“Terpikirkan olehku kalau semestinya mempertimbangkan
tindakan ini sebelumnya. Bagaimanapun juga... kalau seseorang hendak memahami
cara kerja organ dalam angsa, ia harus meneliti angsa jantannya.
Angsa abu-abu yang sudah umum (Anser anser) konon merupakan
salah satu jenis angsa jantan yang paling mudah dipelajari dari seluruh genus
angsa. Angsa jantan lebih besar dari angsa betina, dengan kepala yang lebih
lebar dan leher yang lebih panjang, dan begitu mencapai kematangan seksual,
mereka memiliki kecenderungan untuk berprilaku agresif terhadap angsa betina,
walaupun kerap kali sulit rasanya membedakan jenis perilakunya.”
Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
22 Maret 1831; empat belas hari sebelum pernikahannya
Demi
membela diri, Pippa mengucapkan hal pertama yang terbersit di benaknya. “Dia
mengetuk pintu.”
“Dan
tidak terpikirkan olehmu kalau orang yang mengetuk pintu sebuah klub judi
mungkin bukan jenis orang yang ingin kau kenal?”
Menurut
Pippa, sepertinya Cross sama sekali tidak seperti itu. “Aku bukan orang dungu,
Mr. Cross.”
Cross
bersedekap erat-erat. “Mengucapkan kata-kata bukan berarti mewujudkannya, Lady
Philippa.”
Pippa
ingin mengangkat roknya dan menyebutkan semua nama tulang di kakinya.
Alih-alih, dia diam.
“Membisu
mungkin tindakan cerdas pertama yang kau lakukan hari ini.”
“Tidak
ada orang lain yang bisa membukakan pintu. Aku menunggu. Malah, aku kaget gentleman itu boleh menggedor pintu
sesukanya.”
Mata
Cross disipitkan kepada Pippa. “Percayalah kelalaian semacam itu tidak akan
terulang lagi. Dan, asal tahu saja, Digger Knight bukanlah seorang gentleman.”
“Ya. Aku
sadar sekarang.” Mata biru Pippa disipitkan di balik lensa yang tebal. “Tentu
saja, begitu aku menyadarinya... dia sudah masuk.”
“Apa kau
mau menjelaskan mengapa tangannya ada di tubuhmu?”
Pippa
pikir sebaiknya ia tidak menjawabnya. Ia tidak mau situasinya jadi salah
ditafsirkan.
Cross
langsung menyerang begitu melihat kebimbangan Pippa. “Apa kau memintanya? Apa dia pilihanmu yang
berikutnya untuk kau jadikan mitra risetmu?”
Pippa
mengelek, mengarahkan pandangannya ke pintu, ingin kabur. “Tidak juga.”
Aku punya beberapa pertanyaan. Cross pasti tidak ingin tahu kalau ia mengatakannya, pikir
Pippa.
Cross
maju selangkah menghampiri Pippa, menghalangi jalan keluarnya. “Bagaimana
persisnya?”
Pippa
mendongak memandang Cross, merasa lebih bersalah daripada yang seharusnya. Toh,
ia tidak menghamburkan diri ke dalam pelukan Digger.
“Apa kau mengajukan
penawaran kepadanya?”
“Tidak!”
Pippa tidak ragu-ragu. Ia tidak melakukannya. Tidak persis begitu.
Cross
mendengar pemikiran tersebut seolah Pippa meneriakkannya. “Aku tidak yakin aku
percaya padamu. Toh, belum sampai tiga puluh menit yang lalu kau mengajukan
penawaran kepadaku.”
“Itu
tidak sama, dan kau mengetahuinya.” Kalau
kau bersedia, aku tidak akan berada dalam situasi ini.
“Tidak
sama?” Cross bergoyang ke belakang.
“Tidak
sama!” Pippa mendengus saking kesalnya. “Tadinya kau bagian dari sebuah
rencana.” Sebuah rencana yang kemudian
kau kacaukan.
Mata
Cross disipitkan kepada Pippa, seolah ia bisa mendengarkan pikiran Pippa.
“Kurasa itu masuk akal... walaupun aneh.” Ia berbalik memunggungi Pippa,
menyeberangi lantai klub yang gelap, berkata ke belakang, “Kusarankan agar kau
pulang dan menunggu kakak iparmu, Lady Philippa... dia pasti mencarimu begitu
kuberitahu bahwa kau ini wanita yang benar-benar gila.”
Cross
tidak boleh memberitahu Bourne, pikir Pippa. Bourne akan memberitahu Ayah, dan
Ayah akan mengurungnya di Surrey sampai pagi hari pernikahannya. Tidak perlu
dipertanyakan lagi. Dan ia tidak akan mendapatkan informasi yang ia butuhkan.
Tidak mendapatkan keamanan yang dihadirkan oleh wawasan itu. Tidak memiliki
jaminan. Ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.
“Jangan!”
teriak Pippa dari seberang ruangan.
Cross
berbalik, nada suaranya tegas. “Kau keliru menafsirkan kalau aku bersedia
mematuhi perintahmu, My Lady.”
Pippa
bimbang. “Bukan aku yang mendekatinya. Tidak terjadi apa-apa. Aku akan pergi.
Kumohon... jangan beritahu Bourne.”
Mungkin
Pippa tidak mengucapkan kata-kata itu sama sekali kalau melihat bagaimana Cross
mengabaikannya, pandangan pria itu tertuju ke meja permainan dadu. Ke dadu yang
Pippa tinggalkan, terlupakan.
Pippa
maju selangkah ke arah Cross, dan pandangan Cross dialihkan untuk menatap
matanya, kuat dan tegas. Pippa menahan napas. Menegang. “Dadumu?”
Pippa
mengangguk. “Iya.”
“Kau
bertaruh?”
“Tadinya
aku mau,” jawab Pippa, kata-katanya terucap dengan cepat. “Di mana bumi di pijak di situ langit di junjung, bisa dibilang
begitu.”
Cross
tidak menggubris sindiran Pippa. “Dengan Knight?”
“Dengan
diriku sendiri.”
“Ketentuannya?”
“Belum
kuputuskan. Kupikir... mungkin...” Pippa menghentikan dirinya sendiri, hawa panas
yang ditimbulkan oleh rasa malu meliputinya. “Mungkin aku bisa...”
Mata
Cross membara. “Kau bisa...?”
Pippa
mengarahkan pandangannya ke dadu. “Aku bisa berusaha lebih keras untuk
mendapatkan bimbinganmu.”
“Dalam
melakukan maksiat yang kau inginkan.”
Yah. Kalau
Cross menyampaikannya seperti itu, di ruangan besar ini, kedengarannya menjadi
jauh lebih berbau skandal dari sebelumnya. “Benar.”
“Kalau
aku tetap menolak? Apa rencanamu? Kau akan pulang dan menunggu untuk dinikahi
layaknya seorang anak yang baik?”
Cross
membuatnya terdengar seperti anak kecil, pikir Pippa. Seolah seluruh rencananya
idiot. Apa pria itu tidak mengerti kalau ini penting? Kalau ini ilmiah. “Aku belum memutuskan,” kata
Pippa dengan lugas. “Tapi rasanya aku akan mempertimbangkan peluang-peluang
yang lain. Ini London yang sedang melalui Seasion.
Ada banyak pria flamboyan yang bisa ditemui untuk membimbingku.”
“Kau sama
merepotkannya dengan kakakmu,” tukas Cross dengan datar.
Kebingungan
bangkit. “Penelope?”
“Ya.”
Mustahil.
Penelope santun dalam segala hal, tidak mungkin datang ke sini tanpa
didampingi. Pippa menggelengkan kepala. “Penelope sama sekali tidak merepotkan.”
Salah
satu alis ciklat kemerahan diangkat karena ketidakpercayaan. “Aku tidak yakin
Bourne sependapat. Bagaimanapun juga, Digger Knight bukanlah kandidat yang
cocok untuk hal seperti itu. Sebaiknya kau langsung bergegas kebur jauh-jauh kalau
melihatnya lagi.”
“Siapa
dia?”
“Bukan
orang yang seharusnya kau jumpai,” Cross merengut. “Kau tidak melempar dadunya.”
“Memang
tidak,” sahut Pippa. “Aku yakin kau menganggap dirimu sangat beruntung
karenanya. Bagaimana kalau aku menang?”
Mata
Cross menggelap. “Aku kau jadikan taruhan?”
Pippa
mengangguk. “Tentu saja. Kau mitra riset pilihanku. Tapi karena aku belum
sempat bertaruh, kau boleh menganggap dirimu sangat beruntung,” katanya,
mengangkat roknya untuk pergi dengan seelegan mungkin.
“Aku
tidak menganggap diriku beruntung. Aku tidak percaya pada keberuntungan.”
Pippa
menurunkan roknya. “Kau mengelola sebuah kasino, dan kau tidak percaya kepada
keberuntungan?”
Cross
mengulas senyum tanggung. “Justru karena aku mengelola sebuah kasinolah aku
tidak percaya pada keberuntungan. Apalagi dengan dadu. Memang ada peluang dalam
judi. Tapi peluang itu pun tidak akan berlaku kalau kau melempar dadu, Lady
Philippa. Mustahil bertaruh melawan diri kita sendiri.”
“Omong
kosong.”
Cross
bersandar ke meja. “Tidak ada risiko di dalamnya. Jika hasilnya sesuai dengan
apa yang kau inginkan, kau tidak mendapat apa-apa. Dan kalau hasilnya tidak
sesuai dengan apa yang kau inginkan... kau tinggal menyangkalnya. Tanpa ada
yang meminta pertanggungjawabanmu.”
Pippa
menegakkan bahu. “Aku akan meminta pertanggungjawaban pada diriku sendiri.
Sudah kubilang... aku tidak suka ketidakjujuran.”
“Dan kau
tidak pernah berbohong kepada dirimu sendiri?”
“Juga
kepada orang lain.”
“Itu saja
sudah membuktikan bahwa kau sama sekali belum siap untuk apa yang akan kau
pertaruhkan.”
“Menurutmu
kejujuran itu rintangan?”
“Rintangan
yang berat. Dunia dipenuhi oleh pembohong, Lady Philippa. Pembohong, penipu,
dan bermacam-macam bajingan.”
“Seperti
dirimu?” Tanggapan ketus itu sudah terucap sebelum Pippa mampu mencegahnya.
Agaknya
Cross tidak tersinggung. “Persis seperti diriku.”
“Baiklah
kalau begitu, sebaiknya aku tetap jujur, guna mengimbangi ketidakjujuranmu.”
Cross
mengangkat sebelah alisnya. “Kau tidak berpendapat kalau kelakuanmu mencari
maksiat itu tidak jujur?”
“Sama
sekali tidak.”
“Lord
Castleton tidak berharap kau akan naik ke tempat tidur sebagai seorang perawan?”
Hawa
panas meliputi pipi Pippa. Ia rasa ia sudah mengira akan mendengar kata-kata
blak-blakan dari Cross, tapi ia belum pernah mengangkat topik spesifik ini
dalam percakapan sebelumnya. “Aku tetap ingin...,” ia memalingkan wajah,
melakukannya. Aku ingin menjadi lebih berwawasan dalam masalah itu.”
Cross
mengangkat sebelah alisnya. “Izinkan aku meralat pertanyaanku. Lord Castleton
tidak berharap kau akan menapaki jenjang pernikahan sebagai orang awam?”
“Kami
belum pernah membahasnya.”
“Jadi,
kau sudah menemukan celah.”
Mata
Pippa kembali menatap mata Cross. “Tidak.”
“Ketidakjujuran
dalam bentuk tidak memberitahu tetap saja tidak jujur.”
Mengherankan
rasanya Cross memiliki reputasi sebagai pria memesona, pikir Pippa. Sepertinya
pria itu sama sekali tidak memesona. “Kalau dia bertanya, aku tidak akan
berbohong kepadanya.”
“Pastinya
menyenangkan hidup dalam dunia hitam putih.”
Semestinya
Pippa tidak bertanya. “Apa maksudnya?”
“Di dunia
yang sesungguhnya, di mana gadis-gadis tidak terlindung dari semua realitas,
kita semua berselubung warna abu-abu, di mana keberadaan menjadi relatif.”
“Sekarang
aku sadar bahwa aku salah karena sudah mengira kalau kau cerdas. Kebenaran
adalah kebenaran.”
Salah
satu ujung bibir Cross terangkat mengulas senyum datar. “Sayang sekali, yang
sesungguhnya sama sekali tidak seperti itu.”
Pippa
membenci bagaimana kata-kata itu terucap dari mulut Cross, dengan penuh
keyakinan. Jelas ini suatu kekeliruan. Ia datang dengan harapan bisa
mendapatkan pengalaman serta wawasan, bukan pelajaran mengenai superioritas
pria.
Sudah
waktunya ia pergi.
Cross
tidak berkata apa-apa saat Pippa menyeberangi ruangan, menuju pintu. Ia tidak
bicara hingga Pippa menyibakkan tirai dan membuka pintu dalam, tiba-tiba sudah
tidak sabar untuk pergi.
“Kalau
mau bertaruh, kau harus melakukannya dengan jujur.”
Pippa
membeku, sebelah tangannya memegangi kain beludru yang tebal. Pasti ia salah
menafsirkan Cross. Ia memalingkan kepala, menoleh ke balik bahunya ke tempat di
mana Cross berdiri, jangkung dan ramping. “Apa?”
Dengan perlahan Cross mengeluarkan sebelah
tangan dari kantong jasnya lalu mengulurkannya kepada Pippa. Selama sesaat,
Pippa mengira pria itu memanggilnya.
Selama
sesaat, Pippa hampir beranjak.
“Kau
sudah datang jauh-jauh, Pippa.” Itu pertama kalinya Cross memanggilnya dengan
nama panggilannya, dan Pippa terkejut mendengar bunyinya di mulut pria itu.
Pengulangan cepat dari konsonannya. Bagaimana bibir Cross meliuk ketika
menyebutkannya. Menggoda. Dan sesuatu yang lebih lagi. Sesuatu yang tidak mampu
ia jelaskan. “Kau harus benar-benar bertaruh, kan?”
Cross
membuka tangannya, memperlihatkan dua dadu gading kecil.
Pippa
menatap mata kelabu Cross yang penuh perhitungan. “Kukira kau tidak percaya
kepada keberuntungan.”
“Memang
tidak,” ujar Cross. “Tapi rasanya aku lebih tidak percaya kepada pertaruhan
melawan diri sendiri, yang terkait dengan petualanganmu...”
“Bukan
petualangan,” protes Pippa. “Eksperimen.”
“Apa
bedanya?”
Cross tidak bisa melihatnya? “Yang satu bodoh. Yang satunya lagi ilmiah.”
“Katakan,
di mana letak ilmu pengetahuan dalam pertaruhan yang hendak kau lakukan?”
Pippa
tidak punya jawabannya.
“Biar
kuberitahu... tidak ada ilmu pengetahuan dalam pertaruhan. Orang terpelajar
tidak bertaruh. Mereka lebih bijaksana dari itu. Mereka tahu bahwa tidak peduli
berapa kali mereka menang, peluang tetap melawan mereka.”
Cross
mendekat, mendesak Pippa ke dalam kegelapan. Cross tidak menyentuhnya, tapi
anehnya, itu tidak penting. Cross berada cukup dekat untuk dirasakan, tinggi,
ramping, dan sangat hangat. “Tapi sekarang kau akan bertaruh, Pippa... iya kan?”
Cross mengacaukan
otaknya dan membuat berpikir dengan jernih terasa sulit. Pippa menarik napas
dalam-dalam, aroma cendana meliputinya, memecah perhatiannya.
Ia tidak
boleh berkata ya.
Tapi
entah bagaimana, anehnya, ia mendapati dirinya tidak mampu berkata tidak.
Ia meraih
dadu, benda mungil dan putih yang tergeletak di telapak tangan Cross yang
lebar. Menyentuh dadu, menyentuh pria itu-sapuan
kulit di ujung jemarinya membuat sensasi meliputi Pippa. Ia tertegun karena
sensasi tersebut, berusaha membedahnya. Mengidentifikasinya. Menikmatinya. Tapi kemudian Cross
menjauh, tangan pria itu diturunkan, hanya meninggalkannya dengan kubus gading,
yang masih hangat karena sentuhan sang earl.
Seperti dirinya.
Tentu
saja, pemikiran itu konyol. Orang tidak mungkin menghangat hanya karena kontak
sekilas. Itu bualan dalam novel. Sesuatu yang membuat saudari-saudarinya
mendesah.
Cross
beranjak, melangkah mundur lalu mengulurkan sebelah tangan ke meja permainan
dadu. “Apa kau sudah siap?” Suaranya rendah dan lembut, entah mengapa terkesan
pribadi meskipun mereka berada di ruangan yang besar.
“Sudah.”
“Karena
kau berada di klub judiku, aku akan menetapkan ketentuannya.”
“Rasanya
itu tidak adil.”
Tatapan
Cross tidak goyah. “Kalau kita bertaruh di mejamu, dengan senang hati aku akan
mengikuti peraturanmu, My Lady.”
“Kurasa
itu logis.”
Cross
menganggukkan kepala. “Aku menyukai wanita yang memiliki kegemaran terhadap
logika.”
Pippa
tersenyum. “Berarti itu peraturan para bajingan.”
Mereka
sudah berada di salah satu ujung meja panjang sekarang. “Tujuh atau sebelas
menang pada lemparan pertama. Karena kau bertaruh, kau boleh menyebutkan apa
yang kau pertaruhkan.”
Pippa
tidak perlu berpikir. “Kalau aku menang, kau harus memberitahukan semua yang
ingin ku ketahui.”
Cross
tertegun, dan selama sesaat Pippa mengira pria itu akan berubah pikiran. Alih-alih,
ia mengangguk sekali. “Cukup adil. Dan kalau kalah... kau harus pulang ke rumah
dan kehidupanmu lalu menantikan pernikahanmu dengan sabar. Dan kau tidak boleh
mengajukan proposal sinting ini kepada pria lain.”
Alis
Pippa menyambung menyampaikan protes. “Itu pertaruhan yang besar.”
Cross
memiringkan kepala. “Hanya dengan cara ini kau mendapatkan peluang untuk
memenangi partisipasiku.”
Pippa
merenungkan kata-kata itu, memperhitungkan probabilitas dadu di kepalanya. “Aku
tidak menyukai peluangku. Aku hanya punya peluang kemenangan sebesar dua puluh
dua koma dua.”
Cross
mengangkat sebelah alisnya. Hah, sama
sekali tidak bodoh.
“Dari
sanalah keberuntungan berasal,” ujar Cross.
“Kekuatan
yang tidak kau percayai itu?”
Cross
mengangkat sebelah bahunya yang ramping. “Mungkin aku salah.”
“Bagaimana
kalau aku memilih untuk tidak bertaruh?”
Cross
bersedekap. “Berarti kau memaksaku untuk melaporkan semuanya kepada Bourne.”
“Tidak
bisa!”
“Sangat
bisa, My Lady. Aku berencana untuk tidak melakukannya, tapi faktanya kau tidak
bisa dipercaya untuk menjaga dirimu sendiri. Orang di sekelilingmu yang harus
melakukannya untukmu.”
“Kau bisa
menjagaku dengan menyetujui proposalku,” tukas Pippa.
Cross
tersenyum, dan gigi putih yang mengilat membuat suatu sensasi yang sangat asing
meliputi Pippa –seolah ia berada di kereta kuda yang berbelok dengan terlalu
cepat. “Akan jauh lebih mudah kalau Bourne yang melakukan tugas itu. Lagi pula,
aku senang membayangkan Bourne mengurungmu di menara sampai hari pernikahanmu.
Itu akan menjauhkanmu dari tempat ini.”
Dari Cross. Pippa
mendapati dirinya tidak terlalu memusingkan pemikiran itu.
Pippa
menyipitkan matanya kepada Cross. “Kau menjadikan ini pilihanku satu-satunya.”
“Kau
bukan pemain pertama yang merasa begitu. Kau tidak akan menjadi yang terakhir.”
Pippa
menggoyang dadu. “Baiklah. Kalau jumlahnya bukan tujuh atau sebelas, aku akan
pulang.”
“Dan kau
tidak boleh mengajukan penawaranmu kepada pria lain,” desak Cross.
“Penawaranku
tidak secabul yang kau kesankan.”
“Penawaranmu
sudah cukup cabul.”
Cross
hampir telanjang tadi. Itu sangat
cabul. Pippa merasakan pipinya menghangat lalu mengangguk sekali. “Baiklah. Aku
tidak akan meminta pria lain membimbingku dengan risetku.”
Agaknya
Cross puas mendengar janji itu. “Lempar.”
Pippa
menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk momen itu, jantungnya
berdebar kencang saat ia melempar dadu gading, memperhatika ketika salah satu
dadu membentur tepi meja mahoni yang melengkung di seberang, terpental hingga
mendarat di dekat pasangannya di atas sebuah huruf C putih yang besar –awal kata
dari Chance, tertera di atas meja
dengan tulisan yang indah.
Sembilan.
Ia kalah.
Pippa
meletakkan tangannya di atas meja kayu yang sejuk, mencondongkan badan
seolah-olah ia bisa memerintahkan salah satu dadu untuk terus bergulir sampai
permaian menjadi miliknya.
Ia
mengangkat pandangannya ke mata lawannya.
“Alea iacta est,” kata
Cross.
Dadu sudah dilempar.
Kata-kata yang diucapkan oleh Caesar telah memenangi sebuah kekaisaran untuknya;
sementara Pippa kalah dalam peluang terakhirnya yang singkat untuk mendapatkan
wawasan.
“Aku
kalah,” ujar Pippa, tidak tahu apa lagi yang bisa dikatakan.
“Memang.”
“Aku mau
menang,” Pippa menambahkan, kekecewaan meliputinya, kejam dan tidak familier.
“Aku
tahu.” Cross mengangkat sebelah tangan ke pipi Pippa, gerakan itu mengalihkan
perhatian Pippa dari dadu, tiba-tiba membuatnya menginginkan sesuatu yang jauh
berbeda. Ia menahan napas karena sensai yang melandanya –limpahan sesuatu yang
tidak dapat dijelaskan di dadanya.
Jemari
lentik Crossmenggoda tapi tidak menyentuh, meninggalkan jejak hawa panas di
tempat di mana jemari itu nyaris berada. “Aku menagih, Lady Phillippa,” katanya
dengan lembut. Menagih. Kalimat tersebut
lebih bermakna dari jumlah kata-katanya. Tiba-tiba Pippa tahu persis bahwa ia
harus membayar.
Pippa
menatap mata kelabu Cross di tengah keremangan. “Aku hanya ingin tahu tentang
pernikahan.”
Cross
memiringkan kepala, sejumput rambut coklat kemerahan jatuh ke dahinya. “Pernikahan
adalah hal yang paling wajar di dunia. Mengapa kau khawatir sekali?”
Karena ia tidak memahaminya.
Pippa
bungkam.
Setelah
beberapa saat, Cross berkata, “Sudah waktunya kau pulang.”
Pippa
membuka mulut untuk bicara, berusaha meyakinkan Cross kalau pertaruhan barusan
bodoh, meyakinkan Cross untuk menizinkannya tinggal, tapi saat itu juga, tangan
Cross bergerak, menelusuri lehernya, sentuhan yang sangat ringan itu menjadi
janji yang tersirat. Permohonan Pippa hilang de tengah keinginan asing dan
menggebu terhadap kontak. Ia menahan napas, melawan keinginan untuk mendekat kepada
Cross.
“Pippa,”
bisik Cross, dan ada sesuatu di dalam nama itu... sesuatu yang tidak Pippa
pahami. Berpikir saja terlalu sulit baginya. Cross sudah sangat dekat. Terlalu
dekat tapi entah bagaimana tidak cukup dekat.
“Pulanglah,”
kata Cross, jemarinya akhirnya menyentuh, seringan bulu di tempat di mana hal
itu memberi Pippa segalanya tapi bukan yang ia inginkan. Pippa merapat kepada
belaian itu tanpa berpikir lagi, menginginkan yang lebih lagi. Ingin menolak.
Cross
langsung mengangkat tangan –sebelum Pippa menikmati sapuan jemari pria itu- dan
selama sesaat yang singkat dan gila, Pippa ingin mengulurkan tangan kepada
Cross dan mengembalikan sentuhan pria itu kepada dirinya.
Sangat memukau.
Sangat menakutkan.
Pippa
menarik napas dalam-dalam lalu melangkah mundur. Selangkah, dua langkah. Lima
langkah, sementara Cros bersedekap dengan gerakan sangat terkendali yang mulai
Pippa identifikasikan sebagai gerakan spesifik bagi pria itu. “Ini bukan tempat
yang sesuai untukmu.”
Dan
selagi memperhatikan Cross, merasakan tarikan meresahkan dan nyaris tak
tertahankan untuk tetap berada di klub, Pippa menyadari kalau tempat ini jauh
lebih dari yang ia harapkan.
Back
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar