Kamis, 29 Agustus 2019

Honor's Splendour #sampaisiniaja


“Madelyne.”

Wanita itu membenci cara Duncan memanggil namanya ketika pria itu kesal padanya. Duncan selalu mengulur-ulur bagian akhir namanya sampai terdengar seolah namanya yang sebenarnya adalah Lane.

“Namaku bukan Lane,” gerutu Madelyne.

“Naiklah ke tempat tidur.”


“Aku tidak lelah.” Itu adalah pernyataan bodoh, tapi Madelyne terlalu takut untuk bersikap pintar. Ia seharusnya mendengarkan cerita-cerita Marta lebih banyak. Sudah terlambat untuk melakukan apa pun mengenai itu sekarang. Oh Tuhan, ia rasa ia akan muntah tepat pada menit ini juga. Dan bukankah itu akan memalukan –memuntahkan makan malamnya di hadapan pria itu. Pikiran itu membuat perut Madelyne bergolak, meningkatkan kekhawatirannya.

“Aku tidak tahu harus melakukan apa.”

Bisikan sedih itu mencabik-cabik hati Duncan. “Madelyne, apakah kau ingat malam pertama yang kita habiskan bersamaku di tendaku?” tanya Duncan.

Suara Duncan halus, juga serak. Madelyne pikir barangkali pria itu sedang mencoba menenangkannya.

“Aku berjanji padamu malam ini bahwa aku tidak akan pernah memaksamu. Dan pernahkan aku mengingkari janjiku padamu dalam hal apa pun?” tanya Duncan.

“Bagaimana aku bisa tahu?” balas Madelyne. “Kau tidak pernah berjanji padaku mengenai apa pun.” Ia berbalik untuk melihat apakah pria itu akan mencoba untuk menyambarnya. Itu adalah kesalahan, sebab Duncan tidak perlu repot-repot untuk menarik selimut ke atas tubuhnya. Pria itu sama telanjangnya dengan serigala. Madelyne menyambar selimut itu dan melemparkannya ke arah pria itu. “Tutupi tubuhmu, Duncan. Tidak pantas membiarkan aku melihat... kakimu.”

Madelyne merona lagi. Duncan tidak tahu berapa lama ia sanggup mempertahankan sikap acuh tak acuh ini. “Aku menginginkanmu, Madelyne, tapi aku ingin agar kau bersedia. Aku akan membuatmu memohon, bahkan jika itu membutuhkan waktu semalaman.”

“Aku tidak akan pernah memohon.”

“Kau akan memohon.”

Madelyne menatap ke dalam mata Duncan, mencoba mencari tahu apakah pria itu sedang berusaha menipunya atau tidak. Ekspresi Duncan tidak memberitahu Madelyne apa pun mengenai apa yang sedang pria itu pikirkan. Madelyne menggigit bibir bawahnya sementara ia cemas. “Kau berjanji?” ia akhirnya bertanya. “Kau sungguh-sungguh tidak akan memaksaku?”

Duncan membiarkan wanita itu melihat kejengkelannya walaupun ia mengangguk. Ia memutuskan besok ia akan memberitahu Madelyne bahwa wanita itu tidak boleh mempertanyakannya dengan sikap seperti itu. Untuk malam ini, akan tetapi, ia akan membiarkan kesalahan wanita itu.

“Aku percaya padamu,” bisik Madelyne. “Ini aneh, tapi kurasa aku selalu percaya padamu.”

“Aku tahu.”

Madelyne tersenyum karena ucapan arogan pria itu. Kemudian ia mendesah lega. Ia merasa aman lagi. “Karena kau tidak mengizinkan aku membawa gaun tidurku, aku akan memakai salah satu kemejamu saja,” ujarnya.

Madelyne tidak menunggu untuk mendapatkan izin pria itu. Ia mendatangi peti pakaian pria itu, membuka penutupnya, dan mencari-cari di antara pakaian sampai ia menemukan salah satu kemeja Duncan. Ia tidak tahu apakah Duncan mengawasinya atau tidak, jadi ia terus memunggungi pria itu ketika ia melepaskan jubah mandinya dan mengenakan kemeja pria itu.

Kemeja tersebut nyaris tidak menutupi lututnya. Ia bergegas masuk ke bawah selimut. Dan tentu saja itulah alasan ia secara tak sengaja menabrak Duncan.

Madelyne menghabiskan waktu yang sangat lama untuk membetulkan selimut sampai sesuai dengan keinginannya. Ia rasa menyentuh Duncan tidak pantas, tapi ia ingin berada cukup dekat untuk merasakan sebagian dari kehangatan pria itu. Akhirnya ia tenang. Ia mendesah. Ia berharap sekarang Duncan sudah bertambah lelah karena gerakan-gerakannya. Sebenarnya, ia ingin Duncan menyambarnya dan menariknya mendekat. Tuhan tahu ia terbiasa disambar dan diangkat kemana-mana, dan kalau mau jujur, ia sebenarnya agak menyukai itu, merasa terlindungi dan aman. Dan hampir dicintai. Sebenarnya itu adalah sebuah khayalan, tapi ia tetap membiarkan kepura-puraan itu. Berpura-pura itu tidak berdosa, ya kan?

Duncan tidak tahu apa yang sedang berlangsung di dalam kepala Madelyne. Ia membutuhkan waktu yang jauh leb ih lama dari yang telah ia antisipasi hanya untuk membawa wanita itu ke tempat tidur. Ritual berenangnya pada malam hari di danau yang membekukan adalah sebuah usaha yang tak seberapa dibandingkan dengan cobaan yang sedang berlangsung pada saat ini. Akan tetapi, imbalannya sebanding dengan siksaannya. Dengan pikiran itu di dalam benaknya, Duncan berbalik dan berbaring menyamping. Menopangkan kepala di sikunya, ia menunduk memandang istrinya. Ia terkejut mendapati Madelyne sedang menatapnya, sebab ia benar-benar menyangka wanita itu bersembunyi di bawah selimut. “Selamat malam, Duncan,” bisik Madelyne kepadanya, memberinya satu senyuman lagi.

Duncan menginginkan lebih, lebih banyak lagi. “Beri aku ciuman selamat malam, Istriku.”

Nada suara Duncan terdengar arogan. Madelyne tidak sedih karenanya. Ia mengernyit kepada pria itu. “Aku sudah memberimu ciuman selamat malam,” ia mengingatkan pria itu dengan manis. “apakah ciuman itu begitu tidak penting sampai kau sudah melupakannya?”

Apakah wanit itu sedang memancingnya? Duncan memutuskan Madelyne sedang memancingnya, merasa menang. Ah, wanita itu memercayai Duncan, dan sementara ia merasa senang karena fakta itu, denyutan meningkat di pahanya, mengganggu konsentrasinya. Ia tidak dapat mengalihkan pandangannya dari mulut Madelyne, tidak kuasa menghentikan dirinya sendiri ketika ia perlahan-lahan, tak terelakkan, merendahkan mulutnya ke mulut wanita itu. Lengannya melingkari pinggang Madelyne, menghalangi jalan untuk mundur apa pun andai wanita itu mencoba meninggalkannya. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak memaksakan ciuman tersebut, hanya menjaga Madelyne agar terus berada di sisinya sampai ia menemukan cara untuk membujuk wanita itu.

Mulut Duncan menempel di mulut Madelyne dalam ciuman yang dimaksudkan untuk mencairkan penolakan apa pun. Lidahnya tenggelam ke dalam mulut wanita itu, dengan lapar, nyaris ganas dalam upayanya untuk bersatu dengan Madelyne. Ia ingin memberi wanita itu kepuasan dan tahu ia telah berhasil ketika lidah Madelyne menyentuh lidahnya dan tangan wanita itu membelai pipinya dengan lembut.

Duncan menangkap desahan Madelyne ketika ia memperdalam ciuman itu. Tangan Duncan membelai sisi leher wanita itu sementara ibu jarinya dengan malas mengusap-ngusap di atas denyut nadi liar yang ia rasakan.

Madelyne ingin lebih mendekat ke kehangatan Duncan. Mencium pria itu terasa begitu benar. Kedua tangan Madelyne bergeser ke sekeliling leher Duncan, dan ketika pria itu memperlihatkan kepuasan karena agresinya dengan cara menggeram rendah, Madelyne tersenyum di mulut pria itu.

Duncan mengangkat kepalanya untuk menatap wanita itu. Madelyne tampak puas sepenuhnya. Bibir wanita itu masih basah dan bengkak dan ada percikan di matanya yang menghangatkan hati Duncan. Ia mendapati dirinya balas tersenyum dan tidak dapat menjelaskan alasannya. Ketika ia merasakan jemari Maelyne ragu-ragu menyapu tengkuk lehernya, ia tidak dapat menahan dirinya untuk mencium wanita itu lagi. Bibir bawah Madelyne terperangkap di antara gigi Duncan dengan mudah; ia menarik, menarik Madelyne ke atas. Wanita itu tertawa, senang. Duncan mengerang, tersiksa.

Ciuman itu berubah menjadi dahsyat dan panas. Tangan Duncan memegang sisi wajah wanita itu, dan ketika Madelyne mulai merespons, Duncan membiarkan wanita itu merasakan rasa lapar di dalam dirinya.

Madelyne mengerang dan bergerak mendekat, hingga jemari kakinya mengusap bulu keriting di kaki Duncan.

Duncan menghentikan gerakan resah wanita itu dengan cara menangkap kedua kaki Madelyne dengan pahanya. Mulut Duncan tidak pernah meninggalkan mulut wanita itu. Ia menyantap Madelyne, menggunakan lidahnya untuk menjarah bagian dalam mulut Madelyne yang manis yang wanita itu berikan dengan sukarela.

Duncan tidak akan pernah merasa puas dengan Madelyne. Ciuman itu berubah menjadi liar. Sangat lapar. Kedua tangan Duncan sama tidak disiplinnya dengan mulutnya, menjinakkannya dan menggairahkannya saat ia membelai dengan hangat dari pundak ke dasar tulang punggung wanita itu. Getaran-getaran karena gairah yang besar membuat Madelyne semakin gemetar. Madelyne tampaknya tidak mampu mendapatkan akal sehatnya dan berpegangan pada itu. Ia sepertinya tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Pikiran wanita itu dikuasai oleh sensasi-sensasi baru dan erotis yang membanjiri tubuhnya.

Madelyne menggeliat di dalam pelukan Duncan. Ia tertarik ke panas itu, sampai ia merasakan gairah pria itu di pangkal pahanya. Ia terkesiap dan mencoba menjauh, namun ciuman Duncan yang panas mendesak pergi semua ketakutannya. Panasnya luar biasa. Pikiran Madelyne berontak terhadap keintiman itu, tapi tubuhnya tahu bagaimana caranya merespons. Secara insting ia menangkap pria itu dan menahannya di sana, menggunakan kedua pahanya untuk memeluk pria itu. Ia membiarkan kehangatan itu menerobos, namun ketika Duncan mulai menggerakkan pinggulnya dan gairahnya mengusap tubuh Madelyne, wanita itu mencoba menghentikannya. Tangan Madelyne mencengkram paha Duncan dan ia mendorong pria itu. Ia mengira ia menghentikan pria itu, nemun semakin pria itu bergerak, semakin lemah perlawanannya. Sentuhan Duncan menyalakan bara api gairah jauh di dalam diri Madelyne, dan tidak butuh waktu lama sebelum ia benar-benar menempel pada pria itu, kuku-kuku jemarinya menancap di punggung Duncan untuk mempertahankan pria itu di tubuhnya dengan kuat.

Duncan sadar Madelyne ketakutan karena kerinduan yang telah mengusai wanita itu, namun ia bertekad untuk membuat wanita itu merespons dengan gairah yang sama. Tangan Duncan menangkup bokong Madelyne, hampir dengan kasar. Ia mengangkat Madelyne dan menariknya lebih dekat, membiarkan wanita itu merasakan seluruh dirinya. Suara bercinta yang rendah terdengar dari kedalaman dada Duncan, sebuah suara yang primitif dan erotis, serta sama magisnya dengan nyanyian para Siren yang memanggil Madelyne, memikatnya. Madelyne tidak dapat melawan dan ia mencium Duncan dengan antusiasme liar dan bebas.

“Katakan bahwa kau menginginkan aku di dalam dirimu. Sekarang. Katakan, Madelyne.” Duncan menatap ke dalam mata Madelyne sambil pelan-pelan membuka kaki wanita itu dengan pahanya. Sebelum Madelyne mengerti maksud Duncan, pria itu menyelipkan tangannya ke gundukan ikal lembut yang menutupi bagian yang paling sensitif di tubuh wanita itu. Jemari pria itu melembutkan dan membelai sampai gairah Madelyne menjadi basah dan licin. Dan selama itu berlangsung. Duncan mengamti respon wanita itu.

“Hentikan siksaan ini, Duncan. Datanglah padaku.”

Duncan mengerangkan nama Madelyne sebelum mulutnya mencium mulut wanita itu lagi. Sepelan yang dapat ia lakukan, Duncan menempatkan dirinya di antara paha Madelyne yang sehalus sutra, mengangkat pinggulnya, dan mulai menerobos. Madelyne menggeliat, mendorong Duncan maju.

Duncan berhenti sejenak ketika ia merasakan pelinding yang membuktikan keperawanan wanita itu. “Lingkarkan kakimu di tubuhku.” Ia mengerangkan istruksi itu. Wajah Duncan jatuh ke leher Madelyne. Saat merasakan wanita itu bergerak untuk mematuhinya, Duncan mendorong ke depan. Madelyne menjerit kesakitan dan mencoba menarik diri. “Tidak apa-apa, Kekasihku. Rasa sakit itu sudah berakhir sekarang, aku janji. Tenanglah,” bisiknya.

Duncan membisikkan kata-kata lancang ke telinga Madelyne, namun ia segera menjadi terlalu bodoh untuk memahami apa yang pria itu ucapkan. Madelyne tidak dapat berpikir, hanya merasakan kekuatan yang menarik-narik dirinya, membelai dan menuntut.

Klimaksnya begitu luar biasa sehingga Madelyne menjerit. Menjeritkan nama pria itu. Madelyne ketakutan, rentan, aman. Ia dicintai.

Duncan menjawab Madelyne dengan sebuah klimaks yang meledak-ledak dan geraman yang kasar. Ia berseru kepada Madelyne, memeluknya dengan begitu erat hingga wanita itu pikir ia dapat menyerapnya. Kemudian Duncan roboh ke atas Madelyne, mendesahkan nama wanita itu dengan kepuasan sejati.


*Keseluruhan isi buku ini terdiri dari 24 bab



Sinopsis


Sampai jumpa di kisah Julie Garwood lainnya.

---Debda--- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar