Seperti parodi kesalahan dari Monty
Pyton...
“Eadyth
kita harus bicara.”
Eirik
menarik kursinya mendekat ke ranjang. Selama lebih dari satu jam, ia
mondar-mandir di kamarnya, mengawasi istrinya yang tidur dengan gelisah,
menunggu istrinya bangun.
Setelah
serangannya yang kasar, Eadyth menolak untuk memandangnya atau mendengar
permintaan maafnya. Wanita itu mengejutkannya dengan melontarkan kata-kata
makian kotor yang bisa membuat seorang pelaut Viking tersipu, lalu meringkuk
menjadi seonggok bola yang memelas. Eadyth terisak pelan selama beberapa saat
sebelum jatuh tertidur.
Eirik
memandangi tumpukan pakaian Eadyth yang kusut yang menyembunyikan sosoknya yang
kurus saat istrinya perlahan bangun dan bergerak dengan canggung ke posisi
duduk di tengah kasur Eirik yang besar. Ia tak tahu sisi Eadyth yang mana yang
paling disukainya –wanita tua yang cerewet dan arogan yang mencecarnya dengan
keluhan-keluhan sejak pertama mereka bertemu, atau wanita yang diam dan
bersahaja yang menusuk nuraninya sekarang.
Sialan! Ia begitu lelah
karena kurang tidur, dan kulitnya gatal tak tertahankan karena sengatan lebah.
Ia perlu menyelesaikan urusan di antara mereka ini. Lalu, ia hanya segera ingin
berangkat ke Jorvik di mana Asa bisa mengurus kebutuhannya –sengatan lebah dan
kebutuhannya lainnya yang sudah lama
tak terpenuhi.
“Eadyth,
apa kau dengar aku? Kita harus bicara,” bentaknya.
“Sama
sekali tak ada yang perlu kita diskusikan,” jawab Eadyth dingin saat beringsut
dari ranjang dan berdiri di sisi kamar yang berseberangan dengan Eirik. Ia
membetulkan posisi topinya seperti biasanya sehingga setengah wajahnya
tertutupi, tapi tidak sebelum Eirik melihat hidungnya yang merah, kelopak
matanya yang bengkak dan kulitnya yang bebercak merah.
Eirik
tak pernah mengira Eadyth bisa tampak lebih jelek lagi dari sebelumnya.
Nyatanya bisa.
Merenung,
Eirik menggosok kumisnya dengan telunjuk, memikirkan bagaimana ia bisa
terjerumus dalam pernikahan kacau ini, lalu berhenti di tengah-tengah saat ia
menyadari sesuatu yang janggal. Dengan curiga, ia meraba tulang rahangnya dengan
ujung jemari kedua tangannya, lalu menggerakkannya perlahan ke atas matanya dan
melintasi keningnya dengan cara mengeksplorasi.
Eirik
mengerang keras menyadari apa yang telah ditemukannya.
Wajahnya
bengkak, san satu kelopak matanya menggembung nyaris sepenuhnya terkatup. Ia
menggumamkan makian, lalu bangkit dan berjalan ke meja cuci di bawah logam
mengilat yang tergantung di dinding.
Ia
harus menahan dirinya agar tak meloncat ngeri pada pantulan wajahnya.
“Sial!”
ia meledak. “Aku melihat seorang penderita lepra tampak lebih baik dariku
sekarang.”
Eadyth
tertawa dengan gelak nyaring di belakangnya. “Rupanya ada keadilan di dunia
ini.”
Eirik
meliriknya dengan pandangan mengancam. “Jangan terlalu congkak. Aku pernah
melihat mayat yang tampak lebih hidup darimu.”
Eadyth
menatapnya dingin dengan mata ungunya. Keindahan mata itu sepertinya tersia-sia
di wajah Eadyth, pikirnya, bukan untuk pertama kalinya. Lalu wanita itu meraih
gelas di dekat ranjang, menimbangnya di tangannya, menoleh kembali ke arah
Eadyth seolah-olah mempertimbangkannya sebagai target.
Well, setidaknya Eadyth yang biasanya
sudah kembali.
“Jangan
pernah berpikir...”
Ketukan
keras di pintu menyela kata-kata Eirik, dan Eadyth meletakkan kembali gelas itu
di meja.
“M’Lord,
ini aku, Bertha.” Ketuka itu berlanjut.
Eirik
melayangkan tatapan penuh makna yang memberitahu Eadyth tanpa kata bahwa
pembicaraan mereka hanya tertunda.
“Apa
lagi sekarang?” gerutunya saat ia menarik pintu terbuka seketika, menyebabkan
Bertha sedikit limbung ke depan. Eirik menangkap tubuh tambun wanita itu, lalu
memegang lengan atasnya untuk menyeimbangkannya.
“Yesus,
Maria, dan Josepj!” seru Bertha, mengulurkan lehernya untuk mendongak memandang
Eirik. “Kau tampak seperti habis berperang dengan iblis.”
“Bukan,
hanya istriku.”
Eadyth
terkesiap di belakangnya.
Usaha
Bertha untuk mengintip ke dalam kamar dari balik sosok Eirik yang besar, gagal.
“Apa
yang kau inginkan?”
“Mistress
tidak memberitahu menu apa yang harus dipersiapkan untuk makan malam hari ini,
padahal sebentar lagi lewat tengah hari.”
Keluhan
Bertha tak bisa membodohi Eirik. Lagi pula, wanita itu sudah mengoperasikan
dapurnya cukup efisien tanpa pengarahan dari nyonyanya selama kepergian Eadyth.
Rasa penasaran, hanya itu, yang memotivasi koki tua itu –itu dan cintanya pada
gosip yang sudah sangat terkenal.
“Lakukan
apa pun yang kau inginkan.”
“Well, kau tak perlu marah-marah padaku.
Karena kau cukup bodoh untuk memasukkan kepalamu ke sekeranjang lebah, tak ada
alasan melampiaskannya padaku.”
“Aku
tahu...”
“Kau
tak melihatku menertawakanmu, kan? Tidak, M’Lord. Apa kau lihat aku duduk di
dapur dengan para gadis yang bertanya-tanya apakah batangmu digigit lebah-lebah
itu dan apakah jadi bengkak dua kali lipat dan apakah kau di kamar ini untuk
memberikan istrimu dua kali lipat kesenangan?”
Eirik
menelan tawanya.
“Tidak,
aku di sini hanya berusaha melaksanakan tugasku,” lanjtnya. “Bahkan saat aku
bisa saja berada di aula utama mendengarkan anak-anak buahmu bertaruh berapa
jumlah lebah yang menggigitmu, aku punya pekerjaan yang lebih baik untuk
kulakukan. Ya, sungguh.”
Eirik
mendengus kesal. Ya Tuhan! Sekarang istrinya
membuatnya jadi bahan lelucon.
“...
karena aku tahu tak mungkin kau bisa disengat dua ratus lebah di tubuhmu yang
bagus,” Bertha mengoceh sembarangan, tak menyadari punggung Eirik yang menegang
dan wajahnya yang masam, “bahkan walaupun Master Wilfrid bilang dia memunguti
dua ratus lebah yang mati di halaman.”
“Oh,
tidak, katakan itu tak benar, Bertha,” seru Eadyth panik. “Begitu banyak
lebahku yang mati? Aku harus segera mengecek kerusakannya dan memastikan lebah
yang lain aman di sarang baru mereka. Aku tak percaya aku berdiam diri di sini
mengasihani diri sendiri sementara banyak hal yang harus kulakukan.”
Eirik
menoleh terkejut mendengar kata-kata Eadyth, yang memberi kesempatan Bertha
untuk melewatinya dan masuk ke kamar. Mulut wanita itu ternganga dengan takjub,
memperlihatkan setengah lusin gigi yang ompong.
Bertha
memandang pakaian Eadyth yang basah kuyup dan bekas air mata di wajahnya, lalu
mata besarnya beralih memandang Eirik, lalu kembali lagi ke Eadyth. Tawa
berderai dari dasar perutnya, pecah tak terbendung, dan terus berlanjut sampai
air mata mengaliri wajah tembamnya.
“Oh,
oh, aku nyaris tak bisa mengatakan apa pun pada kalian berdua. Kalian pasangan
yang serasi! Wajah kalian tampak bagaikan semangkuk bubur yang mengental dan
basi.”
“Cium
bokongku,” suara teredam terdengar.
Itu
menghentikan tawa Bertha seketika. “Ap... apa yang kau katakan, M’Lord?”
“Tunjukkan
kakimu.”
Burung
sialan itu memperlihatkan bakat alami memilih waktu yang salah dan menirukan
suara, pikir Eirik.
“Well, aku tak pernah mengira melihat
saat itu tiba, M’Lord. Nenekmu pasti memutar mata di makamnya melihat kau
menggoda wanita tua sepertiku. Bukannya aku susah mendapatkan pria untuk jadi
teman tidurku.” Bertha mengempiskan perutnya yang buncit dan membusungkan
dadanya yang montok dengan bangga.
Mata
Eirik membelakak tak percaya. Wanita tua ini benar-benar berpikir ia tertarik
pada pesonanya yang menjijikan.
Sebenarnya,
setelah kupikir-pikir, mungkin kini kau mulai berselera pada daging yang lebih
tua,” lanjt Bertha dengan licik, melayangkan tatapan penuh makna ke arah
Eadyth.
“Sudah
cukup,” seru Eadyth dingin dengan suara nyonya manor terbaiknya. “Pergi dari
hadapanku sekarang juga kalau kau masih menyayangi dirimu. Aku akan turun ke
dapur segera setelah memeriksa lebah-lebahku.”
Patuh,
tapi masih tertawa tertahan, Bertha menuju ke arah pintu.
“Dan
pastikan tak ada kutu di roti tawarnya seperti sebelum aku berangkat ke Hawks’
Lair. Tidak, jangan mengangkat dagumu di depanku, kau wanita pemalas. Aku akan
memeriksa tepungnya dengan saksama, dan setiap cacing yang kutemukan akan
kuletakkan di lidah tajammu dengan tanganku sendiri.”
Bertha
bergegas menyingkir, menggumamkan sesuatu tentang nyonya rumah yang tak tahu
terima kasih.
“Dan
pastikan kau tidak bergosip di bawah tentang apa yang kau... lihat di sini,”
lanjut Eadyth.
Bertha
mendecakkan lidahnya kesal. “Seolah-olah orang-orang dengan mata kepala mereka
sendiri tak bisa melihat apa yang terjadi beberapa hari mendatang.”
Eadyth
bersiap mengikuti Bertha melewati pintu, tapi Eirik menghentikannya dengan
mengangkat satu lengannya dan menutup pintu.
“Kita
akan bicara sekarang.”
Eadyth
mengangkat dagunya dengan gaya keras kepala. “Aku tak mau bicara padamu...
sekarang atau selamanya.”
“Pasti
itu akan membuat pernikahan yang hebat.”
“Tak
ada yang menjanjikan pernikahan yang hebat padamu.”
“Kau
bersumpah untuk jujur.”
“Dan
aku menepatinya.”
“Aku
bertanya padamu sebelum aku melakukan... apa yang kulakukan...” kata Eirik,
mencari kata yang lebih santun untuk menamai tindakan vulgarnya. “Aku
jelas-jelas bertanya padamu apakah kau pernah menipuku, dan kau ragu...”
“Dan
kau menganggap kebimbanganku sesaat sebagai pembenaran dari tindakan yang
begitu keji?”
“Tidak,
bukan begitu. Aku hanya berusaha menjelaskan.”
Mata
Eadyth berkilat marah saat ia menantang Eirik. Ia berkacak pinggang, dagu
terangkat ke atas. Tiba-tiba, Eirik menyadari kenapa ia dianggap cantik pada
masa mudanya. Dengan tabiat berapi-api itu, dan hanya sedikit kecantikan alami,
Eadyth pasti wanita yang sebanding nilainya dengan emas. Bukan, bukan emas, perak, Eirik mengingatkan dirinya,
teringat pada kata-kata Wilfrid tentang Perhiasan Perak dari Northumbria.
“Hentikan,”
desak Eadyth, menghentakkan sepatu kulitnya di lantai dengan tak sabar.
“Apa?”
“Memandangku...
seperti itu.”
“Bagaimana?”
“Seperti
aku salah satu wanita simpananmu.”
“Tak
mirip sama sekali.”
Penilaiannya
yang masam tak bisa diterima Eadyth. “Kau membuatku begitu marah, membuatku
ingin meludah.”
“Jadi?
Lepaskan saja kendali dirimu yang sok benar itu dan lakukan.”
“Lakukan
apa?”
“Meludahlah.”
“Argh!
Bicara denganmu tak ada gunanya. Kenapa kau tak pergi saja ke Jorvik dan
meniduri salah satu kekasih simpananmu?”
Eirik
merasakan wajahnya memanas karena Eadyth bisa membaca rencananya dengan akurat.
Dan ia tak suka fakta bahwa Eadyth menerima wanita lain dalam hidupnya dengan
begitu mudah. Bukan karena peran wanita bukanlah harus tunduk pada suaminya,
memalingkan wajah dari penyimpangan seksual suaminya. Memang tabiat pria
mencari banyak pasangan dan sudah melewati generasi ke generasi. Hanya
melukainya bahwa Eadyth justru mendorongnya ke pelukan wanita lain.
Eadyth
memandangnya galak, menunggu jawabannya. Pati ia siap melontarkan balasan yang
pedas, pikir Eirik. Lalu hal yang aneh terjadi. Bibirnya mulai bergerak, dan ia
segera menutupinya dengan kedua tangannya seolah-olah menyembunyikan sesuatu.
Dengan curiga, Eirik mendekat, berpikir ia mendengar tawa terkikik.
Lalu
Eirik tahu.
Si
penyihir itu menertawakannya. Ia berani menertawakan suaminya. Otaknya pasti
sekecil kutu karena berani menyinggung kemarahannya yang sedang bergolak.
“Oh,
aku tak bisa menahan diri,” dia mengaku. “Kau tampak lucu, berdiri di sana
seperti banteng kesetanan, tapi terlihat seperti adonan merah yang empuk.”
“Jadi
menurutmu aku menggelikan, ya?” kata Eirik, bergerak mendekat. “Apa kau tahu seperti
apa penampilanmu sekarang ini?”
Sebelum
ia sempat protes, Eirik membalikkan tubuhnya ke arah cermin logam yang mengilat
dan memaksa Eadyth melihat pantulan wajahnya.
“Oh,
ya ampun.”
“Oh,
ya ampun, memang.”
“Kurasa
Bertha ada benarnya. Kita memang tampak serasi.”
Eadyth
tiba-tiba menyadari bahwa Eirik sudah meredakan kemarahannya dengan terlalu
mudah dengan tertawa bersamanya. Ia memasang lagi wajah masamnya di wajah
cerianya, mendengus kesal pada diri sendiri dan mulai berjalan ke arah pintu.
Eirik berpikir ia sebaiknya buru-buru minta maaf sebelum Eadyth kembali
cerewet.
“Kemari,”
serunya, menuntun Eadyth ke arah sebuah kursi dan mendorongnya dengan lembut
untuk duduk. Ia menarik kursi lain lebih dekat sehingga mereka saling
berhadapan, lutut dengan lutut. “Aku harus bicara padamu sekarang.”
Eadyth
hendak bangkit, tapi Eirik menghentikannya dengan menggelengkan kepalanya. “Tidak,
kau akan duduk dan mendengarkanku. Tak mudah bagiku menjelaskan alasanku
bersikap biadab padamu, tapi kau layak mendapat penjelasan. Semuanya
berhubungan dengan iblis keparat itu, Steven of Gravely.”
Eadyth
seketika tertarik, dan ia duduk sambil memainkan jemarinya, bibirnya yang
terkatup rapat. Mengamatinya dengan hati-hati, ia akhirnya berkata, “Aku
mendengarkan.”
Eadyth
mengawasi suaminya yang duduk dengan tak nyaman di kursinya yang berhadapan
dengannya. Baju putih halus menutupi tubuh kekarnya sampai ke pergelangan
tangannya, dan celana panjang coklat yang pudar membungkus erat pahanya dan
otot betisnya sampai pergelangan kakinya, tapi Eadyth tahu dari wajah bengkak
dan luka gigitan yang memerah di garis lehernya yang terbuka bahwa Eirik sangat
menderita dengan dorongan untuk menggaruk.
Bagus, pikirnya, mengingat hal vulgar
yang dilakukan pria itu padanya.
Sampai
ia bertemu Steven, ia selalu menjaga diri, tak pernah membiarkan pria mana pun
menyentuhnya, bahkan tidak kecupan ringan. Membutuhkan waktu berbulan-bulan
bagi Steven dalam merayunya untuk meyakinkan Eadyth akan cintanya, dan setelah
itu baru Eadyth membiarkannya melakukan tindakan intim.
Sejak
pengkhianatan Steven, ia sudah belajar dari kesalahannya dan menjaga jarak dari
sentuhan pria. Tak selalu menjadi tugas yang mudah begitu berita tentang
kelahiran anaknya tersebar, karena ia dinilai sebagai barang yang sudah ternoda.
Untuk menjaga dirinya, ia menghindari istana dan tempat-tempat umum di mana ia
bisa terlena pada rayuan pria, dan ia berusaha keras menurunkan daya tariknya.
Mungkin
itulah kenapa tindakan vulgar Eirik begitu menghancurkannya. Seperti semua pria
lain, Eirik sama sekali tidak menghargai harga dirinya. Dan, untuk satu alasan,
tuduhan Eirik padanya sebagai seorang tukang selingkuh sangat menyakitinya. Ya
Tuhan, ia tak ingat kapan terakhir kali membiarkan dirinya terisak. Mungkin
tidak sejak pengkhianatan Steven.
Eirik
bergeser tak tenang di kursinya, membuyarkan lamunan Eadyth. “Aku pertama kali
bertemu Steven saat aku datang ke istana King Athelstan saat masih anak-anak
untuk menjadi anak angkat.”
Walau
ia sedang marah, Eadyth tak mempu membendung rasa penasarannya. “Apakah tidak
aneh bagi anak Viking untuk di asuh di istana Saxon?”
“Tidak,
itu bukan hal yang tak lumrah. Sepupuku Haakon, keturunan murni Viking, sebelum
menjadi raja seluruh Norwegia, diasuh di sana bersamaku. Belum lagi sekumpulan
ilmuan dan para pengungsi dari istana raja dari seluruh dunia.
“Dan
aku pernah mengatakan padamu bahwa aku hanya setengah Viking.” Eirik menyeringai
dengan senyuman yang menggelikkan, di wajahnya yang bengkak. Bibirnya terangkat
hanya di satu sisi. Dan ya, Eadyth ingat betul percakapan mereka sebelumnya
ketika Eirik menggodanya, bertanya padanya apakah ia ingin melihat separuh
tubuh Vikingnya. Ia mencibirkan bibirnya dan berdecak.
“Apakah
ayahmu memaksamu untuk diasuh di sana?” tanyanya, memilih untuk mengabaikan
topik tentang bagian tubuh Vikingnya.
“Sebaliknya,
aku membujuk ayahku untuk mengizinkanku dididik secara Saxon>”
“Tapi
kenapa?”
Eirik
mengangkat bahunya, menggaruk lengannya tanpa sadar, lalu belakang lehernya.
Eadyth ingin mengingatkannya bahwa perasan bawang putih akan meredakan rasa
gatalnya tapi ia tahu bahwa Eirik tak mau menerima bantuan darinya.
“Sulit
dijelaskan, tapi bahkan saat itu zaman sudah berubah untuk semua Norseman. Di
seluruh penjuru Britania, kau melihat bukti bahwa kami orang Norseman
berasimilasi, menerapkan tradisi Saxon, menikahi wanita dari bangsa mereka. Dan
ini bukan satu pihak, tapi percampuran. Saxon juga mengadopsi banyak cara hidup
orang Norse.”
“Seperti
Earl Orm?”
“Ya,
dan banyak yang lain. Aku menganggap, bahkan saat masih anak-anak, masa depanku
dan masa depan orang-orang Norseman, akan lebih baik dengan cara mempelajari
cara hidup orang-orang Saxon sehingga kedua bangsa bisa hidup berdampingan
dengan damai.”
Eadyth
menggigit bibir bawahnya dengan tercenung dan memandang suaminya ini –seorang asing,
sebenarnya- melihatnya dengan sisi yang lain. Ia pernah mendengar tentang
penjelajahan militernya, tapi sisi idealis dari tabiatnya ini menarik
perhatiannya.
Tapi
mungkin kata-kata mulianya hanya taktik untuk melunakkan kemarahannya. Ia harus
berhati-hati.
“Dan
Tykir? Apakah ia dididik di sana bersamamu?”
“Nyaris
tidak sama sekali,” Eirik mencibir. “Dia lebih tertarik dengan pendekatan
langsung untuk tinggal di Britania. Membunuh setiap orang Saxon yang
dilihatnya.”
“Apa
hubungan semua ini dengan Steven dan tindakanmu padaku?”
Eirik
membelai kumisnya tanpa sadar. Lalu ia merentangkan jari-jemarinya dengan gugup
untuk menyisir rambutnya. Ia tampak kesulitan mencari kata-kata yang tepat.
Eadyth
mengamatinya dengan saksama. Apa yang menyebabkan Eirik begitu resah sehingga
sulit mengekspresikan dirinya?
Eirik
berdeham dan mulai bercerita. “Steven juga anak angkat di istana raja. Bahkan,
dia adalah sepupu kedua,” katanya. “Saat aku datang, usiaku baru sepuluh tahun,
dan Steven lima tahun lebih tua dariku. Seharusnya kami bisa berteman.”
Eirik
tampak larut mengenang masa lalunya, dan kesedihan yang mendalam menyapu
wajahnya. Luka yang sangat dalam berpendar di mata birunya.
“Lalu?”
bisik Eadyth ketika Eirik terus diam.
Awalnya,
Eirik seperti tak mendengarnya dan larut dalam lamunannya sendiri.
“Lalu?”
ulangnya.
“Tapi
kami tak berteman.” Eirik menghela
napas, memaksa dirinya kembali ke masa kini. Lalu ia memandang Eadyth langsung
di matanya, tekad membuat matanya menjadi berwarna biru tua. “Steven sudah
jahat dari saat itu. Dia tak hanya senang menyiksa hewan, tapi juga manusia
yang malang harus berurusan dengannya... mereka yang lebih muda atau lebih
lemah darinya.”
Eadyth
menunggu dengan sabar Eirik melanjutkan ceritanya.
“Aku
baru tinggal di sana beberapa minggu ketika dia membuat kesepakatan dengan
buronan terkenal Norse, Ivar si Kejam, untuk menculikku. Maksudnya jebakan
untuk menangkap Sigtrygg, yang saat itu adalah raja Viking di Notrhumbria, tapi
malah menyebabkan kematian ayahku.”
Eirik
mengangkat tangan kirinya, menunjukkan jarinya yang putus. “Ivar mengirimkan
potongan jariku pada ayahku bersama surat tebusan, tapi aku aku menyalahkan
Steven. Itu adalah luka pertama dan paling kecil yang disebabkan oleh Earl of
Gravely padaku.”
Eadyth
merasa ngeri.
“Saat
aku kembali ke istana King Athelstan, aku cukup tahu untuk menghindari keparat
itu. Tapi suatu malam aku ceroboh. Dia dan dua temannya memerangkapku di
koridor kastil yang terpencil, dan... dan... mereka memukulku dengan bengis.”
Hati
Eadyth terenyuh memikirkan Eirik dan semua penderitaannya saat masih
kanak-kanak. Ia berharap bisa melakukan sesuatu untuk meredakan lukanya, untuk
menghapus semua kenangan buruk. Lupa pada penolakannya pada sentuhan pria kali
ini, Eadyth memegang lengan Eirik bersimpati, agar ia mau mengangkat kepalanya
yang tertunduk.
“Oh,
Eirik, betapa malangnya dirimu,” katanya, mengulurkan tangannya untuk
menenangkan.
Eirik
menepis tangannya. “Belas kasihanmu membuatku lemah.”
“Belas
kasihan! Eirik, kau baru berusia sepuhluh tahun. Apakah King Athelstan
menghukum Steven?”
“Tidak,
tapi aku membalasnya sendiri beberapa tahun kemudian ketika tubuhku sudah
menyami Steven. Aku memukuli Steven nyaris sampai dia mati dan tak akan
menyesal mengakhiri hidupnya, tapi para pelayan raja menarikku darinya. Pada
akhirnya aku yang dihukum dengan membayar denda... yang sangat besar... belum lagi
dilarang mendekati istana selama setahun. Hukuman itu setimpal dengan kepuasan
yang kudapat.”
“Kupikir
aku akan melakukan hal yang sama.”
Eirik
menaikkan satu alisnya bertanya. “ Kau wanita yang haus darah. Biar kuberitahu
hal lain tentang pria itu. Dia dan sekelompok anak buahnya menjarah perumahan
Viking beberapa tahun lalu, dan tak hanya memerkosa dan membuhun istri pertama
Selik, sahabat ayahku, tapi mereka menancapkan tengkorak putranya yang masih
bayi di tombak selama berminggu-minggu untuk memancing Selik keluar dari
persembunyiannya.”
“Oh,
Eirik. Jadi itu kenapa kau begitu membenci Steven?”
“Itu,
dan masih banyak lagi.”
“Aku
tahu Steven tak bermoral setelah dia mengkhianatiku dengan kejam, tapi aku tak
pernah menyangka dia bisa begitu bengis. Bagaimana mungkin ada alasan lain?”
“Karena
dia tak menuruti kehendaknya, karena akhirnya berani menentangnya, Steven
menikmati menyiksaku selama bertahun-tahun. Oh, Tak pernah dengan cara yang
terang-terangan lagi. Dia ahli dalam menyembunyikan permainan kotor. Kuda
perang kesayanganku ditemukan mati. Kekasih simpananku diperkosa oleh
segerombolan penyerang bertopeng. Rumor berembus tentang kepengecutanku dan
kegiatan makarku.” Ia mengangkat bahunya. “Tapi aku bukan satu-satunya korban.
Banyak pria dan anak-anak menderita selama bertahun-tahun dalam memuaskan nafsu
Steven untuk menyakiti orang lain yang tak terpuaskan. Dan para wanita juga,
tentunya. Seperti istriku.”
“Istrimu?”
tanya Eadyth nyaris tak terdengar. “Elizabeth?”
“Ya.”
Eirik memandang Eadyth dengan menuduh. “Seperti dirimu, dia takluk pada pesona
Steven.”
Eadyth
merasakan wajahnya memerah karena Eirik mengingatkan pada kebodohannya. “Apakah
dia menikah denganmu saat itu?”
“Ya,
tapi itu tak terlalu penting baginya. Kejadiannya sudah lebih dari sepuluh
tahun lalu. Kami baru menikah setahun, dan kami masih sangat muda.” Eirik
mengangkat bahu. “Tampaknya aku tak memuaskan... kebutuhannya.”
Edyth
memandang Eirik, tak percaya. Bahkan dengan wajahnya yang sedang bengkak,
Eadyth menganggapnya sangat menarik. Oh, memang benar, Steven memang tampan
seperti dewa. Tidak, ia mengoreksi, lebih tepatnya setampan iblis.
“Jangan
berani-berani menyamakanku dengan istrimu. Kami memang sama-sama wanita. Oh,
mungkin aku dulu sebuta dirinya tak melihat kebusukan Steven, tapi aku tak
pernah mengkhianatimu. Dan terlebih lagi, aku tak akan menggambarkan dirimu
kalah dalam penampilan fisik dari Steven. Kau memenangkan kontes itu tanpa
keraguan.”
“Menurutmu
aku menarik?”
Mata
Eirik mengerjap penuh berminat, dan bibirnya membentuk senyum miring. Ia tampak
konyol bagi Eadyth. Dan menakjubkan. Eadyth merasa jantungnya tertarik dengan
aneh dan mengembang, menyebabkan darahnya berpacu ke seluruh tubuhnya,
mengisinya dengan kehangatan yang menakjubkan. “Oh Tuhan! Kau membuat wanita
tak mampu bernapas dan kau tahu benar itu, keparat menyebalkan. Tapi kau tak
akan mendapatkan apa pun dariku. Aku kebal terhadap pesonamu, Bodoh.”
Itu
membuat Eirik mengubah wajahnya saat ia gagal berusaha tersenyum lebih lebar.
Entah untuk alasan apa, Eadyth merasa tak ingin tertawa. Alih-alih, air mata
menggenangi matanya.
“Jangan
menangis untukku, Wanita bodoh,” kata Eirik pelan. “Menangislah untuk
Elizabeth. Steven juga menanamkan benihnya di rahimnya, tapi dia memilih untuk
tak melahirkannya. Sayangnya, dia menunggu terlalu lama untuk meminta bantuan
bidan, dan dia tewas bersama dengan anak Steven yang belum lahir.”
Terperanjat,
Eadyth memandang Eirik. Tak heran ia begitu membenci Steven. Dan tak percaya
pada semua wanita. Tanpa berpikir, ia bergumam, “Ya tuhan, pria itu mungkin
punya anak haram dari ujung negara ke ujung yang lain. Kenapa dia bersikeras
mencari anakku?”
“Kurasa
aku tahu jawabannya. Kabarnya dia menderita sakit parah di peristiwa kebakaran
di St. Anthony tujuh tahun lalu yang membuatnya tak bisa lagi mempynyai anak.”
“Dia
layak mendapatkannya. Sayangnya penyakit iblis itu tak menyerang langsung
kejantanannya.”
“Menurutku
juga begitu.”
Mereka
duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, keduanya larut dalam pikiran
masing-masing.
“Yang
kau lakukan padaku itu sangat buruk, Eirik,” kata Eadyth akhirnya.
“Ya,
aku tahu. Aku tak menawarkan penjelasan ini untuk membenarkan tindakanku. Aku
hanya ingin kau mengerti kenapa aku kalap begitu aku melihat surat dari Steven.
Kupikir... well, kupikir semua itu
terjadi lagi. Seperti Elizabeth.”
Eadyth
tahu waktu yang baik sudah datang untuk mengakui penyamarannya, untuk membuka
semua rahasia di antara mereka.”Eirik, aku melakukan banyak kesalahan, tapi
ketidakjujuran bukanlah salah satunya. Ketika aku ragu menjawab pertanyaan
apakah aku menipumu, itu bukan karena perselingkuhan. Sebenarnya, ini hanya
menyangkut rahasia kecilku. Rahasia tak penting.”
Eirik
tertawa. “Kalau tak ada hubungannya dengan perelingkuhan, atau dengan Steven,
aku tak mau tahu. Setidaknya, tidak sekarang. Mari kita simpan pengakuanmu
untuk nanti, My Lady, lagi pula kau bilang itu tak penting. Tidak pernahkah kau
dengar bahwa pria senang mempunyai sedikit misteri dari wanitanya?”
“Tapi...”
“Lagi
pula aku sangat membutuhkan arakmu yang bagus... yang terbaik di seluruh
Northumbria, bukankah kau bilang begitu pada pertemuan pertama kita?” goda
Eirik. “Pergilah sekarang dan bermainlah dengan lebah-lebah sialanmu.”
Eadyth
hendak protes.
“Satu
hal lagi, Eadyth. Apakah kau memaafkanku? Bisakah kita lupakan... kejadian...
ini?”
Eadyth
mengangguk saat mereka berdua berdiri. “Tapi, Eirik, kita harus menyusun
rencana untuk menjaga keamanan Ravenshire. Tidakkah menurutmu berbahaya bahwa
Steven, atau salah satu pengikutnya, bisa masuk rumah dengan begitu mudah dan
menempatkan surat palsu itu di bawah kasurku? Mungkinkah salah satu orangmu
menjadi musuh dalam selimut?”
Eirik
mengangguk muram. “Aku akan pergi menemui Wilfrid sekarang. Ravenshire akan
diamankan dari Steven, aku pastikan itu.”
“Apa
yang bisa kulakukan untuk membantu...”
“Ini
bukan lagi tanggung jawabmu, Istriku. Seorang pria harus melindungi mereka yang
berada di bawah perlindungannya.”
Eadyth
tak peduli pada nada merendahkan dalam kata-kata Eirik; yang terdengar seperti
perintah. “Ketika aku menawarkan pernikahan padamu, aku tak pernah meminta
seorang ksatria dengan perisai yang berkilau. Yang kuinginkan hanyalah barbagi
perlindungan denganmu.”
Eirik
menepuk tangan Eadyth seolah-olah ia seorang anak kecil. “Jangan khawatir,
Istriku. Aku akan mengurus semuanya.”
Eadyth
menggemeretakkan giginya. Nanti, ia akan menjelaskan pada suaminya bahwa ia tak
berniat untuk menjadi istri yang penurut. Tapi ia membiarkan Eirik berpikir ia
tunduk pada superioritasnya. Untuk saat ini.
Kena kau!...
Keesokan
harinya, Eirik mendapati bahwa ia tak bisa pergi ke Jorvik untuk mengunjungi
Asa, seperti kemauannya. Ia harus menerapkan penjagaan ketat melawan Steven,
seperti saran Eadyth. Renovasi kastil itu harus segera dirampungkan. Pesan
dikirimkan kepada para ksatria rendahan di kediaman lain apakah mereka mau
bekerja pada Lord of Ravenshire. Semakin banyak orang-orang kakeknya –penjaga pondok,
para pengrajin, para pelayan- kembali dari hari ke hari seiring tersebarnya
kabar kebangkitan kembali Ravenshire.
Dengan
kesal, Eirik menyadari bahwa, tanpa benar-benar memutuskan untuk tinggal di
Ravenshire, ia menggali lubang yang semakin dalam untuk berkomitmen pada tanah
dan orang-orang di sana.
Dan
ia tak yakin apakah hal itu yang diinginkannya.
Selain
melakukan penjagaan khusus untuk menjaga kediaman itu, Eirik juga berusaha
keras untuk menebus tindakan tak terpujinya pada Eadyth. Selama tiga hari
berikutnya, saat ia tidur di aula karena Eadyth sedang datang bulan, ia
membiarkan Eadyth menerapkan aturan konyolnya: memaksa para pelayan mandi
seminggu sekali; menjemur semua kasur, jerami dan seprai; menetapkan bahwa anak
buahnya tak boleh lagi membuang tulang dan sampah lain di lantai aula setelah
makan.
Ya Tuhan! Eadyth bahkan
ingin membuat aturan melarang bersendawa dan kentut di depan umum, menyatakan
bahwa anak buahnya bersikap seperti babi. “Kau dibesarkan di istana raja. Kau
punya tanggung jawab mengajari mereka yang berada di bawah perlindunganmu
mengenai sopan santun di masyarakat,” ujar istrinya menjelaskan.
Saat
itulah di mana Eirik harus menghentikan sikapnya yang mendominasi. “Apa kau
sudah tak waras? Ada beberapa hal yang di luar kendaliku,” Eirik menolak keras.
“Anak buahku akan menertawaiku sampai di luar Britania. Aku tak mau
mendiskusikan hal-hal sepele seperti itu dengan mereka. Tidak, jangan angkat
hidung angkuhmu itu. Keputusanku sudah final.”
Eadyth
mundur dari tuntutan itu, tapi membuat banyak tuntutan lain. Bajaklah
ladang-ladang baru. Belilah domba. Bersihkan kakus. Galilah sumur. Perbaikilah
mesin penenun. Dirikan pondok-pondok baru. Terus dan terus ia mengulanginya
dengan suara cerewetnya, sampai ia datang padanya dengan permintaan baru.
“Maukah
kau sedikit membantuku?”
“Sialan!
Kurasa aku seperti mendengar kata-kata itu dalam tidurku sekarang.”
“Bisakah
kau memanjat tangga dan membersihkan jaring laba-laba di tiang atas aula utama?”
“Dia
menolak. Mereka semua menolak. Tampaknya mereka takut pada ketinggian.”
Mata
Eirik menyipit dengan curiga. “Di mana sebenarnya tangga ini?”
Eadyth
berpura-pura tak peduli, melambaikan tangannya di udara. “Di sebelah sana.”
Eirik
melihat ke arah ujung koridor di mana eadyth menempatkan tangga yang khusus
dibuat, yang memanjang setinggi dua lantai ke tiang paling tinggi di
langit-langit. Tak heran tak satu pun pelayan mau memanjat benda reyot itu.
“Ya
ampun, Eadyth!” seru Eirik, menyipitkan mata sambil mendongak. “Bagaimana
mungkin kau bisa melihat sejauh itu untuk tahu bahwa ada jaring laba-laba atau
debu emas?”
Eadyth
mendengus dengan angkuh. “Apa itu berarti kau tak mau membantuku?”
“Itu
artinya kau sudah tak waras. Demi Tuhan, rumah ini begitu bersih sekarang
sampai berdecit. Lagi pula, kau sudah memanfaatkan rasa bersalahku selama tiga
hari ini. Aku menganggap kita sudah impas. Kalau kau meminta bantuan dariku
lagi, kau harus memulainya dengan memberikan bantuan padaku. Tapi, untuk
sekarang, carilah orang bodoh lain yang mau mematahkan lehernya untukmu karena
aku tak mau.”
Eirik
menghentakkan kakinya menuju ke medan latihan untuk melampiaskan frustasinya
dengan berlatih militer bersama anak buahnya, sekali lagi berpikir bahwa sudah
waktunya ia pergi ke Jorvik dan menghabiskan waktunya dengan kekasih simpanannya.
Ia perlu kenyamanan tubuh Asa dan ketenangan dari sikap Asa yang tenang dan
tanpa tuntutan.
Sayangnya,
Eadyth segera mengusik ketenangan wilayah khusus pria tersebut.
“M’Lord,
cepat kemari,” Bertha berseru dari tepi lapangan.
“Ada
apa ini? Apa kita diserang?” Eirik berteriak, bergegas ke sampingnya. “Kenapa
para prajurit jaga tak membunyikan alarm?”
“Bukan,
ini istrimu, Lady Eadyth.”
Eirik
mengerang.
“Dia
memanjat pohon yang tinggi untuk menangkap lebah dan Godric bilang sepertinya
dia tak bisa turun.”
“Memanjat
pohon?”
Girtha
menyeruak membelah kerumunan. “Aku memberitahu Bertha untuk tak mengganggumu, M’Lord.
Ini tak perlu kau pikirkan. My Lady sudah sering melakukannya. Dia tahu apa
yang dilakukannya, kujamin.”
“Apa
dia tak bisa turun?”
“Bisa,”
kata Bertha.
“Tidak,”
kata Girta.
Girta
menjelaskan dengan kesabaran yang berlebihan, “Beberapa lebah meninggalkan
sarangnya dan membentuk sarang baru di pohon sekitar. My Lady hanya memanjat
pohon di atas sarang itu. Dia mengguncangkan dahan pohon itu, dan asistennya
akan memerangkap kawanan lebah itu di kotak penangkap lebah di bawahnya.” Girta
bersedekap dan menutup rapat mulutnya, melayangkan tatapan kubilang-juga-apa
pada Bertha.
Eirik
mendengar orang-orang di sekitarnya tertawa. Sebenarnya, ia menyadari anak buahnya
saling senggol, bisik-bisik dan memutar mata beberapa hari belakangan, terutama
ketika ia bersama Eadyth. Pasti mereka berpikir ia lemah karena membiarkan istri
barunya mengaturnya. Well, ia sudah
cukup muak dengan cara Eadyth memerintahnya. Ia akan menempatkan istrin ya di
tempat yang seharusnya kali ini.
Eirik
menyeruak membelah kerumunan dengan marah, menghentakkan langkahnya menuju
kebun bunga di luar halaman kastil, lalu berbalik seketika pada kerumunan yang
masih berbisik-bisik yang memata-matai gerakannya. “Demi Tuhan! Apa kalian tak
punya pekerjaan lain selain mengurusi urusanku? Kembali bekerja. Semuanya.”
Saat
ia mencapai kebun buah, Eirik berhenti mendadak dengan tak percaya.
Eadyth,
mengenakan cadar antilebahnya, bertengger di dahan pohon yang tinggi,
mengguncangkannya dengan sekuat tenaga. Sekawanan lebah bertahan kuat di ujung
dahan itu sementara dua asistennya yang bercadar anti lebah berdiri di tanah,
memegang kotak besar.
“Eadyth,
turun dari pohon itu sekarang juga.”
Eadyth
menunduk ke bawah, melihat Eirik untuk pertama kalinya. “Eirik, aku tak
melihatmu datang. Tapi mundurlah. Kau baru saja sembuh dari serangan
lebah-lebahku. Kita tak ingin ada peristiwa ulangan.”
“Betapa
baiknya kau mencemaskanku,” gumamnya, tapi bergerak menjauh sebelum berseru
padanya, “Eadyth, perbuatanmu ini benar-benar tak pantas. Aku bersikeras kau
segera turun.”
“Jangan
konyol. Aku hanya perlu mengguncangkan pohon ini agar lebah-lebah itu terlepas.”
Perlawanannya
membuar marah Eirik. “Kalau begitu aku akan membuatmu turun.” Ia melangkah ke
arah dasar pohon, bersiap memanjat dan menyelamatkan istrinya, dan memberi
wanita itu pelajaran yang tak akan dilupakannya begitu mereka sampai ke rumah.
Di
tengah usahanya menggoyangkan batang pohon dan menjawab Eirik, dan bergerak
sedikit jauh ke tepi cabang, Eadyth kehilangan keseimbangan dan mulai terjatuh.
Dengan refleks, Eirik melompat ke arah batang pohon yang terbelah itu dan mulai
memanjat dengan harapan menyelamatkan wanita bodoh tersebut. Eadyth berhasil
menyeimbangkan dirinya, tapi dalam prosesnya tepian jubahnya dan cadar
sebadannya tersangkut di dahan pohon dan tertarik ke atas, memperlihatkan
sebelah kakinya. Pada saat bersamaan, topi bercadarnya jatuh, dan rambut pirang
ikal jatuh dari penutupnya.
Ikal!
Pirang!
Mulut
Eirik menganga dengan takjub saat ia melihat kaki panjang istrinya yang
terpampang di depannya, dari pergelangan kaki, ke betis ramping, hingga ke
lekukan lututnya, sampai ke puncak pahanya yang terbentuk indah. Dan satu fakta
menjadi jelas pada saat itu sebelum Eadyth membetulkan pakaiannya.
Istrinya
tidak tua, atau jelek.
Sialan! Dalam sekejap,
semua potongan puzzle menyatu dalam
benak Eirik.
Ia
melihat kelembutan kaki istrinya, tak termakan usia. Lekukan yang lembut dan
ramping, otot muda yang membentuk betis dan pahanya menjadi patung indah yang
menyenangkan mata. Tak ada tulang yang menonjol seperti yang ia kira akan
dilihatnya pada wanita tua. Wanita tua? Hah! Penyihir itu lebih muda darinya,
pasti usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun.
Dengan
cepat, Eirik menuruni pohon itu dan menyingkir beberapa langkah, tidak ingin
Eadyth menyadari bahwa penyamarannya sudah terbongkar. Dengan penuh
pertimbangan, ia meraba bibir atasnya, lupa bahwa ia sudah mencukur kumisnya
sehari sebelumnya untuk menyingkirkan gigitan lebah yang gatal. Benaknya yang
tak sadar berusaha menghubungkan implikasi dari penemuannya.
“Eirik,
kau masih di sana?” tanya istrinya dengan suara gugup.
“Ya,
tapi aku berdiri agak jauh untuk menghindari lebah-lebah sialanmu,” ia
berbohong.
Ia
mendengar suara gemerisik dan tahu bahwa Eadyth sedang membetulkan pakaiannya.
Untuk melanjutkan penyamarannya. Sialan
wanita itu!
Eirik
memukul kepalanya sendiri, seketika memahami banyak hal: kenapa Eadyth punya
anak yang begitu kecil, kenapa Steven pernah tertarik padanya. Ia menyipitkan
matanya mendongak memandang Eadyth, yang akhirnya melpaskan lebah-lebah itu dan
meneriakkan instruksi pada para asistennya di tanah. Perhiasan perak dari
Northumbria! Julukan itu mengacu pada rambutnya, tentu saja –bukan rambut yang
berwarna abu-abu di bawah semua lapisan minyak itu, seperti yang diduganya,
tapi warna pirang keperakan yang langkah.
Eirik
tak senang.
Bahkan,
ketika ia teringat kata-kata Tykir padanya pada perjamuan pernikahan tentang
rahasia yang dibaginya bersama Eadyth, ia menyadari bahwa adiknya telah
mengetahui tipuan Eadyth. Ya, tipuan.
Dan Tykir sambil tertawa pernah berkata ia mungkin akan bertindak seperti
seorang penyair kenamaan Skandinavia, untuk mengarang cerita dari rahasia ini.
Darah Eirik semakin mendidih. Kalau adiknya berani melakukannya, ia mungkin
akan mencekik leher si sembrono itu dan itu akan mengurangi masalah King
Edmund.
Dan
lebih buruknya lagi, Eirik menduga bahwa gelak-tawa dan kasak-kusuk anak
buahnya beberapa hari belakangan ini bisa diartikan bahwa mereka sudah tahu
tentang penyamaran Eadyth. Tak diragukan, mereka menertawakan lelucon Eadyth di
belakangnya, dan juga matanya yang rabun. Eirik menggemeretakkan giginya marah.
Eadyth
membungkuk dan menutup penutup kotak lebah sialan itu. Eirik beranjak maju,
namun kemudian mengurungkan niatnya. Tidak, ia perlu lebih banyak waktu untuk
memahami motif Eadyth. Dan memikirkan hukuman paling baik untuk istrinya yang
penuh tipu daya itu.
Satu
hal yang pasti. Wanita itu akan menyesali hari saat ia menginjakkan kaki ke
Ravenshire. Tapi tidak sebelum Eirik mengupas lapisan demi lapisan penyamaran
dan menemukan seperti apa sebenarnya istrinya yang misterius itu. Dan tidak
sebelum ia membuat wanita itu bertekuk lutut.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar