“Madelyne.”
Wanita
itu membenci cara Duncan memanggil namanya ketika pria itu kesal padanya.
Duncan selalu mengulur-ulur bagian akhir namanya sampai terdengar seolah
namanya yang sebenarnya adalah Lane.
“Namaku
bukan Lane,” gerutu Madelyne.
“Naiklah
ke tempat tidur.”
“Aku
tidak lelah.” Itu adalah pernyataan bodoh, tapi Madelyne terlalu takut untuk
bersikap pintar. Ia seharusnya mendengarkan cerita-cerita Marta lebih banyak.
Sudah terlambat untuk melakukan apa pun mengenai itu sekarang. Oh Tuhan, ia
rasa ia akan muntah tepat pada menit ini juga. Dan bukankah itu akan memalukan
–memuntahkan makan malamnya di hadapan pria itu. Pikiran itu membuat perut
Madelyne bergolak, meningkatkan kekhawatirannya.
“Aku
tidak tahu harus melakukan apa.”
Bisikan
sedih itu mencabik-cabik hati Duncan. “Madelyne, apakah kau ingat malam pertama
yang kita habiskan bersamaku di tendaku?” tanya Duncan.
Suara
Duncan halus, juga serak. Madelyne pikir barangkali pria itu sedang mencoba
menenangkannya.
“Aku
berjanji padamu malam ini bahwa aku tidak akan pernah memaksamu. Dan pernahkan
aku mengingkari janjiku padamu dalam hal apa pun?” tanya Duncan.
“Bagaimana
aku bisa tahu?” balas Madelyne. “Kau tidak pernah berjanji padaku mengenai apa
pun.” Ia berbalik untuk melihat apakah pria itu akan mencoba untuk
menyambarnya. Itu adalah kesalahan, sebab Duncan tidak perlu repot-repot untuk
menarik selimut ke atas tubuhnya. Pria itu sama telanjangnya dengan serigala.
Madelyne menyambar selimut itu dan melemparkannya ke arah pria itu. “Tutupi
tubuhmu, Duncan. Tidak pantas membiarkan aku melihat... kakimu.”
Madelyne
merona lagi. Duncan tidak tahu berapa lama ia sanggup mempertahankan sikap acuh
tak acuh ini. “Aku menginginkanmu, Madelyne, tapi aku ingin agar kau bersedia.
Aku akan membuatmu memohon, bahkan jika itu membutuhkan waktu semalaman.”
“Aku
tidak akan pernah memohon.”
“Kau
akan memohon.”
Madelyne
menatap ke dalam mata Duncan, mencoba mencari tahu apakah pria itu sedang
berusaha menipunya atau tidak. Ekspresi Duncan tidak memberitahu Madelyne apa
pun mengenai apa yang sedang pria itu pikirkan. Madelyne menggigit bibir
bawahnya sementara ia cemas. “Kau berjanji?” ia akhirnya bertanya. “Kau
sungguh-sungguh tidak akan memaksaku?”
Duncan
membiarkan wanita itu melihat kejengkelannya walaupun ia mengangguk. Ia
memutuskan besok ia akan memberitahu Madelyne bahwa wanita itu tidak boleh
mempertanyakannya dengan sikap seperti itu. Untuk malam ini, akan tetapi, ia
akan membiarkan kesalahan wanita itu.
“Aku
percaya padamu,” bisik Madelyne. “Ini aneh, tapi kurasa aku selalu percaya padamu.”
“Aku
tahu.”
Madelyne
tersenyum karena ucapan arogan pria itu. Kemudian ia mendesah lega. Ia merasa
aman lagi. “Karena kau tidak mengizinkan aku membawa gaun tidurku, aku akan
memakai salah satu kemejamu saja,” ujarnya.
Madelyne
tidak menunggu untuk mendapatkan izin pria itu. Ia mendatangi peti pakaian pria
itu, membuka penutupnya, dan mencari-cari di antara pakaian sampai ia menemukan
salah satu kemeja Duncan. Ia tidak tahu apakah Duncan mengawasinya atau tidak,
jadi ia terus memunggungi pria itu ketika ia melepaskan jubah mandinya dan
mengenakan kemeja pria itu.
Kemeja
tersebut nyaris tidak menutupi lututnya. Ia bergegas masuk ke bawah selimut.
Dan tentu saja itulah alasan ia secara tak sengaja menabrak Duncan.
Madelyne
menghabiskan waktu yang sangat lama untuk membetulkan selimut sampai sesuai
dengan keinginannya. Ia rasa menyentuh Duncan tidak pantas, tapi ia ingin
berada cukup dekat untuk merasakan sebagian dari kehangatan pria itu. Akhirnya
ia tenang. Ia mendesah. Ia berharap sekarang Duncan sudah bertambah lelah
karena gerakan-gerakannya. Sebenarnya, ia ingin Duncan menyambarnya dan
menariknya mendekat. Tuhan tahu ia terbiasa disambar dan diangkat kemana-mana,
dan kalau mau jujur, ia sebenarnya agak menyukai itu, merasa terlindungi dan
aman. Dan hampir dicintai. Sebenarnya itu adalah sebuah khayalan, tapi ia tetap
membiarkan kepura-puraan itu. Berpura-pura itu tidak berdosa, ya kan?
Duncan
tidak tahu apa yang sedang berlangsung di dalam kepala Madelyne. Ia membutuhkan
waktu yang jauh leb ih lama dari yang telah ia antisipasi hanya untuk membawa
wanita itu ke tempat tidur. Ritual berenangnya pada malam hari di danau yang
membekukan adalah sebuah usaha yang tak seberapa dibandingkan dengan cobaan
yang sedang berlangsung pada saat ini. Akan tetapi, imbalannya sebanding dengan
siksaannya. Dengan pikiran itu di dalam benaknya, Duncan berbalik dan berbaring
menyamping. Menopangkan kepala di sikunya, ia menunduk memandang istrinya. Ia
terkejut mendapati Madelyne sedang menatapnya, sebab ia benar-benar menyangka
wanita itu bersembunyi di bawah selimut. “Selamat malam, Duncan,” bisik
Madelyne kepadanya, memberinya satu senyuman lagi.
Duncan
menginginkan lebih, lebih banyak lagi. “Beri aku ciuman selamat malam,
Istriku.”
Nada
suara Duncan terdengar arogan. Madelyne tidak sedih karenanya. Ia mengernyit
kepada pria itu. “Aku sudah memberimu ciuman selamat malam,” ia mengingatkan
pria itu dengan manis. “apakah ciuman itu begitu tidak penting sampai kau sudah
melupakannya?”
Apakah
wanit itu sedang memancingnya? Duncan memutuskan Madelyne sedang memancingnya,
merasa menang. Ah, wanita itu memercayai Duncan, dan sementara ia merasa senang
karena fakta itu, denyutan meningkat di pahanya, mengganggu konsentrasinya. Ia
tidak dapat mengalihkan pandangannya dari mulut Madelyne, tidak kuasa
menghentikan dirinya sendiri ketika ia perlahan-lahan, tak terelakkan,
merendahkan mulutnya ke mulut wanita itu. Lengannya melingkari pinggang
Madelyne, menghalangi jalan untuk mundur apa pun andai wanita itu mencoba
meninggalkannya. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak memaksakan
ciuman tersebut, hanya menjaga Madelyne agar terus berada di sisinya sampai ia
menemukan cara untuk membujuk wanita itu.
Mulut
Duncan menempel di mulut Madelyne dalam ciuman yang dimaksudkan untuk
mencairkan penolakan apa pun. Lidahnya tenggelam ke dalam mulut wanita itu,
dengan lapar, nyaris ganas dalam upayanya untuk bersatu dengan Madelyne. Ia
ingin memberi wanita itu kepuasan dan tahu ia telah berhasil ketika lidah
Madelyne menyentuh lidahnya dan tangan wanita itu membelai pipinya dengan
lembut.
Duncan
menangkap desahan Madelyne ketika ia memperdalam ciuman itu. Tangan Duncan
membelai sisi leher wanita itu sementara ibu jarinya dengan malas
mengusap-ngusap di atas denyut nadi liar yang ia rasakan.
Madelyne
ingin lebih mendekat ke kehangatan Duncan. Mencium pria itu terasa begitu
benar. Kedua tangan Madelyne bergeser ke sekeliling leher Duncan, dan ketika
pria itu memperlihatkan kepuasan karena agresinya dengan cara menggeram rendah,
Madelyne tersenyum di mulut pria itu.
Duncan
mengangkat kepalanya untuk menatap wanita itu. Madelyne tampak puas sepenuhnya.
Bibir wanita itu masih basah dan bengkak dan ada percikan di matanya yang
menghangatkan hati Duncan. Ia mendapati dirinya balas tersenyum dan tidak dapat
menjelaskan alasannya. Ketika ia merasakan jemari Maelyne ragu-ragu menyapu
tengkuk lehernya, ia tidak dapat menahan dirinya untuk mencium wanita itu lagi.
Bibir bawah Madelyne terperangkap di antara gigi Duncan dengan mudah; ia
menarik, menarik Madelyne ke atas. Wanita itu tertawa, senang. Duncan
mengerang, tersiksa.
Ciuman
itu berubah menjadi dahsyat dan panas. Tangan Duncan memegang sisi wajah wanita
itu, dan ketika Madelyne mulai merespons, Duncan membiarkan wanita itu
merasakan rasa lapar di dalam dirinya.
Madelyne
mengerang dan bergerak mendekat, hingga jemari kakinya mengusap bulu keriting
di kaki Duncan.
Duncan
menghentikan gerakan resah wanita itu dengan cara menangkap kedua kaki Madelyne
dengan pahanya. Mulut Duncan tidak pernah meninggalkan mulut wanita itu. Ia
menyantap Madelyne, menggunakan lidahnya untuk menjarah bagian dalam mulut
Madelyne yang manis yang wanita itu berikan dengan sukarela.
Duncan
tidak akan pernah merasa puas dengan Madelyne. Ciuman itu berubah menjadi liar.
Sangat lapar. Kedua tangan Duncan sama tidak disiplinnya dengan mulutnya,
menjinakkannya dan menggairahkannya saat ia membelai dengan hangat dari pundak
ke dasar tulang punggung wanita itu. Getaran-getaran karena gairah yang besar
membuat Madelyne semakin gemetar. Madelyne tampaknya tidak mampu mendapatkan
akal sehatnya dan berpegangan pada itu. Ia sepertinya tidak mampu menyelamatkan
dirinya sendiri. Pikiran wanita itu dikuasai oleh sensasi-sensasi baru dan
erotis yang membanjiri tubuhnya.
Madelyne
menggeliat di dalam pelukan Duncan. Ia tertarik ke panas itu, sampai ia
merasakan gairah pria itu di pangkal pahanya. Ia terkesiap dan mencoba menjauh,
namun ciuman Duncan yang panas mendesak pergi semua ketakutannya. Panasnya luar
biasa. Pikiran Madelyne berontak terhadap keintiman itu, tapi tubuhnya tahu
bagaimana caranya merespons. Secara insting ia menangkap pria itu dan
menahannya di sana, menggunakan kedua pahanya untuk memeluk pria itu. Ia membiarkan
kehangatan itu menerobos, namun ketika Duncan mulai menggerakkan pinggulnya dan
gairahnya mengusap tubuh Madelyne, wanita itu mencoba menghentikannya. Tangan
Madelyne mencengkram paha Duncan dan ia mendorong pria itu. Ia mengira ia
menghentikan pria itu, nemun semakin pria itu bergerak, semakin lemah
perlawanannya. Sentuhan Duncan menyalakan bara api gairah jauh di dalam diri
Madelyne, dan tidak butuh waktu lama sebelum ia benar-benar menempel pada pria
itu, kuku-kuku jemarinya menancap di punggung Duncan untuk mempertahankan pria
itu di tubuhnya dengan kuat.
Duncan
sadar Madelyne ketakutan karena kerinduan yang telah mengusai wanita itu, namun
ia bertekad untuk membuat wanita itu merespons dengan gairah yang sama. Tangan
Duncan menangkup bokong Madelyne, hampir dengan kasar. Ia mengangkat Madelyne
dan menariknya lebih dekat, membiarkan wanita itu merasakan seluruh dirinya. Suara
bercinta yang rendah terdengar dari kedalaman dada Duncan, sebuah suara yang
primitif dan erotis, serta sama magisnya dengan nyanyian para Siren yang
memanggil Madelyne, memikatnya. Madelyne tidak dapat melawan dan ia mencium
Duncan dengan antusiasme liar dan bebas.
“Katakan
bahwa kau menginginkan aku di dalam dirimu. Sekarang. Katakan, Madelyne.”
Duncan menatap ke dalam mata Madelyne sambil pelan-pelan membuka kaki wanita
itu dengan pahanya. Sebelum Madelyne mengerti maksud Duncan, pria itu
menyelipkan tangannya ke gundukan ikal lembut yang menutupi bagian yang paling
sensitif di tubuh wanita itu. Jemari pria itu melembutkan dan membelai sampai
gairah Madelyne menjadi basah dan licin. Dan selama itu berlangsung. Duncan
mengamti respon wanita itu.
“Hentikan
siksaan ini, Duncan. Datanglah padaku.”
Duncan
mengerangkan nama Madelyne sebelum mulutnya mencium mulut wanita itu lagi.
Sepelan yang dapat ia lakukan, Duncan menempatkan dirinya di antara paha
Madelyne yang sehalus sutra, mengangkat pinggulnya, dan mulai menerobos.
Madelyne menggeliat, mendorong Duncan maju.
Duncan
berhenti sejenak ketika ia merasakan pelinding yang membuktikan keperawanan
wanita itu. “Lingkarkan kakimu di tubuhku.” Ia mengerangkan istruksi itu. Wajah
Duncan jatuh ke leher Madelyne. Saat merasakan wanita itu bergerak untuk
mematuhinya, Duncan mendorong ke depan. Madelyne menjerit kesakitan dan mencoba
menarik diri. “Tidak apa-apa, Kekasihku. Rasa sakit itu sudah berakhir
sekarang, aku janji. Tenanglah,” bisiknya.
Duncan
membisikkan kata-kata lancang ke telinga Madelyne, namun ia segera menjadi
terlalu bodoh untuk memahami apa yang pria itu ucapkan. Madelyne tidak dapat
berpikir, hanya merasakan kekuatan yang menarik-narik dirinya, membelai dan
menuntut.
Klimaksnya
begitu luar biasa sehingga Madelyne menjerit. Menjeritkan nama pria itu.
Madelyne ketakutan, rentan, aman. Ia dicintai.
Duncan
menjawab Madelyne dengan sebuah klimaks yang meledak-ledak dan geraman yang
kasar. Ia berseru kepada Madelyne, memeluknya dengan begitu erat hingga wanita
itu pikir ia dapat menyerapnya. Kemudian Duncan roboh ke atas Madelyne,
mendesahkan nama wanita itu dengan kepuasan sejati.
*Keseluruhan isi buku ini terdiri dari 24 bab
Sinopsis
Sampai jumpa di kisah Julie Garwood lainnya.
---Debda---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar