Jumat, 29 Juni 2018

Honor's Splendour 8



“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
-PERJANJIAN BARU, I TESALONIKA, 5:21

Madelyne duduk di sisi tempat tidurnya, memaksakan kekuatan kembali ke kedua kakinya. Sebuah ketukan ragu terdengar di pintu hanya beberapa menit setelah Duncan pergi. Madelyne berseru dan seorang pelayan memasuki kamarnya. Wanita itu sekurus kertas perkamen yang berparas lesu, dengan bahu yang bungkuk dan garis kecemasan mengernyitkan dahinya yang lebar. Ketika pelayan itu mendekati tempat tidur, langkah-langkahnya menjadi berat.

Pelayan tersebut tampak siap melarikan diri, dan mendadak Madelyne paham bahwa wanita itu mungkin merasa takut. Wanita tersebut terus melontarkan tatapan mendamba ke arah pintu.


Madelyne tersenyum, mencoba meringankan ketidaknyamanan si pelayan, kendati ia bingung terhadap tingkah laku gugup pelayan tersebut.

Wanita tersebut memegang sesuatu di balik punggungnya. Perlahan-lahan ia memperlihatkan tas itu dan kemudian menyembur, “Saya membawakan tas Anda, My Lady.”

“Kau baik sekali,” jawab Madelyne.

Madelyne bisa melihat pujiannya membuat wanita itu senang. Kini pelayan itu tidak tampak secemas tadi, hanya agak bingung.

“Aku tidak tahu mengapa kau begitu takut kepadaku,” ujar Madelyne, memutuskan untuk menghadapi masalah tersebut secara langsung. “Aku tidak akan menyakitimu, aku bisa menjanjikan itu kepadamu. Apa yang sudah dikatakan oleh Wexton bersaudara kepadamu sehingga membuatmu begitu ketakutan?”

Keterusterangan Madelyne mengurangi ketegangan pada postur tubuh wanita itu. “Mereka tidak bilang apa-apa, Milady, tapi saya tidak tuli. Saya bisa mendengar teriakan yang berlangsung di atas sini sampai ke pantri, dan Anda-lah yang mengeluarkan sebagian besar teriakan itu.”

“Aku berteriak?” Madelyne merasa ngeri dengan gagasan semacam itu. Pasti wanita itu salah.

“Benar,” jawab si pelayan, mengangguk kuat-kuat. “Saya tahu Anda diserang demam dan tidak dapat menahan apa yang Anda lakukan pada saat itu. Gerty akan membawakan makanan untuk Anda sebentar lagi. Saya akan membantu Anda berganti pakaian, jika itu yang Anda inginkan.”

“Aku lapar,” cetus Madelyne. Ia meluruskan kedua kakinya, menguji kekuatannya. “Aku juga selemah bayi. Siapa namamu?”

“Nama saya Maude, seperti nama sang  ratu,” si pelayan mengumumkan. “Yang sudah meninggal, tentu saja, sebab Raja William kita belum beristri.”

Madelyne tersenyum. “Maude menurutmu bisakah aku mandi? Aku merasa lengket sekali.”

“Mandi, Milady?” Maude terlihat ngeri karena ide tersebut. “Di tengah-tengah musim dingin?”

“Aku terbiasa mandi sekali sehari, Maude, dan sepertinya sudah lama sekali sejak terakhir kali...?”

“Mandi sehari sekali? Untuk apa?”

“Aku hanya suka merasa bersih,” jawab Madelyne. Ia memandang lama si pelayan dan memutuskan bahwa akan bagus bagi wanita baik hati itu untuk mandi juga, walau ia tidak mengutarakan pendapatnya itu karena takut menyinggung wanita baik hati itu. “Apakah menurutmu tuanmu akan mengizinkan aku membersihkan diri?”

Maude mengangkat bahu. “Anda boleh mendapatkan apa pun yang Anda mau, selama Anda tetap tinggal di kamar ini. Sang baron tidak mau anda jatuh sakit karena mencoba secara berlebihan. Saya pikir saya bisa mendapatkan bak mandi di sekitar sini dan menyuruh suami saya mengangkut benda itu melewati tingga.”

“Kau punya keluarga, Maude?”

Aye, seorang suami yang baik dan anak laki-laki yang hampir berusia lima tahun sekarang. Bocah itu anak yang liar.”

Maude membantu Madelyne berdiri dan berjalan bersama gadis itu menuju kursi di dekat perapian. “Nama anak saya William,” lanjutnya. “Tapi saya menamainya seperti raja kita yang telah meninggal, bukan waja yang memerintah saat ini.”

Pintu terbuka selagi Maude bercerita. Seorang lagi pelayan bergegas masuk, membawa makanan. Maude berseru, “Gerty, kau tidak perlu merasa takut. Dia tidak gila seperti yang kita kira.”

Gerty tersenyum. Ia adalah seorang wanita bertubuh besar dengan kulit bersih dan mata coklat. “Saya juru masak di sini,” ia memberitahu Madelyne. “Saya dengar Anda cantik. Meskipun kurus, terlalu kurus. Makanlah semua makanan ini, kalau tidak, Anda akan langsung melayang karena tiupan angin yang kencang.”

“Dia mau mandi, Gerty,” Maude memberitahu.

Gerty menaikkan sebelah alisnya. “Mungkin Anda bisa melakukannya nanti. Tidak bisa menyalahkan kita kalau dia kedinginan.”

Kedua wanita tersebut melanjutkan obrolan mereka sembari membersihkan kamar Madelyne. Jelas mereka adalah teman baik dan Madelyne sepenuhnya menikmati mendengarkan gosip mereka.

Mereka juga menolong Madelyne mandi. Pada saat bak mandi telah disingkirkan, Madelyne kelelahan. Ia sudah mencuci rambutnya, namun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk kering. Madelyne duduk di atas kulit binatang lembut di depan perapian. Ia mengangkat untaian rambut panjangnya dekat-dekat ke api supaya lebih cepat kering, sampai lengannya mulai terasa sakit. Seraya menguap dengan keras dan tidak feminin, Madelyne meregangkan tubuh di atas kulit berbulu tersebut, berpikir untuk beristirahat selama satu atau dua menit saja. Ia hanya mengenakan baju dalamannya, namun ia tidak mau berpakaian sampai rambutnya sudah kering dan dikepang.

Duncan mendapati Madelyne sedang tidur dengan nyenyak. Gadis itu membuat gambaran yang menggoda, tidur menyamping di depan perapian. Kakinya yang keemasan ditarik ke dadanya, dan rambutnya yang indah menutupi sebagian besar wajahnya.

Mau tak mau Duncan tersenyum. Oh Tuhan, gadis itu mengingatkannya pada seekor anak kucing, bergelung dengan sangat nyaman. Aye, gadis itu memang menggoda, dan mungkin akan mati membeku kalau Duncan tidak melakukan sesuatu.

Madelyne bahkan tidak membuka matanya saat Duncan menggendongnya dan membawanya ke tempat tidur. Duncan tersenyum melihat cara gadis itu secara insting meringkuk ke dadanya. Gadis itu juga mendesah, seakan sangat puas, dan sial, ia beraroma seperti mawar lagi.

Duncan meletakkan gadis itu di tempat tidur dan menyelimutinya. Ia mencoba menjaga jarak, namun ia tampaknya tidak mampu menghentikan dirinya sendiri untuk menyapukan tangan ke pipi Madelyne yang lembut.

Madelyne terlihat sangat rentan ketika tidur. Pasti itulah alasannya Duncan tidak mau pergi. Dorongan untuk melindungi gadis itu sangat kuat. Madelyne begitu polos dan lugu. Dalam hatinya, Duncan tahu ia tidak akan pernah membiarkan Madelyne kembali kepada kakak gadis itu. Madelyne adalah seorang malaikat dan Duncan tidak akan pernah membiarkannya berada dekat-dekat dengan si iblis Louddon lagi.

Segala aturan telah menjadi jungkir balik bagi Duncan. Sembari mengerang frustasi, ia melangkah ke pintu. Sial, pikir Duncan, ia tidak lagi mengetahui pikirannya sendiri.

Ini adalah ulah Madelyne, meskipun gadis itu pasti tidak menyadari fakta tersebut. Madelyne membuatnya kebingungan, dan ketika ia beradadi dekat gadis itu, ia tidak mampu berpikir sama sekali.

Duncan memutuskan bahwa ia harus menempatkan jarak di antara dirinya dan Madelyne sampai ia sudah membereskan masalah-masalah yang mengganggunya. Akan tetapi, segera setelah ia memutuskan untuk menghindari Madelyne, suasana hatinya memburuk. Duncan menggumamkan umpatan, berbalik, dan perlahan-lahan menutup pintu di belakangnya.


Madelyne masih cukup lemah sehingga isolasi yang dipaksakan itu tidak menganggunya. Namun setelah dua hari lagi berlalu, dengan hanya Grety dan Maudw yang berkunjung secara berkala, ia merasakan efek penahanannya itu. Ia mondar-mandir di kamarnya hingga ia hafal setiap senti ruangan tersebut di luar kepala, lalu mulai membuat para pelayan kebingungan ketika ia bersikeras untuk melakukan apa yang mereka anggap sebagai pekerjaan biasa. Madelyne menyikat lantai dan dinding kamar. Latihan fisik tersebut tidak banyak membantu. Ia merasa terkungkung seperti seekor binatang. Dan ia menunggu Duncan, jam demi jam, untuk mendatanginya.

Madelyne terus berkata pada dirinya sendiri bahwa ia harus bersyukur karena Duncan nyaris melupakannya. Ya Tuhan, bukankah ia terbiasa dilupakan?

Ketika dua hari lagi berlalu, Madelyne nyaris melemparkan dirinya sendiri keluar jendela hanya untuk memberi variasi ke dalam rutinitasnya. Ia cukup merasa bosan untuk menjerit.

Ia berdiri di samping jendela dan menatap jauh ke matahari terbenam yang memudar, memikirkan Duncan.

Madelyne berpikir ia mungkin telah memanggil pria itu di dalam benaknya, sebab bahkan ketika ia berpikir tentang betapa inginnya ia bertemu Duncan, pria itu tiba-tiba muncul. Pintu terbuka, memantul di dinding batu yang mengumumkan kedatangan Duncan, dan di sanalah pria itu berdiri, terlihat garang dan kuat, dan sepenuhnya terlalu tampan untuk ketenangan pikiran Madelyne. Sebetulnya, Madelyne bisa menatap pria itu sepanjang malam.

“Edmond akan melepas jahitannya sekarang,” Duncan memberitahu gadis itu.

Duncan masuk ke dalam kamar dan berjalan untuk berdiri di depan perapian. Ia bersedekap, memberi Madelyne gagasan kalau pria itu bosan dengan tugas ini.

Madelyne terluka karena sikap dingin Duncan, namun bertekad pria itu tidak akan pernah mengetahuinya. Ia memperlihatkan apa yang ia harapkan sebagai ekspresi yang sangat tenang kepada pria itu.

Oh Tuhan, gadis itu adalah pemandangan yang pantas untuk dilihat. Madelyne mengenakan gaun berwarna krem dan tunik luar berwarna biru. Sabuk yang dianyam melingkari pinggangnya yang langsing, memberi aksen pada lekukan femininnya.

Rambut Madelyne tidak ditarik dari wajahnya namun tergerai hingga ke bagian bawah payudaranya. Sungguh rambut yang ikal dan tebal, rambut yang pantas dimiliki oleh ratu mana pun, dan berwarna hitam, pikir Duncan, meski terjalin dengan helai-helai berwarna merah juga. Ia ingat rasanya, begitu lembut bagaikan sutra.

Duncan merengut, jengkel dengan cara gadis itu mengganggunya. Ia juga tidak bisa berhenti menatap Madelyne, mengakui bahwa ia merindukan keberadaan gadis itu di sisinya. Sebuah pikiran bodoh, dan pikiran yang tidak akan pernah ia akui secara terbuka, namun tetap ada, menusukkan kesadaran baru padanya.

Mendadak saja Duncan sadar kalau Madelyne sedang mengenakan warnanya, dan ia tersenyum lebar. Ia ragu gadis itu menyadari fakta tersebut, dan seandainya saja gadis itu tidak terlihat begitu menggoda untuk dicium, ia mungkin akan menyebutkan hal itu hanya untuk melihat reaksi gadis itu.

Madelyne tidak mampu memandang Duncan lama-lama. Ia takut Duncan akan melihat betapa ia merindukan pria itu. Dan kemudian pria itu akan merasakan kepuasan besar, pikir Madelyne dalam hati.

“Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan kepadaku, duncan,” ujar Madelyne. Ia mengalihkan pandangannya ke lantai, tidak berani mendongak untuk melihat bagaimana pria itu menanggapi pertanyaannya, kalau tidak, ia akan kehilangan alur pikirannya sama sekali.

Aye, kemampuan Madelyne untuk berkonsentrasi selalu berada dalam bahaya setiap kali ia berada di sekitar Duncan. Ia tidak mengerti reaksinya terhadap pria itu, namun tetap menerimanya. Sang baron mampu membuatnya cemas tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pria itu mengganggu ketenangan pikirannya, serta membuatnya bingung. Ketika Duncan berada di dekatnya, ia ingin pria itu pergi. Namun ketika Duncan jauh darinya, Madelyne merindukan pria itu.

Madelyne memunggungi Duncan dan menatap keluar jendela lagi. “Apa kau bermaksud untuk mengurungku di ruangan ini selama sisa hidupku?”

Duncan tersenyum karena kecemasan yang ia dengar dalam suara gadis itu. “Madelyne, pintu ini tidak di palangi,” ucapnya.

“Apa kau sedang bergurau?” tanya Madelyne. Ia berbalik dan melontarkan tatapan yang sangat ragu kepada pria itu. “Apa kau bermaksud memberitahuku bahwa aku tidak dikurung di menara ini sepanjang minggu ini?” Oh Tuhan, ia merasa hendak berteriak. “Bahwa aku bisa saja melarikan diri?”

Nay, kau tidak akan bisa melarikan diri, tapi kau bisa daja meninggalkan ruangan ini,” jawab Duncan.

“Aku tidak percaya padamu,” cetus Madelyne. Ia bersedekap, meniru cara berdiri pria itu. “Kau pasti berbohong hanya untuk membuatku merasa bodoh. Kau punya keunggulan yang tidak adil, Duncan, sebab aku tidak pernah berbohong sekali pun. Karena itu,” ia menyimpulkan, “ini bukan pertandingan yang seimbang.”

Edmond muncul di pintu yang terbuka. Si tengah itu memasang wajah cemberutnya yang biasa. Tapi ia juga tampak waspada, dan menatap lama Madelyne sebelum ia melangkah masuk.

“Kau harus memeganginya kali ini,” kata Edmond kepada Duncan.

Madelyne melontarkan lirikan cemas kepada Duncan dan melihat pria itu tersenyum. “Madelyne tidak sedang demam, Edmond, dan sejinak anak kucing,” ujar Duncan. Kemudian ia menoleh kepada Madelyne dan menyuruh gadis itu pergi ke tempat tidur sepaya Edmond bisa melepaskan perbannya.

Madelyne mengangguk. Ia tahu apa yang perlu dilakukan, namun rasa malu mengalahkan akal sehat. “silahkan kalian berdua pergi, aku ingin mendapatkan privasi sebentar untuk bersiap-siap.”

“Menyiapkan apa?” tanya Duncan.

“Aku seorang Lady terhormat,” gagap Madelyne. “Aku tidak akan membiarkan satu pun dari kalian melihat apa pun kecuali lukaku. Itulah yang akan kupersiapkan.”

Gadis itu cukup merona untuk membuat Duncan sadar bahwa ia bersungguh-sungguh dengan setaip kata. Edmond mulai batuk-batuk tapi helaan napas Duncan lebih keras. “Ini bukan waktunya untuk bersikap sopan, Madelyne. Lagi pula, aku sudah pernah melihat... kakimu.”

Madelyne meluruskan pundaknya, memelototi pria itu, kemudian bergegas ke tempat tidur. Ia menyambar salah satu kulit binatang yang terjatuh ke lantai, dan saat ia sudah duduk di atas tempat tidur, ia menyampirkan kulit binatang tersebut di atas tubuhnya lalu menaikkan gaunnya hingga ke bagian atas pahanya.

Mendorong pelan-pelan perban yang terlihat ke samping. Madelyne mulai melepaskan ikatan perban itu perlahan-lahan.

Edmond berlutut di samping Madelyne ketika perban tersebut dilepaskan. Kemudian, Madelyne melihat bayangan gelap di bawah mata kirinya. Ia bertanya dalam hati bagaimana pria itu mendapatkan memas tersebut, lalu langsung menyimpulkan bahwa salah satu saudaranyalah yang kemungkinan bertanggung jawab. Sungguh orang-orang yang mengerikan, ujar Madelyne pada dirinya sendiri, bahkan ketika ia memperhatikan, Edmond bersikap sangat lembut ketika melepaskan benang yang lengket dari kulitnya.

“Wah, rasanya tidak lebih sakit daripada cubitan, Edmond,” ujar Madelyne lega.

Duncan menghampiri dan berdiri di samping ranjang. Ia terlihat siap untuk menerjang kalau Madelyne bergerak.

Rasanya sungguh janggal, ada dua orang pria yang sedang menatap pahanya. Madelyne seketika merasa malu lagi. Bermaksud untuk mengalihkan perhatian Duncan, ia mengatakan hal pertama yang muncul di pikirannya. “Mengapa ada gerendel di kedua pintu?”

“Apa?” Duncan benar-benar terlihat bingung.

“Selot kayu yang digeserkan ke dalam lubang untuk mengunci pintu,” Madelyne buru-buru berkata. “Kau membuat gerendel di kedua pintu. Mengapa begitu, menurutmu?” tanyanya, berpura-pura sangat tertarik dengan topik konyol itu.

Bagaimanapun, strategi Madelyne berhasil, Duncan berpaling, menatap pintu, lalu memandang Madelyne lagi. Pria itu sekarang memandang wajah Madelyne, mengabaikan, untuk sementara, paha gadis itu yang terkspos.

Well,” tantang Madelyne, “Apa kau sangat bingung katika membuat pintu itu sehingga kau tidak bisa memutuskan di sisi manakah harus meletakkan palangnya?”

“Madelyne, alasannya sama dengan tangga yang dibangun di sisi kiri,” jawab Duncan. Ada sebuah percikan yang tampak jelas di mata pria itu. Madelyne senang dengan perubahan yang dibuat oleh percikan tersebut terhadap penampilan pria itul. Duncan hampir tidak semencemaskan biasanya ketika ia tersenyum.

“Adan apa alasannya?” tanya Madelyne, tersenyum walaupun ia tidak menginginkannya.

“Karena aku lebih suka seperti itu.”

“Itu alasan yang menyedihkan, sungguh,” cetus Madelyne.

Madelyne tetap tersenyum sampai ia sadar kalau ia menggenggam tangan pria itu. Madelyne capat-cepat menarik lepas tangannya dan berpaling untuk menatap Edmond.

Si tengah itu sedang menatap Duncan. Kemudian ia berdiri dan berkata, “Lukanya sudah sembuh.”

Madelyne menunduk menatap gadis bergerigi  jelek yang menandai pahanya. Ia meringis melihat bekas luka mengerikan tersebut. Namun ia cepat-cepat mengendalikan diri, malu dengan reaksi dangkalnya itu. Ia bukanlah seorang wanita yang angkuh. “Terima kasih, Edmond,” katanya sembali menarik selimut ke atas kakinya.

Duncan belum melihat hasil kerja Edmond. Ia mencondongkan tubuh ke depan untuk men jauhkan kulit binatang tersebut. Madelyne menjauhkan tangan pria itu lalu menekan ujung selimut itu ke tempat tidur. “Dia bilang lukaku sudah sembuh, duncan.”

Pria itu jelas-jelas ingin melihatnya sendiri. Madelyne memekik terkejut saat Duncan merenggut selimut itu. Ia mencoba menurunkan gaunnya, namun duncan mencengkram kedua tangannya dan pelan-pelan, dengan sengaja, menaikkan tunik dalaman gadis itu sampai seluruh pahanya terekspos.

“Tidak ada infeksi apa pun,” ujar Edmond kepada Duncan, menonton adegan itu dari sisi lain tempat tidur.

Aye, lukanya sudah sembuh,” cetus Duncan sambil mengangguk.

Saat Duncan melepaskan tangan Madelyne, gadis itu merapikan gaunnya dan bertanya, “Kau tidak memercayai adikmu sendiri?” Madelyne terdengar terkejut.

Duncan dan Edmond bertukar pandang yang tidak dapat Madelyne artikan. “Tentu saja kau tidak memercayainya,” gerutu Madelyne. “Jangan-jangan kau juga yang membuat mata adikmu memar,” tambahnya, membiarkan rasa jijik terlihat. Inilah yang akan kuharapkan dari Wexton bersaudara.”

Duncan memperlihatkan kejengkelannya dengan cara berbalik dan berjalan menuju pintu. Helaan napasnya yang keras menyusulnya. Edmond berdiri di sana, merengut kepada Madelyne selama semenit lagi atau lebih, dan kemudian menyusul kakaknya.

Madelyne mengulangi ucapan terima kasihnya. “Aku tahu kau diperintahkan untuk merawat lukaku, Edmond, tapi aku tetap berterima kasih padamu.”

Madelyne yakin pria masam itu akan mencerca pujiannya, dan menyiapkan dirinya untuk menghadapi hinaan pria itu. Tak peduli ucapan keji apa pun yang pria itu ucapkan padanya, ia akan dengan rendah hati menerimanya.

Edmond tidak repot-repot mengatakan apa pun. Madelyne kecewa. Bagaimana ia bisa menunjukkan kepada para Wexton kalau ia adalah seorang gadis yang lembut kalau mereka tidak memberinya kesempatan?

“Makan malam akan siap dalam waktu satu jam, Madelyne. Kau boleh bergabung bersama kami di aula saat Gilard datang menjemputmu.”

Duncan berjalan keluar melewati pintu setelah menggumamkan itu. Akan tetapi Edmond berhenti sejenak, dan kemudian pelan-pelan berbalik untuk menatap Madelyne lagi. Ia tampaknya sedang mempertimbangkan suatu keputusan.

“Siapa Polyphemus?”

Mata Madelyne melebar. Sungguh pertanyaan yang aneh. “Oh, dia adalah seorang raksasa, pemimpin para Cyclops dalam kisah kuno Homer,” jawabnya, “Polyphemus adalah seorang raksasa buruk rupa yang sangat mengerikan dengan sebuah mata besar tepat di tengah-tengah dahinya. Dia memakan prajurit Odysseus untuk makan malamnya,” tambahnya sambil mengangkat bahu dengan cantik.

Edmond tidak menyukai jawaban gadis itu. “Demi Tuhan,” gerutunya.

“Kau tidak seharusnya sembarangan menyebutkan nama Tuhan,” seru Madelyne. “Dan mengapa kau menanyakan tentang siapa Polyphemus itu?”

Madelyne menyangka, melalui suara langkah-langkah kaki yang memudar, bahwa Edmond tidak akan menjawabnya.

Akan tetapi, bahkan sikap tidak sopan dari si tengah itu tidak mengurangi kegembiraan Madelyne. Ia bangkit dari tempat tidur dan tertawa. Ya Tuhan, ia akhirnya akan keluar dari kamar ini. Ia tidak percaya sedetik pun bahwa pintu kamarnya tidak pernah dikunci sepanjang minggu ini. Duncan memberitahukan itu padanya hanya untuk membuatnya kesal. Ya, pria itu pasti akan membuatku percaya bahwa aku berotak udang kalau aku membiarkannya.

Madelyne merogoh-rogoh tasnya. Ia berharap ia memiliki gaun yang cantik untuk dikenakan dan kemudian tersadar betapa bodohnya harapan tersebut. Ia adalah tawanan mereka, demi Tuhan, bukan tamu undangan mereka.

Ia menghabiskan waktu lima menit untuk bersiap-siap. Ia mondar-mandir di kamar beberapa lama dan kemudian berjalan  ke arah pintu untuk melihat seberapa kuatnya pintu tersebut dipalangi. Pada tarikan pertama, pintu itu terbuka lebar, nyaris membuat Madelyne terjenkang.

Pasti Duncan meninggalkan pintu dalam keadaan terbuka hanya untuk menipunya. Madelyne ingin memercayai itu –sampai ia teringat kalau pria itu pergi sebelum Edmond.

Suara-suara naik melewati tangga yang terbuka, menarik Madelyne ke landasan tangga. Ia mencondongkan tubuh di pegangan tangga, berusaha keras mendengarkan percakapan itu, namun jaraknya ternyata terlalu jauh untuk dapat menangpat kata yang jelas. Akhirnya Madelyne menyerah dan berbalik untuk kembali ke kamarnya. Ia melihat selot kayu panjang yang disandarkan di dinding batu dan secara impulsif mengambil benda tersebut dan menyeretnya ke dalam kamar tidurnya. Ia menyembunyikan selot tersebut di bawah tempat tidurnya, dan tersenyum pada diri sendiri kamar ini, Duncan, alih-alih membiarkanmu mengunciku di dalam sini.”

Seolah-olah dirinya dapat membiarkan apa pun terjadi saja, pikir Madelyne. Oh Tuhan, ia sudah terkurung di kamar ini untuk waktu yang terlalu lama dan pasti itulah alasan menyedihkan yang ia dapati begitu menghibur di dalam pikirannya.

Gilard betul-betul membetulkan waktu yang sangat lama untuk menjemputnya. Madelyne sudah langsung menyimpulkan bahwa Duncan telah membohonginya. Pria itu hanyalah bersikap kejam.

Ketika Madelyne mendengar suara langkah-langkah kaki, ia tersenyum lega dan berlari ke samping jendela. Seraya meluruskan gaunnya dan merapikan rambutnya, ia memaksakan ekspresi tenang.

Gilard tidak sedang mengernyit. Itu kejutan. Ia tampak rapi malam ini, mengenakan pakaian berwarna hutan di musim semi. Warna hijau yang hangat itu membuatnya terlihat tampan.

Ada kelembutan dalam suara Gilard ketika pria itu berbicara. “Lady Madelyne, aku ingin berbicara denganmu sebelum kita turun,” ia mengumumkan sebagai pengganti ucapan salam.

Gilard memberi Madelyne lirikan cemas, mengaitkan kedua tangannya di balik punggung, dan melangkah langsung ke hadapan gadis itu.

“Adela mungkin akan bergabung dengan keluarga. Dia tahu kau di sini dan dia...”

“Tidak senang?”

Aye, meskipun lebih dari tidak senang. Dia belum mengatakan apa pun, tapi sorot matanya membuatku resah.”

“Mengapa kau memberitahukan ini padaku?” tanya Madelyne.

“Oh, aku memberitahumu karena aku berutang penjelasan kepadamu supaya kau dapat mempersiapkan dirimu.”

“Mengapa kau peduli? Kau jelas telah mengubah pendapatmu tentang diriku. Apakah perubahan ini karena aku telah menolongmu dalam pertempuran melawan kakakku?”

Well, tentu saja,” Gilard tergagap.

“Itu adalah alasan yang menyedihkan,” kata Madelyne pada Gilard.

“kau menyesal sudah menyelamatkan nyawaku?” tanya Gilard.

“Kau salah paham, Gilard. Aku menyesal karena terpaksa merenggut nyawa orang lain untuk menolongmu,” jelas Madelyne. “Tapi aku tidak menyesal karena dapat menolongmu.”

“Lady Madelyne, kau bersikap tidak konsisten,” kata Gilard pada gadis itu. Ia mengernyitkan dahi dan tampak bingung.

Gilard tidak mungkin dapat mengerti. Pria itu benar-benar seperti kakaknya. Aye, seperti Duncan, Gilard terbiasa membunuh, duga Madelyne, dan pria itu tidak akan pernah memahami penyesalan yang Madelyne rasakan karena tidakannya. Ya Tuhan, pria itu barangkali menganggap bantuan madelyne sebagai aksi heroik. “Kurasa aku lebih suka kalau kau telah menemukan sesuatu yang baik dalam diriku dan itulah alasan kau mengubah pendapatmu.”

“Aku tidak memahami dirimu,” ujar Gilard mengangkat bahu.

“Aku tahu.” Kata-kata tersebut diucapkan dengan begitu sedih sehingga Gilard merasa ingin menghibur Madelyne.

“Kau wanita yang tidak biasa.”

“Aku berusaha untuk tidak menjadi seperti itu. Tapi itu sulit, kalau kau mempertimbangkan masa laluku.”

“Aku memujimu saat mengatakan menurutku kau tidak biasa,” timpal Gilard, tersenyum mendengar kekhawatiran yang ia tangkap dalam suara gadis itu. Apakah gadis itu mengira tidak biasa berarti semacam kekurangan , tanya Gilard dalam hati.

Gilard menggeleng lalu berbalik dan memimpin jalan menuruni tangga, menjelaskan sambil melangkah bahwa jika Madelyne tergelincir, gadis itu harus mencengkram bahunya untuk berpegangan. Anak tangganya basah, dan licin di beberapa tempat.

Gilard meneruskan monolognya yang datar, namun Madelyne terlalu gugup untuk mendengarkannya. Kecemasan akan kemungkinan bertemu dengan Adela menumpuk di dalam benaknya.

Ketika mereka mencapai pintu masuk ke aula, Gilard pindah ke samping Madelyne. Gilard menawarkan lengannya. Madelyne menolak isyarat baik tersebut, cemas kalau-kalau perubahan sikap pria itu tidak akan disukai oleh saudara-saudaranya.

Sembari menggeleng kecil Madelyne melipat tangan di depan tubuhnya dan mengalihkan perhatiannya ke aula. Oh Tuhan, proporsi ruangan tersebut sangat besar, dengan perapian batu yang mengambil bagian cukup besar di dinding yang menghadap ke arahnya. Di sebelah kanan perapian tersebut, namun berjarak agak jauh, terdapat sebuah meja yang sangat besar, cukup panjang untuk menampung setidaknya dua puluh orang. Meja tersebut di tempatkan di atas sebuah platform kayu. Bangku-bangku yang dipenuhi guratan berbaris di sepanjang kedua sisi meja tersebut, beberapa dalam keadaan tegak, lebih banyak lagi dalam keadaan terbalik.

Aroma yang agak aneh mencapai Madelyne, dan ia mengerutkan hidungnya sebagai respons. Lalu ia mengamati sekelilingnya baik-baik dan langsung melihat penyebabnya. Tikar-tikar anyaman yang mengotori lantai warnanya menjadi belang-belang karena usia. Bahkan, tikar-tikar tersebut berbau busuk karena sudah kering. Api berkober di perapian, memanaskan bau busuk tersebut, dan kalu itu belum cukup untuk membuat perut bergolak, selusin anjing atau lebih menambahkan aroma tidak mandi mereka sementara tidur berdempetan dalam tumpukan puas di tengah-tengah ruangan tersebut.

Madelyne terkejut dengan kekacauan itu, namun ia bertekad untuk menyimpan pikirannya untuk dirinya sendiri. Jika keluarga Wexton ingin hidup seperti binatang, maka biarlah. Ia tentu saja tidak peduli.

Ketika Gilard menyenggolnya, Madelyne mulai melangkah menuju platform kayu. Edmond sudah duduk di meja, punggungnya menghadap dinding di belakangnya. Si tengah itu sedang mengamati Madelyne. Pria itu terlihat seakan-akan sedang melamun tentang sesuatu. Ia mencoba memandang lurus-lurus pada Madelyne. Ia mengasumsikan bahwa kursi kosong tersebut milik Duncan, sebab pria itu merupakan kepala klan Wexton.

Madelyne hendak bertanya kepada Gilard kapan Duncan akan bergabung dengan mereka, saat suara Edmond berkumandang. “Gerty!”

Seruan tersebut menghanyutkan pertanyaan Madelyne. Teriakan itu langsung dijawab dengan sahutan keras, datang dari pantri di sebelah kanan. “Kami mendengarmu.”

Kemudian Gerty muncul, menyeimbangkan setumpuk trencher kosong di satu lengan dan sepiring besar daging di lengan lain. Dua orang gadis pelayan menyusul setelah Gerty, membawa piring-piring besar tambahan, semuanya dipenuhi dengan makanan. Pelayan ketiga muncul mengakhiri prosesi tersebut, dengan berbantal-bantal roti berkulit keras di kedua tangannya dan terjepit di bawah lengannya.

Apa yang terjadi selanjutnya sangat menjijikkan, sehingga Madelyne terkejut sampai tidak bisa bicara. Gerty mengempaskan piring-piring besar tersebut di tengah-tengah meja, dan memberi isyarat kepada pelayan yang lain untuk melakukan hal yang sama. Trencher-trencher terbang bagaikan sejumlah cakram yang dilontarkan dalam sebuah medan perang, mendarat dan berputar di sekitarnya, diikuti oleh teko-teko besar ale. Para prajurit itu, dipimpin oleh Edmond, langsung mulai menyantap makanan.

Ini jelas semacam sinyal bagi kawanan anjing yang sedang tidur, sebab mereka bangkit berdiri dan berlomba-lomba untuk mengambil posisi di sepanjang kedua sisi meja. Madelyne tidak mengerti alasan dari tingkah laku aneh ini sampai tulang yang pertama melayang dari bahu salah satu prajurit. Tulang yang dibuang tersebut langsung disambar oleh salah satu anjing yang lebih besar, seekor Lavrier yang ukurannya nyaris dua kali lebih besar daripada anjing greyhound yang berada di kedua sisinya. Geraman sengit terdengar setelahnya, sampai sepotong tulang lagi dilemparkan dari atas bahu prajurit yang lain, lalu yang lain lagi dan yang lain lagi, sampai semua anjing saling berebut makanan dengan ganas, persis seperti para pria yang mengelilingi Madelyne.

Madelyne menatap para prajurit tersebut. Ia tidak mampu menyembunyikan rasa jijiknya dan bahkan tidak mencoba menyembunyikan kejijikannya. Akan tetapi, ia betul-betul kehilangan selera makannya.

Tidak sepatah pun kata sopan yang dilontarkan sepanjang makan malam tersebut; hanya gerutuan tak sopan dari para pria yang menikmati makanan mereka ecara menyeluruh yang dapat di dengar di atas salakan anjing-anjing di belakang Madelyne.

Pada awalnya, Madelyne mengira ini semua semacam tipuan untuk membuatnya mual, namun ketika berlanjut terus dan terus, hingga semua pria sudah mengisi perut mereka dan bersendawa puas, ia terpaksa mempertimbangkan ulang pendapatnya.

“Kau tidak makan apa pun, Madelyne. Apa kau tidak lapar?” tanya Gilard dengan mulut yang penuh dengan makanan. Ia akhirnya menyadari kalau Madelyne belum menyentuh daging apa pun yang mendarat di antara mereka.

“Aku kehilangan rasa laparku,” bisik Madelyne.

Madelyne mengawasi Gilard meneguk ale banyak-banyak, lalu menyapu mulutnya dengan lengan tuniknya. Madelyne memejamkan matanya. “Beritahu aku, Gilard,” akhirnya ia berhasil bicara, “mengapa prajurit tidak menunggu Duncan. Menurutku dia pasti menuntut hal itu.”

“Oh, Duncan tidak pernah makan bersama kami,” jawab Gilard. Ia merobek sepotong roti dari bantalan yang panjang dan menawari Madelyne. Gadis itu menggeleng.

“Duncan tidak pernah makan bersama kalian?”

“Tidak pernah semenjak ayah kami meninggal dan Mary jatuh sakit,” Gilard menjelaskan.

“Siapa Mary?”

“Mendiang,” Gilard mengoreksi Madelyne. “Dia sudah meninggal.” Ia bersendawa sebelum melanjutkan. “Dulu dia adalah pengurus rumah tangga. Dia akhirnya meninggal setelah bertahun-tahun melampaui waktunya untuk meninggal,” lanjutnya, dengan agak tidak berperasaan menurut Madelyne. “Kukira dia akan hidup lebih lama daripada kami semua, Adela tidak mau mendengarkan saran agar menggantikan wanita itu, dan berkata bahwa itu akan menyakiti perasaannya. Di saat terakhir, mata Mary kian memburuk dan pada sebagian waktu dia tidak mampu menemukan meja.”

Gilard sekali lagi menyantap satu gigitan besar daging dan dengan santai menjentikkan tulang tersebut ke atas bahunya. Madelyne terpaksa menghindari sampah tersebut. Semburan amarah yang baru melanda dirinya.

“Bagaimanapun juga,” lanjut Gilard, “Duncan adalah lord di manor ini. Dia memisahkan diri dari keluarga sebisa mungkin. Menurutku dia juga lebih suka makan sendirian.”

“Aku tidak meragukannya,” gerutu Madelyne.

Memikirkan betapa dirinya benar-benar menantikan keluar dari kamarnya. “Apakah prajurit Duncan selalu makan dengan antusiame seperti ini?” tanya Madelyne.

Gilard terlihat bingung dengan pertanyaan gadis itu. Ia mengangkat bahu dan berkata, “Kalau mereka bekerja seharian, tampaknya memang begitu.”

Saat Madelyne berpikir ia tidak sanggup lagi menyaksikan para prajurit itu, siksaan tersebut mendadak saja berakhir. Satu per satu prajurit itu berdiri, bersendawa, dan pergi. Seandainya saja ini tidak begitu menjijikkan, ia mungkin akan menganggap ritual tersebut lucu.

Anjing-anjing juga mengundurkan diri, dengan malas berjalan kembali untuk membentuk piramida baru di depan perapian. Madelyne memutuskan hewan-hewan tersebut memiliki disiplin yang lebih baik dari pada majikan-majikan mereka. Tak seekor pun dari anjing-anjing itu yang menyampaikan ucapan selamat tinggal mereka dengan cara bersendawa.

“Kau tidak makan apa pun,” ujar Gilard. “Apa kau tidak suka memakannya?” tanyanya. Suaranya rendah. Madelyne mendoga pria itu memelankan suaranya seperti itu agar Edmond tidak mendengar.

“Apa yang tadi itu acara makan malam?” tanya Madelyne, tidak mampu menghilangkan amarah dari suaranya.

“Memangnya kau sebut apa lagi?” sela Edmond seraya merengut seukuran aula ini.

“Aku akan menyebutnya melahap makanan.”

“Kalau begitu, aku akan sangat senang untuk menjelaskannya,” sahut Madelyne. “Aku melihat hewan-hewan bersikap dengan sopan santun yang lebih baik.” Ia mengangguk, menekankan komentarnya. “Orang-orang yang terpelajar menyantap makanan mereka, Edmond. Apa yang baru saja kusaksikan bukanlah acara makan malam. Nay, itu tadi adalah acara melahap makanan yang dilakukan oleh sekelompok hewan yang berpakaian seperti manusia. Apakah itu cukup jelas bagimu?”

Wajah Edmond telah berubah menjadi merah padam selama ceramah Madelyne. Pria itu tampak seolah hendak melompati meja dan mencekik gadis itu. Madelyne terlalu marah untuk peduli. Senang rasanya bisa melepaskan sebagian amarahnya.

“Aku yakin kau sudah menyatakan pendapatmu dengan cukup jelas. Tidakkah kau setuju, Edmond?”

Oh Tuhan, Duncanlah yang berbicara, dan suaranya yang dalam datang tepat dari belakang Madelyne. Gadis itu tidak berani berbalik, atau ia akan kehilangan keberanian yang baru saja ia dapatkan.

Duncan rasanya amat sangat dekat. Madelyne mencondongkan tubuhnya ke belakang sedikit dan merasakan paha pria itu menyentuh tulang belikatnya. Madelyne sadar ia tidak seharusnya menyentuh Duncan, mengingat kekuatan di paha berotot pria itu dengan terlalu baik.

Madelyne memutuskan untuk menjatuhkan pria itu dari platform kayu. Madelyne berdiri, berbalik pada saat yang bersamaan, dan mendapati dirinya menempel di tubuh Baron Wexton. Pria itu tidak mundur sesenti pun, dan Madelyne-lah yang kini terpaksa pelan-pelan mengitari pria itu. Ia mengangkat roknya dan turun dari panggung kayu, berbalik lagi, sepenuhnya bermaksud untuk memberitahu Duncan apa persisnya pendapatnya tentang makan malam barbar pria itu. Kemudian ia membuat kesalahan dengan mendongak memandang Duncan, menatap ke dalam mata kelabu pria itu, dan merasakan keberaniannya melarikan diri meninggalkannya.

Sungguh menyebalkan sekali, kekuatan mistis yang tampaknya pria itu miliki atas pikiran Madelyne. Pria itu sedang menggunakannya sekarang, batin Madelyne, dan merampas pikiran Madelyne. Semoga Tuhan menolongnya, ia bahkan tidak dapat mengingat apa yang hendak ia katakan pada pria itu.

Tanpa satu pun ucapan perpisahan, Madelyne berbalik dan perlahan-lahan berjalan menjauh. Ia menganggap itu kemenangan yang lumayan, sebab ia sungguh-sungguh lebih memilih lari.

Madelyne sudah separuh jalan menuju pintu masuk aula sebelum perintah Duncan menghentikannya. “Madelyne, aku tidak memberimu izin untuk pergi.” Setiap kata diucapkan dengan lambat-lambat.

Punggungnya mengejang. Madelyne berbalik, memberi pria itu senyuman tidak tulus, dan menjawab dengan nada suara dilebih-lebihkan yang sama.

“Aku akan memintanya.”

Madelyne melihat ekspresi tercengang Duncan sebelum berbalik memunggungi paria itu lagi. Madelyne mulai melangkah, menggerutu kepada dirinya sendiri bahwa dirinya lagi pula hanyalah sebuah bidak, dan bidak tentunya tidak harus melaksanakan perintah penawan mereka. Aye, perlakuan-perlakuan yang diberikan kepadanya sangat tidak adil. Ia adalah seorang lady yang baik dan terhormat.

Karena sibuk menggerutu kepada dirinya sendiri, madelyne sama sekali tidak mendengar Duncan bergerak. Pria itu bertingkah persis seperti seekor serigala, pikir Madelyne dengan agak panik ketika merasakan tangan besar pria itu menempel di bahunya.

Duncan memberikan tekanan halus untuk menghentikan Madelyne, tapi tidak betul-betul dibutuhkan. Segera setelah menyentuh Madelyne, ia merasakan kekakuan meninggalkan bahu gadis itu.

Madelyne terkulai ke tubuh Duncan. Duncan merasakan gadis itu gemetar. Ia kemudian sadar kalau gadis itu tidak sedang memperhatikan sedikit pun.  Nay, Madelyne sedang menatap ke pintu masuk aula. Ia sedang menatap Adele.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar