Kamis, 21 Juni 2018

One Good Earl Deserves a Lover 3


“Terpikirkan olehku kalau semestinya mempertimbangkan tindakan ini sebelumnya. Bagaimanapun juga... kalau seseorang hendak memahami cara kerja organ dalam angsa, ia harus meneliti angsa jantannya.

Angsa abu-abu yang sudah umum (Anser anser) konon merupakan salah satu jenis angsa jantan yang paling mudah dipelajari dari seluruh genus angsa. Angsa jantan lebih besar dari angsa betina, dengan kepala yang lebih lebar dan leher yang lebih panjang, dan begitu mencapai kematangan seksual, mereka memiliki kecenderungan untuk berprilaku agresif terhadap angsa betina, walaupun kerap kali sulit rasanya membedakan jenis perilakunya.”

Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
22 Maret 1831; empat belas hari sebelum pernikahannya


Demi membela diri, Pippa mengucapkan hal pertama yang terbersit di benaknya. “Dia mengetuk pintu.”



“Dan tidak terpikirkan olehmu kalau orang yang mengetuk pintu sebuah klub judi mungkin bukan jenis orang yang ingin kau kenal?”

Menurut Pippa, sepertinya Cross sama sekali tidak seperti itu. “Aku bukan orang dungu, Mr. Cross.”

Cross bersedekap erat-erat. “Mengucapkan kata-kata bukan berarti mewujudkannya, Lady Philippa.”

Pippa ingin mengangkat roknya dan menyebutkan semua nama tulang di kakinya. Alih-alih, dia diam.

“Membisu mungkin tindakan cerdas pertama yang kau lakukan hari ini.”

“Tidak ada orang lain yang bisa membukakan pintu. Aku menunggu. Malah, aku kaget gentleman itu boleh menggedor pintu sesukanya.”

Mata Cross disipitkan kepada Pippa. “Percayalah kelalaian semacam itu tidak akan terulang lagi. Dan, asal tahu saja, Digger Knight bukanlah seorang gentleman.”

“Ya. Aku sadar sekarang.” Mata biru Pippa disipitkan di balik lensa yang tebal. “Tentu saja, begitu aku menyadarinya... dia sudah masuk.”

“Apa kau mau menjelaskan mengapa tangannya ada di tubuhmu?”

Pippa pikir sebaiknya ia tidak menjawabnya. Ia tidak mau situasinya jadi salah ditafsirkan.

Cross langsung menyerang begitu melihat kebimbangan Pippa. “Apa kau memintanya? Apa dia pilihanmu yang berikutnya untuk kau jadikan mitra risetmu?”

Pippa mengelek, mengarahkan pandangannya ke pintu, ingin kabur. “Tidak juga.”

Aku punya beberapa pertanyaan. Cross pasti tidak ingin tahu kalau ia mengatakannya, pikir Pippa.

Cross maju selangkah menghampiri Pippa, menghalangi jalan keluarnya. “Bagaimana persisnya?”

Pippa mendongak memandang Cross, merasa lebih bersalah daripada yang seharusnya. Toh, ia tidak menghamburkan diri ke dalam pelukan Digger.

“Apa kau mengajukan penawaran kepadanya?”

“Tidak!” Pippa tidak ragu-ragu. Ia tidak melakukannya. Tidak persis begitu.

Cross mendengar pemikiran tersebut seolah Pippa meneriakkannya. “Aku tidak yakin aku percaya padamu. Toh, belum sampai tiga puluh menit yang lalu kau mengajukan penawaran kepadaku.”

“Itu tidak sama, dan kau mengetahuinya.” Kalau kau bersedia, aku tidak akan berada dalam situasi ini.

“Tidak sama?” Cross bergoyang ke belakang.

“Tidak sama!” Pippa mendengus saking kesalnya. “Tadinya kau bagian dari sebuah rencana.” Sebuah rencana yang kemudian kau kacaukan.

Mata Cross disipitkan kepada Pippa, seolah ia bisa mendengarkan pikiran Pippa. “Kurasa itu masuk akal... walaupun aneh.” Ia berbalik memunggungi Pippa, menyeberangi lantai klub yang gelap, berkata ke belakang, “Kusarankan agar kau pulang dan menunggu kakak iparmu, Lady Philippa... dia pasti mencarimu begitu kuberitahu bahwa kau ini wanita yang benar-benar gila.”

Cross tidak boleh memberitahu Bourne, pikir Pippa. Bourne akan memberitahu Ayah, dan Ayah akan mengurungnya di Surrey sampai pagi hari pernikahannya. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Dan ia tidak akan mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Tidak mendapatkan keamanan yang dihadirkan oleh wawasan itu. Tidak memiliki jaminan. Ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.

“Jangan!” teriak Pippa dari seberang ruangan.

Cross berbalik, nada suaranya tegas. “Kau keliru menafsirkan kalau aku bersedia mematuhi perintahmu, My Lady.”

Pippa bimbang. “Bukan aku yang mendekatinya. Tidak terjadi apa-apa. Aku akan pergi. Kumohon... jangan beritahu Bourne.”

Mungkin Pippa tidak mengucapkan kata-kata itu sama sekali kalau melihat bagaimana Cross mengabaikannya, pandangan pria itu tertuju ke meja permainan dadu. Ke dadu yang Pippa tinggalkan, terlupakan.

Pippa maju selangkah ke arah Cross, dan pandangan Cross dialihkan untuk menatap matanya, kuat dan tegas. Pippa menahan napas. Menegang. “Dadumu?”

Pippa mengangguk. “Iya.”

“Kau bertaruh?”

“Tadinya aku mau,” jawab Pippa, kata-katanya terucap dengan cepat. “Di mana bumi di pijak di situ langit di junjung, bisa dibilang begitu.”

Cross tidak menggubris sindiran Pippa. “Dengan Knight?”

“Dengan diriku sendiri.”

“Ketentuannya?”

“Belum kuputuskan. Kupikir... mungkin...” Pippa menghentikan dirinya sendiri, hawa panas yang ditimbulkan oleh rasa malu meliputinya. “Mungkin aku  bisa...”

Mata Cross membara. “Kau bisa...?”

Pippa mengarahkan pandangannya ke dadu. “Aku bisa berusaha lebih keras untuk mendapatkan bimbinganmu.”

“Dalam melakukan maksiat yang kau inginkan.”

Yah. Kalau Cross menyampaikannya seperti itu, di ruangan besar ini, kedengarannya menjadi jauh lebih berbau skandal dari sebelumnya. “Benar.”

“Kalau aku tetap menolak? Apa rencanamu? Kau akan pulang dan menunggu untuk dinikahi layaknya seorang anak yang baik?”

Cross membuatnya terdengar seperti anak kecil, pikir Pippa. Seolah seluruh rencananya idiot. Apa pria itu tidak mengerti kalau ini penting? Kalau ini ilmiah. “Aku belum memutuskan,” kata Pippa dengan lugas. “Tapi rasanya aku akan mempertimbangkan peluang-peluang yang lain. Ini London yang sedang melalui Seasion. Ada banyak pria flamboyan yang bisa ditemui untuk membimbingku.”

“Kau sama merepotkannya dengan kakakmu,” tukas Cross dengan datar.

Kebingungan bangkit. “Penelope?”

“Ya.”

Mustahil. Penelope santun dalam segala hal, tidak mungkin datang ke sini tanpa didampingi. Pippa menggelengkan kepala. “Penelope sama sekali tidak merepotkan.”

Salah satu alis ciklat kemerahan diangkat karena ketidakpercayaan. “Aku tidak yakin Bourne sependapat. Bagaimanapun juga, Digger Knight bukanlah kandidat yang cocok untuk hal seperti itu. Sebaiknya kau langsung bergegas kebur jauh-jauh kalau melihatnya lagi.”

“Siapa dia?”

“Bukan orang yang seharusnya kau jumpai,” Cross merengut. “Kau tidak melempar dadunya.”

“Memang tidak,” sahut Pippa. “Aku yakin kau menganggap dirimu sangat beruntung karenanya. Bagaimana kalau aku menang?”

Mata Cross menggelap. “Aku kau jadikan taruhan?”

Pippa mengangguk. “Tentu saja. Kau mitra riset pilihanku. Tapi karena aku belum sempat bertaruh, kau boleh menganggap dirimu sangat beruntung,” katanya, mengangkat roknya untuk pergi dengan seelegan mungkin.

“Aku tidak menganggap diriku beruntung. Aku tidak percaya pada keberuntungan.”

Pippa menurunkan roknya. “Kau mengelola sebuah kasino, dan kau tidak percaya kepada keberuntungan?”

Cross mengulas senyum tanggung. “Justru karena aku mengelola sebuah kasinolah aku tidak percaya pada keberuntungan. Apalagi dengan dadu. Memang ada peluang dalam judi. Tapi peluang itu pun tidak akan berlaku kalau kau melempar dadu, Lady Philippa. Mustahil bertaruh melawan diri kita sendiri.”

“Omong kosong.”

Cross bersandar ke meja. “Tidak ada risiko di dalamnya. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang kau inginkan, kau tidak mendapat apa-apa. Dan kalau hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kau inginkan... kau tinggal menyangkalnya. Tanpa ada yang meminta pertanggungjawabanmu.”

Pippa menegakkan bahu. “Aku akan meminta pertanggungjawaban pada diriku sendiri. Sudah kubilang... aku tidak suka ketidakjujuran.”

“Dan kau tidak pernah berbohong kepada dirimu sendiri?”

“Juga kepada orang lain.”

“Itu saja sudah membuktikan bahwa kau sama sekali belum siap untuk apa yang akan kau pertaruhkan.”

“Menurutmu kejujuran itu rintangan?”

“Rintangan yang berat. Dunia dipenuhi oleh pembohong, Lady Philippa. Pembohong, penipu, dan bermacam-macam bajingan.”

“Seperti dirimu?” Tanggapan ketus itu sudah terucap sebelum Pippa mampu mencegahnya.

Agaknya Cross tidak tersinggung. “Persis seperti diriku.”

“Baiklah kalau begitu, sebaiknya aku tetap jujur, guna mengimbangi ketidakjujuranmu.”

Cross mengangkat sebelah alisnya. “Kau tidak berpendapat kalau kelakuanmu mencari maksiat itu tidak jujur?”

“Sama sekali tidak.”

“Lord Castleton tidak berharap kau akan naik ke tempat tidur sebagai seorang perawan?”

Hawa panas meliputi pipi Pippa. Ia rasa ia sudah mengira akan mendengar kata-kata blak-blakan dari Cross, tapi ia belum pernah mengangkat topik spesifik ini dalam percakapan sebelumnya. “Aku tetap ingin...,” ia memalingkan wajah, melakukannya. Aku ingin menjadi lebih berwawasan dalam masalah itu.”

Cross mengangkat sebelah alisnya. “Izinkan aku meralat pertanyaanku. Lord Castleton tidak berharap kau akan menapaki jenjang pernikahan sebagai orang awam?”

“Kami belum pernah membahasnya.”

“Jadi, kau sudah menemukan celah.”

Mata Pippa kembali menatap mata Cross. “Tidak.”

“Ketidakjujuran dalam bentuk tidak memberitahu tetap saja tidak jujur.”

Mengherankan rasanya Cross memiliki reputasi sebagai pria memesona, pikir Pippa. Sepertinya pria itu sama sekali tidak memesona. “Kalau dia bertanya, aku tidak akan berbohong kepadanya.”

“Pastinya menyenangkan hidup dalam dunia hitam putih.”

Semestinya Pippa tidak bertanya. “Apa maksudnya?”

“Di dunia yang sesungguhnya, di mana gadis-gadis tidak terlindung dari semua realitas, kita semua berselubung warna abu-abu, di mana keberadaan menjadi relatif.”

“Sekarang aku sadar bahwa aku salah karena sudah mengira kalau kau cerdas. Kebenaran adalah kebenaran.”

Salah satu ujung bibir Cross terangkat mengulas senyum datar. “Sayang sekali, yang sesungguhnya sama sekali tidak seperti itu.”

Pippa membenci bagaimana kata-kata itu terucap dari mulut Cross, dengan penuh keyakinan. Jelas ini suatu kekeliruan. Ia datang dengan harapan bisa mendapatkan pengalaman serta wawasan, bukan pelajaran mengenai superioritas pria.

Sudah waktunya ia pergi.

Cross tidak berkata apa-apa saat Pippa menyeberangi ruangan, menuju pintu. Ia tidak bicara hingga Pippa menyibakkan tirai dan membuka pintu dalam, tiba-tiba sudah tidak sabar untuk pergi.

“Kalau mau bertaruh, kau harus melakukannya dengan jujur.”

Pippa membeku, sebelah tangannya memegangi kain beludru yang tebal. Pasti ia salah menafsirkan Cross. Ia memalingkan kepala, menoleh ke balik bahunya ke tempat di mana Cross berdiri, jangkung dan ramping. “Apa?”

 Dengan perlahan Cross mengeluarkan sebelah tangan dari kantong jasnya lalu mengulurkannya kepada Pippa. Selama sesaat, Pippa mengira pria itu memanggilnya.

Selama sesaat, Pippa hampir beranjak.

“Kau sudah datang jauh-jauh, Pippa.” Itu pertama kalinya Cross memanggilnya dengan nama panggilannya, dan Pippa terkejut mendengar bunyinya di mulut pria itu. Pengulangan cepat dari konsonannya. Bagaimana bibir Cross meliuk ketika menyebutkannya. Menggoda. Dan sesuatu yang lebih lagi. Sesuatu yang tidak mampu ia jelaskan. “Kau harus benar-benar bertaruh, kan?”

Cross membuka tangannya, memperlihatkan dua dadu gading kecil.

Pippa menatap mata kelabu Cross yang penuh perhitungan. “Kukira kau tidak percaya kepada keberuntungan.”

“Memang tidak,” ujar Cross. “Tapi rasanya aku lebih tidak percaya kepada pertaruhan melawan diri sendiri, yang terkait dengan petualanganmu...”

“Bukan petualangan,” protes Pippa. “Eksperimen.”

“Apa bedanya?”

Cross tidak bisa melihatnya? “Yang satu bodoh. Yang satunya lagi ilmiah.”

“Katakan, di mana letak ilmu pengetahuan dalam pertaruhan yang hendak kau lakukan?”

Pippa tidak punya jawabannya.

“Biar kuberitahu... tidak ada ilmu pengetahuan dalam pertaruhan. Orang terpelajar tidak bertaruh. Mereka lebih bijaksana dari itu. Mereka tahu bahwa tidak peduli berapa kali mereka menang, peluang tetap melawan mereka.”

Cross mendekat, mendesak Pippa ke dalam kegelapan. Cross tidak menyentuhnya, tapi anehnya, itu tidak penting. Cross berada cukup dekat untuk dirasakan, tinggi, ramping, dan sangat hangat. “Tapi sekarang kau akan bertaruh, Pippa... iya kan?”

Cross mengacaukan otaknya dan membuat berpikir dengan jernih terasa sulit. Pippa menarik napas dalam-dalam, aroma cendana meliputinya, memecah perhatiannya.

Ia tidak boleh berkata ya.

Tapi entah bagaimana, anehnya, ia mendapati dirinya tidak mampu berkata tidak.

Ia meraih dadu, benda mungil dan putih yang tergeletak di telapak tangan Cross yang lebar. Menyentuh dadu, menyentuh pria itu-sapuan kulit di ujung jemarinya membuat sensasi meliputi Pippa. Ia tertegun karena sensasi tersebut, berusaha membedahnya. Mengidentifikasinya. Menikmatinya. Tapi kemudian Cross menjauh, tangan pria itu diturunkan, hanya meninggalkannya dengan kubus gading, yang masih hangat karena sentuhan sang earl.

Seperti dirinya.

Tentu saja, pemikiran itu konyol. Orang tidak mungkin menghangat hanya karena kontak sekilas. Itu bualan dalam novel. Sesuatu yang membuat saudari-saudarinya mendesah.

Cross beranjak, melangkah mundur lalu mengulurkan sebelah tangan ke meja permainan dadu. “Apa kau sudah siap?” Suaranya rendah dan lembut, entah mengapa terkesan pribadi meskipun mereka berada di ruangan yang besar.

“Sudah.”

“Karena kau berada di klub judiku, aku akan menetapkan ketentuannya.”

“Rasanya itu tidak adil.”

Tatapan Cross tidak goyah. “Kalau kita bertaruh di mejamu, dengan senang hati aku akan mengikuti peraturanmu, My Lady.”

“Kurasa itu logis.”

Cross menganggukkan kepala. “Aku menyukai wanita yang memiliki kegemaran terhadap logika.”

Pippa tersenyum. “Berarti itu peraturan para bajingan.”

Mereka sudah berada di salah satu ujung meja panjang sekarang. “Tujuh atau sebelas menang pada lemparan pertama. Karena kau bertaruh, kau boleh menyebutkan apa yang kau pertaruhkan.”

Pippa tidak perlu berpikir. “Kalau aku menang, kau harus memberitahukan semua yang ingin ku ketahui.”

Cross tertegun, dan selama sesaat Pippa mengira pria itu akan berubah pikiran. Alih-alih, ia mengangguk sekali. “Cukup adil. Dan kalau kalah... kau harus pulang ke rumah dan kehidupanmu lalu menantikan pernikahanmu dengan sabar. Dan kau tidak boleh mengajukan proposal sinting ini kepada pria lain.”

Alis Pippa menyambung menyampaikan protes. “Itu pertaruhan yang besar.”

Cross memiringkan kepala. “Hanya dengan cara ini kau mendapatkan peluang untuk memenangi partisipasiku.”

Pippa merenungkan kata-kata itu, memperhitungkan probabilitas dadu di kepalanya. “Aku tidak menyukai peluangku. Aku hanya punya peluang kemenangan sebesar dua puluh dua koma dua.”

Cross mengangkat sebelah alisnya. Hah, sama sekali tidak bodoh.

“Dari sanalah keberuntungan berasal,” ujar Cross.

“Kekuatan yang tidak kau percayai itu?”

Cross mengangkat sebelah bahunya yang ramping. “Mungkin aku salah.”

“Bagaimana kalau aku memilih untuk tidak bertaruh?”

Cross bersedekap. “Berarti kau memaksaku untuk melaporkan semuanya kepada Bourne.”

“Tidak bisa!”

“Sangat bisa, My Lady. Aku berencana untuk tidak melakukannya, tapi faktanya kau tidak bisa dipercaya untuk menjaga dirimu sendiri. Orang di sekelilingmu yang harus melakukannya untukmu.”

“Kau bisa menjagaku dengan menyetujui proposalku,” tukas Pippa.

Cross tersenyum, dan gigi putih yang mengilat membuat suatu sensasi yang sangat asing meliputi Pippa –seolah ia berada di kereta kuda yang berbelok dengan terlalu cepat. “Akan jauh lebih mudah kalau Bourne yang melakukan tugas itu. Lagi pula, aku senang membayangkan Bourne mengurungmu di menara sampai hari pernikahanmu. Itu akan menjauhkanmu dari tempat ini.”

Dari Cross. Pippa mendapati dirinya tidak terlalu memusingkan pemikiran itu.

Pippa menyipitkan matanya kepada Cross. “Kau menjadikan ini pilihanku satu-satunya.”

“Kau bukan pemain pertama yang merasa begitu. Kau tidak akan menjadi yang terakhir.”

Pippa menggoyang dadu. “Baiklah. Kalau jumlahnya bukan tujuh atau sebelas, aku akan pulang.”

“Dan kau tidak boleh mengajukan penawaranmu kepada pria lain,” desak Cross.

“Penawaranku tidak secabul yang kau kesankan.”

“Penawaranmu sudah cukup cabul.”

Cross hampir telanjang tadi. Itu sangat cabul. Pippa merasakan pipinya menghangat lalu mengangguk sekali. “Baiklah. Aku tidak akan meminta pria lain membimbingku dengan risetku.”

Agaknya Cross puas mendengar janji itu. “Lempar.”

Pippa menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk momen itu, jantungnya berdebar kencang saat ia melempar dadu gading, memperhatika ketika salah satu dadu membentur tepi meja mahoni yang melengkung di seberang, terpental hingga mendarat di dekat pasangannya di atas sebuah huruf C putih yang besar –awal kata dari Chance, tertera di atas meja dengan tulisan yang indah.

Sembilan.

Ia kalah.

Pippa meletakkan tangannya di atas meja kayu yang sejuk, mencondongkan badan seolah-olah ia bisa memerintahkan salah satu dadu untuk terus bergulir sampai permaian menjadi miliknya.

Ia mengangkat pandangannya ke mata lawannya.

“Alea iacta est,” kata Cross.

Dadu sudah dilempar. Kata-kata yang diucapkan oleh Caesar telah memenangi sebuah kekaisaran untuknya; sementara Pippa kalah dalam peluang terakhirnya yang singkat untuk mendapatkan wawasan.

“Aku kalah,” ujar Pippa, tidak tahu apa lagi yang bisa dikatakan.

“Memang.”

“Aku mau menang,” Pippa menambahkan, kekecewaan meliputinya, kejam dan tidak familier.

“Aku tahu.” Cross mengangkat sebelah tangan ke pipi Pippa, gerakan itu mengalihkan perhatian Pippa dari dadu, tiba-tiba membuatnya menginginkan sesuatu yang jauh berbeda. Ia menahan napas karena sensai yang melandanya –limpahan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan di dadanya.

Jemari lentik Crossmenggoda tapi tidak menyentuh, meninggalkan jejak hawa panas di tempat di mana jemari itu nyaris berada. “Aku menagih, Lady Phillippa,” katanya dengan lembut. Menagih. Kalimat tersebut lebih bermakna dari jumlah kata-katanya. Tiba-tiba Pippa tahu persis bahwa ia harus membayar.

Pippa menatap mata kelabu Cross di tengah keremangan. “Aku hanya ingin tahu tentang pernikahan.”

Cross memiringkan kepala, sejumput rambut coklat kemerahan jatuh ke dahinya. “Pernikahan adalah hal yang paling wajar di dunia. Mengapa kau khawatir sekali?”

Karena ia tidak memahaminya.

Pippa bungkam.

Setelah beberapa saat, Cross berkata, “Sudah waktunya kau pulang.”

Pippa membuka mulut untuk bicara, berusaha meyakinkan Cross kalau pertaruhan barusan bodoh, meyakinkan Cross untuk menizinkannya tinggal, tapi saat itu juga, tangan Cross bergerak, menelusuri lehernya, sentuhan yang sangat ringan itu menjadi janji yang tersirat. Permohonan Pippa hilang de tengah keinginan asing dan menggebu terhadap kontak. Ia menahan napas, melawan keinginan untuk mendekat kepada Cross.

“Pippa,” bisik Cross, dan ada sesuatu di dalam nama itu... sesuatu yang tidak Pippa pahami. Berpikir saja terlalu sulit baginya. Cross sudah sangat dekat. Terlalu dekat tapi entah bagaimana tidak cukup dekat.

“Pulanglah,” kata Cross, jemarinya akhirnya menyentuh, seringan bulu di tempat di mana hal itu memberi Pippa segalanya tapi bukan yang ia inginkan. Pippa merapat kepada belaian itu tanpa berpikir lagi, menginginkan yang lebih lagi. Ingin menolak.

Cross langsung mengangkat tangan –sebelum Pippa menikmati sapuan jemari pria itu- dan selama sesaat yang singkat dan gila, Pippa ingin mengulurkan tangan kepada Cross dan mengembalikan sentuhan pria itu kepada dirinya.

Sangat memukau.

Sangat menakutkan.

Pippa menarik napas dalam-dalam lalu melangkah mundur. Selangkah, dua langkah. Lima langkah, sementara Cros bersedekap dengan gerakan sangat terkendali yang mulai Pippa identifikasikan sebagai gerakan spesifik bagi pria itu. “Ini bukan tempat yang sesuai untukmu.”

Dan selagi memperhatikan Cross, merasakan tarikan meresahkan dan nyaris tak tertahankan untuk tetap berada di klub, Pippa menyadari kalau tempat ini jauh lebih dari yang ia harapkan.




Back
Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar