Bab
11
“Yang
terbaik adalah mereka yang dilatih dalam disiplin yang sangat keras”
-KING
ARCHIDAMUS II DARI SPARTA
Madelyne
tidak ingin seorang pun memergoki dirinya sedang menangis. Ketika ia
meninggalkan Adela tadi, ia benar-benar tidak memiliki tujuan yang jelas dalam
pikirannya. Ia hanya ingin menemukan sebuah tempat yang sepi di mana ia bisa
mengatur emosinya.
Aula
besar adalah pilihan pertamanya, namun ketika mendekati pintu masuk aula, ia
mendengar Gilard sedang berbicara dengan seseorang. Madelyne terus berjalan,
menuruni anak-anak tangga yang selanjutnya, mengambil jubah musim dingin dari
sangkutan yang berdekatan dengan menara utama prajurit, dan kemudian berjuang
untuk membuka pintu-pintu yang berat sampai cukup untuk menyelipkan tubuhnya
keluar.
Udara
cukup dingin untuk membuat beruang menggigil. Madelyne menarik jubahnya ke
pundaknya dan berjalan cepat-cepat. Bulan memberikan penerangan yang cukup
baginya untuk berjalan, dan saat ia sudah mengitari pondok tukang daging, ia
bersandar ke tembok batu benteng dan mulai menangis seperti bayi. Ia menangis
dengan kencang, tidak terkendali, juga patut disesalkan, sebab ia tidak merasa
lebih baik sedikit pun setelahnya. Kepalanya sakit, pipinya perih, dan ia
cegukan hebat.
Amarahnya
tidak mau pergi.
Begitu
Adela memulai kisahnya, ia menceritakan setiap potongan dari kejadian tersebut.
Madelyne tidak memperlihatkan reaksi apa pun terhadap horor tersebut, namun
hatinya terasa nyaris meledak karena rasa sakit. Morcar! Keparat itu sama
bersalahnya seperti Louddon, namun tak seorang pun yang akan pernah mengetahui
keterlibatannya.
“Apa
yang kau lakukan di sini?”
Madelyne
terkesiap. Duncan membuat gadis itu kaget setengah mati, muncul entah dari mana
dan berdiri di sampingnya.
Madelyne
mencoba memunggungi pria itu. Duncan tidak membiarkannya. Ia meraih dagu
Madelyne dan memaksa gadis itu mendongak untuk memandangnya.
Duncan
pasti buta kalau tidak menyadari Madelyne sedang menangis. Madelyne bermaksud
memberika sebuah alasan singkat kepada Duncan, tapi pada saat pria itu
menyentuhnya, Madelyne mulai menangis lagi.
Duncan
menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Ia tampaknya senang memeluk Madelyne
sampai gadis itu mendapatkan kembali dirinya lagi. Ia jelas baru selesai
berenang, sebab ia meneteskan air dari kepala hingga pinggang. Madelyne juga
tidak membantu pria itu mengeringkan tubuhnya; gadis itu menangis, terengah,
dan cegukan di seluruh ikal bulu lembut yang menutupi dada Duncan.
“Kau
akan mati membeku karena berjalan ke mana-mana dalam keadaan setengah
telanjang,” kata Madelyne pada pria itu di tengah isakan. “Dan aku tidak akan
menghangatkan kakimu lagi kali ini.”
Kalaupun
Duncan menjawabnya, Madelyne tidak mendengar. Wajahnya ditekankan ke pundak
pria itu. Ia juga sedang membelai dada pria itu. Duncan rasa Madelyne bahkan
tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan, atau memahami apa efek yang ia timbulkan
terhadap dirinya.
Tiba-tiba
Madelyne mencoba menjauh dari Duncan. Ia membentur dagu pria itu, menggumamkan
permintaan maaf, mengingat dengan terlalu jelas tentang bagaimana rasa Duncan
ketika ia terang-terangan menciumnya di tenda pada malam itu.
Madelyne
ingin mencium pria itu lagi.
Duncan
pasti membaca niat Madelyne, sebab ia perlahan-lahan merendahkan mulutnya ke
mulut gadis itu.
Duncan
hanya bermaksud memberi gadis itu sebuah ciuman lembut. Aye, ia bermaksud untuk menghibur gadis itu, namun lengan Madelyne
melingkari lehernya dan mulut gadis itu langsung membuka untuk Duncan. Lidah
Duncan mengambil keuntungan, bersatu dengan lidah gadis itu.
Oh
Tuhan, gadis itu hebat. Ia bisa membuat Duncan sangat panas dengan sangat
cepat. Ia juga tidak membiarkan Duncan bersikap lembut padanya. Suara yang
Madelyne buat, jauh di dasar tenggorokannya, menyingkirkan pikiran-pikiran
Duncan untuk menghibur gadis itu.
Duncan
merasakan gadis itu gemetar, dan baru pada saat itulah ia teringat sedang
berada di mana mereka. Dengan enggan ia menarik diri dari Madelyne, meskipun ia
sepenuhnya mengharapkan gadis itu mendebatnya. Ia harus mencium gadis itu lagi,
putus Duncan, kemudian maju dan mencium Madelyne sebelum wanita yang lembut dan
sensual itu sempat bertanya.
Duncan
membuat Madelyne terbakar. Madelyne merasa tidak punya kekuatan untuk berhenti,
sampai tangan pria itu menyapu sisi payudaranya. Rasanya menakjubkan, dan
ketika ia menyadari seberapa banyak lagi yang ia inginkan, ia menarik diri dari
pria itu.
“Sebaiknya
kau masuk ke dalam sebelum kau berubah menjadi sebalok es,” ujar Madelyne.
Suaranya terdengar parau.
Duncan
mendesah. Madelyne melakukan hal itu lagi, mencoba memerintah pria itu. Duncan
mengangkat Madelyne dalam pelukannya, tidak mengacuhkan protes gadis itu, dan
mulai melangkah menuju kastil. “Apakah Adela berbica denganmu mengenai apa yang
telah terjadi pada dirinya?” tanya Duncan ketika pikirannya bisa fokus lagi.
“Benar,”
jawab Madelyne. “Tapi aku tidak akan menceritakannya kembali sepatah kata pun,
tak peduli seperti apa pun kau bersikeras. Kau bisa menyiksaku kalau mau, tapi
aku akan...”
“Madelyne.”
Helaan napas Duncan yang panjang dan lama menghentikannya.
“Aku
berjanji kepada Adela untuk tidak mengatakan apa pun kepada siapa pun, terutama
kau. Adikmu itu takut padamu, Duncan. Itu keadaan buruk yang mengkhawatirkan,
sungguh,” imbuh Madelyne.
Madelyne
mengira pernyataannya itu akan membuat Duncan marah dan terkejut ketika pria
itu mengangguk. “Memang begitulah seharusnya,” kata Duncan, mengangkat bahu.
“Aku adalah seorang lord sekaligus seorang kakak dan yang pertama harus lebih
diutamakan daripada yang kedua.”
“Bukan
seperti itu seharusnya,” bantah Madelyne. “Sebuah keluarga seharusnya dekat.
Mereka harus makan bersama dan tidak pernah bertengkar dengan satu sama lain.
Mereka harus...”
“Bagaimana
kau bisa tahu apa yang harus dan tidak harus dilakukan oleh sebuah keluarga?
Kau tinggal dengan pamanmu,” ujar Duncan menggeleng jengkel.
“Well, aku tetap tahu bagaimana
seharusnya sebuah keluarga bersikap,” bantah Madelyne.
“Madelyne,
jangan mempertanyakan metode-metodeku,” kata Duncan dalam geraman rendah.
“Kenapa kau menangis tadi?” tanyanya, mengubah topik pembicaraan dengan cepat.
“Karena
apa yang kakakku telah lakukan kepada Adela,” bisik Madelyne. Ia menyandarkan
wajahnya di bahu Duncan. “Kakakku akan terbakar di neraka untuk
selama-lamanya.”
“Aye,” jawab Duncan.
“Dia
pria yang perlu dibunuh. Aku tidak menyalahkanmu karena ingin membunuhnya,
Duncan.”
Duncan
menggeleng. “Apakah dengan tidak menyalahkanku membuatmu merasa lebih baik?”
tanyanya.
Madelyne
pikir ia mendengar rasa terhibur dalam suara pria itu. “Aku telah mengubah
pandanganku tentang membunuh. Aku tadi sedang menangis kehilangan itu,”
bisiknya. “Dan untuk apa yang harus aku lakukan.”
Duncan
mengunggu Madelyne untuk menjelaskan. Mereka sampai di pintu kastil. Duncan
menarik salah satu pintu tersebut tanpa menurunkan Madelyne. Kekuatan pria itu
lagi-lagi membuat Madelyne takjub. Dibutuhkan seluruh tekad Madelyne, serta
kedua tangannya, untuk mendorong salah satu pintu tersebut hingga terbuka cukup
baginya untuk menyelinap tanpa membuat punggungnya tersangkut, namun Duncan
tidak tampak bersusah payah sama sekali.
“Apa
yang harus kau lakukan?” tanya Duncan, tidak dapat menahan rasa penasarannya.
“Aku
harus membunuh seorang pria.”
Pintu
terhempas menutup tepat ketika Madelyne membisikkan pengakuannya. Duncan tidak
yakin ia mendengar gadis itu dengan benar. Duncan memutuskan bahwa ia cukup
sabar untuk menunggu hingga mereka sampai di kamar tidurnya sebelum menanyai
gadis itu lebih lanjut.
Duncan
menggendong Madelyne menaiki tangga, tidak mengacuhkan gadis itu yang memprotes
bahwa ia mampu berjalan sendiri, tidak berhenti ketika mereka sampai di aula,
namun terus melangkah, naik ke tingkat selanjutnya. Madelyne mengira pria itu
membawanya kembali ke kamar menara. Saat mereka sampai di mulut menara bundar
tersebut, Duncan berbelok ke arah yang berlawanan dan terus berjalan ke sebuah
koridor gelap. Keadaan terlalu gelap untuk melihat menuju ke mana koridor
tersebut.
Madelyne
sangat penasaran, sebab ia bahkan tidak pernah menyadari lorong sempit itu.
Mereka sampai di ujung koridor. Duncan membuka sebuah pintu dan membawa
Madelyne masuk. Ruangan tersebut pasti kamar tidur Duncan, Madelyne menyadari,
bahkan ketika ia berpendapat bahwa pria itu baik sekali karena memberikan kamar
tidurnya kepada Madelyne untuk malam ini.
Kamar
tidur itu terasa hangat dan nyaman. Api berkobar di perapian, memberikan
kehangatan dan kilau yang lembut ke ruangan yang juga sangat sederhana itu.
Sebuah jendela tunggal ditempatkan di tengah-tengah dinding seberang, tertutup
selembar kulit binatang sebagai pengganti daun jendela. Sebuah tenpat tidur
yang lebar memenuhi sebagian besar dinding batu yang berdekatan dengan
perapian, dengan sebuah peti di sampingnya.
Tempat
tidur dan peti tersebut satu-satunya perabot yang ada di kamar itu. Akan
tetapi, kamar tersebut bersih, hampir tak bernoda. Fakta tersebut membuat
Madelyne tersenyum. Ia tidak tahu mengapa itu membuatnya senang, tapi ia
gembira karena Duncan tidak menyukai kekacauan sama seperti dirinya.
Lalu
mengapa pria itu membiarkan aula utama menjadi begitu tak terurus? Itu tidak
masuk akal bagi Madelyne, sekarang setelah melihat kamar pria itu. Masalah itu
segera setelah ia mendapati pria itu dalam keadaan suasana hati yang bagus.
Kemudian Madelyne tersenyum, sebab ia sadar kemungkinan besar ia sudah menjadi
wanita tua sebelum Duncan mencapai perubahan watak yang luar biasa seperti itu.
Duncan
tampaknya tidak terburu-buru untuk melepaskan Madelyne. Pria itu berjalan
menuju perapian, menyandarkan bahunya ke tepi rak tebal di atas perapian, dan
mulai menggesek-gesekkan punggungnya bolak-balik, jelas sekali sedang meredakan
gatal yang mendadak muncul. Madelyne berpegangan pada pria itu erat-erat. Oh
Tuhan, ia berharap Ducan mengenakan kemeja. Ini tidak pantas, pikir Madelyne,
sebab ia terlalu suka menyentuh kulit pria itu. Duncan bagaikan seorang dewa
berkulit keemasan. Kulitnya terasa hangat, dan dengan telapak tangan Madelyne
yang menempel di pundak pria itu, ia bisa merasakan riak otot-otot yang
bergerak-gerak di bawah ujung jemarinya.
Madelyne
berharap dapat memahami reaksinya terhadap pria itu. Oh, jantungnya berpacu
liar lagi. Ia memberanika diri untuk melirik cepat dan mendapati Duncan sedang
menatapnya dengan intens. Pria itu terlihat sangat tampan. Madelyne ingin pria
itu menjadi jelek. “Apa kau akan memelukku sepanjang malam?” tanyanya,
terdengar sangat sebal.
Duncan
mengangkat bahu, hampir saja menjatuhkan Madelyne. Ia mencengkram Duncan lagi,
dan ketika pria itu tersenyum kepadanya, Madelyne sadar pria itu mungkin
mengguncangnya hanya untuk membuatnya berpegangan.
“Jawab
dulu pertanyaanku, baru aku akan melepaskanmu,” perintah Duncan.
“Aku
akan menjawab pertanyaanmu,” kata Madelyne pada pria itu.
“Apakah
kau mengatakan padaku bahwa kau berencana untuk membunuh seorang pria?”
“Benar.”
Madelyne menatap dagu Duncan ketika menjawab.
Madelyne
menunggu Duncan mengomentari pengakuannya selama semenit yang panjang. Ia
menduga pria itu mungkin akan menguliahinya tentang kelemahannya untuk membunuh
siapa pun.
Madelyne,
bagaimanapun, betul-betul terkejut karena pria itu tertawa. Tawa tersebut
awalnya berupa gemuruh rendah di dalam dada Duncan, tapi dengan cepat menjadi
semakin keras, sampai pria itu hampir tersedak karena tertawa terbahk-bahak.
Ternyata
Duncan mendengarnya dengan benar. Madelyne memang mengatakan kepada pria itu
bahwa dirinya akan membunuh. Awalnya pernyataan tersebut sangat mencengangkan,
sehingga Duncan yakin gadis itu sedang bergurau. Namun ekspresi serius di wajah
Madelyne menandakan bahwa ia sungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan.
Reaksi
Duncan tidak terlalu membuat gadis itu senang. Semoga Tuhan menolongnya, Duncan
tidak mampu berhenti tertawa. Ia membiarkan Madelyne meluncur turun dari
pelukannya namun tetap meletakkan tangannya di bahu Madelyne agar gadis itu
tidak melompat kabur. “Dan siapakah pria tidak beruntung yang rencananya akan
kau bunuh?” akhirnya ia berhasil bertanya. “Salah satu dari kami para Wexton
mungkin?”
Madelyne
menjauh dari pria itu. “Tentu saja bukan seorang Wexton, walaupun kalau aku
boleh jujur padamu, andai aku memiliki jiwa yang jahat, kau akan menjadi yang
pertama dalam daftar orang-orang yang akan kuhabisi, Milord.”
“Ah,”
timpal Duncan, masih tersenyum. “Kalau bukan salah seorang dari kami , Lady-ku
yang manis dan lembut, lalu siapakah yang hendak kau ‘habisi’?” tanyanya,
menggunakan ungkapan konyol Madelyne untuk mengekspresikan keinginannya untuk
membunuh.
“Aye, itu benar, Duncan. Aku adalah
seorang gadis yang sangat manis dan lembut dan sudah waktunya kau memahami
itu,” jawab Madelyne. Suaranya tidak terdengar terlalu manis sekarang.
Madelyne
menghampiri tempat tidur dan duduk di tepinya. Ia menghabiskan waktu yang lama
untuk merapikan roknya dan kemudian melipat kedua tangan di pangkuannya. Ia
betul-betul terkejut ia mampu berbicara dengan begitu mudah tentang mengambil
nyawa orang lain. Tapi, pria yang ada di dalam pikirannya memang perlu dibunuh,
ya kan?
“Kau
tidak akan mendapatkan namanya dariku, Duncan. Ini urusanku sendiri, bukan
urusanmu.”
Duncan
tidak setuju, namun memutuskan untuk menunggu sebelum ia mengetahui
kebenarannya.
“Dan
saat kau membunuh pria ini, Madelyne, apa kau akan memuntahkan makanan dari
perutmu lagi?”
Gadis
itu tidak menjawab. Duncan mengira gadis itu mungkin telah menyadari betapa
bodoh rencananya itu. “Dan apa kau akan menangis juga?” tanya Duncan kepada
gadis itu, mengingatkan kembali reaksi Madelyne setelah membunuh prajurit yang
menyerang Gilard.
“Aku
akan mengingat untuk tidak memakan apa pun sebelum aku membunuhnya, Duncan,
sehingga aku tidak akan mual, dan jika aku menangis setelah aku melakukannya,
maka aku hanya akan mencari sebuah tempat pribadi sehingga tak seorang pun yang
akan melihatku. Apakah penjelasan itu cukup untukmu?”
Madelyne
menarik napas dalam-dalam, mati-matian mencoba untuk menjaga ekspresinya tetap
terkendali. Oh Tuhan, ia sudah merasa seperti seorang pendosa. “Kematian tidak
boleh dianggap sepele,” katanya kemudian. ”Namun keadilan juga tidak seharusnya
dicurangi.”
Duncan
mulai tertawa lagi. Itu membuat Madelyne berang. “Aku mau tidur sekarang, jadi
silahkan pergi.”
“Apa
kau bermaksud menyuruhku pergi dari kamar tidurku sendiri?” tanya Duncan.
Duncan
tidak tertawa lagi sekarang, dan Madelyne tidak berani memandang pria itu.
“Benar,”
ujar Madelyne mengakui. “Kalau aku bersikap tidak sopan, aku minta maaf. Tapi
kau tahu aku tidak berbohong. Kau baik sekali karena bersedia memberika tempat
tidurmu untuk semalam ini. Aku benar-benar menghargainya. Dan aku akan kembali
ke menara besok, setelah kamar Adela disikat.”
Madelyne
terengah-engah setelah menyelesaikan penjelasannya.
“Kejujuranmu
itu menyegarkan.”
“Kejujuranku
membuatku terlibat dalam masalah.” Madelyne mendesah. Ia terus menunduk menatap
kedua tangannya, berharap Duncan akan bergegas pergi. Kemudian ia mendengar
suara gedebuk lembut. Suara tersebut menarik perhatiannya, dan ketika ia
melirik, ia melihat tepat pada waktunya untuk menyaksikan Duncan menanggalkan
sepatu botnya yang sebelah lagi dan menjatuhkan sepatu itu ke lantai.
“Sungguh
tidak pantas berdiri di hadapanku tanpa mengenakan kemejamu,” ucap Madelyne.
“Dan sekarang kau menanggalkan sisa pakaianmu sebelum kau pergi? Apakah kau
berparade di sekitar Lady Eleanor seperti ini?”
Madelyne
bisa merasakan dirinya merona. Ia bertekad untuk tidak mengacuhkan Duncan.
Kalau pria itu ingin jalan-jalan dalam keadaan setengah telanjang, maka
Madelyne hanya akan memejamkan matanya. Dan pria itu juga tidak akan
mendapatkan ucapan selamat malam darinya.
Madelyne
agak terlambat menangkap maksud Duncan. Ia terus mengawasi peria itu dari sudut
matanya. Duncan berlutut di depan perapian, menambahkan sebatang kayu tebal
lagi. Madelyne hampir berterima kasih kepada pria itu atas kebaikannya itu,
sampai ia ingat kalau ia berniat mengabaikan Duncan. Ya Tuhan, pria itu
benar-benar membuatnya kehilangan alur pikirannya, iya kan?
Duncan
berdiri dan berjalan ke arah pintu. Sebelum Madelyne tahu apa yang hendak
dilakukannya. Pria itu mendorong selot kayu yang tebal ke bulatan baja.
Mata
Madelyne melebar karena tercengang. Madelyne terkunci di dalam kamar tidur itu,
namun masalah yang sebenarnya, seperti yang ia lihat, adalah bahwa Duncan
berada di sisi pintu yang salah. Dan bahkan seorang lady keturunan baik-baik
tidak mungkin salah mengartikan tindakan itu.
Madelyne
terkesiap marah, bangkit dari tempat tidur, dan berlari menuju pintu. Niatnya
tak tergoyahkan. Ia akan keluar dari kamar ini dan menjauh dari Duncan.
Duncan
mengawasi gadis itu berjuang membuka gerendel pintu sebentar. Ketika ia sudah
yakin gadis itu tidak akan bisa menemukan kunci yang tidak biasa di bawah
palang pintu, ia melangkah ke tempat tidur. Ia memutuskan untuk tetap mengenakan
celananya untuk menghormati perasaan Madelyne. Gadis itu terlihat nyaris
kehilangan kendali dirinya lagi.
“Naiklah
ke tempat tidur, Madelyne,” desak Duncan sementara ia merenggangkan tubuhnya di
atas selimut.
“Aku
tidak akan tidur di sampingmu,” gagap Madelyne.
“Kita
sudah pernah tidur bersama...”
“Hanya
sekali, di tenda itu, Duncan, dan itu karena diperlukan. Kita saling berbagi
kehangatan.”
“Nay, Madelyne, aku tidur di sisimu
setiap malam sejak saat itu,” Duncan memberitahu.
Madelyne
berbalik untuk melotot pada Duncan. “Kau tidak melakukannya!”
“Aye, aku melakukannya.”
Duncan
sedang tersenyum kepadanya. “Bagaimana bisa kau berbohong dengan begitu
mudahnya?” tuntut Madelyne.
Gadis
itu tidaik memberi Duncan kesempatan untuk menjawab, namun berbalik lagi dan
mulai mencoba membuka gerendel itu lagi.
Sepotong
kecil kayu menusuk di bawah kulit lembut ibu jarinya adalah imbalan untuk usaha
Madelyne tersebut. Ia menjerit marah. “Dan sekarang aku mendapatkan kayu sialan
ini di bawah kulitku, berkat kau,” gerutunya sambil menundukkan kepala untuk
melihat lukanya.
Duncan
menghela napas. Madelyne mendengar suara yang dilebih-lebihkan itu melintasi
ruangan tersebut, namun ia tidak mendengar pria itu bergerak, dan ketika Duncan
tiba-tiba menyambar tangannya, gadis itu terlonjak mundur, membenturkan puncak
kepalanya di bagian bawab dagu Duncan. “Kau bergerak persis seperti serigala,”
cetusnya saat ia membiarkan Duncan menariknya menuju cahaya dari api. “Aku
bukan sedang memujimu, Duncan, jadi kau bisa berhenti tersenyum.”
Duncan
tidak menghiraukan gerutuan-gerutuan gadis itu. Ia menjangkau ke atas rak di
atas perapian dan mengambil sebuah belati yang tajam dan hampir seruncing
jarum. Madelyne memejamkan matanya sampai ia merasakan tusukan pertama. Lalu ia
harus membuka matanya, sebab jika ia tidak mengawasi Duncan, pria itu bisa saja
memotong habis ibu jarinya. Madelyne mencondongkan tubuhnya hingga secara tak
sengaja menghalangi pandangan Duncan dari ibu jarinya.
Duncan
menarik tangan gadis itu ke atas untuk mendapatkan penerangan yang lebih baik.
Ia menundukkan kepalanya untuk menyelesaikan tugas itu. Kening Madelyne
menyentuh kening Duncan. Ia tidak menjauh, begitu pula pria itu.
Duncan
berbau wangi.
Madelyne
berbau seperti mawar lagi.
Serpihan
kayu itu sudah dikeluarkan. Madelyne tidak mengucapkan apa-apa kepada Duncan,
namun ia mendongak menatap pria itu dengan ekspresi yang begitu lugu di
wajahnya. Duncan mengernyit frustrasi. Saat Madelyne memandangnya seperti itu,
yang dapat duncan pikirkan hanyalah menarik gadis itu ke dalam pelukan dan
menciumnya. Sial, ia mengakui dengan jijik, yang perlu dilakukan gadis itu
hanyalah memandangnya dan Duncan ingin menidurinya.
Duncan
melemparkan kembali belatinya ke atas rak dan kemudian kembali ke tempat tidur.
Ia tidak melepaskan tangan Madelyne dan menyeret gadis itu di belakangnya.
“Bahkan tidak bisa mengeluarkan serpihan kayu dan kau berniat untuk membunuh
seorang pria,” gumamnya.
“Aku
tidak akan tidur bersamamu,” ucap Madelyne dengan sangat tegas. Ia berdiri di
samping tempat tidur, bertekad untuk menang. “Kau adalah pria yang paling
arogan, paling keras kepala. Kesabaranku sudah menipis seperti air. Aku tidak
akan menoleransi yang lebih dari ini.”
Madelyne
menyadari kekeliruannya adalah berada terlalu dekat dengan Duncan ketika
meneriakkan ancaman itu. Pria itu menjangkau dan secara harafiah mengangkat
Madelyne ke atasnya. Gadis itu mendarat dengan keras. Duncan menarik Madelyne
ke sisinya, tangannya masih terkunci di pergelangan tangan gadis itu.
Duncan
memejamkan matanya, jelas-jelas mencoba mengabaikan gadis itu. Madelyne
menghadapinya.
“Kau
terlalu membenciku untuk tidur di sampingku. Kau berbohong, kan, Duncan? Kita
tidak tidur bersama. Aku pasti mengingatnya.”
“Kau
bisa tetap tidur saat perang,” ujar Duncan. Matanya masih terpejam, namu ia
tersenyum. “Dan aku tidak membencimu, Madelyne.”
“Kau
pasti sungguh-sungguh membenciku,” tukas Madelyne. “Jangan berani-berani
mengubah pikiranmu sekarang.”
Madelyne
menunggu Duncan untuk menjawabnya beberapa lama. Ketika pria itu tidak
mengatakan apa-apa, Madelyne memulai lagi. “Sebuah perbuatan yang patut di
sesalkan yang membuat kita bersama. Aku menyelamatkan nyawamu. Dan apa
balasannya untukku? Oh, kau menyeretku ke tempat terkutuk ini, dan terus menerus
menyalahgunakan sifat baikku, kalau boleh kutambahkan. Aku mendoga kau juga
dengan mudah telah melupakan tentang aku yang telah menyelamatkan nyawa
Gilard.”
Oh
Tuhan, Madelyne berharap Duncan membuka matanya agar ia dapat melihat reaksi
pria itu. “Kini aku mengambil tanggung jawab untuk mengurus Adela. Akan tetapi,
aku bertanya-tanya apakah selama ini kau tidak merencanakan itu.”
Madelyne
mengernyitkan dahi karena gagasan tersebut lalu melanjutkan. “Saat ini
seharusnya kau sudah mengakui kalau akulah orang yang tidak bersalah dalam
rencana kotormu ini. Akulah yang diperlakukan dengan tidak adil. Bahkan, kalau
aku memikirkan semua yang sudah kulalui...”
Dengkuran
Duncan langsung menghentikan gadis itu. Madelyne mendadak sangat berang,
sampai-sampai ia berharap memiliki keberanian untuk menjerit tepat ke telinga
pria itu.
“Akulah
yang seharusnya membencimu,” gumam Madelyne kepada diri sendiri. Ia merapikan
gaunnya dan membaringkan diri. “Andai aku tidak punya rencana yang cukup bagus
saat ini, aku pasti akan marah karena apa yang telah kau lakukan untuk
menghancurkan nama baikku, Duncan. Aku tidak akan pernah bisa lagi menikah
dengan pantas. Itu pasti, tapi aku akan mengakui bahwa Louddon-lah yang akan
menjadi si pecundang, bukan aku. Dia tadinya akan menjualku kepada penawar
tertinggi. Paling tidak itulah yang dia katakan padaku tentang apa yang akan
dia lakukan. Kini dia hanya akan membunuhku kalau dia berada cukup dekat,”
gerutunya. “Dan semua ini gara-gara kau,” imbuhnya dengan penuh semangat.
Madelyne
kelelahan ketika sudah menyelesaikan keluhannya. “Bagaimana aku akan pernah
bisa membuatmu menjanjikan apa pun kepadaku? Dan aku sudah berjanji kepada
Adela yang malang,” imbuhnya seraya menguap lelah.
Kemudian
Duncan bergerak. Madelyne terkejut. Ia hanya sempat membuka matanya sebelum
Duncan membungkuk ke atasnya. Wajah Duncan dekat ke wajah Madelyne, napas pria
itu hangat dan manis di pipinya. Salah satu paha Duncan yang berat memerangkap
gadis itu.
Ya
Tuhan, dirinya menelentang.
“Aku
akan mencari cara untuk memberitahu Lady Eleanor-mu kalau kau mengambil
keuntungan dariku,” sembur Madelyne.
Duncan
memutar bola matanya ke atas. “Madelyne pikiranmu dipenuhi dengan aku yang akan
mengambil...”
Madelyne
menempelkan tangannya ke mulut pria itu dan menahannya di sana. “Jangan
coba-coba mengatakannya,” balasnya. “Dan kenapa lagi kau menempel di atasku
seperti selimut kalau kau tidak mau...”
Madelyne
menandingi helaan napas pria itu dengan helaan napasnya sendiri. “Kau mencoba
membuatku gila.”
“Kau
memang sudah gila,” cetus Duncan.
“Menjauh
dariku. Kau lebih berat daripada pintu-pintu di rumahmu.”
Duncan
menggeser bobot tubuhnya sampai tubuh kekarnya ditahan oleh sikunya. Pangkal
pahanya menempel di pangkal paha Madelyne. Ia bisa merasakan api di dalam diri
gadis itu.
“Janji
apa yang kau inginkan dariku?”
Madelyne
tampak bingung dengan pertanyaan itu. “Adela,” Duncan mengingatkan gadis itu.
“Oh,”
kata Madelyne, terdengar terengah-engah. “Aku bermaksud menunggu sampai besok
untuk bicara padamu tentang Adela. Tapi aku tidak menyadari kau akan memaksaku
tidur bersamamu. Dan aku berharap mendapatimu dalam suasana hati yang lebih
baik...”
“Madelyne.”
Bagian akhir dari nama gadis itu diucapkan dalam erangan panjang dan terkendali
dan Madelyne tahu dari cara pria itu mengatupkan rahangnya bahwa kesabaran pria
itu sudah habis.
“Aku
ingin kau berjanji padaku bahwa Adela boleh tinggal di sini bersamamu selama
yang dia inginkan, dan bahwa kau tidak akan memaksanya menikah, tidak peduli
bagaimana pun situasinya. Nah, apakah itu cukup spesifik bagimu?”
Duncan
mengernyit. “aku akan bicara dengan Adela besok,” ujarnya.
“Adikmu
itu terlalu takut untuk bicara padamu dengan leluasa, tapi jika aku boleh
memberitahunya bahwa kau sudah berjanji, maka aku yakin kau akan melihat
perubahan yang luar biasa pada dirinya. Dia sangat cemas, duncan, dan kalau
kita bisa meringankan bebannya, dia akan merasa jauh lebih baik.”
Duncan
merasa ingin tersenyum. Madelyne telah mengambil peran ibu bagi Adela, persis
seperti yang ia perkirakan. Ia amat sangat senang karena rencananya berhasil.
“Baiklah. Katakan pada Adela bahwa aku sudah berjanji. Aku akan harus bicara
dengan Gerald,” imbuhnya, hampir seperti sebuah renungan.
“Gerald
hanya harus menemukan orang lain untuk dinikahi. Adela percaya kontrak
pertunangan itu tidak mengikat lagi. Lagi pula, Gerald pasti menghendaki
seorang wanita yang tak ternoda, dan itu membuatku sangat tidak menyukainya.”
“Kau
bahkan belum pernah bertemu dengan pria itu,” kata duncan dengan jengkel. “Bagaimana
kau bisa menghakiminya dengan begitu gampang?”
Madelyne
mengernyitkan dahi. Duncan benar, meskipun menyakitkan rasanya mengakui hal itu
kepada pria itu. “Apakah Gerald mengetahui segalanya yang terjadi pada Adela?”
“Pada
saat ini, seluruh Inggris sudah tahu. Louddon sudah tentu akan memastikannya.”
“Kakakku
adalah pria yang jahat.”
“Apakah
Paman Berton-mu berpendapat sama mengenai Louddon?” tanya Duncan.
“Bagaimana
kau tahu nama pamanku?” tanya Madelyne.
“Kau
yang memberitahuku,” jawab Duncan, tersenyum melihat cara mata gadis itu
membelalak.
“Kapan?
Aku punya ingatan yang sangat bagus dan aku tidaik ingat pernah
menyebutkannya.”
“Sewaktu
kau sakit, kau memberitahuku segalanya tentang pamanmu.”
“Kalau
memang aku bicara padamu waktu itu, aku tidak ingat. Kau sungguh tidak sopan
karena sudah mendengarkan apa pun yang kukatakan.”
“Mustahil
untuk memblokir suaramu saat itu,” kata Duncan pada Madelyne, tersenyum lebar
mengingat peristiwa itu. “Kau meneriakkan apa pun yang kau ucapkan.”
Duncan
melebih-lebihkan, hanya untuk meningkatkan reaksi gadis itu. Ketika Madelyne
tidak waspada, ekspresinya sungguh sangat menyegarkan untuk dilihat. “Katakan
padaku apa lagi yang kuucapkan,” desak Madelyne. Nada suaranya terdengar
penasaran.
“Daftarnya
terlalu panjang. Cukuplah kalau kukatakan kau memberitahuku segalanya.”
“Segalanya?”
Gadis itu terlihat ngeri sekarang.
Ya
Tuhan, Madelyne merasa malu. Bagaimana kalau ia telah memberitahu pria itu
betapa ia menyukai Duncan menciumnya?
Ada
percikan di mata duncan. Barangkali pria itu hanya menggodanya. Itu tidak bisa
diterima. Madelyne memutuskan untuk menghapus senyum itu. “Kalau begitu, aku
telah memberitahumu semua nama pria yang kubawa ke tempat tidurku, ya kan?
Permainan ini sudah berakhir, kurasa,” pungkasnya sambil menghela napas.
“Permainanmu
berakhir pada saat kita bertemu,” kata duncan pada Madelyne. Suaranya lembut.
Madelyne
merasa seakan-akan ia baru saja dibelai. Ia tidak tahu harus bereaksi
bagaimana. “Dan apa artinya itu?”
Duncan
tersenyum. “Kau terlalu banyak bicara,” kata Duncan pada gadis itu. “Satu lagi
kekurangan yang harus kau ubah.”
“Itu
konyol,” timpal Madelyne. “Aku hanya bicara sedikit denganmu sepanjang minggu
ini dan kau tidak mengacuhkanku sama sekali. Bagaimana kau bisa menuduh aku
terlalu banyak bicara?” tanyanya, ia berani menusuk pundak pria itu.
“aku
tidak menuduhkan apa pun, aku menyatakan fakta,” jawab Duncan. Ia mengamati
gadis itu lekat-lekat, melihat kilatan api di mata birunya.
Memancing
gadis itu adalah perkara yang mudah. Duncan tahu ia harus berhenti, tapi ia
betul-betul menikmati cara gadis itu merespons. Ia tidak akan menemukan bahaya
dalam hal ini. Gadis itu mendadak saja menjadi segarang penyihir.
“apakah
kau tidak senang kalau aku mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku?”
Duncan
mengangguk.
Menurut
Madelyne, pria itu terlihat benar-benar jail saat ini. Segumpal rambut gelap
jatuh ke depan dan menempel di kening Duncan. Pria itu juga tersenyum lebar.
Bahkan, senyum itu cukup untuk membuat seorang santo mengumpat. “Kalau begitu
aku akan berhenti bicara padamu saja. Aku bersumpah aku tidak akan pernah
bicara lagi padamu. Apakah itu membuatmu senang?”
Duncan
mengangguk lagi, meskipun jau lebih pelan kali ini. Madelyne manarik napas
dalam-dalam, bersiap untuk memberitahukan pendapatnya kepada Duncan mengenai
sikap tidak sopan pria itu, tapi duncan mendiamkannya. Pria itu merendahkan
kepalanya dan menyapukan mulutnya di mulut Madelyne, membuat gadis itu terkejut
hingga terdiam sejenak.
Hampir
tanpa dibimbing, Madelyne membuka mulutnya untuk lidah mendesak pria itu. Dan
Duncan memulai percintaan yang lambat dengan gadis itu menggunakan lidahnya. Oh
Tuhan, ia bisa merasakan api di dalam diri gadis itu. Tangannya terentang lebar
di sisi wajah Madelyne, jemarinya terjerat di rambut indah gadis itu.
Betapa
Duncan sangat menginginkan gadis itu. Ciuman tersebut dengan cepat berubah dari
belaian lembut menjadi gairah liar. Lidah mereka menyatu lagi dan lagi hingga
Duncan nyaris gila karena menginginkan lebih. Ia tahu ia harus berhenti dan
baru saja hendak menarik dirinya, ketika ia merasakan kedua tangan Madelyne
menyentuh punggungnya. Belaian itu lembut serta ragu-ragu dan awalnya selincah
seekor kupu-kupu, namun ketika Duncan menggeram dan menyelam lagi ke dalam manisnya
mulut gadis itu, belaian tersebut semakin menekan. Mulut mereka panas, basah,
dan melekat.
Duncan
merasakan getaran menjalar di tubuh Madelyne, mendengar erangan parau Madelyne
terlepas ketika Duncan dengan enggan menjauhkan dirinya dari gadis itu.
Mata
Madelyne dipenuhi kabut gairah dan bibirnya, merah dan bengkak, memanggil
Duncan untuk mencicipinya lagi. Duncand tahu tidak seharusnya ia memulai apa
yang tidak bisa ia selesaikan. Pangkal pahanya berdenyut-denyut dengan
kebutuhan dan diperlukan tekad yang luar biasa untuk menjauh dari gadis itu.
Sembari
sekali lagi mengerang frustrasi. Duncan berguling menyamping. Ia melingkarkan
lengannya ke pinggang Madelyne dan menarik gadis itu ke tubuhnya.
Madelyne
ingin menangis. Ia tidak dapat mengerti mengapa ia terus membiarkan pria itu
menciumnya. Yang lebih penting lagi, ia tampaknya tidak mampu menghentikan
dirinya sendiri untuk mencium pria itu. Ia sama jalangnya dengan wanita tak
bermoral.
Yang
perlu Duncan lakukan hanyalah menyentuhnya dan Madelyne lepas kendali. Jantung
Madelyne berpacu, telapak tangannya berubah panas, dan ia dipenuhi dengan
hasrat tiada akhir untuk mendapatkan lebih banyak lagi.
Madelyne
mendengar Duncan menguap dan menyimpulkan bahwa ciuman tadi sama sekali tidak
berarti banyak bagi pria itu.
Duncan
membuat Madelyne jengkel seperti sebuah ruam. Madelyne bertekad untuk menjaga
jarak dari pria itu bahkan pada saat mengingkari keputusannya itu dengan cara
menyesuaikan dirinya pada lekukan tubuh Duncan. Saat Madelyne hampir memosisikan
tubuhnya sesuai dengan keinginannya, duncan mengeluarkan erangan kasar. Kedua
tangan Duncan berpindah ke pinggul Madelyne dan ia memegangi gadis itu
erat-erat.
Pria
itu sungguh keras kepala! Tidakkah Duncan sadar betapa canggungnya Madelyne
tidur dengan mengenakan gaun jala-jalanya? Madelyne bergerak lagi, merasakan
Duncan gemetar, lalu berpikir kalau pria itu mungkin sedang bersiap-siap untuk
membentaknya.
Madelyne
terlalu letih untuk mencemaskan kemarahan pria itu. Seraya menguap, ia jatuh
tertidur.
Ini,
tanpa diragukan lagi, adalah tantangan Duncan yang paling sulit. Dan jika gadis
itu menggerakkan bokongnya sekali lagi saja, duncan tahu ia akan gagal dalam
ujian ini.
Duncan
tidak pernah menginginkan seorang wanita seperti ia menginginkan Madelyne. Ia
memejamkan mata dan menarik napa yang dalam dan kasar. Madelyne bergerak-gerak
di tubuh Duncan lagi, dan ia mulai menghitung sampai sepuluh, berjanji kepada
dirinya sendiri bahwa saat ia mencapai angka ajaib itu, ia akan lebih
terkendali.
Si
gadis lugu yang berbaring di dekat tubuh Duncan itu betul=-b etul tidak tahu
tentang bahaya dirinya sendiri. Bokong gadis itu sudah membuat Duncan tidak
bisa berpikir sepanjang minggu ini. Ia membayangkan cara gadis itu berjalan,
melihat lagi goyangan lembut pinggulnya ketika gadis itu jalan-jalan di sekitar
benteng.
Apakah
gadis itu memengaruhi pria lainnya seperti ia memengaruhi dirinya? Duncan
mengernyitkan dahi karena pertanyaan itu, mengakui kalau gadis itu pasti
memengaruhi mereka juga. Aye, Duncan
sudah melihat tatapan prajuritnya yang dilontarkan kepada Madelyne ketika
perhatian gadis itu tertuju ke tempat lain. Bahkan Anthony yang setia,
bawahannya yang paling tepercaya dan teman terdekatnya, telah mengubah sikapnya
terhadap Madelyne. Pada awal minggu Anthony membisu dan jadi senang mengernyit,
namun pada akhir minggu Duncan memperhatikan kalau bawahannya itulah yang
biasanya bicara. Dan Anthony juga tidak mengekor di belakang Madelyne lagi. Nay, Bawahannya itu selalu berada tepat
di sisi Madelyne.
Tepat
di tempat Duncan ingin berada.
Duncan
tidak dapat menyalahkan Anthony karena kelemahan pria itu sehingga jatuh ke
dalam pesona Madelyne.
Gilard,
akan tetapi, merupakan hal yang sama sekali berbeda. Tampaknya si bungsu itu
terpikat kepada Madelyne. Itu bisa menimbulkan masalah.
Gadis
itu mulai menggeliat lagi. Duncan merasa seolah-olah dirinya baru saja dicap.
Kerinduan yang menyakitkan menyita perhatiannya. Sembari menggeram frustrasi,
ia melemparkan selimut dan bangun dari tempat tidur. Walaupun Madelyne
terguncang karena gerakan mendadak tersebut, ia tidak terbangun. “Tidur seperti
bayi yang tidak berdosa,” gerutu Duncan pada dirinya sendiri sambil berjalan
menuju pintu.
Duncan
kembali ke danaunya dan sadar sambil menggeleng kuat-kuat bahwa ia akan mendapatkan
kesenangan yang sesungguhnya dalam renangnya yang kedua ini.
Duncan
bukan pria yang pen yabar. Walaupun demikian, ia ingin masalah-masalah ini
diselesaikan sebelum mengklaim Madelyne untuk dirinya sendiri. Dengan enggan ia
menerima fakta kalau ia barangkali akan lebih sering berenang di danaunya.
Kini, bukan tantangan yang membuatnya keluar dari kastil, melainkan pelepasan
dari api yang membakar di pangkal pahanya.
Sembari
menggerutu jijik, duncan menutup pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar