10 April 1891
Di telinga Brianna, suara mesin jahit Singer terdengar sama
lembutnya dengan nyanyian ninabobo, suara yang begitu akrab dan menenangkan
sampai-sampai ia bisa tenggelam ke dalam irama itu selama berjam-jam, hampir
tidak menyadari rasa sakit di pergelangan kakinya akibat mengayuh pedalnya
terus menerus. Sebuah jendela yang terletak di sebelah kanannya menawarkan
satu-satunya penerangan di ruangan persegi yang sempit tempatnya bekerja, dan
itu adalah berkah kecil di hari yang mendung. Meskipun begitu, Brianna
menyipitkan matanya untuk bisa melihat alih-alih menyalakan lentera sebelum
matahari terbenam. Harga minyak tanah mahal, sebuah fakta yang dipertegas oleh
pemilik toko itu, Abigail Martin, ketika siapa pun kecuali dirinya membutuhkan
tambahan cahaya. Bagi wanita itu, menyediakan cahaya yang memadai bagi
pegawainya agar bisa melihat dengan jelas merupakan pemborosan. Bibir Brianna
terkatup. Ia sedang tidak tertarik untuk dimarahi lagi hari ini.
Sejumput rambut ikal berwarna kecoklatan terlepas dari
kepangan yang dibentuk memutar di kepala Brianna dan menggelitik pipinya, tapi
ia mengabaikan gangguan itu dan tetap mendorong dua lembar kain tafeta di mesin
jahit, dengan sungguh-sungguh mengukur kerapatan dan kekuatan jahitannya.
Abigail akan menggaok seperti burung gagak yang tidak puas ketika menemukan
kesalahan. Saat ini, aroma menggoda roti yang dipanggang serta teh panas
tercium dari tempat tinggal wanita tua itu, bukti tak terbantahkan kalau wanita
itu bermalas-malasan di belakang pintu tertutup, memanjakan diri dengan camilan
sore dan bukannya bekerja.
Brianna tahu bahwa membenci orang adalah perbuatan yang
salah, tapi sejak meninggalkan pekerjaannya di tempat Charles Ricker dua bulan
yang lalu, ia sudah tidak menyukai Abigail. Wanita itu berhati keji dan pelit,
tidak pernah menawarkan apa pun dari dapurnya, bahkan untuk seorang anak kecil
sekalipun. Wanita itu juga memiliki kecenderungan untuk memonopoli kesuksesan.
Ia akan mempersembahkan semua gaun yang sudah selesai ke para pelanggannya dan
mengaku-aku kalau rancangan yang inovatif itu miliknya. Oh, betapa Brianna
ingin sekali maju dan mengatakan kalau semua itu kreasinya, tapi kelaparan yang
selalu mengancam perut putrinya membuatnya tetap diam. Ia membutuhkan pekerjaan
ini. Sejumlah kecil uang yang diterimanya tiap minggu dari toko ini, bersama
yang dihasilkannya dari restoran serta upah dari melakukan berbagai pekerjaan
lain, memadai untuk membayar uang sewa mereka dan biasanya, walaupun tidak
selalu, menyediakan makanan yang cukup bagi Daphne. Untuk sekarang, hanya
itulah tujuan utama Brianna.
Walaupun begitu, sambil bekerja ia akan berangan-angan
memiliki toko pakaiannya sendiri. Jendela pajang akan menampilkan model pakaian
terbaru dengan kualitas terbaik yang tersedia. Wanita-wanita kaya akan membayar
mahal untuk membeli hasil karya orisinal Brianna Paxton. Oh ya, mereka akan
melakukannya, dan peti penyimpanannya akan penuh dengan uang, yang akan
mengakhiri kehidupan yang serba kekurangan ini.
Bagi Brianna, menjahit sama dengan berdansa waltz, pasangan dansanya adalah sebuah
mesin. Ia membiarkan mesin itu memimpinnya, tahu akan setiap sentakan di
gerakannya. Bahkan ketika rasa sakit menusuk punggungnya seperti pisau akibat
duduk membungkuk, ia bersyukur atas bakatnya dengan jarum, karena bakat itu
suatu hari nanti akan membebaskan dirinya dan Daphne dari jerat kemiskinan.
Brianna sering sekali mendoakan para biarawati di panti
asuhan Boston tempat ia tinggal sebagai anak-anak. Mereka sangat bijaksana
mengajarinya keahlian ini. Tanpa pekerjaan ini, ia dan anaknya akan hidup
terlunta-lunta di jalan, mengemis dari penduduk Glory Ridge yang sudah
kesulitan untuk menghidupi diri mereka sendiri. Kenyataannya, Brianna sesekali
harus menyembunyikan sebongkah roti dan keju dari dapur restoran yang
dibersihkannya setiap malam dan kadang-kadang tidak punya pilihan lagi selain
harus mengais makanan di tong sampah.
Hal itu membuatnya malu. Harga diri khas Irlandia-nya
terbakar setiap kali ia memikirkan itu. Untungnya, ia juga diberkati dengan
kekeraskepalaan, yang sangat bermanfaat ketika keadaan memaksanya untuk
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan harga dirinya dan membuatnya malu.
Ia pernah mendengar orang berkata kalau tujuan menghalalkan caranya. Dalam
kasus Brianna, tujuannya memastikan gizi Daphne terpenuhi, menghalalkan
cara-cara yang dilakukannya, yang terkadang membuatnya terpuruk. Sampai keadaan
mereka membaik, tidak ada ruang untuk merasa gengsi di dalam hidupnya. Ada
bagian dari kepribadiannya yang harus dikuburnya jauh-jauh di dalam dirinya.
Daphne harus makan, dan anak itu tidak memiliki siapa pun di dunia ini kecuali
dirinya.
Briana kadang-kadang bertanya-tanya apakah dari ayah atau
ibunya ia mewarisi kepribadiannya yang kuat. Menurut para biarawati yang
mengasuhnya, mereka berdua sama-sama orang Irlandia, dan rupanya melarat,
karena orang tuanya telah meninggalkan kedua putri mereka yang masih bayi di
pintu panti asuhan hanya dengan selembar surat yang memberitahu para suster
nama depan dan nama keluarga mereka. Selain itu, Brianna tidak tahu apa-apa
tentang orang tua ataupun asal-usulnya. Saudara kembar identiknya, Moira,
memiliki sifat yang rendah hati dan penurut, memberi alasan baginya untuk
merasa yakin kalau salah satu orang tua mereka berkemauan keras sementara yang
lainnya kemungkinan penurut.
Atau mungkin hidup itu sendirilah yang telah membentuk
dirinya menjadi orang yang keras kepala seperti saat ini. Tumbuh besar di
sebuah panti asuhan telah membuatnya merasa tidak penting. Ia hanya salah satu
dari sekumpulan anak yang ada di sana, seperti anak dari ayam petelur yang
meletakkan telur-telurnya di kandang. Para suster itu menyayanginya, tapi
perhatian mereka terbagi ke mana-mana. Hanya kebulatan tekad dan kepribadian
kuat yang membuat dirinya menonjol. Hingga hari ini, ia bisa ingat bagaimana ia
ingin sekali agar suster favoritnya, Suster Theresa, menyadari kehadirannya.
Mungkin keinginan itulah yang mendorongnya menjadi lebih berani. Teguran keras
dari suster mungil yang manis itu terasa lebih baik ketimbang tidak ada perhatian
khusus dari sang suster sama sekali.
Kening Brianna berkerut dengan serius ketika ia memasang
bagian lengan ke lubang tangan baju itu. Dari Suster Theresa-lah ia pertama
kali mendengar peribahasa, “Kesombongan membawa kehancuran.” Ketika masih kecil
peribahasa itu tak lebih dari sekadar kata-kata baginya. Butuh pengalaman pahit
bertahun-tahun untuk mengajarinya arti dari kata-kata itu.
Well, ia telah
belajar, dan peristiwa-peristiwa itu dipicu oleh tindakannya yang sembrono pada
usia delapan belas tahun, yang akan menghantuinya sepanjang hidup. Air mata
penyesalan menyengat mata Brianna kapan pun ia ingat saat-saat itu, karena
Moira-lah yang harus membayar harga kesembronoannya, Moira-lah yang hancur.
Nasi sudah menjadi
bubur, dan tidak ada gunanya lagi menangisinya. Sudah lebih dari enam tahun
Moira meninggal dunia, dan waktu untuk berduka sudah lewat. Sekarang yang bisa
dilakukannya hanyalah menepati janjinya untuk membesarkan putri Moira sebagai
anaknya sendiri. Ia tidak bisa melakukan itu dengan sempurna, tapi paling tidak
ia telah cukup berhasil. Bahkan Dapne tidak tahu kalau ia bukan ibu kandung
anak itu, dan kecuali ia membiarkan dirinya untuk berkubang di masa lalu, ia
sendiri jarang mengingat fakta tersebut. Baginya, Daphne adalah putrinya.
Terdengar suara kaki seseorang berlari di serambi kayu yang
ada di luar. Lalu, seakan-akan pikiran Brianna bisa mewujud nyata, Daphne
melesat masuk ke dalam toko. Brianna tidak perlu melihat untuk tahu kalau itu
adalah Daphne. Tidak ada orang dewasa yang membuat keributan seperti itu,
dengan membanting pintu dan membunyikan lonceng. Sambil menahan senyum, Brianna
berbalik, menyingkirkan tirai yang memisahkan ruang kerjanya dari bagian utama
toko dan melemparkan tatapan menegur pada putrinya, yang sekarang menambah
keributan dengan membanting pintu hingga tertutup.
“Jangan berisik! Kau tahu bagaimana marahnya Miss Martin
kalau kau membuat keributan!”
Dengan wajah memerah akibat berlari di udara dingin, bocah
enam tahun itu melompat-lompat melintasi lantai kayu, rambut ikal emasnya
bergoyang di atas bahu. Terkadang Briana bertanya-tanya dari mana anak itu
mendapatkan penampilannya yang seperti malaikat. Dari laki-laki yang telah
memerkosa Moira, tebak Brianna, karena baik Moira maupun dirinya tidak pernah memiliki
rambut pirang, bahkan ketika mereka masih bayi. Bukannya hijau, mata Daphne
berwarna biru. Hanya alis yang melengkung dengan sempurna, yang begitu mirip
dengan alis Brianna, yang menandakan anak itu adalah seorang O’Keefe. Saat ini
Daphne bergeser dari satu kaki ke kaki lain dengan heboh sambil melambaikan
sebuah amplop tebal ke bawah hidung Brianna.
“Ini dari Papa!” seru Daphne. “Lihat, Mama! Dia mengirimkan
banyak sekali uang! Aku hanya meminta satu baju baru, tapi uang ini cukup untuk
ratusan!”
Papa?
Merasa bingung, Brianna mengambil amplop itu dari tangan
putrinya. Bulu kuduknya berdiri ketika membaca alamat pengirim, ditulis dengan
tulisan tangan yang tegas dan maskulin: Marshal
David Paxton, No Name, Colorado.
Tidak mungkin. David Paxton tidak nyata. Brianna mengarang
sosok itu bertahun-tahun yang lalu di Boston, dan setelahnya ia menjadikan
sosok itu sebagai suaminya serta ayah anaknya. Pria itu bukan manusia nyata,
hanya seorang laki-laki yang dikarangnya agar ia bisa mendapatkan rasa hormat
dalam sebuah dunia yang mengucilkan wanita yang melahirkan anak tanpa ikatan
pernikahan.
“Lihat, Mama!” Daphne berseru. “Dia mengirimkan banyaaaak
sekali uang! Bahkan mungkin cukup untuk,” anak itu menelan ludah sebelum
menyuarakan keinginannya yang paling dalam, “sepatu juga?”
Masih gemetar akibat terguncang, Brianna kembali menyuruh
Daphne agar diam dan membuka amplop itu untuk melihat uang di dalamnya. Oh, Tuhan. Dalam dua puluh enam tahun
hidupnya, hanya satu kali ia pernah melihat uang sebanyak ini, setelah ia
berhenti bekerja pada Charles Ricker dan mengosongkan tabungannya selama lima
tahun untuk menyewa kamar loteng di rumah sewaan, membeli selimut untuk tempat
tidur, serta makanan Daphne. Brianna menarik uang itu dari amplop dan
memandangnya dengan takjub. Pandangan sekilas memberitahunya kalau paling tidak
ada seratus dolar di situ, bahkan mungkin lebih.
Dengan tidak percaya, Brianna memandang wajah Daphne yang
berbinar-binar. Selama sedetik, ia ingin memekik gembira dan melompat-lompat di
lantai bersama putrinya. Lalu logika memadamkan dorongan itu, merasuk ke dalam
pikirannya seperti air dingin dan memberinya firasat buruk. Suaminya, David
Paxton, jelas-jelas tidak nyata, dan imajinasi tentu tentu tidak bisa
mengirimkan sebuah amplop atau mengisinya dengan uang. David Paxton, suami
palsunya, tiba-tiba menjelma menjadi nyata. Ini bukan manna yang turun dari surga, tapi sebuah bencana. Bagaimana kalau
pria ini muncul di Glory Ridge?
“Mama?” Daphne memandang Brianna dengan mata biru yang cemas.
“Ada apa? Kau tidak senang dia mengirim uang untuk kita?”
Brianna memeriksa amplop itu, berharap menemukan surat yang
menyertai uang itu, sesuatu–apa pun–untuk menjelaskan perubahan keadaan yang
tiba-tiba ini. Selama lebih dari enam tahun, ia telah berulang kali menulis
surat kepada David Paxton di Denver dibawah tekanan dari majikannya dan tidak
pernah menerima jawaban satu kali pun, sehingga ia menjadi percaya diri kalau
tidak ada laki-laki dengan nama David Paxton bermukim di kota itu atau di daerah
sekitarnya. Tidak perlu cemas.
Pernikahan karangannya aman-aman saja. Tidak ada yang pernah membalas suratnya,
yang atas desakan bosnya, berisikan permohonan agar pria itu membantunya. Ia
dan Daphne aman, status sosial mereka dilindungi oleh kedok pernikahan sah yang
rapuh. Di tangan kirinya, Brianna memakai sebuah cincin emas sederhana, yang
dibelinya dari toko gadis di Boston, yang memungkinkannya untuk berperan
sebagai wanita menikah yang bisa melamar pekerjaan di Barat. Ketika itu ia
tidak bisa menemukan pekerjaan di Boston –well,
hampir tidak ada, dan pekerjaan yang tersedia lebih baik dilupakan– dan Daphne
yang masih bayi membutuhkan penjagaan 24 jam sehari. Brianna sangat membutuhkan
pekerjaan di mana ia bisa membawa bayi itu bersamanya selama ia bekerja.
Iklan Charles Ricker di Boston
Herald telah menyelamatkannya. Masih terguncang akibat kematian istrinya,
peternak itu membutuhkan seorang tukang masak, penjaga rumah, dan guru bagi
putranya, lebih disukai seorang janda, dengan atau tanpa anak, Brianna telah
belajar dengan cara yang keras kalau seorang wanita yang tidak memiliki
perlindungan dari laki-laki seringkali menjadi korban laki-laki lain, jadi ia
memutuskan akan lebih aman baginya untuk menggambarkan dirinya sebagai wanita
dengan suami yang hidup terpisah namun memiliki kemungkinan akan muncul
kembali. Jadi, karena itulah David Paxton diciptakan. Brianna menulis surat
kepada Charles Ricker, mengarang cerita yang masih diulanginya sekarang. Ricker
menganggap kualifikasinya yang dilebih-lebihkan memuskan dan mengirimkan biaya
perjalanan untuknya dan putrinya.
Brianna tidak pernah berusaha untuk mengingat bulan-bulan
pertama yang penuh bencana itu ketika ketidaktahuannya tentang memasak dan
hewan ternak telah menjadi siksaan yang hampir membuatnya kehilangan pekerjaan.
Untungnya, keahlian mengajarnya bukan bohongan dan jauh di atas rata-rata. Pada
akhirnya Ricker menerima kalau penjaga rumahnya tidak akan pernah menghangatkan
tempat tidurnya, dan secara umum, pria itu puas dengan pekerjaan Brianna.
Tahun-tahun berlalu dengan menyenangkan hingga Ricker bertemu dengan seorang wanita yang
hendak dinikahinya. Dengan anak-anak lelakinya yang sudah semakin besar, tenaga
Brianna terasa berlebihan.
Sekarang, di sinilah ia duduk, dengan bodoh memandang amplop
yang mengancam akan menghancurkan hidup yang telah dibangunnya di Glory Ridge.
David Paxton benar-benar ada.
Kepanikan berkumpul di dalam dirinya. “Wah, ini uang yang banyak sekali,
Sayang. Kau akan mendapatkan beberapa baju baru dan sepatu baru juga. Rupanya
ayahmu telah menemukan emas yang besar!”
Wajah Daphne berseri bahagia. “Dan dia ingat aku, Mama! Kau
selalu mengatakan bagaimana dia sangat mencintai kita berdua. Tapi terkadang
aku bertanya-tanya. Sungguh, aku tidak bohong. Tapi ini membuktikan kalau aku
salah.”
Dada Brianna sakit. Ia cemas mengetahui Daphne merasa tidak
dicintai oleh sang ayah, karena apabila setiap anak di dunia berhak untuk
merasa dicintai, Daphne juga berhak. Itulah masalahnya dengan ayah palsu.
Mereka tidak bisa menunjukkan kasih sayang mereka, karena mereka tidak ada.
Hal itu membawa kembali pikiran Brianna pada tumpukan tebal
sertifikat perak (mata uang berbentuk kertas yang setara dan dapat ditukar
dengan perak sesuai dengan nilai yang tercantun) di telapak tangannya. Dengan
gerakan ibujarinya, ia menemukan tiga sertifikat bernilai sepuluh dolar,
beberapa pecahan lima dan satu dolar, serta empat lembar dua puluh dolar. Kalau
uang itu berasal dari ayah Daphne yang sesungguhnya, Brianna akan merasa uang
itu terlalu sedikit dan sangat terlambat, tapi ayah biologis Daphne, Stanley
Romanik, anak manja dari seorang petani kaya, berada di Boston. Tujuh tahun
yang lalu, pria itu telah memerkosa adiknya, Moira, di rumah kaca biara,
menolak untuk bertanggung jawab atas kehamilan itu, dan pergi begitu saja.
“Mama, apakah uangnya cukup untuk membeli bajumu juga?
Baju-baju yang kau pakai sudah sempit, dan salah satunya sering sobek.”
Brianna menarik Daphne dan memeluknya dengan erat. Berapa
banyak anak enam tahun, yang hidup melarat seperti Daphne, akan berpikir untuk
membagi uang yang dikirim hanya untuknya? Brianna tidak bermaksud menggunakan
satu sen pun dari berkah itu untuk dirinya sendiri. Daphne akan membutuhkan
baju-baju baru dan sepatu baru yang bagus, tapi sisanya akan disimpan untuk
memastikan anak itu memiliki atap di atas kepalanya dan makanan di perutnya
selama beberapa bulan ke depan. Sementara untuk David Paxton –well, tidak perlu dikhawatirkan
sekarang. Brianna tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan keterkejutan atau
ketidakpercayaannya dalam raut wajah maupun tidakannya.
“Apa menurutmu tak lama lagi dia akan datang menemui kita?”
tanya Daphne.
“Aku meragukan itu, Sayang. Sebongkah emas tidak menjadikan
seseorang kaya. Walaupun begitu, dia baik sekali karena membagi hasil temuannya
denganmu.”
“Juga denganmu!”
Brianna langsung berhenti menggelengkan kepalanya. Ia tidak
boleh mengungkapkan kepada Daphne kalau cerita yang mulai dipercayai anak yang
cerdas itu adalah kebohongan. “Juga denganku. Tentu saja, denganku! Bagaimanapun juga aku ini istrinya.”
“Dan dia sangat mencintai kita berdua. Selama ini kau benar,
Mama. Dia hanya sedang bekerja dengan sangat keras untuk menemukan emas
sehingga tidak punya waktu untuk menulis surat atau datang ke sini menemui
kita!”
“Ya,” Brianna setuju, tanpa banyak pilihan lain. Ia sudah
berusaha untuk membuat Daphne percaya kalau anak itu adalah orang yang baik,
dan kelihatannya ia berhasil. Brianna memasukkan kembali sertifikat itu ke
dalam amplop. “Boleh aku yang menyimpannya?”
Daphne mengangguk lalu berputar-putar dalam pakaiannya yang
lusuh dan penuh tambalan. “Mama, tak lama lagi aku akan terlihat seperti
anak-anak perempuan lainnya! Mungkin Hester dan Hope tidak akan mengejekku
lagi. Mungkin mereka bahkan akan membiarkanku bermain dengan mereka. Bagaimana
menurutmu?”
Kalau Brianna mendapat kesempatan, baju baru Daphne akan
mengalahkan semua yang dipakai teman-teman sekelasnya. “Kau bahkan akan
terlihat lebih baik dari mereka, dan aku yakin mereka akan membiarkanmu bermain
dengan mereka.” Brianna memasukkan amplop itu ke dalam saku roknya dan
mengarahkan Daphne ke bagian depan toko untuk melihat-lihat kain. Daphne sedang
mengagumi kain merah muda yang indah bermotif bunga mawar ketika suara kasar
Abigail menginterupsi mereka.
“Ya ampun, apa yang sedang terjadi di sini?” Sambil
memandang pedas pada Brianna, Abigail mencolek lapisan debu khayalan di kotak
kaca yang berisikan berbagai pita dan pernak pernik. “Aku membayarmu dengan
mahal untuk bekerja, dan waktu yang
terbuang akan dicatat ketika aku menghitung gajimu! Saat kau tidak sedang
menjahit, kau seharusnya membersihkan toko.”
“Maafkan amu Ma’am.” Brianna berusaha terdengar rendah hati.
“Papa Daphne mengirim uang kepadanya untuk membeli pakaian, dan kami sedang
memilih kain. Tentu saja aku berniat untuk membeli di sini, dari pada pergi ke
tempat lain.”
Walaupun Daphne tiba-tiba berubah menjadi seorang pembeli,
Abigail mengerutkan hidungnya dengan jijik. Pada usia empatpuluhan, Abigail
adalah wanita yang getir, lebih tawar daripada roti tawar, dengan rambut pirang
pucat yang disisir ke belakang membentuk sanggul dan warna kulit pucat yang
diimbangi hanya dengan mata sewarna kismis yang berkilau. Mata itu kecil dan
selalu siaga, mengingatkan Brianna pada seekor burung pemangsa yang memburu
hewan tak berdaya dengan gigitan paruhnya. Dalam usaha untuk mencerahkan
penampilan, Abigail mengenakan pakaian berwarna cerah yang semakin menonjolkan
kulit pucatnya. Ketika para lelaki memasuki toko, ia melayani mereka dengan
sebaik-baiknya, berharap mata mereka akan memandangnya. Kalau saja wanita itu
lebih ramah, Brianna mungkin sudah akan memberi saran bagaimana caranya
menonjolkan wajahnya, tapi Brianna tidak merasakan keinginan itu. Kesendirian
yang didapatkan Abigail dari sifatnya yang kasar itu merupakan hasil yang
pantas diterimanya.
“Kau akan bekerja lembur untuk membayar kemalasanmu.” Abigail melebih-lebihkan kata terakhirnya. “Kalau kau
tidak melakukannya, aku akan ingat saat aku menghitung gajimu hari senin
nanti.”
Rasa lelah membebani bahu Brianna, tapi ia berdiri tegak
walaupun tahu harus membayar pelanggarannya selama lima menit dengan satu jam
bekerja tanpa bayaran. “Tentu saja, tapi tolong diingat kalau aku baru sebentar
meninggalkan tempat dudukku.”
“Omong kosong.” Abigail menggoyang-goyang kan jari
telunjuknya yang kurus. “Kau tidak akan bisa membohongiku, Mrs Paxton! Aku tahu
berapa lama kau sudah bermalas-malasan.”
“Begini, Ma’am.” Brianna hampir tersedak mengucapkan
kata-kata itu. “Aku hanya meminta agar kau ingat kalau aku jarang meninggalkan
pekerjaanku, dan hari ini pelanggaranku hanya lima menit, tidak lebih.”
Dengan postur tubuh tegak, Abigail mendengus jijik, lalu
berbalik dan menghilang ke dalam ruangannya, di mana ia seharusnya bekerja.
Tapi Brianna tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dinding-dinding di tempat itu
tipis, dan ia jarang mendengar mesin jahit majikannya digunakan. Ia tidak tahu
apa yang dilakukan Abigail sepanjang sore dan malam sementara ia sendiri
menjahit gaun-gaun yang dijual dengan harga mahal oleh wanita itu. Mungkin,
seperti dirinya, Abigail menyukai novel picisan. Tuhan tahu wanita itu bisa
membeli novel sebanyak apa pun yang diinginkannya. Kesempatan Brianna untuk
membaca terbatas pada saat-saat langka ketika ia tidak sedang bekerja. Beberapa
wanita di kota meminjaminya buku ketika mereka sudah selesai membacanya.
Dibesarkan untuk menghargai karya sastra bermutu, awalnya Brianna mencemooh
penggambaran berlebihan tentang Wild West yang ada di dalam novel-novel picisan
itu. Tapi, setelah beberapa lama, ia haus akan bacaan bermutu dan menjadi tak
sabar menunggu buku apa pun, baik itu fiksi ataupun non-fiksi. Yang paling
disukainya adalah kisah tentang Ace Keegan, jago tembak terkenal yang pernah
membunuh tiga orang dengan satu peluru.
“Maafkan aku, bisik Daphne setelah Abigail meninggalkan
mereka dengan penuh amarah. “Sekarang dia akan membuatmu bekerja lebih lama
tanpa dibayar. Aku tahu dia tidak pernah adil saat menghitung gajimu.”
Brianna membungkuk untuk memeluk putrinya. “Yah, dia memang tidak
pernah adil, jadi lebih baik kita menikmati waktu ini! Ada banyak sekali kain
yang bisa Anda pilih, Nona Muda.”
Daphne menyeringai, memperlihatkan celah bekas dua gigi
depannya yang tanggal. “Aku suka yang ini!” serunya, kembali ke kain merah muda
bermotif bunga.
“Itu pilihan yang bagus.” Brianna mengembalikan perhatian
Daphne pada kain biru tua dengan motif polkadot putih. Kain itu akan
menghasilkan baju yang sangat cantik dengan potongan yang tepat, mungkin ia
akan memasang bis di tepiannya, dengan sedikit renda. “Dan kau tidak boleh lupa
kalau kau sangat membutuhkan mantel musim dingin dan sarung tangan.”
Wajah Daphne berseri-seri. “Aku harus menulis surat untuk
mengucapkan terima kasih kepada Papa!”
“Betul sekali. Pergilah ke kamar kita untuk mengambil
alat-alat tulisku.”
Setelah anak itu berlari keluar dari toko, Brianna sempat
berpikir untuk mengembalikan uang itu kepada si pengirim, tapi membayangkan
wajah kecewa Daphne, dengan cepat ia mengenyahkan pikiran itu. Uang ini adalah
kiriman Tuhan, dan sekarang hati Daphne sudah tertambat pada pakaian baru yang
tak bisa dibelikan oleh ibunya. Pria itu tidak akan mungkin mengirimkan uang
sebanyak itu kalau hidupnya sendiri kekurangan. Jadi, dalam surat terpisah,
yang ditulis sembunyi-sembunyi, Brianna akan berterima kasih kepada Mr. Paxton
atas kebaikan pria itu dan meminta maaf atas kesalahpahaman ini. Ia akan
menjelskan kalau ayah Daphne adalah seorang penambang emas di Denver, bukan
seorang marshal. Kemudian ia akan
menambahkan kalau ia tidak akan menerima kiriman uang lagi serta menunjukkan
niatnya untuk menyimpan alamat Mr. Paxton dan membayar kembali uang tersebut
beserta bunganya, ketika kondisi keuangannya membaik. Pasti itu sudah cukup
untuk menjelaskan situasinya kepada pria itu.
***
Berjam-jam kemudian, Brianna masih membungkuk di atas mesin
jahit Singer-nya, permukaannya yang hitam mengilap dengan tepian emas terlihat
kabur ketika ia memusatkan matanya yang panas pada pakaian sutra biru yang
sedang dijahitnya. Cahaya dari lentera yang mendesis tidak cukup terang dan
pelipisnya berdenyut-denyut. Besok sore dan malam, ia akan menghabiskan waktu
untuk menjahit gaun merah dan biru, dan di penghujung malam, ketika ia berlari
ke restoran untuk melakukan pekerjaannya membersihkan tempat itu, jarinya akan
pedih akibat mendorong ujung jarum yang tumpul karena Abigail terlalu pelit
untuk membeli bidal.
Oh Tuhan, membersihkan
restoran. Brianna hampir mengerang, karena ia masih harus mengerjakan itu
sebelum bisa menjatuhkan badannya ke atas kasur sempit di kamar loteng yang
mereka sebut rumah. Saat ini, Daphne sudah pulas di atas tempat tidur yang
diletakkan di dekat kursi Brianna, dan akan tetap berada di sana selama Brianna
membersihkan dapur restoran satu-satunya di Glory Ridge. Ketika tugas itu sudah
selesai, Brianna akan kembali untuk menjemput putrinya dan berjalan
terhuyung-huyung sambil menggendong anak itu ke gubuk mereka yang sederhana,
yang hampir tidak cukup untuk menampung sebuah tempat tidur sempit dan mencuci
muka.
Andai saja ia benar-benar memiliki suami, pikir Brianna.
Mungkin ia tak lagi harus membanting tulang seperti ini. Sayangnya, bahkan
kalau ia “membunuh” suami bohongannya, tak banyak laki-laki yang mencari
seorang janda muda dengan anak di Glory Ridge. Selain itu, ia sudah cukup
berurusan dengan laki-laki, bukan hanya di Boston ketika ia berjuang untuk
menghidupi anaknya yang masih bayi, tapi juga di sini, di Glory Ridge. Charles
Ricker telah berusaha mendekatinya dengan paksa lebih dari sekali, dan sekarang
ia diganggu hampir setiap malam oleh si pemilik restoran yang sudah tua, yang
masih beristri tapi masih berniat untuk mencari yang baru.
Ia lebih baik sendiri saja, bahkan kalau impiannya untuk
membuka toko pakaian miliknya sendiri tidak pernah terwujud, yang kemungkinannya
memang sangat kecil. Sejak meninggalkan kediaman Ricker, ia belum berhasil
menyimpan uangnya sedikit pun untuk mewujudkan cita-citanya yang ambisius itu.
Seperti sirup yang terlalu lama mendidih, hidupnya telah berubah menjadi cairan
kental dan lengket yang menempel ke kakinya yang lelah. Ia tidak melihat jalan
keluar. Sekeras apa pun ia bekerja, ia tidak akan pernah menghasilkan uang yang
cukup untuk disisihkan. Dan dengan Daphne yang semakin besar dengan kebutuhan
yang semakin banyak, keadaan akan semakin buruk. Bagaimanapun juga, ia tidak
bisa mengharapkan amplop berisi uang seperti ini akan datang terus menerus.
Mungkin hanya inilah
yang bisa kau dapatkan. Kau mungkin akan menghabiskan seluruh hidupmu bekerja
untuk Abigail, membuat dompetnya semakin tebal, dan bukannya dompetmu sendiri.
Diri Brianna memberontak, tapi sisi praktisnya membuatnya dengan cepat berpikir
jernih lagi. Andai saja ia sanggup membayar biaya langgangan surat kabar dari
kota besar, ia mungkin akan bisa mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga rumah di
tempat lain. Sayangnya, walau sekarang ia bisa menyisihkan beberapa uang receh
untuk membeli koran edisi baru, tak ada lowongan yang tersedia di Glory Ridge.
Sementara koran lokal yang terbit mingguan, tak punya ruang untuk iklan.
Daphne mengerang dan bergerak di dalam tidurnya, berbisik, “Papa.”
Kata itu menyengat Brianna. Ia masih menggigil ketika mengingat amplop yang
berisi uang itu. Setelah bertahun-tahun menulis surat dan tidak menerima
balasan, ia hampir tak bisa percaya kalau David Paxton benar-benar ada. Pikiran
itu membuat punggungnya tegang. Ia tidak bisa membiarkan pikirannya kacau dan
berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Di dalam kepalanya, Brianna mendengar
suara lembut Suster Theresa dari masa kecilnya. Semua akan baik-baik saja. Doakan hal itu, percayalah, dan semua akan
baik-baik saja.
Brianna berhenti menjahit untuk menarik napas dalam-dalam.
Ketika ketenangan memenuhinya, ia bisa berpikir dengan lebih jelas. Ya, David
Paxton telah mengirim uang dalam jumlah yang lumayan banyak, tapi pria itu
tidak menyertakan pean sama sekali. Kemungkinan besar surat-suratnya sampai ke
pria itu secara tidak sengaja, dan setelah membaca surat-surat Daphne, David
Paxton merasa kasihan pada anak itu, sehingga memberikan hadiah yang murah
hati. Tidak berarti pria itu percaya kalau Daphne adalah putrinya dan akan
datang ke Glory Ridge. Brianna belum pernah menginjakkan kaki di Denver, bahkan
tidak pernah mengunjungi kota mana pun yang ada di sekitarnya, dan belum pernah
bertemu dengan laki-laki mana pun yang bernama David Paxton. Bisa dipastikan kalau
David Paxton tahu kalau dirinya bukanlah ayah Daphne.
Brianna beranjak dari kursi untuk meregangkan punggungnya
sebentar dan memutari toko yang gelap. Ia berhenti di dekat tiga gulungan kain
yang telah dipilih Daphne untuk baju baru anak itu. Sambil mengelus kain itu,
Brianna tersenyum lembut dan menyuruh dirinya untuk berhenti memusingkan
kemungkinan yang tidak pernah akan terjadi. Kecuali sudah gila, David Paxton
tidak akan pernah mengunjungi Glory Ridge. Untuk alasan apa? Untuk mengklaim
istri dan anak orang lain? Tidak ada pria waras yang akan melakukan hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar