Kau benar-benar menceritakan kisah-kisah yang tak biasa, Madelyne.”

Duncan hendak menginterupsi lagi, lalu membuang gagasan itu. Sebenarnya, rasa penasarannya bangkit.

“Di Sparta tidak ada sesuatu seperti selibat. Bahkan, tidak menikah sebagai suatu tidak kriminal. Gerombolan-gerombolan wanita yang belum menikah akan membuat huru-hara. Mereka akan mencari pria-pria yang belum menikah dan ketika mereka menemukannya, mereka menyerang para pria itu.”

“Menyerang para pria itu?” tanya Adela.

Aye, mereka akan menyerang pria malang itu dan memukulinya hingga menjadi bubur darah,” seru Madelyne. Kepalanya sepenuhnya menghilang ke dalam lemari. “Aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu,” tambah Madelyne.

“Apa lagi?” tanya Adela.

“Tahukah kau kalau para pemuda dikurung di dalam sebuah ruangan gelap bersama para wanita yang belum pernah mereka lihat pada siang hari dan mereka harus... well, kau mengerti maksudku,” pungkas Madelyne.

Madelyne menarik napas, bersin karena debu di dalam lemari. “Sebagian dari wanita itu melahirkan bayi sebelum mereka pernah melihat wajah suami mereka.” Ia kemudian menegakkan tubuh, menabrakkan kepalanya di tepi lemari, dan seketika mengusap-usap kepalanya hingga pitanya terlepas.

“Itu terdengar mengerikan, tapi aku beritahu kau satu hal. Ketika aku memikirkan kakakmu Duncan, aku bisa membayangkan Lady Eleanor-nya mungkin akan lebih memilih kamar yang gelap.”

Madelyne mengucapkan itu hanya sebagai gurauan. Adela terkesiap cemas. Adik Duncan itu baru saja melihat Duncan yang sedang bersandar di pintu.

Madelyne salah paham dengan reaksi Adela dan seketika merasa menyesal.

“Aku sudah bicara tidak baik,” cetus Madelyne. “Bagaimanapun juga, Duncan adalah lord sekaligus kakakmu, dan aku tidak berhak menggodamu tentang dirinya. Aku sungguh minta maaf.”

“Aku akan menerimanya.”

Duncan-lah yang memberinya maaf. Madelyne begitu terkejut oleh suara menggelegar pria itu, sehingga ia menabrakkan kepalanya lagi ketika berbalik untuk menatap pria itu.

“Sudah berapa lama kau berdiri di sana?” tanya Madelyne, merona karena malu. Ia berdiri dan menghadapi pria itu.

Duncan tidak menjawab pertanyaan Madelyne, ia hanya berdiri di sana, membuat Madelyne gugup. Madelyne merapikan kerut-kerut pada gaunnya, melihat noda besar tepat di atas pinggangnya, dan cepat-cepat melipat kedua tangannya di depan noda tersebut. Sejumput rambut bergoyang-goyang di depan mata kirinya, tapi jika ia memindahkan tangannya untuk menepis rambut tersebut dari matanya, pria itu akan melihat kekacauan apa yang sudah ia perbuat terhadap gaunnya, iya kan?

Madelyne harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia hanyalah tawanan pria itu dan pria itu adalah penawannya. Apa bedanya kalau ia terlihat berantakan atau tidak? Ia meniup rambut dari matanya dan berjuang untuk memperlihatkan ekspresi tenang kepada Duncan.

Madelyne gagal dengan menyedihkan, dan Duncan, mengetahui apa yang ada di dalam benak gadis itu, tersenyum karena kegagalannya itu. Semakin sulit bagi gadis itu untuk menyembunyikan perasaannya. Fakta itu membuat Duncan hampir sama senangnya dengan penampilan kusut gadis itu.

Madelyne rasa pria itu tersenyum karena gaunnya yang tampak menyedihkan. Duncan menguatkan keyakinan Madelyne dengan menginspeksi dirinya secara menyeluruh. Tatapan pria itu perlahan-lahan berpindah dari puncak kepala Madelyne ke debu di sepatu gadis itu. Senyum Duncan melebar sampai lesung pipit yang menarik itu kembali ke pipinya.

“Naiklah ke kamarmu, Madelyne, dan tetaplah di sana sampai aku mendatangimu.”

“Bolehkah aku menyelesaikan pekerjaan ini terlebih dahulu?” tanya Madelyne, mencoba terdengar merendah.

“Tidak boleh.”

“Duncan, Adela ingin mengatur ulang kamarnya supaya lebih terlihat seperti...” Oh Tuhan, Madelyne baru saja akan memberitahu pria itu bahwa Adela ingin kamarnya menjadi senyaman kamar menara Madelyne. Bisa-bisa pria itu akan mengetahui apa yang telah Madelyne lakukan, dan barangkali akan memarahinya.

Madelyne melirik Adela. Gadis malang itu sedang mencengkram kedua tangannya dan menatap lantai. “Adela, kau lupa memberi salam yang pantas kepada kakakmu,” ia memberi instruksi kepada gadis itu.

“Selamat pagi, Milord,” bisik Adela seketika. Ia tidak mendongak untuk menatap Duncan.

“Namanya Duncan. Lord atau bukan, ia adalah kakakmu.”

Madelyne lalu berpaling kepada Duncan dan mendelik kepadanya. Pria itu lebih baik tidak membentak adiknya.

Duncan menaikkan sebelah alis ketika Madelyne mengernyit kepadanya. Ketika gadis itu memberi isyarat dengan kedikan kepadanya yang bersemangat ke arah Adela, Duncan mengangkat bahu. Ia tidak mengerti sedikit pun apa yang hendak gadis itu katakan kepadanya. “Well? Apa kau tidak akan menyapa adikmu, duncan?” desak Madelyne.

Helaan napas duncan memantul di dinding. “Apa kau memerintahku?” tanyanya.

Duncan terlihat jengkel. Madelyne mengangkat bahu. “Aku tidak akan membiarkanmu menakuti adikmu,” ujarnya sebelum bisa menghentikan dirinya sendiri.

Duncan merasa hendak tertawa. Ternyata benar, tepat seperti apa yang Gilard puji dan Edmond protes. Madelyne yang penakut telah menjadi pelindung Adela. Seekor anak kucing mencoba melindungi anak kucing lainnya, hanya saja Madelyne lebih bertingkah lebih seperti seekor macan betina sekarang, putus Duncan. Ada api biru di mata gadis itu, dan oh, betapa ia mencoba tetap menyembunyikan amarahnya dari Duncan.

Duncan memberi Madelyne tatapan yang memberitahu gadis itu apa yang Ducan pikirkan tentang perintahnya. Kemudian ia berpaling kepada adiknya dan berkata, “Selamat pagi, Adela. Apakah kau baik-baik saja hari ini?”

Adela mengangguk lalu mendongak menatap kakaknya dan tersenyum. Duncan mengangguk, terkejut melihat sapaan sederhana seperti itu mampu mengubah sikap adiknya.

Duncan kemudian berbalik untuk pergi, bertekad untuk pergi sejauh mungkin dari adik perempuannya yang rapuh sebelum membiarkan Madelyne mengetahui pikirannya.

“Tidak bisakah Madelyne tinggal di sini dan...”

“Adela, kumohon jangan menentang perintah kakakmu,” sela Madelyne, takut kalau-kalau kesabaran Duncan mendekati titik membentak. “Itu bukan sikap yang terhormat,” imbuhnya seraya tersenyum menyemangati.

Madelyne mengangkat roknya dan buru-buru menyusul Duncan, dan berseru melalui bahunya, “Aku yakin dia punya alasan yang bagus untuk perintahnya.”

Madelyne harus berlari untuk mengejar pria itu. “Kenapa aku harus kembali ke menara?” tanyanya kemudian ketika ia yakin Adela tidak dapat mendengarnya.

Mereka mencapai landasan saat Duncan berpaling kepada gadis itu. Ia ingin mengguncang Madelyne sampai gigi gadis itu copot, namun corengan bedu di batang hidung gadis itu menarik perhatiannya. Ia menggunakan ibu jarinya untuk menghapus debu tersebut.

“Wajahmu tertutup debu, Madelyne. Aye, kau tidak sempurna sekarang. Haruskah aku melemparmu keluar jendela terdekat, menurutmu?”

Dibutuhkan sesaat bagi Madelyne untuk memahami apa yang Duncan bicarakan. “Rakyat Sparta tidak melempar tawanan mereka keluar jendela,” jawabnya. “Hanya bayi-bayi yang cacat. Mereka adalah para pejuang tangguh dengan hati yang kejam,” imbuhnya.

“Mereka memerintah dengan kendali penuh,” ujar Duncan. Ibu jarinya perlahan-lahan bergeser ke bibir bawah gadis itu. Ia tidak dapat menghentikan dirinya sendiri untuk mengusapkan ibu jarinya ke mulut Madelyne. “Tanpa belas kasih.”

Madelyne sepertinya tidak mampu menjauh. Ia mendongak menatap ke dalam mata Duncan sambil mencoba memahami percakapan mereka. “Tanpa belas kasih?”

Aye, begitulah seharusnya seorang pemimpin memerintah.”

“Bukan,” bisik Madelyne.

“Apakah kau pernah bertemu dengan seorang Sparta pada masa ini, Duncan?” tanya Madelyne.

Pria itu mengangkat bahu, meskipun ia mau tak mau tersenyum karena pertanyaan konyol Madelyne.

“Mereka mungkin tak terkalahkan, tapi mereka semua sudah mati sekarang.”

Oh Tuhan, suaranya bergetar. Madelyne cukup tahu alasannya. Duncan sedang memandangi Madelyne dengan sangat intens dan menarik gadis itu ke arahnya dengan amat sangat perlahan.

Duncan tidak mencium Madelyne. Itu mengecewakan.

Madelyne menghela napas.

“Madelyne, aku tidak akan menahan diriku lebih lama lagi,” bisik Duncan. Kepalanya ditundukkan, mulutnya hanya beberapa senti dari mulut gadis itu.

“Tidak?” tanya Madelyne, terdengar terengah-engah lagi.

Nay, tidak akan,” gumam Duncan. Ia terdengar marah sekarang. Madelyne menggeleng bingung.

“Duncan, aku akan mengizinkanmu menciumku sekarang,” kata Madelyne pada pria itu. “Kau tidak perlu menahan dirimu.”

Jawaban Duncan atas pengakuan jujur Madelyne adalah dengan mencengkram tangan gadis itu dan menyeretnya menaiki tangga ke menara.

“Kau tidak akan menjadi tawanan di sini lebih lama lagi.” Duncan mengumumkan.

“Kalau begitu, kau mengakui bahwa membawaku ke sini adalah sebuah kesalahan?” tanya Madelyne.

Duncan dapat mendengar rasa takut di dalam suara gadis itu. “Aku tidak pernah membuat kesalahan, Madelyne.”

Duncan tidak repot-repot untuk berbalik dan menatap Madelyne, dan ia tidak bicara lagi hingga mereka mencapai pintu kamar gadis itu. Ketika Duncan meraih gagang pintu, Madelyne menghalangi pintu itu dengan cara bersandar di sana. “Aku mampu membuka pintu kamarku sendiri,” ujarnya, “dan kau memang benar-benar telah membuat kesalahan. Aku adalah kesalahan terbesarmu.”

Madelyne tidak sungguh-sungguh bermaksud untuk mengutarakan pernyataannya seperti itu. Oh Tuhan, ia benar-benar telah menghina dirinya sendiri.

Duncan tersenyum. Ia jelas-jelas menangkap kekeliruan gadis itu. Kemudian ia menarik Madelyne ke pinggir dan membuka pintu kamar tersebut. Madelyne buru-buru masuh ke dalam dan mencoba membanting pintu di belakangnya.

Duncan tidak membiarkannya. Tamatlah riwayatku, pikir Madelyne, menguatkan dirinya sendiri menghadapi reaksi Duncan terhadap perubahan yang telah ia buat.

Duncan tidak percaya pada apa yang ia lihat. Madelyne telah mengubah sel dingin itu menjadi sebuah tempat peristirahatan yang mengundang. Dinding-dinding kamar telah digosok dan sebuah tapestri besar berwarna abu-abu kekuningan ditempatkan di tengah-tengah dinding yang menghadap ke arahnya. Gantungan dinding itu mengisahkan tentang perang terakhir dari invasi William; warnanya cerah, gambaran para prajurit disulam dalam warna merah dan biru. Itu merupakan desain yang sederhana, tapi juga menyenangkan.

Tempat tidur ditutupi selembar selimut perca biru. Di seberang ruangan terdapat sebuah kursi besar, keduanya di tutupi alas duduk berwarna merah. Kursi-kursi itu diatur miring mengarah ke perapian. Ada tumpuan kakidi depan setiap kursi. Duncan memperhatikan sebuah tapestri yang belum selesai disandarkan di salah satu kursi. Benang-benang berwarna coklat menjuntai ke lantai. Rancangan desainnya disulam hingga cukup baginya untuk mengenali akan jadi apa rancangan itu nanti. Itu adalah desain serigala imajiner Madelyne.

Otot di sisi rahang pria itu bergerak. Dua kali. Madelyne tidak yakin apa artinya itu. Ia menanti, menguatkan hatinya untuk menerima bentakan meledak-ledak ketika pria itu mulai meneriakinya.

Duncan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia berbalik dan menutupi pintu di belakangnya.

Aroma mawar mengikuti saat Duncan menuruni tangga. Ia menahan emosinya hingga sampai di pintu masuk aula. Gilard melihat Duncan dan langsung bergegas mendatanginya untuk berbicara dengannya. Suara adiknya itu dipenuhi dengan semangat muda ketika bertanya, “Apakah Lady Madelyne masih menerima pengunjung lagi pagi ini?”

Raungan Duncan dapat didengar hingga ke atas menara.

Mata Gilard membelalak. Ia tidak pernah mendengar Duncan berteriak seperti itu. Edmond berjalan memasuki gang tepat padanya untuk menyaksikan Duncan pergi.

“Apa yang membuatnya begitu gusar?” tanya Gilard.

“Bukan apa, Gilard, tapi siapa,” ujar Edmond.

“Aku tidak mengerti.”

Edmond tersenyum lalu memukul pundak adiknya. “Bgitu pula duncan, tapi aku bertaruh dia akan segera mengerti.”






1 komentar: