“Ujilah
segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
-PERJANJIAN
BARU, I TESALONIKA, 5:21
Madelyne
duduk di sisi tempat tidurnya, memaksakan kekuatan kembali ke kedua kakinya.
Sebuah ketukan ragu terdengar di pintu hanya beberapa menit setelah Duncan
pergi. Madelyne berseru dan seorang pelayan memasuki kamarnya. Wanita itu
sekurus kertas perkamen yang berparas lesu, dengan bahu yang bungkuk dan garis
kecemasan mengernyitkan dahinya yang lebar. Ketika pelayan itu mendekati tempat
tidur, langkah-langkahnya menjadi berat.
Pelayan
tersebut tampak siap melarikan diri, dan mendadak Madelyne paham bahwa wanita
itu mungkin merasa takut. Wanita tersebut terus melontarkan tatapan mendamba ke
arah pintu.
Madelyne
tersenyum, mencoba meringankan ketidaknyamanan si pelayan, kendati ia bingung
terhadap tingkah laku gugup pelayan tersebut.
Wanita
tersebut memegang sesuatu di balik punggungnya. Perlahan-lahan ia
memperlihatkan tas itu dan kemudian menyembur, “Saya membawakan tas Anda, My
Lady.”
“Kau baik
sekali,” jawab Madelyne.
Madelyne
bisa melihat pujiannya membuat wanita itu senang. Kini pelayan itu tidak tampak
secemas tadi, hanya agak bingung.
“Aku
tidak tahu mengapa kau begitu takut kepadaku,” ujar Madelyne, memutuskan untuk
menghadapi masalah tersebut secara langsung. “Aku tidak akan menyakitimu, aku
bisa menjanjikan itu kepadamu. Apa yang sudah dikatakan oleh Wexton bersaudara
kepadamu sehingga membuatmu begitu ketakutan?”
Keterusterangan
Madelyne mengurangi ketegangan pada postur tubuh wanita itu. “Mereka tidak
bilang apa-apa, Milady, tapi saya tidak tuli. Saya bisa mendengar teriakan yang
berlangsung di atas sini sampai ke pantri, dan Anda-lah yang mengeluarkan
sebagian besar teriakan itu.”
“Aku
berteriak?” Madelyne merasa ngeri dengan gagasan semacam itu. Pasti wanita itu
salah.
“Benar,”
jawab si pelayan, mengangguk kuat-kuat. “Saya tahu Anda diserang demam dan
tidak dapat menahan apa yang Anda lakukan pada saat itu. Gerty akan membawakan
makanan untuk Anda sebentar lagi. Saya akan membantu Anda berganti pakaian,
jika itu yang Anda inginkan.”
“Aku
lapar,” cetus Madelyne. Ia meluruskan kedua kakinya, menguji kekuatannya. “Aku
juga selemah bayi. Siapa namamu?”
“Nama
saya Maude, seperti nama sang ratu,” si
pelayan mengumumkan. “Yang sudah meninggal, tentu saja, sebab Raja William kita
belum beristri.”
Madelyne
tersenyum. “Maude menurutmu bisakah aku mandi? Aku merasa lengket sekali.”
“Mandi,
Milady?” Maude terlihat ngeri karena ide tersebut. “Di tengah-tengah musim
dingin?”
“Aku
terbiasa mandi sekali sehari, Maude, dan sepertinya sudah lama sekali sejak
terakhir kali...?”
“Mandi
sehari sekali? Untuk apa?”
“Aku
hanya suka merasa bersih,” jawab Madelyne. Ia memandang lama si pelayan dan
memutuskan bahwa akan bagus bagi wanita baik hati itu untuk mandi juga, walau
ia tidak mengutarakan pendapatnya itu karena takut menyinggung wanita baik hati
itu. “Apakah menurutmu tuanmu akan mengizinkan aku membersihkan diri?”
Maude
mengangkat bahu. “Anda boleh mendapatkan apa pun yang Anda mau, selama Anda
tetap tinggal di kamar ini. Sang baron tidak mau anda jatuh sakit karena
mencoba secara berlebihan. Saya pikir saya bisa mendapatkan bak mandi di
sekitar sini dan menyuruh suami saya mengangkut benda itu melewati tingga.”
“Kau
punya keluarga, Maude?”
“Aye, seorang suami yang baik dan anak
laki-laki yang hampir berusia lima tahun sekarang. Bocah itu anak yang liar.”
Maude
membantu Madelyne berdiri dan berjalan bersama gadis itu menuju kursi di dekat
perapian. “Nama anak saya William,” lanjutnya. “Tapi saya menamainya seperti
raja kita yang telah meninggal, bukan waja yang memerintah saat ini.”
Pintu
terbuka selagi Maude bercerita. Seorang lagi pelayan bergegas masuk, membawa
makanan. Maude berseru, “Gerty, kau tidak perlu merasa takut. Dia tidak gila
seperti yang kita kira.”
Gerty
tersenyum. Ia adalah seorang wanita bertubuh besar dengan kulit bersih dan mata
coklat. “Saya juru masak di sini,” ia memberitahu Madelyne. “Saya dengar Anda
cantik. Meskipun kurus, terlalu kurus. Makanlah semua makanan ini, kalau tidak,
Anda akan langsung melayang karena tiupan angin yang kencang.”
“Dia mau
mandi, Gerty,” Maude memberitahu.
Gerty
menaikkan sebelah alisnya. “Mungkin Anda bisa melakukannya nanti. Tidak bisa
menyalahkan kita kalau dia kedinginan.”
Kedua
wanita tersebut melanjutkan obrolan mereka sembari membersihkan kamar Madelyne.
Jelas mereka adalah teman baik dan Madelyne sepenuhnya menikmati mendengarkan
gosip mereka.
Mereka
juga menolong Madelyne mandi. Pada saat bak mandi telah disingkirkan, Madelyne
kelelahan. Ia sudah mencuci rambutnya, namun membutuhkan waktu yang sangat lama
untuk kering. Madelyne duduk di atas kulit binatang lembut di depan perapian.
Ia mengangkat untaian rambut panjangnya dekat-dekat ke api supaya lebih cepat
kering, sampai lengannya mulai terasa sakit. Seraya menguap dengan keras dan
tidak feminin, Madelyne meregangkan tubuh di atas kulit berbulu tersebut,
berpikir untuk beristirahat selama satu atau dua menit saja. Ia hanya
mengenakan baju dalamannya, namun ia tidak mau berpakaian sampai rambutnya
sudah kering dan dikepang.
Duncan
mendapati Madelyne sedang tidur dengan nyenyak. Gadis itu membuat gambaran yang
menggoda, tidur menyamping di depan perapian. Kakinya yang keemasan ditarik ke
dadanya, dan rambutnya yang indah menutupi sebagian besar wajahnya.
Mau tak
mau Duncan tersenyum. Oh Tuhan, gadis itu mengingatkannya pada seekor anak
kucing, bergelung dengan sangat nyaman. Aye,
gadis itu memang menggoda, dan mungkin akan mati membeku kalau Duncan tidak
melakukan sesuatu.
Madelyne
bahkan tidak membuka matanya saat Duncan menggendongnya dan membawanya ke
tempat tidur. Duncan tersenyum melihat cara gadis itu secara insting meringkuk
ke dadanya. Gadis itu juga mendesah, seakan sangat puas, dan sial, ia beraroma
seperti mawar lagi.
Duncan
meletakkan gadis itu di tempat tidur dan menyelimutinya. Ia mencoba menjaga
jarak, namun ia tampaknya tidak mampu menghentikan dirinya sendiri untuk
menyapukan tangan ke pipi Madelyne yang lembut.
Madelyne
terlihat sangat rentan ketika tidur. Pasti itulah alasannya Duncan tidak mau
pergi. Dorongan untuk melindungi gadis itu sangat kuat. Madelyne begitu polos
dan lugu. Dalam hatinya, Duncan tahu ia tidak akan pernah membiarkan Madelyne
kembali kepada kakak gadis itu. Madelyne adalah seorang malaikat dan Duncan
tidak akan pernah membiarkannya berada dekat-dekat dengan si iblis Louddon
lagi.
Segala
aturan telah menjadi jungkir balik bagi Duncan. Sembari mengerang frustasi, ia
melangkah ke pintu. Sial, pikir Duncan, ia tidak lagi mengetahui pikirannya
sendiri.
Ini
adalah ulah Madelyne, meskipun gadis itu pasti tidak menyadari fakta tersebut.
Madelyne membuatnya kebingungan, dan ketika ia beradadi dekat gadis itu, ia
tidak mampu berpikir sama sekali.
Duncan
memutuskan bahwa ia harus menempatkan jarak di antara dirinya dan Madelyne
sampai ia sudah membereskan masalah-masalah yang mengganggunya. Akan tetapi,
segera setelah ia memutuskan untuk menghindari Madelyne, suasana hatinya
memburuk. Duncan menggumamkan umpatan, berbalik, dan perlahan-lahan menutup
pintu di belakangnya.
Madelyne
masih cukup lemah sehingga isolasi yang dipaksakan itu tidak menganggunya.
Namun setelah dua hari lagi berlalu, dengan hanya Grety dan Maudw yang
berkunjung secara berkala, ia merasakan efek penahanannya itu. Ia mondar-mandir
di kamarnya hingga ia hafal setiap senti ruangan tersebut di luar kepala, lalu
mulai membuat para pelayan kebingungan ketika ia bersikeras untuk melakukan apa
yang mereka anggap sebagai pekerjaan biasa. Madelyne menyikat lantai dan
dinding kamar. Latihan fisik tersebut tidak banyak membantu. Ia merasa
terkungkung seperti seekor binatang. Dan ia menunggu Duncan, jam demi jam,
untuk mendatanginya.
Madelyne
terus berkata pada dirinya sendiri bahwa ia harus bersyukur karena Duncan
nyaris melupakannya. Ya Tuhan, bukankah ia terbiasa dilupakan?
Ketika
dua hari lagi berlalu, Madelyne nyaris melemparkan dirinya sendiri keluar
jendela hanya untuk memberi variasi ke dalam rutinitasnya. Ia cukup merasa
bosan untuk menjerit.
Ia
berdiri di samping jendela dan menatap jauh ke matahari terbenam yang memudar,
memikirkan Duncan.
Madelyne
berpikir ia mungkin telah memanggil pria itu di dalam benaknya, sebab bahkan
ketika ia berpikir tentang betapa inginnya ia bertemu Duncan, pria itu
tiba-tiba muncul. Pintu terbuka, memantul di dinding batu yang mengumumkan
kedatangan Duncan, dan di sanalah pria itu berdiri, terlihat garang dan kuat,
dan sepenuhnya terlalu tampan untuk ketenangan pikiran Madelyne. Sebetulnya,
Madelyne bisa menatap pria itu sepanjang malam.
“Edmond
akan melepas jahitannya sekarang,” Duncan memberitahu gadis itu.
Duncan
masuk ke dalam kamar dan berjalan untuk berdiri di depan perapian. Ia
bersedekap, memberi Madelyne gagasan kalau pria itu bosan dengan tugas ini.
Madelyne
terluka karena sikap dingin Duncan, namun bertekad pria itu tidak akan pernah
mengetahuinya. Ia memperlihatkan apa yang ia harapkan sebagai ekspresi yang
sangat tenang kepada pria itu.
Oh Tuhan,
gadis itu adalah pemandangan yang pantas untuk dilihat. Madelyne mengenakan
gaun berwarna krem dan tunik luar berwarna biru. Sabuk yang dianyam melingkari
pinggangnya yang langsing, memberi aksen pada lekukan femininnya.
Rambut
Madelyne tidak ditarik dari wajahnya namun tergerai hingga ke bagian bawah
payudaranya. Sungguh rambut yang ikal dan tebal, rambut yang pantas dimiliki
oleh ratu mana pun, dan berwarna hitam, pikir Duncan, meski terjalin dengan
helai-helai berwarna merah juga. Ia ingat rasanya, begitu lembut bagaikan sutra.
Duncan
merengut, jengkel dengan cara gadis itu mengganggunya. Ia juga tidak bisa
berhenti menatap Madelyne, mengakui bahwa ia merindukan keberadaan gadis itu di
sisinya. Sebuah pikiran bodoh, dan pikiran yang tidak akan pernah ia akui
secara terbuka, namun tetap ada, menusukkan kesadaran baru padanya.
Mendadak
saja Duncan sadar kalau Madelyne sedang mengenakan warnanya, dan ia tersenyum
lebar. Ia ragu gadis itu menyadari fakta tersebut, dan seandainya saja gadis
itu tidak terlihat begitu menggoda untuk dicium, ia mungkin akan menyebutkan
hal itu hanya untuk melihat reaksi gadis itu.
Madelyne
tidak mampu memandang Duncan lama-lama. Ia takut Duncan akan melihat betapa ia
merindukan pria itu. Dan kemudian pria itu akan merasakan kepuasan besar, pikir
Madelyne dalam hati.
“Aku
ingin tahu apa yang akan kau lakukan kepadaku, duncan,” ujar Madelyne. Ia
mengalihkan pandangannya ke lantai, tidak berani mendongak untuk melihat
bagaimana pria itu menanggapi pertanyaannya, kalau tidak, ia akan kehilangan
alur pikirannya sama sekali.
Aye, kemampuan
Madelyne untuk berkonsentrasi selalu berada dalam bahaya setiap kali ia berada
di sekitar Duncan. Ia tidak mengerti reaksinya terhadap pria itu, namun tetap
menerimanya. Sang baron mampu membuatnya cemas tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Pria itu mengganggu ketenangan pikirannya, serta membuatnya bingung.
Ketika Duncan berada di dekatnya, ia ingin pria itu pergi. Namun ketika Duncan
jauh darinya, Madelyne merindukan pria itu.
Madelyne
memunggungi Duncan dan menatap keluar jendela lagi. “Apa kau bermaksud untuk
mengurungku di ruangan ini selama sisa hidupku?”
Duncan
tersenyum karena kecemasan yang ia dengar dalam suara gadis itu. “Madelyne,
pintu ini tidak di palangi,” ucapnya.
“Apa kau
sedang bergurau?” tanya Madelyne. Ia berbalik dan melontarkan tatapan yang
sangat ragu kepada pria itu. “Apa kau bermaksud memberitahuku bahwa aku tidak
dikurung di menara ini sepanjang minggu ini?” Oh Tuhan, ia merasa hendak
berteriak. “Bahwa aku bisa saja melarikan diri?”
“Nay, kau tidak akan bisa melarikan diri,
tapi kau bisa daja meninggalkan ruangan ini,” jawab Duncan.
“Aku
tidak percaya padamu,” cetus Madelyne. Ia bersedekap, meniru cara berdiri pria
itu. “Kau pasti berbohong hanya untuk membuatku merasa bodoh. Kau punya
keunggulan yang tidak adil, Duncan, sebab aku tidak pernah berbohong sekali
pun. Karena itu,” ia menyimpulkan, “ini bukan pertandingan yang seimbang.”
Edmond
muncul di pintu yang terbuka. Si tengah itu memasang wajah cemberutnya yang
biasa. Tapi ia juga tampak waspada, dan menatap lama Madelyne sebelum ia
melangkah masuk.
“Kau
harus memeganginya kali ini,” kata Edmond kepada Duncan.
Madelyne
melontarkan lirikan cemas kepada Duncan dan melihat pria itu tersenyum.
“Madelyne tidak sedang demam, Edmond, dan sejinak anak kucing,” ujar Duncan.
Kemudian ia menoleh kepada Madelyne dan menyuruh gadis itu pergi ke tempat
tidur sepaya Edmond bisa melepaskan perbannya.
Madelyne
mengangguk. Ia tahu apa yang perlu dilakukan, namun rasa malu mengalahkan akal
sehat. “silahkan kalian berdua pergi, aku ingin mendapatkan privasi sebentar
untuk bersiap-siap.”
“Menyiapkan
apa?” tanya Duncan.
“Aku
seorang Lady terhormat,” gagap Madelyne. “Aku tidak akan membiarkan satu pun
dari kalian melihat apa pun kecuali lukaku. Itulah yang akan kupersiapkan.”
Gadis itu
cukup merona untuk membuat Duncan sadar bahwa ia bersungguh-sungguh dengan
setaip kata. Edmond mulai batuk-batuk tapi helaan napas Duncan lebih keras.
“Ini bukan waktunya untuk bersikap sopan, Madelyne. Lagi pula, aku sudah pernah
melihat... kakimu.”
Madelyne
meluruskan pundaknya, memelototi pria itu, kemudian bergegas ke tempat tidur.
Ia menyambar salah satu kulit binatang yang terjatuh ke lantai, dan saat ia
sudah duduk di atas tempat tidur, ia menyampirkan kulit binatang tersebut di
atas tubuhnya lalu menaikkan gaunnya hingga ke bagian atas pahanya.
Mendorong
pelan-pelan perban yang terlihat ke samping. Madelyne mulai melepaskan ikatan
perban itu perlahan-lahan.
Edmond
berlutut di samping Madelyne ketika perban tersebut dilepaskan. Kemudian,
Madelyne melihat bayangan gelap di bawah mata kirinya. Ia bertanya dalam hati
bagaimana pria itu mendapatkan memas tersebut, lalu langsung menyimpulkan bahwa
salah satu saudaranyalah yang kemungkinan bertanggung jawab. Sungguh
orang-orang yang mengerikan, ujar Madelyne pada dirinya sendiri, bahkan ketika
ia memperhatikan, Edmond bersikap sangat lembut ketika melepaskan benang yang
lengket dari kulitnya.
“Wah,
rasanya tidak lebih sakit daripada cubitan, Edmond,” ujar Madelyne lega.
Duncan
menghampiri dan berdiri di samping ranjang. Ia terlihat siap untuk menerjang
kalau Madelyne bergerak.
Rasanya
sungguh janggal, ada dua orang pria yang sedang menatap pahanya. Madelyne
seketika merasa malu lagi. Bermaksud untuk mengalihkan perhatian Duncan, ia
mengatakan hal pertama yang muncul di pikirannya. “Mengapa ada gerendel di
kedua pintu?”
“Apa?”
Duncan benar-benar terlihat bingung.
“Selot
kayu yang digeserkan ke dalam lubang untuk mengunci pintu,” Madelyne buru-buru
berkata. “Kau membuat gerendel di kedua pintu. Mengapa begitu, menurutmu?”
tanyanya, berpura-pura sangat tertarik dengan topik konyol itu.
Bagaimanapun,
strategi Madelyne berhasil, Duncan berpaling, menatap pintu, lalu memandang
Madelyne lagi. Pria itu sekarang memandang wajah Madelyne, mengabaikan, untuk
sementara, paha gadis itu yang terkspos.
“Well,” tantang Madelyne, “Apa kau sangat
bingung katika membuat pintu itu sehingga kau tidak bisa memutuskan di sisi
manakah harus meletakkan palangnya?”
“Madelyne,
alasannya sama dengan tangga yang dibangun di sisi kiri,” jawab Duncan. Ada
sebuah percikan yang tampak jelas di mata pria itu. Madelyne senang dengan
perubahan yang dibuat oleh percikan tersebut terhadap penampilan pria itul.
Duncan hampir tidak semencemaskan biasanya ketika ia tersenyum.
“Adan apa
alasannya?” tanya Madelyne, tersenyum walaupun ia tidak menginginkannya.
“Karena
aku lebih suka seperti itu.”
“Itu
alasan yang menyedihkan, sungguh,” cetus Madelyne.
Madelyne
tetap tersenyum sampai ia sadar kalau ia menggenggam tangan pria itu. Madelyne
capat-cepat menarik lepas tangannya dan berpaling untuk menatap Edmond.
Si tengah
itu sedang menatap Duncan. Kemudian ia berdiri dan berkata, “Lukanya sudah
sembuh.”
Madelyne
menunduk menatap gadis bergerigi jelek
yang menandai pahanya. Ia meringis melihat bekas luka mengerikan tersebut.
Namun ia cepat-cepat mengendalikan diri, malu dengan reaksi dangkalnya itu. Ia
bukanlah seorang wanita yang angkuh. “Terima kasih, Edmond,” katanya sembali
menarik selimut ke atas kakinya.
Duncan
belum melihat hasil kerja Edmond. Ia mencondongkan tubuh ke depan untuk men
jauhkan kulit binatang tersebut. Madelyne menjauhkan tangan pria itu lalu
menekan ujung selimut itu ke tempat tidur. “Dia bilang lukaku sudah sembuh,
duncan.”
Pria itu
jelas-jelas ingin melihatnya sendiri. Madelyne memekik terkejut saat Duncan
merenggut selimut itu. Ia mencoba menurunkan gaunnya, namun duncan mencengkram
kedua tangannya dan pelan-pelan, dengan sengaja, menaikkan tunik dalaman gadis
itu sampai seluruh pahanya terekspos.
“Tidak
ada infeksi apa pun,” ujar Edmond kepada Duncan, menonton adegan itu dari sisi
lain tempat tidur.
“Aye, lukanya sudah sembuh,” cetus Duncan
sambil mengangguk.
Saat
Duncan melepaskan tangan Madelyne, gadis itu merapikan gaunnya dan bertanya,
“Kau tidak memercayai adikmu sendiri?” Madelyne terdengar terkejut.
Duncan
dan Edmond bertukar pandang yang tidak dapat Madelyne artikan. “Tentu saja kau
tidak memercayainya,” gerutu Madelyne. “Jangan-jangan kau juga yang membuat
mata adikmu memar,” tambahnya, membiarkan rasa jijik terlihat. Inilah yang akan
kuharapkan dari Wexton bersaudara.”
Duncan
memperlihatkan kejengkelannya dengan cara berbalik dan berjalan menuju pintu.
Helaan napasnya yang keras menyusulnya. Edmond berdiri di sana, merengut kepada
Madelyne selama semenit lagi atau lebih, dan kemudian menyusul kakaknya.
Madelyne
mengulangi ucapan terima kasihnya. “Aku tahu kau diperintahkan untuk merawat
lukaku, Edmond, tapi aku tetap berterima kasih padamu.”
Madelyne
yakin pria masam itu akan mencerca pujiannya, dan menyiapkan dirinya untuk
menghadapi hinaan pria itu. Tak peduli ucapan keji apa pun yang pria itu
ucapkan padanya, ia akan dengan rendah hati menerimanya.
Edmond
tidak repot-repot mengatakan apa pun. Madelyne kecewa. Bagaimana ia bisa menunjukkan
kepada para Wexton kalau ia adalah seorang gadis yang lembut kalau mereka tidak
memberinya kesempatan?
“Makan
malam akan siap dalam waktu satu jam, Madelyne. Kau boleh bergabung bersama
kami di aula saat Gilard datang menjemputmu.”
Duncan
berjalan keluar melewati pintu setelah menggumamkan itu. Akan tetapi Edmond
berhenti sejenak, dan kemudian pelan-pelan berbalik untuk menatap Madelyne
lagi. Ia tampaknya sedang mempertimbangkan suatu keputusan.
“Siapa
Polyphemus?”
Mata
Madelyne melebar. Sungguh pertanyaan yang aneh. “Oh, dia adalah seorang
raksasa, pemimpin para Cyclops dalam kisah kuno Homer,” jawabnya, “Polyphemus
adalah seorang raksasa buruk rupa yang sangat mengerikan dengan sebuah mata
besar tepat di tengah-tengah dahinya. Dia memakan prajurit Odysseus untuk makan
malamnya,” tambahnya sambil mengangkat bahu dengan cantik.
Edmond
tidak menyukai jawaban gadis itu. “Demi Tuhan,” gerutunya.
“Kau
tidak seharusnya sembarangan menyebutkan nama Tuhan,” seru Madelyne. “Dan
mengapa kau menanyakan tentang siapa Polyphemus itu?”
Madelyne
menyangka, melalui suara langkah-langkah kaki yang memudar, bahwa Edmond tidak
akan menjawabnya.
Akan
tetapi, bahkan sikap tidak sopan dari si tengah itu tidak mengurangi
kegembiraan Madelyne. Ia bangkit dari tempat tidur dan tertawa. Ya Tuhan, ia
akhirnya akan keluar dari kamar ini. Ia tidak percaya sedetik pun bahwa pintu
kamarnya tidak pernah dikunci sepanjang minggu ini. Duncan memberitahukan itu
padanya hanya untuk membuatnya kesal. Ya, pria itu pasti akan membuatku percaya
bahwa aku berotak udang kalau aku membiarkannya.
Madelyne
merogoh-rogoh tasnya. Ia berharap ia memiliki gaun yang cantik untuk dikenakan
dan kemudian tersadar betapa bodohnya harapan tersebut. Ia adalah tawanan
mereka, demi Tuhan, bukan tamu undangan mereka.
Ia
menghabiskan waktu lima menit untuk bersiap-siap. Ia mondar-mandir di kamar
beberapa lama dan kemudian berjalan ke
arah pintu untuk melihat seberapa kuatnya pintu tersebut dipalangi. Pada
tarikan pertama, pintu itu terbuka lebar, nyaris membuat Madelyne terjenkang.
Pasti
Duncan meninggalkan pintu dalam keadaan terbuka hanya untuk menipunya. Madelyne
ingin memercayai itu –sampai ia teringat kalau pria itu pergi sebelum Edmond.
Suara-suara
naik melewati tangga yang terbuka, menarik Madelyne ke landasan tangga. Ia
mencondongkan tubuh di pegangan tangga, berusaha keras mendengarkan percakapan
itu, namun jaraknya ternyata terlalu jauh untuk dapat menangpat kata yang
jelas. Akhirnya Madelyne menyerah dan berbalik untuk kembali ke kamarnya. Ia
melihat selot kayu panjang yang disandarkan di dinding batu dan secara impulsif
mengambil benda tersebut dan menyeretnya ke dalam kamar tidurnya. Ia
menyembunyikan selot tersebut di bawah tempat tidurnya, dan tersenyum pada diri
sendiri kamar ini, Duncan, alih-alih membiarkanmu mengunciku di dalam sini.”
Seolah-olah
dirinya dapat membiarkan apa pun terjadi saja, pikir Madelyne. Oh Tuhan, ia
sudah terkurung di kamar ini untuk waktu yang terlalu lama dan pasti itulah
alasan menyedihkan yang ia dapati begitu menghibur di dalam pikirannya.
Gilard
betul-betul membetulkan waktu yang sangat lama untuk menjemputnya. Madelyne
sudah langsung menyimpulkan bahwa Duncan telah membohonginya. Pria itu hanyalah
bersikap kejam.
Ketika
Madelyne mendengar suara langkah-langkah kaki, ia tersenyum lega dan berlari ke
samping jendela. Seraya meluruskan gaunnya dan merapikan rambutnya, ia
memaksakan ekspresi tenang.
Gilard
tidak sedang mengernyit. Itu kejutan. Ia tampak rapi malam ini, mengenakan
pakaian berwarna hutan di musim semi. Warna hijau yang hangat itu membuatnya
terlihat tampan.
Ada
kelembutan dalam suara Gilard ketika pria itu berbicara. “Lady Madelyne, aku
ingin berbicara denganmu sebelum kita turun,” ia mengumumkan sebagai pengganti
ucapan salam.
Gilard
memberi Madelyne lirikan cemas, mengaitkan kedua tangannya di balik punggung,
dan melangkah langsung ke hadapan gadis itu.
“Adela
mungkin akan bergabung dengan keluarga. Dia tahu kau di sini dan dia...”
“Tidak
senang?”
“Aye, meskipun lebih dari tidak senang. Dia
belum mengatakan apa pun, tapi sorot matanya membuatku resah.”
“Mengapa
kau memberitahukan ini padaku?” tanya Madelyne.
“Oh, aku
memberitahumu karena aku berutang penjelasan kepadamu supaya kau dapat
mempersiapkan dirimu.”
“Mengapa
kau peduli? Kau jelas telah mengubah pendapatmu tentang diriku. Apakah
perubahan ini karena aku telah menolongmu dalam pertempuran melawan kakakku?”
“Well, tentu saja,” Gilard tergagap.
“Itu
adalah alasan yang menyedihkan,” kata Madelyne pada Gilard.
“kau
menyesal sudah menyelamatkan nyawaku?” tanya Gilard.
“Kau
salah paham, Gilard. Aku menyesal karena terpaksa merenggut nyawa orang lain
untuk menolongmu,” jelas Madelyne. “Tapi aku tidak menyesal karena dapat
menolongmu.”
“Lady
Madelyne, kau bersikap tidak konsisten,” kata Gilard pada gadis itu. Ia
mengernyitkan dahi dan tampak bingung.
Gilard
tidak mungkin dapat mengerti. Pria itu benar-benar seperti kakaknya. Aye, seperti Duncan, Gilard terbiasa
membunuh, duga Madelyne, dan pria itu tidak akan pernah memahami penyesalan yang
Madelyne rasakan karena tidakannya. Ya Tuhan, pria itu barangkali menganggap
bantuan madelyne sebagai aksi heroik. “Kurasa aku lebih suka kalau kau telah
menemukan sesuatu yang baik dalam diriku dan itulah alasan kau mengubah
pendapatmu.”
“Aku tidak
memahami dirimu,” ujar Gilard mengangkat bahu.
“Aku
tahu.” Kata-kata tersebut diucapkan dengan begitu sedih sehingga Gilard merasa
ingin menghibur Madelyne.
“Kau
wanita yang tidak biasa.”
“Aku
berusaha untuk tidak menjadi seperti itu. Tapi itu sulit, kalau kau
mempertimbangkan masa laluku.”
“Aku
memujimu saat mengatakan menurutku kau tidak biasa,” timpal Gilard, tersenyum
mendengar kekhawatiran yang ia tangkap dalam suara gadis itu. Apakah gadis itu
mengira tidak biasa berarti semacam kekurangan , tanya Gilard dalam hati.
Gilard
menggeleng lalu berbalik dan memimpin jalan menuruni tangga, menjelaskan sambil
melangkah bahwa jika Madelyne tergelincir, gadis itu harus mencengkram bahunya
untuk berpegangan. Anak tangganya basah, dan licin di beberapa tempat.
Gilard
meneruskan monolognya yang datar, namun Madelyne terlalu gugup untuk
mendengarkannya. Kecemasan akan kemungkinan bertemu dengan Adela menumpuk di
dalam benaknya.
Ketika
mereka mencapai pintu masuk ke aula, Gilard pindah ke samping Madelyne. Gilard
menawarkan lengannya. Madelyne menolak isyarat baik tersebut, cemas kalau-kalau
perubahan sikap pria itu tidak akan disukai oleh saudara-saudaranya.
Sembari
menggeleng kecil Madelyne melipat tangan di depan tubuhnya dan mengalihkan
perhatiannya ke aula. Oh Tuhan, proporsi ruangan tersebut sangat besar, dengan
perapian batu yang mengambil bagian cukup besar di dinding yang menghadap ke
arahnya. Di sebelah kanan perapian tersebut, namun berjarak agak jauh, terdapat
sebuah meja yang sangat besar, cukup panjang untuk menampung setidaknya dua
puluh orang. Meja tersebut di tempatkan di atas sebuah platform kayu.
Bangku-bangku yang dipenuhi guratan berbaris di sepanjang kedua sisi meja
tersebut, beberapa dalam keadaan tegak, lebih banyak lagi dalam keadaan
terbalik.
Aroma
yang agak aneh mencapai Madelyne, dan ia mengerutkan hidungnya sebagai respons.
Lalu ia mengamati sekelilingnya baik-baik dan langsung melihat penyebabnya.
Tikar-tikar anyaman yang mengotori lantai warnanya menjadi belang-belang karena
usia. Bahkan, tikar-tikar tersebut berbau busuk karena sudah kering. Api berkober
di perapian, memanaskan bau busuk tersebut, dan kalu itu belum cukup untuk
membuat perut bergolak, selusin anjing atau lebih menambahkan aroma tidak mandi
mereka sementara tidur berdempetan dalam tumpukan puas di tengah-tengah ruangan
tersebut.
Madelyne
terkejut dengan kekacauan itu, namun ia bertekad untuk menyimpan pikirannya
untuk dirinya sendiri. Jika keluarga Wexton ingin hidup seperti binatang, maka
biarlah. Ia tentu saja tidak peduli.
Ketika
Gilard menyenggolnya, Madelyne mulai melangkah menuju platform kayu. Edmond
sudah duduk di meja, punggungnya menghadap dinding di belakangnya. Si tengah
itu sedang mengamati Madelyne. Pria itu terlihat seakan-akan sedang melamun
tentang sesuatu. Ia mencoba memandang lurus-lurus pada Madelyne. Ia
mengasumsikan bahwa kursi kosong tersebut milik Duncan, sebab pria itu
merupakan kepala klan Wexton.
Madelyne
hendak bertanya kepada Gilard kapan Duncan akan bergabung dengan mereka, saat
suara Edmond berkumandang. “Gerty!”
Seruan
tersebut menghanyutkan pertanyaan Madelyne. Teriakan itu langsung dijawab
dengan sahutan keras, datang dari pantri di sebelah kanan. “Kami mendengarmu.”
Kemudian
Gerty muncul, menyeimbangkan setumpuk trencher
kosong di satu lengan dan sepiring besar daging di lengan lain. Dua orang gadis
pelayan menyusul setelah Gerty, membawa piring-piring besar tambahan, semuanya
dipenuhi dengan makanan. Pelayan ketiga muncul mengakhiri prosesi tersebut,
dengan berbantal-bantal roti berkulit keras di kedua tangannya dan terjepit di
bawah lengannya.
Apa yang
terjadi selanjutnya sangat menjijikkan, sehingga Madelyne terkejut sampai tidak
bisa bicara. Gerty mengempaskan piring-piring besar tersebut di tengah-tengah
meja, dan memberi isyarat kepada pelayan yang lain untuk melakukan hal yang
sama. Trencher-trencher terbang
bagaikan sejumlah cakram yang dilontarkan dalam sebuah medan perang, mendarat
dan berputar di sekitarnya, diikuti oleh teko-teko besar ale. Para prajurit itu, dipimpin oleh Edmond, langsung mulai
menyantap makanan.
Ini jelas
semacam sinyal bagi kawanan anjing yang sedang tidur, sebab mereka bangkit
berdiri dan berlomba-lomba untuk mengambil posisi di sepanjang kedua sisi meja.
Madelyne tidak mengerti alasan dari tingkah laku aneh ini sampai tulang yang
pertama melayang dari bahu salah satu prajurit. Tulang yang dibuang tersebut
langsung disambar oleh salah satu anjing yang lebih besar, seekor Lavrier yang ukurannya
nyaris dua kali lebih besar daripada anjing greyhound
yang berada di kedua sisinya. Geraman sengit terdengar setelahnya, sampai
sepotong tulang lagi dilemparkan dari atas bahu prajurit yang lain, lalu yang
lain lagi dan yang lain lagi, sampai semua anjing saling berebut makanan dengan
ganas, persis seperti para pria yang mengelilingi Madelyne.
Madelyne
menatap para prajurit tersebut. Ia tidak mampu menyembunyikan rasa jijiknya dan
bahkan tidak mencoba menyembunyikan kejijikannya. Akan tetapi, ia betul-betul
kehilangan selera makannya.
Tidak
sepatah pun kata sopan yang dilontarkan sepanjang makan malam tersebut; hanya
gerutuan tak sopan dari para pria yang menikmati makanan mereka ecara
menyeluruh yang dapat di dengar di atas salakan anjing-anjing di belakang
Madelyne.
Pada
awalnya, Madelyne mengira ini semua semacam tipuan untuk membuatnya mual, namun
ketika berlanjut terus dan terus, hingga semua pria sudah mengisi perut mereka
dan bersendawa puas, ia terpaksa mempertimbangkan ulang pendapatnya.
“Kau
tidak makan apa pun, Madelyne. Apa kau tidak lapar?” tanya Gilard dengan mulut
yang penuh dengan makanan. Ia akhirnya menyadari kalau Madelyne belum menyentuh
daging apa pun yang mendarat di antara mereka.
“Aku
kehilangan rasa laparku,” bisik Madelyne.
Madelyne
mengawasi Gilard meneguk ale
banyak-banyak, lalu menyapu mulutnya dengan lengan tuniknya. Madelyne
memejamkan matanya. “Beritahu aku, Gilard,” akhirnya ia berhasil bicara, “mengapa
prajurit tidak menunggu Duncan. Menurutku dia pasti menuntut hal itu.”
“Oh,
Duncan tidak pernah makan bersama kami,” jawab Gilard. Ia merobek sepotong roti
dari bantalan yang panjang dan menawari Madelyne. Gadis itu menggeleng.
“Duncan tidak
pernah makan bersama kalian?”
“Tidak
pernah semenjak ayah kami meninggal dan Mary jatuh sakit,” Gilard menjelaskan.
“Siapa
Mary?”
“Mendiang,”
Gilard mengoreksi Madelyne. “Dia sudah meninggal.” Ia bersendawa sebelum
melanjutkan. “Dulu dia adalah pengurus rumah tangga. Dia akhirnya meninggal
setelah bertahun-tahun melampaui waktunya untuk meninggal,” lanjutnya, dengan
agak tidak berperasaan menurut Madelyne. “Kukira dia akan hidup lebih lama
daripada kami semua, Adela tidak mau mendengarkan saran agar menggantikan
wanita itu, dan berkata bahwa itu akan menyakiti perasaannya. Di saat terakhir,
mata Mary kian memburuk dan pada sebagian waktu dia tidak mampu menemukan meja.”
Gilard
sekali lagi menyantap satu gigitan besar daging dan dengan santai menjentikkan
tulang tersebut ke atas bahunya. Madelyne terpaksa menghindari sampah tersebut.
Semburan amarah yang baru melanda dirinya.
“Bagaimanapun
juga,” lanjut Gilard, “Duncan adalah lord di manor ini. Dia memisahkan diri dari keluarga sebisa mungkin. Menurutku
dia juga lebih suka makan sendirian.”
“Aku
tidak meragukannya,” gerutu Madelyne.
Memikirkan
betapa dirinya benar-benar menantikan keluar dari kamarnya. “Apakah prajurit
Duncan selalu makan dengan antusiame seperti ini?” tanya Madelyne.
Gilard
terlihat bingung dengan pertanyaan gadis itu. Ia mengangkat bahu dan berkata, “Kalau
mereka bekerja seharian, tampaknya memang begitu.”
Saat
Madelyne berpikir ia tidak sanggup lagi menyaksikan para prajurit itu, siksaan
tersebut mendadak saja berakhir. Satu per satu prajurit itu berdiri,
bersendawa, dan pergi. Seandainya saja ini tidak begitu menjijikkan, ia mungkin
akan menganggap ritual tersebut lucu.
Anjing-anjing
juga mengundurkan diri, dengan malas berjalan kembali untuk membentuk piramida
baru di depan perapian. Madelyne memutuskan hewan-hewan tersebut memiliki
disiplin yang lebih baik dari pada majikan-majikan mereka. Tak seekor pun dari
anjing-anjing itu yang menyampaikan ucapan selamat tinggal mereka dengan cara
bersendawa.
“Kau
tidak makan apa pun,” ujar Gilard. “Apa kau tidak suka memakannya?” tanyanya.
Suaranya rendah. Madelyne mendoga pria itu memelankan suaranya seperti itu agar
Edmond tidak mendengar.
“Apa yang
tadi itu acara makan malam?” tanya Madelyne, tidak mampu menghilangkan amarah
dari suaranya.
“Memangnya
kau sebut apa lagi?” sela Edmond seraya merengut seukuran aula ini.
“Aku akan
menyebutnya melahap makanan.”
“Kalau
begitu, aku akan sangat senang untuk menjelaskannya,” sahut Madelyne. “Aku
melihat hewan-hewan bersikap dengan sopan santun yang lebih baik.” Ia
mengangguk, menekankan komentarnya. “Orang-orang yang terpelajar menyantap
makanan mereka, Edmond. Apa yang baru saja kusaksikan bukanlah acara makan
malam. Nay, itu tadi adalah acara
melahap makanan yang dilakukan oleh sekelompok hewan yang berpakaian seperti
manusia. Apakah itu cukup jelas bagimu?”
Wajah
Edmond telah berubah menjadi merah padam selama ceramah Madelyne. Pria itu
tampak seolah hendak melompati meja dan mencekik gadis itu. Madelyne terlalu
marah untuk peduli. Senang rasanya bisa melepaskan sebagian amarahnya.
“Aku
yakin kau sudah menyatakan pendapatmu dengan cukup jelas. Tidakkah kau setuju,
Edmond?”
Oh Tuhan,
Duncanlah yang berbicara, dan suaranya yang dalam datang tepat dari belakang
Madelyne. Gadis itu tidak berani berbalik, atau ia akan kehilangan keberanian
yang baru saja ia dapatkan.
Duncan
rasanya amat sangat dekat. Madelyne mencondongkan tubuhnya ke belakang sedikit
dan merasakan paha pria itu menyentuh tulang belikatnya. Madelyne sadar ia
tidak seharusnya menyentuh Duncan, mengingat kekuatan di paha berotot pria itu
dengan terlalu baik.
Madelyne
memutuskan untuk menjatuhkan pria itu dari platform kayu. Madelyne berdiri,
berbalik pada saat yang bersamaan, dan mendapati dirinya menempel di tubuh
Baron Wexton. Pria itu tidak mundur sesenti pun, dan Madelyne-lah yang kini
terpaksa pelan-pelan mengitari pria itu. Ia mengangkat roknya dan turun dari
panggung kayu, berbalik lagi, sepenuhnya bermaksud untuk memberitahu Duncan apa
persisnya pendapatnya tentang makan malam barbar pria itu. Kemudian ia membuat
kesalahan dengan mendongak memandang Duncan, menatap ke dalam mata kelabu pria
itu, dan merasakan keberaniannya melarikan diri meninggalkannya.
Sungguh
menyebalkan sekali, kekuatan mistis yang tampaknya pria itu miliki atas pikiran
Madelyne. Pria itu sedang menggunakannya sekarang, batin Madelyne, dan merampas
pikiran Madelyne. Semoga Tuhan menolongnya, ia bahkan tidak dapat mengingat apa
yang hendak ia katakan pada pria itu.
Tanpa
satu pun ucapan perpisahan, Madelyne berbalik dan perlahan-lahan berjalan
menjauh. Ia menganggap itu kemenangan yang lumayan, sebab ia sungguh-sungguh
lebih memilih lari.
Madelyne
sudah separuh jalan menuju pintu masuk aula sebelum perintah Duncan
menghentikannya. “Madelyne, aku tidak memberimu izin untuk pergi.” Setiap kata
diucapkan dengan lambat-lambat.
Punggungnya
mengejang. Madelyne berbalik, memberi pria itu senyuman tidak tulus, dan
menjawab dengan nada suara dilebih-lebihkan yang sama.
“Aku akan
memintanya.”
Madelyne
melihat ekspresi tercengang Duncan sebelum berbalik memunggungi paria itu lagi.
Madelyne mulai melangkah, menggerutu kepada dirinya sendiri bahwa dirinya lagi
pula hanyalah sebuah bidak, dan bidak tentunya tidak harus melaksanakan
perintah penawan mereka. Aye, perlakuan-perlakuan
yang diberikan kepadanya sangat tidak adil. Ia adalah seorang lady yang baik
dan terhormat.
Karena
sibuk menggerutu kepada dirinya sendiri, madelyne sama sekali tidak mendengar
Duncan bergerak. Pria itu bertingkah persis seperti seekor serigala, pikir
Madelyne dengan agak panik ketika merasakan tangan besar pria itu menempel di
bahunya.
Duncan
memberikan tekanan halus untuk menghentikan Madelyne, tapi tidak betul-betul
dibutuhkan. Segera setelah menyentuh Madelyne, ia merasakan kekakuan
meninggalkan bahu gadis itu.
Madelyne
terkulai ke tubuh Duncan. Duncan merasakan gadis itu gemetar. Ia kemudian sadar
kalau gadis itu tidak sedang memperhatikan sedikit pun. Nay, Madelyne sedang menatap
ke pintu masuk aula. Ia sedang menatap Adele.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar