Sabtu, 21 Oktober 2017

The Tarnished Lady 2


Tugas seorang wanita tak pernah berakhir...

Eadyth bangun di saat menjelang fajar keesokan harinya. Sejujurnya, ia hanya berbaring dengan mata terbuka lebar, berkat kasurnya yang dipenuhi kutu.

Pelayannya tidur di kasur jerami yang dihamparkan di atas rumput yang kotor di dekat pintu. Kasihan Girta! Kutu busuk pasti berpesta pora menggigiti dagingnya yang tebal. Saat melihat lebih dekat, Eadyth melihat pembantu kepercayaannya itu mendengkur dengan teratur, tak terganggu oleh hama-hama tersebut.

Mungkin kulit Girta lebih tebal, atau lebih tepatnya kulit terang Eadyth lebih manis rasanya, pikirnya, lalu tergelak pelan. Hah! Tuan menyebalkan pemilik kastil yang nyaris ambruk ini akan memiliki pendapat berbeda tentang masalah itu, ia berani bertaruh.

Eadyth melangkahi pelayannya, yang mulutnya kini mengeluarkan paduan suara yang berbeda-- dengkuran pelan diselingi beberapa dengkuran senang dan bunyi menciut. Eadyth memandang dengan sorot penuh sayang wanita gemuk yang telah melayaninya dengan setia beberapa tahun ini, pertama sebagai pengasuhnya ketika ibunya meninggal saat melahirkannya, dan kini sebagai pendamping.

Mencari semangkuk air, Eadyth berharap bisa menyegarkan diri sebelum menghadapi badai perlawanan Eirik sekali lagi. Ia tak berhasil menemukannya. Bahkan, tak hanya perapian di kamarnya yang sudah dingin, tapi suasana keheningan yang mencekam menyelimuti koridor-koridor di luar. Tentunya, para pelayan Ravenshire sudah bangun dan memulai aktivitas sekarang, menyiapkan hari baru.

Dengan penuh pertimbangan, Eadyth mengenakan pakaian kunonya dan merapikan rambutnya ke balik tudung dan cadarnya. Sebagai aksesori tambahan, ia mengambil segenggam abu dari perapian dan menorehkannya dengan hati-hati di wajahnya untuk memberikan warna keabu-abuan di wajahnya.

Ia tersenyum, teringat kemarahan Girta kemarin pagi ketika dengan sengaja ia memilih gaun  paling jelek dan tertutup yang bisa ditemukannya.

"Ini tak akan menarik untuk ranjang pernikahan," Girta mengeluh masam.

"Memang benar Girta sanyang. Memang itu tujuanku. Aku akan memikat suami dengan mas kawinku dan kemampuanku mengatur estat, bukan tubuhku." Eadyth bergidik jijik pada prospek terakhir itu, menambahkan, "Aku sudah kapok dalam hal itu."

"Ah, Nak. itu hanya satu pengalaman buruk. Tak semua pria terbuat dari potongan kain yang sama."

Sikap Eadyth mengeras saat itu. "Tidak, kau adalah wanita yang baik Girta, tapi  kenyataan yang kejam telah membuktikan padaku bahwa lebih banyak pria yang berpikir sama dengan Steven dari pada yang tidak jika menyangkut wanita. Mereka menganggap kita hanya sekadar barang untuk digunakan dan disingkirkan begitu mereka bosan. Aku mau lebih dari itu."

Girta menggeleng prihatin. "Aku tak bisa membayangkan bagaimana kau bisa menerima aturan dalam kehidupan seorang istri."

"Tak akan. Pengantin priaku harus setuju pada persyaratanku sebelumnya." Eadyth terdengar lebih percaya diri dari yang dirasakannya.

"Oh, Eadyth, sayang, aku kawatir kau akan terluka."

Terluka? Eadyth kini tercenung saat ia membuka pintu kamarnya menuju koridor yang luas. Tidak, ia sudah sejak lama mengeraskan hatinya yang rapuh. Tapi John... itu beda lagi. Eadyth akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk melindungi putranya dari luka -- bahkan jika itu berarti ia harus menikahi pria menyebalkan dari Ravenshire itu, atau pria lain yang sama menjengkelkannya.

Eadyth berjalan menyusuri koridor dan menuruni tangga dari bangunan kastil berlantai dua, bangunan yang terbuat dari kayu dan batu. Jauh lebih besar dari Hawks' Lair, kastil itu dulunya kompleks bangunan yang mengesankan, atau begitulah kata ayahnya. Tapi batu-batu yang mulai runtuh dan kayu yang lapuk menunjukkan bahwa telah bertahun-tahun bangunan itu ditelantarkan. Sebenarnya, Eadyth benci melihat sesuatu yang indah, baik orang atau bangunan, diperlakukan dengan begitu buruk. Itu menggambarkan karakter pemiliknya. Eirik harus menjelaskan alasan ia menyia-nyiakan warisannya, pikir Eadyth sambil menggeleng dengan penuh sesal.

Ia mencari pelayan yang bisa menunjukkan arah ke jamban, lalu ke air bersih untuk minum dan mandi. Tak ada seorang pun. Beberapa ksatria mabuk yang dilihatnya kemarin malam tidur di bangku lebar dan di ranjang di ujung aula utama, bersama dengan beberapa pelayan.

Segelintir wanita berbaring telanjang di balik selimut bulu, tungkai mereka bertaut dengan tungkai para pria bangsawan. Melalui pintu cekung yang setengah terbuka, Eadyth melihat seorang gadis berambut merah berbagi ranjang dengan Wilfrid, seneschal yang ditemuinya kemarin malam. Payudara wanita itu menempel dengan provokatif di dada berbulu gelap milik Wilfrid dan sebelah kaki panjangnya bertumpu di atas kedua pahanya yang besar. Lebih keterlaluan lagi, jari-jari tangan wanita itu yang kapalan memegang organ intim Wilfrid yang lemas.

Mata Eadyth membelalak melihat adegan erotis itu. Lalu bibir atasnya melengkung sinis. Mengenal tabiat pria, Wilfrid mungkin saja sudah menikah dan istrinya yang malang sedang tidur di lantai atas sementara ia bercinta seperti kelinci dengan gadis pelayan.

Tak terlalu terkejut, Eadyth tahu bahwa berbagi ranjang adalah kegiatan yang lumrah di banyak manor, terutama yang di dominasi pria seperti di Ravenshire. Tapi ia tak mengizinkan kelakuan bejat semacam itu di Hawks' Lair. Ia mendorong pernikahan di antara para pelayannya, dan tak ada gadis dipaksa tidur dengan bangsawan yang berkunjung di dalam kastilnya.

Eadyth menimbang untuk membangunkan mereka berdua dan menunjukkan sikap tak setuju, tapi, tak seprti kemarin malam, ia bersumpah untuk mengikuti jalur yang lebih masuk akal hari ini. Lagi pula, itu bukan kastinya - mungkin tak akan pernah jadi kastilnya. Alih-alih, ia berjalan menuju area dapur yang terpisah, yang terhubung ke kastil melalui lorong yang tertutup. Walaupun kastil itu tak mempunyai nyonya rumah atau istri dari Lord pemilik kastil, pasti ada pelayan yang bertugas mengurus rumah... mungkin kokinya.

Mendorong terbuka pintu yang berat, Eadyth terkesiap ngeri melihat mimpi buruk di depannya: belanga-belanga berminyak, tikus-tikus yang berlarian, sisa makanan, nampan dan gelas yang tak dicuci, bahkan ada dua ekor ayam yang sedang mematuki makanan yang jatuh di atas lantai batu yang penuh kotoran. Eadyth menyambar sebatang sapu dan mengusir seekor tikus gemuk yang melahap sebongkah daging domba di atas meja,lalu menghentakkan kakinya ke arah selembar kasur jerami di dekat perapian yang padam di mana seorang pelayan, mungkin sang juru masak, sedang mendengkur keras melalui giginya yang membusuk dengan mulut yang terbuka. Wanita itu berguling telentang dan buang angin dengan kencang. Menggunakan sapu, Eadyth memukul bokong lebarnya, dan wanita itu seketika bangun, menggosok bokongnya.

"AP... APA?" jerit wanita itu saat ia melompat bangun dari kasur jeraminya, hanya setinggi bahu Eadyth, tapi dua kali lebarnya. "Apa kau sudah tak waras, mengganggu pelayan jujur sepertiku?" menyipitkan matanya--bola mata hitam yang kecil di wajahnya yang bengkak--koki itu bertanya dengan kasar, "kau pikir siapa dirimu... seorang ratu?"

"Lady Eadyth of Hawks' Lair, dasar pemalas. Apa kau bertanggung jawab atas kondisi kotor dapur ini?"

Wanita juru masak itu kini tampak takut karena menyadari bahwa ia telah menghina seorang wanita bangsawan, wanita itu mengangguk ragu, menyeka kantuk dari mata bundarnya. Ketika ia menguap dengan lebar, Eadyth nyaris pingsan karena napas tak sedap yang berembus ke arahnya, kombinasi dari gigi yang buruk dan arak basi, belum lagi tubuh dan pakaian yang mungkin tak dibasuh sejak paskah. Syukurlah, ia belum makan hidangan apa pun yang disiapkan oleh tangan kotor wanita tua ini.

"Siapa namamu?" desak Eadyth dengan suara dingin.

"Bertha."

"Baiklah, Bertha, menurutmu bagaimana dengan dapur yang kotor ini?"

"Hah?"

Eadyth mendengus jijik. "Berapa banyak pelayan di kastil ini?"

Bertha menggaruk ketiaknya dengan malas, lalu mulai menghitung dengan jarinya. "Sekitar dua belas di dalam, mungkin ada dua belas lagi di luar. Banyak pelayan dan petani yang pergi selama dua tahun Master tak ada."

"Siapa yang bertanggung jawab saat dia tak ada?"

Koki itu mengangkat bahu gemuknya. "Master Wilfrid, tapi dia sering pergi, sejak kematian  istrinya tahun lalu. Berkatilah jiwanya!" Bertha tampak berduka atas kematian istri Eilfrid. Hah! Wilfrid sama sekali tak tampak berduka ketika terakhir kali Eadyth melihatnya, membayangkannya dengan si pelayan telanjang.

"Aku mau kau kumpulkan semua pelayan... yang budak atau merdeka... di dapur ini secepatnya. Kau mengerti?"

Koki itu mengangguk.

Ketika segerombolan pemalas memadati area dapur itu beberapa saat kemudian, Eadyth sudah memanaskan air di perapian, dan belanga-belanga, nampan, serta gelas-gelas telah direndam. Ia menceramahi para pelayan itu dengan kata-kata pedas yang tak akan segera mereka lupakan, lalu memberikan perintah spesifik tugas yang harus mereka selesaikan dalam sejam.

"Bertha, aku ingin lantai dan dinding dapur ini disapu dan disikat. Semua papan talenan harus digosok, dan tepung baru dibawa untuk membuat roti. Aku akan memeriksa persediaan makanan di gudang penyimpanan, barangkali ada yang basi atau bercacing, yang aku jamin, pastinya ada."

"Lambert, panggil seseorang lagi untuk membantumu memotong dan menumpuk kayu bakar, yang bisa digunakan untuk memasak lima hari ke depan. Agnes dan Syabil akan mengumpulkan telur dan susu dari sapi." Eadyth bimbang saat itu dan memandang Bertha. "Ada sapi di sini, kan?"

Bertha mengangguk singkat. "Hanya ada satu sapi tersisa, dan mungkin dua lusin ayam."

"Bagus, kita akan membuat mentega saat susunya dibawa."

Ia terus dan terus mengoceh melanjutkan instruksinya sampai segelintir pelayan memutar mata muram mereka.

Lalu Eadyth beralih ke aula utama, memerintahkan beberapa pria untuk membawa keluar semua rush yang kotor dan menggantinya dengan rush yang baru dan terbuat dari tanaman herbal yang wangi. Yang lain diperintahkannya untuk menggosok meja-meja kayu dan memberihkan jaring laba-laba di tembok. Ia juga memerintahkan yang lain untuk mengangkat karpet berdebu dari dinding batu dan membawanya ke pelataran kastil untuk dibersihkan.

Yang paling penting menurutnya, ia melarang semua anjing memasuki aula utama untuk sementara waktu. Walaupun begitu, anjing bodoh dari malam sebelumnya terus membuntutinya seperti pemuda yang kasmaran. Menyerah sejenak, Eadyth memandang sekeliling untuk memastikan tak ada yang melihat, kemudian membungkuk dan membelai balik telinga anjing itu, membuat lidah hewan itu menjulur dengan sukacita. Eadyth menggeleng dengan sinis.

"Yang kau lakukan kemarin malam itu bodoh, apalagi di depan seorang wanita, tapi aku tak bermaksud menyakitimu, meskipun aku mendorongmu pelan dengan sepatuku." Eadyth masih membungkuk dan memeriksa hewan itu dengan teliti. "Ah, kau jenis yang bagus. aku bisa melihatnya sekarang. Tentunya, garis keturunanmu tak tercela. Apa kau punya nama? Tidak? Well, kalau begitu aku akan memanggilmu... apa? Prince?"

Anjing itu mengibaskan ekornya dengan antusias, dan Eadyth tertawa pelan. "kau suka nama itu ya? Well, sekarang, kita kan saling memahami satu sama lain." Ia membopong hewan bau itu, berjalan ke luar dan menurunkannya di pelataran kastil. "Jangan kembali masuk sampai kau mandi, Prince," ia menasehati hewan bodoh itu, yang matanya memandangnya dengan penuh perasaan seolah-olah memahami maksud Eadyth sepenuhnya.

Eadyth kembali ke aula dengan tergelak, ia melihat beberapa bangsawan telah bangun dengan terhuyung-huyung dari tidur mabuk mereka, dan ia mengirim mereka untuk berburu daging segar untuk makanan, bahkan Wilfrid, yang nampaknya terlalu terpana  dengan perintah Eadyth untuk protes. Bahkan, ia tersenyum aneh, bertanya dengan polos, "Apa Lord Eirik meminta bantuanmu, My Lady?"

Eadyth merasa dirinya tersipu--kebiasaan yang ingin sekali bisa segera dikendalikannya, tapi tak bisa. "Tidak. Aku duga dia masih tidur pulas setelah minum ale semalaman denganmu," balasnya dengan masam," lalu menoleh dengan defensif. "Aku membantunya memerintahkan para pelayannya yang malas untuk bekerja." Ia melirik cepat penuh makna ke tempat tidur Wilfris semalam, mengisyaratkan bahwa Eirik mungkin juga melakukan yang lain selain tidur di kamarnya.

Wilfrid menyunggingkan senyum penuh makna padanya dan memberi ciuman kilat pada gadis pelayan itu, yang berdiri di sampingnya, berhasil menutupi tubuh telanjangnya dengan selendang bulu. "Sampai jumpa nanti, Britta," katanya, mencubit bokong pelayan itu sambil mengedip genit.

Britta tersipu dan memandang Eadyth dengan ekspresi polos.

Eadyth berusaha menunjukkan tatapan marah pada pelayan bodoh itu, tapi Britta hanya seorang anak kecil, mungkin usianya tidak lebih dari lima belas tahun. Sebenarnya, ia tak terlalu yakin. "Britta, tolong tutupi tubuhmu dengan pakaian yang lebih layak, lalu copot semua selimut dari semua kasur jerami atau kamar yang tak ditempati. Bawa semua ke halaman dapur untuk di cuci."

Britta mengangguk dengan patuh. "Apakah kau akan menjadi nyonya baru?" tanyanya malu-malu. "Apakah kau akan menikah dengan tuan?"

Eadyth kembali merasakan semburat panas di pipinya yang tak diundang. "Aku ragu bahwa kami akan menikah, dan, tidak, aku bukan nyonyamu. Aku hanya bertindak sebagai... teman Lord Ravenshire untuk mengatur kastilnya."

Eadyth berusaha duduk dengan sopan waktu itu dan menunggu Lord Ravenshire, tapi tubuhnya gelisah tidak seperti biasanya. Ia tak tahan dengan hanya ongkang-ongkang kaki sambil menunggu tuan rumah, terutama ketika tangannya gemas untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang ada di sekitarnya. Ia segera saja menyerah pada instingnya.

Pada tengah hari, ia merasakan kepuasan saat memandang perkembangan luar biasa telah dilakukan. Dapur itu berkilau. Aula beraroma rush rumput yang segar dan tanaman obat yang baru ditumbuk. Pakaian bersih dan selimut direbus dalam ketel besar di atas perapian dan dibentangkan untuk dijemur di atas semak-semak kering  di taman kebun yang terlantar.

Beberapa pelayan sudah dikirim untuk mandi di kolam bermata air di belakan kastil, dan sisanya akan segera menyusul. Eadyth melarang siapa pun makan sampai mereka menyelesaikan tugas mereka dan mandi. Ia berharap mereka melakukannya buru-buru. Perutnya sudah keroncongan sama seperti yang lain. Aroma menggoda menguar dari roti yang baru dibakar di oven batu di sisi perapian yang lebar. Mentega yang baru dibuat berwarna kuning keemasan di dalam sebuah tempayan besar di atas meja kayu besar yang mendominasi di tengah dapur. Urat kayu ek itu akhirnya terlihat setelah meja itu disikat dengan kuat dengan pasir dan sabun yang kuat, walaupun Bertha mengeluhkan kulit jari-jarinya yang lecet.

Mengagumi keranjang yang dipenuhi telur ayam dan angsa yang baru dikumpulkan, Eadyth bertanya-tanya apakah Bertha tahu membuat puding yang enak. Kalau tidak, ia bisa memberikan wanita itu salah satu resepnya sendiri.

Perut Eadyth berbunyi lagi karena lapar saat ia mendengar bunyi mendesis air yang melompat di perapian dari daging babi panggang yang diasinkan. Seorang anak laki-laki kecil, Godric, seorang yatim dari budak di kastil yang telah lama tewas, membalik panggangan perlahan lalu mendongak memandang Eadyth, sorot matanya memuja, berterima kasih karena diberikan tugas kecilnya sendiri. Sebuah belanga kaldu  tulang rusa dan sisa cadangan sayuran musim dingin telah dimasak di ketel di balik api, dengan bubur kacang yang dibungkus kain tergantung di tengahnya.

Masih begitu banyak yang harus dilakukan, tapi itu sebuah awal yang abik. Eadyth mengawasi dengan puas. Akankah Eirik menghargai usahanya? Untuk pertama kalinya, Eadyth bertanya-tanya apakah ia sudah terlalu tergesa-gesa dalam tindakannya yang bermaksud baik.



Wanita itu mencuci APA-nya?...

Eirik terbangun mendengar gedoran di pintu kamarnya. Atau itu bunyi pukulan di kepalanya? Ia duduk seketika, lalu jatuh kembali ke kasurnya karena rasa nyeri yang tajam di pelipisnya.

Ya Tuhan! Ia pasti gila karena minum begitu banyak ale dengan Wilfrid kemarin malam. Ia tak pernah minum begitu banyak sejak ketika masih remaja ingusan yang senang bereksperimen dengan segala macam buah terlarang. Ia menggaruk rambutnya yang berantakan dengan kedua tangan dan duduk lagi, teringat alasannya mabuk-mabukan, wanita tua itu, Eadyth, dan saat ia menyebutkan nama Steven of Gravely. Ya Tuhan! Akankah ia benar-benar terlepas dari iblis itu? Dua tahun pergi dari daratan Inggris, dan begitu ia kembali ia disambut oleh teror kejahatan Gravely.

Sambil meringis jijik, Eirik mengenakan tunik dan celana panjang yang sama yang dipakainya semalam. Para pelayannya harus segera mencuci baju gantinya atau ia tak akan tahan dengan bau tubuhnya sendiri. Lebih baik lagi jika ia membuang semua pakaiannya ke tempat sampah dan menjahitkan pakaian-pakaian baru begitu ia pergi ke Jorvik. Sudah waktunya ia menikmati kekayaannya, alih-alih membiarkannya berlumut di ruang bawah tanah tersembunyi. Permainan melelahkan berpura-pura menjadi lord miskin pemilik kastil yang hampir runtuh sudah tak menyenangkan lagi belakangan ini.

Mungkin ia harus mengembalikan kastil kakeknya ke masa kejayaannya dulu, memerintah para petani musiman untuk menggarap ladang-ladangnya lagi. Ia menggigit bibirnya tercenung memikirkan prospek itu, yang sudah dipikirkannya dua minggu sejak ia kembali.

Ia tersenyum saat mengingat Lady Eadyth dan proposal pernikahannya yang luar biasa berani. Sejujurnya, itu bukan pertama kalinya seorang wanita mengejarnya untuk menikah. Dan banyak rencana jahat dilakukan untuk menjeratnya ke dalam perjanjian pertunangan--segalanya dari rayuan sampai pemerasan. Untungnya ia berhasil meloloskan diri dari semuanya. Satu pernikahan yang buruk sudah lebih dari cukup, pikirnya. Ketika Elizabeth meninggal sepuluh tahun lalu, ia sudah bersumpah tak akan menikah lagi--dengan alasan kuat.

Tapi kini nyonya dari Hawks' Lair itu menawarinya dengan bujukan yang mungkin tak mampu ditolaknya. Alisnya berkerut gusar. Oh, bukan mas kawinnya yang menggoda, dan yang pasti bukan kecantikan fisiknya, Demi Tuhan, tapi prospek untuk membalas dendam pada Steven of Gravely--itu yang mungkin tak mampu ditolaknya. Cara yang akhirnya bisa memancing Steven keluar dari persembunyiannya untuk bertarung sampai mati sudah pasti layak dipertimbangkan.

Gedoran di pintunya kembali terdengar, dan Eirik mengenali suara keluhan Bertha. "Master! Uh, kumohon, Master, keluarlah sebelum dia menjungkirbalikkan kami semua dan mengguncang kepala kami untuk mencari kutu."

Eirik terlompat dan berjalan ke pintu, membukanya di hadapan koki yang terkejut dan hendak mengetuk lagi dan, alih-alih, memukul dada Eirik. Perut Eirik bergejolak dan rasa arak basi yang naik ke tenggorokannya, membuatnya mual. Sial! Hanya itu yang dibutuhkannya, selain nyeri di kepalanya yang berdenyut.

Lalu mulutnya menganga kaget.

"Bertha? Benarkah ini kau?"

Ia nyaris tak mengenali koki tuanya dalam pakaian tuniknya yang bersih. Kulitnya kemerahan segar setelah digosok, dan rambutnya yang bersih terkulai basah dalam gumpalan yang meliuk-liuk di bahunya, membingkai wajah tembamnya yang sedang gusar.

"Ada apa, Bertha?" akhirnya Eirik bertanya, meredam tawa takjubnya.

"Lady ini, Mistress Eadyth. Wanita cere... maafkan kelancanganku Master... lady itu membangunkan semua orang sebelum fajar dengan omelannya dan membuat kami semua bekerja." Ia membentangkan telapak tangannya yang kasar dan merah untuk menunjukkan betapa kerasnya ia bekerja.

Eirik mengerutkan dahi dengan bingung. "Bukankah kalian selalu bangun saat fajar untuk mulai bekerja?"

Wajah Bertha tersipu memerah. "Well, iya sih, maksudku, kadang-kadang, tapi... tapi... dia tak berhak memerintah kami, dan dia menyebut kami pemalas dan sebutan yang lebih buruk lagi. Dia bilang kami begitu malas sehingga kami harus bersandar ke tembok hanya untuk bersendawa. Dia juga mengatakan kami berkutu, dan bilang kami punya waktu sampai tengah hari untuk membersihkannya atau dia akan menjungkirbalikkan kami dan menggoyangkan kepala kami."

Eirik tak mempu menahan tawa, dan Bertha memandangnya galak. Demi St. Bonifice! Suara lengkingan si koki  itu bisa mengelupaskan karat dari perisai, pikir Eirik, tapi Bertha tak menyadari bahwa Eirik mengernyit saat ia terengah-engah dan dengan berat menegakkan bahu lebarnya sebelum meneruskan keluhannya.

"Suasana hatinya pasti sedang buruk. Pasti sudah waktunya dia datang bulan, aku bertaruh. aku tak pernah mendengar seorang lady mengucapkan kata-kata seperti itu. Dia bilang aku bau seperti babi, dan dia menyuruh semua orang mandi, bilang tak ada yang boleh makan sampai semua bersih, dan..."

"Tunggu!" perintah Eirik, bibirnya berkedut geli.

"Hanya saja kami ini... kami ini kan pelayan setiamu, itu saja... aku pikir kau harus tahu apa yang dilakukannya," tambah Bertha, memperlambat bicaranya saat ia menyadari mungkin ia sudah melanggar batas.

"Aku menghargai informasimu, Bertha. Sekarang kembalilah ke dapur. Aku akan menyusul sebentar lagi."

Eirik mencipratkan air dingin ke wajahnya, lalu mencelupkan seluruh kepalanya ke baskom air itu untuk menyadarkan dirinya. Menggigil, ia mengguncangkan tetesan air dari rambutnya, mengumpat karena air yang sedingin es. Berpikir sebaiknya ia bercukur, ia menoleh ke logam mengilat berbentuk kotak di dinding dan meringis dengan tak suka. Ia tampak seperti orang barbar. Ia menyeringai. Bagus juga untuk menunjukkan pada wanita tua dari Hawks' Lair itu apa yang akan didapatkannya di ranjang pernikahan--kalau ia sudi memberikan kehormatan itu padanya.

Ia tersenyum sendiri saat berjalan menuruni tangga menuju aula utama, teringat kata-kata Eadyth semalam. "Lebah!" gumamnya. "Apa si penyihir itu benar-benar berusaha membeli bantuanku dengan lebah?" Eirik menggeleng tak percaya. Well, yang pasti itu jadi yang pertama baginya.

Eirik berhenti mendadak di dasar tangga. Ia mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan penglihatannya. Ke mana pun ia memandang, para pelayan bekerja dengan rajin--menggosok tiang dan meja, menggunakan sapu bergagang panjang untuk membersihkan jaring laba-laba di sudut tertinggi koridor, membersihkan abu lama dari perapian.

Ia maju, dan aroma manis tanaman wangi menyentak indranya. Ia menghirup napas dalam-dalam, lalu menunduk memandang rush rumput baru yang berderak di bawah sepatu kulitnya yang lembut.

Ia kagum pada serangga yang menyengat para pelayannya yang malas untuk membuat reformasi ini.

Merasakan embusan udara dingin, Eirik melayangkan pandangannya pada pintu aula yang terbuka, yang mengarah ke pelataran kastil dan bangunan di luar. Wilfrid bersandar dengan malas di tonggak pintu, beberapa bangkai kelinci diikat dan disampirkan di satu bahunya, dan seringai lebar menghiasi wajahnya.

"Dari mana saja kau," gerutu Eirik saat ia mendekat.

"Berburu."

Eirik memberengut. "Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku akan mau ikut denganmu."

"Tak ada waktu."

"Kenapa?" seringai kesal di bibir Wilfrid membuat Eirik bingung.

"Lady itu memerintah kami dari fajar dan bilang kami tak akan makan hari ini kecuali kami membawa daging segar ke meja." Wilfrid berhenti, tampaknya menikmati menceritakan kisah itu. Sambil berusaha menahan tawanya, ia melanjutkan, "kupikir dia bilang sesuatu tentang kau minum ale semalam denganku dan tidur untuk menghilangkan pengaruhnya pagi ini." Ia mengetuk sisi kepalanya dengan gaya berlebihan, seolah-olah berpikir keras, lalu menyeringai. "Atau dia menyiratkan kau melakukan sesuatu selain tidur di ranjangmu? Aku lupa sekarang."

Eirik menggeram. "Di mana tukang ikur campur itu?"

Wilfrid mengangkat bahunya. "Mungkin dia sedang di luar membangun lagi dinding kastil."

"Aku tak terhibur dengan... hiburanmu." geram Eirik menekan kepalanya yang berdenyut. Tuhan, ia perlu minum.

"Apa kepalamu sakit, My Lord?" tanya Wilfrid dengan perhatian yang mengejek. "Mungkin kau perlu istri yang bisa meredakannya dengan kata-kata manis dan tangan yang lembut."

Eirik mengumpat dan menuju dapur. Wilfrid mengikuti di belakangnya, pasti ingin menyaksikan adegan yang tak terhindarkan.

Ia melangkah cepat melewati dapur, melihat kondisinya yang bersih dan mencium aroma menggiurkan dari perapian. Anak kecil itu, Godric, berdiri dengan tekun membalik panggangan daging seukuran babi. Mungkin memang babi.

"Mistress menyuruh saya mengerjakan tugas ini, M'Lord. Apa Anda ingin saya berhenti?" kata Godric dengan takut pada wajah Eirik yang masam. Eirik melihat air mata menggenangi mata lebar anak itu dan tahu bahwa ia pikir Eirik marah padanya.

"Tidak, kerjamu bagus, Godric. Lanjutkan. Di mana Lady Eadyth?"

Godric menunjuk ke pintu terbuka yang menuju ke halaman dapur.

Eirik tak pernah lagi berada di bagian kastil yang ini sejak neneknya Aud membuat kebun tanaman obat dan sayur di sini beberapa tahun lalu. Setiap kali ayahnya Thork atau kakeknya Dar kembali dari pelayaran dagangnya, mereka selalu membawa oleh-oleh tanaman eksotis dari negeri-negeri jauh untuk menyenangkan neneknya. Kenangan menyedihkan tentang neneknya, yang sudah lama meninggal karena penyakit remeh, dan beberapa jam yang dihabiskannya untuk menemaninya, menyiangi tanaman thyme, rosemary, dan chives, membuat Eirik terpaku untuk sesaat.

Ia mengangkat bahunya, menguatkan dirinya untuk melihat kekacauan yang akan dilihatnya dari halaman yang sudah lama terlantar. Rasa bersalah menggelayutinya seperti gigi yang sakit. Seperti seluruh kastil itu, halaman itu pasti membutuhkan pembaruan.

Awalnya, sinar matahari yang terang menyilaukannya dan ia tak bisa melihat  kesibukan yang sedang berlangsung di sekelilingnya, membuat kepalanya kembali berdenyut. Ketika suara berisik percakapan akhirnya menembus kepalanya yang berdenyut, ia berhenti di tengah jalan, terpana tak percaya.

Ke mana pun ia menoleh, para pelayan pemalasnya berubah menjadi pegawai yang bersemangat dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dan mereka lebih bersih dari yang pernah dilihatnya sejak ia kembali. Bahkan tunik mereka, yang sudah usang, tampak baru dicuci. Eirik membelai kumisnya dengan penuh pertimbangan. Ia bahkan tak menyadari bahwa ada begitu banyak pelayan yang masih bekerja di Ravenshire.

Ada yang mengaduk ketel-ketel air sabun. Yang lain mengambil pakaian dari tempatnya direbus dan membilasnya dengan air bersih. Yang lain memerasnya dan menjemurnya di pepohonan dan semak sekitar, yang telah ditumbuhi dengan tanaman liar dan tak terawat seperti yang diperkirakannya. Mata Eirik nyaris melompat keluar saat itu saat ia menyadari pakaian dalamnya tergantung-gantung dengan jelasnya dari semak mulberry.

"Argh!" ia tercekat, lalu melihat penyebab kegusarannya, Lady Eadyth berdiri sedang mengomeli seorang pelayan muda, yang rambut basahnya menunjukkan bahwa baru kembali dari kolam pemandian. Ia menjewer daun telinga pelayan itu, mengomelinya untuk kembali ke kolam, berseru bahwa masih ada kotoran yang tersisa di lehernya dan telinganya.

"Menurutmu dia akan memeriksa telinga kita juga?" tanya Wilfrid masam di sisinya.

Eirik memandang Wilfrid kesal, lalu berjalan meuju wanita yang keterlaluan itu. Ia menggemertakkan giginya untuk menahan diri, takut ia akan melakukan kekerasan fisik pada wanita itu di depan para pelayannya, Eirik akhirnya berkata dengan ketenangan yang dipaksakan, "Lady Eadyth, boleh aku bicara denganmu?"

Wanita kurus itu tersentak dan menoleh. Mata mereka bertatapan di halaman yang seketika hening, dan jantung Eirik berdesir aneh di dadanya memandang ekspresi bertanya dan rapuh di wajah wanita itu yang dengan cepat ditutupinya dengan sikap tenangnya yang biasa.

Para pelayan terpaku menyaksikan adegan itu dengan penasaran dan ketakutan, tapi wanita bodoh itu tak punya rasa takut pada Eirik. Tidak, ia hanya membalas memandang Eirik berani dengan mata ungunya yang berkilat. Mata penyihir! Eirik tak menyadari warnanya yang aneh kemarin malam. MUngkin mata wanita itu hanya memudar karena usia, seperti mata neneknya sebelum kematiannya. Tentu saja, pasti begitu.

Sikapnya yang tenang dan tak terpengaruh menjengkelkan Eirik. Itu, dan ketertarikan Eirik yang tak bisa dijelaskan, tapi tak bisa dipungkiri, pada wanita yang lebih tua itu. Eirik mengutuk dirinya sendiri dengan kesal, lalu mencengkram lengan Eadyth dan menyeretnya kembali ke kastil, mengabaikan protesnya yang berhamburan.

"Duduk," perintah Eirik ketika mereka berada di satu kamar pribadi yang sempit di samping aula utama, di bawah tangga. Tanpa jendela, ruangan itu gelap dan pengap tak terawat. Eirik menyalakan lilin tapi tak bisa melihat dengan jelas kecuali lapisan debu dan kotoran yang tebal yang menutupi setiap benda di ruangan itu. Sialan! apa yang dilakukan para pelayannya selama ia tak ada dua tahun ini?

Eadyth menggerutu pelan dan menggosok lengannya yang tadi dicengkram Eirik. Lalu Eadyth mengeluarkan secarik sapu tangan dari korsetnya yang digunakannya untuk mengelap kursi sebelum duduk dengan patuh. Eirik melihat bahwa Eadyth berusaha memalingkan wajahnya dan menggerakkan tudung kepalanya, seolah-olah ia tak mau Eirik melihat wajahnya dengan saksama. Pasti karena ia sangat jelek. Eadyth menunduk saat Eirik memandangnya lekat-lekat, tapi bukan karena merendahkan diri, pikir Eirik.

Eirik berulang kali bersin karena debu yang diterbangkan Eadyth. Mungkin wanita itu sengaja melakukannya, hanya untuk membuatnya gusar. Eirik memandang galak ke arah Eadyth, masih mempunyai alasan lain untuk sangat tak menyukainya.


Hati-hati dengan doamu...

Eadyth berpura-pura tak peduli saat ia bergeser di kusinya di bawah wajah masam Eirik. Lalu ia teringat bahwa Eirik berpikir ia lebih tua dari umurnya yang sebenarnya dan menarik sedikit tudung kepalanya ke depan, sedikit membungkukkan bahunya, dan memalingkan wajahnya sehingga ia tak langsung berada di garis pandang Eirik. Eadyth menarik keluar beberapa helai rambutnya yang berminyak dari ikatannya untuk mengingatkan Eirik tentang warna yang "beruban." Ia mengintip ke atas dengan licik, melihat bahwa penampilannya sangat tak menyenangkan Eirik dan tahu bahwa ia sudah sukses bersandiwara untuk saat ini.

"Beraninya kau memerintah para pelayanku seenaknya," akhirnya Eirik bertanya dengan marah. "Kau menghinaku dan rumahku dengan melakukan hal itu."

"Aku tak bermaksud menghinamu, My Lord. Sungguh aku tak bermaksud begitu. Hanya saja aku tak bisa hanya duduk diam. Ketika aku melihat para pelayanmu memanfaatkanmu, kupikir... well, terkadang wanita lebih memperhatikan hal-hal semacam ini ketimbang pria. Dan kau sudah pergi lama..."

"Tetap saja kau tak berhak melakukannya."

Rasa malu melanda Eadyth seketika saat ia menyadari betapa tak pentasnya tindakannya di mata Eirik. Apakah ia sudah kehilangan semua sopan santunnya dalam perjuangannya yang tiada henti untuk mendapatkan kemandirian?

Dengan susah payah, Eadyth menelan harga dirinya. "Aku sekarang menyadari bahwa aku sudah bertindak lancang. Tapi bagaimana mungkin kau tahan makan makanan yang datang dari dapur yang kotor itu? Atau berjalan di atas rush rumput yang dikotori dengan kotoran hewan, tulang dan sisa makanan? Atau..." dan di sini ia bicara dengan menantang, memandang mata Eirik langsung, "...atau tidur di ranjang yang dipenuhi kutu."

Sekilas rasa menang melanda Eadyth saat ia melihat Eirik berkedip mendengar kritik pedasnya. Eirik tampaknya menahan diri untuk membalas cercaan Eadyth. Ia mengangkat dagunya menantang, tak mau menjelaskan dirinya pada Eadyth.

"Bagaimana caraku tidur bukan urusanmu."

Tiba-tiba Eadyth merasa bahwa misinya kemari sia-sia, meskipun Eirik memintanya menginap semalam. Ia berdiri dan berkata pendek pada Eirik, "Kau benar. Seharusnya aku tak ikut campur. Aku akan kembali ke Hawks' Lair sekarang. Maaf sudah mengganggumu."

Eirik memegang bahu Eadyth dan mengisyaratkannya untuk duduk kembali. "Tunggu. Mari kita diskusikan masalah ini," katanya dengan nada menenangkan, menawarkan Eadyth segelas wine.

"Sepagi ini? Tidak. Aku belum sarapan."

"Begitu juga semua orang di kastilku," Eirik menyindir.

"Apa kau lebih suka makan di dapur yang kotor? Astaga! Sedangkan kutu berdansa di rambut kokimu."

Mata biru Eirik berkilat geli, tapi ekspresinya tetap kesal. "Jaga bicaramu, Woman. Ini tak pantas diucapkan wanita di posisimu."

Eadyth menciut dikritik seperti itu. Sejujurnya, ia sudah terlalu lama bergaul dengan para pedagang dan cara bicara mereka yang kasar, tapi ia tak mau mengakui hal itu di depan ksatria ini.

"Apa kau menyeretku ke ruangan ini untuk mendiskusikan caraku bicara? Kalau benar, aku akan pergi, karena aku punya hal yang lebih penting kulakukan dengan waktuku."

"Kau pandai bersilat lidah, My Lady," Ujar Eirik, menyeringai. "Kebanyakan pria tak akan suka hal itu dari wanita. Aku bertaruh ini alasannya kau tak pernah menikah sebelumnya."

Eadyth menggemeretakkan giginya dan membalas tatapan Eirik. "Aku belum menikah," katanya melalui rahang yang tegang, "karena aku memilih tidak menikah. Berlawanan dengan pendapat kebanyakan pria tentang diri mereka sendiri yang berlebihan, banyak wanita puas dengan kehidupan melajang."

"Apakah saat itu kau ingin menikahi Steven?"

Eadyth menegang pada pertanyaan Eirik yang blak-blakan. Eirik memelintir ujung kumisnya dengan kedua jarinya, mengamati Eadyth seperti seekor gagak. Ia bisa melihat jawabannya penting bagi Eirik.

"Pertanyaanmu kasar dan pribadi, dan..."

Eirik mengangkat satu tangannya menghentikan kata-kata Eadyth. "Tidak, pertanyaan itu masuk akal untuk seorang calon pengantin pria."

Mata Eadyth membelalak terkejut. Ia mengira kemungkinan mereka menikah sudah sirna. Dengan wajah merah padam, ia memaksakan dirinya mengungkapkan detail intim dari masa lalunya yang ingin segera dilupakannya. "Ya, aku ingin menikahi Steven of Gravely saat itu, bodoh sekali aku."

"Apakah dia berjanji menikahimu?"

"Ya, benar... sebelum ia mendapatkan apa yang diinginkannya dariku."

"Dan apa itu?"

Eadyth memandangnya tajam yang mengatakan bahwa ia tak mungkin sebodoh itu. Eadyth bersandar di kursinya bersedekap, lalu segera berharap ia tak melakukannya ketika mata Eirik langsung tertuju  pada payudaranya yang tampak rata. Ia menjatuhkan lengannya sambil mendengus sebal dan berkata dengan berani, memandang langsung mata Eirik, "Dia menginginkan tubuhku." Pada ekspresi tak percaya di wajah Eirik, ia menambahkan sambil mengangkat bahu, "Tubuhku dulu indah dan menggoda."

Eirik mencibir.

Eadyth memandang galak.

"Dan apakah kau menginginkannya juga?"

Eadyth terperanjat. Sungguh, perbincangan ini sudah terlalu melenceng. Ia menutup bibirnya rapat-rapat untuk menghentikan umpatan kasar yang ingin dilontarkannya pada Eirik. Lalu, dengan sangat malu, ia mengakui dalam suara pelan yang getir, "Aku salah menganggap nafsu sebagai cinta. Tapi tak lama kemudian aku terguncang oleh tindakan bajingan itu."

"Kenapa begitu?" Eirik mendesak, wajahnya serius.

"Ketika aku tahu bahwa aku hamil dan menemuinya, berharap dengan sepenuh hati untuk segera bertunangan dan menikah, seperti janjinya, ia menertawakanku. Dia tak mau mengakui anak yang kukandung." Eadyth memandang Eirik dengan dingin, marah karena lelaki itu membuatnya harus mengungkapkan pengakuannya yang memalukan. Itu adalah topik yang tak pernah dibicarakannya. "Aku tak mau lagi membicarakan pria iblis itu denganmu."

"Ini satu hal, setidaknya, yang kita sepakati... kejahatan Steven of Gravely."

"Ya, benar."

"Begitu kau tahu dia berkhianat, apakah kau berpikir untuk mencari bidan untuk membantumu..."

"Apa?" desak Eadyth, tak mengerti arah pembicaraan Eirik.

Ia melihat bibir Eirik yang memucat tegang saat pria itu bimbang sebelum mengutarakan pertanyaan yang sepertinya penting baginya. "Ada wanita yang akan mencari cara untuk menyingkirkan anak yang tak diinginkannya. Apa kau pernah melakukan usaha seperti itu, dan gagal?"

"Tidak!" ia berseru. "Teganya kau bertanya seperti itu? John adalah satu-satunya hal terbaik dan murni yang lahir dari... hubungan yang menjijikkan itu." Eadyth berusaha meredam kemarahannya pada pertanyaan Eirik yang menghina. Ketika ia akhirnya bisa bicara tanpa berteriak, ia berkata, "Kau punya pandangan yang sangat rendah pada wanita, My Lord. Aku bertanya-tanya alasannya."

Eirik memandang dengan penuh pertimbangan beberapa saat, menggosok kumisnya yang mengerikan itu. Ekspresi kagumnya akhirnya memudar saat ia tampak membuat keputusan."Tunggu di sini," perintahnya sambil berdiri dan mendekati pintu. "Aku harus mengambil sesuatu."

Saat kembali tak lama kemudian, Eirik membawa buntelan kecil yang dibungkus linen yang diletakkannya di atas meja. Lalu ia duduk di kursi di dekat Eadyth dan mengambil dokumen maskawin Eadyth dari tuniknya. Ia mengisyaratkan Eadyth menarik kursinya mendekat ke meja.

"Sebelum aku panggil Wilfrid untuk menjadi saksi kita, aku akan menulis persyaratanku sendiri untuk kesepakatan tunangan kita, My Lady."

Terkejut, Eadyth memandangnya dengan bertanya-tanya. "Kau berniat menikahiku?"

Bibir Eirik membentuk seringai muram, seolah-olah ia sendiri tak percaya bahwa ia akan melakukan sesuatu tindakan yang begitu bodoh.

"Semoga Tuhan membantuku, benar."

Awalnya, benak Eadyth tak mampu menyerap pentingnya kata-kata Eirik. Perasaan campur aduk berperang dalam dirinya--lega bahwa John akan dilindungi ikatan pernikahan yang sah, dibayangi keputusasaannya karena ia benci dengan ikatan pernikahan itu sendiri. Ia tak benci pada pria, hanya nafsu syawat mereka, tapi anehnya ia merasa dirinya tertarik pada maskulinitas Eirik yang tampan.

"Kenapa?"

Eirik menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa. "Itu pertanyaan aneh untuk diajukan seorang pengantin wanita."

"Aku bukan pengantin biasa, dan kau tahu benar itu. Sudah jelas kau tak suka prospek menikahiku. Apakah maskawin dariku yang menggodamu? Apa kau memutuskan maskawin itu bisa digunakan untuk memperbaiki Ravenshire?"

Eirik mengerjap dengan kaget, lalu tawanya kembali berderai. "Mungkin aku lebih mirip Steven. Mungkin aku menginginkan tubuh indahmu." Eirik menggerakkan alisnya dengan menggoda.

Eadyth merasakan panas merayapi leher dan melintasi pipinya, dan ia mendengus kesal karena Eirik bersenang-senang dengan mempermalukannya. Sejauh ini, pria itu terlalu sembrono.

"Bukan tubuhku, indah atau tidak, yang akan menjadi bagian dari perjanjian pertunangan kita."

Eirik mengangkat satu alisnya bertanya mengejek, bulu matanya yang tebal dan hitam membentuk bayangan sepeti laba-laba di atas matanya yang anehnya berwarna pucat.

"Oh? Benarkah? Hmm. Kita lihat saja."

Jantung Eadyth berdegup dengan waspada, ia mendongak untuk melihat apa maksud Eirik dengan komentar misteriusnya, tapi kepala Eirik menunduk di atas dokumen saat pria itu menulis persyaratannya sendiri.

Eadyth memejamkan matanya dengan lelah.

Apakah aku membuat kesalahan yang lebih besar dengan bekerja sama dengan Lord of Ravenshire Ini?



Back
Next
Synopsis



Tidak ada komentar:

Posting Komentar