“Kemenangan
perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang
kuat...”
–PERJANJIAN LAMA,
PENGKHOTBAH,
4:2
Madelyne
mengerjakan tapestrinya. Namun pikirannya tidak tertuju kepada pekerjaannya
itu; ia terus mengulangi pernyataan Duncan. Apa maksud pria itu sewaktu
memberitahu bahwa Madelyne tidak akan menjadi tawanannya lebih lama lagi?
I
a tahu ia harus segera menghadapi pria itu. Ia terus bertingkah seperti seorang pengecut dan cukup jujur untuk mengakui kebenarannya. Ia takut mendengar jawaban pria itu.
Pintu
kamar Madelyne mendadak terbuka. Adela bergegas masuk ke dalam kamar. Adik
Duncan itu sangat tertekan. Ia terlihat nyaris menangis.
Madelyne
melonjak bangun. “Siapa yang membuatmu sedih seperti ini?” ia mendesak untuk
mengetahui jawabannya, langsung menyimpulkan bahwa Duncan-lah yang bertanggung
jawab.
Adela
seketika menangis. Madelyne buru-buru menutup pintu. Ia kemudian merangkul
Adela dan membimbing gadis itu ke salah satu kursi. “Duduklah dan tenangkan
dirimu. Ini tidak mungkin sama mengerikannya dengan kau berbuat tidak baik,” ia
menenangkan gadis itu.
Madelyne
berdoa bahwa ia benar. “Katakan padaku apa yang membuatmu menangis seperti ini
dan aku akan membereskannya lagi.”
Adela
mengangguk, namun begitu ia memandang Madelyne, ia mulai menangis lagi.
Madelyne duduk di bangku yang menghadap Adela dan dengan sabar menunggu.
“Kakakmu
telah mengirimkan pasukan untuk menjemputmu, Madelyne. Duncan mengizinkan si
kurir masuk. Itulah mengapa kau diperintahkan untuk kembali ke kamarmu kemarin.
Duncan tidak mau prajurit itu melihatmu.”
“Kenapa?
Semua orang tahu aku adalah tawanan di sini, Louddon...”
“Kau
salah paham,” sela Adela. “Edmond berkata pada Gilard bahwa menurutnya Duncan
tidak mau si kurir melihat kalau kau diperlakukan dengan baik.” Ia berhenti
sebentar untuk menyeka sudut matanya dengan manset gaunnya. “Kau memang
berpendapat bahwa selama ini kau sudah diperlakukan dengan baik, iya kan,
Madelyne?”
“Ya
Tuhan, karena itukah kau menangis?” tanya Madelyne. “Tentu saja selama ini aku
sudah diperlakukan dengan baik. Lihat saja sekelilingmu, Adela,” imbuhnya
seraya tersenyum kecil. Bukankah kamarku terlihat cukup nyaman?”
“Tidak
seharusnya aku mendengarkan apa yang si kurir katakan kepada Duncan, tapi aku
memang mendengarkannya. Gilard dan Edmond ada di sana, dan mereka juga
mendengarkan setiap kata. Duncan tidak menyuruh mereka pergi. Dan tak
seorangpun yang memperhatikanku, Madelyne. Aku yakin itu.”
“Apakah
kurir itu dari sang raja, atau dari kakakku?” tanya Madelyne. Dalam hati ia
ketakutan sekarang, namun ia tahu ia harus menyembunyikan rasa takutnya dari
Adela. Aye, adik Duncan ini
bergantung pada kekuatan dirinya, dan ia tidak bisa mengecewakan gadis itu
sekarang.
“Aku
tidak tahu dari siapa si kurir itu. Aku tidak mendengar bagian awal pesan yang
dia sampaikan.”
“Beritahu
aku yang kau dengar,” saran Madelyne.
“Kau
harus dibawa ke istana sang raja segera. Si kurir berkata bahwa meskipun kau
telah... ternoda...” lalu suara Adela pecah dan ia berhenti sebentar untuk
menenangkan diri. Madelyne menggigit bibir bawahnya sampai mati rasa. Ia
melawan dorongan untuk mencengkram bahu Adela dan mengguncangnya untuk
menceritakan sisa cerita itu.
“Kau
akan menikah segera setelah kau sampai di London.”
“Aku
mengerti,” bisik Madelyne. “Kita tahu ini akan terjadi, Adela. Kita tahu
Louddon akan melakukan sesuatu. Apakah kau mendengar nama pria yang akan
kunikahi?”
Adela
mengangguk. “Morcar.”
Adik
Duncan itu menutup wajah dengan kedua tangan, menangis tak terkendali sekarang.
Madelyne tidak harus menyembunyikan ekspresinya lagi. Ia pikir ia akan muntah.
“Bagaimana dengan Duncan, Adela?” ia berhasil bertanya. “Apa yang dia katakan
kepada kurir itu? Apakah dia menyetujuinya?”
“Dia
tidak mengucapkan sepatah kata pun. Prajurit itu menyampaikan pesannya dan
kemudian kembali kepada para prajurit lainnya yang menunggu di luar tembok
benteng.”
“Berapa
orang prajurit yang Louddon kirimkan?”
“Aku
tidak tahu,” bisik Adela. “Edmond dan Gilard saling berteriak kepada satu sama
lain begitu prajurit itu sudah pergi. Duncan tidak mengatakan apa pun. Dia
hanya berdiri di sana di depan perapian sembari mengaitkan tangannya di
belakang punggung.”
“Dia
menjauhkan diri,” kata Madelyne.
“Aku
tidak mengerti.”
“Kakakmu
harus memikul dua kedudukan di dalam rumah tangga, Adela. Dia adalah seorang
lord dan seorang kakak. Aku bisa membayangkan apa yang Edmond dan Gilard
perdebatkan. Edmond pasti menghendaki aku dikembalikan kepada Louddon sesegera
mungkin, sementara Gilard pasti mendebatnya untuk mendukung pertempuran demi
mempertahankan aku di sini.”
Adela
menggeleng sebelum Madelyne selesai mengutarakan dugaannya. “Nay, Edmond tidak ingin kau diserahkan
kepada prajurit Louddon,” ujarnya.
“Edmond
membelaku?”
“Ya,”
kata Adela. “Dan dia menyarankan agar aku dikirimkan kepada kakakku, Catherine,
untuk kunjungan singkat. Dia khawatir semua ini akan terlalu berat bagiku. Aku
tidak mau pergi ke mana pun. Catherine jauh lebih tua dariku, dan suaminya
sangat tidak biasa...”
Madelyne
berdiri dan perlahan-lahan berjalan ke jendela. Ia membuka daun jendela dan
menatap di jauh ke dalam hutan rimba. Ia tahu ia perlu mengendalikan amarah
menggelora yang bangkit di dalam dirinya. “Tahukah kau, Adela, bahwa anak
lelaki Sparta diambil dari ibunya pada saat usianya masih sangat muda dan
dikirim untuk hidup bersama para prajurit? Anak-anak kecil itu diajari mencuri.
Menjadi pencuri ulung dianggap sebagai cerdik.”
“Madelyne,
apa yang sedang kau bicarakan? Bagaimana bisa kau menceritakan kisan kepadaku
sekarang?”
Madelyne
berbalik, membiarkan Adela melihat air mata yang mengalir turun di pipinya.
Adela tidak pernah melihat Madelyne menangis sebelumnya.
“aku
mendapatkan ketenangan di dalam kisah-kisah kuno, Adela. Kisah-kisah itu
familier bagiku. Begitu pikiranku sudah tenang, aku akan bisa berpikir dengan
jernih. Lalu aku bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.”
Adela,
tertegun sehingga menjadi pasrah karena rasa sakit yang ia lihat di mata
temannya itu, cepat-cepat mengangguk.
Madelyne
berbalik kembali untuk memandang keluar jendela. Ia menatap puncak bukit yang
lebih rendah. Dan siapa yang akan memberi makan serigalaku saat aku pergi, ia
bertanya dalam hati. Aneh, tapi gambaran duncan memasuki pikirannya. Ia
mencampuradukkan pria itu dengan serigalanya, kemudian sadar bahwa pria itu
perlu diurus sama besarnya dengan hewan liar Madelyne. Barangkali lebih.
Itu
tidak masuk akal bagi Madelyne, kebutuhan untuk meluruskan kehidupan Duncan
yang suram ini hingga sesuai dengan keinginannya.
“Pamanku
dan aku akan duduk di depan perapian setiap malam. Aku belajar memainkan psaltery. Kadang-kadang paman akan
bergabung bersama viele-nya saat dia
tidak terlalu lelah. Itu adalah waktu yang sangat damai, Adela.”
“Apakah
tidak ada orang-orang yang berusia muda, Madelyne? Setiap kali kau menceritakan
sebuah kisah, kau berbicara layaknya orang-orang tua dan rapuh.”
“Paman
Berton tinggal di tanah Grinsteade. Baron Morton sudah sangat tua. Lalu Bapa
Robert dan Samuel datang untuk tinggal bersama kami juga. Mereka semua bergaul
dengan baik, tapi aku satu-satunya orang yang bermain catur bersama Baron
Morton. Dia membicarakan sesuatu dengan galak. Kata paman itu bukanlah dosa,
hanya tingkah lakunya yang lekas marah dan kasar karena dia sudah sangat tua.”
Madelyne
tidak bicara lagi untuk waktu yang lama. Adela menatap ke perapian sementara
Madelyne mamandang ke luar ke malam hari.
Kali
ini tidak berhasil. Upaya keras Madelyne untuk mendapatkan kendali diri tidak
akan terwujud. Ia dapat merasakan ketenangannya retak. Amarah bangkit di dalam
dirinya.
“Kita
harus mencari seseorang untuk melindungimu,” bisik Adela.
“Jika
aku dipaksa kembali kepada Louddon, seluruh rencanaku akan berantakan. Aku
tadinya akan pergi ke Skotlandia. Edwythe pasti akan menerimaku di rumahnya.”
“Madelyne,
Skotlandia adalah tempat di mana...” Adela hendak menjelaskan bahwa Catherine
tinggal di Skotlandia dan menikah dengan sepupu raja di
Skotlandia.
Skotlandia.
Namun
Adela tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan. “Kenapa, dalam nama Tuhan, aku
mencemaskan rencanaku yang akan berantakan? Louddon akan membunuhku atau
memberikanku kepada Morcar. Kemudian Morcar akan membunuhku.” Madelyne tertawa
kasar, mengirimkan getaran rasa takut ke sepanjang kaki Adela. “Aku masih tidak
percaya Louddon mau repot-repot menjemputku. Sewaktu dia mengejar Duncan
setelah bentengnya dihancurkan, kukira dia hanya ingin membunuh Duncan. Tapi
sekarang dia mengirimkan pasukan prajurit demi diriku.” Madelyne berhenti
sejenak, menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengerti satu pun dari semua ini.”
Sebelum
Adela bisa menghiburnya, Madelyne tiba-tiba berbalik dan melangkah menuju
pintu. “Madelyne. Kau harus tetap di sini. Duncan belum memberimu izin...”
“Aku
harus mencari seseorang pelindung, Adela, bukankah begitu caranya?” Madelyne
berseru lewat bahunya. “Well, Duncan
cukup tangguh untuk tugas itu.”
“Apa
yang akan kau lakukan?”
“Kakakmu
akan mengusir prajurit Louddon. Dan aku akan memberikan instruksi kepadanya
mengenai masalah itu sekarang.”
Sebelum
Adela dapat memperingatkan Madelyne, temannya itu sudah keluar pintu dan
berlari menuruni tangga. Adela buru-buru mengejarnya. “Madelyne, kau berpikir
untuk memberikan instruksi kepada kakakku?” Suaranya mencicit karena cemas.
“Benar,”
seru Madelyne.
Adela
harus duduk di tangga. Ia terkejut dengan perubahan pada diri Madelyne. Teman
tersayangnya itu sudah gila. Adela mengawasi Madelyne terus menuruni tangga
yang melingkar itu, rambutnya berkibar dibelakangnya. Pada saat Madelyne telah
menghilang ke lantai selanjutnya, barulah Adela sadar ia harus berusaha
menolong gadis itu. Tak peduli betapa menakutkannya prospek tersebut, ia
bertekad untuk menghadapi Duncan di sisi Madelyne. Bahkan, ia mungkin dapat menentang
kakaknya itu.
Madelyne
mencapai pintu masuk aula dan berhenti sebentar untuk menarik napas. Admond dan
Gilard duduk berhadapan di meja makan. Duncan berdiri dengan punggung menghadap
pintu masuk, langsung di depan api yang berkobar-kobar.
Admond
baru saja selesai memberikan komentarnya kepada kedua saudaranya. Madelyne
hanya mendengar bagian akhir dari yang ia ucapkan. “Kalau begitu sudah
disetujui bahwa Duncan akan membawanya...”
Madelyne
langsung menyimpulkan bahwa semua orang berpendapat bahwa menyerahkan dirinya
kepada prajurit Louddon merupakan ide yang bagus.
“Aku
tidak akan pergi ke mana-mana.”
Teriakan
Madelyne mendapat reaksi langsung. Duncan perlahan-lahan berbalik dan memandang
gadis itu. Madelyne mengamati duncan beberapa lama lalu mengalihkan
perhatiannya kepada adik-adik pria itu. Gilard berani tersenyum, seolah-olah ia
mendapati semburan marah Madelyne tadi menghibur, sementara Edmond, sesuai
dengan sifatnya yang keras kepala, cemberut.
Duncan
tidak menampakkan reaksi apa pun. Madelyne menangkat roknya. Ia berjalan dengan
perlahan untuk berdiri langsung di hadapan pria itu. “Kau menawan aku, Duncan.
Itu adalah keputusanmu,” cetusnya. “Sekarang aku punya keputusan untuk
kuberitahukan kepadamu. Aku akan tetap ditawan. Apakah aku sudah jelas dalam
masalah itu?”
Mata
pria itu memperlihatkan keterkejutan. Aye,
Duncan mendengar setiap kata. Dan mengapa tidak? Tanya Madelyne kepada dirinya
sendiri. Ia meraungkan keputusannya nyaris tepat ke wajah pria itu.
Saat
Duncan terus menatapnya, Madelyne mengira pria itu mungkin sedang mencoba
menakutinya. Well, itu tidak akan
berhasil kali ini. “Kau terjebak bersamaku, Duncan.”
Sial,
suara gadis itu bergetar.
Edmond
berdiri, membuat kursinya terbalik. Suara tersebut mengalihkan perhatian
madelyne. Gadis itu perlahan-lahan mendatangi meja itu, berkacak pinggang. “Kau
boleh mengenyahkan sendiri kernyitan itu, Edmond, atau aku berjanji kepada
Tuhan aku yang akan memukul kernyitan itu untuk menghilangkannya dari wajahmu.”
Gilard
mengawasi Madelyne. Ia tidak pernah melihat gadis itu semarah ini. Apakah gadis
itu benar-benar mengira Duncan akan mengirimnya kembali kepada Louddon?
Kesadaran itu membuat Gilard tersenyum. Madelyne yang malang. Gadis itu
jelas-jelas tidak mengenal Duncan dengan baik. Madelyne juga tidak menyadari
tentang betapa penting dirinya, Gilard menyimpulkan. Gadis itu telah membuat
dirinya sendiri ketakutan. Sungguh makhluk mungil yang lembut, namun bukankah
Gilard baru saja melihatnya, ia tidak akan percaya hal itu mungkin terjadi.
Semoga Tuhan menolongnya, ia mulai tertawa.
Madelyne
mendengarnya. Ia mengelilingi meja untuk memelototi pria itu. “Menurutmu ini
menghibur, Gilard?”
Gilard
membuat kesalahan dengan mengangguk. Ia mendongak menatap Madelyne tepat pada
waktunya untuk melihat gadis itu melemparkan salah satu teko ale ke kepalanya. Gilard menghindari
teko itu, dan ketika madelyne mengambil satu teko lagi, Edmond meraih ke atas
kepalanya dan mengambil benda itu dari cengkramannya. Kedua orang tersebut
berdiri bersisian di ujung platform. Madelyne menyenggol keras Edmond dengan
pinggulnya. Si tengah itu seketika kehilangan keseimbangan dan jatuh
terjengkang.
Edmond
mendarat di atas bokongnya. Edmond bisa saja menghentikan jatuhnya andai bangku
tidak terperangkap di kakinya. Madelyne menyaksikan usaha-usaha menyedihkan
pria itu sebelum berbalik kembali kepada Gilard. “Jangan pernah menertawaiku
lagi,” tuntutnya.
“Madelyne,
kemarilah,” perintah duncan. Ia sedang bersandar di rak di atas perapian, tampak
cukup bosan untuk jatuh tertidur.
Madelyne
menurut tanpa bertanya dan hampir melintasi ruangan itu sebelum ia menyadari
apa yang sedang ia lakukan. Ia kemudian berhenti, dan menggeleng. “Aku tidak
menerima perintahmu lagi, Duncan. Kau tidak menahanku lagi. Aku hanyalah sebuah
bidak bagimu. Bunuh aku kalau kau mau. Aku lebih memilih itu daripada dikirim
kembali kepada Louddon.”
Kuku-kuku
jemari Madelyne menancap di telapak tangannya. Ia tidak bisa menghentikan
tangannya bergetar.
Duncan
tidak pernah mengalihkan tatapannya dari gadis itu. “Edmond, Gilard, tinggalkan
kami sekarang.” Perintah diucapkan dengan halus, namun ada sebuah bilah baja
yang tak diragukan lagi dalam nada suaranya. “Dan bawa serta saudari kalian.”
Adela
bersembuyi di balik dinding di samping pintu masuk. Saat ia mendengar perintah
Duncan, ia bergegas masuk ke dalam ruangan itu. “Aku lebih suka tetap di sini,
duncan, pada saat Madelyne membutuhkanku.”
“Kau
akan pergi bersama kedua saudaramu,” cetus Duncan. Suaranya berubah dingin sekarang,
dengan efektif menghentikan argumen lebih lanjut.
Gilard
meraih lengan Adela. “Kalau kau mau aku tetap tinggal, Madelye...”
“Jangan
membantah perintah kakakmu,” tukas Madelyne. Ia tidak bermaksud untuk
meneriakkan perintah itu.
Adela
mulai menangis, membangkitkan lagi amarah Madelyne. Ia mengulurkan tangan dan
menepuk bahu Adela. Meski demikian, ia tidak berhasil tersenyum. “Aku tidak
akan menikah dengan Morcar,” ujarnya. “Sebenarnya, aku tidak akan menikah
dengan siapa pun.”
“Aye, tapi kau akan menikah,” kata
Duncan. Ia sebetulnya tersenyum kepada gadis itu saat ia mengucapkan janjinya.
Madelyne
merasa seolah-olah pria itu menaparnya. Ia menjauh selangkah, menggeleng tidak
percaya.
“Aku
tidak akan menikah dengan Morcar.”
“Tidak,
memang tidak.”
Jawaban
pria itu membuat Madelyne bingung hingga membuatnya patuh sebentar.
Duncan
tidak lagi memandang Madelyne sekarang. Ia mengawasi kedua adik laki-lakinya
berjalan bersama Adela menuju pintu masuk. Ketiga orang itu mengulur-ulur
waktu, bertingkah seolah-olah ada baju zirah yang dipakukan ke dasar sepatu
mereka. Jelas sekali mereka bermaksud untuk mendengarkan percakapannya dengan
Madelyne sebanyak mungkin. Duncan langsung menyalahkan Madelyne atas
pertunjukkan ketidakpatuhan mendadak mereka itu. Aye, semua ini adalah salah gadis itu. Selama ini mereka selalu
bersikap kucup patuh sebelum gadis itu memasuki kehidupan mereka.
Sejak
saat Lady Madelyne menapakkan kakinya ke dalam rumah duncan, setiap orang dan
segala hal menjadi jungkir balik.
Duncan
berkata pada dirinya sendiri kalau ia tidak menyukai perubahan-perubahan itu,
bahkan saat ia mengakui bahwa akan ada lebih banyak perubahan lagi yang akan
terjadi. Ia yakin akan menghadapi pemberontakan, terutama dari Gilard. Si
bungsu itu adalah sekutu terbesar Madelyne. Duncan menghela napas memikirkan
itu. Ia lebih memilih pertempuran sengit daripada urusan keluarga.
“Edmond,
cari pastor baru kita dan bawa dia ke hadapanku,” Duncan tiba-tiba berseru.
Edmond
menoleh, ada pertanyaan pada ekspresinya. “Sekarang.” Bentak Duncan.
Perintah
Duncan terdengar cukup dingin untuk membuat Madelyne menggigil hingga ke
tulangnya. Ia mulai berbalik untuk berbicara kepada Edmond, “Jangan
berani-berani menyuruhnya untuk mematuhiku, Madelyne, atau, semoga Tuhan menolongku,
aku akan merenggut rambut merahmu itu dan menyumpalkannya ke dalam mulutmu.”
Madelyne
terkesiap marah. Duncan puas, mengira ancaman kasarnya telah membuat gadis itu
menyadari posisinya yang rentan. Tujuannya adalah mendapatkan kepatuhan gadis
itu. Aye, ia menghendaki gadis itu
bersikap jinak untuk apa yang akan segera terjadi.
Saat
Madelyne mulai berjalan ke arahnya dengan sorot membunuh di mata, Duncan
menyimpulkan bahwa ancamannya tidak terlalu mengganggu gadis itu. Madelyne
tidak bertingkah jinak sedikit pun. “Beraninya kau menghinaku? Rambutku bukan
merah, dan kau sangat tahu itu. Rambutku coklat,” pekik gadis itu. “Memiliki
rambut merah itu membawa sial, dan rambutku bukan merah.”
Duncan
tidak percaya pada apa yang ia dengar. Pembangkangan Madelyne telah menjadi hal
yang biasa.
Madelyne
menghentikan langkahnya saat ia berjarak kurang dari tiga puluh sentimeter
jauhnya. Cukup dekat untuk disambar, pikir Duncan.
Gadis
itu berani namun tidak tahu apa-apa mengenai dunia. Hanya itulah alasan yang
dapat Duncan temukan untuk komentar gadis itu. Ada lebih dari seratus orang
prajurit Louddon yang sedang menanti di luar tembok benteng ini, mengancam akan
menyerang jika Madelyne tidak diserahkan kepada mereka pada esok pagi. Gadis
itu seharusnya meradang karena situasi tersebut, jura Duncan pada dirinya
sendiri. Alih-alih, gadis itu memperdebatkan masalah warna rambutnya. Rambut
itu lebih merah ketimbang coklat, dan kenapa, dalam nama Tuhan, gadis itu tidak
bisa melihatnya di luar pemahaman Duncan.
“Hinaanmu
tiada batasnya,” kata Madelyne pada Duncan. Kemudian ia mulai menangis. Ia
tidak sanggup menatap Duncan lagi, dan pasti itulah alasan ia mengizinkan
Duncan memeluknya.
“Kau
tidak akan kembali kepada Louddon, madelyne,” ujar Duncan, suaranya parau.
“Kalau
begitu, aku akan tinggal di sini hingga musim semi,” kata Madelyne.
Edmond
muncul di pintu masuk bersama sang pastor baru. “Bapa Laurance sudah datang,”
ia mengumumkan untuk menarik perhatian Duncan.
Madelyne
menarik dirinya dari Duncan. Ia menoleh untuk memandang sang pastor. Oh, pria
itu sangat muda. Itu membuat Madelyne terkejut. Pria itu juga samar-samar
tampak familier baginya, meski ia tidak dapat mengingat di mana tepatnya ia
bertemu pria itu. Sangat sedikit [astor muda yang mengunjungi Paman Berton.
Madelyne
menggeleng, kemudian memutuskan bahwa ia tidak mungkin pernah bertemu pria itu
sebelumnya.
Duncan
tiba-tiba menarik Madelyne ke sisinya. Mereka berdiri begitu dekat dengan
perapian, membuat Madelyne melupakan sang pastor dan mulai khawatir kalau-kalau
gaunnya tersambar lidah api. Saat Madelyne mencoba menjauh, Duncan mengeratkan
rangkulannya. Lengan Duncan tersampir di pundak Madelyne, menahannya di sisi
pria itu. Aneh, tapi setelah sedetik atau lebih, kedekatan Duncan menenangkannya,
dan ia dapat melipat kedua tangannya di depan tubuhnya dan memasang kembali
ekspresi tenangnya.
Sang
pastor tampak khawatir. Ia bukan pria yang sangat menarik, sebab wajahnya
bopeng karena bekas luka. Ia juga tampak berantakan.
Gilard
berlari masuk ke dalam ruangan. Ekspresi wajahnya menyiratkan bahwa ia siap
bertempur. Ia dan Edmond mendadak bertukar perangai. Edmond kini tersenyum
sementara Gilard cemberut.
“Duncan,
aku yang akan menikahi Lady Madelyne. Aku lebih dari bersedia untuk melakukan
pengoebanan ini,” gilard mengumumkan. Wajahnya merah dan ia dengan sengaja
menggunakan kata pengorbanan agar Duncan tidak akan mengetahui kedalaman
perasaannya yang sebenarnya kepada Madelyne. “Dia telah menyelamatkan nyawaku,”
imbuhnya ketika Duncan tidak langsung menjawabnya.
Duncan
tahu apa persisnya yang ada di benak Gilard. Adiknya itu setransparan air.
Gilard mengira dirinya jatuh cinta pada Madelynne. “Jangan mendebatku, Gilard.
Keputusanku sudah bulat dan kau akan menghormatinya. Apa kau memahamiku, Dik?”
Suara
Duncan halus namun mengancam, dan Gilard, setelah menghembuskan napas dengan
keras dan marah, perlahan-lahan menggeleng. “Aku tidak akan menentangmu.”
“Menikah?”
Madelyne membisikkan kata itu seakan-akan itu adalah sebuah hujatan.
Madelyne
meneriakkan kata selanjutnya. “Pengorbanan?”
Up kak.. Ditunggubkelanjutannya
BalasHapusDitunggu kak.... Bagus banget ceritanya
BalasHapusDitunggu ka kelanjutannya, suka banget, mohon update ya ka, makasih :))
BalasHapus