Rabu, 09 Januari 2019

Beyond the Highland Mist, 2

Pulau mistis Morar berselimut senja, pasir bersih berkilauan di bawah sepatu bot Raja Finnbhearea seraya ia berlari, tak sabar menanti kembalinya utusan dari istana.

Sang ratu dan para dayang-dayangnya sedang bersukaria menikmati Beltane di sebuah desa di pedalaman Highland. Melihat Aoibheal, peri miliknya sedang menari dan menggoda para manusia Highlander membuat sang raja yang sebelumnya cemburu kini menjadi berkobar amarahnya. Ia akan melarikan diri dari nyala api Beltane sebelum ia tunduk pada hasrat untuk memusnahkan seisi desa. Amarahnya yang terlalu besar membuatnya khawatir membiarkan dirinya sendiri berada di tengah-tengah mereka saat ini. Amarahnya berkobar lagi membayangkan Ratunya berduaan bersama pria manusia.


Sebagaimana Ratu Peri memiliki dayang-dayang kesayangan di antara dayang-dayangnya yang lain, Raja peri pun demikian; sang pelawak kerajaan sudah lama ia jadikan teman minum dan bermain kartu. Sang Raja akan mengirim temannya itu untuk mempelajari manusia yang bernama Hawk, mengumpulkan informasi agar ia mampu menyusun pembalasan untuk manusia yang lancang melanggar masuk kawasan peri.

“Kejantanannya saat separuh tegang mampu membuat iri seekor kuda jantan... ia bisa merenggut sukma seorang wanita.” Raja Finnbhearea mengolok-olok menirukan kalimat Ratunya dengan suara tinggi, lalu meludah dengan jijik.

“Sayangnya, itu semua benar,” sang pelawak berkata dengan datar saat ia muncul di bawah bayangan sebatang pohon Rowan.

“Sungguh?” Raja Finbheara meringis. Ia sudah meyakinkan diri sendiri bahwa Aoibheal sedikit melebih-lebihkan –lelaki itu hanya manusia biasa.

Sang pelawak merengut. “Aku menghabiskan tiga hari di Edinburgh. Lelaki itu melegenda di sana. Para wanita memujanya. Mereka mengucapkan namanya seperti mantera untuk memperoleh kenikmatan abadi.”

“Kau melihatnya? Dengan matamu sendiri? Apakah ia rupawan?” sang Raja cepat-cepat bertanya.

Sang pelawak mengangguk dan mulutnya mencemooh dengan pahit. “Ia tanpa cela. Ia lebih tinggi dariku-“

“Tinggimu sudah lebih dari seratus delapan puluh sentimeter dalam pakaian itu!” seru sang Raja.

“Ia sedikit lebih tinggi lagi. Ia berambut hitam panjang yang diikat ke belakang; mata hitam yang tajam; bertubuh sempurna seperti dewa dan berotot seperti prajurit Viking. Menjijikan  sekali. Bolehkan aku menyiksanya, Yang Mulia? Merusak wajahnya yang sempurna?”

Raja Finnbheara memikirkan sejenak informasi ini. Ia merasa mual membayangkan manusia kotor ini menyentuh kulit Ratunya yang halus, memberinya kepuasan tiada tara. Merenggut sukmanya.

“Aku akan membunuhnya untuk Tuanku,” sang pelawak menawarkan dengan penuh harap.

Raja Finnbheara mengibaskan tangannya dengan tak sabar. “Bodoh! Dan melanggar perjanjian antara manusia dan peri? Tidak. Pasti ada cara lain.”

Sang pelawak mengangkat bahu. “Mungkin kita diam saja. Hawk pasti akan celaka di tangan jenisnya sendiri.”

“Coba ceritakan,” Finnbheara memerintah, rasa ingin tahunya terusik.

“Aku menemukan informasi bahwa Hawk akan dinikahkan dalam beberapa hari. Ia dipertunangkan atas surat keputusan raja manusianya. Kehancuran akan menimpanya. Sebab, Yang Mulia, Raja James telah memerintahkan Hawk untuk menikahi seorang wanita bernama Janet Comyn. Rajanya sudah memastikan bahwa jika Hawk tidak menikahi wanita ini, ia akan menghancurkan seluruh keluarga Douglas dan Comyn.”

“Lalu? Apa maksudmu?” Finnbheara bertanya dengan tak sabar.

“Janet Comyn sudah mati. Ia meninggal dunia hari ini.”

Seketika Finnbheara menjadi kaku. “Apakah kau menyakitinya, bodo?”

“Tidak, Tuanku!” sang pelawak menatapnya dengan tatapan terluka. “Ia tewas di tangan ayahnya. Menaruh ide di kepala ayahnya sama saja dengan menaruh kunci menara kurungan di kantong ayahnya.”

“Jadi apa itu berarti kau menaruh ide di kepalanya?” sang Raja bertanya dengan curiga.

“Ayolah, Tuanku,” sang pelawak cemberut, “Menurut Paduka mungkinkah aku melakukan tipu muslihat seperti itu dan membahayakan kita semua?”

Finnbheara menaruh jemari di keningnya dan mengamati sang pelawak. Seberapa tak bisa ditebak, licik dan sembrononya, sang pelawak ini belum pernah cukup bodoh untuk membahayakan bangsa mereka. “Teruskan.”

Sang pelawak memiringkan kepalanya dan senyumnya terkembang di redupnya cahaya. “Mudah saja. Pernikahannya tak akan terjadi. Raja James akan menghancurkan keluarga Douglas. Oh, dan juga keluarga Comyn,” ia buru-buru menambahkan.

“Ah!” Finnbheara termenung sejenak. Ia bahkan tak perlu mengangkat satu jaripun dan Hawk akan segera mati.

Tapi itu tak cukup, amarahnya bangkit. Finnbheara menginginkan campur tangannya dalam kehancuran Hawk. Ia sudah dihina secara pribadi, dan ia menginginkan pembalasan yang juga pribadi. Tak ada seorang manusia pun yang bisa menjadikan Raja Dunia Peri sebagai seorang lelaki yang diselingkuhi istrinya, tanpa adanya pembalasan yang setimpal –dan betapa setimpalnya jika ia bisa merasakan bagaimana menghancurkan Hawk.

Binar-binar ide mulai terbentuk di benaknya. Sambil terus memikirkan hal itu, Raja Finnbheara merasa lebih hidup dibandingkan berabad-abad lamanya.

Sang pelawak melihat senyum congkak yang menghias bibir sang Raja.

“Paduka sedang memikirkan sesuatu yang licik. Apa rencana Paduka?” sang pelawak bertanya.

“Diam,’ Raja Finnbheara menukas. Ia mengusap rahangnya sambil memikirkan pilihan-pilihan yang ia miliki, dengan hati-hati mempermulus rencananya.

Jika banyak waktu terbuang sementara Finnbheara menimbang-nimbang rencananya, tak ada peri yang menyadarinya; waktu tak berarti apa-apa bagi bangsa peri yang dengan bebas berpindah-pindah di dalamnya sesuka hati. Cahaya mentari fajar membersit di atas laut saat sang Raja berbicara lagi:

“Apakah Hawk pernah mencintai?”

“Mencintai?” sang pelawak mengulangi kata itu dengan kosong.

“Kau tahu, emosi yang membuat manusia menggubah soneta, berperang, mendirikan monumen,” sang raja berkata sinis. Sang pelawak berpikir sejenak. “Menurutku tidak, Yang Mulia. Hawk tak pernah gagal memikat wanita, tapi ia juga tak pernah terlihat lebih menyukai seorang wanita lebih dari yang lain.”

“Tak ada wanita yang pernah menolaknya?” Raja Finnbheara bertanya dengan ragu.

“Setahuku tak ada. Menurutku tak ada wanita yang hidup di abad ke-enambelas ini yang bisa menolaknya. Lelaki itu legenda. Para wanita takluk dihadapannya.”

Sang Raja tersenyum licik. “Aku punya tugas lain untukmu.”

“Katakan saja, yang Mulia. Biarkan aku membunuhnya.”

“Tidak! Tak akan ada darah yang tumpah oleh tangan kita. Dengar baik-baik. Pergi lintasi waktu. Ke masa depan – para wanita lebih mandiri dan percaya diri. Cari seorang wanita yang menawan, anggun, cerdas, kuat; wanita yang tahu apa yang ia inginkan. Ingat, ia harus seorang wanita yang tak akan kehilangan akal setelah dibawa menembus waktu, ia harus bisa beradaptasi dengan kejadian aneh. Tak ada gunanya membawa wanita itu kepada dia dalam keadaan bingung. Wanita itu harus sedikit percaya akan sihir.”

Sang pelawak mengangguk. “Benar sekali. Paduka ingat seorang akuntan pajak yang kita bawa ke abad dua belas? Ia jadi gila.”

“Tepat.” Wanita yang kau temukan harus terbiasa dengan hal-hal luar biasa sehingga ia bisa menerima perjalanan menembus waktu tanpa menjadi kacau.” Finnbheara merenungkan hal ini beberapa saat. “Aku tahu! Cari di Salem, di sana mereka masih percaya tukang sihir, atau mungkin New Orleans, di sana sihir kuno masih mendesis-desis di udara.”

“Tempat yang sempurna!” sang pelawak menyahut.

“Tapi hal yang paling penting, kau harus temukan wanita yang menyimpan rasa benci pada lelaki tampan penakluk wanita; seorang wanita yang akan membuat hidup pria manusia ini penuh penderitaan.”

Sang pelawak tersenyum licik. “Bolehkan hamba membumbui rencana paduka?”

“Kaulah bagian terpenting dari hal itu,” sang Raja berkata sambil berjanji licik.


***


Adrienne de Simone menggigil, walaupun saat itu cuaca sedang hangat di sebuah malam bulan Mei di Seattle. Ia mengenakan sweater dan menutup pintu. Ia memandang ke luar jendela dan melihat malam mulai turun di atas taman-taman yang terserak di balik jalan setapak.

Di bawah cahaya yang memudar ia mengamati dinding batu yang menutupi rumahnya di Coattail Lane nomor 93, lalu mengalihkan pengamatannya ke bayangan di bawah pohon ek besar, mengamati gerakan yang tak biasa. Ia menarik napas panjang dan berusaha santai. Anjing-anjing penjaga yang berpatroli di sekitar rumahnya tak bersuara –pasti keadaan aman, ia meyakinkan dirinya sendiri.

Dengan tegang, ia memasukkan nomor kode di tuts alarm yang menghidupkan detektor gerak yang terpasang di sepanjang halamannya seluas setengah hektar. Segala gerakan yang ditimbulkan oleh massa seberat lebih dari empat puluh lima kilogram dengan tinggi lebih dari sembilan puluh sentimeter akan memicu detektor, walaupun bunyinya tak akan mendatangkan polisi atau agen penegak hukum lainnya.

Adrienne akan lebih dulu berlari mencapai pistolnya daripada telepon. Ia lebih suka memanggil iblis daripada memikirkan untuk menelepon polisi. Walaupun enam bulan telah berlalu, Adrienne masih merasa seolah ia tak berdaya untuk keluar cukup jauh dari New Orleans, bahkan jika ia pindah menyeberangi satu atau dua samudra, yang sebenarnya juga tak bisa ia lakukan; persentase tertangkapnya buronan saat akan melarikan diri ke luar negeri ternyata masih sangat tinggi.

Apakah ini benar-benar dirinya? Adrienne merenung. Ia tak habis pikir, walaupun berbulan-bulan sudah berlalu. Bagaimana mungkin dirinya –Adrienne de Simone– menjadi buronan? Ia selalu menjadi warganegara yang taat. Yang ia inginkan Cuma sebuah tempat tinggal dan tempat miliknya sendiri; orang yang dicintai dan mencintainya; keturunan kelak –anak-anak yang tak akan pernah ia tinggalkan di panti asuhan.

Ia menemukan semua itu pada Eberhard Darrow Garrett, warga terpandang di lingkungan masyarakat New Orleans, atau setidaknya demikian anggapannya.

Addrienne mendengus sambil menyapu pandangannya ke arah halaman untuk terakhir kali, lalu menurunkan tirai menbutupi pintu. Beberapa tahun yang lalu segalanya tampak seperti dunia yang berbeda; tempat yang indah, penuh harapan, kegembiraan dan peluang yang melimpah.

Dengan hanya bermodalkan jiwa bebas dari uang sebanyak tiga ratus dolar, Adrienne
Doe mengubah namanya dan meninggalkan panti asuhan pada hari ulang tahunnya yang ke delapan belas. Ia senang menemukan pinjaman studi yang bisa diajukan oleh siapa pun, bahkan oleh seorang penghuni panti asuhan. Ia berniat mencari kerja sebagai pelayan restoran, lalu mendaftar kuliah, demi menjadikan dirinya seorang yang berarti. Apa persisnya, ia belum yakin saat itu, tapi ia selalu berfirasat bahwa sesuatu yang istimewa akan siap menimpanya.

Ia berumur dua puluh tahun, baru saja menjadi mahasiswa baru di universitas, saat hal istimewa itu terjadi. Ia sedang bekerja di sebuah restoran dan bar elegan bernama Blind Lemon, saat ia berhasil mendapatkan perhatian, rasa cinta dan cincin pertunangan dari Eberhard Darrow Garrett yang tampan dan kaya raya. Semua itu bagaikan kisah dongeng. Berbulan-bulan ia seakan-akan berjalan di atas awan.

Kemudian awan yang ia jalani meleleh dari bawah kakinya, ia menolak untuk melihat lebih teliti, menolak untuk menyadari bahwa pangeran dari negeri dongeng miliknya mungkin adalah pangeran dari dunia kegelapan.

Addrienne memejamkan matanya erat-erat berharap ia bisa menghilangkan kenangan buruk selamanya. Betapa tololnya ia! Betapa banyak alasan yang ia ciptakan –untuk Eberhard, juga untuk dirinya sendiri– hingga akhirnya ia terpaksa melarikan diri.

Suara kucing lirih menyentaknya kembali ke alam nyata dan ia tersenyum pada satu-satunya hal terindah dari semua yang ada saat ini, kucingnya, Moonshadow, yang tadinya ia temukan di sebuah SPBU saat ia sedang dalam perjalanan ke utara, Moonie menggesekkan diri pada tumit Adrienne dan mendengkur dengan antusias. Adrienne mengangkat binatang kesayangannya itu, dan memelukn ya erat-erat. Cinta tanpa pamrih adalah sesuatu yang diberikan Moonie. Tampa pertimbangan atau dalih –rasa sayang murni tanpa sisi gelap.

Adrienne bersenandung lembut sambil mengelus kuping Moonie, lalu tersentak saat ia mendengar suara gesekan dari jendela.

Sambil terdiam kaku, ia mencengkram Moonie dan menunggu sambil menahan napas.

Tapi hanya ada kesunyian.

Pasti hanya ranting pohon yang menggesek atap, ia menyimpulkan. Tapi, bukankah ia sudah menebang semua pohon saat ia pindah ke sini?

Adrienne menghela napas, menggelengkan kepala, dan mencoba melonggarkan otot-ototnya. Ia hampir berhasil saat ia mendengar lantai kayunya berderik. Seketika ia menjadi tegang kembali. Ia menjatuhkan Moonie di atas sofa dan menatap langit-langit dengan saksama saat suara berderik kembali terdengar.

Mungkin hanya suara rumah ini memuai.

Ia harus mengusir sifat penakutnya ini.

Berapa lama lagi sampai ia tak lagi merasa takut untuk berbalik dan melihat Eberhard berdiri bersama keluarganya dengan senyum mengejek dan senjata api teracung?

Eberhard sudah mati. Ia sudah aman, ia tahu itu.

Tapi mengapa ia merasa rapuh? Selama beberapa hari terakhir ia selalu merasa ada seseorang yang mengawasinya. Bagaimanapun kerasnya ia meyakinkan diri sendiri bahwa orang-orang yang ingin menyakitinya sudah tewas –atau tak tahu ia masih hidup– ia masih saja dilanda rasa tak tenang yang aneh. Semua insting yang ia miliki berkata bahwa ada sesuatu yang salah. Ia dibesarkan di Kota Angker – New Orleans yang pengap, penuh tahayul dan hal gaib – Adrianne tahu ia harus mendengarkan instingnya. Sebab instingnya hampir selalu tepat.

Instingnya terbukti benar tentang Eberhard. Ia sudah merasa tak enak sejak awal, tapi ia meyakinkan diri sendiri bahwa itu hanyalah perasaannya saja. Eberhard adalah pria idaman wanita di New Orleans; wajar saja jika seorang wanita merasa tak nyaman oleh pria seperti itu.

Jauh setelah itu baru ia menyadari bahwa sudah terlalu lama ia kesepian sebelumnya, dan sangat mengidamkan kisah dongeng menjadi nyata, sehingga ia memaksakan kenyataan untuk memenuhi impiannya itu, daripada sebaliknya. Sudah terlalu banyak kebohongan yang ia katakan pada dirinya sendiri sebelum akhirnya ia menghadapi kenyataan bahwa Eberhard bukanlah pria yang ia idam-idamkan selama ini. Betapa bodohnya ia.

Adrienne menarik napas dalam-dalam, menghirup udara musim semi yang bertiup lembut melalui jendela di belakangnya, lalu tersentak dan membalikkan badannya secepat kilat. Ia menatap tirai yang berkibar-kibar. Bukankah ia sudah menutup jendela itu tadi? Ia yakin. Ia sudah menutup semua jendela sebelum menutup pintu. Adrienne beringsut dengan hati-hati ke arah jendela, menutupnya dengan cepat dan menguncinya.

Hanya perasaannya saja. Tak ada wajah yang mengintip dari luar jendela, tak ada gonggongan  anjing, tak ada suara alarm berbunyi. Apa gunanya mempersiapkan semuanya jika tak bisa bersantai? Tak mungkin ada apa-apa di luar sana.

Adrienne memaksakan diri berpaling dari jendela. Saat ia berjalan melintasi ruangan, kakinya menyepak sesuatu sampai benda itu menggelinding sepanjang karpet Oushak usang miliknya, lalu membentur dinding dan berhenti.

Adrienne melirik ke arah benda itu dan tersentak. Benda itu adalah salah satu bagian dari satu set permainan catur milik Eberhard yang ia ambil dari rumahnya di New Orleans saat Adrienne kabur. Ia sudah melupakan benda itu sampai ia pindah ke tempat ini. Ia melemparkannya ke dalam kotak – salah stu tumpukan kotak di sudut ruangan yang tak pernah sempat ia bongkar. Mungkin Moonie yang menyeret benda itu keluar, pikirnya, sebab ada beberapa juga yang terserak di atas karpet.

Ia memungut bidak catur yang tadi tak sengaja ia tendang, dan mempermainkannya di sela jemarinya. Sebentuk ombak emosi menerjangnya; rasa malu dan amarah serta tercampak, lengkap dengan rasa takut bahwa ia masih belum aman.

Seberkas udara bertiup ke tengkuknya dan seketika badannya menjadi kaku, menggenggam bidak catur dengan teramat kencang sehingga ujung mahkota dari bidak catur hitam itu menusuk daging telapak tangannya. Logikanya berkata bahwa jendela di belakangnya sudah tertutup – ia tahu memang sudah tertutup, tapi – instingnya berkata lain.

Adrienne yang logis tahu bahwa tak ada seorangpun di ruangan itu kecuali dirinya dan seekor kucing yang sedang mendengkur lembut. Adrienne yang tidak rasional gemetar ketakutan.

Sambil tertawa gugup, ia mencaci dirinya sendiri karena terlalu mudah terkejut, lalu mengutuk Eberhard karena sudah menjadikannya seperti ini. Ia tak mau tunduk pada paranoia.

Sambil merunduk tanpa menengok ke belakang, adrienne memungut bidak-bidak catur yang terserak sehingga membentuk tumpukan. Ia tak terlalu suka menyentuh benda-benda itu lama-lama. Seorang wanita tak bisa menghabiskan masa kecilnya di New Orleans – apalagi dekat seorang menutur kisah dari Creole yang tinggal di belakang panti asuhan – tanpa menjadi seorang yang sedikit percaya tahayul. Perangkat catur yang ia ambil adalah perangkat catur kuno, asli dari Viking; sebuah legenda tua bilang bahwa perangkat catur itu terkutuk, dan hidup Adrienne pun sudah cukup terkutuk. Satu-satunya alasan ia mengambil perangkat catur itu adalah jika sewaktu-waktu ia butuh uang tunai. Terbuat dari ukiran gading walrus dan kayu hitam, harganya pasti tinggi di kalangan kolektor. Lagi pula, bukankah ia pantas menerimanya, setelah segala penderitaan yang didapatnya dari Eberhard?

Adrienne mengucapkan beberapa kata makian tentang para lelaki rupawan. Sungguh tak masuk akal orang sejahat Eberhard bisa begitu rupawan. Keadilan seharusnya mengatur sebaliknya – bukankah seharusnya wajah seseorang merupakan cerminan dari hatinya? Jika saja Eberhard berparas buruk seburuk hatinya, seperti yang disadari Adrienne setelahnya, ia pasti tak akan berada di posisi menghadap pistol seperi ini. Tentu saja, Adrienne sudah menyadari bahwa berada di posisi mana pun dengan sebuah pistol, tetap berarti berada di posisi yang salah.

Eberhard Darrow Garrett adalah lelaki yang tampan, mata keranjang dan penuh musllihat – dan telah menghancurkan hidup Adrienne. Sambil mencengkram bidak catur dengan kuat, ia bertekad pada dirinya sendiri. “Aku tak akan pernah lagi berkencan dengan lelaki tampan, selama aku hidup dan bernapas. Aku benci lelaki tampan. Benci!”


***

Di luar pintu rumah Coattail Lane nomor 93, seorang lelaki yang tak beraga, sesosok makhluk yang tak mampu di deteksi alat apa pun buatan manusia, mendengar tekad itu dan tersenyum. Pilihannya sudah diputuskan dengan cepat dan pasti – Adrienne de Simone adalah wanita yang ia cari.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar