Home

Senin, 15 Januari 2018

Glorious Angel 5



Matahari telah terbenam saat Angela tiba di kota. Ia telah berjalan sepanjang sore, tetap dekat dengan sungai agar tidak bertemu dengan siapa pun. Ia menyukai sungai. Sungai itu telah membawanya dan ayahnya sampai ke Montgomery tahun lalu di bulan Februari untuk menyaksikan Jefferson Davis diambil sumpahnya sebagai presiden pertama Konfederasi. Angela belum pernah sejauh itu dari rumah. Saat itu sangat menyenangkan, namun menjadi awal ketidakbahagiaan ayahnya selanjutnya.

William Sherington orang Selatan sejati. Lahir dan dibesarkan di Selatan, dan ia sangat ingin bisa berjuang untuk tanah kelahirannya. Namun ia terlalu tua, juga seorang pemabuk. Militer tidak menginginkannya.

William mulai munum lebih banyak lagi setelah penolakkan tersebut, dan benar-benar mengutuk orang-orang Yankee dengan rasa benci. Ia tak pernah berseteru dengan orang Utara sebelumnya, namun sekarang membenci mereka dengan perasaan mendalam. Angela merasa bahwa ia juga harus membenci mereka, walau ia tak tahu pasti mengapa. Ia tak mengerti bagaimana orang yang dulunya adalah teman, sekarang bisa saling membunuh. Hal itu sama sekali tidak masuk akal.

Angela benci perang. Ia tak peduli bagaimana perang tersebut bisa terjadi dan apakah masih berlangsung. Ia hanya tahu bahwa karena perang, ia tak lagi mencintai Bradford Maitland. Sekarang ia membenci Bradford. Apalagi yang bisa dilakukannya selain membenci pria itu? Hannah secara tidak sengaja menceritakan sebuah rahasia -bahwa Bradford tidak berada di Eropa seperti yang dikira semua orang, melainkan bertempur untuk membela Union! Betapa gelisahnya Hannah sampai Angela berjanji untuk tetap menjaga rahasia tersebut. Bradford tidak akan merasakan dampak buruknya karena tidak berada di sini. Jacob-lah yang akan menanggung akibatnya, dan ia tak bisa melakukannya. Namun Angela membenci Bradford sekarang. Dan ia lebih benci pada kenyataan bahwa ia harus membenci Bradford Maitland.

Saat Angela memasuki kota, ia sadar bahwa ayahnya sekarang mungkin sudah sampai di rumah. Tapi, mungkin saja tidak. Dan setelah apa yang terjadi hari ini, ia tak ingin sendirian di rumah pada malam hari. Ia tidak keberatan menyusuri sungai malam-malam selama ia memegang senapannya.

Langit sudah berwarna jingga gelap sekarang, dan lampu jalan di kota sudah dinyalakan. Angela tahu di mana ia harus mencari ayahnya. Ada sebuah bar dan kedai minum yang kerap dikunjungi ayahnya jika pergi ke kota.

Angela menuju gerbang depan. Ia mengenakan gaun terbarunya, gaun katun berwarna kuning muda. Hannah mengatakan padanya bahwa seorang gadis tidak boleh tampil di depan umum dengan mengenakan celana ketat selutut. Gaun itu sudah kekecilan -mengetat dibagian dadanya dan terlalu pendek- namun ia tak peduli.

Angela mulai menyusuri jalanan sambil mencari-cari kereta ayahnya dan si tua Sarah. Ia bersembunyi di lorong yang gelap, berusaha menghindari para pemabuk dan gelandangan. Satu jam sudah berlalu, dan tak lama, satu jam lagi.

Ia sudah kelelahan saat sampai di sebuah bagian tak terurus dari dermaga, harapannya yang terakhir. Ada sebuah kedai minum di daerah ini dan ia tahu bahwa ayahnya pernah ke sini sebelumnya. Di ujung jalan, ia melihat kereta yang mirip milik ayahnya, namun ia tak yakin. ia mulai lari menuju kereta tersebut, harapan baru muncul. Namun Angela terhenti tiba-tiba saat sebuah tangan yang kuat menjangkau lengannya.

Senapannya lepas dari tangannya dan ia mulai berteriak. Ia menutup rapat mulutnya saat ia melihat Bobo Doleron. Ia sudah lama tidak melihat Bobo sejak musim dingin yang lalu. Bobo sudah semakin besar. Tinggi anak itu sekarang menjulang di atas tubuh Angela yang mungil. Ada janggut di dagu Bobo yang persegi, dan matanya yang abu-abu di bawah alisnya yang tipis melihat ke arah Angela sambil tertawa.

"Mau ke mana kau terburu-buru, Angie? Apa kau akan menembak seseorang dengan senapanmu ini?"

Bobo tidak sendirian, dan Angela mengerang saat tubuh yang lebih besar itu membungkuk dan merampas senapannya.

"Senapan ini belum ditembakkan, Bobo," anak laki-laki itu berkata. "Tapi yang pasti senapan ini sangat cantik." Ia memandang ke atas lalu menyeringai saat matanya meneliti Angela. "Gadis ini juga sama."

"Ya, kurasa begitu," Bobo berkata sambil menggumam. "Gadis ini Angela Sherrington." Sambil menyebutkan nama Angela, jari-jari Bobo mencengkram lengan Angela, membuatnya meringis kesakitan. "Angela juga dari desa seperti kita, Seth, tapi dia mengira dia lebih baik daripada kita. Bukan begitu, Angie?"

"Aku tak pernah beranggapan seperti itu, Bobo Deleron, dan kau tahu itu."

"Memang tidak, namun kau jelas bersikap seperti itu."

Nada suara Bobo jelas sudah berubah marah, membuat Angela tidak tenang. Ia mencium bau minuman keras dari mulut Bobo, dan ia ingat terakhir kalinya ia berurusan dengan anak itu. Ia harus menendang selangkangan Bobo untuk kabur waktu itu, dan Bobo bersumpah akan membalas perbuatannya itu.

Sekarang Angela semakin sadar bahwa langit sudah semakin gelap dan di sekeliling mereka tidak ada orang.

"Aku... aku akan menemui ayahku, Bobo," Angela berkata dengan suara yang lebih mirip sebuah rintihan. "Jadi sebaiknya kau lepaskan aku sekarang."

"Di mana ayahmu?"

"Di dekat sana."

Ia mengarahkan lengannya yang tak dicengkram ke arah kereta yang tadi ditujunya, namun sekarang ia sudah lebih dekat dan sadar ayahnya bahkan tidak ada di sana.

"Menurutku ayahmu ada di kedai minum Nina dan dia akan sibuk untuk sementara waktu." Anak laki-laki lebih tua sekarang cekikikan . "Mengapa kau tidak di sini saja dan menemani kami, Sayang?"

"Jika itu maksud kalian, sebaiknya aku mencari ayahku lalu pulang." Angela mencoba meninggikan nada suaranya, tapi ia tahu ia terdengar ketakutan seperti yang dirasakannya.

Bobo telah jauh lebih besar. Usianya setidaknya tujuh belas tahun sekarang. Bobo sangat marah -dan tidak sendirian.

Angela merasa harus lari."Bisakah aku mengambil senapanku kembali sekarang? Aku harus segera berangkat."

Ia mulai menggapai senapannya, namun Bobo kembali menariknya. "Bagaimana menurutmu, Seth?"

Seth menyeringai. "Kurasa, senapan sebagus ini seharusnya kusimpan. Ya, benar. sebaiknya aku ambil senapan ini."

Mata Angela terbelalak ketakutan. "Kau tak bisa melakukannya! Aku dan ayahku akan kelaparan jika tanpa senapan!"

Seth tergelak. "Kau memang pandai melebih-lebihkan, gadis manis. Jika memang kau punya ayah yang bisa minum di kedai Nina, kau takkan mungkin kelaparan."

Angela menoleh ke arah Bobo dengan mata yang memohon. "Bobo, tolonglah! Katakan padanya kami tak bisa hidup tanpa senapan. Kami tak punya uang untuk membeli senapan baru."

Namun Bobo lebih dari sekedar mabuk. "Tutup mulutmu, Angie. Dia boleh mengambil senapanmu dan dirimu juga begitu aku selesai danganmu."

Tapi masih ada kesempatan. Bobo memegangnya, dan anak itu mabuk. Angela menunggu sampai Bobo mulai bergerak, kemudian dengan gerakan cepat, ia mengentakkan lengannya hingga bebas dan kemudian lari. Namun Bobo lebih capat. Jari-jari Bobo menjangkau rambut Angela dan menariknya ke belakang hingga terasa sakit.

"Lepaskan aku!" teriaknya, amarahnya akhirnya muncul. "Lepaskan aku, dasar kau pengecut hina! Aku akan..."

Tawa Bobo menghentikannya. "Nah, itu baru Angela si tukang marah yang dulu kukenal. Aku tak mengenali gadis yang sebelumnya memohon-mohon."

"Dasar kau anak babi! Lepaskan rambutku!" Angela berteriak, dan saat tidak berhasil, ia mengayunkan tinjunya.

Namun Bobo menangkap lengannya dan memelintirnya ke belakang. "Kau tidak akan membuat hidungku berdarah lagi, Angie." Ia menarik rambut Angela ke belakang dan memaksa Angela untuk menatapnya. "Kau tidak akan melakukan apa-apa kecuali ditiduri. Seharusnya kau melakukannya pada musim dingin lalu, tapi kau berhasil melarikan diri dariku, bukan?"

Angela mulai berteriak, namun Bobo melepaskan rambutnya dan mendepat mulutnya. Tak lama, Seth datang dari arah belakang Angela, mengangkat roknya, lalu menggerakkan tangannya yang berkeringat ke bagian di antara paha Angela.

"Apa kita hanya akan berdiri di sini dan berbicara, atau akan memulai aksi kita?" Seth bertanya.

"Menjauh darinya, Seth," Bobo memperingatkan dengan dingin. "Aku harus menyeimbangkan skorku dulu dengannya. Kau bisa mendapatkan apa pun yang tersisa."

Seth mundur. "Begini, Bobo. Kau yakin ada lagi yang tersisa dari gadis ini yang patut di coba?"

"Dia mungkin agak sedikit berantakan, tapi masih cukup baik. Angie punya sesuatu yang istimewa." Bobo tergelak kemudian menekan Angie ke tubuhnya. "Dia tidak akan berbaring dan membuka kakinya untuk kita. Dia akan bertahan habis-habisan. Namun akhirnya, dia akan mendapatkan apa yang dia cari di sini."

"Aku tidak yakin, Bobo." Seth menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa memukuli gadis yang tidak berbuat apa-apa padaku."

Bobo membalikkan tubuh Angela dengan tangannya hingga menghadap Seth, sambil tetap membekap mulut Angela erat-erat. Sekarang tangannya yang lain menutupi salah satu dada Angela dan meremasnya keras-keras, hingga Angela menjerit.

"Lihat dia," Bobo berkata kepada Seth. Kau menginginkannya, bukan? Dan bukan kau yang akan menyakitinya... aku yang akan melakukannya. Tidak lama kau akan tahu betapa liarnya gadis ini. Banyak anak laki-laki yang akhirnya senang bahwa dia kalah dalam pertarungan."

Bobo menyeret Angela ke lorong sempit yang berjarak hanya beberapa langkah. Angela mencoba membebaskan dirinya untuk terakhir kalinya. Ia membuka mulutnya dan membenamkan giginya ke bagian lunak tangan Bobo. Bobo berteriak kesakitan dan melepaskan Angela yang segera lari ke arah jalan, langsung menuju lengan Seth. Ia memberontak liar agar bisa terlepas dari lengan kuat yang memeganginya.

"Tenanglah, aku tak akan menyakitimu."

Itu bukan suara Seth. Melalui matanya yang dipenuhi air, Angela melihat pria yang memeganginya mengenakan pakaian mahal, yang pasti bukan baju lusuh yang dikenakan Seth. Akhirnya pertolongan datang! Angela mengeluarkan air mata lagi dan membenamkan wajahnya di dada lebar pria itu, lalu terkulai.

"Hei, Sir. Aku berterima kasih karena kau telah menghentikan gadis ini, tapi aku akan mengambilnya lagi darimu sekarang." Bobo berteriak.

"Apa yang ditakuti gadis ini?" pria itu bertanya dengan tenang. Satu lengannya memegangi Angela, dan lengan satu lagi membelai rambut Angela untuk menenangkannya, karena Angela mulai gemetaran saat mendengar suara Bobo.

"Ah, sial. Kami hanya bersenang-senang sedikit, kemudian dia mulai menggigitku!"

"Kenapa?"

Angela mundur dan memandang wajah penyelamatnya siap untuk menjelaskan. Namun kata-katanya tersangkut di tenggorokannya saat ia menatap mata coklat emas terang yang menatapnya dengan cermat. Walau saat itu gelap, Angela masih mengenali mata itu.

"Kau terlihat sangat ketakutan. Kau selamat sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu."

Angela tidak bisa bicara. Ia tak pernah sedekat ini dengan Bradford Maitland.

Bradford tersenyum. "Ada masalah apa ini? Apa kau sungguh-sungguh menggigit anak laki-laki itu?"

Angela berhasil mengeluarkan suara, "Aku terpaksa. Hanya itu satu-satunya cara agar bisa lepas darinya."

"Jangan bohong lagi," Bobo memperingatkan dengan nada suara mengancam.

Angela mengayunkan badannya untuk bisa melihat ke arah Bobo. Matanya memancarkan kemarahan sekarang. "Tutup mulutmu, Bobo Deleron! Aku tidak dalam tahananmu lagi dan aku tidak berbohong sepertimu." Angela membalikkan badannya menghadap Bradford yang memancarkan sinar kekhawatiran melelehkan amarahnya. Ia mulai menagis. "Dia... dia mau memperkosa aku. Keduanya akan melakukan itu. Yang satunya mau merebut senapan ayahku. Kami bisa kelaparan jika tak punya senapan."

Bradford menarik Angela ke dekatnya, tapi di saat bersamaan ia memasukkan tangannya ke mantelnya dan mengambil sepucuk pistol. Ia mengarahkannya pada Seth, yang matanya membelalak ketakutan.

"Jatuhkan senapan itu," Bradford berkata dengan suara lembut namun mematikan. "Setelah itu menjauh darinya."

Seth melakukan apa yang disuruh, namun rasa malu Bobo lebih menguasainya daripada rasa takutnya. "Seharusnya kau tidak melibatkan diri, Sir. Gadis ini hanya sampah  berkulit putih dan sama sekali bukan urusanmu. Lagi pula, dia bohong. Kami tidak akan menyakitinya."

"Sebaiknya biar Sheriff saja yang memutuskan," Bradford mengusulkan dengan tenang.

"Itu tidak perlu," Bobo dengan cepat mundur. "Tidak ada yang tersakiti."

"Menurutku gadis ini tidak setuju," sahut Bradford. "Bagaimana menurutmu, Sayang? Apa kita sebaiknya melapor ke sheriff?"

Angela berbisik di dada Bradford, "Aku tidak mau merepotkanmu lagi." Lalu ia menambahkan dengan tegas, "Namun kau bisa bilang pada Bobo jika dia mendekatiku lagi, aku akan meledakkan kepalanya!"

Bradford tertawa keras, lebih ditujukan kepada Bobo dan Seth.

"Kalian telah mendengarnya." Bradford tergelak. "Sebaiknya kalian segera pergi sebelum dia sadar senapannya mudah dijangkau dan menyesal telah begitu mudah melepaskan kalian kali ini untuk apa yang..." ia berhenti sebelum mengakhirinya. "...tidak kalian lakukan."

Bobo tidak butuh waktu lama untuk segera pergi, dan Seth dengan cepat mengikuti.

Angela tidak berpikir untuk balas dendam. Dengan perginya Bobo dan Seth, jalan itu terasa sangat hening. Satu-satunya suara yang bisa didengarnya adalah debar jantungnya. Atau apakah itu debar jantung Bradford? Ia merasa sangat tidak nyaman hingga hanya ingin berdiri di sini dan bersandar di tubuh Bradford Maitland yang tinggi dan kokoh sepanjang malam. Tapi ia tahu ia tak bisa melakukannya.

Ia mundur, siap untuk berterima kasih, namun Bradford melihatnya dengan perasaan takjub dan penasaran. Angela sekali lagi merasa lidahnya tercekat.

"Bukan kebiasaanku menyelamatkan gadis yang ketakutan," Bradford mengatakannya dengan serius. "Biasanya mereka yang harus diselamatkan dariku. Jadi, mengapa kau tidak berterima kasih padaku karena telah menyelamatkanmu dari musibah yang lebih buruk daripada kematian? Kau masih perawan, kan?" ia bertanya terus terang.

Pertanyaan Bradford membuat Angela tersentak dari diamnya, "Ya, dan aku memang berterima kasih padamu."

"Itu lebih baik. Siapa namamu?"

"Angela," Angela menjawab perlahan, masih merasa sulit untuk berbicara dengan Bradford.

"Well, Angela, bukankah kau sudah tahu bahwa tidak aman keluar sendirian, terutama di bagian kota yang ini?"

"Aku... aku harus menemukan ayahku."

"Apa kau telah menemukannya?"

"Belum, kurasa dia sudah pulang sekarang," Angela menjawab dengan lebih mudah sekarang.

"Yah, kurasa sebaiknya kau juga pulang," kata Bradford, lalu mengembalikan senapan Angela. "Aku sangat senang bisa membantumu, Angela."

Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali berbalik dan mulai menyusuri sungai lagi. Namun tak lama, Bradford menyusulnya.

"Akan kutemani kau sampai rumah," Bradford menawarkan dengan suara enggan, seperti orang yang terpaksa dan tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya.

"Aku bisa sendiri, Mr. Maitland," Angela menjawab, dagunya terangkat dengan gaya angkuh.

Bradford menyeringai. "Aku yakin kau bisa, Angel," ia mengatakannya dengan suara yang lebih lembut. "Tapi aku merasa bertanggung jawab padamu sekarang."

"Namaku... namaku Angela," ia mengatakannya dengan suara tenang yang aneh.

"Ya, aku tahu. Nah, sekarang di mana kau tinggal?" Bradford bertanya dengan sabar, matanya menghangat.

Hati Angela bergemuruh. Bradford memanggilnya Angel dengan sengaja!

"Aku tinggal di sisi lain Golden Oaks."

"Demi Tuhan, kenapa kau tidak bilang sejak awal? Ayo." Bradford memegang lengan Angela dan mengarahkannya kembali ke jalanan menuju kereta. "Aku sedang dalam perjalanan ke Golden Oaks sebelum kau... bertemu denganku."

Bradford Maitland tidak bicara lagi sampai mereka meninggalkan kota dan menyusuri jalan di tepi sungai dengan kecepatan sedang. Jalan itu sudah terabaikan. Bulan bersembunyi di balik awan tebal kelabu yang mengancam akan menurunkan hujan. Kegelapan menyelimuti mereka saat mereka melaju pulang.

"Kau akan berjalan sejauh ini?" Bradford bertanya dengan suara tidak percaya.

"Jalannya tidak begitu jauh."

"Aku tahu seberapa jauh jalan ini, Angela. Aku pernah melewatinya sebelumnya, dan menghabiskan hampir seharian. Kau mungkin baru sampai besok pagi."

"Aku akan bisa melakukannya."

Bradford tertawa mendengar jawaban Angela yang penuh keyakinan, kemudian bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu namaku?"

"Yah, kau pasti memperkenalkan dirimu tadi," ia menjawab dengan gugup.

"Tidak, aku tidak melakukannya. Kau kenal aku, kan?"

"Ya," ia menjawab sambil berbisik, kemudian menambahkan, "Bagaimana kau bisa ada di Alabama? Kau tidak sedang memata-matai kami untuk pihak Utara, kan?"

Angela hampir terpelanting dari kursinya saat Bradford menghentikan kereta tiba-tiba. Pria itu kemudian merenggut lengan Angela dan membalikkan badannya hingga mereka saling berhadapan.

"Memata-matai? Dari mana kau mendapat kesan seperti itu?"

Bradford Maitland terdengar sangat marah hingga Angela terlalu takut untuk menjawab. Angela merasa ingin memotong lidahnya saat itu juga karena telah membuat Bradford marah.

"Jawab aku!" sekarang Bradford menuntut. "Kenapa kau mempertanyakan kesetiaanku?"

"Aku tidak mempertanyakan kesetiaanmu, Mr. maitland," Angela berkata lemah. "Aku tahu kau tergabung dengan militer Union tahun lalu." Angela tahu tubuh Bradford mengeras dan dengan cepat ia menambahkan. "Saat pertama kali aku mendengarnya, aku sangat terkejut, tapi sekarang bagiku itu tidak masalah lagi."

"Dari mana kau mendengar hal ini?"

"Hannah yang mengatakannya padaku. Dia tidak sengaja, hal itu keluar begitu saja."

"Hannah?"

"Dari Golden Oaks. Hannah itu teman terdekatku. Kau tidak akan memarahinya karena telah memberitahuku, kan? Aku tidak mengatakannya pada orang lain. Dan aku tidak akan pernah begitu. Maksudku, aku tidak merasa perlu. Perang ini sangat gila bagiku. Kita bertarung melawan saudara kita sendiri... ini gila. Kau sudah menolongku malam ini, dan aku tidak akan pernah berniat mencelakakanmu. Aku tidak akan bilang pada siapa pun bahwa kau bergabung dengan pasukan Yankee... aku bersumpah."

"Kau tidak bisa berhenti jika sudah bicara, bukan begitu, Angela?" Nada suara Bradford lebih ringan sekarang dan lengan Angela sudah dilepaskan.

"Aku hanya ingin kau tahu bahwa rahasiamu aman padaku. Kau memercayaiku, kan?" ia memohon.

Bradford mengentak tali kekangnya dan mereka bergerak lagi. "Aku terpaksa memercayaimu. Kau pikir aku ini pengkhianat?"

"Aku tak mengerti mengapa kau harus pergi dan bergabung dengan tentara Bluecoat," ia menjawab dengan tegas, kemudian wajahnya berubah menjadi pink. Untungnya, saat itu gelap hingga Bradford tidak bisa melihatnya. "Tapi kurasa itu urusanmu."

Bradford kembali merasa takjub. "Sebenarnya sederhana. Aku bukan orang Selatan. Keluargaku hanya tinggal di Selatan selama lima belas tahun terakhir ini. Sebelumnya aku tinggal di Utara, dan pernah juga di Barat. Bahkan setelah ayah kami membeli Golden oaks dan memindahkan keluarga kami ke sini, aku masih menghabiskan tahun-tahun sesudahnya di Utara, bersekolah atau mengurus bisnis ayahku. Aku tidak percaya pada perbudakan. Lebih jauh lagi, aku tidak percaya pada bangsa yang terpecah belah. Jika negara-negara bagian terus memisahkan diri dan membentuk negara baru, apa yang akan menghentikan negara bagian lain untuk tidak melakukannya? Kita akan seperti Eropa. itulah kenapa kesetiaanku kuperuntukkan bagi utara dan Union."

"Tapi adikmu bergabung dengan Konfederasi," Angela mengingatkan.

"Zachary seorang munafik," sergah Bradford, suaranya tiba-tiba dingin. "Dia bergabung dengan Konfederasi entah karena alasan apa, dan itu tidak ada hubungannya dengan kesetiaan."

"Sudah berapa lama kau kembali? Maksudku..."

Bradford tergelak. "Kau sungguh ingin tahu mengapa aku berada di sini, kan?" katanya, nada suaranya sudah lebih ramah. "Yah, ini bukan rahasia militer yang besar. Aku datang bersama pasukan penerobos blokade hari ini, jika kau tahu. Saat ini, aku sudah tidak bergabung dengan militer. Aku terluka saat pertempuran Tujuh Hari di Virginia dan diberhentikan karenanya."

"Tapi sekarang kau sudah sehat?" Angela bertanya dengan cemas.

"Ya. Dadaku terluka dan mereka menganggap aku takkan bisa sembuh. Tapi seperti yang kau lihat, aku mengelabui dokter-dokter militer itu."

Angela tertawa. "Aku senang mendengarnya."

"Tapi," Bradford menambahkan dengan serius, "aku akan bergabung dengan mereka lagi, begitu komandanku yang dulu diganti. Kami tak pernah bertemu langsung. Malahan, aku lebih frustrasi karena komandanku daripada karena musuh. Sementara itu, kau bisa menganggap aku sedang liburan. Wah, aku memberitahumu lebih daripada yang seharusnya. Kau punya cara untuk membuatku bercerita. Angel."

Angela jatuh cinta pada Bradford Maitland sekali lagi. Ini hari paling bahagia dalam hidupnya.

"Sudah cukup membicarakan diriku," cetus Bradford. "Bagaimana dengan keluargamu?"

"Keluargaku? Yang ada hanya aku dan ayahku."

"Siapa nama ayahmu?"

"William Sherrington."

Angela tak bisa melihat wajah Bradford yang membeku di antara alisnya yang berkerut. "Jika begitu, ibumu Carissa Stewart?"

"Itu namanya sebelum menikahi ayahku," Angela menjawab dengan terkejut. "Tapi bagaimana kau bisa tahu soal itu?"

"Jadi, kau memang putri Charissa Stewart," gumam Bradford dengan suara aneh tanpa memedulikan pertanyaan Angela.

"apa kau kenal ibuku?"

"Tidak, untungnya aku tidak pernah bertemu... wanita itu," sahut Bradford, lalu ia terdiam.

Angela menatap tubuh besar Bradford dalam kegelapan. Apa maksudnya "untungnya?" Apakah ia sungguh-sungguh mendengar nada marah dalam suara Bradford? Tidak, itu pasti hanya imajinasinya.

Angela memejamkan matanya, bergoyang-goyang karena guncangan kereta, dan memutar kembali ingatannya saat pertama kali bertemu Bradford Maitland. Saat itu tiga tahun yang lalu. Usianya baru sebelas tahun, sedangkan Bradford sekitar dua puluh tahun. Bradford sedang liburan musim panas. Angela sedang ke kota bersama ayahnya untuk menjual hasil panen jagung, namun ia kelelahan menunggu di sekitar pasar dan memutuskan untuk pulang. Malam sebelumnya hujan lebat, dan sambil berlari di sepanjang jalan dekat sungai, ia bermain melompati lumpur.

Kemudian Bradford muncul dengan kuda jantan warna hitam, menuju kota. Pria itu terlihat seperti malaikat penyelamat, berpakaian putih-putih, duduk dengan tegap di atas kuda hitam yang perkasa. Saat melewati Angela, kuda Bradford menyiprati bagian depan gaun kuningnya. Bradford menghentikan kudanya dan menghampiri Angela. Ia melemparkan sekeping koin emas, minta maaf, menyuruh Angela membeli gaun baru, kemudian mengentak kudanya lagi.

Sejak saat ia menatap wajah Bradford yang tampan, Angela sudah jatuh cinta. Ia sering mengatakan pada dirinya sendiri betapa bodohnya mengira dirinya jatuh cinta, karena ia sama sekali tidak tahu apa cinta itu. Mungkin ia hanya mengagumi Bradford. Namun apa pun itu, lebih mudah menyebutnya cinta.

Ia masih menyimpan koin emas itu. Ia telah membuat lubang kecil dan memohon pada ayahnya untuk membelikannya rantai panjang agar bisa memakai koin itu di leher. Sekarang kalung koin itu melilit lehernya selama tiga tahun ini. Ia terus mengenakannya bahka sesudah ia memutuskan membenci Bradford lagi sekarang. Ia takkan bisa membenci pria itu lagi.

Mereka tiba di rumahnya terlalu cepat. Setelah bradford pergi, ia lama berdiri di teras, mengingat-ingat kata-kata pria itu.

"Jaga dirimu Angel. Kau sudah terlalu tua untuk terlibat dalam masalah." Sambil mengentak tali kekang kudanya, Bradford pun pergi.

"Apa itu kau, Angela?"

Angela membeku saat William Sherrington mendekati pintu.

"Ini aku, Pa."

"Kau dari mana?"

"Pergi mencarimu!" ia berteriak marah, walau sebenarnya ia merasa lega karena ayahnya telah kembali ke rumah. "Dan jika kau semalam pulang, aku tidak perlu mencarimu."

"Aku sangat menyesal, Angie," sahut ayahnya dengan suara yang sedikit ketakutan. "Ini takkan terjadi lagi. Apa Billy Anderson yang tadi mengantarmu pulang?"

"Oh Tuhan, tidak!" ia berteriak. "Yang mengantarku Bradford Maitland."

"Yah, dia sangat baik. Dan aku berjanji, Angie, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian lagi. Jika aku pergi ke kota, kau akan ikut denganku. aku tahu akhir-akhir ini aku bukan ayah yang baik bagimu, tapi mulai sekarang aku akan berubah. Aku berjanji."

Ayahnya hampir menangis, dan amarah Angela telah hilang. "Sudahlah, Pa. Kau tahu aku tidak menginginkan ayah lain kecuali dirimu." Ia mendekati ayahnya dan memeluk ayahnya erat-erat. "Sekarang tidurlah. Kita harus menggarap ladang kita besok pagi."



Next
Back
Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar