Selasa, 04 Juni 2019

Honor's Splendour #14

“Hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah.”
-PERJANJIAN BARU, I PETER, 3:7

“Aku tidak akan menikah dengan siapa pun.” Madelyne bermaksud meneriakkan keputusannya, namun kata-kata yang keluar tercekik. Ia tidak bisa menehannya, sebab ia akhirnya mengerti apa yang hendak Duncan lakukan. Gilard mungkin tidak akan menentang keputusan itu, tapi Madelyne tentu saja akan menentangnya.


Duncan tampak sungguh-sungguh bertekad dalam hal ini. Ia tidak mengacuhkan perjuangan Madelyne untuk melepaskan diri darinya dan memberi isyarat kepada sang pastor untuk memulai upacara.

Bapa Laurance begitu gugup, sang Pastor bahkan tidak dapat mengingat sebagian frasa standar, dan Madelyne begitu berang, sehingga ia tidak memperhatikan sedikit pun. Ia terlalu sibuk meneriaki pria yang mencoba meremasnya hingga mati itu.

Pada saat Madelyne mendengar Duncan bersumpah untuk menjadikannya istrinya, ia menggeleng. Sang pastor kemudian bertanya kepada Madelyne apakah ia akan menjadikan Duncan suaminya. Madelyne seketika menjawab. “Nay, tidak akan.”

Duncan tidak peduli dengan jawaban Madelyne. Pria itu mencengkramnya begitu erat, membuat Madelyne berpikir kalau pria itu sedang mencoba mengeluarkan tulang-tulang dari tubuhnya.

Duncan mencengkram rambut Madelyne, memutar kepala Madelyne sampai gadis itu mendongak memandangnya. “Jawab dia lagi, Madelyne,” desak Duncan.

Sorot mata Duncan hampir mengubah tekad Madelyne. “Lepaskan dulu aku,” ia memerintahkan.

Duncan percaya Madelyne bermaksud mematuhinya, melepaskan gadis itu. Lengannya menempel di pundak gadis itu lagi. “Tanyai dia lagi,” ia menyuruh Pator yang letih itu.

Bapa Laurance terlihat siap pingsan. Ia menggagapkan pertanyaannya lagi.

Madelyne tidak meneriakkan penolakan maupun mpenerimaan. Ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Biar saja mereka berdiri di sana sampai pagi, ia tidak peduli. Tak seorang pun yang boleh memaksanya untuk menjadi bagian dalam lelucon ini.

Madelyne tidak memperhitungkan campur tangan Gilard. Menurut Madelyne, pria itu terlihat seakan ingin membunuh Duncan. Ketika tangan Gilard meraih hulu pedangnya, dan maju selangkah dengan mengancam, Madelyne terkesiap tanpa sadar. Astaga, pria itu akan menantang Duncan. “Aku menerimamu, Duncan,” sembur Madelyne. Ia terus menatap Gilard, melihat kebimbangan di mata pria itu dan menambahkan, “Aku bersedia menjadi istrimu.”

Kedua tangan Gilard jatuh kembali ke sisi tubuhnya. Pundak Madelyne merosot dengan kelegaan.

Adela datang mendekat dan berdiri di antara Edmond dan Gilard. Ia tersenyum kepada Madelyne, Edmond juga tersenyum lebar. Madelyne ingin menjerit kepada mereka berdua. Namun ia tidak berani, sebab Gilard terlihat sangat tidak waras.

Sang pastor buru-buru menyelesaikan sisa upacara tersebut. Setelah pemberkatan yang canggung dan enggan, ia pamit dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Rona wajahnya telah berubah menjadi hijau. Pria itu tampak jelas ketakutan kepada Duncan. Madelyne memahami perasaan itu dengan baik.

Duncan akhirnya melepaskan Madelyne. Kemudian ia mengitari Duncan dan berkata marah kepada pria itu. “Pernikahan ini adalah sebuah lelucon,” bisiknya sehingga Gilard tidak bisa mendengar. “Sang pastor bahkan tidak memberkati kita dengan benar.”

Duncan berani tersenyum kepada Madelyne. “Kau bilang padaku kau tidak pernah membuat kesalahan, Duncan. Kali ini jelas-jelas kau sudah membuatnya. Sekarang kau telah menghancurkan hidupmu. Dan demi tujuan apa? Dendammu terhadap kakakku tidak ada habisnya, iya kan?”

“Madelyne, pernikahan ini benar-benar nyata. Pergilah ke kamarku dan tunggu aku, Istriku. Aku akan segera bergabung denganmu.”

Duncan dengan sengaja menekankan kata istri. Madelyne menatap Duncan dengan terpana. Ada pendar hangat di mata pria itu sekarang. Kamarnya?

Madelyne terlonjak ketika Adela menyentuh pundaknya, mencoba untuk mengatakan padanya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tentu saja sangat mudah bagi Adela untuk mengucapkan itu; bukan dia yang terikat dengan seekor serigala.

Madelyne harus menjauh dari semua Wexton. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan baik-baik. Ia mengangkat rok gaunnya dan perlahan-lahan berjalan keluar ruangan.

Edmond menghentikan Madelyne ketika ia mencapai pintu masuk dengan meletakkan tangannya di lengan Madelyne. “Aku ingin mengucapkan selamat datang dalam keluarga kami,” katanya.

Adik Duncan itu benar-benar terlihat seolah ia bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan. Itu membuat Madelyne berang hampir sebesar senyum mengerikan pria itu. Ia jauh lebih suka pria itu cemberut kepadanya. “Jangan berani-berani tersenyum kepadaku, Edmond, atau aku akan memukulmu. Lihat saja.”

Edmond tampak cukup terkejut untuk membuat Madelyne puas. “Seingatku kau pernah mengancam akan memukulku demi alasan yang berlawanan, Madelyne.”

Madelyne sama sekali tidak tahu apa yang sedang pria itu bicarakan. Ataupun terlalu memedulikan hal tersebut, sebab benaknya dipenuhi dengan hal-hal yang jauh lebih penting. Madelyne menjauh dari Edmond, menggerutu pada dirinya sendiri bahwa ia berharap pria itu akan tersedak makan malamnya, lalu ia keluar dari ruangan itu.

Gilard mencoba mengejar Madelyne, tapi Edmond menyambarnya. “Dia istri kakakmu sekarang, Gilard. Hormatilah ikatan itu.” Edmond menjaga suaranya tetap rendah supaya tidak terdengar oleh Duncan. Kakak sulung mereka itu telah berbalik memunggungi mereka dan menatap ke perapian lagi.

“Aku pasti akan membuatnya bahagia, Edmond. Madelyne mengalami begitu banyak penderitaan dalam hidupnya. Dia pantas untuk berbahagia.”

“Apa kau buta, dik? Tidakkah kau melihat cara Madelyne menatap Duncan dan cara Duncan menatapnya? Mereka saling mencintai.”

“Kau salah,” jawab Gilard. “Madelyne membenci Duncan.”

“Madelyne tidak membenci siapa pun. Dia tidak mampu membenci.” Edmond tersenyum kepada adiknya. “Kau hanya tidak mau mengakui yang sebenarnya. Kenapa menurutmu selama ini aku begitu marah kepada Madelyne? Sial, aku bisa melihat ketertarikan itu sejak awal. Duncan tidak pernah pergi dari sisinya ketika dia sakit parah.”

“Itu hanya karena duncan merasa bertanggung jawab atas dirinya,” bantah Gilard.

Si bungsu itu mati-matian mencoba mempertahankan amarahnya, namun argumen Edmond mulai terdengar masuk akal.

“Duncan menikahi Madelyne karena dia menginginkannya. Kau tahu, Gilard, sangat luar biasa kakak kita itu menikah karena cinta. Pada masa ini, itu sangat jarang terjadi. Dia tidak akan mendapatkan satu pun tanah, hanya ketidaksenangan sang raja.”

“Dia tidak mencintai Madelyne,” gumam Gilard.

Aye, dia mencintainya,” Edmond menyanggah adiknya. “Dia hanya belum mengetahuinya.”

Pikiran duncan tidak tertuju kepada kedua adiknya. Ia tidak menghiraukan mereka sementara ia meninjau rencananya untuk besok. Si pembawa pesan telah memberi petunjuk bahwa mereka akan menyerang saat fajar jika Madelyne tidak diserahkan kepada mereka. Duncan tahu itu hanyalah gertakan. Ia hampir kecewa. Aye, ia sangat ingin berperang melawan siapa pun yang setia kepada Louddon. Akan tetapi, pasukan prajurit tak berharga yang membekukkan bokong mereka di luar temboknya itu tidak akan bersikap cukup bodoh untuk menentang petisi raja mereka. Mereka tahu mereka kalah jumlah, kalah terampil. Louddon barangkali mengirimkan mereka sehingga ia dapat menghadap kepada raja dan menunjukkan bahwa ia telah mencoba untuk mendapatkan kembali adiknya tanpa melibatkan raja mereka.

Puas dengan kesimpulannya, Duncan mengesampingkan masalah tersebut dan mengalihkan pikirannya pada hidup barunya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar wanita itu menerima Duncan sebagai suami? Tak ada bedanya bagi dirinya berapa pun waktu yang dibutuhkan, pikir Duncan, namun semakin cepat wanita itu menerima hidup barunya, menjadi semakin baik bagi ketenangan pikiran gadis itu sendiri.

Duncan merasa berkewajiban untuk menjaga wanita itu tetap aman. Madelyne telah memberikan keberanian dan kepercayaannya kepada Duncan. Ia tidak bisa berpaling dari wanita itu. Aye, perasaan bertanggungjawablah yang mendorong Duncan mengambil keputusan yang terburu-buru ini. Mengirim wanita itu kembali kepada Louddon akan menjadi seperti mengirim seorang anak kecil ke dalam kandang untuk bertarung melawan seekor singa.

“Sial,” gerutu Duncan pada diri sendiri. Ia sudah tahu sejak awal, sewaktu pertama kali ia menyentuh wanita itu, bahwa ia tidak akan pernah melepaskannya. “Dia membuatku gila,” katanya, tidak peduli siapa yang mendengarnya.

Madelyne memang membuatnya senang. Duncan tidak sadar betapa kaku kehidupannya selama ini, sampai Madelyne mulai ikut campur. Wanita itu dapat membuatnya bereaksi hanya dengan satu tatapan polos. Saat ia tidak sedang berpikir untuk mencekik wanita itu, ia terobsesi untuk menciumnya. Tidak penting kalau Louddon adalah kakak wanita itu. Madelyne tidak memiliki jiwa gelap pria itu; wanita itu diberkahi hati yang murni dan kemampuan untuk mencintai yang menggoyahkan seluruh keyakinan sinis Duncan.

Duncan tersenyum. Ia bertanya-tanya akan mendapati Madelyne dalam keadaan seperti apa ketika ia naik ke atas nanti. Apakah wanita itu akan ketakutan atau memberi Duncan salah satu ekspresi tenangnya yang terlatih itu lagi? Apakah istri barunya itu akan menjadi anak kucing atau singa betina?

Duncan meninggalkan aula dan pergi mencari Anthony. Setelah mendengar ucapan selamat atas pernikahannya dari bawahannya itu, ia memberi Anthony instruksi tambahan untuk penjagaan pada malam itu. Ritual berenang pada malam hari di danaunya adalah yang selanjutnya. Duncan berlama-lama, memberi Madelyne waktu sedikit lebih lama uantuk menyiapkan dirinya untuk Duncan. Sudah lebih dari satu jam sejak Madelyne bergegas pergi dari aula.

Duncan memutuskan bahwa waktunya sudah cukup. Ia melangkahi dua anak tangga sekaligus. Tidak akan mudah meyakinkan Madelyne bahwa ia bermaksud untuk meniduri wanita itu. Akan tetapi, ia tidak akan menggunakan paksaan, tidak peduli bagaimanapun wanita itu menguji kesabaran Duncan. Akan dibutuhkan waktu, tapi wanita itu akan menyerahkan dirinya secara sukarela kepadanya.

Janji duncan untuk tetap mengendalikan emosinya sedikit menegang saat ia sampai di kamarnya dan mendapati ruangan itu kosong. Ia menghela napas jengkel dan segera naik ke menara.

Apakah wanita itu sungguh-sungguh mengiria dapat bersembunyi darinya? Duncan mendapati pikiran itu menghibur dan tersenyum. Namun, senyumnya memudar, saat ia mencoba membuka pintu kamar dan sadar pintu itu terkuci.

Madelyne masih agak khawatir. Ia kembali ke kamarnya dalam keadaan nyaris histeris dan kemudian terpaksa menunggu sampai bak mandinya diisi dengan air. Maude sudah memulai tugas malam harinya itu. Madelyne mencoba bersikap menghargai, tapi pelayan itu dan kedua pria yang membawa berember-ember air hangat benar-benar menghabiskan waktu yang sangat lama, sampai Madelyne mual karena takut Duncan akan menemukannya sebelum ia dapat mengunci pria itu di luar.

Selot kayu berada tepat di tempat Madelyne telah menyembunyikannya, terselip di bawah tempat tidur. Begitu ia memasukkan selot yang berat tersebut ke bulatan baja, ia menghela napas lega.

Otot-otot di pindak Madelyne berdenyut-denyut. Ia tegang dan mudah marah, dan tidak peduli seperti apa pun ia mencoba, ia tampak tidak bisa memikirkan apa pun dengan logis. Apakah Duncan menikahinya hanya demi membuat Louddon murka? Bagaimana dengan Lady
Eleanor?

Madelyne menghabiskan waktu yang lama untuk berendam. Rambutnya sudah dikeramas kemarin malam sehingga ia tidak perlu melakukan itu lagi. Ia mengikat ikal-ikal rambutnya di puncak kepalanya menggunakan sehelai pita untuk menehannya di tempat. Tapi sebagian besar helaian rambutnya jatuh kembali ke pundaknya sebelum mandinya selesai.

Sungguh ia sama sekali tidak merasa lebih setelah mandinya tadi. Pikirannya tersita oleh kecemasan. Ia ingin menjerit marah, tapi juga ingin menangis karena malu. Satu-satunya alasan ia tidak melakukan salah satunya adalah karena ia tidak dapat menetapkan pilihannya.

Madelyne mendengar Duncan menaiki tangga bersamaan dengan dirinya keluar dari bak mandi. Kedua tangannya gemetar ketika meraih jubah mandinya, tapi itu hanya karena kamarnya sangat dingin, pikir Madelyne.

Langkah-langkah kaki itu berhenti. Duncan berada tepat di luar pintu. Madelyne bereaksi dengan semburan rasa takut yang baru, merasa malu karena ia bersikap sangat pengecut saat ia berlari ke sudut kamr yang jauh dan berdiri di sana seraya gemetar bagaikan seorang bayi. Ia mengikatkan tali jubah mandinya dengan panik bahkan pada saat ia berpikir bahwa Duncan tidak mungkin bisa melihatnya melalui kayu, demi Tuhan, dan tidak perlu membuat dirinya sendiri gelisah sampai seperti ini.

“Madelyne, menjauhlah dari pintu.”

Suara Duncan terdengar sangat lunak. Itu mengejutkan wanita itu. Madelyne mengernyitkan dahi menunggu pria itu memulai ancamannya. Dan kenapa pria itu tidak mau Madelyne berdiri di dekat pintu?

Madelyne akhirnya mendapatkan jawabannya. Suara itu begitu eksplosif, membuatnya melompat mundur, dan membenturkan kepalanya ke dinding batu. Madelyne memekik ketika selot kayu patah seperti ranting, dan pasti akan membuat tanda salib andai ia mampu melepaskan kedua tangannya yang terjalin.

Pintu itu hancur, dan potongan-potongan kecil yang tersisa, Duncan mencabik-cabiknya dengan mudah.

Duncan sungguh-sungguh berniat menyeret Madelyne ke kamarnya, tapi saat ia melihat bagaimana wanita itu gemetar ketakutan di sudut kamar, hatinya melembut. Duncan juga cemas Madelyne akan melompat keluar dari jendela sebelum ia bisa mendekati wanita itu. Madelyne terlihat cukup ketakutan untuk mencobanya.

Duncan tidak ingin wanita itu ketakutan. Duncan mendesah dengan sengaja, sebuah helaan napas yang panjang, lalu bersandar di ambang pintu dengan santai. Ia tersenyum kepada Madelyne, menunggu wanita itu mengendalikan dirinya lagi.

Duncan menggunakan akal sehat dan kata-kata halus untuk membuat wanita itu datang padanya.

“Kau seharusnya mengetuk pintu, Duncan.”

Perubahan pada diri Madelyne terjadi dengan sangat cepat. Wanita itu tidak lagi gemetar ketakutan di sudut kamar namun berdiri di sana sembari mengernyitkan dahi kepada Duncan dengan ekspresi yang memberitahunya bahwa wanita itu tidak akan melempar dirinya sendiri keluar jendela mana pun. Akan tetapi, wanita itu mungkin berpikir untuk mencoba mendorong Duncan keluar.

Duncan berusaha untuk tidak tertawa, menyadari bahwa harga diri wanita itu penting bagi mereka berdua. Sial, ia tidak suka jika wanita itu menjauh darinya dengan takut. “Dan apakah kau akan membukakan pintu itu untukku, Istriku?” tanyanya, suaranya halus, membujuk.

“Jangan panggil aku istrimu, duncan. Aku terpaksa mengucapkan janji itu. Sekarang lihat apa yang sudah kau lakukan pada pintuku. Aku akan tidur dengan aliran udara mengitari kepalaku, berkat pertimbanganmu yang buruk.”

“Ah, kalau begitu kau akan membukakan pintu untukku?” tanya Duncan, tersenyum lebar. Ia menikmati kemarahan wanita itu sepenuhnya. Edmond benar, Madelyne adalah makhluk yang suka memerintah. Pintu wanita itu, tentu saja.

Madelyne sungguh sebuah pemandangan yang memesona. Rambutnya jatuh di bawah pundaknya. Api dari perapian memantulkan kilau merah tua ke ikal-ikalnya. Kedua tangan Madelyne kembali ke pinggulnya, punggungnya selurus tombak, dan bukaan di jubah mandinya terbuka lebar hingga ke pinggangnya, memberi Duncan pemandangan yang lebih dari cukup ke belahan di antara payudaranya yang penuh.

Duncan bertanya-tanya akan dibutuhkan waktu berapa lama sebelum Madelyne menyadari posisinya yang rentan. Jubah mandi yang kebesaran itu perlahan-lahan melorot jatuh. Duncan telah menyadari bahwa wanita itu tidak menggunakan apa-apa di bawah jubah itu. Lutut Madelyne mengintip ke arah Duncan.

Senyum lebar itu perlahan-lahan memudar dari wajah Duncan. Matanya menggelap. Konsentrasinya menegang, dan apa yang dapat ia pikirkan hanyalah menyentuh wanita itu.

Ada apa dengan pria itu? Madelyne bertanya dalam hati. Ekspresi Duncan berubah menjadi segelap tuniknya, dan ya Tuhan, ia berharap pria itu tidak terlihat begitu tampan.

“Tentu saja aku tidak akan membukakan pintu, Duncan, tapi tetap saja kau seharusnya mengetuk.” Madelyne menyemburkan pernyataan konyol itu, merasa seperti orang bodoh. Kalau saja Duncan berhenti memandanginya seolah-olah pria itu hendak...

“Apakah kau tidak pernah berbohong?” tanya Duncan ketika ia melihat rasa takut kembali ke mata wanita itu.

Pertanyaan Duncan mengejutkan Madelyne, begitu pula dengan niatnya. Duncan perlahan-lahan menegakkan tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam kamar.

“Aku selalu berkata jujur, tak peduli seberapa pun menyakitkan,” jawab Madelyne. “Dan kau mengetahuinya dengan baik sekarang.” Ia melontarkan tatapan marah kepada Duncan dan mulai berjalan ke arah pria itu supaya bisa mendengar omelan Madelyne dengan jelas. Madelyne bertekad untuk menyatakan pendapatnya kepada Duncan, dan ia pasti akan melakukan itu andai ia tidak lupa kalau jubah mandinya terlalu panjang dan bak mandi kayu berada tepat di depannya. Ia tersandung ujung jubah mandinya, dan jari kakinya menyandung bak mandi. Ia pasti akan terlempar ke dalam air andai Duncan tidak menyambarnya tepat waktu.

Duncan memegangi pinggang Madelyne ketika wanita itu menunduk untuk mengusap-usap nyeri di jari kakinya. “Setiap kali aku di dekatmu, aku terluka.”

Madelyne menggerutu pada dirinya sendiri, namun duncan mendengar setiap kata tersebut. Ia lan gsung memprotes. “Aku tidak pernah menyakitimu,” tegas Duncan.

Well, kau mengancam melakukannya,” ujar Madelyne. Ia kemudian berdiri, menyadari lengan pria itu sedang melingkari pinggangnya. “Lepaskan aku,” ia memerintahkan.

“Apakah aku harus menggendongmu seperti sekarung gandum ke kamarku atau kau mau berjalan di sisiku seperti seharusnya seorang istri yang baru menikah?” tanya Duncan.

Duncan pelan-pelan memaksa wanita itu berbalik dan menghadapinya.

Madelyne menatap dada pria itu. Duncan mengangkat dagu wanita itu dengan lembut. “Kenapa kau tidak membiarkanku sendiri saja?” tanya Madelyne, akhirnya membalas tatapan pria itu.

“Sudah kucoba, Madelyne.”

Madelyne berpikir suara pria itu terdengar bagai sebuah belaian, selembut angin musim panas mana pun.

Ibu jari Duncan perlahan mengusap-usap lekukan dagu Madelyne. Bagaimana mungkin sebuah sentuhan kecil yang tak berarti memberika efek yang dahsyat padanya? “Kau mencoba menyihirku,” bisik Madelyne, tapi ia menjauh ketika ibu jari pria itu berpindah untuk mengusap bibir bawahnya yang sensitif.

“Kaulah yang menyihirku,” ujar Duncan mengakui. Suara pria itu menjadi serak. Jantung Madelyne mulai berdebar. Ia nyaris tidak dapat bernapas. Lidahnya menyentuh ujung ibu jari pria itu. Hanya itu yang ia per bolehkan dirinya lakukan, kenikmatan kecil ini yang mengirimkan getaran ke kakinya. Ia menyihir pria itu? Pikiran tersebut sama menyenangkannya dengan ciuman-ciuman pria itu. Madelyne ingin pria itu menciumnya. Hanya satu ciuman, ujar Madelyne pada dirinya sendiri, kemudian ia akan mendesak agar pria itu pergi.

Duncan tampak puas berdiri di sana semalaman. Madelyne seketika menjadi kian tidak sabar. Ia menjauhkan kedua tangan Duncan lalu berjinjit untuk memberika satu ciuman sopan di belahan dagu pria itu.

Saat Duncan tidak bereaksi, Madelyne bersikap sedikit lebih berani dan meletakkan kedua tangannya di pundak pria itu. Duncan sedang menunduk menatapnya dan itu membuat tugas ini semakin mudah, namun ia bimbang ketika merasakan pria itu menegang di tubuhnya. “Aku akan memberimu ciuman selamat malam,” ujar Madelyne, hampir tidak mengenali suaranya sendiri. “Aku memang suka menciummu, Duncan, tapi hanya itu yang akan aku berikan.”

Duncan tidak bergerak. Madelyne bahkan tidak dapat merasakan pria itu bernapas. Ia tidak tahu apakah pengakuannya tadi membuat Duncan marah atau senang, sampai bibirnya menyentuh bibir pria itu. Kemudian ia tahu pria itu suka berciuman hampir sama besarnya dengan Madelyne.

Madelyne mendesah, puas.

Duncan menggeram, tidak sabar.

Duncan tidak mau memberikan lidahnya sampai Madelyne mendesaknya, menggunakan lidahnya sendiri untuk mendorong pria itu agar merespons. Kemudian Duncan mengambil alih kendali, menusukkan lidahnya dalam-dalam ke mulut wanita itu.

Madelyne tidak ingin berhenti. Ketika ia menyadari hal itu, ia menjauh dari pria itu.

Kedua tangan Duncan menempel di pinggul Madelyne. Ia membiarkan wanita itu mundur, menunggu dengan keingintahuan besar untuk melihat apa lagi yang akan wanita itu lakukan. Wanita itu tak bisa ditebak.

Madelyne tidak mampu betul-betul mendongak menatap pria itu. Pipinya merona merah padam. Jelas sekali wanita itu merasa malu.

Tiba-tiba Duncan mengangkat Madelyne ke dalam pelukannya, tersenyum karena cara wanita itu menyambar ujung jubah mandinya di tempat pakaian itu terbuka di bagian lutut. Duncan hampir menyatakan bahwa kesopanan Madelyne salah tempat, sebab dirinyalah yang merawat ketika wanita itu sakit parah. Tapi Madelyne kakau di dalam pelukannya dan Duncan memutuskan untuk tidak menyebutkan hal itu.

Ketika mereka separuh jalan menuruni tangga, madelyne sadar betapa tidak siapnya ia untuk menghabiskan malam ini bersama Duncan. “Aku meninggalkan gaun tidurku di atas,” gagapnya. “Tidur dengan mengenakan gaun harianku itu satu hal, tapi gaun itu sangat tebal dan...”

“Kau tidak akan membutuhkan apa pun,” tukas Duncan.

“Tentu saja butuh,” gumam Madelyne.

Duncan tidak menjawabnya. Madelyne tahu ia telah kalah dalam perdebatan itu ketika pintu yang menuju kamar pria itu terempas menutup. Mereka, sayangnya, berada dalam kamar Duncan.

Duncan meletakkan Madelyne di atas tempat tidurnya dan kembali ke pintu. Ia mendorong selot kayu ke dalam bulatan. Kemudian ia berbalik, perlahan-lahan bersedekap, dan tersenyum kepada Madelyne.

Lekukan menarik itu kembali ke pipi pria itu. Madelyne akan menyebutnya lesung pipit, tapi itu adalah deskripsi yang tidak tepat untuk seorang pria dengan ukuran dan kekuatan Duncan. Pejuang tidak punya lesung pipit.

Benak Madelyne melantur. Itu kesalahan pria itu, tentu saja. Duncan hanya berdiri di sana, menatap Madelyne. Wanita itu merasa seperti seekor tikus kecil yang disudutkan oleh seekor serigala kelaparan.

“Apakah kau sengaja mencoba menakutiku?” tanya Madelyne, terdengar takut.

Duncan menggeleng. Ia menangkap ketakutan wanita itu, lalu sadar bahwa senyumnya yang dipaksakan tidak membantu tujuannya sama sekali. “Aku tidak ingin membuatmu takut.”

Duncan beranjak menuju wanita itu. “Aku lebih suka kalau kau tidak takut, meskipun aku bisa mengerti kali pertama akan menakutkan bagi seorang perawan.”

Upaya Duncan untuk menenangkan wanita itu gagal. Duncan sampai pada kesimpulan itu ketika Madelyne melompat dari tempat tidur. “Kali pertama? Duncan, kau tidak akan meniduriku,” pekik Madelyne.

“Aku akan melakukannya,” jawab Duncan.

“Dipaksa tidur disebelahmu adalah satu hal, tapi hanya itu saja yang akan terjadi malam ini!”

“Madelyne, kita sudah menikah sekarang. Tidur dengan istri pada malam pernikahan adalah peristiwa biasa.”

“Dan apakah memaksa seorang lady untuk menikah adalah peristiwa biasa?” tanya wanita itu.

Duncan mengangkat bahu secara sengaja. Madelyne terlihat siap menangis. Duncan memutuskan untuk membuatnya marah lagi. Ia lebih memilih itu daripada air mata. “Itu perlu dilakukan.”

“Perlu? Maksudmu bermanfaat, ya kan? Katakan padaku, Duncan. Apakah memaksakan dirimu kepadaku malam ini juga diperlukan?”

Madelyne tidak memberi pria itu kesempatan untuk menjawab pertanyaannya. “Kau bahkan tidak meluangkan waktu untuk menjelaskan alasanmu atas pernikahan ini. Sikapmu itu tak bermanfaat.”

“Kau benar-benar mangharapkan aku untuk menjelaskan tindakan-tindakanku padamu?” raung Duncan. Ia hampir langsung menyesal karena kurangnya kendali dirinya sebab Madelyne kembali duduk di ujung tempat tidur, meremas-remas tangannya.

Duncan mencoba menenangkan emosinya. Ia melangkah untuk berdiri di depan perapian. Dengan gerakan lambat yang disengaja ia mulai membuka tali-tali di leher tuniknya. Ia tidak pernah mengalihkan tatapannya dari Madelyne, ingin wanita itu melihat apa yang sedang ia lakukan.

Madelyne mencoba untuk tidak memandangi Duncan, namun pria itu adalah sebuah keberadaan yang luar biasa, dan Madelyne tidak mampu mengabaikannya. Kulit Duncan berwarna kecoklatan karena terbakar matahari, dan kini keemasan karena cahaya dari perapian. Gerakan otot-otot Duncan terlihat ketika ia membungkuk untuk melepaskan sepatu botnya.

Sesungguhnya, Madelyne ingin menyentuh Duncan. Itu adalah sebuah pengakuan yang menggoda, hingga ia menggelengkan kepalanya. Menyentuh pria itu, tentu saja. Ia ingin pria itu keluar dari ruangan ini. Tapi itu, renung Madelyne seraya menghela napas yang menyentuh jemari kakinya, sama sekali bukan yang sebenarnya.

“Kau mengira aku seorang pelacur,” cetus Madelyne tiba-tiba. “Aye, tinggal bersama seorang pastor yang dipecat... itulah kata-katamu, Duncan,” ia mengingatkan pria itu. “Kau tidak mau meniduri seorang pelacur.”

Madelyne berdoa bahwa dirinya benar.

Duncan tersenyum karena cara yang wanita itu kira dapat menggoyahkannya. “Pelacur memang memiliki keuntungan-keuntungan tertentu yang tidak dimiliki perawan, Madelyne. Kau, tentu saja, mengerti maksudku.”

Tidak, tentu saja Madelyne sangat tidak mengerti maksud Duncan, namun ia tidak dapat memberitahukan kepada pria itu sekarang, ya kan? Tipuannya semakin tidak terkendali.

“Mereka tidak memiliki keuntungan-keuntungan tertentu,” gumam Madelyne.

“Bukankah maksudmu kami?”

Madelyne menyerah. Ia bukan seorang pelacur dan tahu bahwa pria itu juga menyadarinya.

Ketika Madelyne tidak menjawab, Duncan menyimpulkan bahwa wanita itu akan terpaksa berbohong jika ia melanjutkan. “Pelacur tahu semua cara untuk memuaskan pria, Madelyne.”

“Aku bukan pelacur dan kau tahu itu.”

Duncan tersenyum. Oh, betapa kejujuran wanita itu membuatnya senang. Ia adalah seorang pria yang terbiasa dengan pengkhianatan, tapi ia tahu dengan pasti bahwa ia akan mempertaruhkan nyawanya bahwa Madelyne tidak akan pernah membohonginya.


Duncan menanggalkan sisa pakaiannya dan berjalan ke sisi lain tempat tidur. Punggung Madelyne menghadap Duncan. Ia melihat pundak wanita itu menegang hingga seolah akan patah ketika ia menyibak selimut dan naik ke tempat tidur. Ia berbalik, menutupi sinar lilin, lalu menguap dengan keras. Jika selama ini Madelyne mengawasinya, wanita itu pasti tahu kuap tersebut adalah kebohongan yang terang-terangan. Gairah Duncan tampak jelas, bahkan bagi seorang yang senaif istrinya yang pemalu. Ini akan menjadi malam yang panjang.


Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar