“Pada
waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi.”
-PERJANJIAN
LAMA, KEJADIAN, 6:4
Kalau
Madelyne hidup sampai usia tiga puluh, ia bersumpah tidak akan pernah melupakan
minggu yang mengikuti keputusannya untuk menolong Adela.
Minggu
itu tidak seperti minggu-minggu yang lain, kecuali invasi Duke William
barangkali, tapi pada saat itu Madelyne belum lahir untuk menyaksikan kejadian
tersebut, jadi ia rasa itu tidak dihitung. Minggu itu nyaris menghancurkan
sifat lembut dan kewarasannya. Tapi Madelyne tidak yakin yang mana yang lebih
ia dambakan, dan oleh sebab itu ia bertekad untuk mempertahankan keduanya.
Bahkan,
tekanan itu cukup untuk membuat gigi seorang santo bergemeretak. Keluarga
Wexton, tentu saja, adalah salah satu alasannya.
Madelyne
diberi kebebasan untuk menjelajahi area kastil, dengan hanya seorang prajurit
yang mengekor di belakangnya bagaikan sebuah bayangan yang mencolok. Ia bahkan
memperoleh izin dari Duncan untuk memanfaatkan sisa makanan untuk memberi makan
hewan-hewan. Dan karena prajurit itu juga mendengar permintaan Madelyne dikabulkan,
pria itu benar-benar berdebat dengan para pengawal yang bertugas menjaga
jembatan tarik demi Madelyne. Gadis itu berjalan sampai ke puncak bukit di luar
tembok benteng, pelukannya dipenuhi dengan karung yang berisi daging, unggas
dan gandum. Ia tidak tahu apa yang akan dimakan oleh anjing liarnya dan membawa
pilihan makanan yang pasti akan memikat hewan tersebut.
Bayangan
Madelyne, seorang prajurit tampan bernama Anthony, menggerutu karena jauhnya
jarak yang mereka tempuh. Ia tadinya mengusulkan agar mereka menunggang kuda,
namun Madelyne menolak usul tersebut, membuat si prajurit terpaksa berjalan di
sisinya. Ia memberitahu pria itu bahwa berjalan bagus untuk mereka, padahal
yang sebenarnya adalah ia berharap dapat menyembunyikan kurangnya ketrampilannya
dalam berkuda.
Ketika
Madelyne kembali dari kegiatannya, Duncan sudah menunggunya. Pria itu kelihatan
tidak terlalu senang. “Kau bukan diberi izin untuk pergi keluar tembok
benteng,” ucap Duncan dengan sangat tegas.
Anthony
maju untuk membela Madelyne. “Kau memang memberinya izin untuk memberi makan
hewan-hewan,” ia mengingatkan tuannya.
“Aye, benar,” Madelyne mengiyakan, dan
dengan senyum yang manis dan suara yang lembut seperti itu, ia yakin Duncan
berpikir kalau ia sangat tenang.
Duncan
menganggukkan kepalanya.
Ekspresi
di wajah Duncan menakutkan. Madelyne berpikir bahwa pria itu berharap
mengenyahkan dirinya. Namun Duncan bahkan tidak berteriak kepada Madelyne saat
ini. Sebenarnya, Duncan jarang mengeraskan suaranya. Ia tidak harus
melakukannya. Ukuran tubuh Duncan memperoleh perhatian dengan cepat, dan
ekspresinya, ketika ia sedang tidak senang seperti sekarang, sepertinya sama
efektifnya dengan teriakan apa pun.
Madelyne
tidak takut lagi kepada pria itu. Sayangnya, ia harus mengingatkan dirinya akan
fakta tersebut beberapa kali sehari. Dan ia masih tidak memiliki cukup
keberanian untuk menanyai tentang maksud Duncan yang mengatakan bahwa ia kini
adalah milik pria itu, dan, sebenarnya, takut dengan jawaban pria itu.
Lagi
pula, kata Madelyne pada diri sendiri, akan ada cukup waktu untuk mencari tahu
tentang takdirnya sendiri setelah Adela merasa lebih baik. Untuk saat ini, ia
akan menghadapi setiap pertempuran yang muncul.
“Aku
hanya jalan-jalan ke puncak bukit,” jawab Madelyne akhirnya. “Apa kau khawatir
aku akan terus berjalan sampai ke London?”
“Apa
gunanya jalan-jalan ini?” tanya Duncan, tidak mengacuhkan komentar gadis itu
tentang melarikan diri. Menurutnya itu terlalu konyol untuk ditanggapi.
“Untuk
memberi makan serigalaku.”
Reaksi
Duncan sangat memuaskan. Sekali ini Duncan tidak dapat menjaga ekspresinya
tetap terkendali. Duncan memandang gadis itu dengan tercengang. Madelyne
tersenyum.
“Kau
boleh tertawa kalau kau mau, tapi aku melihat entah seekor anjing yang sangat
besar atau seekor serigala liar, dan aku betul-betul merasa memberinya makan
adalah tugasku, hanya sampai cuaca membaik dan dia bisa berburu lagi. Tentu
saja, ini akan berarti aku mengurus makanannya sepanjang musim dingin ke depan,
tapi saat musim semi datang, bersama tiupan angin hangat yang pertama, aku
yakin serigalaku akan mampu menghidupi dirinya sendiri.”
Duncan
berbalik memunggungi Madelyne dan berjalan menjauh.
Madelyne
merasa hendak tertawa. Duncan tidak melarangnya jalan-jalan di luar benteng,
dan itu adalah kemenangan yang cukup untuk disombongkan.
Sebetulnya,
Madelyne rasa si anjing liar tidak berada di area ini lagi. Ia menatap keluar
jendelanya setiap malam sejak pertama kali melihat hewan tersebut, namun hewan
tersebut tidak pernah ada di sana. Anjing itu sudah pergi, dan kadang-kadang,
pada tengah malam saat Madelyne meringkuk di bawah selimut, ia bertanya-tanya
apakah ia sungguh-sungguh melihat hewan tersebut ataukah anjing itu hanyalah
sebuah khayalan dari imajinasinya yang terlalu aktif.
Akan
tetapi, Madelyne tidak akan pernah mengakui itu kepada Duncan, dan merasa
sangat gembira setiap kali ia berjalan melintasi jembatan tarik. Makanan yang
ia tinggalkan sehari sebelumnya selalu hilang, menandakan bahwa ada hewan yang
makan saat malam hari. Ia senang mengetahui makanan itu tidak terbuang. Dan ia
bahkan lebih senang lagi membuat Duncan kesal.
Aye, ia melakukan ini hanya untuk
membuat pria itu jengkel. Dan dari cara Duncan menghindarinya, menurutnya ia
telah berhasil.
Hari-hari
tersebut pasti akan menyenangkan andai Madelyne tidak harus mengkhawatirkan
saat-saat makan malam. Itu sungguh membebani dirinya dan menekan sifat
lembutnya.
Madelyne
berada di luar ruangan sesering mungkin, tidak mengacuhkan hujan dan udara dingin.
Gerty memberinya pakaian bekas milik kakak Duncan, Catherine. Pakaian tersebut
terlalu besar, namun Madelyne menggunakan jarum dan benangnya pada pakaian
tersebut dan hasilnya lebih dari cukup untuk kebutuhannya. Ia tidak peduli
apakah dirinya mengikuti mode. Pakaian tersebut pudar namun bersih, dan terasa
lembut di kulitnya. Yang lebih penting, pakaian-pakaian itu membuatnya tetap
hangat.
Setiap
sore Madelyne berjalan ke istal dengan segumpal gula untuk diberikan kepada
kuda jantan Duncan, si cantik berwarna putih yang ia namai Silenus. Ia dan kuda
itu telah membentuk semacam ikatan. Kuda jantan itu akan membuat keributan
hebat, berpura-pura mencoba mematahkan kandang kayu setiap kali hewan itu
menangkap kilasan Madelyne yang sedang mendekat. Namun segera setelah Madelyne
bicara padanya, Silenus akan menjadi tenang. Madelyne memahami kebutuhan kuda
tersebut untuk pamer padanya, dan ia selalu memuji semangat kuda itu setelah
memberinya hadiah.
Silenus,
terlepas dari ukuran tubuhnya, semakin menjadi penuh kasih sayang. Silenus akan
menyenggol tangan Madelyne sampai ia menepuk-nepuk kuda itu, dan ketika
Madelyne berhenti dan mengistirahatkan tangannya di atas pagar, sebuah trik
untuk mendapatkan reaksi kuda itu, Silenus akan langsung menyenggol tangan Madelyne
agar kembali ke atas kepalanya.
Kepala
istal tidak suka Madelyne datang berkunjung dan mengutarakan pendapatnya cukup
keras untuk Madelyne dengar. Pria itu juga berpendapat bahwa Madelyne telah
memanjakan kuda Duncan dan bahkan mengancam untuk memberitahu tuannya apa yang
sedang gadis itu rencanakan. Akan tetapi, pria itu hanya menggertak. Aye, kepala istal kagum dengan metode
pintar Madelyne dalam menangani kuda tersebut. Pria itu masih agak gugup setiap
kali memasangkan pelana pada kuda jantan Duncan itu, namun gadis mungil ini
tidak takut sedikit pun.
Pada
sore ketiga, sang kepala istal berbicara kepada Madelyne, dan pada akhir
minggu, mereka sudah menjadi teman baik.
Madelyne
mengetahui bahwa nama pria itu adalah James, dan ia menikah dengan Maude, putra
mereka William, masih menempel di rok ibunya, namun James dengan sabar menanti
saat si bocah sudah cukup besar untuk menjadi murid di bawah bimbingannya. Anak
itu akan mengikuti tradisi, jelas James dengan gaya sok penting.
“Silenus
akan membiarkan anda menungganginya tanpa pelana,” James memberitahu setelah ia
memberi Madelyne tur di sekitar wilayahnya.
Madelyne
tersenyum. James sudah menerima nama yang ia berikan kepada kuda Duncan. “Aku
tidak pernah menunggang kuda tanpa pelana,” ujarnya. “Itu benar, James, aku
sangat jarang menunggang kuda.”
“Mungkin,”
saran James seraya tersenyum baik hati, “saat hujan agak berkurang, Anda bisa
mempelajari cara menunggang kuda dengan benar.”
Madelyne
mengangguk.
“Nah,
kalau anda tidak pernah belajar, bagaimana cara anda pergi dari satu tempat ke
tempat berikutnya, saya jadi ingin tahu,” ujar James mengakui.
“Aku
berjalan kaki,” Madelyne memberitahu James. Ia tertawa karena ekspresi terkejut
pria itu. “Ini bukan dosa yang sedang aku akui.”
“Saya
punya seekor kuda betina jinak yang bisa Anda gunakan untuk mulai berlatih,”
saran pria itu.
“Nay, kurasa tidak,” jawab Madelyne. “Silenus
tidak akan terlalu menyukainya. Aku rasa perasaannya akan terluka, dan kita
tidak bisa membiarkan itu, iya kan?”
“Kita
tidak bisa?” James tampak kebingungan.
“Aku
akan baik-baik saja dengan Silenus.”
“Kuda
tuanlah yang ingin Anda tunggangi, Milady?” James tergagap. Ia terdengar
seolah-olah sedang tercekik.
“Aku
tahu kuda itu milik siapa,” timpal Madelyne. “Jangan khawatir dengan ukuran
tubuh hewan itu,” katanya, mencoba menghilangkan ekspresi ragu dari wajah pria
itu. “Aku sudah pernah menunggang Silenus sebelumnya.”
“Tapi
apakah Anda sudah mendapat izin dari tuan?”
“Aku
pasti akan mendapatkannya, James.”
Madelyne
tersenyum lagi, dan seluruh argumen logis pergi dari pikiran sang kepala istal.
Aye, ujar James pada dirinya sendiri,
dari sorot mata biru cantik Madelyne dan cara gadis itu tersenyum dengan penuh
kepercayaan kepadanya, James mendadak mendapati dirinya benar-benar setuju.
Saat
Madelyne meninggalkan istal, pengawalnya berjalan di sebelahnya. Pria itu
merupakan peringatan konstan bagi Madelyne dan bagi semua orang bahwa dirinya
bukanlah tamu yang diundang. Akan tetapi, sikap Anthony kepadanya sudah jauh
melunak. Pria itu sama sekali tidak jengkel karena tugasnya ini.
Dari
cara Anthony disapa oleh prajurit lainnya, Madelyne menarik kesimpulan bahwa
pria itu adalah orang yang dihormati. Pria itu punya senyum yang menarik,
senyum yang kekanak-kanakan, yang mana sangat tidak sesuai dengan ukuran tubuh
dan usianya. Madelyne tidak dapat mengerti mengapa pria itu diperintahkan untuk
mengawasinya, dan berpendapat bahwa seseorang yang status yang lebih rendah,
seperti Ansel, si squire, pasti akan
lebih cocok dengan tugas yang membosankan ini.
Rasa
penasaran Madelyne kian menjadi-jadi, sampai akhirnya ia memutuskan untuk
menanyai pria itu. “Apa kau telah melakukan sesuatu yang membuat tuanmu tidak
senang?”
Anthony
tampak tidak paham dengan pertanyaan Madelyne.
“Ketika
para prajurit kembali dari tugas mereka, aku bisa melihat rasa iri saat kau
mengawasi mereka, Anthony. Kau lebih suka berlatih bersama mereka ketimbang
berjalan berputar-putar bersamaku.”
“Ini
bukan masalah,” bantah Anthony.
“Tetap
saja, aku tidak mengerti mengapa kau diberi tugas ini kecuali kau entah
bagaimana sudah membuat Duncan tidak senang.”
“Aku
mendapat cedera yang perlu disembuhkan sedikit lagi,” jelas Anthony. Suaranya ragu,
dan madelyne melihat rona merah yang perlahan-lahan merayap di pipi pria itu.
Madeline
berpendapat sangat aneh pria itu menjadi malu. Hanya bermaksud untuk
menenangkan pria itu, ia berkata, “aku juga mendapat sebuah luka, dan bukan
luka yang ringan pula, aku bisa meyakinkanmu.” Itu benar-benar terdengar
seperti bualan, namun tujuannya adalah membuat Anthony sadar bahwa pria itu
tidak perlu malu karena hal apa pun. “Nyaris membuatku tewas, Anthony, tapi
Edmond merawatku. Kini aku punya bekas luka yang mengerikan, di sepanjang
pahaku.”
Anthony
tetap terlihat tidak nyaman dengan topik pembicaraan mereka. “Bukankah para
prajurit menganggap terluka dalam perang itu terhormat?” tanya Madelyne.
“Benar,”
jawab anthony. Ia mengaitkan kedua tangannya di belakang punggung dan
mempercapat langkahnya.
Madelyne
mendadak paham kalau Anthony bisa jadi merasa malu karena tempat di mana ia
mendapatkan lukanya. Kedua lengan dan kakinya terlihat cukup sehat, dan itu
berarti tinggal dadanya dan...
“Kita
tidak akan membicarakan ini lagi,” sembur Madelyne. Ia merasa wajahnya
menghangat. Ketika Anthony langsung memelankan langkah, Madelyne tahu kalau
dirinya benar. Luka itu berada di tempat yang tidak pantas.
Meskipun
tidak pernah menanyai anthony tentang hal itu, menurut Madelyne para prajurit
yang berlatih selama berjam-jam setiap harinya itu aneh. Ia menduga bahwa
mereka membela tuan mereka adalah pekerjaan yang sulit, menimbang fakta bahwa
pemimpin mereka memiliki begitu banyak musuh. Ia juga tidak berpikir bahwa
dirinya terlalu cepat menyimpulkan. Duncan bukan pria yang mudah disukai; pria
itu memang tidak biasa bersikap bejaksana atau diplomatis. Bahkan, pria itu
mungkin mengumpulkan lebih banyak musuh ketimbang teman di istana William II.
Madelyne,
sayangnya, memperoleh banyak waktu untuk memikirkan Duncan. Ia sama sekali
tidak terbiasa memiliki begitu banyak waktu kosong. Saat ia tidak berada di
luar untuk jalan-jalan bersama Anthony, ia membuat Gerty dan maude kebingungan
dengan saran-sarannya untuk membuat rumah Duncan lebih menyenangkan.
Maude
tidak sewaspada Gerty. Wanita itu selalu bersemangat untuk mengesampingkan
tugas-tugasnya dan mengunjungi Madelyne. Si kecil Willie, putra Maude yang
berusia empat tahun, ternyata secerewet ibunya begitu Madelyne dapat memaksa
ibu jari anak itu keluar dari mulutnya.
Akan
tetapi, ketika sinar matahari mulai memudar, perut Madelyne mengencang dan
kepalanya mulai berdenyut-denyut. Itu tidaklah mengherankan, kata Madelyne pada
diri sendiri, apabila seseorang menganggap malam-malam yang dihabiskan bersama
keluarga Wexton merupakan ujian ketabahan yang pasti akan Odysseus abaikan.
Tapi
Madelyne tidak diizinkan untuk mengabaikan ujian itu. Ia juga hampir berlutut
serta memohon untuk menyantap makan malamnya di kamarnya, namun Duncan tidak
mau mengizinkannya. Nay, Duncan
menuntut kehadirannya pada makan malam keluarga dan berani menjauhkan dirinya
sendiri dari siksaan menjijikkan yang ia paksakan kepada Madelyne. Sang baron
selalu makan sendirian, dan muncul sebentar hanya ketika meja sudah dibersihkan
dari kekacauan yang belum dilemparkan oleh para prajurit ke lantai.
Adela
menyajikan percakapan yang provokatif. Sementara para prajurit melontarkan
tulang-tulang dari atas bahu mereka, adik Duncan itu melontarkan satu demi satu
makian kepada Madelyne.
Madelyne
merasa ia tidak sanggup menahan siksaan itu lebih lama lagi. Senyumnya terasa
segetas perkamen kering.
Pada
malam ketujuh, ketenangan Madelyne benar-benar hancur, dan dengan kekuatan yang
begitu hebat hingga mereka yang menyaksikan terlalu tercengang untuk ikut
campur.
Duncan
baru saja memberinya izin untuk meninggalkan aula. Madelyne berdiri, pamit, dan
mulai melangkah menuju pintu.
Kepalanya
berdenyut-denyut, dan Madelyne hanya berniat untuk menjauhi Adela. Ia sedang
tidak ingin menghadapi satu babak jaritan lagi. Adik Duncan itu sedang berjalan
ke arahnya.
Madelyne
melirik Adela dengan hati-hati dan melihat si kecil Willie mengintip dari pintu
yang menuju dapur. Si bocah kecil itu tersenyum kepada Madelyne dan ia langsung
berhenti untuk berbicara dengan anak itu.
Anak
itu merespon senyum Madelyne. Ia melesat di depan Adela tepat ketika adik
Duncan itu melayangkan tangannya dalam salah satu gerakan megah yang selalu ia
buat ketika hendak menyiksa Madelyne lagi. Punggung tangan Adela menampar pipi
Willie. Bocah itu terguling ke lantai.
Willie
mulai menangis, Gilard berteriak, dan Madelyne mengeluarkan jeritan yang
memekakkan telinga. Suara marah yang ia buat mengejutkan semua orang di aula,
bahkan Adela, yang benar-b enar mundur selangkah, langkah mundur dari Madelyne
yang pertama dan sungguhan yang pernah gadis itu lakukan.
Gilard
hendak berdiri. Duncan mencengkram lengannya. Si bungsu itu hendak meminta
Duncan untuk melepaskannya, tapi sorot di mata duncan menghentikannya.
Madelyne
bergegas mendatangi si bocah, menenangkannya dengan kata yang halus dan ciuman
yang lembut di puncak kepala anak itu, kemudian menyuruhnya pergi kepada
ibunya. Maude, tidak lama setelah mendengar tangisan putranya, muncul di pintu,
bersama Gerty di sampingnya.
Kemudian
Madelyne berbalik untuk menghadapi Adela. Ia mungkin saja dapat mengontrol
amarahnya andai adik Duncan itu menunjukkan sedikit saja tanda penyesalan.
Adela, akan tetapi, tidak tampak menyesal sedikit pun atas perbuatannya. Dan
ketika ia menggumam bahwa bocah itu mengganggu, Madelyne melepaskan kendali
dirinya.
Adela
menyebut dirinya anak nakal kurang dari sedetik sebelum Madelyne mengamuk dan
menampar gadis itu tepat di tempat yang menurutnya paling pantas untuk Adela,
yaitu di mulutnya. Adela begitu terkejut dengan serangan itu, sehingga ia
kehilangan keseimbangannya dan jatuh berlutut. Tanpa menyadarinya, ia memberi
Madelyne keuntungan tambahan.
Sebelum
Adela bisa berdiri, Madelyne mencengkram rambutnya dan memuntir rambut itu di
belakang kepalanya, membuat adela rentan dan tidak dapat menyerang balik.
Madelyne menarik kepala Adela ke belakang. “Kau sudah mengucapkan kata kotormu
yang terakhir, Adela. Kau mengerti aku?”
Semua
orang menatap kedua gadis itu. Edmon-lah yang pertama keluar dari keadaan
lumpuhnya. “Lepaskan dia, Madelyne,” teriaknya.
Tanpa
mengalihkan perhatiannya dari Adela, Madelyne balas berteriak kepada Edmond. “Jangan
ikut campur, Edmond. Kau menganggap aku bertanggung jawab atas apa yang telah
terjadi kepada adikmu, dan aku memutuskan sudah waktunya aku turun tangan untuk
membereskan kekacauan ini. Dimulai dari sekarang.”
Duncan
sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. “Aku tidak menganggapmu
bertanggung jawab,” seru Edmond. “Lepaskan dia. Pikirannya...”
“Pikirannya
hanya membutuhkan pembersihan menyeluruh, Edmond.”
Madelyne
melihat Maude dan Gerty sedang menyaksikan dari pintu. Ia tetap memegangi Adela
erat-erat ketika menoleh untuk berbicara dengan mereka. “Menurutku kita akan
membutuhkan dua bak mandi untuk mengenyahkan kotoran yajng menutupi makhluk
malang ini. Urus itu, Gerty, Maude, cari pakaian bersih untuk nonamu.”
“Anda
mau mandi sekarang, Milady?” tanya Gerty.
“Adela
yang akan mandi,” Madelyne mengumumkan. Ia berpaling kembali untuk memelototi
Adela dan berkata, “Dan sabun di dalam mulutmu setaip kali kau mengucapkan kata
yang tidak pantas diucapkan oleh seorang lady kepadaku.”
Lalu
Madelyne melepaskan rambut Adela dan membantunya berdiri. Adik duncan itu
berusaha menjauh, namun Madelyne tidak membiarkannya. Amarahnya telah
memberinya kekuatan Hercules. “Kau lebih tinggi dariku, tapi aku lebih kuat,
dan lebih kejam daripada yang pernah bisa kau bayangkan saat ini juga, Adela.
Kalau aku harus menendangmu sepanjang jalan menuju menara, aku lebih dari mampu
melakukan tugas itu.” Ia menarik lengan Adela, menyeret gadis itu menuju pintu,
dan menggumam dengan cukup kencang untuk didengar oleh ketiga saudara
laki-lakinya. “Dan aku sedang tersenyum karena gagasan menendangmu, sungguh.”
Adela
meledak menangis. Madelyne bersikap kejam. Adik Duncan itu tidak akan mendapat
simpati lagi darinya. Edmond dan Gilard sudah terlalu banyak memberi itu kepada
Adela. Tanpa menyadarinya, telah melukai saudara perempuan mereka dengan rasa
iba dan kasih sayang mereka. Apa yang diperlukan adalah tangan yang kuat. Dan
tangan Madelyne cukup kuat. Aneh, tapi kepalanya kini tidak sakit lagi.
“Menangislah
sepuasmu, Adela. Itu tidak akan membantu masalahmu. Kau berani menyebut si
kecil Willie anak nakal, padahal nama itu lebih cocok untukmu. Aye, kaulah anak nakalnya. Tapi itu
semua akan berubah sekarang. Aku berjanji padamu.”
Madelyne
meneruskan ocehannya yang tanpa henti sepanjang jalan menuju kamarnya. Ia tidak
harus menendang Adela satu kali pun.
Pada
saat bak mandi kayu sudah diisi hingga meluber dengan air hangat, keagrasifan
telah meninggalkan Adela. Gerty dan maude tinggal untuk membantu melepaskan
pakaian Adela dari tubuhnya. “Bakar ini, perintah madelyne setelah menyerahkan
pakaian yang menjijikkan itu kepada Gerty.”
Saat
Adela didorong ke dalam bak mandi yang pertama, Madelyne berpendapat gadis itu
mencoba meniru istri Lot. Adik duncan itu duduk bagaikan sebuah karya pahatan
dari batu dan menatap ke kejauhan. Akan tetapi, sorot di matanya menceritakan
kisah yang lain. Aye, jelas terlihat
bahwa Adela sedang mendidih dengan amarah.
“Mengapa
dibutuhkan dua buah bak mandi?” tanya Maude. Ia meremas-remas tangannya dengan
cemas. Adela tiba-tiba mengganti taktik dan baru saja merenggut rambut Lady
Madelyne. Kelihatannya seakan-akan gadis itu berniat untuk mengoyak ikal-ikal
rambut Madelyne yang cantik dari kulit kepalanya.
Sebagai
balasan, sang lady yang Maude sudah anggap sebagai wanita yang manis dan
lembut, mendorong wajah Adela ke bawah air. Apakah gadis itu berniat
menenggelamkan adik sang baron?
“Menurut
saya Lady Adela tidak bisa bernapas di bawah sana,” kata Maude.
“Aye, dan dia juga tidak bisa meludahiku,”
jawab Madelyne mengucapkan setiap kata dengan ketus.
“Well, saya tidak pernah...” Gerty
mengucapkan protesnya dengan terengah sebelum berbalik. Maude mengawasi
temannya itu berlari keluar melalui pintu.
Maude
tahu, Gerty selalu menjadi orang yang menyampaikan kabar sebelum orang lain
punya kesempatan. Selanjutnya Baron Wexton mungkin ingin mengetahui apa yang
sedang terjadi.
Maude
berharap ia bisa mengejar Gerty. Saat ini Lady Madelyne membuatnya takut; ia
tidak pernah melihat watak segarang ini sebelumnya. Namun demikian, gadis itu
telah membela si kecil Willie, Maude mengakui, dan karena itulah ia tetap
tinggal dan membantu selama Lady Madelyne menginginkannya.
“Kita
memerlukan dua buah bak mandi karena Adela sangat kotor, sehingga dia akan
membutuhkan dua kali mandi.”
Maude
kesulitan mendengarkan apa yang Lady Madelyne katakan padanya. Adela sudah
mulai menendang dan mencakar. Oh Tuhan, ada air di mana-mana, terutama sekali
tubuh Lady Madelyne.
“Tolong
ambilkan sabunnya,” perintah Madelyne.
Satu
jam berikutnya merupakan cobaan luar biasa yang pantas untuk diceritakan
kembali hingga musim semi yang akan datang. Gerty terus menjulurkan kepalanya
ke dalam kamar itu untuk memeriksa perkembangan. Kemudian ia buru-buru kembali
ke lantai bawah untuk melapor kepada Edmond dan Gilard.
Saat
kegaduhan itu selesai, Gerty agak kecewa. Lady Adela duduk diam di depan
perapian sementara Lady Madelyne menyisir rambutnya. Keagresifan telah
meninggalkan adik sang baron, dan kehebohan tadi sudah selesai.
Maude
dan Gerty meninggalkan menara setelah kedua bak mandi sudah dikosongkan dan
dibawa pergi.
Baik
Adela maupun Madelyne tidak mengucapkan satu pun kata yang sopan kepada satu
sama lain. Maude tiba-tiba muncul lagi di ambang pintu dan buru-buru berkata. “Saya
masih harus mengucapkan terima kasih karena telah menolong putra saya.”
Madelyne
baru saja hendak menjawab Maude, ketika si pelayan melanjutkan. “Meski
demikian, saya tidak menyalahkan Lady Adela. Dia tidak dapat berbuat apa-apa
mengenai keadaannya ini. Tapi Anda sudah bersusah payah untuk menghibur Willie
dan saya berterima kasih kepada Anda.”
“Aku
tidak bermaksud memukulnya.”
Pengakuan
tersebut datang dari Adela. Itu adalah kalimat sopan pertama yang ia ucapkan. Maude
dan Madelyne bertukar senyum.
Segera
sesudah pintu tertutup di belakang Maude, Madelyne menarik sebuah kursi dan
duduk, menghadap Adela.
Adela
menolak memandang Madelyne. Kedua tangannya terlipat dipangkuannya dan ia
menatap tangannya itu lekat-lekat.
Madelyne
mendapatkan banyak waktu untuk mempelajari adik Duncan itu. Adela sebenarnya
sangat cantik. Gadis itu memiliki mata besar berwarna coklat, rambut coklat
keemasan, yang merupakan sebuah kejutan, namun saat kotoran dibersihkan,
helaian-helaian rambut pirangnya sangat mencolok.
Adela
tidak terlalu mirip dengan Duncan, tapi ia jelas sama-sama memiliki sifat keras
kepala pria itu. Madelyne memaksa dirinya untuk bersabar.
Setidaknya
satu jam berlalu sebelum Adela akhirnya mendongak menatap Madelyne. “apa yang
kau inginkan dariku?”
“Aku
ingin kau menceritakan padaku apa yang telah terjadi padamu.”
Wajah
Adela langsung berubah merah. “Apa kau menginginkan detail-detailnya, Madelyne?
Apa itu akan membuatmu senang?” Adela mulai memilin manset pada gaun tidur yang
baru dicuci yang ia kenakan.
“Nay, itu tidak akan membuatku senang,”
jawab Madelyne. Suaranya terdengar sedih. “Tapi kau perlu menceritakannya. Ada
racun di dalam dirimu, Adela, dan kau perlu mengenyahkannya. Kau akan merasa
lebih baik setelahnya, aku berjanji padamu. Dan kau tidak perlu meneruskan
tingkah laku kekanak-kanakanmu di hadapan saudara-saudaramu lagi.”
Mata
Adela membelalak. “Bagaimana kau...” Ia mendadak sadar apa yang sedang ia
ungkapkan.
Madelyne
tersenyum. “Sudah jelas bahkan bagi orang yang paling bodoh sekalipun bahwa kau
tidak membenciku. Kita berselisih jalan setiap hari dan kau tidak pernah
berteriak kepadaku saat itu. Nay,
Adela, kebencianmu terlalu disengaja.
“Aku
sungguh membencimu.”
“Tidak,”
cetus Madelyne. “Tidak ada yang bisa membuatmu membenci diriku. Aku tidak
pernah melukaimu. Kita berdua tidak bersalah dan terjebak dalam perang antara
kakak-kakak kita. Aye, kita berdua
tidak bersalah.”
“Aku
tidak suci lagi,” jawab Adela. “Dan Duncan pergi ke tempat tidurmu setiap
malam, jadi aku ragu kau masih suci juga.”
Madelyne
tertegun karena kata-kata Adela. Mengapa gadis itu berpikir Duncan menghabiskan
malam-malamnya bersama Madelyne? Gadis itu salah, tentu saja, Namun Madelyne
memaksa dirinya untuk berkonsentrasi pada masalah Adela sekarang. Ia bisa
membuktikan kesuciannya sendiri nanti.
“Aku
akan membunuh kakakmu andai aku punya kesempatan,” cetus Adela. “Kenapa tidak
kau biarkan saja aku sendiri? Aku ingin mati dengan tenang.”
“Jangan
membicarakan gagasan penuh dosa seperti itu,” timpal Madelyne. “Adela,
bagaimana aku bisa menolongmu kalau kau...”
“Kenapa?
Kenapa kau mau menolongku? Kau adik Louddon.”
“Aku
tidak memiliki kesetiaan terhadap kakakku. Dia telah menghancurkannya sejak
lama. Kapan kau bertemu Louddon?” tanya Madelyne kemudian dengan sangat santai,
seolah-olah hal itu sama sekali tidak penting.
“Di
London,” jawab Adela. “Dan itu saja yang akan kukatakan padamu.”
“Kita
akan membicarakan ini, tak peduli betapa menyakitkannya. Kita hanya berdua,
Adela. Aku akan menjaga rahasiamu tetap aman.”
“Rahasia?
Tidak ada rahasia, Madelyne. Semua orang tahu apa yang terjadi padaku.”
“Aku
ingin mendengar yang sebenarnya darimu,” ujar Madelyne. Kalau kita harus duduk
di sini dan menatap satu sama lain sepanjang malam, aku lebih dari bersedia.”
Adela
memandang lama Madelyne, tampak jelas sedang mencoba memutuskan. Ia merasa siap
meledak menjadi seribu kepingan. Ya Tuhan, ia begitu lelah dengan muslihat ini,
dan amat sangat kesepian. “Dan apakah kau akan menceritakan setiap kata kepada
Louddon saat kau kembali kepadanya?” tanyanya, walaupun kini suaranya berupa
bisikan serak.
“Aku
tidak akan pernah kembali kepada Louddon,” kata Madelyne. Suaranya
mengekspresikan amarahnya. “Aku berencana untuk pergi dan tinggal bersama
sepupuku. Aku belum tahu caranya, tapi aku akan pergi ke Skotlandia bahkan jika
aku harus berjalan kaki.”
“Aku
percaya padamu, kau tidak akan memberitahu Louddon. Tapi bagaimana dengan
Duncan? Apa kau akan memberitahunya?”
“Aku
tidak akan memberitahu siapa pun kecuali kau memberiku izin,” jawab Madelyne.
“Aku
bertemu kakakmu ketika aku berada di istana,” bisik Adela. “Dia pria yang
tampan,” imbuhnya. “Dia bilang dia mencintaiku, mengikat dirinya padaku.”
Adela
mulai menangis, dan beberapa menit berlalu sebelum ia mendapatkan kembali
kendali diri.
“Aku
sudah bertunangan dengan baron Gerald. Kesepakatan itu dibuat ketika aku
berumur sepuluh tahun. Aku puas sampai aku bertemu Louddon. Aku tidak pernah
bertemu Gerald lagi sejak aku masih kecil. Sesungguhnya, aku bahkan tidak yakin
aku akan mengenalinya sekarang. Duncan memberiku izin untuk pergi bersama
Edmond dan Gilard ke istana. Gerald seharusnya berada di sana, dan karena
pernikahan akan dilaksanakan pada musim panas tahun depan, saudara-saudaraku
berpikir gagasan yang bagus bagiku untuk mengenal calon suamiku. Duncan percaya
Louddon berada di Normandia bersama sang raja, kau tahu. Kalau tidak, dia tidak
akan pernah mengizinkanku dekat-dekat dengan istana.”
Adela
menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan. “Gerald tidak berada di sana. Dia
punya alasan kuat,” tambahnya, “salah satu tempat tinggal bawahannya telah
diserang dan dia harus membalas. Tetap saja aku marah dan kecewa.”
Kemudian
Adela mengangkat bahu. Madelyne mengulurkan tangan dan menggenggam kedua tangan
gadis itu. “Aku juga pasti akan kecewa,” ujar Madelyne.
“Segalanya
terjadi begitu cepat, Madelyne. Kami berada di London selama dua minggu saja.
Aku tahu betapa tidak sukanya Duncan kepada Louddon, tapi aku tidak tahu
kenapa. Kami menjaga pertemuan-pertemuan kami tetap rahasia. Dia selalu
bersikap baik dan penuh perhatian kepadaku. Aku menyukai perhatian tersebut.
Pertemuan-pertemuan itu juga mudah diatur, sebab Duncan tidak ada di sana.”
“Louddon
pasti akan menemukan cara,” ujar Madelyne. “Menurutku, dia menggunakanmu untuk
menyakiti kakakmu. Kau sangat cantik, tapi menurutku Louddon tidak mencintaimu.
Dia tidak mampu mencintai kecuali dirinya sendiri. Aku tahu itu sekarang.”
“Louddon
tidak menyentuhku.”
Pernyataan
tersebut menyelimuti mereka. Madelyne tertegun. Ia memaksa dirinya untuk
menjaga ekspresinya tetap terkendali dan kemudian berkata, “Teruskan.”
“Kami
sepakat bertemu di sebuah kamar kosong yang Louddon temukan sehari sebelumnya.
Ruangan tersebut cukup jauh dari semua tamu, dan cukup terisolasi. Aku tahu apa
yang kulakukan, Madelyne. Aku menyetujui pertemuan ini. Kupikir aku mencintai
kakakmu. Aku tahu itu salah, tapi aku tak bisa menahan apa yang kurasakan. Oh
Tuhan, dia begitu tampan. Ya Tuhan, Duncan akan membunuhku kalau tahu yang
sebenarnya.”
“Jangan
menyiksa dirimu sendiri, Adela. Dia tidak akan mengetahui apa pun kecuali kau
memberitahunya.”
“Louddon
datang menemuiku,” ujar Adela. “Tapi dia tidak sendirian. Dia bersama temannya
dan temannya itulah yang... memerkosaku.”
Seluruh
latihan Madelyne untuk menyembunyikan perasaannya menyelamatkannya saat ini. Ia
tidak menunjukkan reaksi apa pun atas pengakuan mengejutkan Adela.
Adik
Duncan itu mengamati Madelyne. Ia menunggu untuk melihat rasa jijik. “Ini tidak
membuatmu...”
“Selesaikan,”
bisik Madelyne.
Keseluruhan
cerita yang menjijikan tersebut tumpah ruah, awalnya dengan terputus-putus dan
kemudian dengan kecepatan yang semakin meningkat, dan ketika Adela telah
selesai, Madelyne memberinya waktu beberapa menit untuk menenangkan dirinya.
“Siapa
pria yang bersama Louddon ini? Beritahu aku namanya.”
“Morcar.”
“Aku
kenal si keparat itu,” jawab Madelyne, tidak mampu menghilangkan amarah dari
suaranya. Adela kelihatan ketakutan karena ledakan amarah itu. Madelyne
berusaha menyingkirkan kemarahannya. “Mengapa kau tidak memberitahu Duncan
selama ini? Bukan bagian tentang membuat pilihan untuk menemui Louddon, tentu
saja, tapi tentang keterlibatan Morcar?”
“Aku
tidak bisa,” jawab Adela. “Aku sangat malu. Dan aku dipukuli habis-habisan,
sampai aku sungguh-sungguh mengira aku akan mati. Louddon sama bertanggung
jawabnya seperti Morcar... Oh, aku tidak tahu, tapi begitu aku menyebutkan nama
Louddon kepada Gilard dan Edmond, mereka tidak mau mendengar apa pun lagi.”
Adela
mulai menangis, namun Madelyne cepat-cepat menghentikannya. “Baiklah kalau begitu,”
kata Madelyne tanpa emosi. “Sekarang dengarkan aku. Satu-satunya dosamu adalah
jatuh cinta kepada pria yang salah. Aku berharap kau dapat memberitahu Duncan
tentang Morcar, tapi itu adalah keputusan yang harus kau buat, bukan aku.
Selama kau mengikatku, aku bersumpah aku akan menjaga rahasiamu.”
“Aku
percaya padamu,” jawab Adela. “Aku sudah mengawasimu sepanjang minggu ini. Kau
sama sekali tidak seperti kakakmu. Kau bahkan tidak mirip dengannya.”
“Aku
bersyukur untuk itu,” gumam Madelyne dengan kegembiraan yang besar dalam
suaranya, Adela tersenyum.
“Satu
pertanyaan lagi, Adela, kalau kau berkenan,” kata Madelyne. “Mengapa kau
bertingkah sangat tidak waras? Apakah itu semua demi kebaikan
saudara-saudaramu?”
Adela
mengangguk. “Kenapa?” tanya Madelyne bingung.
“Waktu
aku kembali ke rumah, aku sadar aku tidak akan mati. Kemudian aku mulai cemas
kalau aku mungkin mengandung anak Morcar. Duncan akan memaksaku menikah, dan...”
“Kau
tidak mungkin berpikir bahwa Duncan akan menikahkanmu dengan Louddon?” potong
Madelyne.
“Tidak,
tidak.” Kata Adela. “Tapi dia akan menemukan seseorang. Satu-satunya tujuannya
pasti hanya untuk menolongku.”
“Dan
apakah kau hamil?” tanya Madelyne. Ia merasa perutnya teraduk karena
kemungkinan tersebut.
“Aku
tidak tahu. Aku melewatkan haidku, tapi aku tidak merasakan perbedaan dan
haidku memang tidak teratur.” Adela merona setelah pengakuannya.
“Barangkali
sekarang terlalu cepat untuk mengetahuinya,” nasihat Madelyne. “Tapi jika kau
memang hamil, menurutmu bagaimana kau akan menyembunyikannya dari Duncan? Dia
mungkin keras kepala, Adela, tapi dia jelas tidak buta.”
“Aku
berniat untuk bersembunyi di kamarku sampai sudah terlambat, kurasa. Itu
terdengar sangat bodoh sekarang. Aku tidak berpikir dengan terlalu jernih
selama ini. Aku hanya tahu aku akan membunuh diriku sendiri sebelum aku dipaksa
menikahi seseorang.”
“Bagaimana
dengan Baron Gerald?” tanya Madelyne.
“Kontraknya
sudah rusak sekarang,” kata Adela. “aku bukan lagi seorang perawan.”
Madelyne
menghela napas. “Apakah sang baron mengumumkan hal ini?”
“Nay, tapi Duncan berkata pria itu tidak
harus menepati perjanjian itu lagi,” ujar Adela.
Madelyne
mengangguk. “apakah kekhawatiran utamamu adalah bahwa Duncan akan memaksamu
menikah?”
“Benar.”
“Kalau
begitu, mari kita hadapi kekhawatiran ini terlebih dahulu. Kita akan membuat
rencana untuk mengenyahkan kecemasan itu darimu.”
“Benarkah?”
Madelyne
mendengar antusiasme dalam suara Adela, juga melihat percikan harapan di
matanya. Itu membuat Madelyne semakin bertekad. Tidak mampu duduk diam lebih
lama lagi, Madelyne bangkit berdiri dan mulai mondar-mandir mengelilingi kursi
mereka pelan-pelan. “Aku tidak percaya semenit pun kalau kakakmu akan bersikap
kejam dengan mendesakmu untuk menikahi seseorang.” Ia mengangkat tangannya
ketika Adela terlihat seolah hendak menyela, lalu menlanjutkan. “Akan tetapi
apa yang kuyakini tidak penting. Bagaimana jika aku mendapatkan janji dari
Duncan bahwa kau dapat tinggal di sini selama yang kau inginkan, tak peduli apa
pun keadaannya? Akankah itu meredakan ketakutanmu, Adela?”
“Apakah
kau harus memberitahunya kalau aku mungkin sedang hamil?”
Madelyne
tidak langsung menjawab. Ia terus mondar-mandir, bertanya-tanya bagaimana,
dalam nama Tuhan, ia dapat membuat Duncan menjanjikan apa pun kepadanya.”
“Tentu
saja tidak,” jawab Madelyne. Ia berhenti ketika berada tepat di depan Adela dan
tersenyum kepada gadis itu. “Aku akan mendapatkan janjinya terlebih dahulu. Dia
akan mengetahui sisanya dengan cukup cepat, iya kan?”
Adela
tersenyum. “Kau memiliki sifat yang licik, Madelyne. Aku mengerti rencanamu
sekarang. Begitu Duncan setuju, dia tidak akan mengingkari jnjinya. Tapi dia
akan sangat marah kepadamu karena menipunya,” tambahnya, senyumnya memudar
karena kecemasan itu.
“Dia
selalu marah kepadaku,” sahut Madelyne sembari mengangkat bahu. “Aku tidak
takut pada kakakmu, Adela. Dia mengamuk bagaikan angin, tapi ada inti yang
lembut di bawahnya. Aku yakin itu,” kata Madelyne, berdoa dalam hati bahwa ia
benar. “Nah, berjanjilah padaku kau tidak akan mencemaskan kemungkinan kau
sedang mengandung. Kau sudah mengalami siksaan yang berat, dan bisa jadi itulah
alasan kau melewatkan haidmu,” nasihatnya. “Aku tahu segalanya tentang ini, kau
tahu, sebab Frieda, istri si penebang pohon, mengalami kesedihan hebat ketika
putranya terjatuh ke dalam sumur ait munum dan tidak bisa dikeluarkan untuk
waktu yang sangat lama. Bocah itu tidak terluka, dan syukurlah karena itu, tapi
aku mendengar Frieda memberitahu pelayan yang lain kira-kira dua bulan kemudian
kalau dia tidak mendapatkan haidnya. Si pelayan yang satunya menjelaskan bahwa
itu adalah kondisi yang sangat alami mengingat ketakutan yang Frieda alami. Aku
tidak ingat lagi nama wanita yang bijaksana itu, kalau tidak, aku pasti sudah
memberitahumu, tapi dia ternyata benar mengenai hal ini. Aye, Frieda kembali mendapatkan haidnya seperti biasa pada bulan
berikutnya.”
Adela
mengangguk. “Dan kalau kau memang hamil,” lanjut Madelyne, “kita akan mengurus
sampai lahir, kan? Kau tidak akan membenci anak itu, kan, Adela?” Madelyne
tidak dapat menghilangkan kecemasan dari suaranya. “Bayi itu akan sama tidak
berdosanya seperti dirimu, Adela.”
“Dia
akan memiliki jiwa yang jahat, seperti ayahnya,” kata Adela. “Mereka berbagi
darah yang sama.”
“Kalau
begitu caranya, maka aku akan dikutuk masuk neraka sama seperti Louddon, ya
kan?”
“Nay, kau tidak seperti kakakmu,” protes
Adela.
“Dan
anakmu tidak akan seperti Morcar juga. Kau akan memastikannya,” ujar Madelyne.
“Bagaimana
caranya?”
“Dengan
cara mencintai bayi itu dan membantunya membuat pilihan yang benar ketika dia
sudah cukup dewasa untuk mengerti.”
Madelyne
kemudian menghela napas dan menggeleng. “Bagaimanapun juga, kau mungkin tidak
sedang mengandung, jadi mari kita kesampingkan masalah itu untuk saat ini. Aku
bisa lihat betapa lelahnya kau sekarang. Karena kamarmu masih harus dibersihkan
sebelum kau dapat tidur di sana, kau boleh memakai tempat tidurku untuk malam
ini. Aku akan mencari tempat tidur yang lain.”
Adela
mengikuti Madelyne menuju tempat tidur dan mengamati sementara teman barunya
itu menarik selimut. “Kapan kau akan meminta janji Duncan?”
Madelyne
menunggu hingga Adela naik ke tempat tidur sebelum menjawab. “Aku akan
berbicara dengannya besok. Ini sangat penting bagimu, aku bisa melihatnya. Aku
tidak akan lupa.”
“Aku
tidak akan pernah menginginkan ada pria yang menyentuhku lagi,” kata Adela.
“Hush,
sudah,” Madelyne menenangkan sambil menarik selimut ke tubuh Adela. “Beristirahatlah
sekarang. Segalanya akan baik-baik saja.”
Adela
tersenyum karena cara Madelyne memanjakannya. “Madelyne? Aku minta maaf karena
caraku memperlakukanmu. Seandainya menurutku akan menolong, aku akan meminta
Edmond untuk berbicara kepada Duncan agar mengantarmu ke skotlandia.”
Madelyne
memperhatikan kalau Adela berniat untuk berbicara kepada Edmond dan bukan
langsung kepada Duncan. Ucapan tersebut menguatkan keyakinan Madelyne bahwa
Adela takut kepada saudara sulungnya itu.
Adela
menghela napas lalu berkata, “Aku sungguh-sungguh tidak mau kau pergi ke
mana-mana. Aku begitu kesepian. Apakah aku egois karena mengakui itu?”
“Hanya
bersikap jujur,” jawab Madelyne. “Sifat yang paling aku kagumi,” imbuhnya “Aku
tidak pernah mengucapkan dusta selama hidupku,” bualnya.
“Tidak
pernah?”
Madelyne
mendengar kikikan Adela dan tersenyum karenanya. “Bukannya aku bisa
mengingatnya,” katanya. “Dan aku berjanji untuk tinggal di sini selama kau
membutuhkanku. Aku tidak punya keinginan untuk bepergian dalam cuaca yang ganas
ini.”
“Kau
juga telah dipermalukan, Madelyne. Semua orang akan berpikir...”
“Kau
bicara omong kosong,” ujar Madelyne. “Tak satu pun dari kita yang bertanggung
jawab atas apa yang telah terjadi. Kita berdua benar-benar terhormat di dalam
hati kita. Hanya itulah yang penting bagiku.”
“Kau
memiliki watak yang sangat tidak biasa,” kata Adela. “Menurutku kau seharusnya
membenci kami semua para Wexton.”
“Well, faktanya memang saudara-saudaramu
bukan orang-orang yang mudah untuk disukai,” ujar Madelyne mengakui. “Tapi aku
tidak membenci mereka. Tahukah kau kalau aku merasa aman di sini? Ini luar
biasa, kan? Menjadi seorang tawanan dan merasa sangat aman pada saat yang
bersamaan. “Nah, itu adalah kebenaran yang perlu direnungkan.”
Madelyne
mengernyitkan dahi, pikirannya dipenuhi dengan pengakuannya yang menakjubkan
tersebut. “Nah,” katanya pada diri sendiri. “Aku harus memikirkan tentang ini
sedikit lebih lama.”
Madelyne
menepuk lengan Adela kemudian berbalik dan berjalan ke pintu.
“Kau
tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh mengenai Morcar, kan, Madelyne?”
“Nah,
kenapa kau menanyakan hal semacam itu?” tanya Madelyne.
“Karena
ekspresi yang muncul di wajahmu sewaktu aku memberitahumu namanya,” jawab Adela.
“Kau tidak akan melakukan apa pun, kan?”
Adela
terdengar ketakutan lagi. “Kau memiliki imajinasi yang terlalu aktif,” kata
Madelyne pada gadis itu. “Satu hal lagi yang membuat kita mirip,” tambahnya,
dengan cerdas menghindari topik menyangkut Morcar.
Siasat
Madelyne berhasil, sebab Adela tersenyum lagi. “Kurasa aku tidak akan bermimpi
buruk malam ini. Aku begitu lelah. Sebaiknya kau segera pergi tidur, Madelyne.
Kau akan membutuhkan istirahat untuk melakukan pembicaraanmu dengan Duncan.”
“Menurutmu
dia akan menghabiskan tenagaku?” tanya Madelyne.
“Bukan
kau,” jawab Adela. “Kau bisa membuat Duncan menjanjikan apa pun kepadamu.”
Ya
Tuhan, adik Duncan itu memiliki kepercayaan yang begitu besar. Madelyne merasa
puncaknya merosot.
“Aku
melihat duncan mengamatimu. Dan memang kau menyelamatkan nyawa Gilard. Aku
mendengarnya menceritakan itu kepada Edmond. Ingatkan duncan tentang itu dan
dia tidak akan bisa menolak untuk memberikan apa pun kepadamu.”
“Tidurlah,
Adela.”
Madelyne
baru saja akan menutup pintu, ketika kata-kata Adela yang berikutnya tertangkap
olehnya. “Duncan tidak pernah memandang Lady Eleanor seperti dia memandangmu.”
Madelyne
tidak dapat menahan diri. “Siapa Lady Eleanor?” tanyanya, berusaha terdengar
tidak terlalu tertarik. Ia berbalik dan memandang Adela, dan dari cara adik
duncan itu tersenyum kepadanya, Madelyne menduga kalau ia mungkin tidak bisa
membodohi gadis itu.
“Wanita
yang Duncan pikir akan dia nikahi.”
Madelyne
tidak menampakkan reaksi yang jelas. Ia mengangguk, menandakan bahwa ia
mendengar Adela.
“Kalau
begitu aku sangat menyesal untuk wanita itu. Dia akan sangat sibuk karena hidup
bersama kakakmu. Jangan tersinggung, Adela, tapi menurutku kakakmu itu terlalu
arogan untuk kebaikannya sendiri.”
“Aku
bilang dia berpikir tentang menikahi wanita itu, Madelyne. Tapi dia tidak akan
melakukannya.”
Madelyne
tidak menjawab. Ia menutup pintu di belakangnya dan berhasil melintasi landasan
sebelum meledak menangis.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar