Selasa, 29 Januari 2019

Lucky Penny #1

Glory Ridge, Colorado

10 April 1891

Di telinga Brianna, suara mesin jahit Singer terdengar sama lembutnya dengan nyanyian ninabobo, suara yang begitu akrab dan menenangkan sampai-sampai ia bisa tenggelam ke dalam irama itu selama berjam-jam, hampir tidak menyadari rasa sakit di pergelangan kakinya akibat mengayuh pedalnya terus menerus. Sebuah jendela yang terletak di sebelah kanannya menawarkan satu-satunya penerangan di ruangan persegi yang sempit tempatnya bekerja, dan itu adalah berkah kecil di hari yang mendung. Meskipun begitu, Brianna menyipitkan matanya untuk bisa melihat alih-alih menyalakan lentera sebelum matahari terbenam. Harga minyak tanah mahal, sebuah fakta yang dipertegas oleh pemilik toko itu, Abigail Martin, ketika siapa pun kecuali dirinya membutuhkan tambahan cahaya. Bagi wanita itu, menyediakan cahaya yang memadai bagi pegawainya agar bisa melihat dengan jelas merupakan pemborosan. Bibir Brianna terkatup. Ia sedang tidak tertarik untuk dimarahi lagi hari ini.


Sejumput rambut ikal berwarna kecoklatan terlepas dari kepangan yang dibentuk memutar di kepala Brianna dan menggelitik pipinya, tapi ia mengabaikan gangguan itu dan tetap mendorong dua lembar kain tafeta di mesin jahit, dengan sungguh-sungguh mengukur kerapatan dan kekuatan jahitannya. Abigail akan menggaok seperti burung gagak yang tidak puas ketika menemukan kesalahan. Saat ini, aroma menggoda roti yang dipanggang serta teh panas tercium dari tempat tinggal wanita tua itu, bukti tak terbantahkan kalau wanita itu bermalas-malasan di belakang pintu tertutup, memanjakan diri dengan camilan sore dan bukannya bekerja.

Brianna tahu bahwa membenci orang adalah perbuatan yang salah, tapi sejak meninggalkan pekerjaannya di tempat Charles Ricker dua bulan yang lalu, ia sudah tidak menyukai Abigail. Wanita itu berhati keji dan pelit, tidak pernah menawarkan apa pun dari dapurnya, bahkan untuk seorang anak kecil sekalipun. Wanita itu juga memiliki kecenderungan untuk memonopoli kesuksesan. Ia akan mempersembahkan semua gaun yang sudah selesai ke para pelanggannya dan mengaku-aku kalau rancangan yang inovatif itu miliknya. Oh, betapa Brianna ingin sekali maju dan mengatakan kalau semua itu kreasinya, tapi kelaparan yang selalu mengancam perut putrinya membuatnya tetap diam. Ia membutuhkan pekerjaan ini. Sejumlah kecil uang yang diterimanya tiap minggu dari toko ini, bersama yang dihasilkannya dari restoran serta upah dari melakukan berbagai pekerjaan lain, memadai untuk membayar uang sewa mereka dan biasanya, walaupun tidak selalu, menyediakan makanan yang cukup bagi Daphne. Untuk sekarang, hanya itulah tujuan utama Brianna.

Walaupun begitu, sambil bekerja ia akan berangan-angan memiliki toko pakaiannya sendiri. Jendela pajang akan menampilkan model pakaian terbaru dengan kualitas terbaik yang tersedia. Wanita-wanita kaya akan membayar mahal untuk membeli hasil karya orisinal Brianna Paxton. Oh ya, mereka akan melakukannya, dan peti penyimpanannya akan penuh dengan uang, yang akan mengakhiri kehidupan yang serba kekurangan ini.

Bagi Brianna, menjahit sama dengan berdansa waltz, pasangan dansanya adalah sebuah mesin. Ia membiarkan mesin itu memimpinnya, tahu akan setiap sentakan di gerakannya. Bahkan ketika rasa sakit menusuk punggungnya seperti pisau akibat duduk membungkuk, ia bersyukur atas bakatnya dengan jarum, karena bakat itu suatu hari nanti akan membebaskan dirinya dan Daphne dari jerat kemiskinan.

Brianna sering sekali mendoakan para biarawati di panti asuhan Boston tempat ia tinggal sebagai anak-anak. Mereka sangat bijaksana mengajarinya keahlian ini. Tanpa pekerjaan ini, ia dan anaknya akan hidup terlunta-lunta di jalan, mengemis dari penduduk Glory Ridge yang sudah kesulitan untuk menghidupi diri mereka sendiri. Kenyataannya, Brianna sesekali harus menyembunyikan sebongkah roti dan keju dari dapur restoran yang dibersihkannya setiap malam dan kadang-kadang tidak punya pilihan lagi selain harus mengais makanan di tong sampah.

Hal itu membuatnya malu. Harga diri khas Irlandia-nya terbakar setiap kali ia memikirkan itu. Untungnya, ia juga diberkati dengan kekeraskepalaan, yang sangat bermanfaat ketika keadaan memaksanya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan harga dirinya dan membuatnya malu. Ia pernah mendengar orang berkata kalau tujuan menghalalkan caranya. Dalam kasus Brianna, tujuannya memastikan gizi Daphne terpenuhi, menghalalkan cara-cara yang dilakukannya, yang terkadang membuatnya terpuruk. Sampai keadaan mereka membaik, tidak ada ruang untuk merasa gengsi di dalam hidupnya. Ada bagian dari kepribadiannya yang harus dikuburnya jauh-jauh di dalam dirinya. Daphne harus makan, dan anak itu tidak memiliki siapa pun di dunia ini kecuali dirinya.

Briana kadang-kadang bertanya-tanya apakah dari ayah atau ibunya ia mewarisi kepribadiannya yang kuat. Menurut para biarawati yang mengasuhnya, mereka berdua sama-sama orang Irlandia, dan rupanya melarat, karena orang tuanya telah meninggalkan kedua putri mereka yang masih bayi di pintu panti asuhan hanya dengan selembar surat yang memberitahu para suster nama depan dan nama keluarga mereka. Selain itu, Brianna tidak tahu apa-apa tentang orang tua ataupun asal-usulnya. Saudara kembar identiknya, Moira, memiliki sifat yang rendah hati dan penurut, memberi alasan baginya untuk merasa yakin kalau salah satu orang tua mereka berkemauan keras sementara yang lainnya kemungkinan penurut.

Atau mungkin hidup itu sendirilah yang telah membentuk dirinya menjadi orang yang keras kepala seperti saat ini. Tumbuh besar di sebuah panti asuhan telah membuatnya merasa tidak penting. Ia hanya salah satu dari sekumpulan anak yang ada di sana, seperti anak dari ayam petelur yang meletakkan telur-telurnya di kandang. Para suster itu menyayanginya, tapi perhatian mereka terbagi ke mana-mana. Hanya kebulatan tekad dan kepribadian kuat yang membuat dirinya menonjol. Hingga hari ini, ia bisa ingat bagaimana ia ingin sekali agar suster favoritnya, Suster Theresa, menyadari kehadirannya. Mungkin keinginan itulah yang mendorongnya menjadi lebih berani. Teguran keras dari suster mungil yang manis itu terasa lebih baik ketimbang tidak ada perhatian khusus dari sang suster sama sekali.

Kening Brianna berkerut dengan serius ketika ia memasang bagian lengan ke lubang tangan baju itu. Dari Suster Theresa-lah ia pertama kali mendengar peribahasa, “Kesombongan membawa kehancuran.” Ketika masih kecil peribahasa itu tak lebih dari sekadar kata-kata baginya. Butuh pengalaman pahit bertahun-tahun untuk mengajarinya arti dari kata-kata itu.

Well, ia telah belajar, dan peristiwa-peristiwa itu dipicu oleh tindakannya yang sembrono pada usia delapan belas tahun, yang akan menghantuinya sepanjang hidup. Air mata penyesalan menyengat mata Brianna kapan pun ia ingat saat-saat itu, karena Moira-lah yang harus membayar harga kesembronoannya, Moira-lah yang hancur.

Nasi sudah menjadi bubur, dan tidak ada gunanya lagi menangisinya. Sudah lebih dari enam tahun Moira meninggal dunia, dan waktu untuk berduka sudah lewat. Sekarang yang bisa dilakukannya hanyalah menepati janjinya untuk membesarkan putri Moira sebagai anaknya sendiri. Ia tidak bisa melakukan itu dengan sempurna, tapi paling tidak ia telah cukup berhasil. Bahkan Dapne tidak tahu kalau ia bukan ibu kandung anak itu, dan kecuali ia membiarkan dirinya untuk berkubang di masa lalu, ia sendiri jarang mengingat fakta tersebut. Baginya, Daphne adalah putrinya.

Terdengar suara kaki seseorang berlari di serambi kayu yang ada di luar. Lalu, seakan-akan pikiran Brianna bisa mewujud nyata, Daphne melesat masuk ke dalam toko. Brianna tidak perlu melihat untuk tahu kalau itu adalah Daphne. Tidak ada orang dewasa yang membuat keributan seperti itu, dengan membanting pintu dan membunyikan lonceng. Sambil menahan senyum, Brianna berbalik, menyingkirkan tirai yang memisahkan ruang kerjanya dari bagian utama toko dan melemparkan tatapan menegur pada putrinya, yang sekarang menambah keributan dengan membanting pintu hingga tertutup.

“Jangan berisik! Kau tahu bagaimana marahnya Miss Martin kalau kau membuat keributan!”

Dengan wajah memerah akibat berlari di udara dingin, bocah enam tahun itu melompat-lompat melintasi lantai kayu, rambut ikal emasnya bergoyang di atas bahu. Terkadang Briana bertanya-tanya dari mana anak itu mendapatkan penampilannya yang seperti malaikat. Dari laki-laki yang telah memerkosa Moira, tebak Brianna, karena baik Moira maupun dirinya tidak pernah memiliki rambut pirang, bahkan ketika mereka masih bayi. Bukannya hijau, mata Daphne berwarna biru. Hanya alis yang melengkung dengan sempurna, yang begitu mirip dengan alis Brianna, yang menandakan anak itu adalah seorang O’Keefe. Saat ini Daphne bergeser dari satu kaki ke kaki lain dengan heboh sambil melambaikan sebuah amplop tebal ke bawah hidung Brianna.

“Ini dari Papa!” seru Daphne. “Lihat, Mama! Dia mengirimkan banyak sekali uang! Aku hanya meminta satu baju baru, tapi uang ini cukup untuk ratusan!”

Papa?

Merasa bingung, Brianna mengambil amplop itu dari tangan putrinya. Bulu kuduknya berdiri ketika membaca alamat pengirim, ditulis dengan tulisan tangan yang tegas dan maskulin: Marshal David Paxton, No Name, Colorado.  

Tidak mungkin. David Paxton tidak nyata. Brianna mengarang sosok itu bertahun-tahun yang lalu di Boston, dan setelahnya ia menjadikan sosok itu sebagai suaminya serta ayah anaknya. Pria itu bukan manusia nyata, hanya seorang laki-laki yang dikarangnya agar ia bisa mendapatkan rasa hormat dalam sebuah dunia yang mengucilkan wanita yang melahirkan anak tanpa ikatan pernikahan.

“Lihat, Mama!” Daphne berseru. “Dia mengirimkan banyaaaak sekali uang! Bahkan mungkin cukup untuk,” anak itu menelan ludah sebelum menyuarakan keinginannya yang paling dalam, “sepatu juga?”

Masih gemetar akibat terguncang, Brianna kembali menyuruh Daphne agar diam dan membuka amplop itu untuk melihat uang di dalamnya. Oh, Tuhan. Dalam dua puluh enam tahun hidupnya, hanya satu kali ia pernah melihat uang sebanyak ini, setelah ia berhenti bekerja pada Charles Ricker dan mengosongkan tabungannya selama lima tahun untuk menyewa kamar loteng di rumah sewaan, membeli selimut untuk tempat tidur, serta makanan Daphne. Brianna menarik uang itu dari amplop dan memandangnya dengan takjub. Pandangan sekilas memberitahunya kalau paling tidak ada seratus dolar di situ, bahkan mungkin lebih.

Dengan tidak percaya, Brianna memandang wajah Daphne yang berbinar-binar. Selama sedetik, ia ingin memekik gembira dan melompat-lompat di lantai bersama putrinya. Lalu logika memadamkan dorongan itu, merasuk ke dalam pikirannya seperti air dingin dan memberinya firasat buruk. Suaminya, David Paxton, jelas-jelas tidak nyata, dan imajinasi tentu tentu tidak bisa mengirimkan sebuah amplop atau mengisinya dengan uang. David Paxton, suami palsunya, tiba-tiba menjelma menjadi nyata. Ini bukan manna yang turun dari surga, tapi sebuah bencana. Bagaimana kalau pria ini muncul di Glory Ridge?

“Mama?” Daphne memandang Brianna dengan mata biru yang cemas. “Ada apa? Kau tidak senang dia mengirim uang untuk kita?”

Brianna memeriksa amplop itu, berharap menemukan surat yang menyertai uang itu, sesuatu–apa pun–untuk menjelaskan perubahan keadaan yang tiba-tiba ini. Selama lebih dari enam tahun, ia telah berulang kali menulis surat kepada David Paxton di Denver dibawah tekanan dari majikannya dan tidak pernah menerima jawaban satu kali pun, sehingga ia menjadi percaya diri kalau tidak ada laki-laki dengan nama David Paxton bermukim di kota itu atau di daerah sekitarnya. Tidak perlu cemas. Pernikahan karangannya aman-aman saja. Tidak ada yang pernah membalas suratnya, yang atas desakan bosnya, berisikan permohonan agar pria itu membantunya. Ia dan Daphne aman, status sosial mereka dilindungi oleh kedok pernikahan sah yang rapuh. Di tangan kirinya, Brianna memakai sebuah cincin emas sederhana, yang dibelinya dari toko gadis di Boston, yang memungkinkannya untuk berperan sebagai wanita menikah yang bisa melamar pekerjaan di Barat. Ketika itu ia tidak bisa menemukan pekerjaan di Boston –well, hampir tidak ada, dan pekerjaan yang tersedia lebih baik dilupakan– dan Daphne yang masih bayi membutuhkan penjagaan 24 jam sehari. Brianna sangat membutuhkan pekerjaan di mana ia bisa membawa bayi itu bersamanya selama ia bekerja.

Iklan Charles Ricker di Boston Herald telah menyelamatkannya. Masih terguncang akibat kematian istrinya, peternak itu membutuhkan seorang tukang masak, penjaga rumah, dan guru bagi putranya, lebih disukai seorang janda, dengan atau tanpa anak, Brianna telah belajar dengan cara yang keras kalau seorang wanita yang tidak memiliki perlindungan dari laki-laki seringkali menjadi korban laki-laki lain, jadi ia memutuskan akan lebih aman baginya untuk menggambarkan dirinya sebagai wanita dengan suami yang hidup terpisah namun memiliki kemungkinan akan muncul kembali. Jadi, karena itulah David Paxton diciptakan. Brianna menulis surat kepada Charles Ricker, mengarang cerita yang masih diulanginya sekarang. Ricker menganggap kualifikasinya yang dilebih-lebihkan memuskan dan mengirimkan biaya perjalanan untuknya dan putrinya.

Brianna tidak pernah berusaha untuk mengingat bulan-bulan pertama yang penuh bencana itu ketika ketidaktahuannya tentang memasak dan hewan ternak telah menjadi siksaan yang hampir membuatnya kehilangan pekerjaan. Untungnya, keahlian mengajarnya bukan bohongan dan jauh di atas rata-rata. Pada akhirnya Ricker menerima kalau penjaga rumahnya tidak akan pernah menghangatkan tempat tidurnya, dan secara umum, pria itu puas dengan pekerjaan Brianna. Tahun-tahun berlalu dengan menyenangkan hingga  Ricker bertemu dengan seorang wanita yang hendak dinikahinya. Dengan anak-anak lelakinya yang sudah semakin besar, tenaga Brianna terasa berlebihan.

Sekarang, di sinilah ia duduk, dengan bodoh memandang amplop yang mengancam akan menghancurkan hidup yang telah dibangunnya di Glory Ridge. David Paxton benar-benar ada. Kepanikan berkumpul di dalam dirinya. “Wah, ini uang yang banyak sekali, Sayang. Kau akan mendapatkan beberapa baju baru dan sepatu baru juga. Rupanya ayahmu telah menemukan emas yang besar!”

Wajah Daphne berseri bahagia. “Dan dia ingat aku, Mama! Kau selalu mengatakan bagaimana dia sangat mencintai kita berdua. Tapi terkadang aku bertanya-tanya. Sungguh, aku tidak bohong. Tapi ini membuktikan kalau aku salah.”

Dada Brianna sakit. Ia cemas mengetahui Daphne merasa tidak dicintai oleh sang ayah, karena apabila setiap anak di dunia berhak untuk merasa dicintai, Daphne juga berhak. Itulah masalahnya dengan ayah palsu. Mereka tidak bisa menunjukkan kasih sayang mereka, karena mereka tidak ada.

Hal itu membawa kembali pikiran Brianna pada tumpukan tebal sertifikat perak (mata uang berbentuk kertas yang setara dan dapat ditukar dengan perak sesuai dengan nilai yang tercantun) di telapak tangannya. Dengan gerakan ibujarinya, ia menemukan tiga sertifikat bernilai sepuluh dolar, beberapa pecahan lima dan satu dolar, serta empat lembar dua puluh dolar. Kalau uang itu berasal dari ayah Daphne yang sesungguhnya, Brianna akan merasa uang itu terlalu sedikit dan sangat terlambat, tapi ayah biologis Daphne, Stanley Romanik, anak manja dari seorang petani kaya, berada di Boston. Tujuh tahun yang lalu, pria itu telah memerkosa adiknya, Moira, di rumah kaca biara, menolak untuk bertanggung jawab atas kehamilan itu, dan pergi begitu saja.

“Mama, apakah uangnya cukup untuk membeli bajumu juga? Baju-baju yang kau pakai sudah sempit, dan salah satunya sering sobek.”

Brianna menarik Daphne dan memeluknya dengan erat. Berapa banyak anak enam tahun, yang hidup melarat seperti Daphne, akan berpikir untuk membagi uang yang dikirim hanya untuknya? Brianna tidak bermaksud menggunakan satu sen pun dari berkah itu untuk dirinya sendiri. Daphne akan membutuhkan baju-baju baru dan sepatu baru yang bagus, tapi sisanya akan disimpan untuk memastikan anak itu memiliki atap di atas kepalanya dan makanan di perutnya selama beberapa bulan ke depan. Sementara untuk David Paxton –well, tidak perlu dikhawatirkan sekarang. Brianna tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan keterkejutan atau ketidakpercayaannya dalam raut wajah maupun tidakannya.

“Apa menurutmu tak lama lagi dia akan datang menemui kita?” tanya Daphne.

“Aku meragukan itu, Sayang. Sebongkah emas tidak menjadikan seseorang kaya. Walaupun begitu, dia baik sekali karena membagi hasil temuannya denganmu.”

“Juga denganmu!”

Brianna langsung berhenti menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh mengungkapkan kepada Daphne kalau cerita yang mulai dipercayai anak yang cerdas itu adalah kebohongan. “Juga denganku. Tentu saja, denganku! Bagaimanapun juga aku ini istrinya.”

“Dan dia sangat mencintai kita berdua. Selama ini kau benar, Mama. Dia hanya sedang bekerja dengan sangat keras untuk menemukan emas sehingga tidak punya waktu untuk menulis surat atau datang ke sini menemui kita!”

“Ya,” Brianna setuju, tanpa banyak pilihan lain. Ia sudah berusaha untuk membuat Daphne percaya kalau anak itu adalah orang yang baik, dan kelihatannya ia berhasil. Brianna memasukkan kembali sertifikat itu ke dalam amplop. “Boleh aku yang menyimpannya?”

Daphne mengangguk lalu berputar-putar dalam pakaiannya yang lusuh dan penuh tambalan. “Mama, tak lama lagi aku akan terlihat seperti anak-anak perempuan lainnya! Mungkin Hester dan Hope tidak akan mengejekku lagi. Mungkin mereka bahkan akan membiarkanku bermain dengan mereka. Bagaimana menurutmu?”

Kalau Brianna mendapat kesempatan, baju baru Daphne akan mengalahkan semua yang dipakai teman-teman sekelasnya. “Kau bahkan akan terlihat lebih baik dari mereka, dan aku yakin mereka akan membiarkanmu bermain dengan mereka.” Brianna memasukkan amplop itu ke dalam saku roknya dan mengarahkan Daphne ke bagian depan toko untuk melihat-lihat kain. Daphne sedang mengagumi kain merah muda yang indah bermotif bunga mawar ketika suara kasar Abigail menginterupsi mereka.

“Ya ampun, apa yang sedang terjadi di sini?” Sambil memandang pedas pada Brianna, Abigail mencolek lapisan debu khayalan di kotak kaca yang berisikan berbagai pita dan pernak pernik. “Aku membayarmu dengan mahal untuk bekerja, dan waktu yang terbuang akan dicatat ketika aku menghitung gajimu! Saat kau tidak sedang menjahit, kau seharusnya membersihkan toko.”

“Maafkan amu Ma’am.” Brianna berusaha terdengar rendah hati. “Papa Daphne mengirim uang kepadanya untuk membeli pakaian, dan kami sedang memilih kain. Tentu saja aku berniat untuk membeli di sini, dari pada pergi ke tempat lain.”

Walaupun Daphne tiba-tiba berubah menjadi seorang pembeli, Abigail mengerutkan hidungnya dengan jijik. Pada usia empatpuluhan, Abigail adalah wanita yang getir, lebih tawar daripada roti tawar, dengan rambut pirang pucat yang disisir ke belakang membentuk sanggul dan warna kulit pucat yang diimbangi hanya dengan mata sewarna kismis yang berkilau. Mata itu kecil dan selalu siaga, mengingatkan Brianna pada seekor burung pemangsa yang memburu hewan tak berdaya dengan gigitan paruhnya. Dalam usaha untuk mencerahkan penampilan, Abigail mengenakan pakaian berwarna cerah yang semakin menonjolkan kulit pucatnya. Ketika para lelaki memasuki toko, ia melayani mereka dengan sebaik-baiknya, berharap mata mereka akan memandangnya. Kalau saja wanita itu lebih ramah, Brianna mungkin sudah akan memberi saran bagaimana caranya menonjolkan wajahnya, tapi Brianna tidak merasakan keinginan itu. Kesendirian yang didapatkan Abigail dari sifatnya yang kasar itu merupakan hasil yang pantas diterimanya.

“Kau akan bekerja lembur untuk membayar kemalasanmu.” Abigail melebih-lebihkan kata terakhirnya. “Kalau kau tidak melakukannya, aku akan ingat saat aku menghitung gajimu hari senin nanti.”

Rasa lelah membebani bahu Brianna, tapi ia berdiri tegak walaupun tahu harus membayar pelanggarannya selama lima menit dengan satu jam bekerja tanpa bayaran. “Tentu saja, tapi tolong diingat kalau aku baru sebentar meninggalkan  tempat dudukku.”

“Omong kosong.” Abigail menggoyang-goyang kan jari telunjuknya yang kurus. “Kau tidak akan bisa membohongiku, Mrs Paxton! Aku tahu berapa lama kau sudah bermalas-malasan.”

“Begini, Ma’am.” Brianna hampir tersedak mengucapkan kata-kata itu. “Aku hanya meminta agar kau ingat kalau aku jarang meninggalkan pekerjaanku, dan hari ini pelanggaranku hanya lima menit, tidak lebih.”

Dengan postur tubuh tegak, Abigail mendengus jijik, lalu berbalik dan menghilang ke dalam ruangannya, di mana ia seharusnya bekerja. Tapi Brianna tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dinding-dinding di tempat itu tipis, dan ia jarang mendengar mesin jahit majikannya digunakan. Ia tidak tahu apa yang dilakukan Abigail sepanjang sore dan malam sementara ia sendiri menjahit gaun-gaun yang dijual dengan harga mahal oleh wanita itu. Mungkin, seperti dirinya, Abigail menyukai novel picisan. Tuhan tahu wanita itu bisa membeli novel sebanyak apa pun yang diinginkannya. Kesempatan Brianna untuk membaca terbatas pada saat-saat langka ketika ia tidak sedang bekerja. Beberapa wanita di kota meminjaminya buku ketika mereka sudah selesai membacanya. Dibesarkan untuk menghargai karya sastra bermutu, awalnya Brianna mencemooh penggambaran berlebihan tentang Wild West yang ada di dalam novel-novel picisan itu. Tapi, setelah beberapa lama, ia haus akan bacaan bermutu dan menjadi tak sabar menunggu buku apa pun, baik itu fiksi ataupun non-fiksi. Yang paling disukainya adalah kisah tentang Ace Keegan, jago tembak terkenal yang pernah membunuh tiga orang dengan satu peluru.

“Maafkan aku, bisik Daphne setelah Abigail meninggalkan mereka dengan penuh amarah. “Sekarang dia akan membuatmu bekerja lebih lama tanpa dibayar. Aku tahu dia tidak pernah adil saat menghitung gajimu.”

Brianna membungkuk untuk memeluk putrinya. “Yah, dia memang tidak pernah adil, jadi lebih baik kita menikmati waktu ini! Ada banyak sekali kain yang bisa Anda pilih, Nona Muda.”

Daphne menyeringai, memperlihatkan celah bekas dua gigi depannya yang tanggal. “Aku suka yang ini!” serunya, kembali ke kain merah muda bermotif bunga.

“Itu pilihan yang bagus.” Brianna mengembalikan perhatian Daphne pada kain biru tua dengan motif polkadot putih. Kain itu akan menghasilkan baju yang sangat cantik dengan potongan yang tepat, mungkin ia akan memasang bis di tepiannya, dengan sedikit renda. “Dan kau tidak boleh lupa kalau kau sangat membutuhkan mantel musim dingin dan sarung tangan.”

Wajah Daphne berseri-seri. “Aku harus menulis surat untuk mengucapkan terima kasih kepada Papa!”

“Betul sekali. Pergilah ke kamar kita untuk mengambil alat-alat tulisku.”

Setelah anak itu berlari keluar dari toko, Brianna sempat berpikir untuk mengembalikan uang itu kepada si pengirim, tapi membayangkan wajah kecewa Daphne, dengan cepat ia mengenyahkan pikiran itu. Uang ini adalah kiriman Tuhan, dan sekarang hati Daphne sudah tertambat pada pakaian baru yang tak bisa dibelikan oleh ibunya. Pria itu tidak akan mungkin mengirimkan uang sebanyak itu kalau hidupnya sendiri kekurangan. Jadi, dalam surat terpisah, yang ditulis sembunyi-sembunyi, Brianna akan berterima kasih kepada Mr. Paxton atas kebaikan pria itu dan meminta maaf atas kesalahpahaman ini. Ia akan menjelskan kalau ayah Daphne adalah seorang penambang emas di Denver, bukan seorang marshal. Kemudian ia akan menambahkan kalau ia tidak akan menerima kiriman uang lagi serta menunjukkan niatnya untuk menyimpan alamat Mr. Paxton dan membayar kembali uang tersebut beserta bunganya, ketika kondisi keuangannya membaik. Pasti itu sudah cukup untuk menjelaskan situasinya kepada pria itu.

***

Berjam-jam kemudian, Brianna masih membungkuk di atas mesin jahit Singer-nya, permukaannya yang hitam mengilap dengan tepian emas terlihat kabur ketika ia memusatkan matanya yang panas pada pakaian sutra biru yang sedang dijahitnya. Cahaya dari lentera yang mendesis tidak cukup terang dan pelipisnya berdenyut-denyut. Besok sore dan malam, ia akan menghabiskan waktu untuk menjahit gaun merah dan biru, dan di penghujung malam, ketika ia berlari ke restoran untuk melakukan pekerjaannya membersihkan tempat itu, jarinya akan pedih akibat mendorong ujung jarum yang tumpul karena Abigail terlalu pelit untuk membeli bidal.

Oh Tuhan, membersihkan restoran. Brianna hampir mengerang, karena ia masih harus mengerjakan itu sebelum bisa menjatuhkan badannya ke atas kasur sempit di kamar loteng yang mereka sebut rumah. Saat ini, Daphne sudah pulas di atas tempat tidur yang diletakkan di dekat kursi Brianna, dan akan tetap berada di sana selama Brianna membersihkan dapur restoran satu-satunya di Glory Ridge. Ketika tugas itu sudah selesai, Brianna akan kembali untuk menjemput putrinya dan berjalan terhuyung-huyung sambil menggendong anak itu ke gubuk mereka yang sederhana, yang hampir tidak cukup untuk menampung sebuah tempat tidur sempit dan mencuci muka.

Andai saja ia benar-benar memiliki suami, pikir Brianna. Mungkin ia tak lagi harus membanting tulang seperti ini. Sayangnya, bahkan kalau ia “membunuh” suami bohongannya, tak banyak laki-laki yang mencari seorang janda muda dengan anak di Glory Ridge. Selain itu, ia sudah cukup berurusan dengan laki-laki, bukan hanya di Boston ketika ia berjuang untuk menghidupi anaknya yang masih bayi, tapi juga di sini, di Glory Ridge. Charles Ricker telah berusaha mendekatinya dengan paksa lebih dari sekali, dan sekarang ia diganggu hampir setiap malam oleh si pemilik restoran yang sudah tua, yang masih beristri tapi masih berniat untuk mencari yang baru.

Ia lebih baik sendiri saja, bahkan kalau impiannya untuk membuka toko pakaian miliknya sendiri tidak pernah terwujud, yang kemungkinannya memang sangat kecil. Sejak meninggalkan kediaman Ricker, ia belum berhasil menyimpan uangnya sedikit pun untuk mewujudkan cita-citanya yang ambisius itu. Seperti sirup yang terlalu lama mendidih, hidupnya telah berubah menjadi cairan kental dan lengket yang menempel ke kakinya yang lelah. Ia tidak melihat jalan keluar. Sekeras apa pun ia bekerja, ia tidak akan pernah menghasilkan uang yang cukup untuk disisihkan. Dan dengan Daphne yang semakin besar dengan kebutuhan yang semakin banyak, keadaan akan semakin buruk. Bagaimanapun juga, ia tidak bisa mengharapkan amplop berisi uang seperti ini akan datang terus menerus.

Mungkin hanya inilah yang bisa kau dapatkan. Kau mungkin akan menghabiskan seluruh hidupmu bekerja untuk Abigail, membuat dompetnya semakin tebal, dan bukannya dompetmu sendiri. Diri Brianna memberontak, tapi sisi praktisnya membuatnya dengan cepat berpikir jernih lagi. Andai saja ia sanggup membayar biaya langgangan surat kabar dari kota besar, ia mungkin akan bisa mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga rumah di tempat lain. Sayangnya, walau sekarang ia bisa menyisihkan beberapa uang receh untuk membeli koran edisi baru, tak ada lowongan yang tersedia di Glory Ridge. Sementara koran lokal yang terbit mingguan, tak punya ruang untuk iklan.

Daphne mengerang dan bergerak di dalam tidurnya, berbisik, “Papa.” Kata itu menyengat Brianna. Ia masih menggigil ketika mengingat amplop yang berisi uang itu. Setelah bertahun-tahun menulis surat dan tidak menerima balasan, ia hampir tak bisa percaya kalau David Paxton benar-benar ada. Pikiran itu membuat punggungnya tegang. Ia tidak bisa membiarkan pikirannya kacau dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Di dalam kepalanya, Brianna mendengar suara lembut Suster Theresa dari masa kecilnya. Semua akan baik-baik saja. Doakan hal itu, percayalah, dan semua akan baik-baik saja.

Brianna berhenti menjahit untuk menarik napas dalam-dalam. Ketika ketenangan memenuhinya, ia bisa berpikir dengan lebih jelas. Ya, David Paxton telah mengirim uang dalam jumlah yang lumayan banyak, tapi pria itu tidak menyertakan pean sama sekali. Kemungkinan besar surat-suratnya sampai ke pria itu secara tidak sengaja, dan setelah membaca surat-surat Daphne, David Paxton merasa kasihan pada anak itu, sehingga memberikan hadiah yang murah hati. Tidak berarti pria itu percaya kalau Daphne adalah putrinya dan akan datang ke Glory Ridge. Brianna belum pernah menginjakkan kaki di Denver, bahkan tidak pernah mengunjungi kota mana pun yang ada di sekitarnya, dan belum pernah bertemu dengan laki-laki mana pun yang bernama David Paxton. Bisa dipastikan kalau David Paxton tahu kalau dirinya bukanlah ayah Daphne.

Brianna beranjak dari kursi untuk meregangkan punggungnya sebentar dan memutari toko yang gelap. Ia berhenti di dekat tiga gulungan kain yang telah dipilih Daphne untuk baju baru anak itu. Sambil mengelus kain itu, Brianna tersenyum lembut dan menyuruh dirinya untuk berhenti memusingkan kemungkinan yang tidak pernah akan terjadi. Kecuali sudah gila, David Paxton tidak akan pernah mengunjungi Glory Ridge. Untuk alasan apa? Untuk mengklaim istri dan anak orang lain? Tidak ada pria waras yang akan melakukan hal itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar