Sekuntum
bunga di antara duri, seorang malaikat di antara duri...
“Dan
kadang-kadang, Adela, jika seorang bayi dilahirkan dengan kecacatan yang
mencolok, para ayah Sparta akan membuang saja anak yang baru lahir tersebut
keluar jendela terdekat atau dari puncak tebing sekitar untuk mengenyahkannya. Aye, aku bisa melihat kau merasa
terguncang sebagaimana mestinya, tapi Paman Berton-ku memang menceritakan
kisah-kisah tentang para pejuang garang dari masa yang telah lewat itu, dan dia
tidak melebih-lebihkan kisah-kisah tersebut hanya untuk menyenangkan aku.
Adalah tugasnya untuk menceritakan kembali kisah-kisah tersebut dengan akurat,
kau mengerti.”
“Seperti
apa wanita-wanita Sparta? Apakah Paman Berton-mu menceritakan segalanya tentang
mereka kepadamu?” tanya Adela, suaranya sangat bersemangat. Adik Duncan itu
duduk di tepi tempat tidurnya, berusaha sebaik mungkin untuk tidak menghalangi
sementara Madelyne mengatur ulang perabot di kamar tidurnya. Adela sudah
menyerah untuk mencoba meyakinkan Madelyne bahwa sangat tidak biasa jika ia
bekerja layaknya gadis pelayan. Teman barunya itu memiliki watak keras kepala
dan percuma saja berdebat dengannya.
Sudah
lebih dari tiga minggu sejak Madelyne memksa mengonfrontasi Adela. Begitu pula
Adela menceritakan yang sebenarnya tentang siksaan beratnya itu, kesakitan dan
perasaan bersalahnya benar-benar berkurang. Madelyne benar tentang hal itu,
Madelyne tidak tampak terguncang sedikit pun mendengar cerita tersebut. Aneh,
tapi itu membantu Adela sama besar dengan tindakannya menceritakan kejadian
yang menimpanya itu. Madelyne bersimpati kepada Adela, namun tidak mengasihaninya.
Kini
Adela mencontoh Madelyne, dan percaya gadis itu tahu apa yang paling baik.
Adela menerima bahwa masa lalu tidak dapat dibatalkan dan berusaha untuk
melupakannya, seperti yang Madelyne sarankan. Lebih mudah diucapkan daripada
dilakukan, tentu saja, namun persahabatan Madelyne, begitu tak terbatas dan
murah hati, membantu Adela melupakan masalah-masalahnya. Adela akhirnya
mendapatkan haidnya seminggu yang lalu, maka berkurang satu masalah yang perlu
ia pikirkan.
Madelyne
telah membuka dunia baru bagi Adela. Ia menceritakan kisah-kisah yang paling
menakjubkan. Adela takjub dengan kekayaan informasi dalam memori Madelyne dan
dengan bersemangat menanti kisah baru setiap harinya.
Adela
tersenyum sementara mengawasi Madelyne. Temannya itu benar-benar terlihat
berantakan. Noda debu mengotori batang hidung Madelyne, dan rambutnya, walaupun
diikat dengan sehelai pita biru di belakang lehernya, sedikit demi sedikit
terbebas dari ikatannya.
Madelyne
berhenti menyapu debu dari sudut ruangan dan bersandar pada gagang sapunya.
“Aku bisa melihat aku telah menarik minatmu,” ujarnya. Ia berhenti sejenak
untuk menepis ikat rambut yang berkeliaran dari wajahnya, membuat noda debu
baru di keningnya, dan kemudian melanjutkan ceritanya. “Aku benar-benar percaya
kalau wanita-wanita Sparta sangat tidak bermartabat. Mereka pasti sama
mengerikannya dengan pria-pria mereka, Adela. Bagaimana mereka bisa bergaul
dengan baik kalau mereka bermartabat?”
Adela
menjawab pertanyaan itu dengan kikikan. Suara itu menghangatkan hati Madelyne.
Perubahan pada adik Duncan itu sangat menyenangkan. Mata Adela kini berkilau
dan ia cukup sering tersenyum.
“Karena
sekarang pastor yang baru telah datang, kita harus berhati-hati untuk tidak
berbicara seperti ini di depannya,” bisik Adela.
“Aku
belum bertemu dengannya,” jawab Madelyne. “Tapi aku menantikannya. Sudah
waktunya bagi Wexton bersaudara memiliki seorang pastor untuk menjaga jiwa-jiwa
mereka.”
“Dulu
mereka punya,” ujar Adela. “Tapi sewaktu Pastor John meninggal, lalu gereja
terbakar, well, tak seorang pun yang
berbuat banyak tentang hal itu.” Ia mengangkat bahu lalu berkata, “Ceritakan
padaku lebih banyak tentang rakyat Sparta, Madelyne.”
“Well, para wanitanya mungkin menjadi
gemuk semua pada saat mereka berusia dua belas tahun atau lebih, walau itu
hanya denganku saja dan bukan dari yang diceritakan oleh pamanku yang
tersayang. Akan tetapi, aku tahu kalau mereka membawa lebih dari saru orang
pria ke tempat tidur mereka.”
Adela
terkesiap dan Madelyne mengangguk, sepenuhnya puas dengan reaksi temannya itu.
“Lebih dari satu pria pada satu waktu?” tanya Adela. Ia membisikkan pertanyaan
itu dan kemudian merona malu.
Madelyne
menggigit bibirnya sementara ia mempertimbangkan apakah hal itu mungkin.
“Kurasa
tidak seperti itu,” cetus Madelyne pada akhirnya. Punggungnya menghadap ke
pintu, dan perhatian penuh Adela terpusat kepadanya. Tak seorang pun dari
mereka yang menyadari kalau saat ini Duncan sedang berdiri di ambang pintu yang
terbuka.
Duncan
baru saja hendak mengumumkan kehadirannya, ketika Madelyne bicara lagi.
“Aku
tidak yakin menelentang dengan lebih dari satu orang pria pada satu waktu itu
mungkin,” ujar Madelyne mengakui.
Adela
terkikik, Madelyne mengangkat bahu, dan Duncan, yang mendengar sebagian besar
penjelasan Madelyne tentang cara hidup rakyat Sparta, memutar bola matanya ke
atas.
Madelyne
telah menyandarkan sapunya ke dinding dan kini berlutut di depan lemari Adela.
“Kita harus mengosongkan ini kalau mau memindahkannya ke seberang ruangan,”
ujarnya.
“Kau
harus menyelesaikan ceritamu dulu,” desak Adela. “Kau benar-benar menceritakan
kisah-kisah yang tak biasa, Madelyne.”
Duncan
hendak menginterupsi lagi, lalu membuang gagasan itu. Sebenarnya, rasa
penasarannya bangkit.
“Di
Sparta tidak ada sesuatu seperti selibat. Bahkan, tidak menikah sebagai suatu
tidak kriminal. Gerombolan-gerombolan wanita yang belum menikah akan membuat
huru-hara. Mereka akan mencari pria-pria yang belum menikah dan ketika mereka
menemukannya, mereka menyerang para pria itu.”
“Menyerang
para pria itu?” tanya Adela.
“Aye, mereka akan menyerang pria malang
itu dan memukulinya hingga menjadi bubur darah,” seru Madelyne. Kepalanya
sepenuhnya menghilang ke dalam lemari. “Aku mengatakan yang sebenarnya
kepadamu,” tambah Madelyne.
“Apa
lagi?” tanya Adela.
“Tahukah
kau kalau para pemuda dikurung di dalam sebuah ruangan gelap bersama para
wanita yang belum pernah mereka lihat pada siang hari dan mereka harus... well, kau mengerti maksudku,” pungkas
Madelyne.
Madelyne
menarik napas, bersin karena debu di dalam lemari. “Sebagian dari wanita itu
melahirkan bayi sebelum mereka pernah melihat wajah suami mereka.” Ia kemudian
menegakkan tubuh, menabrakkan kepalanya di tepi lemari, dan seketika
mengusap-usap kepalanya hingga pitanya terlepas.
“Itu
terdengar mengerikan, tapi aku beritahu kau satu hal. Ketika aku memikirkan
kakakmu Duncan, aku bisa membayangkan Lady Eleanor-nya mungkin akan lebih
memilih kamar yang gelap.”
Madelyne
mengucapkan itu hanya sebagai gurauan. Adela terkesiap cemas. Adik Duncan itu
baru saja melihat Duncan yang sedang bersandar di pintu.
Madelyne
salah paham dengan reaksi Adela dan seketika merasa menyesal.
“Aku
sudah bicara tidak baik,” cetus Madelyne. “Bagaimanapun juga, Duncan adalah
lord sekaligus kakakmu, dan aku tidak berhak menggodamu tentang dirinya. Aku
sungguh minta maaf.”
“Aku
akan menerimanya.”
Duncan-lah
yang memberinya maaf. Madelyne begitu terkejut oleh suara menggelegar pria itu,
sehingga ia menabrakkan kepalanya lagi ketika berbalik untuk menatap pria itu.
“Sudah
berapa lama kau berdiri di sana?” tanya Madelyne, merona karena malu. Ia
berdiri dan menghadapi pria itu.
Duncan
tidak menjawab pertanyaan Madelyne, ia hanya berdiri di sana, membuat Madelyne
gugup. Madelyne merapikan kerut-kerut pada gaunnya, melihat noda besar tepat di
atas pinggangnya, dan cepat-cepat melipat kedua tangannya di depan noda
tersebut. Sejumput rambut bergoyang-goyang di depan mata kirinya, tapi jika ia
memindahkan tangannya untuk menepis rambut tersebut dari matanya, pria itu akan
melihat kekacauan apa yang sudah ia perbuat terhadap gaunnya, iya kan?
Madelyne
harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia hanyalah tawanan pria itu dan pria
itu adalah penawannya. Apa bedanya kalau ia terlihat berantakan atau tidak? Ia
meniup rambut dari matanya dan berjuang untuk memperlihatkan ekspresi tenang
kepada Duncan.
Madelyne
gagal dengan menyedihkan, dan Duncan, mengetahui apa yang ada di dalam benak
gadis itu, tersenyum karena kegagalannya itu. Semakin sulit bagi gadis itu
untuk menyembunyikan perasaannya. Fakta itu membuat Duncan hampir sama
senangnya dengan penampilan kusut gadis itu.
Madelyne
rasa pria itu tersenyum karena gaunnya yang tampak menyedihkan. Duncan
menguatkan keyakinan Madelyne dengan menginspeksi dirinya secara menyeluruh.
Tatapan pria itu perlahan-lahan berpindah dari puncak kepala Madelyne ke debu
di sepatu gadis itu. Senyum Duncan melebar sampai lesung pipit yang menarik itu
kembali ke pipinya.
“Naiklah
ke kamarmu, Madelyne, dan tetaplah di sana sampai aku mendatangimu.”
“Bolehkah
aku menyelesaikan pekerjaan ini terlebih dahulu?” tanya Madelyne, mencoba
terdengar merendah.
“Tidak
boleh.”
“Duncan,
Adela ingin mengatur ulang kamarnya supaya lebih terlihat seperti...” Oh Tuhan,
Madelyne baru saja akan memberitahu pria itu bahwa Adela ingin kamarnya menjadi
senyaman kamar menara Madelyne. Bisa-bisa pria itu akan mengetahui apa yang
telah Madelyne lakukan, dan barangkali akan memarahinya.
Madelyne
melirik Adela. Gadis malang itu sedang mencengkram kedua tangannya dan menatap
lantai. “Adela, kau lupa memberi salam yang pantas kepada kakakmu,” ia memberi
instruksi kepada gadis itu.
“Selamat
pagi, Milord,” bisik Adela seketika. Ia tidak mendongak untuk menatap Duncan.
“Namanya
Duncan. Lord atau bukan, ia adalah kakakmu.”
Madelyne
lalu berpaling kepada Duncan dan mendelik kepadanya. Pria itu lebih baik tidak
membentak adiknya.
Duncan
menaikkan sebelah alis ketika Madelyne mengernyit kepadanya. Ketika gadis itu
memberi isyarat dengan kedikan kepadanya yang bersemangat ke arah Adela, Duncan
mengangkat bahu. Ia tidak mengerti sedikit pun apa yang hendak gadis itu
katakan kepadanya. “Well? Apa kau
tidak akan menyapa adikmu, duncan?” desak Madelyne.
Helaan
napas duncan memantul di dinding. “Apa kau memerintahku?” tanyanya.
Duncan
terlihat jengkel. Madelyne mengangkat bahu. “Aku tidak akan membiarkanmu
menakuti adikmu,” ujarnya sebelum bisa menghentikan dirinya sendiri.
Duncan
merasa hendak tertawa. Ternyata benar, tepat seperti apa yang Gilard puji dan
Edmond protes. Madelyne yang penakut telah menjadi pelindung Adela. Seekor anak
kucing mencoba melindungi anak kucing lainnya, hanya saja Madelyne lebih
bertingkah lebih seperti seekor macan betina sekarang, putus Duncan. Ada api
biru di mata gadis itu, dan oh, betapa ia mencoba tetap menyembunyikan
amarahnya dari Duncan.
Duncan
memberi Madelyne tatapan yang memberitahu gadis itu apa yang Ducan pikirkan
tentang perintahnya. Kemudian ia berpaling kepada adiknya dan berkata, “Selamat
pagi, Adela. Apakah kau baik-baik saja hari ini?”
Adela
mengangguk lalu mendongak menatap kakaknya dan tersenyum. Duncan mengangguk,
terkejut melihat sapaan sederhana seperti itu mampu mengubah sikap adiknya.
Duncan
kemudian berbalik untuk pergi, bertekad untuk pergi sejauh mungkin dari adik
perempuannya yang rapuh sebelum membiarkan Madelyne mengetahui pikirannya.
“Tidak
bisakah Madelyne tinggal di sini dan...”
“Adela,
kumohon jangan menentang perintah kakakmu,” sela Madelyne, takut kalau-kalau
kesabaran Duncan mendekati titik membentak. “Itu bukan sikap yang terhormat,”
imbuhnya seraya tersenyum menyemangati.
Madelyne
mengangkat roknya dan buru-buru menyusul Duncan, dan berseru melalui bahunya,
“Aku yakin dia punya alasan yang bagus untuk perintahnya.”
Madelyne
harus berlari untuk mengejar pria itu. “Kenapa aku harus kembali ke menara?”
tanyanya kemudian ketika ia yakin Adela tidak dapat mendengarnya.
Mereka
mencapai landasan saat Duncan berpaling kepada gadis itu. Ia ingin mengguncang
Madelyne sampai gigi gadis itu copot, namun corengan bedu di batang hidung gadis
itu menarik perhatiannya. Ia menggunakan ibu jarinya untuk menghapus debu
tersebut.
“Wajahmu
tertutup debu, Madelyne. Aye, kau
tidak sempurna sekarang. Haruskah aku melemparmu keluar jendela terdekat,
menurutmu?”
Dibutuhkan
sesaat bagi Madelyne untuk memahami apa yang Duncan bicarakan. “Rakyat Sparta
tidak melempar tawanan mereka keluar jendela,” jawabnya. “Hanya bayi-bayi yang
cacat. Mereka adalah para pejuang tangguh dengan hati yang kejam,” imbuhnya.
“Mereka
memerintah dengan kendali penuh,” ujar Duncan. Ibu jarinya perlahan-lahan
bergeser ke bibir bawah gadis itu. Ia tidak dapat menghentikan dirinya sendiri
untuk mengusapkan ibu jarinya ke mulut Madelyne. “Tanpa belas kasih.”
Madelyne
sepertinya tidak mampu menjauh. Ia mendongak menatap ke dalam mata Duncan
sambil mencoba memahami percakapan mereka. “Tanpa belas kasih?”
“Aye, begitulah seharusnya seorang
pemimpin memerintah.”
“Bukan,”
bisik Madelyne.
“Apakah
kau pernah bertemu dengan seorang Sparta pada masa ini, Duncan?” tanya Madelyne.
Pria
itu mengangkat bahu, meskipun ia mau tak mau tersenyum karena pertanyaan konyol
Madelyne.
“Mereka
mungkin tak terkalahkan, tapi mereka semua sudah mati sekarang.”
Oh
Tuhan, suaranya bergetar. Madelyne cukup tahu alasannya. Duncan sedang
memandangi Madelyne dengan sangat intens dan menarik gadis itu ke arahnya
dengan amat sangat perlahan.
Duncan
tidak mencium Madelyne. Itu mengecewakan.
Madelyne
menghela napas.
“Madelyne,
aku tidak akan menahan diriku lebih lama lagi,” bisik Duncan. Kepalanya
ditundukkan, mulutnya hanya beberapa senti dari mulut gadis itu.
“Tidak?”
tanya Madelyne, terdengar terengah-engah lagi.
“Nay, tidak akan,” gumam Duncan. Ia
terdengar marah sekarang. Madelyne menggeleng bingung.
“Duncan,
aku akan mengizinkanmu menciumku sekarang,” kata Madelyne pada pria itu. “Kau
tidak perlu menahan dirimu.”
Jawaban
Duncan atas pengakuan jujur Madelyne adalah dengan mencengkram tangan gadis itu
dan menyeretnya menaiki tangga ke menara.
“Kau
tidak akan menjadi tawanan di sini lebih lama lagi.” Duncan mengumumkan.
“Kalau
begitu, kau mengakui bahwa membawaku ke sini adalah sebuah kesalahan?” tanya
Madelyne.
Duncan
dapat mendengar rasa takut di dalam suara gadis itu. “Aku tidak pernah membuat
kesalahan, Madelyne.”
Duncan
tidak repot-repot untuk berbalik dan menatap Madelyne, dan ia tidak bicara lagi
hingga mereka mencapai pintu kamar gadis itu. Ketika Duncan meraih gagang
pintu, Madelyne menghalangi pintu itu dengan cara bersandar di sana. “Aku mampu
membuka pintu kamarku sendiri,” ujarnya, “dan kau memang benar-benar telah
membuat kesalahan. Aku adalah kesalahan terbesarmu.”
Madelyne
tidak sungguh-sungguh bermaksud untuk mengutarakan pernyataannya seperti itu.
Oh Tuhan, ia benar-benar telah menghina dirinya sendiri.
Duncan
tersenyum. Ia jelas-jelas menangkap kekeliruan gadis itu. Kemudian ia menarik
Madelyne ke pinggir dan membuka pintu kamar tersebut. Madelyne buru-buru masuh
ke dalam dan mencoba membanting pintu di belakangnya.
Duncan
tidak membiarkannya. Tamatlah riwayatku, pikir Madelyne, menguatkan dirinya
sendiri menghadapi reaksi Duncan terhadap perubahan yang telah ia buat.
Duncan
tidak percaya pada apa yang ia lihat. Madelyne telah mengubah sel dingin itu
menjadi sebuah tempat peristirahatan yang mengundang. Dinding-dinding kamar
telah digosok dan sebuah tapestri besar berwarna abu-abu kekuningan ditempatkan
di tengah-tengah dinding yang menghadap ke arahnya. Gantungan dinding itu
mengisahkan tentang perang terakhir dari invasi William; warnanya cerah,
gambaran para prajurit disulam dalam warna merah dan biru. Itu merupakan desain
yang sederhana, tapi juga menyenangkan.
Tempat
tidur ditutupi selembar selimut perca biru. Di seberang ruangan terdapat sebuah
kursi besar, keduanya di tutupi alas duduk berwarna merah. Kursi-kursi itu
diatur miring mengarah ke perapian. Ada tumpuan kakidi depan setiap kursi.
Duncan memperhatikan sebuah tapestri yang belum selesai disandarkan di salah
satu kursi. Benang-benang berwarna coklat menjuntai ke lantai. Rancangan
desainnya disulam hingga cukup baginya untuk mengenali akan jadi apa rancangan
itu nanti. Itu adalah desain serigala imajiner Madelyne.
Otot
di sisi rahang pria itu bergerak. Dua kali. Madelyne tidak yakin apa artinya
itu. Ia menanti, menguatkan hatinya untuk menerima bentakan meledak-ledak
ketika pria itu mulai meneriakinya.
Duncan
tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia berbalik dan menutupi pintu di
belakangnya.
Aroma
mawar mengikuti saat Duncan menuruni tangga. Ia menahan emosinya hingga sampai
di pintu masuk aula. Gilard melihat Duncan dan langsung bergegas mendatanginya
untuk berbicara dengannya. Suara adiknya itu dipenuhi dengan semangat muda
ketika bertanya, “Apakah Lady Madelyne masih menerima pengunjung lagi pagi ini?”
Raungan
Duncan dapat didengar hingga ke atas menara.
Mata
Gilard membelalak. Ia tidak pernah mendengar Duncan berteriak seperti itu. Edmond
berjalan memasuki gang tepat padanya untuk menyaksikan Duncan pergi.
“Apa
yang membuatnya begitu gusar?” tanya Gilard.
“Bukan
apa, Gilard, tapi siapa,” ujar Edmond.
“Aku
tidak mengerti.”
Edmond
tersenyum lalu memukul pundak adiknya. “Bgitu pula duncan, tapi aku bertaruh
dia akan segera mengerti.”
yah min seru bgt ini ceritanya. ga dilanjutin??
BalasHapus