-PERJANJIAN
BARU, I PETER, 3:7
“Aku
tidak akan menikah dengan siapa pun.” Madelyne bermaksud meneriakkan
keputusannya, namun kata-kata yang keluar tercekik. Ia tidak bisa menehannya,
sebab ia akhirnya mengerti apa yang hendak Duncan lakukan. Gilard mungkin tidak
akan menentang keputusan itu, tapi Madelyne tentu saja akan menentangnya.
Duncan
tampak sungguh-sungguh bertekad dalam hal ini. Ia tidak mengacuhkan perjuangan
Madelyne untuk melepaskan diri darinya dan memberi isyarat kepada sang pastor
untuk memulai upacara.
Bapa
Laurance begitu gugup, sang Pastor bahkan tidak dapat mengingat sebagian frasa
standar, dan Madelyne begitu berang, sehingga ia tidak memperhatikan sedikit
pun. Ia terlalu sibuk meneriaki pria yang mencoba meremasnya hingga mati itu.
Pada
saat Madelyne mendengar Duncan bersumpah untuk menjadikannya istrinya, ia
menggeleng. Sang pastor kemudian bertanya kepada Madelyne apakah ia akan
menjadikan Duncan suaminya. Madelyne seketika menjawab. “Nay, tidak akan.”
Duncan
tidak peduli dengan jawaban Madelyne. Pria itu mencengkramnya begitu erat,
membuat Madelyne berpikir kalau pria itu sedang mencoba mengeluarkan
tulang-tulang dari tubuhnya.
Duncan
mencengkram rambut Madelyne, memutar kepala Madelyne sampai gadis itu mendongak
memandangnya. “Jawab dia lagi, Madelyne,” desak Duncan.
Sorot
mata Duncan hampir mengubah tekad Madelyne. “Lepaskan dulu aku,” ia
memerintahkan.
Duncan
percaya Madelyne bermaksud mematuhinya, melepaskan gadis itu. Lengannya
menempel di pundak gadis itu lagi. “Tanyai dia lagi,” ia menyuruh Pator yang
letih itu.
Bapa
Laurance terlihat siap pingsan. Ia menggagapkan pertanyaannya lagi.
Madelyne
tidak meneriakkan penolakan maupun mpenerimaan. Ia sama sekali tidak mengatakan
apa-apa. Biar saja mereka berdiri di sana sampai pagi, ia tidak peduli. Tak
seorang pun yang boleh memaksanya untuk menjadi bagian dalam lelucon ini.
Madelyne
tidak memperhitungkan campur tangan Gilard. Menurut Madelyne, pria itu terlihat
seakan ingin membunuh Duncan. Ketika tangan Gilard meraih hulu pedangnya, dan
maju selangkah dengan mengancam, Madelyne terkesiap tanpa sadar. Astaga, pria
itu akan menantang Duncan. “Aku menerimamu, Duncan,” sembur Madelyne. Ia terus
menatap Gilard, melihat kebimbangan di mata pria itu dan menambahkan, “Aku
bersedia menjadi istrimu.”
Kedua
tangan Gilard jatuh kembali ke sisi tubuhnya. Pundak Madelyne merosot dengan
kelegaan.
Adela
datang mendekat dan berdiri di antara Edmond dan Gilard. Ia tersenyum kepada
Madelyne, Edmond juga tersenyum lebar. Madelyne ingin menjerit kepada mereka
berdua. Namun ia tidak berani, sebab Gilard terlihat sangat tidak waras.
Sang
pastor buru-buru menyelesaikan sisa upacara tersebut. Setelah pemberkatan yang
canggung dan enggan, ia pamit dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Rona
wajahnya telah berubah menjadi hijau. Pria itu tampak jelas ketakutan kepada
Duncan. Madelyne memahami perasaan itu dengan baik.
Duncan
akhirnya melepaskan Madelyne. Kemudian ia mengitari Duncan dan berkata marah
kepada pria itu. “Pernikahan ini adalah sebuah lelucon,” bisiknya sehingga
Gilard tidak bisa mendengar. “Sang pastor bahkan tidak memberkati kita dengan
benar.”
Duncan
berani tersenyum kepada Madelyne. “Kau bilang padaku kau tidak pernah membuat
kesalahan, Duncan. Kali ini jelas-jelas kau sudah membuatnya. Sekarang kau
telah menghancurkan hidupmu. Dan demi tujuan apa? Dendammu terhadap kakakku
tidak ada habisnya, iya kan?”
“Madelyne,
pernikahan ini benar-benar nyata. Pergilah ke kamarku dan tunggu aku, Istriku.
Aku akan segera bergabung denganmu.”
Duncan
dengan sengaja menekankan kata istri.
Madelyne menatap Duncan dengan terpana. Ada pendar hangat di mata pria itu
sekarang. Kamarnya?
Madelyne
terlonjak ketika Adela menyentuh pundaknya, mencoba untuk mengatakan padanya
bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tentu saja sangat mudah bagi Adela untuk
mengucapkan itu; bukan dia yang terikat dengan seekor serigala.
Madelyne
harus menjauh dari semua Wexton. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan
baik-baik. Ia mengangkat rok gaunnya dan perlahan-lahan berjalan keluar
ruangan.
Edmond
menghentikan Madelyne ketika ia mencapai pintu masuk dengan meletakkan
tangannya di lengan Madelyne. “Aku ingin mengucapkan selamat datang dalam
keluarga kami,” katanya.
Adik
Duncan itu benar-benar terlihat seolah ia bersungguh-sungguh dengan apa yang ia
ucapkan. Itu membuat Madelyne berang hampir sebesar senyum mengerikan pria itu.
Ia jauh lebih suka pria itu cemberut kepadanya. “Jangan berani-berani tersenyum
kepadaku, Edmond, atau aku akan memukulmu. Lihat saja.”
Edmond
tampak cukup terkejut untuk membuat Madelyne puas. “Seingatku kau pernah
mengancam akan memukulku demi alasan yang berlawanan, Madelyne.”
Madelyne
sama sekali tidak tahu apa yang sedang pria itu bicarakan. Ataupun terlalu
memedulikan hal tersebut, sebab benaknya dipenuhi dengan hal-hal yang jauh
lebih penting. Madelyne menjauh dari Edmond, menggerutu pada dirinya sendiri
bahwa ia berharap pria itu akan tersedak makan malamnya, lalu ia keluar dari
ruangan itu.
Gilard
mencoba mengejar Madelyne, tapi Edmond menyambarnya. “Dia istri kakakmu
sekarang, Gilard. Hormatilah ikatan itu.” Edmond menjaga suaranya tetap rendah
supaya tidak terdengar oleh Duncan. Kakak sulung mereka itu telah berbalik
memunggungi mereka dan menatap ke perapian lagi.
“Aku
pasti akan membuatnya bahagia, Edmond. Madelyne mengalami begitu banyak
penderitaan dalam hidupnya. Dia pantas untuk berbahagia.”
“Apa
kau buta, dik? Tidakkah kau melihat cara Madelyne menatap Duncan dan cara
Duncan menatapnya? Mereka saling mencintai.”
“Kau
salah,” jawab Gilard. “Madelyne membenci Duncan.”
“Madelyne
tidak membenci siapa pun. Dia tidak mampu membenci.” Edmond tersenyum kepada
adiknya. “Kau hanya tidak mau mengakui yang sebenarnya. Kenapa menurutmu selama
ini aku begitu marah kepada Madelyne? Sial, aku bisa melihat ketertarikan itu
sejak awal. Duncan tidak pernah pergi dari sisinya ketika dia sakit parah.”
“Itu
hanya karena duncan merasa bertanggung jawab atas dirinya,” bantah Gilard.
Si
bungsu itu mati-matian mencoba mempertahankan amarahnya, namun argumen Edmond
mulai terdengar masuk akal.
“Duncan
menikahi Madelyne karena dia menginginkannya. Kau tahu, Gilard, sangat luar
biasa kakak kita itu menikah karena cinta. Pada masa ini, itu sangat jarang
terjadi. Dia tidak akan mendapatkan satu pun tanah, hanya ketidaksenangan sang
raja.”
“Dia
tidak mencintai Madelyne,” gumam Gilard.
“Aye, dia mencintainya,” Edmond
menyanggah adiknya. “Dia hanya belum mengetahuinya.”
Pikiran
duncan tidak tertuju kepada kedua adiknya. Ia tidak menghiraukan mereka
sementara ia meninjau rencananya untuk besok. Si pembawa pesan telah memberi
petunjuk bahwa mereka akan menyerang saat fajar jika Madelyne tidak diserahkan
kepada mereka. Duncan tahu itu hanyalah gertakan. Ia hampir kecewa. Aye, ia sangat ingin berperang melawan
siapa pun yang setia kepada Louddon. Akan tetapi, pasukan prajurit tak berharga
yang membekukkan bokong mereka di luar temboknya itu tidak akan bersikap cukup
bodoh untuk menentang petisi raja mereka. Mereka tahu mereka kalah jumlah,
kalah terampil. Louddon barangkali mengirimkan mereka sehingga ia dapat
menghadap kepada raja dan menunjukkan bahwa ia telah mencoba untuk mendapatkan
kembali adiknya tanpa melibatkan raja mereka.
Puas
dengan kesimpulannya, Duncan mengesampingkan masalah tersebut dan mengalihkan
pikirannya pada hidup barunya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar wanita
itu menerima Duncan sebagai suami? Tak ada bedanya bagi dirinya berapa pun
waktu yang dibutuhkan, pikir Duncan, namun semakin cepat wanita itu menerima
hidup barunya, menjadi semakin baik bagi ketenangan pikiran gadis itu sendiri.
Duncan
merasa berkewajiban untuk menjaga wanita itu tetap aman. Madelyne telah
memberikan keberanian dan kepercayaannya kepada Duncan. Ia tidak bisa berpaling
dari wanita itu. Aye, perasaan
bertanggungjawablah yang mendorong Duncan mengambil keputusan yang terburu-buru
ini. Mengirim wanita itu kembali kepada Louddon akan menjadi seperti mengirim
seorang anak kecil ke dalam kandang untuk bertarung melawan seekor singa.
“Sial,”
gerutu Duncan pada diri sendiri. Ia sudah tahu sejak awal, sewaktu pertama kali
ia menyentuh wanita itu, bahwa ia tidak akan pernah melepaskannya. “Dia
membuatku gila,” katanya, tidak peduli siapa yang mendengarnya.
Madelyne
memang membuatnya senang. Duncan tidak sadar betapa kaku kehidupannya selama
ini, sampai Madelyne mulai ikut campur. Wanita itu dapat membuatnya bereaksi
hanya dengan satu tatapan polos. Saat ia tidak sedang berpikir untuk mencekik
wanita itu, ia terobsesi untuk menciumnya. Tidak penting kalau Louddon adalah
kakak wanita itu. Madelyne tidak memiliki jiwa gelap pria itu; wanita itu
diberkahi hati yang murni dan kemampuan untuk mencintai yang menggoyahkan seluruh
keyakinan sinis Duncan.
Duncan
tersenyum. Ia bertanya-tanya akan mendapati Madelyne dalam keadaan seperti apa
ketika ia naik ke atas nanti. Apakah wanita itu akan ketakutan atau memberi
Duncan salah satu ekspresi tenangnya yang terlatih itu lagi? Apakah istri
barunya itu akan menjadi anak kucing atau singa betina?
Duncan
meninggalkan aula dan pergi mencari Anthony. Setelah mendengar ucapan selamat
atas pernikahannya dari bawahannya itu, ia memberi Anthony instruksi tambahan
untuk penjagaan pada malam itu. Ritual berenang pada malam hari di danaunya
adalah yang selanjutnya. Duncan berlama-lama, memberi Madelyne waktu sedikit
lebih lama uantuk menyiapkan dirinya untuk Duncan. Sudah lebih dari satu jam
sejak Madelyne bergegas pergi dari aula.
Duncan
memutuskan bahwa waktunya sudah cukup. Ia melangkahi dua anak tangga sekaligus.
Tidak akan mudah meyakinkan Madelyne bahwa ia bermaksud untuk meniduri wanita
itu. Akan tetapi, ia tidak akan menggunakan paksaan, tidak peduli bagaimanapun
wanita itu menguji kesabaran Duncan. Akan dibutuhkan waktu, tapi wanita itu
akan menyerahkan dirinya secara sukarela kepadanya.
Janji
duncan untuk tetap mengendalikan emosinya sedikit menegang saat ia sampai di
kamarnya dan mendapati ruangan itu kosong. Ia menghela napas jengkel dan segera
naik ke menara.
Apakah
wanita itu sungguh-sungguh mengiria dapat bersembunyi darinya? Duncan mendapati
pikiran itu menghibur dan tersenyum. Namun, senyumnya memudar, saat ia mencoba
membuka pintu kamar dan sadar pintu itu terkuci.
Madelyne
masih agak khawatir. Ia kembali ke kamarnya dalam keadaan nyaris histeris dan
kemudian terpaksa menunggu sampai bak mandinya diisi dengan air. Maude sudah
memulai tugas malam harinya itu. Madelyne mencoba bersikap menghargai, tapi
pelayan itu dan kedua pria yang membawa berember-ember air hangat benar-benar
menghabiskan waktu yang sangat lama, sampai Madelyne mual karena takut Duncan
akan menemukannya sebelum ia dapat mengunci pria itu di luar.
Selot
kayu berada tepat di tempat Madelyne telah menyembunyikannya, terselip di bawah
tempat tidur. Begitu ia memasukkan selot yang berat tersebut ke bulatan baja,
ia menghela napas lega.
Otot-otot
di pindak Madelyne berdenyut-denyut. Ia tegang dan mudah marah, dan tidak
peduli seperti apa pun ia mencoba, ia tampak tidak bisa memikirkan apa pun
dengan logis. Apakah Duncan menikahinya hanya demi membuat Louddon murka?
Bagaimana dengan Lady
Eleanor?
Eleanor?
Madelyne
menghabiskan waktu yang lama untuk berendam. Rambutnya sudah dikeramas kemarin
malam sehingga ia tidak perlu melakukan itu lagi. Ia mengikat ikal-ikal
rambutnya di puncak kepalanya menggunakan sehelai pita untuk menehannya di
tempat. Tapi sebagian besar helaian rambutnya jatuh kembali ke pundaknya
sebelum mandinya selesai.
Sungguh
ia sama sekali tidak merasa lebih setelah mandinya tadi. Pikirannya tersita
oleh kecemasan. Ia ingin menjerit marah, tapi juga ingin menangis karena malu.
Satu-satunya alasan ia tidak melakukan salah satunya adalah karena ia tidak
dapat menetapkan pilihannya.
Madelyne
mendengar Duncan menaiki tangga bersamaan dengan dirinya keluar dari bak mandi.
Kedua tangannya gemetar ketika meraih jubah mandinya, tapi itu hanya karena
kamarnya sangat dingin, pikir Madelyne.
Langkah-langkah
kaki itu berhenti. Duncan berada tepat di luar pintu. Madelyne bereaksi dengan
semburan rasa takut yang baru, merasa malu karena ia bersikap sangat pengecut
saat ia berlari ke sudut kamr yang jauh dan berdiri di sana seraya gemetar
bagaikan seorang bayi. Ia mengikatkan tali jubah mandinya dengan panik bahkan
pada saat ia berpikir bahwa Duncan tidak mungkin bisa melihatnya melalui kayu,
demi Tuhan, dan tidak perlu membuat dirinya sendiri gelisah sampai seperti ini.
“Madelyne,
menjauhlah dari pintu.”
Suara
Duncan terdengar sangat lunak. Itu mengejutkan wanita itu. Madelyne
mengernyitkan dahi menunggu pria itu memulai ancamannya. Dan kenapa pria itu
tidak mau Madelyne berdiri di dekat pintu?
Madelyne
akhirnya mendapatkan jawabannya. Suara itu begitu eksplosif, membuatnya
melompat mundur, dan membenturkan kepalanya ke dinding batu. Madelyne memekik
ketika selot kayu patah seperti ranting, dan pasti akan membuat tanda salib
andai ia mampu melepaskan kedua tangannya yang terjalin.
Pintu
itu hancur, dan potongan-potongan kecil yang tersisa, Duncan mencabik-cabiknya
dengan mudah.
Duncan
sungguh-sungguh berniat menyeret Madelyne ke kamarnya, tapi saat ia melihat
bagaimana wanita itu gemetar ketakutan di sudut kamar, hatinya melembut. Duncan
juga cemas Madelyne akan melompat keluar dari jendela sebelum ia bisa mendekati
wanita itu. Madelyne terlihat cukup ketakutan untuk mencobanya.
Duncan
tidak ingin wanita itu ketakutan. Duncan mendesah dengan sengaja, sebuah helaan
napas yang panjang, lalu bersandar di ambang pintu dengan santai. Ia tersenyum
kepada Madelyne, menunggu wanita itu mengendalikan dirinya lagi.
Duncan
menggunakan akal sehat dan kata-kata halus untuk membuat wanita itu datang
padanya.
“Kau
seharusnya mengetuk pintu, Duncan.”
Perubahan
pada diri Madelyne terjadi dengan sangat cepat. Wanita itu tidak lagi gemetar
ketakutan di sudut kamar namun berdiri di sana sembari mengernyitkan dahi
kepada Duncan dengan ekspresi yang memberitahunya bahwa wanita itu tidak akan
melempar dirinya sendiri keluar jendela mana pun. Akan tetapi, wanita itu
mungkin berpikir untuk mencoba mendorong Duncan keluar.
Duncan
berusaha untuk tidak tertawa, menyadari bahwa harga diri wanita itu penting
bagi mereka berdua. Sial, ia tidak suka jika wanita itu menjauh darinya dengan
takut. “Dan apakah kau akan membukakan pintu itu untukku, Istriku?” tanyanya,
suaranya halus, membujuk.
“Jangan
panggil aku istrimu, duncan. Aku terpaksa mengucapkan janji itu. Sekarang lihat
apa yang sudah kau lakukan pada pintuku. Aku akan tidur dengan aliran udara
mengitari kepalaku, berkat pertimbanganmu yang buruk.”
“Ah,
kalau begitu kau akan membukakan
pintu untukku?” tanya Duncan, tersenyum lebar. Ia menikmati kemarahan wanita
itu sepenuhnya. Edmond benar, Madelyne adalah makhluk yang suka memerintah.
Pintu wanita itu, tentu saja.
Madelyne
sungguh sebuah pemandangan yang memesona. Rambutnya jatuh di bawah pundaknya.
Api dari perapian memantulkan kilau merah tua ke ikal-ikalnya. Kedua tangan
Madelyne kembali ke pinggulnya, punggungnya selurus tombak, dan bukaan di jubah
mandinya terbuka lebar hingga ke pinggangnya, memberi Duncan pemandangan yang
lebih dari cukup ke belahan di antara payudaranya yang penuh.
Duncan
bertanya-tanya akan dibutuhkan waktu berapa lama sebelum Madelyne menyadari
posisinya yang rentan. Jubah mandi yang kebesaran itu perlahan-lahan melorot
jatuh. Duncan telah menyadari bahwa wanita itu tidak menggunakan apa-apa di
bawah jubah itu. Lutut Madelyne mengintip ke arah Duncan.
Senyum
lebar itu perlahan-lahan memudar dari wajah Duncan. Matanya menggelap.
Konsentrasinya menegang, dan apa yang dapat ia pikirkan hanyalah menyentuh
wanita itu.
Ada
apa dengan pria itu? Madelyne bertanya dalam hati. Ekspresi Duncan berubah
menjadi segelap tuniknya, dan ya Tuhan, ia berharap pria itu tidak terlihat
begitu tampan.
“Tentu
saja aku tidak akan membukakan pintu, Duncan, tapi tetap saja kau seharusnya
mengetuk.” Madelyne menyemburkan pernyataan konyol itu, merasa seperti orang
bodoh. Kalau saja Duncan berhenti memandanginya seolah-olah pria itu hendak...
“Apakah
kau tidak pernah berbohong?” tanya Duncan ketika ia melihat rasa takut kembali
ke mata wanita itu.
Pertanyaan
Duncan mengejutkan Madelyne, begitu pula dengan niatnya. Duncan perlahan-lahan
menegakkan tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam kamar.
“Aku
selalu berkata jujur, tak peduli seberapa pun menyakitkan,” jawab Madelyne.
“Dan kau mengetahuinya dengan baik sekarang.” Ia melontarkan tatapan marah
kepada Duncan dan mulai berjalan ke arah pria itu supaya bisa mendengar omelan
Madelyne dengan jelas. Madelyne bertekad untuk menyatakan pendapatnya kepada
Duncan, dan ia pasti akan melakukan itu andai ia tidak lupa kalau jubah
mandinya terlalu panjang dan bak mandi kayu berada tepat di depannya. Ia
tersandung ujung jubah mandinya, dan jari kakinya menyandung bak mandi. Ia
pasti akan terlempar ke dalam air andai Duncan tidak menyambarnya tepat waktu.
Duncan
memegangi pinggang Madelyne ketika wanita itu menunduk untuk mengusap-usap
nyeri di jari kakinya. “Setiap kali aku di dekatmu, aku terluka.”
Madelyne
menggerutu pada dirinya sendiri, namun duncan mendengar setiap kata tersebut.
Ia lan gsung memprotes. “Aku tidak pernah menyakitimu,” tegas Duncan.
“Well, kau mengancam melakukannya,” ujar
Madelyne. Ia kemudian berdiri, menyadari lengan pria itu sedang melingkari
pinggangnya. “Lepaskan aku,” ia memerintahkan.
“Apakah
aku harus menggendongmu seperti sekarung gandum ke kamarku atau kau mau
berjalan di sisiku seperti seharusnya seorang istri yang baru menikah?” tanya
Duncan.
Duncan
pelan-pelan memaksa wanita itu berbalik dan menghadapinya.
Madelyne
menatap dada pria itu. Duncan mengangkat dagu wanita itu dengan lembut. “Kenapa
kau tidak membiarkanku sendiri saja?” tanya Madelyne, akhirnya membalas tatapan
pria itu.
“Sudah
kucoba, Madelyne.”
Madelyne
berpikir suara pria itu terdengar bagai sebuah belaian, selembut angin musim
panas mana pun.
Ibu
jari Duncan perlahan mengusap-usap lekukan dagu Madelyne. Bagaimana mungkin
sebuah sentuhan kecil yang tak berarti memberika efek yang dahsyat padanya?
“Kau mencoba menyihirku,” bisik Madelyne, tapi ia menjauh ketika ibu jari pria
itu berpindah untuk mengusap bibir bawahnya yang sensitif.
“Kaulah
yang menyihirku,” ujar Duncan mengakui. Suara pria itu menjadi serak. Jantung
Madelyne mulai berdebar. Ia nyaris tidak dapat bernapas. Lidahnya menyentuh
ujung ibu jari pria itu. Hanya itu yang ia per bolehkan dirinya lakukan,
kenikmatan kecil ini yang mengirimkan getaran ke kakinya. Ia menyihir pria itu?
Pikiran tersebut sama menyenangkannya dengan ciuman-ciuman pria itu. Madelyne
ingin pria itu menciumnya. Hanya satu ciuman, ujar Madelyne pada dirinya
sendiri, kemudian ia akan mendesak agar pria itu pergi.
Duncan
tampak puas berdiri di sana semalaman. Madelyne seketika menjadi kian tidak
sabar. Ia menjauhkan kedua tangan Duncan lalu berjinjit untuk memberika satu
ciuman sopan di belahan dagu pria itu.
Saat
Duncan tidak bereaksi, Madelyne bersikap sedikit lebih berani dan meletakkan
kedua tangannya di pundak pria itu. Duncan sedang menunduk menatapnya dan itu
membuat tugas ini semakin mudah, namun ia bimbang ketika merasakan pria itu
menegang di tubuhnya. “Aku akan memberimu ciuman selamat malam,” ujar Madelyne,
hampir tidak mengenali suaranya sendiri. “Aku memang suka menciummu, Duncan,
tapi hanya itu yang akan aku berikan.”
Duncan
tidak bergerak. Madelyne bahkan tidak dapat merasakan pria itu bernapas. Ia
tidak tahu apakah pengakuannya tadi membuat Duncan marah atau senang, sampai
bibirnya menyentuh bibir pria itu. Kemudian ia tahu pria itu suka berciuman
hampir sama besarnya dengan Madelyne.
Madelyne
mendesah, puas.
Duncan
menggeram, tidak sabar.
Duncan
tidak mau memberikan lidahnya sampai Madelyne mendesaknya, menggunakan lidahnya
sendiri untuk mendorong pria itu agar merespons. Kemudian Duncan mengambil alih
kendali, menusukkan lidahnya dalam-dalam ke mulut wanita itu.
Madelyne
tidak ingin berhenti. Ketika ia menyadari hal itu, ia menjauh dari pria itu.
Kedua
tangan Duncan menempel di pinggul Madelyne. Ia membiarkan wanita itu mundur,
menunggu dengan keingintahuan besar untuk melihat apa lagi yang akan wanita itu
lakukan. Wanita itu tak bisa ditebak.
Madelyne
tidak mampu betul-betul mendongak menatap pria itu. Pipinya merona merah padam.
Jelas sekali wanita itu merasa malu.
Tiba-tiba
Duncan mengangkat Madelyne ke dalam pelukannya, tersenyum karena cara wanita
itu menyambar ujung jubah mandinya di tempat pakaian itu terbuka di bagian
lutut. Duncan hampir menyatakan bahwa kesopanan Madelyne salah tempat, sebab
dirinyalah yang merawat ketika wanita itu sakit parah. Tapi Madelyne kakau di
dalam pelukannya dan Duncan memutuskan untuk tidak menyebutkan hal itu.
Ketika
mereka separuh jalan menuruni tangga, madelyne sadar betapa tidak siapnya ia
untuk menghabiskan malam ini bersama Duncan. “Aku meninggalkan gaun tidurku di
atas,” gagapnya. “Tidur dengan mengenakan gaun harianku itu satu hal, tapi gaun
itu sangat tebal dan...”
“Kau
tidak akan membutuhkan apa pun,” tukas Duncan.
“Tentu
saja butuh,” gumam Madelyne.
Duncan
tidak menjawabnya. Madelyne tahu ia telah kalah dalam perdebatan itu ketika
pintu yang menuju kamar pria itu terempas menutup. Mereka, sayangnya, berada
dalam kamar Duncan.
Duncan
meletakkan Madelyne di atas tempat tidurnya dan kembali ke pintu. Ia mendorong
selot kayu ke dalam bulatan. Kemudian ia berbalik, perlahan-lahan bersedekap,
dan tersenyum kepada Madelyne.
Lekukan
menarik itu kembali ke pipi pria itu. Madelyne akan menyebutnya lesung pipit,
tapi itu adalah deskripsi yang tidak tepat untuk seorang pria dengan ukuran dan
kekuatan Duncan. Pejuang tidak punya lesung pipit.
Benak
Madelyne melantur. Itu kesalahan pria itu, tentu saja. Duncan hanya berdiri di
sana, menatap Madelyne. Wanita itu merasa seperti seekor tikus kecil yang
disudutkan oleh seekor serigala kelaparan.
“Apakah
kau sengaja mencoba menakutiku?” tanya Madelyne, terdengar takut.
Duncan
menggeleng. Ia menangkap ketakutan wanita itu, lalu sadar bahwa senyumnya yang
dipaksakan tidak membantu tujuannya sama sekali. “Aku tidak ingin membuatmu
takut.”
Duncan
beranjak menuju wanita itu. “Aku lebih suka kalau kau tidak takut, meskipun aku
bisa mengerti kali pertama akan menakutkan bagi seorang perawan.”
Upaya
Duncan untuk menenangkan wanita itu gagal. Duncan sampai pada kesimpulan itu
ketika Madelyne melompat dari tempat tidur. “Kali pertama? Duncan, kau tidak
akan meniduriku,” pekik Madelyne.
“Aku
akan melakukannya,” jawab Duncan.
“Dipaksa
tidur disebelahmu adalah satu hal, tapi hanya itu saja yang akan terjadi malam
ini!”
“Madelyne,
kita sudah menikah sekarang. Tidur dengan istri pada malam pernikahan adalah
peristiwa biasa.”
“Dan
apakah memaksa seorang lady untuk menikah adalah peristiwa biasa?” tanya wanita
itu.
Duncan
mengangkat bahu secara sengaja. Madelyne terlihat siap menangis. Duncan
memutuskan untuk membuatnya marah lagi. Ia lebih memilih itu daripada air mata.
“Itu perlu dilakukan.”
“Perlu?
Maksudmu bermanfaat, ya kan? Katakan padaku, Duncan. Apakah memaksakan dirimu
kepadaku malam ini juga diperlukan?”
Madelyne
tidak memberi pria itu kesempatan untuk menjawab pertanyaannya. “Kau bahkan
tidak meluangkan waktu untuk menjelaskan alasanmu atas pernikahan ini. Sikapmu
itu tak bermanfaat.”
“Kau
benar-benar mangharapkan aku untuk menjelaskan tindakan-tindakanku padamu?”
raung Duncan. Ia hampir langsung menyesal karena kurangnya kendali dirinya
sebab Madelyne kembali duduk di ujung tempat tidur, meremas-remas tangannya.
Duncan
mencoba menenangkan emosinya. Ia melangkah untuk berdiri di depan perapian.
Dengan gerakan lambat yang disengaja ia mulai membuka tali-tali di leher
tuniknya. Ia tidak pernah mengalihkan tatapannya dari Madelyne, ingin wanita
itu melihat apa yang sedang ia lakukan.
Madelyne
mencoba untuk tidak memandangi Duncan, namun pria itu adalah sebuah keberadaan
yang luar biasa, dan Madelyne tidak mampu mengabaikannya. Kulit Duncan berwarna
kecoklatan karena terbakar matahari, dan kini keemasan karena cahaya dari
perapian. Gerakan otot-otot Duncan terlihat ketika ia membungkuk untuk
melepaskan sepatu botnya.
Sesungguhnya,
Madelyne ingin menyentuh Duncan. Itu adalah sebuah pengakuan yang menggoda,
hingga ia menggelengkan kepalanya. Menyentuh pria itu, tentu saja. Ia ingin
pria itu keluar dari ruangan ini. Tapi itu, renung Madelyne seraya menghela
napas yang menyentuh jemari kakinya, sama sekali bukan yang sebenarnya.
“Kau
mengira aku seorang pelacur,” cetus Madelyne tiba-tiba. “Aye, tinggal bersama seorang pastor yang dipecat... itulah
kata-katamu, Duncan,” ia mengingatkan pria itu. “Kau tidak mau meniduri seorang
pelacur.”
Madelyne
berdoa bahwa dirinya benar.
Duncan
tersenyum karena cara yang wanita itu kira dapat menggoyahkannya. “Pelacur
memang memiliki keuntungan-keuntungan tertentu yang tidak dimiliki perawan,
Madelyne. Kau, tentu saja, mengerti maksudku.”
Tidak,
tentu saja Madelyne sangat tidak mengerti maksud Duncan, namun ia tidak dapat
memberitahukan kepada pria itu sekarang, ya kan? Tipuannya semakin tidak
terkendali.
“Mereka
tidak memiliki keuntungan-keuntungan tertentu,” gumam Madelyne.
“Bukankah
maksudmu kami?”
Madelyne
menyerah. Ia bukan seorang pelacur dan tahu bahwa pria itu juga menyadarinya.
Ketika
Madelyne tidak menjawab, Duncan menyimpulkan bahwa wanita itu akan terpaksa
berbohong jika ia melanjutkan. “Pelacur tahu semua cara untuk memuaskan pria,
Madelyne.”
“Aku
bukan pelacur dan kau tahu itu.”
Duncan
tersenyum. Oh, betapa kejujuran wanita itu membuatnya senang. Ia adalah seorang
pria yang terbiasa dengan pengkhianatan, tapi ia tahu dengan pasti bahwa ia
akan mempertaruhkan nyawanya bahwa Madelyne tidak akan pernah membohonginya.
Duncan
menanggalkan sisa pakaiannya dan berjalan ke sisi lain tempat tidur. Punggung
Madelyne menghadap Duncan. Ia melihat pundak wanita itu menegang hingga seolah
akan patah ketika ia menyibak selimut dan naik ke tempat tidur. Ia berbalik,
menutupi sinar lilin, lalu menguap dengan keras. Jika selama ini Madelyne
mengawasinya, wanita itu pasti tahu kuap tersebut adalah kebohongan yang
terang-terangan. Gairah Duncan tampak jelas, bahkan bagi seorang yang senaif
istrinya yang pemalu. Ini akan menjadi malam yang panjang.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar