Minggu, 03 Juni 2018

Honor's Splendour 7


"Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tapi perkataan yang pedas membangkitkan marah."
-PERJANIAN LAMA, AMSAL, 15:1

Madelyne tidur selama hampir dua puluh empat jam. Ketika akhirnya ia membuka matanya, ruangan itu diterangi oleh bayang-bayang sore hari dengan hanya beberapa garis cahaya metahari yang menembus daun jendela kayu. Segalanya terlihat buram bagi Madelyne, dan ia merasakan disorientasi sehingga tidak dapat mengingat di mana ia sekarang.

Ia mencoba bangun dari tempat tidur, meringis karena rasa menyengat yang disebabkan oleh gerakan itu, dan kemudian teringat pada setiap potongan dari rasa sakitnyaitu.

Ya Tuhan, ia merasa buruk sekali. Setiap otot di tubuhnya sakit. Madelyne pikir seseorang mungkin telah memukulkan sebatang kayu ke bokongnya, atau menempelkan pasak besi banas di sisi kakinya. Perutnya bergemuruh, tapi ia tidak ingin makan apa pun. Tidak, ia hanya amat sangat haus dan kepanasan. Yang ia inginkan hanyalah merobek-robek bajunya dan berdiri di depan jendela yang terbuka.

Ide itu tampak sangat sempurna. Ia mencoba keluar dari tempat tidur untuk membuka jendela, namun ia terlalu lemah bahkan untuk menendang selimut yang menghalanginya. Ia terus mencoba sampai ia sadar ia tidak mengenakan pakaiannya sendiri. Seseorang telah melepaskannya, dan sementara fakta tersebut benar-benar menyinggung naluri kepantasannya, itu hampir tidak sama mencemaskannya dengan kesadaran bahwa ia betul-betul tidak ingat ada orang yang telah menanggalkan pakaiannya.

Madelyne saat ini mengenakan sejenis kain katun putih, pakaian yang tidak pantas tentu saja, sebab pakaian tersebut nyaris tidak menutupi lututnya. Akan tetapi, lengan baju itu terlalu panjang. Ketika ia mencoba melipat lengan baju tersebut hingga ke pergelangan tangannya, ia teringat di mana ia pernah melihat pakaian seperti ini sebelumnya. Oh, ini adalah kemeja pria, dan dari ukuran bahunya yang sangat besar, jelas sekali ini milik Duncan. Ini memang baju yang sama; Duncan memakai kemeja yang sama persis ketika pria itu tidur di sisi Madelyne di tenda pada malam sebelumnya... atau apakah sekarang sudah dua malam yang lalu? Madelyne terlalu mengantuk untuk mengingatnya. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya semenit lagi untuk memikirkannya.

Ia mendapatkan mimpi yang paling damai. Madelyne berusia sebelas tahun lagi dan hidup bersama pamannya yang tersayang. Bapa Berton. Bapa Robert dan Bapa Samuel datang ke manor Grinsteade untuk mengunjungi paman Madelyne dan untuk memberi penghormatan kepada Morton tua, Lord of Grinstead manor. Selain para petani yang bekerja di tanah kecil milik Baron Morton, Madelyne satu-satunya orang berusia muda yang tinggal di kediaman tersebut. Ia dikelilingi oleh para pria lembut, baik hati, dan mereka semua cukup tua untuk menjadi kakeknya. Bapa Robert dan Bapa Samuel datang dari biara Claremont yang selalu sesak. Lord Morton menawarkan kediaman permanen kepada mereka. Pria tua itu cukup menyukai teman-teman Bapa Berton. Keduanya merupakan pemain catur ulung, dan mereka suka mendengarkan sang baron mengisahkan kembali cerita-cerita dari masa lampau favoritnya. Madelyne dikelilingi oleh para pria tua yang memujanya yang percaya bahwa gadis itu adalah seorang anak yang sangat berbakat. Mereka bergiliran mengajarinya cara membaca dan menulis, dan mimpi Madelyne khususnya terpusat pada suatu malam yang damai. Ia duduk di meja dan membacakan tulisan-tulisan yang sudah ia terjemahkan untuk "paman-pamannya". Api berkobar di perapian dan atmosfer di ruangan itu hangat dan tentram. Madelyne menceritakan kembali sebuah kisah yang tidak biasa, yaitu tentang petualangan-petualangan pahlawan favoritnya, Odysseus. Sang pejuang perkasa menemani Madelyne selama mimpinya, berdiri di sebelah pundak Madelyne dan tersenyum kepadanya sementara ia menceritakan peristiwa-peristiwa mengagumkan dalam perjalanan panjang Odysseus.

Saat lain ketika ia terbangun, dan pastinya hanya beberapa menit berlalu sejak ia memutuskan untuk sedikit beristirahat, Madelyne langsung menyadari bahwa seseorang benar-benar telah menutup kelopak matanya. "Berani-beraninya memperlakukan aku seperti ini?" Ia menggerutu marah keras-keras, tidak secara khusus ditujukan kepada siapa-siapa.

Penutup mata itu basah pula. Madelyne merenggut penutup mata yang menghina itu dari matanya sembari mengucapkan umpatan yang pantas diucapkan oleh petani mesum. Aneh, tapi ia pikir ia mendengar seseorang tertawa. Ia mencoba berkonsentrasi pada suara itu, ketika benaknya berputar lagi. Terkutuklah jika ada penutup mata lain yang dihantamkan ke keningnya. Itu tidak masuk akal sama sekali. Bukankah ia baru saja mengenyahkannya? Ia menggeleng karena semua hal yang membingungkan itu.

Seseorang berbicara kepadanya, namun Madelyne tidak mampu memahami apa yang pria itu ucapkan. Andai pria itu mau berhenti berbisik dan mencampuradukkan setiap kata, akan membuat ini jauh lebih mudah. Ia rasa siapa pun yang sedang berbicara kepadanya sedang bersikap sangat tidak sopan dan ia meneriakkan pendapatnya itu.

Madelyne mendadak ingat betapa panasnya ia, ketika satu lagi selimut ditindihkan ke atas bahunya. Ia tahu ia harus pergi ke jendela dan menghirup udara yang dingin dan menyembuhkan. Itu satu-satunya hal yang akan menyelamatkannya dari panas ini. Andai ia tidak lebih tahu, ia akan mengira kalau dirinya sedang berada dalam api penyucian dosa. Namun ia adalah seorang gadis yang baik dan itu tidak mungkin benar. Tidak, ia akan pergi ke surga, terkutuklah jika tidak.

Mengapa ia tidak dapat membuka matanya? Ia merasa seseorang menarik bahunya dan kemudian minuman dingin menyentuh bibirnya yang pecah-pecah. Madelyne mencoba meneguk banyak-banyak, tapi air tersebut mendadak lenyap setelah ia mencicipi porsi yang sangat sedikit. Seseorang sedang memainkan sebuah taktik kejam kepadanya, Madelyne menyimpulkan, mengernyit segarang yang ia mampu lakukan dalam situasi ini.

Mendadak saja, segalanya menjadi sangat jelas. Oh, ia sedang berada di Hades, bukan di dalam api penyucian dosa, dan berada di dalam belas kasihan seluruh monster dan iblis yang mencoba menipu Odysseus. Kini mereka mencoba menipu Madelyne. Well, batin Madelyne, ia tidak akan termakan satu pun tipuan itu.

Pemikiran tentang para monster ini tidakmembuat Madelyne sedih sama sekali. Justru sebaliknya. Ia menjadi betul-betul berang. Paman-pamannya telah membohonginya. Kisah-kisah Odysseus bukanlah kebohongan atau legenda yang diwariskan dari generasi ke generasi. Para monster itu sungguh-sungguh ada. Madelyne dapat merasakan mereka sedang mengelilinginya, hanya menunggunya untuk membuka mata.

Dan sebenarnya ada di mana Odysseus? Madelyne ingin tahu. Berani-beraninya Odysseus meninggalkan Madelyne sendirian untuk bertarung sendirian melawan iblis-iblih pria itu? Tidakkah Odysseus mengerti apa yang seharusnya ia lakukan? Tidak adakah orang yang memberitahunya tentang kemenangan-kemenangannya sendiri?

Madelyne merasa seseorang menyentuh pahanya, menyela pikiran-pikiran marahnya. Ia melemparkan penutup mata baru yang menghanguskan matanya dan menoleh tepat pada waktunya untuk melihat siapa yang sedang berlutut di samping tempat tidurnya. Kemudian ia menjerit, sebuah reaksi naluriah terhadap raksasa bermata satu mengerikan yang sedang menatapnya dengan sebuah seringaian yang jelek, lalu Madelyne teringat bahwa ia sedang marah, bukannya takut. Makhluk itu memang salaha seorang Cyclops, bahkan mungkin pemimpin mereka, Polyphemeus, Cyclops yang paling keji di antara mereka semua, dan datang untuk mengambil Madelyne jika ia menizinkannya.

Madelyne mengepalkan tangan dan menyarangkan sebuah pukulan yang kuat pada si raksasa. Ia membidik hidung raksasa itu, dan meleset dua atau lima sentimeter, namun ia tetap puas. Aksi itu membuatnya lelah dan ia jatuh kembali ke kasur, mendadak jadi selemah anak kucing. Akan tetapi, ada senyum pongah di wajahnya, sebab ia mendengar Polyphemeus melolong kesakitan.

Madelyne memalingkan kepalanya dari si Cyclops, bertekad untuk tidak mengacuhkan monster yang sedang menyodok-nyodok pahanya itu. Ia memandang sepintas ke perapian. Lalu ia melihat seorang pria. Pria itu sedang berdiri tepat di depan perapian, dengan cahaya yang menyinari seluruh tubuhnya yang luar biasa. Pria itu jauh lebih besar dari yang pernah Madelyne bayangkan, dan jauh lebih menarik. Akan tetapi, manusia itu bukan manusia fana, Madelyne mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Madelyne menduga fakta itulah yang menyebabkan proporsi tubuhnya yang sangat besar dan cahaya mistis yang bersinar di sekeliling pria itu. "Dari mana saja kau?" tuntut Madelyne dengan teriakan yang dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian pria itu.

Madelne tidak yakin apakah para pejuang mitologi dapat bercakap-cakap dengan manusia biasa, dengan cepat menyimpulkan bahwa pejuang yang satu ini tidak, atau tidak mau, sebab pria itu hanya terus berdiri di sana dan menatapnya, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk menjawab tuntutannya.

Madelyne berniat untuk mencoba lagi, walaupun ia mendapati itu adalah tugas yang menjengkelkan. Ada seorang Cyclops tepat disebelahnya, demi Tuhan, dan bahkan jika pejuang tidak mau berbicara kepada Madelyne, pria itu bisa melihat bahwa ada pekerjaan yang harus diselesaikan. "Lakukan, Odysseus," perintah Madelyne, menunjukkan jarinya ke arah monster yang sedang berlutut di sampingnya.

Terkutuklah jika pria itu tidak hanya berdiri di sana dan tampak kebingungan. Terlepas dari ukuran tubuh dan kekuatannya, pria itu tampak tidak terlalu cerdas. "Haruskah aku menghadapi setiap pertempuran seorang diri?" Madelyne mendesak ingin tahu, mengeraskan suaranya hingga otot-otot di lehernya mulai sakit karena ketegangan itu. Air mata frustrasi mengaburkan penglihatannya, namun ia tidak bisa menahannya. Odysseus sedang mencoba lenyap ke dalam cahaya. Pria itu sungguh tidak sopan, pikir Madelyne.

Ia tidak dapat membiarkan pria itu menghilang. Bodoh atau tidak, hanya pria itulah yang Madelyne miliki. Ia mencoba menenangkan pria itu. "Aku berjanji untuk memaafkanmu karena telah membiarkan Louddon menyakitiku selama ini, tapi aku tidak akan memaafkanmu jika kau meninggalkan aku sendirian sekarang."

Odysseus nampak tidak terlalu peduli untuk mendapatkan maaf gadis itu. Madelyne nyaris tidak dapat melihat Odysseus sekarang, ia tahu pria itu akan segera pergi, dan sadar bahwa ia harus meningkatkan ancamannya jika ingin mendapatkan bantuan apa pun dari pria itu.

"Kalau kau meninggalkan aku, Odysseus, aku akan mengirimkan seseorang untuk mengejarmu untuk mengajarimu sopan santun. Aye," imbuh Madelyne, menjadi bersemangat dengan ancamannya. "Aku akan mengirimkan pejuang yang paling ditakuti. Pergi saja kau dan lihat apa yang akan terjadi! Kalau kau tidak melenyapkannya," ia menyatakan, berhenti sejenak dalam ancamannya untuk menunjuk secara dramatis kepada Cyclops selama beberapa saat, "Aku akan mengirimkan Duncan untuk mengejarmu."

Madelyne sangat puas kepada dirinya sendiri hingga memejamkan matanya sambil mendesah. Ia pasti sudah menimbulkan perasaan takut dari Zeus kepada makhluk yang paling luar biasa, Odysseus yang perkasa, dengan berpura-pura akan mengirimkan Duncan untuk mengejarnya. Ia mendengus dengan agak tidak elegan karena kecerdikannya itu.

Madelyne mengintip cepat dengan sebelah mata untuk melihat bagaimana ancamannya ditanggapi, dan tersenyum penuh kemenangan. Odysseus terlihat cemas. Dan itu, putus Madelyne tiba-tiba, tidak cukup. Jika pria itu hendak bertarung melawan Cyclops, ia harus menjadi sangat marah. "Duncan itu benar-benar seekor serigala, kau tahu, dan dia akan mencabik-cabikmu hingga menjadi potongan-potongan kecil jika aku menyuruhnya," bualnya. "Dia akan melakukan apa pun yang aku minta," imbuhnya, "Begitu saja." Madelyne mencaoba menjentikkan jemarinya namun tidak betul-betul berhasil melakukannya.

Gadis itu memejamkan matanya lagi, merasa seakan dia baru saja memenangkan sebuah pertempuran yang penting. Dan semuanya itu hanya dengan kata-kata yang lembut, ia mengingatkan dirinya sendiri. Ia tidak menggunakan paksaan sama sekali. "Aku adalah seorang gadis yang lembut," teriaknya. "Terkutuklah, jika tidak."

Selama tiga hari tiga malam yang panjangMadelyne memerangi monster-monster mitologi yang muncul dan mencoba menculik dan membawanya kepada Hades. Odysseus selalu ada di sana, di sisinya, menolongnya menangkis setiap serangan ketika Madelyne menuntut.

Sesekali si raksasa yang keras kepala itu bahkan bercakap-cakap dengan Madelyne. Raksasa itu suka bertanya tentang masa lalu Madelyne, dan ketika ia memahami apa yang ditanyakan oleh raksasa itu, Madelyne langsung menjawabnya. Odysseus tampaknya sangat tertarik pada suatu waktu tertentu di masa kecil Madelyne. Pria itu ingin agar Madelyne menceritakan seperti apa keadaannya setelah ibunya meninggal dan Louddon mengambil alih perwaliannya.

Madelyne benci menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia hanya ingin membicarakan tentang kehidupannya dengan Bapa Berton. Tapi ia juga tidak mau kalau Odysseus menjadi marah dan meninggalkannya. Oleh karena itu, Madelyne bersabar melalui interogasi lembut pria itu.

"Aku tidak mau membicarakannya."

Duncan tersentak bangun mendengar teriakan keras Madelyne. Ia tidak tahu apa yang sedang diocehkan oleh Madelyne sekarang, namun ia cepat-cepat mendatangi tempat tidur gadis itu. Ia duduk di samping Madelyne dan meraih gadis itu ke dalam pelukannya. "Tenanglah," bisiknya. "Tidurlah lagi, Madelyne."

"Ketika dia memaksaku pulang dari rumah Bapa Berton, dia sangat mengerikan. Dia menyelinap ke kamarku setiap malam. Dia hanya berdiri di sana, di kaki tempat tidur. Aku bisa merasakannya menatapku. Kupikir jika aku membuka mataku... Aku sangat takut."

"Jangan memikirkan Louddon lagi," kata Duncan. Ia meluruskan tubuhnya ke atas tempat tidur begitu Madelyne mulai menangis dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

Kendati Duncan menyembunyikan reaksinya dengan hati-hati, di dalam dirinya ia bergetar karena murka. Ia tahu Madelyne tidak mengerti apa yang sedang diceritakannya kepada Duncan, namun pria itu sangat mengerti.

Terhibur karena sentuhan Duncan, Madelyne tertidur lagi. Akan tetapi, ia tidak beristirahat lama, dan terbangun untuk mendapati Odysseus masih di sana, tetap terjaga. Ia tidak takut ketika pria itu disisinya. Odysseus adalah pejuang yang paling mengagumkan. Ia kuat, arogan, meskipun Madelyne tidak menyalahkannya atas kekurangannya itu, dan memiliki hati yang baik.

Pria itu juga nakal. Permainan favoritnya adalah mengubah wujudnya. Perubahan itu akan terjadi dengan sangat cepat, sehingga Madelyne bahkan tidak sempat menarik napas terkejut. Satu menit pria itu berpura-pura menjadi Duncan dan satu menit berikutnya ia kembali menjadi Odysseus lagi. Dan sekali, pada saat-saat yang gelap di malam hari, ketika Madelyne merasa paling takut, pria itu benar-benar mengubah dirinya menjadi Achilles, hanya untuk menghibur Madelyne. Pria itu duduk di sana, di sebuah kursi kayu berpunggung tegak yang sepenuhnya terlalu kecil untuk ukuran dan proporsi tubuhnya, hanya memandang Madelyne dengan tatapan yang sangat aneh.

Achilles tidak mengenakan sepatu botnya. Itu membuat Madelyne cemas dan segera memperingatkan pria itu agar melindungi tumitnya dari cedera. Achilles terlihat bingung mendengar saran gadis itu, sehingga Madelyne terpaksa mengingatkannya bahwa ibu pria itu telah mencelupkan kepalanya lebih dulu ke dalam sungai Styx yang ajaib, membuat seluruh tubuhnya kebal, kecuali sedikit daging pada bagian belakang tumitnya, di mana ibunya memegangi Achilles sehingga ia tidak akan hanyut terbawa pusaran air.

"Air sungai ini tidak menyentuh tumitmu, dan pada bagian itulah kau paling rentan," Madelyne memberitahukan pria itu. "Apa kau mengerti maksudku?"

Madelyne memutuskan bahwa pria itu sama sekali tidak mengerti. Tatapan bingung pria itu memberitahu Madelyne hal itu. Barangkali ibu pria itu tidak pernah meluangkan waktunya untuk menceritakan kisah itu kepada Achilles. Madelyne mendesah dan memberi pria itu tatapan sedih dan iba. Ia tahu apa yang akan terjadi kepada Achilles, namun tidak sampai hati untuk memperingatkan pria itu agar waspada terhadap anak panah yang berhamburan. Ia menduga pria itu akan segera mengetahui hal itu.

Madelyne mulai meratapi masa depan Achilles, ketika pria itu tiba-tiba berdiri dan berjalan menghampirinya. Tapi pria itu bukan Achilles sekarang. Nay, Duncan-lah yang meraih Madelyne ke dalam pelukannya dan menenangkan Madelyne. Aneh, namun sentuhan pria itu terasa seperti sentuhan Odysseus.

Madelyne menyuruh Duncan agar naik ke tempat tidur, kamudian ia langsung berguling ke atas pria itu. Ia menopangkan kepalanya di atas dada Duncan sehingga ia bisa melihat ke dalam mata pria itu. "Rambutku seperti tirai," katanya pada pria itu, "yang menyembunyikan wajahmu dari orang lain kecuali aku. Bagaimana pendapatmu tentang itu, Duncan?"

"Jadi, sekarang aku Duncan lagi, ya?" jawab Duncan. "Kau tidak tahu apa yang kau ucapkan, Madelyne. Kau demam tinggi. Itulah pendapatku," tambahnya.

"Apa kau akan memanggil seorang pastor?" tanya Madelyne. Pertanyaannya membuat sedih dan air mata memenuhi matanya.

"Apa kau menginginkannya?" tanya Duncan.

"Nay," Madelyne berteriak tepat ke wajah pria itu. "Jika pastor dipanggil, aku akan tahu bahwa aku sedang sekarat. Aku belum siap untuk mati, Duncan. Ada terlalu banyak hal yang harus kulakukan."

"Dan apa yang ingin kau lakukan?" tanya Duncan, tersenyum karena ekspresi garang gadis itu.

Tiba-tiba Madelyne mencondongkan tubuh ke bawah dan mengusapkan hidungnya ke dagu Duncan. "Kurasa aku ingin menciummu, Duncan. Apakah itu membuatmu marah?"

"Madelyne, kau harus istirahat," ujar Duncan. Ia mencoba menggulingkan gadis itu ke samping, namun ternyata gadis itu menempel seperti tanaman merambat. Duncan tidak memaksanya, khawatir kalau-kalau ia menyakiti gadis itu secara tak sengaja. Sebenarnya, ia menyukai gadis itu berada tepat di tempatnya sekarang.

"Kalau kau menciumku sekali saja, maka aku akan beristirahat," janji Madelyne. Ia tidak memberi Duncan kesempatan untuk menanggapi, namun menepukkan kedua tangannya ke sisi wajah Duncan dan menekankan wajahnya ke wajah pria itu.

Oh Tuhan, Madelyne betul-betul mencium Duncan. Mulut Madelyne panas, terbuka, dan sepenuhnya menggairahkan. Ciuman itu adalah ciuman yang penuh nafsu dan gairah, sehingga Duncan mau tak mau merespons. Kedua lengannya perlahan-lahan menyelinap ke pinggang gadis itu. Ketika ia merasakan kulit yang hangat, Duncan sadar rok Madelyne telah tersingkap. Kedua tangannya membelai bokong Madelyne yang lembut dan tidak dibutuhkan waktu yang lama sebelum Duncan terperangkap dalam demamnya sendiri.

Madelyne liar dan sepenuhnya tidak menahan diri ketika ia mencium pria itu. Mulutnya dimiringkan di mulut Duncan, lidahnya menerobos dan membelai sampai ia sendiri terengah-engah.

"Saat aku menciummu, aku tidak ingin berhenti. Ini berdosa, benar, kan?" tanya Madelyne ke pria itu.

Duncan memperhatikan Madelyne tidak tampak menyesal atas pengakuannya itu dan berasumsi bahwa demam telah mengenyahkan kekangan diri gadis itu. "Aku membuatmu menelentang, Duncan. Aku bisa melakukan apa saja kepadamu kalau aku mau."

Duncan mendesah jengkel. Akan tetapi, helaan napas itu berubah menjadi erangan ketika Madelyne merenggut tangan Duncan dan dengan berani meletakkan tangan tersebut ke salah satu payudaranya.

"Nay, Madelyne," gumam Duncan, meskipun ia tidak mejauhkan tangannya. Oh Tuhan, gadis itu terasa sangat hangat. Puncak payudara Madelyne mengeras ketika secara insting ibu jari Duncan mengusap-usapnya. Duncan mengerang lagi. "Ini bukan saatnya untuk bercinta. Kau tidak tahu apa yang kau lakukan padaku, ya, kan?" tanyanya kemudian. Ya Tuhan, suaranya terdengar separau angin yang melolong di luar.

Seketika Madelyne mulai menangis. "Duncan? Katakan padaku bahwa aku penting bagimu. Bahkan jika itu bohong, tetap katakan padaku."

"Aye, Madelyne, kau penting bagiku," jawab Duncan. Ia melingkarkan lengannya ke pinggang Madelyne dan menggulingkan gadis itu ke sisinya. "Itu benar."

Duncan tahu ia harus memberi jarak di antara mereka, kalau tidak, ia akan kalah melawan siksaan yang manis itu. Namun ia tidak dapat menahan diri untuk mencium gadis itu sekali lagi.

Aksi tersebut tampaknya menentramkan Madelyne. Sebelum Duncan dapat menarik napas bergetar sekali lagi. Madelyne telah terlelap.

Demam itu menguasai pikiran Madelyne dan hidup Duncan. Ia tidak berani meninggalkan gadis itu sendirian bersama Gilard atau Edmond. Ketika watak Madelyne yang penuh gairah menampakkan diri,Duncan tidak ingin satu pun dari kedua adiknya yang menjadi penerima ciuman-ciuman gadis itu. Tak seorang pun yang boleh memberikan penghiburan kepada Madelyne dalam momen-momen liar itu kecuali Duncan.

Iblis-iblis akhirnya meninggalkan Madelyne pada malam ketiga. Pada pagi hari keempat, ia terbangun dengan perasaan seperti diperas habis-habisan seperti kain-kain basah yang berserakan di lantai. Duncan sedang duduk di kursi di samping perapian. Pria itu terlihat kelelahan. Madelyne bertanya-tanya apakah pria itu jatuh sakit. Ia baru saja hendak menanyakan itu kepada Duncan, ketika tiba-tiba pria itu menyadari Madelyne sedang menatapnya. Pria itu bangkit berdiri dengan ketangkasan seekor serigala dan datang mendekat untuk berdiri di samping tempat tidur. Aneh, tapi Madelyne pikir pria itu terlihat lega.

"Kau mengalami demam," cetus Duncan. Suaranya serak.

"Jadi karena itulah tenggorokanku sakit," ujar Madelyne. Oh Tuhan, ia nyaris tidak mengenali suaranya sendiri. Suaranya yang terdengar parau, dan terasa kasar.

Madelyne memandang ke sekeliling tuangan, melihat kekacauan yang mengelilinginya. Ia menggeleng bingung. Apakah telah terjadi pertempuran selama ia tidur?

Ketika Madelyne berpaling kembali untuk bertanya kepada Duncan mengenai kekacauan itu, ia menangkap ekspresi terhibur pria itu.

"Tenggorokanmu sakit?" tanya Duncan.

"Bagimu, tenggorokanku sakit itu menghibur?" tanya Madelyne, sebal karena reaksi kasar pria itu.

Duncan menggeleng, menyangkal tuduhan gadis itu. Madelyne sama sekali tidak percaya. Pria itu masih tersenyum lebar.

Ya Tuhan, pria itu sungguh tampak segar pagi ini. Suncan mengenakan pakaian berwarna hitam, sebuah warna yang sederhana tentu saja, namun ketika pria itu tersenyum, mata kelabu itu tidak terlihat dingin atau mengintimidasi. Pria itu mengingatkan Madelyne pada seseorang, namun ia tidak bisa memikirkan siapa orang tersebut. Madelyne yakin ia akan ingat jika bertemu siapa pun yang sangat mirip dengan Baron Wexton ini. Tetap saja, ada sebuah ingatan kabur tentang seseorang yang lain...

Duncan menyela konsentrasi gadis itu. "Sekarang karena kau sudah bangun, aku akan mengirim seorang pelayan untuk mengurusmu. Kau tidak boleh meninggalkan ruangan ini sampai kau sudah sembuh, Madelyne."

"Apakah sakitku parah?" tanya Madelyne.

"Aye, sakitmu parah," Duncan mengiyakan. Ia berbalik dan melangkah ke pintu.

Madelyne pikir pria itu terburu-buru untuk menjauh darinya. Ia menepis segumpal rambut dari matanya dan menatap punggung Duncan. "Ya Tuhan, aku pasti terlihat sama berantakannya dengan kain pel," gerutunya kepada diri sendiri.

"Aye, memang," jawab Duncan.

Madelyne dapat mendengar senyum dalam suara pria itu. Ia merengut karena ketidaksopanan Duncan lalu berseru, "Duncan? Berapa lama aku demam?"

"Lebih dari tiga hari, Madelyne."

Duncan berpaling kembali untuk melihat reaksi gadis itu. Madelyne tampak tercengang. "Kau sama sekali tidak ingat, ya?" tanyanya.

Madelyne menggeleng, benar-benar kebingungan sekarang, karena Duncan tersenyum lagi. Pria itu sungguh pria yang aneh, menemukan humor dalam hal-hal yang paling aneh.

"Duncan?"

"Aye?"

Madelyne menangkap kejengkelan dalam suara pria itu dan merinding karenanya. "apa kau berada di sini selama tiga hari itu? Di kamar ini bersamaku?"

Duncan mulai menutup pintu di belakangnya. Madelyne mengira pria itu tidak akan menjawab pertanyaannya sampai suara Duncan membahana, tegas dan kuat.

"Tidak."

Pintu terhempas menutup di belakang pria itu.

Menurut Madelyne, pria itu tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak dapat mengingat apa yang telah terjadi, namun secara insting ia tahu kalau Duncan tidak pernah pergi dari sisinya.

Mengapa pria itu mengingkarinya? "Kau sungguh seorang pria yang keras kepala," bisik Madelyne.

Ada senyum dalam suaranya.



Next
Back
Sinopsis



Tidak ada komentar:

Posting Komentar