Rabu, 05 September 2018

Honor's Splendour 11


Bab 11

“Yang terbaik adalah mereka yang dilatih dalam disiplin yang sangat keras”
-KING ARCHIDAMUS II DARI SPARTA


Madelyne tidak ingin seorang pun memergoki dirinya sedang menangis. Ketika ia meninggalkan Adela tadi, ia benar-benar tidak memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya. Ia hanya ingin menemukan sebuah tempat yang sepi di mana ia bisa mengatur emosinya.

Aula besar adalah pilihan pertamanya, namun ketika mendekati pintu masuk aula, ia mendengar Gilard sedang berbicara dengan seseorang. Madelyne terus berjalan, menuruni anak-anak tangga yang selanjutnya, mengambil jubah musim dingin dari sangkutan yang berdekatan dengan menara utama prajurit, dan kemudian berjuang untuk membuka pintu-pintu yang berat sampai cukup untuk menyelipkan tubuhnya keluar.

Udara cukup dingin untuk membuat beruang menggigil. Madelyne menarik jubahnya ke pundaknya dan berjalan cepat-cepat. Bulan memberikan penerangan yang cukup baginya untuk berjalan, dan saat ia sudah mengitari pondok tukang daging, ia bersandar ke tembok batu benteng dan mulai menangis seperti bayi. Ia menangis dengan kencang, tidak terkendali, juga patut disesalkan, sebab ia tidak merasa lebih baik sedikit pun setelahnya. Kepalanya sakit, pipinya perih, dan ia cegukan hebat.

Amarahnya tidak mau pergi.

Begitu Adela memulai kisahnya, ia menceritakan setiap potongan dari kejadian tersebut. Madelyne tidak memperlihatkan reaksi apa pun terhadap horor tersebut, namun hatinya terasa nyaris meledak karena rasa sakit. Morcar! Keparat itu sama bersalahnya seperti Louddon, namun tak seorang pun yang akan pernah mengetahui keterlibatannya.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Madelyne terkesiap. Duncan membuat gadis itu kaget setengah mati, muncul entah dari mana dan berdiri di sampingnya.

Madelyne mencoba memunggungi pria itu. Duncan tidak membiarkannya. Ia meraih dagu Madelyne dan memaksa gadis itu mendongak untuk memandangnya.

Duncan pasti buta kalau tidak menyadari Madelyne sedang menangis. Madelyne bermaksud memberika sebuah alasan singkat kepada Duncan, tapi pada saat pria itu menyentuhnya, Madelyne mulai menangis lagi.

Duncan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia tampaknya senang memeluk Madelyne sampai gadis itu mendapatkan kembali dirinya lagi. Ia jelas baru selesai berenang, sebab ia meneteskan air dari kepala hingga pinggang. Madelyne juga tidak membantu pria itu mengeringkan tubuhnya; gadis itu menangis, terengah, dan cegukan di seluruh ikal bulu lembut yang menutupi dada Duncan.

“Kau akan mati membeku karena berjalan ke mana-mana dalam keadaan setengah telanjang,” kata Madelyne pada pria itu di tengah isakan. “Dan aku tidak akan menghangatkan kakimu lagi kali ini.”

Kalaupun Duncan menjawabnya, Madelyne tidak mendengar. Wajahnya ditekankan ke pundak pria itu. Ia juga sedang membelai dada pria itu. Duncan rasa Madelyne bahkan tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan, atau memahami apa efek yang ia timbulkan terhadap dirinya.

Tiba-tiba Madelyne mencoba menjauh dari Duncan. Ia membentur dagu pria itu, menggumamkan permintaan maaf, mengingat dengan terlalu jelas tentang bagaimana rasa Duncan ketika ia terang-terangan menciumnya di tenda pada malam itu.

Madelyne ingin mencium pria itu lagi.

Duncan pasti membaca niat Madelyne, sebab ia perlahan-lahan merendahkan mulutnya ke mulut gadis itu.

Duncan hanya bermaksud memberi gadis itu sebuah ciuman lembut. Aye, ia bermaksud untuk menghibur gadis itu, namun lengan Madelyne melingkari lehernya dan mulut gadis itu langsung membuka untuk Duncan. Lidah Duncan mengambil keuntungan, bersatu dengan lidah gadis itu.

Oh Tuhan, gadis itu hebat. Ia bisa membuat Duncan sangat panas dengan sangat cepat. Ia juga tidak membiarkan Duncan bersikap lembut padanya. Suara yang Madelyne buat, jauh di dasar tenggorokannya, menyingkirkan pikiran-pikiran Duncan untuk menghibur gadis itu.

Duncan merasakan gadis itu gemetar, dan baru pada saat itulah ia teringat sedang berada di mana mereka. Dengan enggan ia menarik diri dari Madelyne, meskipun ia sepenuhnya mengharapkan gadis itu mendebatnya. Ia harus mencium gadis itu lagi, putus Duncan, kemudian maju dan mencium Madelyne sebelum wanita yang lembut dan sensual itu sempat bertanya.

Duncan membuat Madelyne terbakar. Madelyne merasa tidak punya kekuatan untuk berhenti, sampai tangan pria itu menyapu sisi payudaranya. Rasanya menakjubkan, dan ketika ia menyadari seberapa banyak lagi yang ia inginkan, ia menarik diri dari pria itu.

“Sebaiknya kau masuk ke dalam sebelum kau berubah menjadi sebalok es,” ujar Madelyne. Suaranya terdengar parau.

Duncan mendesah. Madelyne melakukan hal itu lagi, mencoba memerintah pria itu. Duncan mengangkat Madelyne dalam pelukannya, tidak mengacuhkan protes gadis itu, dan mulai melangkah menuju kastil. “Apakah Adela berbica denganmu mengenai apa yang telah terjadi pada dirinya?” tanya Duncan ketika pikirannya bisa fokus lagi.

“Benar,” jawab Madelyne. “Tapi aku tidak akan menceritakannya kembali sepatah kata pun, tak peduli seperti apa pun kau bersikeras. Kau bisa menyiksaku kalau mau, tapi aku akan...”

“Madelyne.” Helaan napas Duncan yang panjang dan lama menghentikannya.

“Aku berjanji kepada Adela untuk tidak mengatakan apa pun kepada siapa pun, terutama kau. Adikmu itu takut padamu, Duncan. Itu keadaan buruk yang mengkhawatirkan, sungguh,” imbuh Madelyne.

Madelyne mengira pernyataannya itu akan membuat Duncan marah dan terkejut ketika pria itu mengangguk. “Memang begitulah seharusnya,” kata Duncan, mengangkat bahu. “Aku adalah seorang lord sekaligus seorang kakak dan yang pertama harus lebih diutamakan daripada yang kedua.”

“Bukan seperti itu seharusnya,” bantah Madelyne. “Sebuah keluarga seharusnya dekat. Mereka harus makan bersama dan tidak pernah bertengkar dengan satu sama lain. Mereka harus...”

“Bagaimana kau bisa tahu apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh sebuah keluarga? Kau tinggal dengan pamanmu,” ujar Duncan menggeleng jengkel.

Well, aku tetap tahu bagaimana seharusnya sebuah keluarga bersikap,” bantah Madelyne.

“Madelyne, jangan mempertanyakan metode-metodeku,” kata Duncan dalam geraman rendah. “Kenapa kau menangis tadi?” tanyanya, mengubah topik pembicaraan dengan cepat.

“Karena apa yang kakakku telah lakukan kepada Adela,” bisik Madelyne. Ia menyandarkan wajahnya di bahu Duncan. “Kakakku akan terbakar di neraka untuk selama-lamanya.”

Aye,” jawab Duncan.

“Dia pria yang perlu dibunuh. Aku tidak menyalahkanmu karena ingin membunuhnya, Duncan.”

Duncan menggeleng. “Apakah dengan tidak menyalahkanku membuatmu merasa lebih baik?” tanyanya.

Madelyne pikir ia mendengar rasa terhibur dalam suara pria itu. “Aku telah mengubah pandanganku tentang membunuh. Aku tadi sedang menangis kehilangan itu,” bisiknya. “Dan untuk apa yang harus aku lakukan.”

Duncan mengunggu Madelyne untuk menjelaskan. Mereka sampai di pintu kastil. Duncan menarik salah satu pintu tersebut tanpa menurunkan Madelyne. Kekuatan pria itu lagi-lagi membuat Madelyne takjub. Dibutuhkan seluruh tekad Madelyne, serta kedua tangannya, untuk mendorong salah satu pintu tersebut hingga terbuka cukup baginya untuk menyelinap tanpa membuat punggungnya tersangkut, namun Duncan tidak tampak bersusah payah sama sekali.

“Apa yang harus kau lakukan?” tanya Duncan, tidak dapat menahan rasa penasarannya.

“Aku harus membunuh seorang pria.”

Pintu terhempas menutup tepat ketika Madelyne membisikkan pengakuannya. Duncan tidak yakin ia mendengar gadis itu dengan benar. Duncan memutuskan bahwa ia cukup sabar untuk menunggu hingga mereka sampai di kamar tidurnya sebelum menanyai gadis itu lebih lanjut.

Duncan menggendong Madelyne menaiki tangga, tidak mengacuhkan gadis itu yang memprotes bahwa ia mampu berjalan sendiri, tidak berhenti ketika mereka sampai di aula, namun terus melangkah, naik ke tingkat selanjutnya. Madelyne mengira pria itu membawanya kembali ke kamar menara. Saat mereka sampai di mulut menara bundar tersebut, Duncan berbelok ke arah yang berlawanan dan terus berjalan ke sebuah koridor gelap. Keadaan terlalu gelap untuk melihat menuju ke mana koridor tersebut.

Madelyne sangat penasaran, sebab ia bahkan tidak pernah menyadari lorong sempit itu. Mereka sampai di ujung koridor. Duncan membuka sebuah pintu dan membawa Madelyne masuk. Ruangan tersebut pasti kamar tidur Duncan, Madelyne menyadari, bahkan ketika ia berpendapat bahwa pria itu baik sekali karena memberikan kamar tidurnya kepada Madelyne untuk malam ini.

Kamar tidur itu terasa hangat dan nyaman. Api berkobar di perapian, memberikan kehangatan dan kilau yang lembut ke ruangan yang juga sangat sederhana itu. Sebuah jendela tunggal ditempatkan di tengah-tengah dinding seberang, tertutup selembar kulit binatang sebagai pengganti daun jendela. Sebuah tenpat tidur yang lebar memenuhi sebagian besar dinding batu yang berdekatan dengan perapian, dengan sebuah peti di sampingnya.

Tempat tidur dan peti tersebut satu-satunya perabot yang ada di kamar itu. Akan tetapi, kamar tersebut bersih, hampir tak bernoda. Fakta tersebut membuat Madelyne tersenyum. Ia tidak tahu mengapa itu membuatnya senang, tapi ia gembira karena Duncan tidak menyukai kekacauan sama seperti dirinya.

Lalu mengapa pria itu membiarkan aula utama menjadi begitu tak terurus? Itu tidak masuk akal bagi Madelyne, sekarang setelah melihat kamar pria itu. Masalah itu segera setelah ia mendapati pria itu dalam keadaan suasana hati yang bagus. Kemudian Madelyne tersenyum, sebab ia sadar kemungkinan besar ia sudah menjadi wanita tua sebelum Duncan mencapai perubahan watak yang luar biasa seperti itu.

Duncan tampaknya tidak terburu-buru untuk melepaskan Madelyne. Pria itu berjalan menuju perapian, menyandarkan bahunya ke tepi rak tebal di atas perapian, dan mulai menggesek-gesekkan punggungnya bolak-balik, jelas sekali sedang meredakan gatal yang mendadak muncul. Madelyne berpegangan pada pria itu erat-erat. Oh Tuhan, ia berharap Ducan mengenakan kemeja. Ini tidak pantas, pikir Madelyne, sebab ia terlalu suka menyentuh kulit pria itu. Duncan bagaikan seorang dewa berkulit keemasan. Kulitnya terasa hangat, dan dengan telapak tangan Madelyne yang menempel di pundak pria itu, ia bisa merasakan riak otot-otot yang bergerak-gerak di bawah ujung jemarinya.

Madelyne berharap dapat memahami reaksinya terhadap pria itu. Oh, jantungnya berpacu liar lagi. Ia memberanika diri untuk melirik cepat dan mendapati Duncan sedang menatapnya dengan intens. Pria itu terlihat sangat tampan. Madelyne ingin pria itu menjadi jelek. “Apa kau akan memelukku sepanjang malam?” tanyanya, terdengar sangat sebal.

Duncan mengangkat bahu, hampir saja menjatuhkan Madelyne. Ia mencengkram Duncan lagi, dan ketika pria itu tersenyum kepadanya, Madelyne sadar pria itu mungkin mengguncangnya hanya untuk membuatnya berpegangan.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan melepaskanmu,” perintah Duncan.

“Aku akan menjawab pertanyaanmu,” kata Madelyne pada pria itu.

“Apakah kau mengatakan padaku bahwa kau berencana untuk membunuh seorang pria?”

“Benar.” Madelyne menatap dagu Duncan ketika menjawab.

Madelyne menunggu Duncan mengomentari pengakuannya selama semenit yang panjang. Ia menduga pria itu mungkin akan menguliahinya tentang kelemahannya untuk membunuh siapa pun.

Madelyne, bagaimanapun, betul-betul terkejut karena pria itu tertawa. Tawa tersebut awalnya berupa gemuruh rendah di dalam dada Duncan, tapi dengan cepat menjadi semakin keras, sampai pria itu hampir tersedak karena tertawa terbahk-bahak.

Ternyata Duncan mendengarnya dengan benar. Madelyne memang mengatakan kepada pria itu bahwa dirinya akan membunuh. Awalnya pernyataan tersebut sangat mencengangkan, sehingga Duncan yakin gadis itu sedang bergurau. Namun ekspresi serius di wajah Madelyne menandakan bahwa ia sungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan.

Reaksi Duncan tidak terlalu membuat gadis itu senang. Semoga Tuhan menolongnya, Duncan tidak mampu berhenti tertawa. Ia membiarkan Madelyne meluncur turun dari pelukannya namun tetap meletakkan tangannya di bahu Madelyne agar gadis itu tidak melompat kabur. “Dan siapakah pria tidak beruntung yang rencananya akan kau bunuh?” akhirnya ia berhasil bertanya. “Salah satu dari kami para Wexton mungkin?”

Madelyne menjauh dari pria itu. “Tentu saja bukan seorang Wexton, walaupun kalau aku boleh jujur padamu, andai aku memiliki jiwa yang jahat, kau akan menjadi yang pertama dalam daftar orang-orang yang akan kuhabisi, Milord.”

“Ah,” timpal Duncan, masih tersenyum. “Kalau bukan salah seorang dari kami , Lady-ku yang manis dan lembut, lalu siapakah yang hendak kau ‘habisi’?” tanyanya, menggunakan ungkapan konyol Madelyne untuk mengekspresikan keinginannya untuk membunuh.

Aye, itu benar, Duncan. Aku adalah seorang gadis yang sangat manis dan lembut dan sudah waktunya kau memahami itu,” jawab Madelyne. Suaranya tidak terdengar terlalu manis sekarang.

Madelyne menghampiri tempat tidur dan duduk di tepinya. Ia menghabiskan waktu yang lama untuk merapikan roknya dan kemudian melipat kedua tangan di pangkuannya. Ia betul-betul terkejut ia mampu berbicara dengan begitu mudah tentang mengambil nyawa orang lain. Tapi, pria yang ada di dalam pikirannya memang perlu dibunuh, ya kan?

“Kau tidak akan mendapatkan namanya dariku, Duncan. Ini urusanku sendiri, bukan urusanmu.”

Duncan tidak setuju, namun memutuskan untuk menunggu sebelum ia mengetahui kebenarannya.

“Dan saat kau membunuh pria ini, Madelyne, apa kau akan memuntahkan makanan dari perutmu lagi?”

Gadis itu tidak menjawab. Duncan mengira gadis itu mungkin telah menyadari betapa bodoh rencananya itu. “Dan apa kau akan menangis juga?” tanya Duncan kepada gadis itu, mengingatkan kembali reaksi Madelyne setelah membunuh prajurit yang menyerang Gilard.

“Aku akan mengingat untuk tidak memakan apa pun sebelum aku membunuhnya, Duncan, sehingga aku tidak akan mual, dan jika aku menangis setelah aku melakukannya, maka aku hanya akan mencari sebuah tempat pribadi sehingga tak seorang pun yang akan melihatku. Apakah penjelasan itu cukup untukmu?”

Madelyne menarik napas dalam-dalam, mati-matian mencoba untuk menjaga ekspresinya tetap terkendali. Oh Tuhan, ia sudah merasa seperti seorang pendosa. “Kematian tidak boleh dianggap sepele,” katanya kemudian. ”Namun keadilan juga tidak seharusnya dicurangi.”

Duncan mulai tertawa lagi. Itu membuat Madelyne berang. “Aku mau tidur sekarang, jadi silahkan pergi.”

“Apa kau bermaksud menyuruhku pergi dari kamar tidurku sendiri?” tanya Duncan.

Duncan tidak tertawa lagi sekarang, dan Madelyne tidak berani memandang pria itu.

“Benar,” ujar Madelyne mengakui. “Kalau aku bersikap tidak sopan, aku minta maaf. Tapi kau tahu aku tidak berbohong. Kau baik sekali karena bersedia memberika tempat tidurmu untuk semalam ini. Aku benar-benar menghargainya. Dan aku akan kembali ke menara besok, setelah kamar Adela disikat.”

Madelyne terengah-engah setelah menyelesaikan penjelasannya.

“Kejujuranmu itu menyegarkan.”

“Kejujuranku membuatku terlibat dalam masalah.” Madelyne mendesah. Ia terus menunduk menatap kedua tangannya, berharap Duncan akan bergegas pergi. Kemudian ia mendengar suara gedebuk lembut. Suara tersebut menarik perhatiannya, dan ketika ia melirik, ia melihat tepat pada waktunya untuk menyaksikan Duncan menanggalkan sepatu botnya yang sebelah lagi dan menjatuhkan sepatu itu ke lantai.

“Sungguh tidak pantas berdiri di hadapanku tanpa mengenakan kemejamu,” ucap Madelyne. “Dan sekarang kau menanggalkan sisa pakaianmu sebelum kau pergi? Apakah kau berparade di sekitar Lady Eleanor seperti ini?”

Madelyne bisa merasakan dirinya merona. Ia bertekad untuk tidak mengacuhkan Duncan. Kalau pria itu ingin jalan-jalan dalam keadaan setengah telanjang, maka Madelyne hanya akan memejamkan matanya. Dan pria itu juga tidak akan mendapatkan ucapan selamat malam darinya.

Madelyne agak terlambat menangkap maksud Duncan. Ia terus mengawasi peria itu dari sudut matanya. Duncan berlutut di depan perapian, menambahkan sebatang kayu tebal lagi. Madelyne hampir berterima kasih kepada pria itu atas kebaikannya itu, sampai ia ingat kalau ia berniat mengabaikan Duncan. Ya Tuhan, pria itu benar-benar membuatnya kehilangan alur pikirannya, iya kan?

Duncan berdiri dan berjalan ke arah pintu. Sebelum Madelyne tahu apa yang hendak dilakukannya. Pria itu mendorong selot kayu yang tebal ke bulatan baja.

Mata Madelyne melebar karena tercengang. Madelyne terkunci di dalam kamar tidur itu, namun masalah yang sebenarnya, seperti yang ia lihat, adalah bahwa Duncan berada di sisi pintu yang salah. Dan bahkan seorang lady keturunan baik-baik tidak mungkin salah mengartikan tindakan itu.

Madelyne terkesiap marah, bangkit dari tempat tidur, dan berlari menuju pintu. Niatnya tak tergoyahkan. Ia akan keluar dari kamar ini dan menjauh dari Duncan.

Duncan mengawasi gadis itu berjuang membuka gerendel pintu sebentar. Ketika ia sudah yakin gadis itu tidak akan bisa menemukan kunci yang tidak biasa di bawah palang pintu, ia melangkah ke tempat tidur. Ia memutuskan untuk tetap mengenakan celananya untuk menghormati perasaan Madelyne. Gadis itu terlihat nyaris kehilangan kendali dirinya lagi.

“Naiklah ke tempat tidur, Madelyne,” desak Duncan sementara ia merenggangkan tubuhnya di atas selimut.

“Aku tidak akan tidur di sampingmu,” gagap Madelyne.

“Kita sudah pernah tidur bersama...”

“Hanya sekali, di tenda itu, Duncan, dan itu karena diperlukan. Kita saling berbagi kehangatan.”

Nay, Madelyne, aku tidur di sisimu setiap malam sejak saat itu,” Duncan memberitahu.

Madelyne berbalik untuk melotot pada Duncan. “Kau tidak melakukannya!”

Aye, aku melakukannya.”

Duncan sedang tersenyum kepadanya. “Bagaimana bisa kau berbohong dengan begitu mudahnya?” tuntut Madelyne.

Gadis itu tidaik memberi Duncan kesempatan untuk menjawab, namun berbalik lagi dan mulai mencoba membuka gerendel itu lagi.

Sepotong kecil kayu menusuk di bawah kulit lembut ibu jarinya adalah imbalan untuk usaha Madelyne tersebut. Ia menjerit marah. “Dan sekarang aku mendapatkan kayu sialan ini di bawah kulitku, berkat kau,” gerutunya sambil menundukkan kepala untuk melihat lukanya.

Duncan menghela napas. Madelyne mendengar suara yang dilebih-lebihkan itu melintasi ruangan tersebut, namun ia tidak mendengar pria itu bergerak, dan ketika Duncan tiba-tiba menyambar tangannya, gadis itu terlonjak mundur, membenturkan puncak kepalanya di bagian bawab dagu Duncan. “Kau bergerak persis seperti serigala,” cetusnya saat ia membiarkan Duncan menariknya menuju cahaya dari api. “Aku bukan sedang memujimu, Duncan, jadi kau bisa berhenti tersenyum.”

Duncan tidak menghiraukan gerutuan-gerutuan gadis itu. Ia menjangkau ke atas rak di atas perapian dan mengambil sebuah belati yang tajam dan hampir seruncing jarum. Madelyne memejamkan matanya sampai ia merasakan tusukan pertama. Lalu ia harus membuka matanya, sebab jika ia tidak mengawasi Duncan, pria itu bisa saja memotong habis ibu jarinya. Madelyne mencondongkan tubuhnya hingga secara tak sengaja menghalangi pandangan Duncan dari ibu jarinya.

Duncan menarik tangan gadis itu ke atas untuk mendapatkan penerangan yang lebih baik. Ia menundukkan kepalanya untuk menyelesaikan tugas itu. Kening Madelyne menyentuh kening Duncan. Ia tidak menjauh, begitu pula pria itu.

Duncan berbau wangi.

Madelyne berbau seperti mawar lagi.

Serpihan kayu itu sudah dikeluarkan. Madelyne tidak mengucapkan apa-apa kepada Duncan, namun ia mendongak menatap pria itu dengan ekspresi yang begitu lugu di wajahnya. Duncan mengernyit frustrasi. Saat Madelyne memandangnya seperti itu, yang dapat duncan pikirkan hanyalah menarik gadis itu ke dalam pelukan dan menciumnya. Sial, ia mengakui dengan jijik, yang perlu dilakukan gadis itu hanyalah memandangnya dan Duncan ingin menidurinya.

Duncan melemparkan kembali belatinya ke atas rak dan kemudian kembali ke tempat tidur. Ia tidak melepaskan tangan Madelyne dan menyeret gadis itu di belakangnya. “Bahkan tidak bisa mengeluarkan serpihan kayu dan kau berniat untuk membunuh seorang pria,” gumamnya.

“Aku tidak akan tidur bersamamu,” ucap Madelyne dengan sangat tegas. Ia berdiri di samping tempat tidur, bertekad untuk menang. “Kau adalah pria yang paling arogan, paling keras kepala. Kesabaranku sudah menipis seperti air. Aku tidak akan menoleransi yang lebih dari ini.”

Madelyne menyadari kekeliruannya adalah berada terlalu dekat dengan Duncan ketika meneriakkan ancaman itu. Pria itu menjangkau dan secara harafiah mengangkat Madelyne ke atasnya. Gadis itu mendarat dengan keras. Duncan menarik Madelyne ke sisinya, tangannya masih terkunci di pergelangan tangan gadis itu.

Duncan memejamkan matanya, jelas-jelas mencoba mengabaikan gadis itu. Madelyne menghadapinya.

“Kau terlalu membenciku untuk tidur di sampingku. Kau berbohong, kan, Duncan? Kita tidak tidur bersama. Aku pasti mengingatnya.”

“Kau bisa tetap tidur saat perang,” ujar Duncan. Matanya masih terpejam, namu ia tersenyum. “Dan aku tidak membencimu, Madelyne.”

“Kau pasti sungguh-sungguh membenciku,” tukas Madelyne. “Jangan berani-berani mengubah pikiranmu sekarang.”

Madelyne menunggu Duncan untuk menjawabnya beberapa lama. Ketika pria itu tidak mengatakan apa-apa, Madelyne memulai lagi. “Sebuah perbuatan yang patut di sesalkan yang membuat kita bersama. Aku menyelamatkan nyawamu. Dan apa balasannya untukku? Oh, kau menyeretku ke tempat terkutuk ini, dan terus menerus menyalahgunakan sifat baikku, kalau boleh kutambahkan. Aku mendoga kau juga dengan mudah telah melupakan tentang aku yang telah menyelamatkan nyawa Gilard.”

Oh Tuhan, Madelyne berharap Duncan membuka matanya agar ia dapat melihat reaksi pria itu. “Kini aku mengambil tanggung jawab untuk mengurus Adela. Akan tetapi, aku bertanya-tanya apakah selama ini kau tidak merencanakan itu.”

Madelyne mengernyitkan dahi karena gagasan tersebut lalu melanjutkan. “Saat ini seharusnya kau sudah mengakui kalau akulah orang yang tidak bersalah dalam rencana kotormu ini. Akulah yang diperlakukan dengan tidak adil. Bahkan, kalau aku memikirkan semua yang sudah kulalui...”

Dengkuran Duncan langsung menghentikan gadis itu. Madelyne mendadak sangat berang, sampai-sampai ia berharap memiliki keberanian untuk menjerit tepat ke telinga pria itu.

“Akulah yang seharusnya membencimu,” gumam Madelyne kepada diri sendiri. Ia merapikan gaunnya dan membaringkan diri. “Andai aku tidak punya rencana yang cukup bagus saat ini, aku pasti akan marah karena apa yang telah kau lakukan untuk menghancurkan nama baikku, Duncan. Aku tidak akan pernah bisa lagi menikah dengan pantas. Itu pasti, tapi aku akan mengakui bahwa Louddon-lah yang akan menjadi si pecundang, bukan aku. Dia tadinya akan menjualku kepada penawar tertinggi. Paling tidak itulah yang dia katakan padaku tentang apa yang akan dia lakukan. Kini dia hanya akan membunuhku kalau dia berada cukup dekat,” gerutunya. “Dan semua ini gara-gara kau,” imbuhnya dengan penuh semangat.

Madelyne kelelahan ketika sudah menyelesaikan keluhannya. “Bagaimana aku akan pernah bisa membuatmu menjanjikan apa pun kepadaku? Dan aku sudah berjanji kepada Adela yang malang,” imbuhnya seraya menguap lelah.

Kemudian Duncan bergerak. Madelyne terkejut. Ia hanya sempat membuka matanya sebelum Duncan membungkuk ke atasnya. Wajah Duncan dekat ke wajah Madelyne, napas pria itu hangat dan manis di pipinya. Salah satu paha Duncan yang berat memerangkap gadis itu.

Ya Tuhan, dirinya menelentang.

“Aku akan mencari cara untuk memberitahu Lady Eleanor-mu kalau kau mengambil keuntungan dariku,” sembur Madelyne.

Duncan memutar bola matanya ke atas. “Madelyne pikiranmu dipenuhi dengan aku yang akan mengambil...”

Madelyne menempelkan tangannya ke mulut pria itu dan menahannya di sana. “Jangan coba-coba mengatakannya,” balasnya. “Dan kenapa lagi kau menempel di atasku seperti selimut kalau kau tidak mau...”

Madelyne menandingi helaan napas pria itu dengan helaan napasnya sendiri. “Kau mencoba membuatku gila.”

“Kau memang sudah gila,” cetus Duncan.

“Menjauh dariku. Kau lebih berat daripada pintu-pintu di rumahmu.”

Duncan menggeser bobot tubuhnya sampai tubuh kekarnya ditahan oleh sikunya. Pangkal pahanya menempel di pangkal paha Madelyne. Ia bisa merasakan api di dalam diri gadis itu.

“Janji apa yang kau inginkan dariku?”

Madelyne tampak bingung dengan pertanyaan itu. “Adela,” Duncan mengingatkan gadis itu.

“Oh,” kata Madelyne, terdengar terengah-engah. “Aku bermaksud menunggu sampai besok untuk bicara padamu tentang Adela. Tapi aku tidak menyadari kau akan memaksaku tidur bersamamu. Dan aku berharap mendapatimu dalam suasana hati yang lebih baik...”

“Madelyne.” Bagian akhir dari nama gadis itu diucapkan dalam erangan panjang dan terkendali dan Madelyne tahu dari cara pria itu mengatupkan rahangnya bahwa kesabaran pria itu sudah habis.

“Aku ingin kau berjanji padaku bahwa Adela boleh tinggal di sini bersamamu selama yang dia inginkan, dan bahwa kau tidak akan memaksanya menikah, tidak peduli bagaimana pun situasinya. Nah, apakah itu cukup spesifik bagimu?”

Duncan mengernyit. “aku akan bicara dengan Adela besok,” ujarnya.

“Adikmu itu terlalu takut untuk bicara padamu dengan leluasa, tapi jika aku boleh memberitahunya bahwa kau sudah berjanji, maka aku yakin kau akan melihat perubahan yang luar biasa pada dirinya. Dia sangat cemas, duncan, dan kalau kita bisa meringankan bebannya, dia akan merasa jauh lebih baik.”

Duncan merasa ingin tersenyum. Madelyne telah mengambil peran ibu bagi Adela, persis seperti yang ia perkirakan. Ia amat sangat senang karena rencananya berhasil. “Baiklah. Katakan pada Adela bahwa aku sudah berjanji. Aku akan harus bicara dengan Gerald,” imbuhnya, hampir seperti sebuah renungan.

“Gerald hanya harus menemukan orang lain untuk dinikahi. Adela percaya kontrak pertunangan itu tidak mengikat lagi. Lagi pula, Gerald pasti menghendaki seorang wanita yang tak ternoda, dan itu membuatku sangat tidak menyukainya.”

“Kau bahkan belum pernah bertemu dengan pria itu,” kata duncan dengan jengkel. “Bagaimana kau bisa menghakiminya dengan begitu gampang?”

Madelyne mengernyitkan dahi. Duncan benar, meskipun menyakitkan rasanya mengakui hal itu kepada pria itu. “Apakah Gerald mengetahui segalanya yang terjadi pada Adela?”

“Pada saat ini, seluruh Inggris sudah tahu. Louddon sudah tentu akan memastikannya.”

“Kakakku adalah pria yang jahat.”

“Apakah Paman Berton-mu berpendapat sama mengenai Louddon?” tanya Duncan.

“Bagaimana kau tahu nama pamanku?” tanya Madelyne.

“Kau yang memberitahuku,” jawab Duncan, tersenyum melihat cara mata gadis itu membelalak.

“Kapan? Aku punya ingatan yang sangat bagus dan aku tidaik ingat pernah menyebutkannya.”

“Sewaktu kau sakit, kau memberitahuku segalanya tentang pamanmu.”

“Kalau memang aku bicara padamu waktu itu, aku tidak ingat. Kau sungguh tidak sopan karena sudah mendengarkan apa pun yang kukatakan.”

“Mustahil untuk memblokir suaramu saat itu,” kata Duncan pada Madelyne, tersenyum lebar mengingat peristiwa itu. “Kau meneriakkan apa pun yang kau ucapkan.”

Duncan melebih-lebihkan, hanya untuk meningkatkan reaksi gadis itu. Ketika Madelyne tidak waspada, ekspresinya sungguh sangat menyegarkan untuk dilihat. “Katakan padaku apa lagi yang kuucapkan,” desak Madelyne. Nada suaranya terdengar penasaran.

“Daftarnya terlalu panjang. Cukuplah kalau kukatakan kau memberitahuku segalanya.”

“Segalanya?” Gadis itu terlihat ngeri sekarang.

Ya Tuhan, Madelyne merasa malu. Bagaimana kalau ia telah memberitahu pria itu betapa ia menyukai Duncan menciumnya?

Ada percikan di mata duncan. Barangkali pria itu hanya menggodanya. Itu tidak bisa diterima. Madelyne memutuskan untuk menghapus senyum itu. “Kalau begitu, aku telah memberitahumu semua nama pria yang kubawa ke tempat tidurku, ya kan? Permainan ini sudah berakhir, kurasa,” pungkasnya sambil menghela napas.

“Permainanmu berakhir pada saat kita bertemu,” kata duncan pada Madelyne. Suaranya lembut.

Madelyne merasa seakan-akan ia baru saja dibelai. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. “Dan apa artinya itu?”

Duncan tersenyum. “Kau terlalu banyak bicara,” kata Duncan pada gadis itu. “Satu lagi kekurangan yang harus kau ubah.”

“Itu konyol,” timpal Madelyne. “Aku hanya bicara sedikit denganmu sepanjang minggu ini dan kau tidak mengacuhkanku sama sekali. Bagaimana kau bisa menuduh aku terlalu banyak bicara?” tanyanya, ia berani menusuk pundak pria itu.

“aku tidak menuduhkan apa pun, aku menyatakan fakta,” jawab Duncan. Ia mengamati gadis itu lekat-lekat, melihat kilatan api di mata birunya.

Memancing gadis itu adalah perkara yang mudah. Duncan tahu ia harus berhenti, tapi ia betul-betul menikmati cara gadis itu merespons. Ia tidak akan menemukan bahaya dalam hal ini. Gadis itu mendadak saja menjadi segarang penyihir.

“apakah kau tidak senang kalau aku mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku?”

Duncan mengangguk.

Menurut Madelyne, pria itu terlihat benar-benar jail saat ini. Segumpal rambut gelap jatuh ke depan dan menempel di kening Duncan. Pria itu juga tersenyum lebar. Bahkan, senyum itu cukup untuk membuat seorang santo mengumpat. “Kalau begitu aku akan berhenti bicara padamu saja. Aku bersumpah aku tidak akan pernah bicara lagi padamu. Apakah itu membuatmu senang?”

Duncan mengangguk lagi, meskipun jau lebih pelan kali ini. Madelyne manarik napas dalam-dalam, bersiap untuk memberitahukan pendapatnya kepada Duncan mengenai sikap tidak sopan pria itu, tapi duncan mendiamkannya. Pria itu merendahkan kepalanya dan menyapukan mulutnya di mulut Madelyne, membuat gadis itu terkejut hingga terdiam sejenak.

Hampir tanpa dibimbing, Madelyne membuka mulutnya untuk lidah mendesak pria itu. Dan Duncan memulai percintaan yang lambat dengan gadis itu menggunakan lidahnya. Oh Tuhan, ia bisa merasakan api di dalam diri gadis itu. Tangannya terentang lebar di sisi wajah Madelyne, jemarinya terjerat di rambut indah gadis itu.

Betapa Duncan sangat menginginkan gadis itu. Ciuman tersebut dengan cepat berubah dari belaian lembut menjadi gairah liar. Lidah mereka menyatu lagi dan lagi hingga Duncan nyaris gila karena menginginkan lebih. Ia tahu ia harus berhenti dan baru saja hendak menarik dirinya, ketika ia merasakan kedua tangan Madelyne menyentuh punggungnya. Belaian itu lembut serta ragu-ragu dan awalnya selincah seekor kupu-kupu, namun ketika Duncan menggeram dan menyelam lagi ke dalam manisnya mulut gadis itu, belaian tersebut semakin menekan. Mulut mereka panas, basah, dan melekat.

Duncan merasakan getaran menjalar di tubuh Madelyne, mendengar erangan parau Madelyne terlepas ketika Duncan dengan enggan menjauhkan dirinya dari gadis itu.

Mata Madelyne dipenuhi kabut gairah dan bibirnya, merah dan bengkak, memanggil Duncan untuk mencicipinya lagi. Duncand tahu tidak seharusnya ia memulai apa yang tidak bisa ia selesaikan. Pangkal pahanya berdenyut-denyut dengan kebutuhan dan diperlukan tekad yang luar biasa untuk menjauh dari gadis itu.

Sembari sekali lagi mengerang frustrasi. Duncan berguling menyamping. Ia melingkarkan lengannya ke pinggang Madelyne dan menarik gadis itu ke tubuhnya.

Madelyne ingin menangis. Ia tidak dapat mengerti mengapa ia terus membiarkan pria itu menciumnya. Yang lebih penting lagi, ia tampaknya tidak mampu menghentikan dirinya sendiri untuk mencium pria itu. Ia sama jalangnya dengan wanita tak bermoral.

Yang perlu Duncan lakukan hanyalah menyentuhnya dan Madelyne lepas kendali. Jantung Madelyne berpacu, telapak tangannya berubah panas, dan ia dipenuhi dengan hasrat tiada akhir untuk mendapatkan lebih banyak lagi.

Madelyne mendengar Duncan menguap dan menyimpulkan bahwa ciuman tadi sama sekali tidak berarti banyak bagi pria itu.

Duncan membuat Madelyne jengkel seperti sebuah ruam. Madelyne bertekad untuk menjaga jarak dari pria itu bahkan pada saat mengingkari keputusannya itu dengan cara menyesuaikan dirinya pada lekukan tubuh Duncan. Saat Madelyne hampir memosisikan tubuhnya sesuai dengan keinginannya, duncan mengeluarkan erangan kasar. Kedua tangan Duncan berpindah ke pinggul Madelyne dan ia memegangi gadis itu erat-erat.

Pria itu sungguh keras kepala! Tidakkah Duncan sadar betapa canggungnya Madelyne tidur dengan mengenakan gaun jala-jalanya? Madelyne bergerak lagi, merasakan Duncan gemetar, lalu berpikir kalau pria itu mungkin sedang bersiap-siap untuk membentaknya.

Madelyne terlalu letih untuk mencemaskan kemarahan pria itu. Seraya menguap, ia jatuh tertidur.

Ini, tanpa diragukan lagi, adalah tantangan Duncan yang paling sulit. Dan jika gadis itu menggerakkan bokongnya sekali lagi saja, duncan tahu ia akan gagal dalam ujian ini.

Duncan tidak pernah menginginkan seorang wanita seperti ia menginginkan Madelyne. Ia memejamkan mata dan menarik napa yang dalam dan kasar. Madelyne bergerak-gerak di tubuh Duncan lagi, dan ia mulai menghitung sampai sepuluh, berjanji kepada dirinya sendiri bahwa saat ia mencapai angka ajaib itu, ia akan lebih terkendali.

Si gadis lugu yang berbaring di dekat tubuh Duncan itu betul=-b etul tidak tahu tentang bahaya dirinya sendiri. Bokong gadis itu sudah membuat Duncan tidak bisa berpikir sepanjang minggu ini. Ia membayangkan cara gadis itu berjalan, melihat lagi goyangan lembut pinggulnya ketika gadis itu jalan-jalan di sekitar benteng.

Apakah gadis itu memengaruhi pria lainnya seperti ia memengaruhi dirinya? Duncan mengernyitkan dahi karena pertanyaan itu, mengakui kalau gadis itu pasti memengaruhi mereka juga. Aye, Duncan sudah melihat tatapan prajuritnya yang dilontarkan kepada Madelyne ketika perhatian gadis itu tertuju ke tempat lain. Bahkan Anthony yang setia, bawahannya yang paling tepercaya dan teman terdekatnya, telah mengubah sikapnya terhadap Madelyne. Pada awal minggu Anthony membisu dan jadi senang mengernyit, namun pada akhir minggu Duncan memperhatikan kalau bawahannya itulah yang biasanya bicara. Dan Anthony juga tidak mengekor di belakang Madelyne lagi. Nay, Bawahannya itu selalu berada tepat di sisi Madelyne.

Tepat di tempat Duncan ingin berada.

Duncan tidak dapat menyalahkan Anthony karena kelemahan pria itu sehingga jatuh ke dalam pesona Madelyne.

Gilard, akan tetapi, merupakan hal yang sama sekali berbeda. Tampaknya si bungsu itu terpikat kepada Madelyne. Itu bisa menimbulkan masalah.

Gadis itu mulai menggeliat lagi. Duncan merasa seolah-olah dirinya baru saja dicap. Kerinduan yang menyakitkan menyita perhatiannya. Sembari menggeram frustrasi, ia melemparkan selimut dan bangun dari tempat tidur. Walaupun Madelyne terguncang karena gerakan mendadak tersebut, ia tidak terbangun. “Tidur seperti bayi yang tidak berdosa,” gerutu Duncan pada dirinya sendiri sambil berjalan menuju pintu.

Duncan kembali ke danaunya dan sadar sambil menggeleng kuat-kuat bahwa ia akan mendapatkan kesenangan yang sesungguhnya dalam renangnya yang kedua ini.

Duncan bukan pria yang pen yabar. Walaupun demikian, ia ingin masalah-masalah ini diselesaikan sebelum mengklaim Madelyne untuk dirinya sendiri. Dengan enggan ia menerima fakta kalau ia barangkali akan lebih sering berenang di danaunya. Kini, bukan tantangan yang membuatnya keluar dari kastil, melainkan pelepasan dari api yang membakar di pangkal pahanya.

Sembari menggerutu jijik, duncan menutup pintu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar