Sang
ratu dan para dayang-dayangnya sedang bersukaria menikmati Beltane di sebuah
desa di pedalaman Highland. Melihat Aoibheal, peri miliknya sedang menari dan
menggoda para manusia Highlander membuat sang raja yang sebelumnya cemburu kini
menjadi berkobar amarahnya. Ia akan melarikan diri dari nyala api Beltane
sebelum ia tunduk pada hasrat untuk memusnahkan seisi desa. Amarahnya yang
terlalu besar membuatnya khawatir membiarkan dirinya sendiri berada di tengah-tengah
mereka saat ini. Amarahnya berkobar lagi membayangkan Ratunya berduaan bersama
pria manusia.
Sebagaimana
Ratu Peri memiliki dayang-dayang kesayangan di antara dayang-dayangnya yang
lain, Raja peri pun demikian; sang pelawak kerajaan sudah lama ia jadikan teman
minum dan bermain kartu. Sang Raja akan mengirim temannya itu untuk mempelajari
manusia yang bernama Hawk, mengumpulkan informasi agar ia mampu menyusun
pembalasan untuk manusia yang lancang melanggar masuk kawasan peri.
“Kejantanannya
saat separuh tegang mampu membuat iri seekor kuda jantan... ia bisa merenggut
sukma seorang wanita.” Raja Finnbhearea mengolok-olok menirukan kalimat Ratunya
dengan suara tinggi, lalu meludah dengan jijik.
“Sayangnya,
itu semua benar,” sang pelawak berkata dengan datar saat ia muncul di bawah
bayangan sebatang pohon Rowan.
“Sungguh?”
Raja Finbheara meringis. Ia sudah meyakinkan diri sendiri bahwa Aoibheal
sedikit melebih-lebihkan –lelaki itu hanya manusia biasa.
Sang
pelawak merengut. “Aku menghabiskan tiga hari di Edinburgh. Lelaki itu
melegenda di sana. Para wanita memujanya. Mereka mengucapkan namanya seperti
mantera untuk memperoleh kenikmatan abadi.”
“Kau
melihatnya? Dengan matamu sendiri? Apakah ia rupawan?” sang Raja cepat-cepat
bertanya.
Sang
pelawak mengangguk dan mulutnya mencemooh dengan pahit. “Ia tanpa cela. Ia
lebih tinggi dariku-“
“Tinggimu
sudah lebih dari seratus delapan puluh sentimeter dalam pakaian itu!” seru sang
Raja.
“Ia
sedikit lebih tinggi lagi. Ia berambut hitam panjang yang diikat ke belakang;
mata hitam yang tajam; bertubuh sempurna seperti dewa dan berotot seperti
prajurit Viking. Menjijikan sekali.
Bolehkan aku menyiksanya, Yang Mulia? Merusak wajahnya yang sempurna?”
Raja
Finnbheara memikirkan sejenak informasi ini. Ia merasa mual membayangkan
manusia kotor ini menyentuh kulit Ratunya yang halus, memberinya kepuasan tiada
tara. Merenggut sukmanya.
“Aku
akan membunuhnya untuk Tuanku,” sang pelawak menawarkan dengan penuh harap.
Raja
Finnbheara mengibaskan tangannya dengan tak sabar. “Bodoh! Dan melanggar
perjanjian antara manusia dan peri? Tidak. Pasti ada cara lain.”
Sang
pelawak mengangkat bahu. “Mungkin kita diam saja. Hawk pasti akan celaka di
tangan jenisnya sendiri.”
“Coba
ceritakan,” Finnbheara memerintah, rasa ingin tahunya terusik.
“Aku
menemukan informasi bahwa Hawk akan dinikahkan dalam beberapa hari. Ia
dipertunangkan atas surat keputusan raja manusianya. Kehancuran akan
menimpanya. Sebab, Yang Mulia, Raja James telah memerintahkan Hawk untuk
menikahi seorang wanita bernama Janet Comyn. Rajanya sudah memastikan bahwa
jika Hawk tidak menikahi wanita ini, ia akan menghancurkan seluruh keluarga
Douglas dan Comyn.”
“Lalu?
Apa maksudmu?” Finnbheara bertanya dengan tak sabar.
“Janet
Comyn sudah mati. Ia meninggal dunia hari ini.”
Seketika
Finnbheara menjadi kaku. “Apakah kau menyakitinya, bodo?”
“Tidak,
Tuanku!” sang pelawak menatapnya dengan tatapan terluka. “Ia tewas di tangan
ayahnya. Menaruh ide di kepala ayahnya sama saja dengan menaruh kunci menara
kurungan di kantong ayahnya.”
“Jadi
apa itu berarti kau menaruh ide di kepalanya?” sang Raja bertanya dengan
curiga.
“Ayolah,
Tuanku,” sang pelawak cemberut, “Menurut Paduka mungkinkah aku melakukan tipu
muslihat seperti itu dan membahayakan kita semua?”
Finnbheara
menaruh jemari di keningnya dan mengamati sang pelawak. Seberapa tak bisa
ditebak, licik dan sembrononya, sang pelawak ini belum pernah cukup bodoh untuk
membahayakan bangsa mereka. “Teruskan.”
Sang
pelawak memiringkan kepalanya dan senyumnya terkembang di redupnya cahaya.
“Mudah saja. Pernikahannya tak akan terjadi. Raja James akan menghancurkan
keluarga Douglas. Oh, dan juga keluarga Comyn,” ia buru-buru menambahkan.
“Ah!”
Finnbheara termenung sejenak. Ia bahkan tak perlu mengangkat satu jaripun dan
Hawk akan segera mati.
Tapi
itu tak cukup, amarahnya bangkit. Finnbheara menginginkan campur tangannya
dalam kehancuran Hawk. Ia sudah dihina secara pribadi, dan ia menginginkan
pembalasan yang juga pribadi. Tak ada seorang manusia pun yang bisa menjadikan Raja
Dunia Peri sebagai seorang lelaki yang diselingkuhi istrinya, tanpa adanya
pembalasan yang setimpal –dan betapa setimpalnya jika ia bisa merasakan
bagaimana menghancurkan Hawk.
Binar-binar
ide mulai terbentuk di benaknya. Sambil terus memikirkan hal itu, Raja
Finnbheara merasa lebih hidup dibandingkan berabad-abad lamanya.
Sang
pelawak melihat senyum congkak yang menghias bibir sang Raja.
“Paduka
sedang memikirkan sesuatu yang licik. Apa rencana Paduka?” sang pelawak
bertanya.
“Diam,’
Raja Finnbheara menukas. Ia mengusap rahangnya sambil memikirkan
pilihan-pilihan yang ia miliki, dengan hati-hati mempermulus rencananya.
Jika
banyak waktu terbuang sementara Finnbheara menimbang-nimbang rencananya, tak
ada peri yang menyadarinya; waktu tak berarti apa-apa bagi bangsa peri yang
dengan bebas berpindah-pindah di dalamnya sesuka hati. Cahaya mentari fajar
membersit di atas laut saat sang Raja berbicara lagi:
“Apakah
Hawk pernah mencintai?”
“Mencintai?”
sang pelawak mengulangi kata itu dengan kosong.
“Kau
tahu, emosi yang membuat manusia menggubah soneta, berperang, mendirikan
monumen,” sang raja berkata sinis. Sang pelawak berpikir sejenak. “Menurutku
tidak, Yang Mulia. Hawk tak pernah gagal memikat wanita, tapi ia juga tak
pernah terlihat lebih menyukai seorang wanita lebih dari yang lain.”
“Tak
ada wanita yang pernah menolaknya?” Raja Finnbheara bertanya dengan ragu.
“Setahuku
tak ada. Menurutku tak ada wanita yang hidup di abad ke-enambelas ini yang bisa menolaknya. Lelaki itu legenda.
Para wanita takluk dihadapannya.”
Sang
Raja tersenyum licik. “Aku punya tugas lain untukmu.”
“Katakan
saja, yang Mulia. Biarkan aku membunuhnya.”
“Tidak!
Tak akan ada darah yang tumpah oleh tangan kita. Dengar baik-baik. Pergi
lintasi waktu. Ke masa depan – para wanita lebih mandiri dan percaya diri. Cari
seorang wanita yang menawan, anggun, cerdas, kuat; wanita yang tahu apa yang ia
inginkan. Ingat, ia harus seorang wanita yang tak akan kehilangan akal setelah
dibawa menembus waktu, ia harus bisa beradaptasi dengan kejadian aneh. Tak ada
gunanya membawa wanita itu kepada dia dalam keadaan bingung. Wanita itu harus
sedikit percaya akan sihir.”
Sang
pelawak mengangguk. “Benar sekali. Paduka ingat seorang akuntan pajak yang kita
bawa ke abad dua belas? Ia jadi gila.”
“Tepat.”
Wanita yang kau temukan harus terbiasa dengan hal-hal luar biasa sehingga ia
bisa menerima perjalanan menembus waktu tanpa menjadi kacau.” Finnbheara
merenungkan hal ini beberapa saat. “Aku tahu! Cari di Salem, di sana mereka
masih percaya tukang sihir, atau mungkin New Orleans, di sana sihir kuno masih
mendesis-desis di udara.”
“Tempat
yang sempurna!” sang pelawak menyahut.
“Tapi
hal yang paling penting, kau harus temukan wanita yang menyimpan rasa benci
pada lelaki tampan penakluk wanita; seorang wanita yang akan membuat hidup pria
manusia ini penuh penderitaan.”
Sang
pelawak tersenyum licik. “Bolehkan hamba membumbui rencana paduka?”
“Kaulah
bagian terpenting dari hal itu,” sang Raja berkata sambil berjanji licik.
***
Adrienne
de Simone menggigil, walaupun saat itu cuaca sedang hangat di sebuah malam
bulan Mei di Seattle. Ia mengenakan sweater
dan menutup pintu. Ia memandang ke luar jendela dan melihat malam mulai turun
di atas taman-taman yang terserak di balik jalan setapak.
Di
bawah cahaya yang memudar ia mengamati dinding batu yang menutupi rumahnya di
Coattail Lane nomor 93, lalu mengalihkan pengamatannya ke bayangan di bawah
pohon ek besar, mengamati gerakan yang tak biasa. Ia menarik napas panjang dan
berusaha santai. Anjing-anjing penjaga yang berpatroli di sekitar rumahnya tak
bersuara –pasti keadaan aman, ia meyakinkan dirinya sendiri.
Dengan
tegang, ia memasukkan nomor kode di tuts alarm yang menghidupkan detektor gerak
yang terpasang di sepanjang halamannya seluas setengah hektar. Segala gerakan
yang ditimbulkan oleh massa seberat lebih dari empat puluh lima kilogram dengan
tinggi lebih dari sembilan puluh sentimeter akan memicu detektor, walaupun
bunyinya tak akan mendatangkan polisi atau agen penegak hukum lainnya.
Adrienne
akan lebih dulu berlari mencapai pistolnya daripada telepon. Ia lebih suka
memanggil iblis daripada memikirkan untuk menelepon polisi. Walaupun enam bulan
telah berlalu, Adrienne masih merasa seolah ia tak berdaya untuk keluar cukup
jauh dari New Orleans, bahkan jika ia pindah menyeberangi satu atau dua
samudra, yang sebenarnya juga tak bisa ia lakukan; persentase tertangkapnya
buronan saat akan melarikan diri ke luar negeri ternyata masih sangat tinggi.
Apakah
ini benar-benar dirinya? Adrienne merenung. Ia tak habis pikir, walaupun
berbulan-bulan sudah berlalu. Bagaimana mungkin dirinya –Adrienne de Simone–
menjadi buronan? Ia selalu menjadi warganegara yang taat. Yang ia inginkan Cuma
sebuah tempat tinggal dan tempat miliknya sendiri; orang yang dicintai dan
mencintainya; keturunan kelak –anak-anak yang tak akan pernah ia tinggalkan di
panti asuhan.
Ia
menemukan semua itu pada Eberhard Darrow Garrett, warga terpandang di
lingkungan masyarakat New Orleans, atau setidaknya demikian anggapannya.
Addrienne
mendengus sambil menyapu pandangannya ke arah halaman untuk terakhir kali, lalu
menurunkan tirai menbutupi pintu. Beberapa tahun yang lalu segalanya tampak
seperti dunia yang berbeda; tempat yang indah, penuh harapan, kegembiraan dan
peluang yang melimpah.
Dengan
hanya bermodalkan jiwa bebas dari uang sebanyak tiga ratus dolar, Adrienne
Doe mengubah namanya dan meninggalkan panti asuhan pada hari ulang tahunnya yang ke delapan belas. Ia senang menemukan pinjaman studi yang bisa diajukan oleh siapa pun, bahkan oleh seorang penghuni panti asuhan. Ia berniat mencari kerja sebagai pelayan restoran, lalu mendaftar kuliah, demi menjadikan dirinya seorang yang berarti. Apa persisnya, ia belum yakin saat itu, tapi ia selalu berfirasat bahwa sesuatu yang istimewa akan siap menimpanya.
Doe mengubah namanya dan meninggalkan panti asuhan pada hari ulang tahunnya yang ke delapan belas. Ia senang menemukan pinjaman studi yang bisa diajukan oleh siapa pun, bahkan oleh seorang penghuni panti asuhan. Ia berniat mencari kerja sebagai pelayan restoran, lalu mendaftar kuliah, demi menjadikan dirinya seorang yang berarti. Apa persisnya, ia belum yakin saat itu, tapi ia selalu berfirasat bahwa sesuatu yang istimewa akan siap menimpanya.
Ia
berumur dua puluh tahun, baru saja menjadi mahasiswa baru di universitas, saat
hal istimewa itu terjadi. Ia sedang bekerja di sebuah restoran dan bar elegan
bernama Blind Lemon, saat ia berhasil mendapatkan perhatian, rasa cinta dan
cincin pertunangan dari Eberhard Darrow Garrett yang tampan dan kaya raya.
Semua itu bagaikan kisah dongeng. Berbulan-bulan ia seakan-akan berjalan di
atas awan.
Kemudian
awan yang ia jalani meleleh dari bawah kakinya, ia menolak untuk melihat lebih
teliti, menolak untuk menyadari bahwa pangeran dari negeri dongeng miliknya
mungkin adalah pangeran dari dunia kegelapan.
Addrienne
memejamkan matanya erat-erat berharap ia bisa menghilangkan kenangan buruk
selamanya. Betapa tololnya ia! Betapa banyak alasan yang ia ciptakan –untuk
Eberhard, juga untuk dirinya sendiri– hingga akhirnya ia terpaksa melarikan
diri.
Suara
kucing lirih menyentaknya kembali ke alam nyata dan ia tersenyum pada
satu-satunya hal terindah dari semua yang ada saat ini, kucingnya, Moonshadow,
yang tadinya ia temukan di sebuah SPBU saat ia sedang dalam perjalanan ke
utara, Moonie menggesekkan diri pada tumit Adrienne dan mendengkur dengan
antusias. Adrienne mengangkat binatang kesayangannya itu, dan memelukn ya
erat-erat. Cinta tanpa pamrih adalah sesuatu yang diberikan Moonie. Tampa
pertimbangan atau dalih –rasa sayang murni tanpa sisi gelap.
Adrienne
bersenandung lembut sambil mengelus kuping Moonie, lalu tersentak saat ia
mendengar suara gesekan dari jendela.
Sambil
terdiam kaku, ia mencengkram Moonie dan menunggu sambil menahan napas.
Tapi
hanya ada kesunyian.
Pasti
hanya ranting pohon yang menggesek atap, ia menyimpulkan. Tapi, bukankah ia
sudah menebang semua pohon saat ia pindah ke sini?
Adrienne
menghela napas, menggelengkan kepala, dan mencoba melonggarkan otot-ototnya. Ia
hampir berhasil saat ia mendengar lantai kayunya berderik. Seketika ia menjadi
tegang kembali. Ia menjatuhkan Moonie di atas sofa dan menatap langit-langit
dengan saksama saat suara berderik kembali terdengar.
Mungkin
hanya suara rumah ini memuai.
Ia
harus mengusir sifat penakutnya ini.
Berapa
lama lagi sampai ia tak lagi merasa takut untuk berbalik dan melihat Eberhard
berdiri bersama keluarganya dengan senyum mengejek dan senjata api teracung?
Eberhard
sudah mati. Ia sudah aman, ia tahu itu.
Tapi
mengapa ia merasa rapuh? Selama beberapa hari terakhir ia selalu merasa ada
seseorang yang mengawasinya. Bagaimanapun kerasnya ia meyakinkan diri sendiri
bahwa orang-orang yang ingin menyakitinya sudah tewas –atau tak tahu ia masih
hidup– ia masih saja dilanda rasa tak tenang yang aneh. Semua insting yang ia
miliki berkata bahwa ada sesuatu yang salah. Ia dibesarkan di Kota Angker – New
Orleans yang pengap, penuh tahayul dan hal gaib – Adrianne tahu ia harus
mendengarkan instingnya. Sebab instingnya hampir selalu tepat.
Instingnya
terbukti benar tentang Eberhard. Ia sudah merasa tak enak sejak awal, tapi ia
meyakinkan diri sendiri bahwa itu hanyalah perasaannya saja. Eberhard adalah
pria idaman wanita di New Orleans; wajar saja jika seorang wanita merasa tak
nyaman oleh pria seperti itu.
Jauh
setelah itu baru ia menyadari bahwa sudah terlalu lama ia kesepian sebelumnya,
dan sangat mengidamkan kisah dongeng menjadi nyata, sehingga ia memaksakan
kenyataan untuk memenuhi impiannya itu, daripada sebaliknya. Sudah terlalu
banyak kebohongan yang ia katakan pada dirinya sendiri sebelum akhirnya ia
menghadapi kenyataan bahwa Eberhard bukanlah pria yang ia idam-idamkan selama
ini. Betapa bodohnya ia.
Adrienne
menarik napas dalam-dalam, menghirup udara musim semi yang bertiup lembut
melalui jendela di belakangnya, lalu tersentak dan membalikkan badannya secepat
kilat. Ia menatap tirai yang berkibar-kibar. Bukankah ia sudah menutup jendela
itu tadi? Ia yakin. Ia sudah menutup semua jendela sebelum menutup pintu.
Adrienne beringsut dengan hati-hati ke arah jendela, menutupnya dengan cepat
dan menguncinya.
Hanya
perasaannya saja. Tak ada wajah yang mengintip dari luar jendela, tak ada
gonggongan anjing, tak ada suara alarm
berbunyi. Apa gunanya mempersiapkan semuanya jika tak bisa bersantai? Tak mungkin ada apa-apa di luar sana.
Adrienne
memaksakan diri berpaling dari jendela. Saat ia berjalan melintasi ruangan,
kakinya menyepak sesuatu sampai benda itu menggelinding sepanjang karpet Oushak
usang miliknya, lalu membentur dinding dan berhenti.
Adrienne
melirik ke arah benda itu dan tersentak. Benda itu adalah salah satu bagian
dari satu set permainan catur milik Eberhard yang ia ambil dari rumahnya di New
Orleans saat Adrienne kabur. Ia sudah melupakan benda itu sampai ia pindah ke
tempat ini. Ia melemparkannya ke dalam kotak – salah stu tumpukan kotak di
sudut ruangan yang tak pernah sempat ia bongkar. Mungkin Moonie yang menyeret
benda itu keluar, pikirnya, sebab ada beberapa juga yang terserak di atas
karpet.
Ia
memungut bidak catur yang tadi tak sengaja ia tendang, dan mempermainkannya di
sela jemarinya. Sebentuk ombak emosi menerjangnya; rasa malu dan amarah serta
tercampak, lengkap dengan rasa takut bahwa ia masih belum aman.
Seberkas
udara bertiup ke tengkuknya dan seketika badannya menjadi kaku, menggenggam
bidak catur dengan teramat kencang sehingga ujung mahkota dari bidak catur
hitam itu menusuk daging telapak tangannya. Logikanya berkata bahwa jendela di
belakangnya sudah tertutup – ia tahu
memang sudah tertutup, tapi – instingnya berkata lain.
Adrienne
yang logis tahu bahwa tak ada seorangpun di ruangan itu kecuali dirinya dan
seekor kucing yang sedang mendengkur lembut. Adrienne yang tidak rasional
gemetar ketakutan.
Sambil
tertawa gugup, ia mencaci dirinya sendiri karena terlalu mudah terkejut, lalu
mengutuk Eberhard karena sudah menjadikannya seperti ini. Ia tak mau tunduk
pada paranoia.
Sambil
merunduk tanpa menengok ke belakang, adrienne memungut bidak-bidak catur yang
terserak sehingga membentuk tumpukan. Ia tak terlalu suka menyentuh benda-benda
itu lama-lama. Seorang wanita tak bisa menghabiskan masa kecilnya di New
Orleans – apalagi dekat seorang menutur kisah dari Creole yang tinggal di
belakang panti asuhan – tanpa menjadi seorang yang sedikit percaya tahayul.
Perangkat catur yang ia ambil adalah perangkat catur kuno, asli dari Viking;
sebuah legenda tua bilang bahwa perangkat catur itu terkutuk, dan hidup
Adrienne pun sudah cukup terkutuk. Satu-satunya alasan ia mengambil perangkat
catur itu adalah jika sewaktu-waktu ia butuh uang tunai. Terbuat dari ukiran
gading walrus dan kayu hitam, harganya pasti tinggi di kalangan kolektor.
Lagi pula, bukankah ia pantas menerimanya, setelah segala penderitaan yang
didapatnya dari Eberhard?
Adrienne
mengucapkan beberapa kata makian tentang para lelaki rupawan. Sungguh tak masuk
akal orang sejahat Eberhard bisa begitu rupawan. Keadilan seharusnya mengatur
sebaliknya – bukankah seharusnya wajah seseorang merupakan cerminan dari
hatinya? Jika saja Eberhard berparas buruk seburuk hatinya, seperti yang
disadari Adrienne setelahnya, ia pasti tak akan berada di posisi menghadap
pistol seperi ini. Tentu saja, Adrienne sudah menyadari bahwa berada di posisi
mana pun dengan sebuah pistol, tetap berarti berada di posisi yang salah.
Eberhard
Darrow Garrett adalah lelaki yang tampan, mata keranjang dan penuh musllihat –
dan telah menghancurkan hidup Adrienne. Sambil mencengkram bidak catur dengan
kuat, ia bertekad pada dirinya sendiri. “Aku tak akan pernah lagi berkencan
dengan lelaki tampan, selama aku hidup dan bernapas. Aku benci lelaki tampan.
Benci!”
***
Di
luar pintu rumah Coattail Lane nomor 93, seorang lelaki yang tak beraga,
sesosok makhluk yang tak mampu di deteksi alat apa pun buatan manusia,
mendengar tekad itu dan tersenyum. Pilihannya sudah diputuskan dengan cepat dan
pasti – Adrienne de Simone adalah wanita yang ia cari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar