PERJANJIAN BARU, FILIPI 4:8
Inggris, 1099
Mereka bermaksud membunuh pria itu.
Sang pejuang berdiri di tengah-tengah halaman yang sunyi itu, kedua tangannya diikat ke sebuah tiang dibalik punggungnya. Ekspresinya tanpa emosi sama sekali sementara ia menatap lurus ke depan, tampak tidak mengacuhkan musuhnya.
Tawanan itu tidak memberikan perlawanan sama sekali, membiarkan dirinya ditelanjangi hingga ke pinggangnya tanpa mengeluarkan satu tinju atau mengucapkan sepatah pun kata protes. Jubah musim dingin berlapis bulunya yang mewah, tunik besinya yang berat, kemeja katun, stoking, serta sepatu bot kulitnya telah dilepaskan dan diletakkan di tanah membeku di hadapannya. Niat musuhnya jelas. Sang pejuang harus mati, namun tanpa menambahkan bekas luka baru ke tubuhnya yang sudah penuh bekas luka perang. Sementara para penontonnya yang bersemangat menyaksikan, tawanan itu bisa memandangi pakaiannya sementara ia perlahan-lahan mati membeku.
Dua belas orang pria mengelilingi pria itu. Pedang-pedang dihunuskan untuk memberi mereka keberanian, mereka mengelilingi dan mencemoohnya, meneriakkan hinaan dan kata-kata tak senonoh sambil mengentakkan kaki mereka yang bersepatu bot dalam usaha untuk mengusir suhu udara yang sangat dingin. Namun mereka semua tetap menjaga jarak aman kalau-kalau tawanan jinak mereka mengubah niatnya serta memutuskan untuk membebaskan diri dan menyerang. Mereka tidak meragukan kemampuannya untuk melakukan itu, sebab mereka semua pernah mendengar cerita tentang kekuatan Hercules-nya. Beberapa orang bahkan pernah menyaksikan kekuatannya yang superior satu atau dua kali dalam perang. Dan apabila pria itu memutuskan tali pengikatnya, para prajurit akan terpaksa menggunakan pedang mereka kepadanya, tapi tidak sebelum ia mengirim tiga, bahkan mungkin empat dari mereka menuju kematian mereka sendiri.
Pemimpin kedua belas prajurit itu tidak dapat memercayai keberuntungannya. Mereka telah menangkap Wolf--sang serigala--dan akan segera menyaksikan kematiannya.
Betapa ceroboh kesalahan yang telah dibuat oleh tawanan mereka itu. Aye, Duncan, Baron of Wexton yang sangat berkuasa itu betul-betul berkuda ke dalam benteng musuhnya sepenuhnya sendirian, dan tanpa membawa satu pun senjata untuk membela diri. Pria itu secara tidak bijaksana percaya bahwa Louddon, seorang baron dengan kekuasaan yang setara, akan menghormati gencatan senjata sementara mereka.
Pria itu pasti yakin pada reputasinya sendiri, pikir si pemimpin. Pria itu pasti benar-benar berpikir bahwa dirinya sama tak terkalahkannya dengan kisah-kisah perang menakjubkan yang dilebih-lebihkannya itu. Pasti itulah alasannya pria itu tampak begitu tidak peduli pada situasi buruknya saat ini.
Perasaan gelisah mengendap di benak si pemimpin sementara ia terus mengawasi sang tawanan. Mereka sudah melucuti barang-barang berharga pria itu, mencabik-cabik lambang keluarganya yang berwarna biru dan putih yang menyatakan gelar dan kekayaannya, memastikan tak ada satu pun sisa yang tertinggal dari sang bangsawan beradab. Baron Louddon menginginkan tawanannya mati tanpa martabat atau kehormatan. Namun pejuang yang hampir telanjang yang berdiri dengan begitu angkuh di hadapan mereka itu sama sekali tidak tunduk pada kehendak Louddon. Pria itu tidak bertingkah layaknya orang yang hampir mati. Nay, tawanan itu tidak memohon demi nyawanya atau merengek meminta kematian yang cepat. Ia juga tidak terlihat seperti orang yang sekarat. Kulitnya tidak pucat atau merinding, namun kecoklatan karena terbakar matahari dan diperkuat oleh cuaca. Sial, pria itu bahkan tidak menggigil. Aye, mereka sudah menelanjangi sang bangsawan, tapi di bawah semua lapisan kebangsawanan itu berdiri panglima perang yang angkuh, tampak sama primitif dan tak kenal takut seperti yang di gembar-gemborkan oleh desas-desus itu. Di hadapan mereka, sang Serigala telah menampakkan diri.
Cemoohan telah berhenti. Hanya suara angin yang melolong di seantero halaman itu yang kini bisa didengar. Si pemimpin mengalihkan perhatiannya kepada anak buahnya, yang berkerumun pada jarak yang agak jauh. Mereka semua memelototi tanah. Ia tahu mereka semua menghindari memandang tawanan mereka. Ia tidak bisa menyalahkan mereka atas pertunjukkan kepengecutan ini, sebab ia juga mendapati sulit untuk menatap langsung ke dalam mata sang pejuang.
Baron Duncan dari Wexton paling tidak satu kepala lebih tinggi dari prajurit paling besar yang menjaganya. Proporsi tubuhnya juga sama besarnya, dengan bahu dan paha yang tebal dan kekar, dan dengan kedua kakinya yang panjang dan kuat terbuka lebar, cara berdirinya itu menyiratkan bahwa ia mampu membunuh mereka semua... jika ia menjadi sangat ingin melakukannya.
Kegelapan turun, dan bersamanya datang tirai salju yang tipis. Para prajurit mulai bersungguh-sungguh mengeluhkan cuaca. "Kita tidak perlu mati membeku bersamanya," seseorang menggerutu.
"Dia belum akan mati dalam beberapa jam," seseorang lagi mengeluh. "Baron Louddon sudah pergi lebih dari satu jam sekarang. Dia tidak akan tahu apakah kita berada di luar atau tidak."
Persetujuan beserta anggukan penuh semangat dan gerutuan dari yang lain menggoyahkan pemimpin mereka. Udara dingin ini mulai membuat si pemimpin jengkel juga. Keresahannya juga semakin meningkat, sebab ia sudah diyakinkan bahwa Baron Wexton tidak berbeda dari pria lainnya. Ia yakin pria itu seharusnya sudah menyerah dan menjerit tersiksa sekarang. Sikap arogan pria itu membuatnya geram. Demi Tuhan, pria itu terlihat bosan dengan mereka semua. Si pemimpin terpaksa mengakui kalai ia sudah meremehkan musuhnya. Itu bukanlah pengakuan yang mudah, dan itu membuatnya gusar. Kakinya sendiri, yang terlindung dari cuaca ganas oleh sepatu botnya yang tebal, tetap terasa menusuk-nusuk sekarang, akan tetapi Baron Duncan berdiri dengan bertelanjang kaki dengan tidak bergerak atau mengubah-ubah posisinya sekali pun sejak diikat. Barangkali cerita-cerita itu memang benar adanya.
Si pemimpin mengutuk sifatnya yang percaya pada takhayul dan memberi perintah untuk masuk ke benteng. Ketika anak buahnya yang terakhir sudah pergi, bawahan Louddon itu memeriksa apakah tali yang mengikat sang baron terikat dengan kuat, lalu berdiri tepat di hadapan tawanannya. "Mereka bilang kau selicik serigala, tapi kau hanyalah seorang manusia, dan kau akan segera mati layaknya manusia. Louddon tidak ingin pedang yang dingin ditusukkan ke dalam tubuhmu. Saat pagi datang, kami akan menyeret tubuhmu berkilo-kilo meter dari sini. Tak seorang pun yang dapat membuktikan bahwa Louddon-lah yang berada di balik pembunuhanmu." Si pemimpin mengucapkan kata-kata tersebut dengan menghina, geram karena tawanannya bahkan tidak menunduk untuk menatapnya, lalu menambahkan.. "Jika terserah padaku, aku akan mengeluarkan jantungmu dan menuntaskan semuanya." Ia mengumpulkan air liur dalam mulutnya untuk diludahkan ke wajah sang pejuang, berharap hinaan baru ini akan mendapatkan reaksi.
Kemudian tawanan itu perlahan-lahan menunduk menatap si pemimpin. Mata sang pejuang bertemu dengan mata musuhnya. Apa yang pemimpin itu lihat pada sang pejuang menyebabkannya menelan ludah dengan suara keras. Ia berbalik ketakutan. Ia membuat tanda salib, sebuah usaha remeh untuk mengenyahkan janji gelap yang ia baca di mata abu-abu sang pejuang, bergumam kepada dirinya sendiri bahwa ia hanya melaksanakan perintah tuannya. Lalu ia berlari menuju perlindungan kastil.
Dari dalam bayangan di dinding. Medelyne mengamati. Ia menunggu beberapa menit lagi untuk memastikan tak seorang pun prajurit kakaknya yang akan kembali, menggunakan waktu tersebut sebaik-baiknya untuk memohon keberanian demi melaksanakan rencananya.
Medelyne mempertaruhkan segalanya. Dalam hatinya ia tahu tak ada pilihan lain. Saat ini hanya dirinya yang bisa menyelamatkan pria itu. Medelyne menerima tanggung jawab tersebut serta konsekwensinya, sangat sadar kalau perbuatannya ketahuan, tentu saja itu berarti kematiannya sendiri.
Tangan Medelyne gemetar namun langkah-langkahnya cepat. Semakin cepat urusan ini selesai, semakin baik bagi ketenangan pikirannya. Akan ada banyak waktu untuk mengkhawatirkan tindakannya begitu tawanan bodoh itu sudah bebas.
Jubah hitam panjang menutupi Medelyne dari kepala hingga kaki, dan sang baron tidak menyadarinya hingga ia berdiri tepat di hadapan pria itu. Embusan angin yang kencang menarik tudung jubah dari kepalanya, dan seutas rambut coklat kemerahan jatuh melewati bahu di tubuh yang langsing. Medelyne menepis sehelai rambut dari wajahnya dan mendongak menatap si tawanan.
Selama sesaat Duncan mengira otaknya menipunya. Duncan benar-benar menggeleng tidak percaya. Lalu suara gadis itu menyentuhnya dan Duncan tidak sadar apa yang sedang ia lihat bukanlah kilasan dari imajinasinya. "Aku akan membebaskanmu sebentar lagi. Tolong jangan bersuara sampai kita pergi dari sini."
Duncan tidak dapat memercayai apa yang ia dengar. Suara penyelamatnya terdengar sejernih harpa yang paling selaras dan sama memikatnya seperti salah satu hari yang sangat hangat pada musim panas. Duncan memejamkan matanya, menahan keinginan untuk menyemburkan tawanya karena hasil akhir yang tak terduga dan aneh ini, mempertimbangkan untuk meneriakkan seruan perang sekarang dan segera menyelesaikan tipu daya ini, lalu dengan cepat memutuskan untuk menolak ide tersebut. Rasa penasarannya terlalu kuat. Ia bertekad untuk menunggu sebentar lagi, hingga penyelamatnya itu mengungkapkan tujuan yang sebenarnya.
Ekspresi Duncan tetap tak dapat ditebak. Ia tetap diam sementara mengamati gadis itu mengeluarkan belati mungil dari bawah jubahnya. Gadis itu berdiri cukup dekat untuk Duncan tangkap dengan menggunakan kedua kakinya yang tidak terikat, dan jika kata-kata gadis itu ternyata bohong atau belati itu bergerak ke arah jantungnya, ia terpaksa harus mengenyahkan gadis itu.
Lady Madelyne tidak menyadari bahaya tersebut. Hanya berniat untuk membebaskan pria itu, ia beringsut lebih dekat ke samping Duncan dan memulai usaha untuk memotong tali tebal yang mengikat pria itu. Duncan memperhatikan tangan gadis itu gemetar. Pria itu tidak dapat memutuskan apakah itu disebabkan oleh cuaca ganas ini atau perasaan takut.
Aroma mawar menyentuh Duncan. Ketika menghirup aroma ringan tersebut, ia memutuskan suhu yang membekukan ini sudah betul-betul mengacaukan pikirannya. Sekuntum mawar ditengah musim dingin, seorang malaikat di dalam benteng api penyucian... tak satu pun yang masuk akal baginya, namun gadis itu beraroma bunga-bunga musim semi dan terlihat bagaikan gambaran dari surga.
Duncan menggeleng lagi. Bagian logis dari pikirannya tahu siapa sebenarnya gadis itu. Deskripsi yang diberikan kepadanya akurat dalam setiap detail, tapi juga menyesatkan. Ia diberitahu bahwa adik Louddon memiliki tinggi tubuh sedang dan berambut coklat serta bermata biru. dan enak dipandang, Duncan ingat ia diberitahu demikian. Ah, ada yang tidak tepat, putusnya. Adik sang iblis tidaklah enak dipandang ataupun cantik. Gadis itu luar biasa indah.
Tali tersebut akhirnya putus dan kedua tangan Duncan telah bebas. Ia tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya tersembunyi dengan baik. Gadis itu mucul dan berdiri di hadapannya lagi dan memberinya senyuman kecil sebelum berbalik dan berlutut untuk mengumpulkan barang-barang Duncan.
Ketakutan membuat tugas sederhana itu menjadi canggung. Madelyne tersandung saat ia berdiri lagi, menegakkan tubuhnya, lalu berbalik kembali pada pria itu. "Tolong ikuti aku," perintahnya pada pria itu.
Duncan tidak bergerak, namun terus berdiri di tempatnya, mengamati dan menunggu.
Madelyne mengernyitkan dahi karena keraguan Duncan, dalam hati berpikir bahwa udara dingin betul-betul sudah membekukan kemampuan berpikir pria itu. Ia mencengkram pakaian pria itu ke dadanya dengan satu tangan, membiarkan sepatu bot yang berat menggelantung di ujung jemarinya, lalu melingkarkan lengannya yang lain di pinggang pria itu. "Bersandarlah kepadaku," bisiknya. "Aku akan menolongmu, aku berjanji. Tapi tolong, kita harus cepat." Matanya diarahkan ke pintu kastil dan rasa takut terdengar dalam suaranya.
Duncan merespons keputusasaan gadis itu. Ia ingin memberitahu gadis itu bahwa mereka tidak perlu bersembunyi, karena bahkan pada saat ini anak buahnya sedang memanjat tembok benteng, namun ia berubah pikiran. Semakin sedikit yang gadis itu ketahui, semakin banyak keuntungan yang Duncan dapatkan ketika semuanya tiba.
Tinggi Madelyne nyaris tidak mencapai bahu Duncan, namun ia berusaha dengan gigih untuk menerima sebagian berat tubuh Duncan dengan cara meraih dan menyampirkan lengan pria itu di bahunya. "Kita akan pergi ke kediaman pastor tamu di belakang kapel," ia memberitahu pria itu dalam bisikan halus. "Itu satu-satunya tempat di mana mereka tidak akan pernah terpikir untuk memeriksanya."
Sang pejuang tidak terlalu memperhatikan apa yang gadis itu katakan padanya. Tatapannya diarahkan ke puncak tembok sebelah utara. Bulan sabit memberikan cahaya mengerikan pada salju tipis dan membuat siluet para prajuritnya yang sedang memanjat ke atas puncak tembok. Tak ada suara yang bisa didengar ketika prajuritnya semakin bertambah di sepanjang gang yang terbuat dari kayu yang mengelilingi puncak tembok tersebut.
Sang pejuang mengangguk puas. prajurit Louddon sama bodohnya dengan tuan mereka. Keganasan cuaca membuat si penjaga gerbang masuk ke dalam, membiarkan tembok tersebut tak terjaga dan rentan. Musuh telah membuktikan kelemahan mereka. Dan mereka semua akan mati karenanya.
Duncan memberikan berat tubuhnya lebih banyak lagi kepada Madelyne untuk memperlambat langkah gadis itu sementara ia melemaskan jemarinya, lagi dan lagi berusaha mengusir mati rasa dari jari-jarinya. Kakinya mati rasa, pertanda buruk. Duncan menyadari, bahka ketika ia menerima bahwa tak ada yang bisa ia lakukan mengenai itu sekarang.
Duncan mendengar siulan samar dan cepat-cepat mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memberikan sinyal untuk menunggu. Duncan menunduk menatap gadis itu untuk melihat apakah ia memergoki tindakannya, tangannya yang satu lagi siap menutup mulut gadis itu jika ia memberikan sedikit saja indikasi bahwa ia menyadari apa yang tengah terjadi. Namun gadis itu sedang sibuk berjuang menahan berat tubuh Duncan dan tampaknya tidak menyadari fakta kalau rumahnya sedang diserang.
Mereka sampai di sebuah pintu sempit dan Madelyne yakin kalau tawanan tersebut berada dalam kondisi lemah yang membahayakan, mencoba menyandarkan pria itu di tembok batu dengan sebelah tangan sambil berusaha membuka grendel pintu.
Sang baron, memahami maksud gadis itu, dengan sukarela bersandar ke tembok dan mengamati Madelyne menyeimbangkan pakaiannya dan berjuang membuka rantai yang sedingin es.
Begitu Madelyne berhasil membuka pintu, ia meraih tangan Duncan dan membimbingnya melewati kegelapan. Aliran udara yang sangat dingin berputar di sekitar mereka ketika mereka berjalan menuju pintu kedua di ujung koridor yang panjang dan lembap. Madelyne cepat-cepat membuka pintu dan memberi isyarat agar Duncan masuk.
Ruangan yang mereka masuki tidak berjendela, tapi beberapa lilin telah dinyalakan, memancarkan pendar hangat ke dalam sakristi tersebut. Udaranya pengap. Debu menutupi lantai kayu dan jaring laba-laba yang tebal bergelantungan dan bergoyang-goyang di langit-langit yang berwarna rendah. Beberapa jubah berwarna-warni yang dipakai oleh para pastor tamu tergantung di kaitan, dan sebuah kasur jerami telah diletakkan di tengah-tengah ruang kecil itu dengan dua selimut tebal di sebelahnya.
Madelyne menggerendel pintu dan menghela napas lega. Untuk saat ini mereka aman. Ia memberi isyarat agar pria itu duduk di atas kasur jerami itu. "Waktu aku melihat apa yang mereka lakukan padamu, aku langsung menyiapkan ruangan ini," ia menjelaskan sambil menyerahkan pakaian pria itu. "Namaku Madelyne dan aku..." Ia hendak menjelaskan hubungannya dengan kakaknya, Louddon, lalu memutuskan bahwa itu bukan ide yang bagus. "Aku akan tinggal bersamamu hingga fajar, kemudian aku akan menunjukkan jalan keluar melalui sebuah jalan rahasia. Bahkan Louddon pun tidak tahu keberadaan jalan itu."
Sang baron duduk bersila. Ia mengenakan kemejanya sambil mendengarkan gadis itu. Ia menganggap tindakan berani gadis itu benar-benar telah memperumit hidupnya, mendapati dirinya bertanya-tanya bagaimana gadis itu akan bereaksi saat ia menyadari rencana Duncan yang sebenarnya, lalu memutuskan bahwa rencananya tidak bisa diubah.
Segera setelah tunik besi menutupi dada lebarnya lagi, Madelyne menyampirkan salah satu selimut ke bahu pria itu, kemudian berlutut, menghadapi pria itu. Madelyne bertumpu pada tumit sepatunya, memberi isyarat agar pria itu meluruskan kaki. Saat pria itu sudah memenuhi keinginannya, Madelyne mengamati kaki pria itu, mengernyit penuh perhatian. Duncan meraih sepatu bot, namun Madelyne menghentikan tangan pria itu. "Kita harus menghangatkan kakimu terlebih dahulu," jelas Madelyne.
Madelyne menarik napas dalam-dalam sambil mempertimbangkan cara tercepat untuk mengembalikan kehidupan pada anggota tubuh yang menderita karena kedinginan itu. Kepala Madelyne menunduk, melindungi wajahnya dari tatapan tajam sang pejuang.
Gadis itu mengambil selimut kedua, hendak membungkuskannya ke sekeliling kaki pria itu, lalu menggeleng, berubah pikiran. Tanpa memberikan penjelasan apa pun, ia melemparkan selimut tadi ke atas kaki pria itu, melepaskan jubahnya sendiri, lalu perlahan-lahan menaikkan tunik dalam berwarna krem ke atas lututnya. Tali kulit anyaman yang ia pakai sebagai sabuk dekoratif dan sarung untuk belatinya terperangkap di dalam blaut hijau gelap yang menutupi tunik dalamannya, dan ia mengambil waktu untuk melepaskan benda itu, lalu melemparkannya ke samping sang pejuang.
Duncan penasaran dengan tingkah laku aneh gadis itu dan menunggunya untuk menjelaskan tindakannya itu. Namun Madelyne tidak mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu menarik napas dalam-dalam sekali lagi, mencengkram kaki Duncan, dan dengan cepat, sebelum ia bisa memutuskan bahwa ini bukan ide yang bagus, menyelipkan kedua kaki tersebut ke bawah pakaiannya, dan menempelkan kaki itu ke kehangatan perutnya.
Gadis itu terkesiap keras ketika kulit Duncan yang sedingin es menyentuh tubuhnya yang hangat, kemudian membetulkan gaunnya dan melingkarkan lengannya di sekeliling kaki itu di luar gaunnya, memeluk pria itu ke tubuhnya. Pundak Madelyne mulai gemetar dan Duncan merasa seolah-oleh Madelyne sedang menarik semua rasa dingin dari tubuhnya dan memasukkannya dalam tubuh gadis itu sendiri.
Itu adalah tindakan paling tidak egois yang pernah Duncan saksikan.
Sensasi kembali dengan cepat ke kaki Duncan. Pria itu merasa seakan seribu belati ditusukkan ke telapak kakinya, membakar dengan intensitas yang ia dapati sulit untuk diabaikan. Ia mencoba menggeser posisinya, tapi gadis itu tak membiarkannya dan mengeratkan dekapan dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Kalau terasa sakit, itu pertanda bagus," kata Madelyne pada Duncan, suaranya tidak lebih dari bisikan serak. "Sakitnya akan segera hilang. Di samping itu, kau sangat beruntung karena merasakan sesuatu," tambahnya.
Kecaman dalam suara Madelyne mengejutkan Duncan, dan pria itu menaikkan sebelah alis sebagai reaksi. Madelyne memandang sekilas tepat pada saat itu dan menangkap ekspresi pria itu. Ia buru-buru menjelaskan. "Kau tidak akan berada pada posisi ini kalau saja kau tidak bertindak begitu ceroboh. Aku hanya berharap kau sudah belajar dengan baik hari ini. Aku tidak bisa akan menolongmu untuk yang kedua kalinya."
Madelyne melembutkan nada suaranya. Ia bahkan mencoba tersenyum pada pria itu, tapi itu adalah sebuah upaya lemah paling baik yang dimungkinkan. "Aku tahu kau percaya Louddon akan bertindak terhormat. Tapi itulah kesalahanmu. Louddon tidak tahu apa itu kehormatan. Ingatah itu di masa depan dan kau akan tetap hidup untuk bertemu dengan tahun berikutnya."
Madelyne menurunkan tatapannya dan memikirkan harga mahal yang harus ia bayar karena sudah membebaskan musuh kakaknya. Tidak perlu waktu lama bagi Louddon untuk menyadari Madelyne-lah yang berada di balik pelarian ini. Madelyne mengucapkan rasa syukur sebab Louddon sudah meninggalkan benteng, karena kepergian pria itu memberinya tambahan waktu untuk melaksanakan pelariannya sendiri.
Pertama-tama sang baron harus diurus. Begitu pria itu sudah pergi dengan selamat, Madelyne bisa mengkhawatirkan akibat dari tindakan nekatnya ini. Ia bertekad untuk tidak memikirkannya sekarang. "Nasi sudah menjadi bubur," bisiknya, membiarkan seluruh penderitaan dan keputusasaan bergema dalam suaranya.
Sang baron tidak menanggapi ucapan Madelyne dan gadis itu tidak memberikan penjelasan tambahan. Kebisuan menyelimuti mereka bagai ngarai yang semakin dalam. Madelyne berharap pria itu mengatakan sesuatu padanya, apa pun, untuk mengurangi ketidaknyamanannya. Ia malu karena mendekap kaki pria itu ke tubuhnya dengan sangat intim dan menyadari kalau pria itu menggerakkan jemari kaki sedikit saja maka akan menyentuh bagian bawah payudaranya. Pikiran itu membuat Madelyne merona. Ia memberanikan diri melirik cepat sekali lagi untuk mengetahui bagaimana reaksi pria itu terhadap meode penyembuhan yang aneh.
Duncan menunggu Madelyne untuk memandangnya, dan dengan cepat, tanpa usaha, menangkap tatapan gadis itu. Menurut Duncan, mata gadis itu sebiru langit pada hari yang paling cerah, serta berpendapat kalau gadis itu sama sekali tidak mirip dengan kakaknya. Duncan mengingatkan dirinya sendiri bahwa penampilan tidak berarti apa-apa, bahkan ketika ia merasa dirinya terpukau pada tatapan tak berdosa gadis itu yang memesona. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa gadis itu adalah adik musuhnya, tidak kurang, tidak lebih. Cantik atau tidak, gadis itu adalah bidaknya, perangkapnya untuk menjebak sang iblis.
Madelyne menatap ke dalam mata pria itu dan berpikir kalau mata itu sekelabu dan sedingin salah satu belatinya. Wajah pria itu terlihat seolah dipotong dari batu, sebab tidak ada emosi yang tampak di sana, tidak ada perasaan sama sekali.
Rambut pria itu berwarna coklat gelap, terlalu panjang dan sedikit ikal, tapi tidak melembutkan wajahnya. Mulutnya terlihat keras, dagunya terlalu tegas, dan Madelyne tidak melihat satu pun garis di sudut-sudut matanya. Pria itu tidak tampak seperti jenis orang yang biasa tertawa atau tersenyum. Tidak, Madelyne mengakui seraya gemetar ketakutan. Pria itu terlihat sekeras dan sedingin yang dituntut oleh posisinya. Ia adalah seorang pejuang terlebih dahulu dan seorang baron kemudian, dan Madelyne menduga bahwa tidak ada tempat untuk tawa dalam hidup pria itu.
Madelyne tiba-tiba menyadari kalau ia sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Itu membuatnya khawatir, tidak mengetahui apa yang pria itu pikirkan. Ia batuk untuk menutupi rasa malunya, dan berniat untuk memulai percakapan lagi. Barangkali, jika sang baron bicara padanya, pria itu tidak akan tampak terlalu mengintimidasi.
"Apa kau berniat untuk menghadapi Louddon sendirian?" tanya Madelyne. Ia menunggu lama jawaban pria itu, dan mendesah frustrasi menghadapi kebisuan pria itu yang berkepanjangan. Sang pejuang ternyata sama-sama keras kepala dan bodoh, ujar Madelyne dalam hati. Ia baru saja menyelamatkannya dan pria itu belum mengucapkan sepatah pun ucapan terima kasih. Tingkah laku pria itu ternyata sekasar penampilan dan reputasinya.
Pria itu membuatnya takut. Begitu madelyne mengakui fakta tersebut kepada dirinya sendiri, ia menjadi kesal. Ia mencela dirinya sendiri karena reaksinya terhadap pria itu. Sang baron tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun Madelyne gemetar seperti anak kecil.
Gara-gara ukuran pria itu, putus Madelyne. Aye, batinnya seraya mengangguk dalam kungkungan ruangan kecil ini, pria itu tampak lebih kuat dari Madelyne.
"Jangan berpikir untuk kembali mencari Louddon lagi. Itu akan menjadi kesalahan lagi. Dan dia pasti akan membunuhmu di kesempatan berikutnya."
Sang pejuang tidak menjawab. Kemudian ia bergerak, pelan-pelan menggeser kakinya dari kehangatan yang Madelyne berikan. Ia bergerak lambat-lambat, menekan perlahan di sepanjang kulit yang sensitif di atas paha gadis itu dengan provokasi yang disengaja.
Madelyne terus berlutut di depan pria itu, tatapannya di arahkan ke bawahsaat Duncan mengenakan stoking dan sepatu botnya.
Ketika Duncan selesai dengan kegiatannya, ia pelan-pelan mengangkat sabuk anyaman yang tadi dilemparkan Madelyne dan menggenggamnya di depan gadis itu.
Secara insting Madelyne mengulurkan kedua tangannya untuk menerima sabuknya. Ia tersenyum, menganggap tindakan pria itu sebagai semacam penawaran damai, dan menunggu pria itu mengucapkan rasa terima kasihnya pada akhirnya.
Sang pejuang bekerja secepat kilat. Ia menyambar tangan kiri Madelyne dan mengikatkan sabut tersebut di tangan itu. Sebelum gadis itu bahkan bisa berpikir untuk menarik tangannya, Duncan melingkarkan sabuk itu di pergelangan tangannya yang satu lagi dan mengikat kedua tangannya.
Madelyne menatap tertegun pada tangannya lalu mendongak menatap pria itu, kebingungannya terlihat jelas.
Ekspresi di wajah pria itu mengirimkan kengerian di sepanjang tulang belakangnya. Madelyne menggeleng, tidak percaya pada apa yang sedang terjadi.
Kemudian sang pejuang bicara. "Aku datang bukan untuk Louddon, Madelyne. Aku datang untuk menjemputmu."
Next
Synopsis
Pemimpin kedua belas prajurit itu tidak dapat memercayai keberuntungannya. Mereka telah menangkap Wolf--sang serigala--dan akan segera menyaksikan kematiannya.
Betapa ceroboh kesalahan yang telah dibuat oleh tawanan mereka itu. Aye, Duncan, Baron of Wexton yang sangat berkuasa itu betul-betul berkuda ke dalam benteng musuhnya sepenuhnya sendirian, dan tanpa membawa satu pun senjata untuk membela diri. Pria itu secara tidak bijaksana percaya bahwa Louddon, seorang baron dengan kekuasaan yang setara, akan menghormati gencatan senjata sementara mereka.
Pria itu pasti yakin pada reputasinya sendiri, pikir si pemimpin. Pria itu pasti benar-benar berpikir bahwa dirinya sama tak terkalahkannya dengan kisah-kisah perang menakjubkan yang dilebih-lebihkannya itu. Pasti itulah alasannya pria itu tampak begitu tidak peduli pada situasi buruknya saat ini.
Perasaan gelisah mengendap di benak si pemimpin sementara ia terus mengawasi sang tawanan. Mereka sudah melucuti barang-barang berharga pria itu, mencabik-cabik lambang keluarganya yang berwarna biru dan putih yang menyatakan gelar dan kekayaannya, memastikan tak ada satu pun sisa yang tertinggal dari sang bangsawan beradab. Baron Louddon menginginkan tawanannya mati tanpa martabat atau kehormatan. Namun pejuang yang hampir telanjang yang berdiri dengan begitu angkuh di hadapan mereka itu sama sekali tidak tunduk pada kehendak Louddon. Pria itu tidak bertingkah layaknya orang yang hampir mati. Nay, tawanan itu tidak memohon demi nyawanya atau merengek meminta kematian yang cepat. Ia juga tidak terlihat seperti orang yang sekarat. Kulitnya tidak pucat atau merinding, namun kecoklatan karena terbakar matahari dan diperkuat oleh cuaca. Sial, pria itu bahkan tidak menggigil. Aye, mereka sudah menelanjangi sang bangsawan, tapi di bawah semua lapisan kebangsawanan itu berdiri panglima perang yang angkuh, tampak sama primitif dan tak kenal takut seperti yang di gembar-gemborkan oleh desas-desus itu. Di hadapan mereka, sang Serigala telah menampakkan diri.
Cemoohan telah berhenti. Hanya suara angin yang melolong di seantero halaman itu yang kini bisa didengar. Si pemimpin mengalihkan perhatiannya kepada anak buahnya, yang berkerumun pada jarak yang agak jauh. Mereka semua memelototi tanah. Ia tahu mereka semua menghindari memandang tawanan mereka. Ia tidak bisa menyalahkan mereka atas pertunjukkan kepengecutan ini, sebab ia juga mendapati sulit untuk menatap langsung ke dalam mata sang pejuang.
Baron Duncan dari Wexton paling tidak satu kepala lebih tinggi dari prajurit paling besar yang menjaganya. Proporsi tubuhnya juga sama besarnya, dengan bahu dan paha yang tebal dan kekar, dan dengan kedua kakinya yang panjang dan kuat terbuka lebar, cara berdirinya itu menyiratkan bahwa ia mampu membunuh mereka semua... jika ia menjadi sangat ingin melakukannya.
Kegelapan turun, dan bersamanya datang tirai salju yang tipis. Para prajurit mulai bersungguh-sungguh mengeluhkan cuaca. "Kita tidak perlu mati membeku bersamanya," seseorang menggerutu.
"Dia belum akan mati dalam beberapa jam," seseorang lagi mengeluh. "Baron Louddon sudah pergi lebih dari satu jam sekarang. Dia tidak akan tahu apakah kita berada di luar atau tidak."
Persetujuan beserta anggukan penuh semangat dan gerutuan dari yang lain menggoyahkan pemimpin mereka. Udara dingin ini mulai membuat si pemimpin jengkel juga. Keresahannya juga semakin meningkat, sebab ia sudah diyakinkan bahwa Baron Wexton tidak berbeda dari pria lainnya. Ia yakin pria itu seharusnya sudah menyerah dan menjerit tersiksa sekarang. Sikap arogan pria itu membuatnya geram. Demi Tuhan, pria itu terlihat bosan dengan mereka semua. Si pemimpin terpaksa mengakui kalai ia sudah meremehkan musuhnya. Itu bukanlah pengakuan yang mudah, dan itu membuatnya gusar. Kakinya sendiri, yang terlindung dari cuaca ganas oleh sepatu botnya yang tebal, tetap terasa menusuk-nusuk sekarang, akan tetapi Baron Duncan berdiri dengan bertelanjang kaki dengan tidak bergerak atau mengubah-ubah posisinya sekali pun sejak diikat. Barangkali cerita-cerita itu memang benar adanya.
Si pemimpin mengutuk sifatnya yang percaya pada takhayul dan memberi perintah untuk masuk ke benteng. Ketika anak buahnya yang terakhir sudah pergi, bawahan Louddon itu memeriksa apakah tali yang mengikat sang baron terikat dengan kuat, lalu berdiri tepat di hadapan tawanannya. "Mereka bilang kau selicik serigala, tapi kau hanyalah seorang manusia, dan kau akan segera mati layaknya manusia. Louddon tidak ingin pedang yang dingin ditusukkan ke dalam tubuhmu. Saat pagi datang, kami akan menyeret tubuhmu berkilo-kilo meter dari sini. Tak seorang pun yang dapat membuktikan bahwa Louddon-lah yang berada di balik pembunuhanmu." Si pemimpin mengucapkan kata-kata tersebut dengan menghina, geram karena tawanannya bahkan tidak menunduk untuk menatapnya, lalu menambahkan.. "Jika terserah padaku, aku akan mengeluarkan jantungmu dan menuntaskan semuanya." Ia mengumpulkan air liur dalam mulutnya untuk diludahkan ke wajah sang pejuang, berharap hinaan baru ini akan mendapatkan reaksi.
Kemudian tawanan itu perlahan-lahan menunduk menatap si pemimpin. Mata sang pejuang bertemu dengan mata musuhnya. Apa yang pemimpin itu lihat pada sang pejuang menyebabkannya menelan ludah dengan suara keras. Ia berbalik ketakutan. Ia membuat tanda salib, sebuah usaha remeh untuk mengenyahkan janji gelap yang ia baca di mata abu-abu sang pejuang, bergumam kepada dirinya sendiri bahwa ia hanya melaksanakan perintah tuannya. Lalu ia berlari menuju perlindungan kastil.
Dari dalam bayangan di dinding. Medelyne mengamati. Ia menunggu beberapa menit lagi untuk memastikan tak seorang pun prajurit kakaknya yang akan kembali, menggunakan waktu tersebut sebaik-baiknya untuk memohon keberanian demi melaksanakan rencananya.
Medelyne mempertaruhkan segalanya. Dalam hatinya ia tahu tak ada pilihan lain. Saat ini hanya dirinya yang bisa menyelamatkan pria itu. Medelyne menerima tanggung jawab tersebut serta konsekwensinya, sangat sadar kalau perbuatannya ketahuan, tentu saja itu berarti kematiannya sendiri.
Tangan Medelyne gemetar namun langkah-langkahnya cepat. Semakin cepat urusan ini selesai, semakin baik bagi ketenangan pikirannya. Akan ada banyak waktu untuk mengkhawatirkan tindakannya begitu tawanan bodoh itu sudah bebas.
Jubah hitam panjang menutupi Medelyne dari kepala hingga kaki, dan sang baron tidak menyadarinya hingga ia berdiri tepat di hadapan pria itu. Embusan angin yang kencang menarik tudung jubah dari kepalanya, dan seutas rambut coklat kemerahan jatuh melewati bahu di tubuh yang langsing. Medelyne menepis sehelai rambut dari wajahnya dan mendongak menatap si tawanan.
Selama sesaat Duncan mengira otaknya menipunya. Duncan benar-benar menggeleng tidak percaya. Lalu suara gadis itu menyentuhnya dan Duncan tidak sadar apa yang sedang ia lihat bukanlah kilasan dari imajinasinya. "Aku akan membebaskanmu sebentar lagi. Tolong jangan bersuara sampai kita pergi dari sini."
Duncan tidak dapat memercayai apa yang ia dengar. Suara penyelamatnya terdengar sejernih harpa yang paling selaras dan sama memikatnya seperti salah satu hari yang sangat hangat pada musim panas. Duncan memejamkan matanya, menahan keinginan untuk menyemburkan tawanya karena hasil akhir yang tak terduga dan aneh ini, mempertimbangkan untuk meneriakkan seruan perang sekarang dan segera menyelesaikan tipu daya ini, lalu dengan cepat memutuskan untuk menolak ide tersebut. Rasa penasarannya terlalu kuat. Ia bertekad untuk menunggu sebentar lagi, hingga penyelamatnya itu mengungkapkan tujuan yang sebenarnya.
Ekspresi Duncan tetap tak dapat ditebak. Ia tetap diam sementara mengamati gadis itu mengeluarkan belati mungil dari bawah jubahnya. Gadis itu berdiri cukup dekat untuk Duncan tangkap dengan menggunakan kedua kakinya yang tidak terikat, dan jika kata-kata gadis itu ternyata bohong atau belati itu bergerak ke arah jantungnya, ia terpaksa harus mengenyahkan gadis itu.
Lady Madelyne tidak menyadari bahaya tersebut. Hanya berniat untuk membebaskan pria itu, ia beringsut lebih dekat ke samping Duncan dan memulai usaha untuk memotong tali tebal yang mengikat pria itu. Duncan memperhatikan tangan gadis itu gemetar. Pria itu tidak dapat memutuskan apakah itu disebabkan oleh cuaca ganas ini atau perasaan takut.
Aroma mawar menyentuh Duncan. Ketika menghirup aroma ringan tersebut, ia memutuskan suhu yang membekukan ini sudah betul-betul mengacaukan pikirannya. Sekuntum mawar ditengah musim dingin, seorang malaikat di dalam benteng api penyucian... tak satu pun yang masuk akal baginya, namun gadis itu beraroma bunga-bunga musim semi dan terlihat bagaikan gambaran dari surga.
Duncan menggeleng lagi. Bagian logis dari pikirannya tahu siapa sebenarnya gadis itu. Deskripsi yang diberikan kepadanya akurat dalam setiap detail, tapi juga menyesatkan. Ia diberitahu bahwa adik Louddon memiliki tinggi tubuh sedang dan berambut coklat serta bermata biru. dan enak dipandang, Duncan ingat ia diberitahu demikian. Ah, ada yang tidak tepat, putusnya. Adik sang iblis tidaklah enak dipandang ataupun cantik. Gadis itu luar biasa indah.
Tali tersebut akhirnya putus dan kedua tangan Duncan telah bebas. Ia tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya tersembunyi dengan baik. Gadis itu mucul dan berdiri di hadapannya lagi dan memberinya senyuman kecil sebelum berbalik dan berlutut untuk mengumpulkan barang-barang Duncan.
Ketakutan membuat tugas sederhana itu menjadi canggung. Madelyne tersandung saat ia berdiri lagi, menegakkan tubuhnya, lalu berbalik kembali pada pria itu. "Tolong ikuti aku," perintahnya pada pria itu.
Duncan tidak bergerak, namun terus berdiri di tempatnya, mengamati dan menunggu.
Madelyne mengernyitkan dahi karena keraguan Duncan, dalam hati berpikir bahwa udara dingin betul-betul sudah membekukan kemampuan berpikir pria itu. Ia mencengkram pakaian pria itu ke dadanya dengan satu tangan, membiarkan sepatu bot yang berat menggelantung di ujung jemarinya, lalu melingkarkan lengannya yang lain di pinggang pria itu. "Bersandarlah kepadaku," bisiknya. "Aku akan menolongmu, aku berjanji. Tapi tolong, kita harus cepat." Matanya diarahkan ke pintu kastil dan rasa takut terdengar dalam suaranya.
Duncan merespons keputusasaan gadis itu. Ia ingin memberitahu gadis itu bahwa mereka tidak perlu bersembunyi, karena bahkan pada saat ini anak buahnya sedang memanjat tembok benteng, namun ia berubah pikiran. Semakin sedikit yang gadis itu ketahui, semakin banyak keuntungan yang Duncan dapatkan ketika semuanya tiba.
Tinggi Madelyne nyaris tidak mencapai bahu Duncan, namun ia berusaha dengan gigih untuk menerima sebagian berat tubuh Duncan dengan cara meraih dan menyampirkan lengan pria itu di bahunya. "Kita akan pergi ke kediaman pastor tamu di belakang kapel," ia memberitahu pria itu dalam bisikan halus. "Itu satu-satunya tempat di mana mereka tidak akan pernah terpikir untuk memeriksanya."
Sang pejuang tidak terlalu memperhatikan apa yang gadis itu katakan padanya. Tatapannya diarahkan ke puncak tembok sebelah utara. Bulan sabit memberikan cahaya mengerikan pada salju tipis dan membuat siluet para prajuritnya yang sedang memanjat ke atas puncak tembok. Tak ada suara yang bisa didengar ketika prajuritnya semakin bertambah di sepanjang gang yang terbuat dari kayu yang mengelilingi puncak tembok tersebut.
Sang pejuang mengangguk puas. prajurit Louddon sama bodohnya dengan tuan mereka. Keganasan cuaca membuat si penjaga gerbang masuk ke dalam, membiarkan tembok tersebut tak terjaga dan rentan. Musuh telah membuktikan kelemahan mereka. Dan mereka semua akan mati karenanya.
Duncan memberikan berat tubuhnya lebih banyak lagi kepada Madelyne untuk memperlambat langkah gadis itu sementara ia melemaskan jemarinya, lagi dan lagi berusaha mengusir mati rasa dari jari-jarinya. Kakinya mati rasa, pertanda buruk. Duncan menyadari, bahka ketika ia menerima bahwa tak ada yang bisa ia lakukan mengenai itu sekarang.
Duncan mendengar siulan samar dan cepat-cepat mengangkat tangannya tinggi-tinggi, memberikan sinyal untuk menunggu. Duncan menunduk menatap gadis itu untuk melihat apakah ia memergoki tindakannya, tangannya yang satu lagi siap menutup mulut gadis itu jika ia memberikan sedikit saja indikasi bahwa ia menyadari apa yang tengah terjadi. Namun gadis itu sedang sibuk berjuang menahan berat tubuh Duncan dan tampaknya tidak menyadari fakta kalau rumahnya sedang diserang.
Mereka sampai di sebuah pintu sempit dan Madelyne yakin kalau tawanan tersebut berada dalam kondisi lemah yang membahayakan, mencoba menyandarkan pria itu di tembok batu dengan sebelah tangan sambil berusaha membuka grendel pintu.
Sang baron, memahami maksud gadis itu, dengan sukarela bersandar ke tembok dan mengamati Madelyne menyeimbangkan pakaiannya dan berjuang membuka rantai yang sedingin es.
Begitu Madelyne berhasil membuka pintu, ia meraih tangan Duncan dan membimbingnya melewati kegelapan. Aliran udara yang sangat dingin berputar di sekitar mereka ketika mereka berjalan menuju pintu kedua di ujung koridor yang panjang dan lembap. Madelyne cepat-cepat membuka pintu dan memberi isyarat agar Duncan masuk.
Ruangan yang mereka masuki tidak berjendela, tapi beberapa lilin telah dinyalakan, memancarkan pendar hangat ke dalam sakristi tersebut. Udaranya pengap. Debu menutupi lantai kayu dan jaring laba-laba yang tebal bergelantungan dan bergoyang-goyang di langit-langit yang berwarna rendah. Beberapa jubah berwarna-warni yang dipakai oleh para pastor tamu tergantung di kaitan, dan sebuah kasur jerami telah diletakkan di tengah-tengah ruang kecil itu dengan dua selimut tebal di sebelahnya.
Madelyne menggerendel pintu dan menghela napas lega. Untuk saat ini mereka aman. Ia memberi isyarat agar pria itu duduk di atas kasur jerami itu. "Waktu aku melihat apa yang mereka lakukan padamu, aku langsung menyiapkan ruangan ini," ia menjelaskan sambil menyerahkan pakaian pria itu. "Namaku Madelyne dan aku..." Ia hendak menjelaskan hubungannya dengan kakaknya, Louddon, lalu memutuskan bahwa itu bukan ide yang bagus. "Aku akan tinggal bersamamu hingga fajar, kemudian aku akan menunjukkan jalan keluar melalui sebuah jalan rahasia. Bahkan Louddon pun tidak tahu keberadaan jalan itu."
Sang baron duduk bersila. Ia mengenakan kemejanya sambil mendengarkan gadis itu. Ia menganggap tindakan berani gadis itu benar-benar telah memperumit hidupnya, mendapati dirinya bertanya-tanya bagaimana gadis itu akan bereaksi saat ia menyadari rencana Duncan yang sebenarnya, lalu memutuskan bahwa rencananya tidak bisa diubah.
Segera setelah tunik besi menutupi dada lebarnya lagi, Madelyne menyampirkan salah satu selimut ke bahu pria itu, kemudian berlutut, menghadapi pria itu. Madelyne bertumpu pada tumit sepatunya, memberi isyarat agar pria itu meluruskan kaki. Saat pria itu sudah memenuhi keinginannya, Madelyne mengamati kaki pria itu, mengernyit penuh perhatian. Duncan meraih sepatu bot, namun Madelyne menghentikan tangan pria itu. "Kita harus menghangatkan kakimu terlebih dahulu," jelas Madelyne.
Madelyne menarik napas dalam-dalam sambil mempertimbangkan cara tercepat untuk mengembalikan kehidupan pada anggota tubuh yang menderita karena kedinginan itu. Kepala Madelyne menunduk, melindungi wajahnya dari tatapan tajam sang pejuang.
Gadis itu mengambil selimut kedua, hendak membungkuskannya ke sekeliling kaki pria itu, lalu menggeleng, berubah pikiran. Tanpa memberikan penjelasan apa pun, ia melemparkan selimut tadi ke atas kaki pria itu, melepaskan jubahnya sendiri, lalu perlahan-lahan menaikkan tunik dalam berwarna krem ke atas lututnya. Tali kulit anyaman yang ia pakai sebagai sabuk dekoratif dan sarung untuk belatinya terperangkap di dalam blaut hijau gelap yang menutupi tunik dalamannya, dan ia mengambil waktu untuk melepaskan benda itu, lalu melemparkannya ke samping sang pejuang.
Duncan penasaran dengan tingkah laku aneh gadis itu dan menunggunya untuk menjelaskan tindakannya itu. Namun Madelyne tidak mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu menarik napas dalam-dalam sekali lagi, mencengkram kaki Duncan, dan dengan cepat, sebelum ia bisa memutuskan bahwa ini bukan ide yang bagus, menyelipkan kedua kaki tersebut ke bawah pakaiannya, dan menempelkan kaki itu ke kehangatan perutnya.
Gadis itu terkesiap keras ketika kulit Duncan yang sedingin es menyentuh tubuhnya yang hangat, kemudian membetulkan gaunnya dan melingkarkan lengannya di sekeliling kaki itu di luar gaunnya, memeluk pria itu ke tubuhnya. Pundak Madelyne mulai gemetar dan Duncan merasa seolah-oleh Madelyne sedang menarik semua rasa dingin dari tubuhnya dan memasukkannya dalam tubuh gadis itu sendiri.
Itu adalah tindakan paling tidak egois yang pernah Duncan saksikan.
Sensasi kembali dengan cepat ke kaki Duncan. Pria itu merasa seakan seribu belati ditusukkan ke telapak kakinya, membakar dengan intensitas yang ia dapati sulit untuk diabaikan. Ia mencoba menggeser posisinya, tapi gadis itu tak membiarkannya dan mengeratkan dekapan dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Kalau terasa sakit, itu pertanda bagus," kata Madelyne pada Duncan, suaranya tidak lebih dari bisikan serak. "Sakitnya akan segera hilang. Di samping itu, kau sangat beruntung karena merasakan sesuatu," tambahnya.
Kecaman dalam suara Madelyne mengejutkan Duncan, dan pria itu menaikkan sebelah alis sebagai reaksi. Madelyne memandang sekilas tepat pada saat itu dan menangkap ekspresi pria itu. Ia buru-buru menjelaskan. "Kau tidak akan berada pada posisi ini kalau saja kau tidak bertindak begitu ceroboh. Aku hanya berharap kau sudah belajar dengan baik hari ini. Aku tidak bisa akan menolongmu untuk yang kedua kalinya."
Madelyne melembutkan nada suaranya. Ia bahkan mencoba tersenyum pada pria itu, tapi itu adalah sebuah upaya lemah paling baik yang dimungkinkan. "Aku tahu kau percaya Louddon akan bertindak terhormat. Tapi itulah kesalahanmu. Louddon tidak tahu apa itu kehormatan. Ingatah itu di masa depan dan kau akan tetap hidup untuk bertemu dengan tahun berikutnya."
Madelyne menurunkan tatapannya dan memikirkan harga mahal yang harus ia bayar karena sudah membebaskan musuh kakaknya. Tidak perlu waktu lama bagi Louddon untuk menyadari Madelyne-lah yang berada di balik pelarian ini. Madelyne mengucapkan rasa syukur sebab Louddon sudah meninggalkan benteng, karena kepergian pria itu memberinya tambahan waktu untuk melaksanakan pelariannya sendiri.
Pertama-tama sang baron harus diurus. Begitu pria itu sudah pergi dengan selamat, Madelyne bisa mengkhawatirkan akibat dari tindakan nekatnya ini. Ia bertekad untuk tidak memikirkannya sekarang. "Nasi sudah menjadi bubur," bisiknya, membiarkan seluruh penderitaan dan keputusasaan bergema dalam suaranya.
Sang baron tidak menanggapi ucapan Madelyne dan gadis itu tidak memberikan penjelasan tambahan. Kebisuan menyelimuti mereka bagai ngarai yang semakin dalam. Madelyne berharap pria itu mengatakan sesuatu padanya, apa pun, untuk mengurangi ketidaknyamanannya. Ia malu karena mendekap kaki pria itu ke tubuhnya dengan sangat intim dan menyadari kalau pria itu menggerakkan jemari kaki sedikit saja maka akan menyentuh bagian bawah payudaranya. Pikiran itu membuat Madelyne merona. Ia memberanikan diri melirik cepat sekali lagi untuk mengetahui bagaimana reaksi pria itu terhadap meode penyembuhan yang aneh.
Duncan menunggu Madelyne untuk memandangnya, dan dengan cepat, tanpa usaha, menangkap tatapan gadis itu. Menurut Duncan, mata gadis itu sebiru langit pada hari yang paling cerah, serta berpendapat kalau gadis itu sama sekali tidak mirip dengan kakaknya. Duncan mengingatkan dirinya sendiri bahwa penampilan tidak berarti apa-apa, bahkan ketika ia merasa dirinya terpukau pada tatapan tak berdosa gadis itu yang memesona. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa gadis itu adalah adik musuhnya, tidak kurang, tidak lebih. Cantik atau tidak, gadis itu adalah bidaknya, perangkapnya untuk menjebak sang iblis.
Madelyne menatap ke dalam mata pria itu dan berpikir kalau mata itu sekelabu dan sedingin salah satu belatinya. Wajah pria itu terlihat seolah dipotong dari batu, sebab tidak ada emosi yang tampak di sana, tidak ada perasaan sama sekali.
Rambut pria itu berwarna coklat gelap, terlalu panjang dan sedikit ikal, tapi tidak melembutkan wajahnya. Mulutnya terlihat keras, dagunya terlalu tegas, dan Madelyne tidak melihat satu pun garis di sudut-sudut matanya. Pria itu tidak tampak seperti jenis orang yang biasa tertawa atau tersenyum. Tidak, Madelyne mengakui seraya gemetar ketakutan. Pria itu terlihat sekeras dan sedingin yang dituntut oleh posisinya. Ia adalah seorang pejuang terlebih dahulu dan seorang baron kemudian, dan Madelyne menduga bahwa tidak ada tempat untuk tawa dalam hidup pria itu.
Madelyne tiba-tiba menyadari kalau ia sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Itu membuatnya khawatir, tidak mengetahui apa yang pria itu pikirkan. Ia batuk untuk menutupi rasa malunya, dan berniat untuk memulai percakapan lagi. Barangkali, jika sang baron bicara padanya, pria itu tidak akan tampak terlalu mengintimidasi.
"Apa kau berniat untuk menghadapi Louddon sendirian?" tanya Madelyne. Ia menunggu lama jawaban pria itu, dan mendesah frustrasi menghadapi kebisuan pria itu yang berkepanjangan. Sang pejuang ternyata sama-sama keras kepala dan bodoh, ujar Madelyne dalam hati. Ia baru saja menyelamatkannya dan pria itu belum mengucapkan sepatah pun ucapan terima kasih. Tingkah laku pria itu ternyata sekasar penampilan dan reputasinya.
Pria itu membuatnya takut. Begitu madelyne mengakui fakta tersebut kepada dirinya sendiri, ia menjadi kesal. Ia mencela dirinya sendiri karena reaksinya terhadap pria itu. Sang baron tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun Madelyne gemetar seperti anak kecil.
Gara-gara ukuran pria itu, putus Madelyne. Aye, batinnya seraya mengangguk dalam kungkungan ruangan kecil ini, pria itu tampak lebih kuat dari Madelyne.
"Jangan berpikir untuk kembali mencari Louddon lagi. Itu akan menjadi kesalahan lagi. Dan dia pasti akan membunuhmu di kesempatan berikutnya."
Sang pejuang tidak menjawab. Kemudian ia bergerak, pelan-pelan menggeser kakinya dari kehangatan yang Madelyne berikan. Ia bergerak lambat-lambat, menekan perlahan di sepanjang kulit yang sensitif di atas paha gadis itu dengan provokasi yang disengaja.
Madelyne terus berlutut di depan pria itu, tatapannya di arahkan ke bawahsaat Duncan mengenakan stoking dan sepatu botnya.
Ketika Duncan selesai dengan kegiatannya, ia pelan-pelan mengangkat sabuk anyaman yang tadi dilemparkan Madelyne dan menggenggamnya di depan gadis itu.
Secara insting Madelyne mengulurkan kedua tangannya untuk menerima sabuknya. Ia tersenyum, menganggap tindakan pria itu sebagai semacam penawaran damai, dan menunggu pria itu mengucapkan rasa terima kasihnya pada akhirnya.
Sang pejuang bekerja secepat kilat. Ia menyambar tangan kiri Madelyne dan mengikatkan sabut tersebut di tangan itu. Sebelum gadis itu bahkan bisa berpikir untuk menarik tangannya, Duncan melingkarkan sabuk itu di pergelangan tangannya yang satu lagi dan mengikat kedua tangannya.
Madelyne menatap tertegun pada tangannya lalu mendongak menatap pria itu, kebingungannya terlihat jelas.
Ekspresi di wajah pria itu mengirimkan kengerian di sepanjang tulang belakangnya. Madelyne menggeleng, tidak percaya pada apa yang sedang terjadi.
Kemudian sang pejuang bicara. "Aku datang bukan untuk Louddon, Madelyne. Aku datang untuk menjemputmu."
Next
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar