Sabtu, 11 Agustus 2018

Honor's Splendour 10


“Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi.”
-PERJANJIAN LAMA, KEJADIAN, 6:4

 Kalau Madelyne hidup sampai usia tiga puluh, ia bersumpah tidak akan pernah melupakan minggu yang mengikuti keputusannya untuk menolong Adela.

Minggu itu tidak seperti minggu-minggu yang lain, kecuali invasi Duke William barangkali, tapi pada saat itu Madelyne belum lahir untuk menyaksikan kejadian tersebut, jadi ia rasa itu tidak dihitung. Minggu itu nyaris menghancurkan sifat lembut dan kewarasannya. Tapi Madelyne tidak yakin yang mana yang lebih ia dambakan, dan oleh sebab itu ia bertekad untuk mempertahankan keduanya.


Bahkan, tekanan itu cukup untuk membuat gigi seorang santo bergemeretak. Keluarga Wexton, tentu saja, adalah salah satu alasannya.

Madelyne diberi kebebasan untuk menjelajahi area kastil, dengan hanya seorang prajurit yang mengekor di belakangnya bagaikan sebuah bayangan yang mencolok. Ia bahkan memperoleh izin dari Duncan untuk memanfaatkan sisa makanan untuk memberi makan hewan-hewan. Dan karena prajurit itu juga mendengar permintaan Madelyne dikabulkan, pria itu benar-benar berdebat dengan para pengawal yang bertugas menjaga jembatan tarik demi Madelyne. Gadis itu berjalan sampai ke puncak bukit di luar tembok benteng, pelukannya dipenuhi dengan karung yang berisi daging, unggas dan gandum. Ia tidak tahu apa yang akan dimakan oleh anjing liarnya dan membawa pilihan makanan yang pasti akan memikat hewan tersebut.

Bayangan Madelyne, seorang prajurit tampan bernama Anthony, menggerutu karena jauhnya jarak yang mereka tempuh. Ia tadinya mengusulkan agar mereka menunggang kuda, namun Madelyne menolak usul tersebut, membuat si prajurit terpaksa berjalan di sisinya. Ia memberitahu pria itu bahwa berjalan bagus untuk mereka, padahal yang sebenarnya adalah ia berharap dapat menyembunyikan kurangnya ketrampilannya dalam berkuda.

Ketika Madelyne kembali dari kegiatannya, Duncan sudah menunggunya. Pria itu kelihatan tidak terlalu senang. “Kau bukan diberi izin untuk pergi keluar tembok benteng,” ucap Duncan dengan sangat tegas.

Anthony maju untuk membela Madelyne. “Kau memang memberinya izin untuk memberi makan hewan-hewan,” ia mengingatkan tuannya.

Aye, benar,” Madelyne mengiyakan, dan dengan senyum yang manis dan suara yang lembut seperti itu, ia yakin Duncan berpikir kalau ia sangat tenang.

Duncan menganggukkan kepalanya.

Ekspresi di wajah Duncan menakutkan. Madelyne berpikir bahwa pria itu berharap mengenyahkan dirinya. Namun Duncan bahkan tidak berteriak kepada Madelyne saat ini. Sebenarnya, Duncan jarang mengeraskan suaranya. Ia tidak harus melakukannya. Ukuran tubuh Duncan memperoleh perhatian dengan cepat, dan ekspresinya, ketika ia sedang tidak senang seperti sekarang, sepertinya sama efektifnya dengan teriakan apa pun.

Madelyne tidak takut lagi kepada pria itu. Sayangnya, ia harus mengingatkan dirinya akan fakta tersebut beberapa kali sehari. Dan ia masih tidak memiliki cukup keberanian untuk menanyai tentang maksud Duncan yang mengatakan bahwa ia kini adalah milik pria itu, dan, sebenarnya, takut dengan jawaban pria itu.

Lagi pula, kata Madelyne pada diri sendiri, akan ada cukup waktu untuk mencari tahu tentang takdirnya sendiri setelah Adela merasa lebih baik. Untuk saat ini, ia akan menghadapi setiap pertempuran yang muncul.

“Aku hanya jalan-jalan ke puncak bukit,” jawab Madelyne akhirnya. “Apa kau khawatir aku akan terus berjalan sampai ke London?”

“Apa gunanya jalan-jalan ini?” tanya Duncan, tidak mengacuhkan komentar gadis itu tentang melarikan diri. Menurutnya itu terlalu konyol untuk ditanggapi.

“Untuk memberi makan serigalaku.”

Reaksi Duncan sangat memuaskan. Sekali ini Duncan tidak dapat menjaga ekspresinya tetap terkendali. Duncan memandang gadis itu dengan tercengang. Madelyne tersenyum.

“Kau boleh tertawa kalau kau mau, tapi aku melihat entah seekor anjing yang sangat besar atau seekor serigala liar, dan aku betul-betul merasa memberinya makan adalah tugasku, hanya sampai cuaca membaik dan dia bisa berburu lagi. Tentu saja, ini akan berarti aku mengurus makanannya sepanjang musim dingin ke depan, tapi saat musim semi datang, bersama tiupan angin hangat yang pertama, aku yakin serigalaku akan mampu menghidupi dirinya sendiri.”

Duncan berbalik memunggungi Madelyne dan berjalan menjauh.

Madelyne merasa hendak tertawa. Duncan tidak melarangnya jalan-jalan di luar benteng, dan itu adalah kemenangan yang cukup untuk disombongkan.

Sebetulnya, Madelyne rasa si anjing liar tidak berada di area ini lagi. Ia menatap keluar jendelanya setiap malam sejak pertama kali melihat hewan tersebut, namun hewan tersebut tidak pernah ada di sana. Anjing itu sudah pergi, dan kadang-kadang, pada tengah malam saat Madelyne meringkuk di bawah selimut, ia bertanya-tanya apakah ia sungguh-sungguh melihat hewan tersebut ataukah anjing itu hanyalah sebuah khayalan dari imajinasinya yang terlalu aktif.

Akan tetapi, Madelyne tidak akan pernah mengakui itu kepada Duncan, dan merasa sangat gembira setiap kali ia berjalan melintasi jembatan tarik. Makanan yang ia tinggalkan sehari sebelumnya selalu hilang, menandakan bahwa ada hewan yang makan saat malam hari. Ia senang mengetahui makanan itu tidak terbuang. Dan ia bahkan lebih senang lagi membuat Duncan kesal.

Aye, ia melakukan ini hanya untuk membuat pria itu jengkel. Dan dari cara Duncan menghindarinya, menurutnya ia telah berhasil.

Hari-hari tersebut pasti akan menyenangkan andai Madelyne tidak harus mengkhawatirkan saat-saat makan malam. Itu sungguh membebani dirinya dan menekan sifat lembutnya.

Madelyne berada di luar ruangan sesering mungkin, tidak mengacuhkan hujan dan udara dingin. Gerty memberinya pakaian bekas milik kakak Duncan, Catherine. Pakaian tersebut terlalu besar, namun Madelyne menggunakan jarum dan benangnya pada pakaian tersebut dan hasilnya lebih dari cukup untuk kebutuhannya. Ia tidak peduli apakah dirinya mengikuti mode. Pakaian tersebut pudar namun bersih, dan terasa lembut di kulitnya. Yang lebih penting, pakaian-pakaian itu membuatnya tetap hangat.

Setiap sore Madelyne berjalan ke istal dengan segumpal gula untuk diberikan kepada kuda jantan Duncan, si cantik berwarna putih yang ia namai Silenus. Ia dan kuda itu telah membentuk semacam ikatan. Kuda jantan itu akan membuat keributan hebat, berpura-pura mencoba mematahkan kandang kayu setiap kali hewan itu menangkap kilasan Madelyne yang sedang mendekat. Namun segera setelah Madelyne bicara padanya, Silenus akan menjadi tenang. Madelyne memahami kebutuhan kuda tersebut untuk pamer padanya, dan ia selalu memuji semangat kuda itu setelah memberinya hadiah.

Silenus, terlepas dari ukuran tubuhnya, semakin menjadi penuh kasih sayang. Silenus akan menyenggol tangan Madelyne sampai ia menepuk-nepuk kuda itu, dan ketika Madelyne berhenti dan mengistirahatkan tangannya di atas pagar, sebuah trik untuk mendapatkan reaksi kuda itu, Silenus akan langsung menyenggol tangan Madelyne agar kembali ke atas kepalanya.

Kepala istal tidak suka Madelyne datang berkunjung dan mengutarakan pendapatnya cukup keras untuk Madelyne dengar. Pria itu juga berpendapat bahwa Madelyne telah memanjakan kuda Duncan dan bahkan mengancam untuk memberitahu tuannya apa yang sedang gadis itu rencanakan. Akan tetapi, pria itu hanya menggertak. Aye, kepala istal kagum dengan metode pintar Madelyne dalam menangani kuda tersebut. Pria itu masih agak gugup setiap kali memasangkan pelana pada kuda jantan Duncan itu, namun gadis mungil ini tidak takut sedikit pun.

Pada sore ketiga, sang kepala istal berbicara kepada Madelyne, dan pada akhir minggu, mereka sudah menjadi teman baik.

Madelyne mengetahui bahwa nama pria itu adalah James, dan ia menikah dengan Maude, putra mereka William, masih menempel di rok ibunya, namun James dengan sabar menanti saat si bocah sudah cukup besar untuk menjadi murid di bawah bimbingannya. Anak itu akan mengikuti tradisi, jelas James dengan gaya sok penting.

“Silenus akan membiarkan anda menungganginya tanpa pelana,” James memberitahu setelah ia memberi Madelyne tur di sekitar wilayahnya.

Madelyne tersenyum. James sudah menerima nama yang ia berikan kepada kuda Duncan. “Aku tidak pernah menunggang kuda tanpa pelana,” ujarnya. “Itu benar, James, aku sangat jarang menunggang kuda.”

“Mungkin,” saran James seraya tersenyum baik hati, “saat hujan agak berkurang, Anda bisa mempelajari cara menunggang kuda dengan benar.”

Madelyne mengangguk.

“Nah, kalau anda tidak pernah belajar, bagaimana cara anda pergi dari satu tempat ke tempat berikutnya, saya jadi ingin tahu,” ujar James mengakui.

“Aku berjalan kaki,” Madelyne memberitahu James. Ia tertawa karena ekspresi terkejut pria itu. “Ini bukan dosa yang sedang aku akui.”

“Saya punya seekor kuda betina jinak yang bisa Anda gunakan untuk mulai berlatih,” saran pria itu.

Nay, kurasa tidak,” jawab Madelyne. “Silenus tidak akan terlalu menyukainya. Aku rasa perasaannya akan terluka, dan kita tidak bisa membiarkan itu, iya kan?”

“Kita tidak bisa?” James tampak kebingungan.

“Aku akan baik-baik saja dengan Silenus.”

“Kuda tuanlah yang ingin Anda tunggangi, Milady?” James tergagap. Ia terdengar seolah-olah sedang tercekik.

“Aku tahu kuda itu milik siapa,” timpal Madelyne. “Jangan khawatir dengan ukuran tubuh hewan itu,” katanya, mencoba menghilangkan ekspresi ragu dari wajah pria itu. “Aku sudah pernah menunggang Silenus sebelumnya.”

“Tapi apakah Anda sudah mendapat izin dari tuan?”

“Aku pasti akan mendapatkannya, James.”

Madelyne tersenyum lagi, dan seluruh argumen logis pergi dari pikiran sang kepala istal. Aye, ujar James pada dirinya sendiri, dari sorot mata biru cantik Madelyne dan cara gadis itu tersenyum dengan penuh kepercayaan kepadanya, James mendadak mendapati dirinya benar-benar setuju.

Saat Madelyne meninggalkan istal, pengawalnya berjalan di sebelahnya. Pria itu merupakan peringatan konstan bagi Madelyne dan bagi semua orang bahwa dirinya bukanlah tamu yang diundang. Akan tetapi, sikap Anthony kepadanya sudah jauh melunak. Pria itu sama sekali tidak jengkel karena tugasnya ini.

Dari cara Anthony disapa oleh prajurit lainnya, Madelyne menarik kesimpulan bahwa pria itu adalah orang yang dihormati. Pria itu punya senyum yang menarik, senyum yang kekanak-kanakan, yang mana sangat tidak sesuai dengan ukuran tubuh dan usianya. Madelyne tidak dapat mengerti mengapa pria itu diperintahkan untuk mengawasinya, dan berpendapat bahwa seseorang yang status yang lebih rendah, seperti Ansel, si squire, pasti akan lebih cocok dengan tugas yang membosankan ini.

Rasa penasaran Madelyne kian menjadi-jadi, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menanyai pria itu. “Apa kau telah melakukan sesuatu yang membuat tuanmu tidak senang?”

Anthony tampak tidak paham dengan pertanyaan Madelyne.

“Ketika para prajurit kembali dari tugas mereka, aku bisa melihat rasa iri saat kau mengawasi mereka, Anthony. Kau lebih suka berlatih bersama mereka ketimbang berjalan berputar-putar bersamaku.”

“Ini bukan masalah,” bantah Anthony.

“Tetap saja, aku tidak mengerti mengapa kau diberi tugas ini kecuali kau entah bagaimana sudah membuat Duncan tidak senang.”

“Aku mendapat cedera yang perlu disembuhkan sedikit lagi,” jelas Anthony. Suaranya ragu, dan madelyne melihat rona merah yang perlahan-lahan merayap di pipi pria itu.

Madeline berpendapat sangat aneh pria itu menjadi malu. Hanya bermaksud untuk menenangkan pria itu, ia berkata, “aku juga mendapat sebuah luka, dan bukan luka yang ringan pula, aku bisa meyakinkanmu.” Itu benar-benar terdengar seperti bualan, namun tujuannya adalah membuat Anthony sadar bahwa pria itu tidak perlu malu karena hal apa pun. “Nyaris membuatku tewas, Anthony, tapi Edmond merawatku. Kini aku punya bekas luka yang mengerikan, di sepanjang pahaku.”

Anthony tetap terlihat tidak nyaman dengan topik pembicaraan mereka. “Bukankah para prajurit menganggap terluka dalam perang itu terhormat?” tanya Madelyne.

“Benar,” jawab anthony. Ia mengaitkan kedua tangannya di belakang punggung dan mempercapat langkahnya.

Madelyne mendadak paham kalau Anthony bisa jadi merasa malu karena tempat di mana ia mendapatkan lukanya. Kedua lengan dan kakinya terlihat cukup sehat, dan itu berarti tinggal dadanya dan...

“Kita tidak akan membicarakan ini lagi,” sembur Madelyne. Ia merasa wajahnya menghangat. Ketika Anthony langsung memelankan langkah, Madelyne tahu kalau dirinya benar. Luka itu berada di tempat yang tidak pantas.

Meskipun tidak pernah menanyai anthony tentang hal itu, menurut Madelyne para prajurit yang berlatih selama berjam-jam setiap harinya itu aneh. Ia menduga bahwa mereka membela tuan mereka adalah pekerjaan yang sulit, menimbang fakta bahwa pemimpin mereka memiliki begitu banyak musuh. Ia juga tidak berpikir bahwa dirinya terlalu cepat menyimpulkan. Duncan bukan pria yang mudah disukai; pria itu memang tidak biasa bersikap bejaksana atau diplomatis. Bahkan, pria itu mungkin mengumpulkan lebih banyak musuh ketimbang teman di istana William II.

Madelyne, sayangnya, memperoleh banyak waktu untuk memikirkan Duncan. Ia sama sekali tidak terbiasa memiliki begitu banyak waktu kosong. Saat ia tidak berada di luar untuk jalan-jalan bersama Anthony, ia membuat Gerty dan maude kebingungan dengan saran-sarannya untuk membuat rumah Duncan lebih menyenangkan.

Maude tidak sewaspada Gerty. Wanita itu selalu bersemangat untuk mengesampingkan tugas-tugasnya dan mengunjungi Madelyne. Si kecil Willie, putra Maude yang berusia empat tahun, ternyata secerewet ibunya begitu Madelyne dapat memaksa ibu jari anak itu keluar dari mulutnya.

Akan tetapi, ketika sinar matahari mulai memudar, perut Madelyne mengencang dan kepalanya mulai berdenyut-denyut. Itu tidaklah mengherankan, kata Madelyne pada diri sendiri, apabila seseorang menganggap malam-malam yang dihabiskan bersama keluarga Wexton merupakan ujian ketabahan yang pasti akan Odysseus abaikan.

Tapi Madelyne tidak diizinkan untuk mengabaikan ujian itu. Ia juga hampir berlutut serta memohon untuk menyantap makan malamnya di kamarnya, namun Duncan tidak mau mengizinkannya. Nay, Duncan menuntut kehadirannya pada makan malam keluarga dan berani menjauhkan dirinya sendiri dari siksaan menjijikkan yang ia paksakan kepada Madelyne. Sang baron selalu makan sendirian, dan muncul sebentar hanya ketika meja sudah dibersihkan dari kekacauan yang belum dilemparkan oleh para prajurit ke lantai.

Adela menyajikan percakapan yang provokatif. Sementara para prajurit melontarkan tulang-tulang dari atas bahu mereka, adik Duncan itu melontarkan satu demi satu makian kepada Madelyne.

Madelyne merasa ia tidak sanggup menahan siksaan itu lebih lama lagi. Senyumnya terasa segetas perkamen kering.

Pada malam ketujuh, ketenangan Madelyne benar-benar hancur, dan dengan kekuatan yang begitu hebat hingga mereka yang menyaksikan terlalu tercengang untuk ikut campur.

Duncan baru saja memberinya izin untuk meninggalkan aula. Madelyne berdiri, pamit, dan mulai melangkah menuju pintu.

Kepalanya berdenyut-denyut, dan Madelyne hanya berniat untuk menjauhi Adela. Ia sedang tidak ingin menghadapi satu babak jaritan lagi. Adik Duncan itu sedang berjalan ke arahnya.

Madelyne melirik Adela dengan hati-hati dan melihat si kecil Willie mengintip dari pintu yang menuju dapur. Si bocah kecil itu tersenyum kepada Madelyne dan ia langsung berhenti untuk berbicara dengan anak itu.

Anak itu merespon senyum Madelyne. Ia melesat di depan Adela tepat ketika adik Duncan itu melayangkan tangannya dalam salah satu gerakan megah yang selalu ia buat ketika hendak menyiksa Madelyne lagi. Punggung tangan Adela menampar pipi Willie. Bocah itu terguling ke lantai.

Willie mulai menangis, Gilard berteriak, dan Madelyne mengeluarkan jeritan yang memekakkan telinga. Suara marah yang ia buat mengejutkan semua orang di aula, bahkan Adela, yang benar-b enar mundur selangkah, langkah mundur dari Madelyne yang pertama dan sungguhan yang pernah gadis itu lakukan.

Gilard hendak berdiri. Duncan mencengkram lengannya. Si bungsu itu hendak meminta Duncan untuk melepaskannya, tapi sorot di mata duncan menghentikannya.

Madelyne bergegas mendatangi si bocah, menenangkannya dengan kata yang halus dan ciuman yang lembut di puncak kepala anak itu, kemudian menyuruhnya pergi kepada ibunya. Maude, tidak lama setelah mendengar tangisan putranya, muncul di pintu, bersama Gerty di sampingnya.

Kemudian Madelyne berbalik untuk menghadapi Adela. Ia mungkin saja dapat mengontrol amarahnya andai adik Duncan itu menunjukkan sedikit saja tanda penyesalan. Adela, akan tetapi, tidak tampak menyesal sedikit pun atas perbuatannya. Dan ketika ia menggumam bahwa bocah itu mengganggu, Madelyne melepaskan kendali dirinya.

Adela menyebut dirinya anak nakal kurang dari sedetik sebelum Madelyne mengamuk dan menampar gadis itu tepat di tempat yang menurutnya paling pantas untuk Adela, yaitu di mulutnya. Adela begitu terkejut dengan serangan itu, sehingga ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh berlutut. Tanpa menyadarinya, ia memberi Madelyne keuntungan tambahan.

Sebelum Adela bisa berdiri, Madelyne mencengkram rambutnya dan memuntir rambut itu di belakang kepalanya, membuat adela rentan dan tidak dapat menyerang balik. Madelyne menarik kepala Adela ke belakang. “Kau sudah mengucapkan kata kotormu yang terakhir, Adela. Kau mengerti aku?”

Semua orang menatap kedua gadis itu. Edmon-lah yang pertama keluar dari keadaan lumpuhnya. “Lepaskan dia, Madelyne,” teriaknya.

Tanpa mengalihkan perhatiannya dari Adela, Madelyne balas berteriak kepada Edmond. “Jangan ikut campur, Edmond. Kau menganggap aku bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi kepada adikmu, dan aku memutuskan sudah waktunya aku turun tangan untuk membereskan kekacauan ini. Dimulai dari sekarang.”

Duncan sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. “Aku tidak menganggapmu bertanggung jawab,” seru Edmond. “Lepaskan dia. Pikirannya...”

“Pikirannya hanya membutuhkan pembersihan menyeluruh, Edmond.”

Madelyne melihat Maude dan Gerty sedang menyaksikan dari pintu. Ia tetap memegangi Adela erat-erat ketika menoleh untuk berbicara dengan mereka. “Menurutku kita akan membutuhkan dua bak mandi untuk mengenyahkan kotoran yajng menutupi makhluk malang ini. Urus itu, Gerty, Maude, cari pakaian bersih untuk nonamu.”

“Anda mau mandi sekarang, Milady?” tanya Gerty.

“Adela yang akan mandi,” Madelyne mengumumkan. Ia berpaling kembali untuk memelototi Adela dan berkata, “Dan sabun di dalam mulutmu setaip kali kau mengucapkan kata yang tidak pantas diucapkan oleh seorang lady kepadaku.”

Lalu Madelyne melepaskan rambut Adela dan membantunya berdiri. Adik duncan itu berusaha menjauh, namun Madelyne tidak membiarkannya. Amarahnya telah memberinya kekuatan Hercules. “Kau lebih tinggi dariku, tapi aku lebih kuat, dan lebih kejam daripada yang pernah bisa kau bayangkan saat ini juga, Adela. Kalau aku harus menendangmu sepanjang jalan menuju menara, aku lebih dari mampu melakukan tugas itu.” Ia menarik lengan Adela, menyeret gadis itu menuju pintu, dan menggumam dengan cukup kencang untuk didengar oleh ketiga saudara laki-lakinya. “Dan aku sedang tersenyum karena gagasan menendangmu, sungguh.”

Adela meledak menangis. Madelyne bersikap kejam. Adik Duncan itu tidak akan mendapat simpati lagi darinya. Edmond dan Gilard sudah terlalu banyak memberi itu kepada Adela. Tanpa menyadarinya, telah melukai saudara perempuan mereka dengan rasa iba dan kasih sayang mereka. Apa yang diperlukan adalah tangan yang kuat. Dan tangan Madelyne cukup kuat. Aneh, tapi kepalanya kini tidak sakit lagi.

“Menangislah sepuasmu, Adela. Itu tidak akan membantu masalahmu. Kau berani menyebut si kecil Willie anak nakal, padahal nama itu lebih cocok untukmu. Aye, kaulah anak nakalnya. Tapi itu semua akan berubah sekarang. Aku berjanji padamu.”

Madelyne meneruskan ocehannya yang tanpa henti sepanjang jalan menuju kamarnya. Ia tidak harus menendang Adela satu kali pun.

Pada saat bak mandi kayu sudah diisi hingga meluber dengan air hangat, keagrasifan telah meninggalkan Adela. Gerty dan maude tinggal untuk membantu melepaskan pakaian Adela dari tubuhnya. “Bakar ini, perintah madelyne setelah menyerahkan pakaian yang menjijikkan itu kepada Gerty.”

Saat Adela didorong ke dalam bak mandi yang pertama, Madelyne berpendapat gadis itu mencoba meniru istri Lot. Adik duncan itu duduk bagaikan sebuah karya pahatan dari batu dan menatap ke kejauhan. Akan tetapi, sorot di matanya menceritakan kisah yang lain. Aye, jelas terlihat bahwa Adela sedang mendidih dengan amarah.

“Mengapa dibutuhkan dua buah bak mandi?” tanya Maude. Ia meremas-remas tangannya dengan cemas. Adela tiba-tiba mengganti taktik dan baru saja merenggut rambut Lady Madelyne. Kelihatannya seakan-akan gadis itu berniat untuk mengoyak ikal-ikal rambut Madelyne yang cantik dari kulit kepalanya.

Sebagai balasan, sang lady yang Maude sudah anggap sebagai wanita yang manis dan lembut, mendorong wajah Adela ke bawah air. Apakah gadis itu berniat menenggelamkan adik sang baron?

“Menurut saya Lady Adela tidak bisa bernapas di bawah sana,” kata Maude.

Aye, dan dia juga tidak bisa meludahiku,” jawab Madelyne mengucapkan setiap kata dengan ketus.

Well, saya tidak pernah...” Gerty mengucapkan protesnya dengan terengah sebelum berbalik. Maude mengawasi temannya itu berlari keluar melalui pintu.

Maude tahu, Gerty selalu menjadi orang yang menyampaikan kabar sebelum orang lain punya kesempatan. Selanjutnya Baron Wexton mungkin ingin mengetahui apa yang sedang terjadi.

Maude berharap ia bisa mengejar Gerty. Saat ini Lady Madelyne membuatnya takut; ia tidak pernah melihat watak segarang ini sebelumnya. Namun demikian, gadis itu telah membela si kecil Willie, Maude mengakui, dan karena itulah ia tetap tinggal dan membantu selama Lady Madelyne menginginkannya.

“Kita memerlukan dua buah bak mandi karena Adela sangat kotor, sehingga dia akan membutuhkan dua kali mandi.”

Maude kesulitan mendengarkan apa yang Lady Madelyne katakan padanya. Adela sudah mulai menendang dan mencakar. Oh Tuhan, ada air di mana-mana, terutama sekali tubuh Lady Madelyne.

“Tolong ambilkan sabunnya,” perintah Madelyne.

Satu jam berikutnya merupakan cobaan luar biasa yang pantas untuk diceritakan kembali hingga musim semi yang akan datang. Gerty terus menjulurkan kepalanya ke dalam kamar itu untuk memeriksa perkembangan. Kemudian ia buru-buru kembali ke lantai bawah untuk melapor kepada Edmond dan Gilard.

Saat kegaduhan itu selesai, Gerty agak kecewa. Lady Adela duduk diam di depan perapian sementara Lady Madelyne menyisir rambutnya. Keagresifan telah meninggalkan adik sang baron, dan kehebohan tadi sudah selesai.

Maude dan Gerty meninggalkan menara setelah kedua bak mandi sudah dikosongkan dan dibawa pergi.

Baik Adela maupun Madelyne tidak mengucapkan satu pun kata yang sopan kepada satu sama lain. Maude tiba-tiba muncul lagi di ambang pintu dan buru-buru berkata. “Saya masih harus mengucapkan terima kasih karena telah menolong putra saya.”

Madelyne baru saja hendak menjawab Maude, ketika si pelayan melanjutkan. “Meski demikian, saya tidak menyalahkan Lady Adela. Dia tidak dapat berbuat apa-apa mengenai keadaannya ini. Tapi Anda sudah bersusah payah untuk menghibur Willie dan saya berterima kasih kepada Anda.”

“Aku tidak bermaksud memukulnya.”

Pengakuan tersebut datang dari Adela. Itu adalah kalimat sopan pertama yang ia ucapkan. Maude dan Madelyne bertukar senyum.

Segera sesudah pintu tertutup di belakang Maude, Madelyne menarik sebuah kursi dan duduk, menghadap Adela.

Adela menolak memandang Madelyne. Kedua tangannya terlipat dipangkuannya dan ia menatap tangannya itu lekat-lekat.

Madelyne mendapatkan banyak waktu untuk mempelajari adik Duncan itu. Adela sebenarnya sangat cantik. Gadis itu memiliki mata besar berwarna coklat, rambut coklat keemasan, yang merupakan sebuah kejutan, namun saat kotoran dibersihkan, helaian-helaian rambut pirangnya sangat mencolok.

Adela tidak terlalu mirip dengan Duncan, tapi ia jelas sama-sama memiliki sifat keras kepala pria itu. Madelyne memaksa dirinya untuk bersabar.

Setidaknya satu jam berlalu sebelum Adela akhirnya mendongak menatap Madelyne. “apa yang kau inginkan dariku?”

“Aku ingin kau menceritakan padaku apa yang telah terjadi padamu.”

Wajah Adela langsung berubah merah. “Apa kau menginginkan detail-detailnya, Madelyne? Apa itu akan membuatmu senang?” Adela mulai memilin manset pada gaun tidur yang baru dicuci yang ia kenakan.

Nay, itu tidak akan membuatku senang,” jawab Madelyne. Suaranya terdengar sedih. “Tapi kau perlu menceritakannya. Ada racun di dalam dirimu, Adela, dan kau perlu mengenyahkannya. Kau akan merasa lebih baik setelahnya, aku berjanji padamu. Dan kau tidak perlu meneruskan tingkah laku kekanak-kanakanmu di hadapan saudara-saudaramu lagi.”

Mata Adela membelalak. “Bagaimana kau...” Ia mendadak sadar apa yang sedang ia ungkapkan.

Madelyne tersenyum. “Sudah jelas bahkan bagi orang yang paling bodoh sekalipun bahwa kau tidak membenciku. Kita berselisih jalan setiap hari dan kau tidak pernah berteriak kepadaku saat itu. Nay, Adela, kebencianmu terlalu disengaja.

“Aku sungguh membencimu.”

“Tidak,” cetus Madelyne. “Tidak ada yang bisa membuatmu membenci diriku. Aku tidak pernah melukaimu. Kita berdua tidak bersalah dan terjebak dalam perang antara kakak-kakak kita. Aye, kita berdua tidak bersalah.”

“Aku tidak suci lagi,” jawab Adela. “Dan Duncan pergi ke tempat tidurmu setiap malam, jadi aku ragu kau masih suci juga.”

Madelyne tertegun karena kata-kata Adela. Mengapa gadis itu berpikir Duncan menghabiskan malam-malamnya bersama Madelyne? Gadis itu salah, tentu saja, Namun Madelyne memaksa dirinya untuk berkonsentrasi pada masalah Adela sekarang. Ia bisa membuktikan kesuciannya sendiri nanti.

“Aku akan membunuh kakakmu andai aku punya kesempatan,” cetus Adela. “Kenapa tidak kau biarkan saja aku sendiri? Aku ingin mati dengan tenang.”

“Jangan membicarakan gagasan penuh dosa seperti itu,” timpal Madelyne. “Adela, bagaimana aku bisa menolongmu kalau kau...”

“Kenapa? Kenapa kau mau menolongku? Kau adik Louddon.”

“Aku tidak memiliki kesetiaan terhadap kakakku. Dia telah menghancurkannya sejak lama. Kapan kau bertemu Louddon?” tanya Madelyne kemudian dengan sangat santai, seolah-olah hal itu sama sekali tidak penting.

“Di London,” jawab Adela. “Dan itu saja yang akan kukatakan padamu.”

“Kita akan membicarakan ini, tak peduli betapa menyakitkannya. Kita hanya berdua, Adela. Aku akan menjaga rahasiamu tetap aman.”

“Rahasia? Tidak ada rahasia, Madelyne. Semua orang tahu apa yang terjadi padaku.”

“Aku ingin mendengar yang sebenarnya darimu,” ujar Madelyne. Kalau kita harus duduk di sini dan menatap satu sama lain sepanjang malam, aku lebih dari bersedia.”

Adela memandang lama Madelyne, tampak jelas sedang mencoba memutuskan. Ia merasa siap meledak menjadi seribu kepingan. Ya Tuhan, ia begitu lelah dengan muslihat ini, dan amat sangat kesepian. “Dan apakah kau akan menceritakan setiap kata kepada Louddon saat kau kembali kepadanya?” tanyanya, walaupun kini suaranya berupa bisikan serak.

“Aku tidak akan pernah kembali kepada Louddon,” kata Madelyne. Suaranya mengekspresikan amarahnya. “Aku berencana untuk pergi dan tinggal bersama sepupuku. Aku belum tahu caranya, tapi aku akan pergi ke Skotlandia bahkan jika aku harus berjalan kaki.”

“Aku percaya padamu, kau tidak akan memberitahu Louddon. Tapi bagaimana dengan Duncan? Apa kau akan memberitahunya?”

“Aku tidak akan memberitahu siapa pun kecuali kau memberiku izin,” jawab Madelyne.

“Aku bertemu kakakmu ketika aku berada di istana,” bisik Adela. “Dia pria yang tampan,” imbuhnya. “Dia bilang dia mencintaiku, mengikat dirinya padaku.”

Adela mulai menangis, dan beberapa menit berlalu sebelum ia mendapatkan kembali kendali diri.

“Aku sudah bertunangan dengan baron Gerald. Kesepakatan itu dibuat ketika aku berumur sepuluh tahun. Aku puas sampai aku bertemu Louddon. Aku tidak pernah bertemu Gerald lagi sejak aku masih kecil. Sesungguhnya, aku bahkan tidak yakin aku akan mengenalinya sekarang. Duncan memberiku izin untuk pergi bersama Edmond dan Gilard ke istana. Gerald seharusnya berada di sana, dan karena pernikahan akan dilaksanakan pada musim panas tahun depan, saudara-saudaraku berpikir gagasan yang bagus bagiku untuk mengenal calon suamiku. Duncan percaya Louddon berada di Normandia bersama sang raja, kau tahu. Kalau tidak, dia tidak akan pernah mengizinkanku dekat-dekat dengan istana.”

Adela menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan. “Gerald tidak berada di sana. Dia punya alasan kuat,” tambahnya, “salah satu tempat tinggal bawahannya telah diserang dan dia harus membalas. Tetap saja aku marah dan kecewa.”

Kemudian Adela mengangkat bahu. Madelyne mengulurkan tangan dan menggenggam kedua tangan gadis itu. “Aku juga pasti akan kecewa,” ujar Madelyne.

“Segalanya terjadi begitu cepat, Madelyne. Kami berada di London selama dua minggu saja. Aku tahu betapa tidak sukanya Duncan kepada Louddon, tapi aku tidak tahu kenapa. Kami menjaga pertemuan-pertemuan kami tetap rahasia. Dia selalu bersikap baik dan penuh perhatian kepadaku. Aku menyukai perhatian tersebut. Pertemuan-pertemuan itu juga mudah diatur, sebab Duncan tidak ada di sana.”

“Louddon pasti akan menemukan cara,” ujar Madelyne. “Menurutku, dia menggunakanmu untuk menyakiti kakakmu. Kau sangat cantik, tapi menurutku Louddon tidak mencintaimu. Dia tidak mampu mencintai kecuali dirinya sendiri. Aku tahu itu sekarang.”

“Louddon tidak menyentuhku.”

Pernyataan tersebut menyelimuti mereka. Madelyne tertegun. Ia memaksa dirinya untuk menjaga ekspresinya tetap terkendali dan kemudian berkata, “Teruskan.”

“Kami sepakat bertemu di sebuah kamar kosong yang Louddon temukan sehari sebelumnya. Ruangan tersebut cukup jauh dari semua tamu, dan cukup terisolasi. Aku tahu apa yang kulakukan, Madelyne. Aku menyetujui pertemuan ini. Kupikir aku mencintai kakakmu. Aku tahu itu salah, tapi aku tak bisa menahan apa yang kurasakan. Oh Tuhan, dia begitu tampan. Ya Tuhan, Duncan akan membunuhku kalau tahu yang sebenarnya.”

“Jangan menyiksa dirimu sendiri, Adela. Dia tidak akan mengetahui apa pun kecuali kau memberitahunya.”

“Louddon datang menemuiku,” ujar Adela. “Tapi dia tidak sendirian. Dia bersama temannya dan temannya itulah yang... memerkosaku.”

Seluruh latihan Madelyne untuk menyembunyikan perasaannya menyelamatkannya saat ini. Ia tidak menunjukkan reaksi apa pun atas pengakuan mengejutkan Adela.

Adik Duncan itu mengamati Madelyne. Ia menunggu untuk melihat rasa jijik. “Ini tidak membuatmu...”

“Selesaikan,” bisik Madelyne.

Keseluruhan cerita yang menjijikan tersebut tumpah ruah, awalnya dengan terputus-putus dan kemudian dengan kecepatan yang semakin meningkat, dan ketika Adela telah selesai, Madelyne memberinya waktu beberapa menit untuk menenangkan dirinya.

“Siapa pria yang bersama Louddon ini? Beritahu aku namanya.”

“Morcar.”

“Aku kenal si keparat itu,” jawab Madelyne, tidak mampu menghilangkan amarah dari suaranya. Adela kelihatan ketakutan karena ledakan amarah itu. Madelyne berusaha menyingkirkan kemarahannya. “Mengapa kau tidak memberitahu Duncan selama ini? Bukan bagian tentang membuat pilihan untuk menemui Louddon, tentu saja, tapi tentang keterlibatan Morcar?”

“Aku tidak bisa,” jawab Adela. “Aku sangat malu. Dan aku dipukuli habis-habisan, sampai aku sungguh-sungguh mengira aku akan mati. Louddon sama bertanggung jawabnya seperti Morcar... Oh, aku tidak tahu, tapi begitu aku menyebutkan nama Louddon kepada Gilard dan Edmond, mereka tidak mau mendengar apa pun lagi.”

Adela mulai menangis, namun Madelyne cepat-cepat menghentikannya. “Baiklah kalau begitu,” kata Madelyne tanpa emosi. “Sekarang dengarkan aku. Satu-satunya dosamu adalah jatuh cinta kepada pria yang salah. Aku berharap kau dapat memberitahu Duncan tentang Morcar, tapi itu adalah keputusan yang harus kau buat, bukan aku. Selama kau mengikatku, aku bersumpah aku akan menjaga rahasiamu.”

“Aku percaya padamu,” jawab Adela. “Aku sudah mengawasimu sepanjang minggu ini. Kau sama sekali tidak seperti kakakmu. Kau bahkan tidak mirip dengannya.”

“Aku bersyukur untuk itu,” gumam Madelyne dengan kegembiraan yang besar dalam suaranya, Adela tersenyum.

“Satu pertanyaan lagi, Adela, kalau kau berkenan,” kata Madelyne. “Mengapa kau bertingkah sangat tidak waras? Apakah itu semua demi kebaikan saudara-saudaramu?”

Adela mengangguk. “Kenapa?” tanya Madelyne bingung.

“Waktu aku kembali ke rumah, aku sadar aku tidak akan mati. Kemudian aku mulai cemas kalau aku mungkin mengandung anak Morcar. Duncan akan memaksaku menikah, dan...”

“Kau tidak mungkin berpikir bahwa Duncan akan menikahkanmu dengan Louddon?” potong Madelyne.

“Tidak, tidak.” Kata Adela. “Tapi dia akan menemukan seseorang. Satu-satunya tujuannya pasti hanya untuk menolongku.”

“Dan apakah kau hamil?” tanya Madelyne. Ia merasa perutnya teraduk karena kemungkinan tersebut.

“Aku tidak tahu. Aku melewatkan haidku, tapi aku tidak merasakan perbedaan dan haidku memang tidak teratur.” Adela merona setelah pengakuannya.

“Barangkali sekarang terlalu cepat untuk mengetahuinya,” nasihat Madelyne. “Tapi jika kau memang hamil, menurutmu bagaimana kau akan menyembunyikannya dari Duncan? Dia mungkin keras kepala, Adela, tapi dia jelas tidak buta.”

“Aku berniat untuk bersembunyi di kamarku sampai sudah terlambat, kurasa. Itu terdengar sangat bodoh sekarang. Aku tidak berpikir dengan terlalu jernih selama ini. Aku hanya tahu aku akan membunuh diriku sendiri sebelum aku dipaksa menikahi seseorang.”

“Bagaimana dengan Baron Gerald?” tanya Madelyne.

“Kontraknya sudah rusak sekarang,” kata Adela. “aku bukan lagi seorang perawan.”

Madelyne menghela napas. “Apakah sang baron mengumumkan hal ini?”

Nay, tapi Duncan berkata pria itu tidak harus menepati perjanjian itu lagi,” ujar Adela.

Madelyne mengangguk. “apakah kekhawatiran utamamu adalah bahwa Duncan akan memaksamu menikah?”

“Benar.”

“Kalau begitu, mari kita hadapi kekhawatiran ini terlebih dahulu. Kita akan membuat rencana untuk mengenyahkan kecemasan itu darimu.”

“Benarkah?”   

Madelyne mendengar antusiasme dalam suara Adela, juga melihat percikan harapan di matanya. Itu membuat Madelyne semakin bertekad. Tidak mampu duduk diam lebih lama lagi, Madelyne bangkit berdiri dan mulai mondar-mandir mengelilingi kursi mereka pelan-pelan. “Aku tidak percaya semenit pun kalau kakakmu akan bersikap kejam dengan mendesakmu untuk menikahi seseorang.” Ia mengangkat tangannya ketika Adela terlihat seolah hendak menyela, lalu menlanjutkan. “Akan tetapi apa yang kuyakini tidak penting. Bagaimana jika aku mendapatkan janji dari Duncan bahwa kau dapat tinggal di sini selama yang kau inginkan, tak peduli apa pun keadaannya? Akankah itu meredakan ketakutanmu, Adela?”

“Apakah kau harus memberitahunya kalau aku mungkin sedang hamil?”

Madelyne tidak langsung menjawab. Ia terus mondar-mandir, bertanya-tanya bagaimana, dalam nama Tuhan, ia dapat membuat Duncan menjanjikan apa pun kepadanya.”

“Tentu saja tidak,” jawab Madelyne. Ia berhenti ketika berada tepat di depan Adela dan tersenyum kepada gadis itu. “Aku akan mendapatkan janjinya terlebih dahulu. Dia akan mengetahui sisanya dengan cukup cepat, iya kan?”

Adela tersenyum. “Kau memiliki sifat yang licik, Madelyne. Aku mengerti rencanamu sekarang. Begitu Duncan setuju, dia tidak akan mengingkari jnjinya. Tapi dia akan sangat marah kepadamu karena menipunya,” tambahnya, senyumnya memudar karena kecemasan itu.

“Dia selalu marah kepadaku,” sahut Madelyne sembari mengangkat bahu. “Aku tidak takut pada kakakmu, Adela. Dia mengamuk bagaikan angin, tapi ada inti yang lembut di bawahnya. Aku yakin itu,” kata Madelyne, berdoa dalam hati bahwa ia benar. “Nah, berjanjilah padaku kau tidak akan mencemaskan kemungkinan kau sedang mengandung. Kau sudah mengalami siksaan yang berat, dan bisa jadi itulah alasan kau melewatkan haidmu,” nasihatnya. “Aku tahu segalanya tentang ini, kau tahu, sebab Frieda, istri si penebang pohon, mengalami kesedihan hebat ketika putranya terjatuh ke dalam sumur ait munum dan tidak bisa dikeluarkan untuk waktu yang sangat lama. Bocah itu tidak terluka, dan syukurlah karena itu, tapi aku mendengar Frieda memberitahu pelayan yang lain kira-kira dua bulan kemudian kalau dia tidak mendapatkan haidnya. Si pelayan yang satunya menjelaskan bahwa itu adalah kondisi yang sangat alami mengingat ketakutan yang Frieda alami. Aku tidak ingat lagi nama wanita yang bijaksana itu, kalau tidak, aku pasti sudah memberitahumu, tapi dia ternyata benar mengenai hal ini. Aye, Frieda kembali mendapatkan haidnya seperti biasa pada bulan berikutnya.”

Adela mengangguk. “Dan kalau kau memang hamil,” lanjut Madelyne, “kita akan mengurus sampai lahir, kan? Kau tidak akan membenci anak itu, kan, Adela?” Madelyne tidak dapat menghilangkan kecemasan dari suaranya. “Bayi itu akan sama tidak berdosanya seperti dirimu, Adela.”

“Dia akan memiliki jiwa yang jahat, seperti ayahnya,” kata Adela. “Mereka berbagi darah yang sama.”

“Kalau begitu caranya, maka aku akan dikutuk masuk neraka sama seperti Louddon, ya kan?”

Nay, kau tidak seperti kakakmu,” protes Adela.

“Dan anakmu tidak akan seperti Morcar juga. Kau akan memastikannya,” ujar Madelyne.

“Bagaimana caranya?”

“Dengan cara mencintai bayi itu dan membantunya membuat pilihan yang benar ketika dia sudah cukup dewasa untuk mengerti.”

Madelyne kemudian menghela napas dan menggeleng. “Bagaimanapun juga, kau mungkin tidak sedang mengandung, jadi mari kita kesampingkan masalah itu untuk saat ini. Aku bisa lihat betapa lelahnya kau sekarang. Karena kamarmu masih harus dibersihkan sebelum kau dapat tidur di sana, kau boleh memakai tempat tidurku untuk malam ini. Aku akan mencari tempat tidur yang lain.”

Adela mengikuti Madelyne menuju tempat tidur dan mengamati sementara teman barunya itu menarik selimut. “Kapan kau akan meminta janji Duncan?”

Madelyne menunggu hingga Adela naik ke tempat tidur sebelum menjawab. “Aku akan berbicara dengannya besok. Ini sangat penting bagimu, aku bisa melihatnya. Aku tidak akan lupa.”

“Aku tidak akan pernah menginginkan ada pria yang menyentuhku lagi,” kata Adela.

“Hush, sudah,” Madelyne menenangkan sambil menarik selimut ke tubuh Adela. “Beristirahatlah sekarang. Segalanya akan baik-baik saja.”

Adela tersenyum karena cara Madelyne memanjakannya. “Madelyne? Aku minta maaf karena caraku memperlakukanmu. Seandainya menurutku akan menolong, aku akan meminta Edmond untuk berbicara kepada Duncan agar mengantarmu ke skotlandia.”

Madelyne memperhatikan kalau Adela berniat untuk berbicara kepada Edmond dan bukan langsung kepada Duncan. Ucapan tersebut menguatkan keyakinan Madelyne bahwa Adela takut kepada saudara sulungnya itu.

Adela menghela napas lalu berkata, “Aku sungguh-sungguh tidak mau kau pergi ke mana-mana. Aku begitu kesepian. Apakah aku egois karena mengakui itu?”

“Hanya bersikap jujur,” jawab Madelyne. “Sifat yang paling aku kagumi,” imbuhnya “Aku tidak pernah mengucapkan dusta selama hidupku,” bualnya.

“Tidak pernah?”

Madelyne mendengar kikikan Adela dan tersenyum karenanya. “Bukannya aku bisa mengingatnya,” katanya. “Dan aku berjanji untuk tinggal di sini selama kau membutuhkanku. Aku tidak punya keinginan untuk bepergian dalam cuaca yang ganas ini.”

“Kau juga telah dipermalukan, Madelyne. Semua orang akan berpikir...”

“Kau bicara omong kosong,” ujar Madelyne. “Tak satu pun dari kita yang bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Kita berdua benar-benar terhormat di dalam hati kita. Hanya itulah yang penting bagiku.”

“Kau memiliki watak yang sangat tidak biasa,” kata Adela. “Menurutku kau seharusnya membenci kami semua para Wexton.”

Well, faktanya memang saudara-saudaramu bukan orang-orang yang mudah untuk disukai,” ujar Madelyne mengakui. “Tapi aku tidak membenci mereka. Tahukah kau kalau aku merasa aman di sini? Ini luar biasa, kan? Menjadi seorang tawanan dan merasa sangat aman pada saat yang bersamaan. “Nah, itu adalah kebenaran yang perlu direnungkan.”

Madelyne mengernyitkan dahi, pikirannya dipenuhi dengan pengakuannya yang menakjubkan tersebut. “Nah,” katanya pada diri sendiri. “Aku harus memikirkan tentang ini sedikit lebih lama.”

Madelyne menepuk lengan Adela kemudian berbalik dan berjalan ke pintu.

“Kau tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh mengenai Morcar, kan, Madelyne?”

“Nah, kenapa kau menanyakan hal semacam itu?” tanya Madelyne.

“Karena ekspresi yang muncul di wajahmu sewaktu aku memberitahumu namanya,” jawab Adela. “Kau tidak akan melakukan apa pun, kan?”

Adela terdengar ketakutan lagi. “Kau memiliki imajinasi yang terlalu aktif,” kata Madelyne pada gadis itu. “Satu hal lagi yang membuat kita mirip,” tambahnya, dengan cerdas menghindari topik menyangkut Morcar.

Siasat Madelyne berhasil, sebab Adela tersenyum lagi. “Kurasa aku tidak akan bermimpi buruk malam ini. Aku begitu lelah. Sebaiknya kau segera pergi tidur, Madelyne. Kau akan membutuhkan istirahat untuk melakukan pembicaraanmu dengan Duncan.”

“Menurutmu dia akan menghabiskan tenagaku?” tanya Madelyne.

“Bukan kau,” jawab Adela. “Kau bisa membuat Duncan menjanjikan apa pun kepadamu.”

Ya Tuhan, adik Duncan itu memiliki kepercayaan yang begitu besar. Madelyne merasa puncaknya merosot.

“Aku melihat duncan mengamatimu. Dan memang kau menyelamatkan nyawa Gilard. Aku mendengarnya menceritakan itu kepada Edmond. Ingatkan duncan tentang itu dan dia tidak akan bisa menolak untuk memberikan apa pun kepadamu.”

“Tidurlah, Adela.”

Madelyne baru saja akan menutup pintu, ketika kata-kata Adela yang berikutnya tertangkap olehnya. “Duncan tidak pernah memandang Lady Eleanor seperti dia memandangmu.”

Madelyne tidak dapat menahan diri. “Siapa Lady Eleanor?” tanyanya, berusaha terdengar tidak terlalu tertarik. Ia berbalik dan memandang Adela, dan dari cara adik duncan itu tersenyum kepadanya, Madelyne menduga kalau ia mungkin tidak bisa membodohi gadis itu.

“Wanita yang Duncan pikir akan dia nikahi.”

Madelyne tidak menampakkan reaksi yang jelas. Ia mengangguk, menandakan bahwa ia mendengar Adela.

“Kalau begitu aku sangat menyesal untuk wanita itu. Dia akan sangat sibuk karena hidup bersama kakakmu. Jangan tersinggung, Adela, tapi menurutku kakakmu itu terlalu arogan untuk kebaikannya sendiri.”

“Aku bilang dia berpikir tentang menikahi wanita itu, Madelyne. Tapi dia tidak akan melakukannya.”

Madelyne tidak menjawab. Ia menutup pintu di belakangnya dan berhasil melintasi landasan sebelum meledak menangis.



Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar