Rabu, 04 Juli 2018

The Tarnished Lady 9


Seperti parodi kesalahan dari Monty Pyton...

“Eadyth kita harus bicara.”

Eirik menarik kursinya mendekat ke ranjang. Selama lebih dari satu jam, ia mondar-mandir di kamarnya, mengawasi istrinya yang tidur dengan gelisah, menunggu istrinya bangun.

Setelah serangannya yang kasar, Eadyth menolak untuk memandangnya atau mendengar permintaan maafnya. Wanita itu mengejutkannya dengan melontarkan kata-kata makian kotor yang bisa membuat seorang pelaut Viking tersipu, lalu meringkuk menjadi seonggok bola yang memelas. Eadyth terisak pelan selama beberapa saat sebelum jatuh tertidur.


 Eirik memandangi tumpukan pakaian Eadyth yang kusut yang menyembunyikan sosoknya yang kurus saat istrinya perlahan bangun dan bergerak dengan canggung ke posisi duduk di tengah kasur Eirik yang besar. Ia tak tahu sisi Eadyth yang mana yang paling disukainya –wanita tua yang cerewet dan arogan yang mencecarnya dengan keluhan-keluhan sejak pertama mereka bertemu, atau wanita yang diam dan bersahaja yang menusuk nuraninya sekarang.

Sialan! Ia begitu lelah karena kurang tidur, dan kulitnya gatal tak tertahankan karena sengatan lebah. Ia perlu menyelesaikan urusan di antara mereka ini. Lalu, ia hanya segera ingin berangkat ke Jorvik di mana Asa bisa mengurus kebutuhannya –sengatan lebah dan kebutuhannya lainnya yang sudah lama tak terpenuhi.

“Eadyth, apa kau dengar aku? Kita harus bicara,” bentaknya.

“Sama sekali tak ada yang perlu kita diskusikan,” jawab Eadyth dingin saat beringsut dari ranjang dan berdiri di sisi kamar yang berseberangan dengan Eirik. Ia membetulkan posisi topinya seperti biasanya sehingga setengah wajahnya tertutupi, tapi tidak sebelum Eirik melihat hidungnya yang merah, kelopak matanya yang bengkak dan kulitnya yang bebercak merah.

Eirik tak pernah mengira Eadyth bisa tampak lebih jelek lagi dari sebelumnya. Nyatanya bisa.

Merenung, Eirik menggosok kumisnya dengan telunjuk, memikirkan bagaimana ia bisa terjerumus dalam pernikahan kacau ini, lalu berhenti di tengah-tengah saat ia menyadari sesuatu yang janggal. Dengan curiga, ia meraba tulang rahangnya dengan ujung jemari kedua tangannya, lalu menggerakkannya perlahan ke atas matanya dan melintasi keningnya dengan cara mengeksplorasi.

Eirik mengerang keras menyadari apa yang telah ditemukannya.

Wajahnya bengkak, san satu kelopak matanya menggembung nyaris sepenuhnya terkatup. Ia menggumamkan makian, lalu bangkit dan berjalan ke meja cuci di bawah logam mengilat yang tergantung di dinding.

Ia harus menahan dirinya agar tak meloncat ngeri pada pantulan wajahnya.

“Sial!” ia meledak. “Aku melihat seorang penderita lepra tampak lebih baik dariku sekarang.”

Eadyth tertawa dengan gelak nyaring di belakangnya. “Rupanya ada keadilan di dunia ini.”

Eirik meliriknya dengan pandangan mengancam. “Jangan terlalu congkak. Aku pernah melihat mayat yang tampak lebih hidup darimu.”

Eadyth menatapnya dingin dengan mata ungunya. Keindahan mata itu sepertinya tersia-sia di wajah Eadyth, pikirnya, bukan untuk pertama kalinya. Lalu wanita itu meraih gelas di dekat ranjang, menimbangnya di tangannya, menoleh kembali ke arah Eadyth seolah-olah mempertimbangkannya sebagai target.

Well, setidaknya Eadyth yang biasanya sudah kembali.

“Jangan pernah berpikir...”

Ketukan keras di pintu menyela kata-kata Eirik, dan Eadyth meletakkan kembali gelas itu di meja.

“M’Lord, ini aku, Bertha.” Ketuka itu berlanjut.

Eirik melayangkan tatapan penuh makna yang memberitahu Eadyth tanpa kata bahwa pembicaraan mereka hanya tertunda.

“Apa lagi sekarang?” gerutunya saat ia menarik pintu terbuka seketika, menyebabkan Bertha sedikit limbung ke depan. Eirik menangkap tubuh tambun wanita itu, lalu memegang lengan atasnya untuk menyeimbangkannya.

“Yesus, Maria, dan Josepj!” seru Bertha, mengulurkan lehernya untuk mendongak memandang Eirik. “Kau tampak seperti habis berperang dengan iblis.”

“Bukan, hanya istriku.”

Eadyth terkesiap di belakangnya.

Usaha Bertha untuk mengintip ke dalam kamar dari balik sosok Eirik yang besar, gagal.

“Apa yang kau inginkan?”

“Mistress tidak memberitahu menu apa yang harus dipersiapkan untuk makan malam hari ini, padahal sebentar lagi lewat tengah hari.”

Keluhan Bertha tak bisa membodohi Eirik. Lagi pula, wanita itu sudah mengoperasikan dapurnya cukup efisien tanpa pengarahan dari nyonyanya selama kepergian Eadyth. Rasa penasaran, hanya itu, yang memotivasi koki tua itu –itu dan cintanya pada gosip yang sudah sangat terkenal.

“Lakukan apa pun yang kau inginkan.”

Well, kau tak perlu marah-marah padaku. Karena kau cukup bodoh untuk memasukkan kepalamu ke sekeranjang lebah, tak ada alasan melampiaskannya padaku.”

“Aku tahu...”

“Kau tak melihatku menertawakanmu, kan? Tidak, M’Lord. Apa kau lihat aku duduk di dapur dengan para gadis yang bertanya-tanya apakah batangmu digigit lebah-lebah itu dan apakah jadi bengkak dua kali lipat dan apakah kau di kamar ini untuk memberikan istrimu dua kali lipat kesenangan?”

Eirik menelan tawanya.

“Tidak, aku di sini hanya berusaha melaksanakan tugasku,” lanjtnya. “Bahkan saat aku bisa saja berada di aula utama mendengarkan anak-anak buahmu bertaruh berapa jumlah lebah yang menggigitmu, aku punya pekerjaan yang lebih baik untuk kulakukan. Ya, sungguh.”

Eirik mendengus kesal. Ya Tuhan! Sekarang istrinya membuatnya jadi bahan lelucon.

“... karena aku tahu tak mungkin kau bisa disengat dua ratus lebah di tubuhmu yang bagus,” Bertha mengoceh sembarangan, tak menyadari punggung Eirik yang menegang dan wajahnya yang masam, “bahkan walaupun Master Wilfrid bilang dia memunguti dua ratus lebah yang mati di halaman.”

“Oh, tidak, katakan itu tak benar, Bertha,” seru Eadyth panik. “Begitu banyak lebahku yang mati? Aku harus segera mengecek kerusakannya dan memastikan lebah yang lain aman di sarang baru mereka. Aku tak percaya aku berdiam diri di sini mengasihani diri sendiri sementara banyak hal yang harus kulakukan.”

Eirik menoleh terkejut mendengar kata-kata Eadyth, yang memberi kesempatan Bertha untuk melewatinya dan masuk ke kamar. Mulut wanita itu ternganga dengan takjub, memperlihatkan setengah lusin gigi yang ompong.

Bertha memandang pakaian Eadyth yang basah kuyup dan bekas air mata di wajahnya, lalu mata besarnya beralih memandang Eirik, lalu kembali lagi ke Eadyth. Tawa berderai dari dasar perutnya, pecah tak terbendung, dan terus berlanjut sampai air mata mengaliri wajah tembamnya.

“Oh, oh, aku nyaris tak bisa mengatakan apa pun pada kalian berdua. Kalian pasangan yang serasi! Wajah kalian tampak bagaikan semangkuk bubur yang mengental dan basi.”

“Cium bokongku,” suara teredam terdengar.

Itu menghentikan tawa Bertha seketika. “Ap... apa yang kau katakan, M’Lord?”

“Tunjukkan kakimu.”

Burung sialan itu memperlihatkan bakat alami memilih waktu yang salah dan menirukan suara, pikir Eirik.

Well, aku tak pernah mengira melihat saat itu tiba, M’Lord. Nenekmu pasti memutar mata di makamnya melihat kau menggoda wanita tua sepertiku. Bukannya aku susah mendapatkan pria untuk jadi teman tidurku.” Bertha mengempiskan perutnya yang buncit dan membusungkan dadanya yang montok dengan bangga.

Mata Eirik membelakak tak percaya. Wanita tua ini benar-benar berpikir ia tertarik pada pesonanya yang menjijikan.

Sebenarnya, setelah kupikir-pikir, mungkin kini kau mulai berselera pada daging yang lebih tua,” lanjt Bertha dengan licik, melayangkan tatapan penuh makna ke arah Eadyth.

“Sudah cukup,” seru Eadyth dingin dengan suara nyonya manor terbaiknya. “Pergi dari hadapanku sekarang juga kalau kau masih menyayangi dirimu. Aku akan turun ke dapur segera setelah memeriksa lebah-lebahku.”

Patuh, tapi masih tertawa tertahan, Bertha menuju ke arah pintu.

“Dan pastikan tak ada kutu di roti tawarnya seperti sebelum aku berangkat ke Hawks’ Lair. Tidak, jangan mengangkat dagumu di depanku, kau wanita pemalas. Aku akan memeriksa tepungnya dengan saksama, dan setiap cacing yang kutemukan akan kuletakkan di lidah tajammu dengan tanganku sendiri.”

Bertha bergegas menyingkir, menggumamkan sesuatu tentang nyonya rumah yang tak tahu terima kasih.

“Dan pastikan kau tidak bergosip di bawah tentang apa yang kau... lihat di sini,” lanjut Eadyth.

Bertha mendecakkan lidahnya kesal. “Seolah-olah orang-orang dengan mata kepala mereka sendiri tak bisa melihat apa yang terjadi beberapa hari mendatang.”

Eadyth bersiap mengikuti Bertha melewati pintu, tapi Eirik menghentikannya dengan mengangkat satu lengannya dan menutup pintu.

“Kita akan bicara sekarang.”

Eadyth mengangkat dagunya dengan gaya keras kepala. “Aku tak mau bicara padamu... sekarang atau selamanya.”

“Pasti itu akan membuat pernikahan yang hebat.”

“Tak ada yang menjanjikan pernikahan yang hebat padamu.”

“Kau bersumpah untuk jujur.”

“Dan aku menepatinya.”

“Aku bertanya padamu sebelum aku melakukan... apa yang kulakukan...” kata Eirik, mencari kata yang lebih santun untuk menamai tindakan vulgarnya. “Aku jelas-jelas bertanya padamu apakah kau pernah menipuku, dan kau ragu...”

“Dan kau menganggap kebimbanganku sesaat sebagai pembenaran dari tindakan yang begitu keji?”

“Tidak, bukan begitu. Aku hanya berusaha menjelaskan.”

Mata Eadyth berkilat marah saat ia menantang Eirik. Ia berkacak pinggang, dagu terangkat ke atas. Tiba-tiba, Eirik menyadari kenapa ia dianggap cantik pada masa mudanya. Dengan tabiat berapi-api itu, dan hanya sedikit kecantikan alami, Eadyth pasti wanita yang sebanding nilainya dengan emas. Bukan, bukan emas, perak, Eirik mengingatkan dirinya, teringat pada kata-kata Wilfrid tentang Perhiasan Perak dari Northumbria.

“Hentikan,” desak Eadyth, menghentakkan sepatu kulitnya di lantai dengan tak sabar.

“Apa?”

“Memandangku... seperti itu.”

“Bagaimana?”

“Seperti aku salah satu wanita simpananmu.”

“Tak mirip sama sekali.”

Penilaiannya yang masam tak bisa diterima Eadyth. “Kau membuatku begitu marah, membuatku ingin meludah.”

“Jadi? Lepaskan saja kendali dirimu yang sok benar itu dan lakukan.”

“Lakukan apa?”

“Meludahlah.”

“Argh! Bicara denganmu tak ada gunanya. Kenapa kau tak pergi saja ke Jorvik dan meniduri salah satu kekasih simpananmu?”

Eirik merasakan wajahnya memanas karena Eadyth bisa membaca rencananya dengan akurat. Dan ia tak suka fakta bahwa Eadyth menerima wanita lain dalam hidupnya dengan begitu mudah. Bukan karena peran wanita bukanlah harus tunduk pada suaminya, memalingkan wajah dari penyimpangan seksual suaminya. Memang tabiat pria mencari banyak pasangan dan sudah melewati generasi ke generasi. Hanya melukainya bahwa Eadyth justru mendorongnya ke pelukan wanita lain.

Eadyth memandangnya galak, menunggu jawabannya. Pati ia siap melontarkan balasan yang pedas, pikir Eirik. Lalu hal yang aneh terjadi. Bibirnya mulai bergerak, dan ia segera menutupinya dengan kedua tangannya seolah-olah menyembunyikan sesuatu. Dengan curiga, Eirik mendekat, berpikir ia mendengar tawa terkikik.

Lalu Eirik tahu.

Si penyihir itu menertawakannya. Ia berani menertawakan suaminya. Otaknya pasti sekecil kutu karena berani menyinggung kemarahannya yang sedang bergolak.

“Oh, aku tak bisa menahan diri,” dia mengaku. “Kau tampak lucu, berdiri di sana seperti banteng kesetanan, tapi terlihat seperti adonan merah yang empuk.”

“Jadi menurutmu aku menggelikan, ya?” kata Eirik, bergerak mendekat. “Apa kau tahu seperti apa penampilanmu sekarang ini?”

Sebelum ia sempat protes, Eirik membalikkan tubuhnya ke arah cermin logam yang mengilat dan memaksa Eadyth melihat pantulan wajahnya.

“Oh, ya ampun.”

“Oh, ya ampun, memang.”

“Kurasa Bertha ada benarnya. Kita memang tampak serasi.”

Eadyth tiba-tiba menyadari bahwa Eirik sudah meredakan kemarahannya dengan terlalu mudah dengan tertawa bersamanya. Ia memasang lagi wajah masamnya di wajah cerianya, mendengus kesal pada diri sendiri dan mulai berjalan ke arah pintu. Eirik berpikir ia sebaiknya buru-buru minta maaf sebelum Eadyth kembali cerewet.

“Kemari,” serunya, menuntun Eadyth ke arah sebuah kursi dan mendorongnya dengan lembut untuk duduk. Ia menarik kursi lain lebih dekat sehingga mereka saling berhadapan, lutut dengan lutut. “Aku harus bicara padamu sekarang.”

Eadyth hendak bangkit, tapi Eirik menghentikannya dengan menggelengkan kepalanya. “Tidak, kau akan duduk dan mendengarkanku. Tak mudah bagiku menjelaskan alasanku bersikap biadab padamu, tapi kau layak mendapat penjelasan. Semuanya berhubungan dengan iblis keparat itu, Steven of Gravely.”

Eadyth seketika tertarik, dan ia duduk sambil memainkan jemarinya, bibirnya yang terkatup rapat. Mengamatinya dengan hati-hati, ia akhirnya berkata, “Aku mendengarkan.”

Eadyth mengawasi suaminya yang duduk dengan tak nyaman di kursinya yang berhadapan dengannya. Baju putih halus menutupi tubuh kekarnya sampai ke pergelangan tangannya, dan celana panjang coklat yang pudar membungkus erat pahanya dan otot betisnya sampai pergelangan kakinya, tapi Eadyth tahu dari wajah bengkak dan luka gigitan yang memerah di garis lehernya yang terbuka bahwa Eirik sangat menderita dengan dorongan untuk menggaruk.

Bagus, pikirnya, mengingat hal vulgar yang dilakukan pria itu padanya.

Sampai ia bertemu Steven, ia selalu menjaga diri, tak pernah membiarkan pria mana pun menyentuhnya, bahkan tidak kecupan ringan. Membutuhkan waktu berbulan-bulan bagi Steven dalam merayunya untuk meyakinkan Eadyth akan cintanya, dan setelah itu baru Eadyth membiarkannya melakukan tindakan intim.

Sejak pengkhianatan Steven, ia sudah belajar dari kesalahannya dan menjaga jarak dari sentuhan pria. Tak selalu menjadi tugas yang mudah begitu berita tentang kelahiran anaknya tersebar, karena ia dinilai sebagai barang yang sudah ternoda. Untuk menjaga dirinya, ia menghindari istana dan tempat-tempat umum di mana ia bisa terlena pada rayuan pria, dan ia berusaha keras menurunkan daya tariknya.

Mungkin itulah kenapa tindakan vulgar Eirik begitu menghancurkannya. Seperti semua pria lain, Eirik sama sekali tidak menghargai harga dirinya. Dan, untuk satu alasan, tuduhan Eirik padanya sebagai seorang tukang selingkuh sangat menyakitinya. Ya Tuhan, ia tak ingat kapan terakhir kali membiarkan dirinya terisak. Mungkin tidak sejak pengkhianatan Steven.

Eirik bergeser tak tenang di kursinya, membuyarkan lamunan Eadyth. “Aku pertama kali bertemu Steven saat aku datang ke istana King Athelstan saat masih anak-anak untuk menjadi anak angkat.”

Walau ia sedang marah, Eadyth tak mempu membendung rasa penasarannya. “Apakah tidak aneh bagi anak Viking untuk di asuh di istana Saxon?”

“Tidak, itu bukan hal yang tak lumrah. Sepupuku Haakon, keturunan murni Viking, sebelum menjadi raja seluruh Norwegia, diasuh di sana bersamaku. Belum lagi sekumpulan ilmuan dan para pengungsi dari istana raja dari seluruh dunia.

“Dan aku pernah mengatakan padamu bahwa aku hanya setengah Viking.” Eirik menyeringai dengan senyuman yang menggelikkan, di wajahnya yang bengkak. Bibirnya terangkat hanya di satu sisi. Dan ya, Eadyth ingat betul percakapan mereka sebelumnya ketika Eirik menggodanya, bertanya padanya apakah ia ingin melihat separuh tubuh Vikingnya. Ia mencibirkan bibirnya dan berdecak.

“Apakah ayahmu memaksamu untuk diasuh di sana?” tanyanya, memilih untuk mengabaikan topik tentang bagian tubuh Vikingnya.

“Sebaliknya, aku membujuk ayahku untuk mengizinkanku dididik secara Saxon>”

“Tapi kenapa?”

Eirik mengangkat bahunya, menggaruk lengannya tanpa sadar, lalu belakang lehernya. Eadyth ingin mengingatkannya bahwa perasan bawang putih akan meredakan rasa gatalnya tapi ia tahu bahwa Eirik tak mau menerima bantuan darinya.

“Sulit dijelaskan, tapi bahkan saat itu zaman sudah berubah untuk semua Norseman. Di seluruh penjuru Britania, kau melihat bukti bahwa kami orang Norseman berasimilasi, menerapkan tradisi Saxon, menikahi wanita dari bangsa mereka. Dan ini bukan satu pihak, tapi percampuran. Saxon juga mengadopsi banyak cara hidup orang Norse.”

“Seperti Earl Orm?”

“Ya, dan banyak yang lain. Aku menganggap, bahkan saat masih anak-anak, masa depanku dan masa depan orang-orang Norseman, akan lebih baik dengan cara mempelajari cara hidup orang-orang Saxon sehingga kedua bangsa bisa hidup berdampingan dengan damai.”

Eadyth menggigit bibir bawahnya dengan tercenung dan memandang suaminya ini –seorang asing, sebenarnya- melihatnya dengan sisi yang lain. Ia pernah mendengar tentang penjelajahan militernya, tapi sisi idealis dari tabiatnya ini menarik perhatiannya.

Tapi mungkin kata-kata mulianya hanya taktik untuk melunakkan kemarahannya. Ia harus berhati-hati.

“Dan Tykir? Apakah ia dididik di sana bersamamu?”

“Nyaris tidak sama sekali,” Eirik mencibir. “Dia lebih tertarik dengan pendekatan langsung untuk tinggal di Britania. Membunuh setiap orang Saxon yang dilihatnya.”

“Apa hubungan semua ini dengan Steven dan tindakanmu padaku?”

Eirik membelai kumisnya tanpa sadar. Lalu ia merentangkan jari-jemarinya dengan gugup untuk menyisir rambutnya. Ia tampak kesulitan mencari kata-kata yang tepat.

Eadyth mengamatinya dengan saksama. Apa yang menyebabkan Eirik begitu resah sehingga sulit mengekspresikan dirinya?

Eirik berdeham dan mulai bercerita. “Steven juga anak angkat di istana raja. Bahkan, dia adalah sepupu kedua,” katanya. “Saat aku datang, usiaku baru sepuluh tahun, dan Steven lima tahun lebih tua dariku. Seharusnya kami bisa berteman.”

Eirik tampak larut mengenang masa lalunya, dan kesedihan yang mendalam menyapu wajahnya. Luka yang sangat dalam berpendar di mata birunya.

“Lalu?” bisik Eadyth ketika Eirik terus diam.

Awalnya, Eirik seperti tak mendengarnya dan larut dalam lamunannya sendiri.

“Lalu?” ulangnya.

“Tapi kami tak berteman.” Eirik menghela napas, memaksa dirinya kembali ke masa kini. Lalu ia memandang Eadyth langsung di matanya, tekad membuat matanya menjadi berwarna biru tua. “Steven sudah jahat dari saat itu. Dia tak hanya senang menyiksa hewan, tapi juga manusia yang malang harus berurusan dengannya... mereka yang lebih muda atau lebih lemah darinya.”

Eadyth menunggu dengan sabar Eirik melanjutkan ceritanya.

“Aku baru tinggal di sana beberapa minggu ketika dia membuat kesepakatan dengan buronan terkenal Norse, Ivar si Kejam, untuk menculikku. Maksudnya jebakan untuk menangkap Sigtrygg, yang saat itu adalah raja Viking di Notrhumbria, tapi malah menyebabkan kematian ayahku.”

Eirik mengangkat tangan kirinya, menunjukkan jarinya yang putus. “Ivar mengirimkan potongan jariku pada ayahku bersama surat tebusan, tapi aku aku menyalahkan Steven. Itu adalah luka pertama dan paling kecil yang disebabkan oleh Earl of Gravely padaku.”

Eadyth merasa ngeri.

“Saat aku kembali ke istana King Athelstan, aku cukup tahu untuk menghindari keparat itu. Tapi suatu malam aku ceroboh. Dia dan dua temannya memerangkapku di koridor kastil yang terpencil, dan... dan... mereka memukulku dengan bengis.”

Hati Eadyth terenyuh memikirkan Eirik dan semua penderitaannya saat masih kanak-kanak. Ia berharap bisa melakukan sesuatu untuk meredakan lukanya, untuk menghapus semua kenangan buruk. Lupa pada penolakannya pada sentuhan pria kali ini, Eadyth memegang lengan Eirik bersimpati, agar ia mau mengangkat kepalanya yang tertunduk.

“Oh, Eirik, betapa malangnya dirimu,” katanya, mengulurkan tangannya untuk menenangkan.

Eirik menepis tangannya. “Belas kasihanmu membuatku lemah.”

“Belas kasihan! Eirik, kau baru berusia sepuhluh tahun. Apakah King Athelstan menghukum Steven?”

“Tidak, tapi aku membalasnya sendiri beberapa tahun kemudian ketika tubuhku sudah menyami Steven. Aku memukuli Steven nyaris sampai dia mati dan tak akan menyesal mengakhiri hidupnya, tapi para pelayan raja menarikku darinya. Pada akhirnya aku yang dihukum dengan membayar denda... yang sangat besar... belum lagi dilarang mendekati istana selama setahun. Hukuman itu setimpal dengan kepuasan yang kudapat.”

“Kupikir aku akan melakukan hal yang sama.”

Eirik menaikkan satu alisnya bertanya. “ Kau wanita yang haus darah. Biar kuberitahu hal lain tentang pria itu. Dia dan sekelompok anak buahnya menjarah perumahan Viking beberapa tahun lalu, dan tak hanya memerkosa dan membuhun istri pertama Selik, sahabat ayahku, tapi mereka menancapkan tengkorak putranya yang masih bayi di tombak selama berminggu-minggu untuk memancing Selik keluar dari persembunyiannya.”

“Oh, Eirik. Jadi itu kenapa kau begitu membenci Steven?”

“Itu, dan masih banyak lagi.”

“Aku tahu Steven tak bermoral setelah dia mengkhianatiku dengan kejam, tapi aku tak pernah menyangka dia bisa begitu bengis. Bagaimana mungkin ada alasan lain?”

“Karena dia tak menuruti kehendaknya, karena akhirnya berani menentangnya, Steven menikmati menyiksaku selama bertahun-tahun. Oh, Tak pernah dengan cara yang terang-terangan lagi. Dia ahli dalam menyembunyikan permainan kotor. Kuda perang kesayanganku ditemukan mati. Kekasih simpananku diperkosa oleh segerombolan penyerang bertopeng. Rumor berembus tentang kepengecutanku dan kegiatan makarku.” Ia mengangkat bahunya. “Tapi aku bukan satu-satunya korban. Banyak pria dan anak-anak menderita selama bertahun-tahun dalam memuaskan nafsu Steven untuk menyakiti orang lain yang tak terpuaskan. Dan para wanita juga, tentunya. Seperti istriku.”

“Istrimu?” tanya Eadyth nyaris tak terdengar. “Elizabeth?”

“Ya.” Eirik memandang Eadyth dengan menuduh. “Seperti dirimu, dia takluk pada pesona Steven.”

Eadyth merasakan wajahnya memerah karena Eirik mengingatkan pada kebodohannya. “Apakah dia menikah denganmu saat itu?”

“Ya, tapi itu tak terlalu penting baginya. Kejadiannya sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Kami baru menikah setahun, dan kami masih sangat muda.” Eirik mengangkat bahu. “Tampaknya aku tak memuaskan... kebutuhannya.”

Edyth memandang Eirik, tak percaya. Bahkan dengan wajahnya yang sedang bengkak, Eadyth menganggapnya sangat menarik. Oh, memang benar, Steven memang tampan seperti dewa. Tidak, ia mengoreksi, lebih tepatnya setampan iblis.

“Jangan berani-berani menyamakanku dengan istrimu. Kami memang sama-sama wanita. Oh, mungkin aku dulu sebuta dirinya tak melihat kebusukan Steven, tapi aku tak pernah mengkhianatimu. Dan terlebih lagi, aku tak akan menggambarkan dirimu kalah dalam penampilan fisik dari Steven. Kau memenangkan kontes itu tanpa keraguan.”

“Menurutmu aku menarik?”

Mata Eirik mengerjap penuh berminat, dan bibirnya membentuk senyum miring. Ia tampak konyol bagi Eadyth. Dan menakjubkan. Eadyth merasa jantungnya tertarik dengan aneh dan mengembang, menyebabkan darahnya berpacu ke seluruh tubuhnya, mengisinya dengan kehangatan yang menakjubkan. “Oh Tuhan! Kau membuat wanita tak mampu bernapas dan kau tahu benar itu, keparat menyebalkan. Tapi kau tak akan mendapatkan apa pun dariku. Aku kebal terhadap pesonamu, Bodoh.”

Itu membuat Eirik mengubah wajahnya saat ia gagal berusaha tersenyum lebih lebar. Entah untuk alasan apa, Eadyth merasa tak ingin tertawa. Alih-alih, air mata menggenangi matanya.

“Jangan menangis untukku, Wanita bodoh,” kata Eirik pelan. “Menangislah untuk Elizabeth. Steven juga menanamkan benihnya di rahimnya, tapi dia memilih untuk tak melahirkannya. Sayangnya, dia menunggu terlalu lama untuk meminta bantuan bidan, dan dia tewas bersama dengan anak Steven yang belum lahir.”

Terperanjat, Eadyth memandang Eirik. Tak heran ia begitu membenci Steven. Dan tak percaya pada semua wanita. Tanpa berpikir, ia bergumam, “Ya tuhan, pria itu mungkin punya anak haram dari ujung negara ke ujung yang lain. Kenapa dia bersikeras mencari anakku?”

“Kurasa aku tahu jawabannya. Kabarnya dia menderita sakit parah di peristiwa kebakaran di St. Anthony tujuh tahun lalu yang membuatnya tak bisa lagi mempynyai anak.”

“Dia layak mendapatkannya. Sayangnya penyakit iblis itu tak menyerang langsung kejantanannya.”

“Menurutku juga begitu.”

Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

“Yang kau lakukan padaku itu sangat buruk, Eirik,” kata Eadyth akhirnya.

“Ya, aku tahu. Aku tak menawarkan penjelasan ini untuk membenarkan tindakanku. Aku hanya ingin kau mengerti kenapa aku kalap begitu aku melihat surat dari Steven. Kupikir... well, kupikir semua itu terjadi lagi. Seperti Elizabeth.”

Eadyth tahu waktu yang baik sudah datang untuk mengakui penyamarannya, untuk membuka semua rahasia di antara mereka.”Eirik, aku melakukan banyak kesalahan, tapi ketidakjujuran bukanlah salah satunya. Ketika aku ragu menjawab pertanyaan apakah aku menipumu, itu bukan karena perselingkuhan. Sebenarnya, ini hanya menyangkut rahasia kecilku. Rahasia tak penting.”

Eirik tertawa. “Kalau tak ada hubungannya dengan perelingkuhan, atau dengan Steven, aku tak mau tahu. Setidaknya, tidak sekarang. Mari kita simpan pengakuanmu untuk nanti, My Lady, lagi pula kau bilang itu tak penting. Tidak pernahkah kau dengar bahwa pria senang mempunyai sedikit misteri dari wanitanya?”

“Tapi...”

“Lagi pula aku sangat membutuhkan arakmu yang bagus... yang terbaik di seluruh Northumbria, bukankah kau bilang begitu pada pertemuan pertama kita?” goda Eirik. “Pergilah sekarang dan bermainlah dengan lebah-lebah sialanmu.”

Eadyth hendak protes.

“Satu hal lagi, Eadyth. Apakah kau memaafkanku? Bisakah kita lupakan... kejadian... ini?”

Eadyth mengangguk saat mereka berdua berdiri. “Tapi, Eirik, kita harus menyusun rencana untuk menjaga keamanan Ravenshire. Tidakkah menurutmu berbahaya bahwa Steven, atau salah satu pengikutnya, bisa masuk rumah dengan begitu mudah dan menempatkan surat palsu itu di bawah kasurku? Mungkinkah salah satu orangmu menjadi musuh dalam selimut?”

Eirik mengangguk muram. “Aku akan pergi menemui Wilfrid sekarang. Ravenshire akan diamankan dari Steven, aku pastikan itu.”

“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu...”

“Ini bukan lagi tanggung jawabmu, Istriku. Seorang pria harus melindungi mereka yang berada di bawah perlindungannya.”

Eadyth tak peduli pada nada merendahkan dalam kata-kata Eirik; yang terdengar seperti perintah. “Ketika aku menawarkan pernikahan padamu, aku tak pernah meminta seorang ksatria dengan perisai yang berkilau. Yang kuinginkan hanyalah barbagi perlindungan denganmu.”

Eirik menepuk tangan Eadyth seolah-olah ia seorang anak kecil. “Jangan khawatir, Istriku. Aku akan mengurus semuanya.”

Eadyth menggemeretakkan giginya. Nanti, ia akan menjelaskan pada suaminya bahwa ia tak berniat untuk menjadi istri yang penurut. Tapi ia membiarkan Eirik berpikir ia tunduk pada superioritasnya. Untuk saat ini.


Kena kau!...

Keesokan harinya, Eirik mendapati bahwa ia tak bisa pergi ke Jorvik untuk mengunjungi Asa, seperti kemauannya. Ia harus menerapkan penjagaan ketat melawan Steven, seperti saran Eadyth. Renovasi kastil itu harus segera dirampungkan. Pesan dikirimkan kepada para ksatria rendahan di kediaman lain apakah mereka mau bekerja pada Lord of Ravenshire. Semakin banyak orang-orang kakeknya –penjaga pondok, para pengrajin, para pelayan- kembali dari hari ke hari seiring tersebarnya kabar kebangkitan kembali Ravenshire.

Dengan kesal, Eirik menyadari bahwa, tanpa benar-benar memutuskan untuk tinggal di Ravenshire, ia menggali lubang yang semakin dalam untuk berkomitmen pada tanah dan orang-orang di sana.

Dan ia tak yakin apakah hal itu yang diinginkannya.

Selain melakukan penjagaan khusus untuk menjaga kediaman itu, Eirik juga berusaha keras untuk menebus tindakan tak terpujinya pada Eadyth. Selama tiga hari berikutnya, saat ia tidur di aula karena Eadyth sedang datang bulan, ia membiarkan Eadyth menerapkan aturan konyolnya: memaksa para pelayan mandi seminggu sekali; menjemur semua kasur, jerami dan seprai; menetapkan bahwa anak buahnya tak boleh lagi membuang tulang dan sampah lain di lantai aula setelah makan.

Ya Tuhan! Eadyth bahkan ingin membuat aturan melarang bersendawa dan kentut di depan umum, menyatakan bahwa anak buahnya bersikap seperti babi. “Kau dibesarkan di istana raja. Kau punya tanggung jawab mengajari mereka yang berada di bawah perlindunganmu mengenai sopan santun di masyarakat,” ujar istrinya menjelaskan.

Saat itulah di mana Eirik harus menghentikan sikapnya yang mendominasi. “Apa kau sudah tak waras? Ada beberapa hal yang di luar kendaliku,” Eirik menolak keras. “Anak buahku akan menertawaiku sampai di luar Britania. Aku tak mau mendiskusikan hal-hal sepele seperti itu dengan mereka. Tidak, jangan angkat hidung angkuhmu itu. Keputusanku sudah final.”

Eadyth mundur dari tuntutan itu, tapi membuat banyak tuntutan lain. Bajaklah ladang-ladang baru. Belilah domba. Bersihkan kakus. Galilah sumur. Perbaikilah mesin penenun. Dirikan pondok-pondok baru. Terus dan terus ia mengulanginya dengan suara cerewetnya, sampai ia datang padanya dengan permintaan baru.

“Maukah kau sedikit membantuku?”

“Sialan! Kurasa aku seperti mendengar kata-kata itu dalam tidurku sekarang.”

“Bisakah kau memanjat tangga dan membersihkan jaring laba-laba di tiang atas aula utama?”

“Dia menolak. Mereka semua menolak. Tampaknya mereka takut pada ketinggian.”

Mata Eirik menyipit dengan curiga. “Di mana sebenarnya tangga ini?”

Eadyth berpura-pura tak peduli, melambaikan tangannya di udara. “Di sebelah sana.”

Eirik melihat ke arah ujung koridor di mana eadyth menempatkan tangga yang khusus dibuat, yang memanjang setinggi dua lantai ke tiang paling tinggi di langit-langit. Tak heran tak satu pun pelayan mau memanjat benda reyot itu.

“Ya ampun, Eadyth!” seru Eirik, menyipitkan mata sambil mendongak. “Bagaimana mungkin kau bisa melihat sejauh itu untuk tahu bahwa ada jaring laba-laba atau debu emas?”

Eadyth mendengus dengan angkuh. “Apa itu berarti kau tak mau membantuku?”

“Itu artinya kau sudah tak waras. Demi Tuhan, rumah ini begitu bersih sekarang sampai berdecit. Lagi pula, kau sudah memanfaatkan rasa bersalahku selama tiga hari ini. Aku menganggap kita sudah impas. Kalau kau meminta bantuan dariku lagi, kau harus memulainya dengan memberikan bantuan padaku. Tapi, untuk sekarang, carilah orang bodoh lain yang mau mematahkan lehernya untukmu karena aku tak mau.”

Eirik menghentakkan kakinya menuju ke medan latihan untuk melampiaskan frustasinya dengan berlatih militer bersama anak buahnya, sekali lagi berpikir bahwa sudah waktunya ia pergi ke Jorvik dan menghabiskan waktunya dengan kekasih simpanannya. Ia perlu kenyamanan tubuh Asa dan ketenangan dari sikap Asa yang tenang dan tanpa tuntutan.

Sayangnya, Eadyth segera mengusik ketenangan wilayah khusus pria tersebut.

“M’Lord, cepat kemari,” Bertha berseru dari tepi lapangan.

“Ada apa ini? Apa kita diserang?” Eirik berteriak, bergegas ke sampingnya. “Kenapa para prajurit jaga tak membunyikan alarm?”

“Bukan, ini istrimu, Lady Eadyth.”

Eirik mengerang.

“Dia memanjat pohon yang tinggi untuk menangkap lebah dan Godric bilang sepertinya dia tak bisa turun.”

“Memanjat pohon?”

Girtha menyeruak membelah kerumunan. “Aku memberitahu Bertha untuk tak mengganggumu, M’Lord. Ini tak perlu kau pikirkan. My Lady sudah sering melakukannya. Dia tahu apa yang dilakukannya, kujamin.”

“Apa dia tak bisa turun?”

“Bisa,” kata Bertha.

“Tidak,” kata Girta.

Girta menjelaskan dengan kesabaran yang berlebihan, “Beberapa lebah meninggalkan sarangnya dan membentuk sarang baru di pohon sekitar. My Lady hanya memanjat pohon di atas sarang itu. Dia mengguncangkan dahan pohon itu, dan asistennya akan memerangkap kawanan lebah itu di kotak penangkap lebah di bawahnya.” Girta bersedekap dan menutup rapat mulutnya, melayangkan tatapan kubilang-juga-apa pada Bertha.

Eirik mendengar orang-orang di sekitarnya tertawa. Sebenarnya, ia menyadari anak buahnya saling senggol, bisik-bisik dan memutar mata beberapa hari belakangan, terutama ketika ia bersama Eadyth. Pasti mereka berpikir ia lemah karena membiarkan istri barunya mengaturnya. Well, ia sudah cukup muak dengan cara Eadyth memerintahnya. Ia akan menempatkan istrin ya di tempat yang seharusnya kali ini.

Eirik menyeruak membelah kerumunan dengan marah, menghentakkan langkahnya menuju kebun bunga di luar halaman kastil, lalu berbalik seketika pada kerumunan yang masih berbisik-bisik yang memata-matai gerakannya. “Demi Tuhan! Apa kalian tak punya pekerjaan lain selain mengurusi urusanku? Kembali bekerja. Semuanya.”

Saat ia mencapai kebun buah, Eirik berhenti mendadak dengan tak percaya.

Eadyth, mengenakan cadar antilebahnya, bertengger di dahan pohon yang tinggi, mengguncangkannya dengan sekuat tenaga. Sekawanan lebah bertahan kuat di ujung dahan itu sementara dua asistennya yang bercadar anti lebah berdiri di tanah, memegang kotak besar.

“Eadyth, turun dari pohon itu sekarang juga.”

Eadyth menunduk ke bawah, melihat Eirik untuk pertama kalinya. “Eirik, aku tak melihatmu datang. Tapi mundurlah. Kau baru saja sembuh dari serangan lebah-lebahku. Kita tak ingin ada peristiwa ulangan.”

“Betapa baiknya kau mencemaskanku,” gumamnya, tapi bergerak menjauh sebelum berseru padanya, “Eadyth, perbuatanmu ini benar-benar tak pantas. Aku bersikeras kau segera turun.”

“Jangan konyol. Aku hanya perlu mengguncangkan pohon ini agar lebah-lebah itu terlepas.”

Perlawanannya membuar marah Eirik. “Kalau begitu aku akan membuatmu turun.” Ia melangkah ke arah dasar pohon, bersiap memanjat dan menyelamatkan istrinya, dan memberi wanita itu pelajaran yang tak akan dilupakannya begitu mereka sampai ke rumah.

Di tengah usahanya menggoyangkan batang pohon dan menjawab Eirik, dan bergerak sedikit jauh ke tepi cabang, Eadyth kehilangan keseimbangan dan mulai terjatuh. Dengan refleks, Eirik melompat ke arah batang pohon yang terbelah itu dan mulai memanjat dengan harapan menyelamatkan wanita bodoh tersebut. Eadyth berhasil menyeimbangkan dirinya, tapi dalam prosesnya tepian jubahnya dan cadar sebadannya tersangkut di dahan pohon dan tertarik ke atas, memperlihatkan sebelah kakinya. Pada saat bersamaan, topi bercadarnya jatuh, dan rambut pirang ikal jatuh dari penutupnya.

Ikal!

Pirang!

Mulut Eirik menganga dengan takjub saat ia melihat kaki panjang istrinya yang terpampang di depannya, dari pergelangan kaki, ke betis ramping, hingga ke lekukan lututnya, sampai ke puncak pahanya yang terbentuk indah. Dan satu fakta menjadi jelas pada saat itu sebelum Eadyth membetulkan pakaiannya.

Istrinya tidak tua, atau jelek.

Sialan! Dalam sekejap, semua potongan puzzle menyatu dalam benak Eirik.

Ia melihat kelembutan kaki istrinya, tak termakan usia. Lekukan yang lembut dan ramping, otot muda yang membentuk betis dan pahanya menjadi patung indah yang menyenangkan mata. Tak ada tulang yang menonjol seperti yang ia kira akan dilihatnya pada wanita tua. Wanita tua? Hah! Penyihir itu lebih muda darinya, pasti usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun.

Dengan cepat, Eirik menuruni pohon itu dan menyingkir beberapa langkah, tidak ingin Eadyth menyadari bahwa penyamarannya sudah terbongkar. Dengan penuh pertimbangan, ia meraba bibir atasnya, lupa bahwa ia sudah mencukur kumisnya sehari sebelumnya untuk menyingkirkan gigitan lebah yang gatal. Benaknya yang tak sadar berusaha menghubungkan implikasi dari penemuannya.

“Eirik, kau masih di sana?” tanya istrinya dengan suara gugup.

“Ya, tapi aku berdiri agak jauh untuk menghindari lebah-lebah sialanmu,” ia berbohong.

Ia mendengar suara gemerisik dan tahu bahwa Eadyth sedang membetulkan pakaiannya. Untuk melanjutkan penyamarannya. Sialan wanita itu!

Eirik memukul kepalanya sendiri, seketika memahami banyak hal: kenapa Eadyth punya anak yang begitu kecil, kenapa Steven pernah tertarik padanya. Ia menyipitkan matanya mendongak memandang Eadyth, yang akhirnya melpaskan lebah-lebah itu dan meneriakkan instruksi pada para asistennya di tanah. Perhiasan perak dari Northumbria! Julukan itu mengacu pada rambutnya, tentu saja –bukan rambut yang berwarna abu-abu di bawah semua lapisan minyak itu, seperti yang diduganya, tapi warna pirang keperakan yang langkah.

Eirik tak senang.

Bahkan, ketika ia teringat kata-kata Tykir padanya pada perjamuan pernikahan tentang rahasia yang dibaginya bersama Eadyth, ia menyadari bahwa adiknya telah mengetahui tipuan Eadyth. Ya, tipuan. Dan Tykir sambil tertawa pernah berkata ia mungkin akan bertindak seperti seorang penyair kenamaan Skandinavia, untuk mengarang cerita dari rahasia ini. Darah Eirik semakin mendidih. Kalau adiknya berani melakukannya, ia mungkin akan mencekik leher si sembrono itu dan itu akan mengurangi masalah King Edmund.

Dan lebih buruknya lagi, Eirik menduga bahwa gelak-tawa dan kasak-kusuk anak buahnya beberapa hari belakangan ini bisa diartikan bahwa mereka sudah tahu tentang penyamaran Eadyth. Tak diragukan, mereka menertawakan lelucon Eadyth di belakangnya, dan juga matanya yang rabun. Eirik menggemeretakkan giginya marah.

Eadyth membungkuk dan menutup penutup kotak lebah sialan itu. Eirik beranjak maju, namun kemudian mengurungkan niatnya. Tidak, ia perlu lebih banyak waktu untuk memahami motif Eadyth. Dan memikirkan hukuman paling baik untuk istrinya yang penuh tipu daya itu.

Satu hal yang pasti. Wanita itu akan menyesali hari saat ia menginjakkan kaki ke Ravenshire. Tapi tidak sebelum Eirik mengupas lapisan demi lapisan penyamaran dan menemukan seperti apa sebenarnya istrinya yang misterius itu. Dan tidak sebelum ia membuat wanita itu bertekuk lutut.



Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar