LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN,
26 APRIL 1813
Beberapa hari setelahnya, masih dalam minggu yang sama, Daphne mendapati dirinya berdiri
di pinggir ruang dansa Lady Danbury, jauh dari kerumunan warga terkemuka. Ia
cukup puas dengan posisinya.
Biasanya
ia menikmati keriaan ini; ia menyukai pesta yang bagus seperti halnya gadis
biasa, tapi tadi sore kakaknya berkata bahwa Nigel Berbrooke menemui Anthony
dua hari lalu untuk meminang Daphne. Lagi. Tentu saja Anthony menolaknya
(lagi!), tapi Daphne punya firasat kuat Nigel takkan pernah menyerah, dan itu
membuatnya resah. Lagi pula, dua pinangan dalam dua minggu tidak menggambarkan
pria yang akan menerima kekalahan dengan mudah.
Di
seberang ruang dansa Daphne bisa melihat pria itu menoleh ke sana kemari,
sehingga ia pun bersembunyi semakin dalam ke balik bayangan.
Ia
tidak tahu menghadapi pria malang itu. Nigel tidak terlalu cerdas, tapi juga
tidak terlalu jahat, dan, walaupun tahu ia harus mengakhiri kegrandrungan pria
itu terhadapnya, ia mendapati lebih mudah bertindak seperti pengecut dan
menghindari pria itu jauh-jauh.
Ia
sedang mempertimbangkan menyelinap ke ruang istirahat wanita ketika suara
familier menghentikan langkahnya.
“Hei,
Daphne, apa yang kau lakukan di sana!”
Daphne
mendongak dan melihat kakak laki-laki sulungnya menghampirinya. “Anthony,”
ucapnya, berusaha memutuskan dirinya senang bertemu dengan kakaknya atau sebal
karena kakaknya mungkin datang untuk mencampuri urusannya. “Aku tidak tahu kau
akan menghadiri acara ini.”
“Ibu,”
jawab anthony muram. Tidak ada kata lain yang perlu diucapkan.
“Ah,”
sahut Daphne sambil mengangguk bersimpati. “Kau tidak perlu bilang apa-apa
lagi. Aku sangat mengerti.”
“Dia
membuat daftar calon mempelai potensial.” Anthony melontarkan tatapan merana
kepada adiknya. “Kita menyayanginya, bukan?”
Daphne
tersedak menahan tawa. “Ya, anthony, kita menyayanginya.”
“Ini
kegilaan sementara,” gerutu Anthony. “Pasti begitu. Tidak ada penjelasan lain.
Dia ibu yang sangat logis sampai usiamu sudah pantas untuk menikah.”
“Aku?”
pekik Daphne. “Kalau begitu semua ini salahku? Kau delapan tahun lebih tua
dibanding aku!”
“Ya,
tapi dia tidak dicengkram gairah pernikahan ini sebelum kau cukup umur.”
Daphne
mendengus. “Maaf kalau aku tidak bersimpati padamu. Aku menerima daftarnya
tahun lalu.”
“Benarkah?”
“Tentu
saja. Dan akhir-akhir ini dia mengancam akan mengirimkannya setiap minggu. Dia
merecokiku dalam hal pernikahan, lebih parah daripada yang bisa kau bayangkan.
Lagi pula, pria lajang itu tantangan. Perawan tua itu hanya menyedihkan. Dan
kalau kau belum menyadarinya, aku ini perempuan.”
Anthony
terkekeh pelan. “Aku kakakmu. Aku tidak menyadari hal semacam itu.” Ia melirik
jail ke arah adiknya. “Kau membawanya, tidak?”
“Daftarku?
Astaga, tidak. Apa sih yang kau pikirkan?”
Senyum
Anthony melebar. “Aku membawa daftarku.”
Daphne
terkesiap. “Bohong!”
“Betul
kok. Hanya untuk menyiksa ibu. Aku akan mencermatinya tepat di hadapan Ibu,
menggunakan kacamata kecilku–”
“Kau
tidak punya kacamata kecil.”
Anthony
menyengir, senyuman pelan dan amat sangat menggoda yang tampaknya dimiliki oleh
semua pria Bridgerton. “Aku membelinya khusus untuk acara ini.”
“Anthony,
sama sekali jangan melakukannya. Dia akan membunuhmu.
Kemudian, entah bagaimana, dia akan menemukan cara untuk menyalahkanku.”
“Aku
memang mengharapkannya.”
Daphne
memukul bahu Anthony, membuat kakaknya melontarkan suara mengaduh yang cukup
keras hingga enam orang tamu pesta melirik dengan penasaran ke arah mereka.
“Pukulan
yang kuat,” komentar Anthony sambil mengusap lengannya.
“Anak
perempuan tidak bisa hidup lama bersama empat saudara laki-laki tanpa belajar
memukul dengan kuat.” Daphne menyilangkan tangannya. “Coba kulihat daftarmu.”
“Setelah
kau barusan menyerangku?”
Daphne
memutar mata coklatnya dan menelengkan kepala dalam sikap yang menunjukkan
ketidaksabarannya.
“Oh,
baiklah.” Anthony meraih ke dalam rompinya, mengeluarkan secarik kertas yang
terlipat, lalu menyerahkannya pada Daphne. “Katakan padaku apa pendapatmu. Aku
yakin kau punya komentar tajam yang tidak ada habisnya.”
Daphne
membuka kertas yang terlipat itu dan membaca tulisan tangan rapi serta elegan
ibunya. V iscountess Bridgerton menuliskan nama delapan wanita. Delapan wanita
muda yang sangat layak dan sangat kaya. “Persis seperti dugaanku,” gumam
Daphne.
“Apa
itu seburuk dugaanku?”
“Lebih
buruk malah. Philipa Featherington itu berotak udang.”
“Dan
sisanya?”
Daphne
mendongak memandang kakaknya sambil mengangkat alis. “Kau tidak berniat menikah
tahun ini, bukan?”
Anthony
mengernyit. “Dan bagaimana dengan daftarmu?”
“Untungnya
sudah ketinggalan zaman sekarang. Tiga dari lima nama itu menikah musim kemarin.
Ibu masih mengomeliku karena membiarkan mereka lolos dari genggamanku.”
Kedua
Bridgerton itu mendesah dengan serupa sembari bersandar ke dinding. Violet
Bridgerton tidak kenal gentar dalam misi menikahkan anak-anaknya. Anthony, si
putra sulung, dan Daphne, si putri sulung, mendapat tekanan terbesar, walaupun
Daphne curiga sang viscountess mungkin akan dengan riang akan menikahkan
Hyacinth yang baru berumur sepuluh tahun jika anak itu menerima lamaran yang
sesuai.
“Demi
Tuhan, kalain terlihat seperti sepasang patung muram. Apa yang kalian lakukan
bersembunyi di pojok sini?”
Satu
lagi suara yang langsung bisa dikenali. “Benedict,” ujar Daphne, melirik ke
arah kakak laki-lakinya tanpa menoleh. “Jangan bilang Ibu berhasil memaksamu
menghadiri acara malam ini.”
Benedict
mengangguk muram. “Dia tidak menggunakan bujukan lagi dan langsung mengulik
rasa bersalahku. Minggu ini dia sampai tiga kali mengingatkanku bahwa aku
mengkin harus menghasilkan viscount berikutnya jika Anthony tidak segera
bertindak.”
Anthony
mengerang.
“Aku
berasumsi itu juga menjelaskan pelarian kalian ke sudut terkelam ruang dansa
ini?” lanjut Benedict. “Menghindari ibu?”
“Sebenarnya,”
jawab anthony, “Aku melihat Daff mengumpet di sudut lalu–”
“Mengumpet?”
Ucap Benedict dengan nada pura-pura terkejut.
Daphne
mengerutkan dahi sembari menatap kedua kakaknya. “Aku kemari untuk bersembunyi
dari Nigel Berbrooke,” jelasnya. “Aku meninggalkan Ibu yang ditemani Lady
Jersey, jadi dia takkan menggangguku dalam waktu dekat, tapi Nigel?”
“Lebih
mirip kera dibanding manusia,” kutip Benedict.
“Yah,
aku takkan membandingkannya persis
seperti itu,” ujar Daphne, berusaha berbaik hati, “tapi dia tidak terlalu
cerdas, dan jauh lebih mudah menghindarinya dibanding melukai perasaannya.
Tentu saja karena kalian sudah menemukanku, aku takkan bisa menghindarinya
lebih lama lagi.”
Anthony
mengutarakan satu kata singkat, “Oh?”
Daphne
menatap kedua kakak laki-lakinya, dengan tinggi lebih dari 180 sentimeter, bahu
bidang, dan mata coklat tebal yang mirip dengan rambutnya sendiri, dan yang
lebih penting, keduanya tidak bisa pergi ke mana pun di antara kerumunan
masyarakat kelas atas tanpa diikuti oleh sekumpulan kecil gadis muda yang sibuk
berceloteh.
Dan
ke mana pun sekumpulan gadis muda yang sibuk berceloteh pergi, Nigel Berbrooke
pasti mengikutinya.
Daphne
sudah bisa melihat kepala-kepala menoleh ke arah mereka. Para ibu ambisius
mendorong putri mereka dan menunjuk kedua anak lelaki Bridgerton, sendirian
tanpa ditemani siapa pun kecuali adik perempuan mereka.
“Aku
tahu seharusnya aku pergi ke ruang istirahat,” gerutu Daphne.
“Hei,
kertas apa yang kau pegang itu, Daff?” tanya Benedict.
Tanpa
pikir panjang Dapnhe menyerahkan daftar calon mempelai anthony kepada Benedict.
Mendengar
tawa keras Benedict, Anthony menyilangkan tangannya dan berkata, “Tolong jangan
terlalu bersuka ria di atas penderitaanku. Aku memprediksi kau akan menerima
daftar serupa minggu depan.”
“Sudah
pasti,” Benedict menyetujui. “Tidak mengherankan Colin–” Mata Benedict
terbelalak. “Colin!”
Satu
lagi anak lelaki Bridgerton bergabung dengan mereka.
“Oh,
Colin!” seru Daphne, memeluk kakaknya. “Aku senang
sekali bertemu denganmu.”
“Perhatikan
bagaimana kita tidak menerima sambutan seantusias itu,” ucap Anthony kepada
Benedict.
“Aku
sudah bertemu kalian berdua,” balas Daphne. “Colin sudah pergi setahun penuh.”
Setelah memeluk sekali lagi, ia melangkah mundur dan mengomel, “Kami pikir kau
baru akan datang minggu depan.”
Gerakan
salah satu bahu Colin amat sangat serupa dengan senyum menawannya. “Paris mulai
membosankan.”
“Ah,”
sahut Daphne dengan pandangan jeli. “Lalu kau kehabisan uang.”
Colin
terbahak dan mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Tebakanmu tepat
sekali.”
Anthony
memeluk adik lelakinya dan berkata dengan suara kasar, “Senang sekali melihatmu
pulang ke rumah, Dik. Walaupun uang yang kukirimkan kepadamu seharusnya cukup
paling tidak sampai–”
“Stop,”
ujar Colin tanpa daya, tawa masih mewarnai suaranya. “Aku berjanji kau boleh
mengomeliku sepuasmu besok. Malam ini aku hanya ingin menikmati ada di dekat
keluargaku tercinta.”
Benedict
mendengus. “Kau pasti benar-benar bangkrut kalau sampai menyebut kami ‘keluarga
tercinta’-mu.” Meski demikian ia tetap mencondongkan badan untuk memeluk
adiknya erat-erat. “Selamat datang kembali.”
Colin
menyengir, anak paling bandil dalam keluarga Bridgerton, mata hijaunya
berseri-seri. “Senang rasanya bisa kembali. Walaupun aku harus mengakui
cuacanya tidak sebaik di Eropa, sementara kaum wanitanya, yah, Inggris pasti
kesulitan jika harus bersaing dengan para signorina
yang ku–”
Daphne
meninju lengan Colin. “Jangan kurang ajr, tolong diingat ya, ada wanita di
sini.” Hampir tidak ada amarah dalam suaranya. Dari semua saudaranya, Colinlah
yang paling dekat dengannya, hanya delapan belas bulan lebih tua. Ketika masih
kecil, mereka tidak terpisankan dan selalu terjerumus masalah. Colin memang
suka menjaili orang, dan Daphne tidak pernah perlu dibujuk lama-lama untuk
mengikuti rencana Colin. “Ibu sudah tahu kau sudah pulang?” tanya Daphne.
Colin
menggeleng. “aku sampai dan mendapati rumah kosong, jadi –”
“Ya,
Ibu menidurkan adik-adik yang masih kecil lebih cepat malam ini, sela Daphne.
“Aku
tidak mau menunggu sambil bengong, jadi Humboldt memberitahukan lokasimu malam
ini dan aku menyusul kemari.”
Wajah
Daphne berseri-seri, senyum lebar itu menghangatkan mata kelamnya. “aku senang
kau menyusul kemari.”
“Ibu
ada di mana?” tanya Colin,
menjulurkan leher untuk mengamati ke atas kerumunan orang. Seperti halnya semua
pria Bridgerton, tubuhnya jangkung, jadi dia tidak perlu menjulurkan lehernya
jauh-jauh.
Di
sudut bersama Lady Jersey,” jawab Daphne.
Colin
bergidik. “Aku akan menunggu sampai dia pergi sendiri dari sana. Aku tidak
ingin dicincang hidup-hidup oleh naga itu.”
“Omong-omong
tentang naga,” imbuh Benedict muram. Kepalanya tidak bergerak, namun matanya
melirik ke kiri.
Daphne
mengikuti arah pandangan Benedict dan melihat Lady Danbury berderap perlahan
menuju tempat mereka. Wanita itu membawa tongkat, tapi Daphne menelan ludah
dengan gugup dan menegakkan bahunya. Komentar tajam yang sering dilontarkan
Lady Danbury sudah melegenda di antara kaum bangsawan. Daphne selalu curiga
sikap tajam itu menyembunyikan hati yang sentimental, tapi tetap saja, selalu
menakutkan ketika Lady Danbury mendesak seseorang untuk bercakap-cakap
dengannya.
“Tidak
bisa kabur,” Daphne mendengar salah satu kakak lelakinya mengerang.
Daphne
menyuruhnya diam dan menyunggingkan senyum ragu kepada wanita tua itu.
Alis
Lady Danbury terangkat, dan ketika jaraknya tinggal satu meter lagi dari
kumpulan Bridgerton itu, dia berhenti dan mengomel, “Jangan pura-pura tidak
melihatku!”
Ini
diikuti oleh entakan tongkat yang begitu keras hingga Daphne meloncat ke
belakang dan menginjak jari kaki Benedict.
“Aduh,”
ujar Benedict.
Karena
ketiga kakaknya mendadak jadi bisu untuk sementara (tentu saja kecuali
Benedict, tapi Daphne pikir ungkapan kesakitan itu tidak bisa dianggap sebagai
ucapan yang cerdas) ia menelan ludah dan berkata, “Saya harap saya tidak
memberi kesan seperti itu, Lady Danbury, mengingat–”
“Bukan
kau,” potong Lady Danbury angkuh. Ia mengangkat tongkatnya hingga membentuk
garis horisontal sempurna, dan ujungnya nyaris menyentuh perut Colin. “Tapi
mereka.”
Raspon
mereka berupa kor gumaman sambutan.
Lady
Danbury hanya melirik sekilas ketiga pria itu sebelum kembali menatap Daphne
dan berkata, “Barusan Mr. Berbrooke mencarimu.”
Daphne
benar-benar merasa wajahnya memucat. “Benarkah?”
Lady
Danburi mengangguk ketus. “Kalau aku jadi dirimu, aku akan langsung memupus harapannya,
Miss Bridgerton.”
“Apa
kau memberitahunya di mana aku berada?”
Bibir
Lady Danbury melekuk membentuk senyum licik dan bersekongkol. “Aku selalu tahu
aku menyukaimu. Dan tidak, aku tidak memberitahunya di mana kau berada.”
“Terima
kasih,” ucap Daphne penuh syukur.
“Jika
kau menikah dengan bocah tolol itu, itu hanya akan menyia-nyiakan otak
cerdasmu,” tukas Lady Danbury, “dan Tuhan tahu kaum bangsawan tidak bisa
menyia-nyiakan segelintir otak cerdas yang kita punya.”
“Eh,
terima kasih,” sahut Daphne.
“Sementara
kalian,” Lady Danbury melambaikan tongkatnya ke arah kakak lelaki Daphne, “aku
belum memutuskan pendapatku. Kau” –ia mengacungkan tongkatnya kepada Anthony–
“aku cenderung menyukaimu, mengingat kau
menolak lamaran Berbrooke atas nama adikmu, tapi kalian berdua... Hah.”
Dan
setelah itu lagi Danbury pergi meninggalkan mereka.
“Hah?”
seru Benedict. “’Hah?’ Dia meragukan kecerdasanku dan yang bisa dikatakannya
hanya ‘Hah?’”
Daphne
tersenyum puas. “Dia menyukaiku.”
“Aku
sama sekali tidak keberatan kok,” gerutu Benedict.
“Dia
ternyata lumayan baik, mau mempertimbangkanmu tentang Berbrooke,” aku Anthony.
Daphne
mengangguk. “Kurasa itu pertanda bagiku untuk segera pergi dari sini.” Ia
berbalik dan melontarkan tatapan mengiba pada Anthony. “Jika Nigel mencariku–”
“Aku
akan mengurusnya,” sahut Anthony lembut. “Jangan khawatir.”
“Terima
kasih.” Kemudian setelah tersenyum kepada kakak-kakaknya, Daphne menyelinap ke
luar ruang dansa.
Manakala
berjalan tanpa suara melalui koridor kediaman London Lady Danbury, Simon sadar
dirinya sangat gembira. Ini sungguh-sungguh luar biasa, batinnya sambil
terkekeh, mengingat fakta ia hendak mendatangi pesta dansa masyarakat kelas
atas dan oleh karena itu menceburkan dirinya ke dalam kengerian yang dipaparkan
Anthony Bridgerton kepadanya tadi siang.
Tapi
ia dapat menghibur diri karena tahu setelahnya ia takkan perlu menghadiri acara
semacam ini lagi; seperti yang dikatakan pada Anthony tadi siang, ia hanya
menghadiri pesta dansa ini atas dasar kesetiaannya kepada Lady Danbury, yang,
meski cerewet, selalu lumayan berbaik hati kepadanya semasa ia kecil.
Ia
mulai menyadari suasana hatinya yang baik berasal dari kenyataan sederhana
bahwa dirinya senang sudah kembali berada di Inggris.
Bukannya
ia tidak menikmati perjalanannya keliling dunia. Ia sudah berkeliling ke
seluruh penjuru Eropa, berlayar di lautan Mediterania yang luar biasa biru dan
indah, lalu menceburkan diri ke dalam misteri Afrika utara. Dari sana ia pergi
ke Tanah Suci, lalu, dan ketika penyelidikan mengungkapkan belum saatnya ia
pulang, ia pun menyeberangi Atlantik dan mengeksplorasi Hindia Barat. Saat itu
ia mempertimbangkan untuk pindah ke Amerika Serikat, tapi negara baru itu malah
memulai konflik dengan Inggris, jadi Simon menjauh dari sana.
Lagi
pula, pada saat itulah ia mendapat kabar ayahnya akhirnya meninggal dunia
setelah beberapa tahun sakit.
Sebenarnya
ini ironis. Simon takkan mau menukar tahun-tahun pengelanaannya dengan apa pun
juga. Enam tahun memberinya banyak waktu untuk berpikir, dan belajar apa
artinya menjadi pria dewasa. Namun satu-satunya alasan Simon yang berusia 22
tahun meninggalkan Inggris adalah karena ayahnya mendadak memutuskan untuk
akhirnya menerima putranya.
Tapi
ia tidak bersedia menerima ayahnya, jadi ia langsung mengemas barang-barangnya
dan pergi dari negara itu, memilih mengasingkan diri dibanding menerima
limpahan kasih sayang duke tua
hipokrit itu.
Semua
itu dimulai ketika Simon selesai bersekolah di Oxford. Sang duke awalnya tidak
mau membayar biaya sekolah anaknya; Simon pernah melihat surat yang ditujukan
kepada seorang dosen yang menyatakan bahwa sang duke tidak mau membiarkan anak
idiotnya mempermalukan keluarganya ke Eton. Tapi Simon haus akan pengetahuan
serta keras hati, jadi ia menyuruh kereta
kuda membawanya ke Eton, mengetuk pintu kepala sekolah, dan
memberitahukan kedatangannya.
Itu
hal paling menakutkan yang pernah dilakukannya, tapi entah bagaimana ia
berhasil meyakinkan kepala sekolah bahwa keteledoran itu merupakan kesalahan
pihak sekolah, bahwa entah bagaimana Eton pasti menghilangkan berkas
pendaftaran serta uang sekolahnya. Ia meniru semua tindak-tanduk ayahnya,
Menaikkan alis dengan arogan, mengangkat dagu, dan bersikap angkuh, secara
garis besar terlihat seolah dia pikir dialah pemilik dunia ini.
Sementara
selama itu hatinya gemetar, takut ucapannya akan tergagap dan tumpang-tindih,
bahwa “Aku Earl Clyvedon, dan aku kemari untuk memulai pelajaranku,” malah
terucap seperti, “Aku Earl Clyvedon, dan aku k-k-k-k-k–”
Tapi
itu tidak terjadi, dan kepala sekolah yang sudah menghabiskan waktu cukup lama
mendidik kaum elite Inggris hingga langsung bisa mengenali Simon sebagai
anggota keluarga Basset, langsung mendaftarkan Simon dengan segera dan tanpa
basa-basi. Butuh beberapa bulan bagi sang duke (yang selalu sibuk dengan
kegiatannya sendiri) untuk mengetahui status baru serta perubahan tempat
tinggal putranya. Pada saat itu Simon sudah mapan di Eton, dan akan terlihat
sangat buruk jika sang duke mengeluarkan anak itu dari sekolah tanpa alasan
yang jelas.
Dan
sang duke tidak suka terlihat buruk.
Simon
sering bertanya-tanya mengapa ayahnya tidak memilih untuk bertindak pada saat
itu juga. Jelas ia tidak gagap ketika ia berbicara di Eton; sang Duke pasti
mendapat kabar dari kepala sekolah jika putranya tidak sanggup mengikuti
pelajaran. Ucapan Simon terkadang masih gagap, tapi pada saat itu ia sudah
sangat mahir menutupi kesalahannya dengan terbatuk atau, jika sedang beruntung
dan hal itu terjadi pada saat makan, ia bisa memilih waktu yang tepat untuk minum
teh atau susu.
Tapi
sang duke bahkan tidak pernah menulis sepucuk surat pun kepadanya. Simon
beranggapan ayahnya sudah terlalu terbiasa mengabaikan putranya hingga tidak
peduli dirinya tidak terbukti mempermalukan nama Basset.
Setelah
lulus dari Eton, Simon secara alamiah melanjutkan pendidikan di Oxford, tempat
ia mendapat reputasi sebagai cendekiawan sekaligus playboy. Sejujurnya, ia tidak lebih pantas mendapat gelar playboy dibading kebanyakan pemuda di
universitas tersebut, tapi sikap Simon yang agak angkuh entah bagaimana
menumbuhkan gambaran tersebut.
Simon
tidak yakin bagaimana hal itu terjadi, tapi perlahan-lahan ia sadar teman-teman
seusianya mendambakan persetujuannya. Dirinya cerdas dan atletis, tapi
sepertinya status kehormatan itu lebih disebabkan oleh tindak-tanduknya
dibanding hal lain. Karena Simon tidak berbicara ketika kata-kata tidak
benar-benar diperlukan, mereka menilainya sebagai sosok yang arogan, persis
seperti sikap calon duke di masa
depan. Karena ia lebih suka dikelilingi oleh teman yang sungguh-sungguh
dirasanya nyaman, mereka memutuskan dia amat sangat pemilih dalam menentukan
teman, persis seperti yang dilakukan oleh calon duke.
Ia
tidak banyak bicara, tapi ketika mengatakan sesuatu, komentarnya bersifat
blak-blakan dan sering kali sinis, tipe humor yang memastikan orang-orang
sangat menghargai setiap ucapannya. Dan lagi-lagi, karena ia tidak banyak
cakap, seperti halnya begitu banyak kaum bangsawan, mereka bahkan semakin
terobsesi dengan ucapannya.
Simon
disebut “amat sangat percaya diri,” “Luar biasa tampan,” dan “sosok pria
Inggris sempurna.” Para pria meminta pendapatnya dalam berbagai topik.
Para
wanita terkulai di kakinya.
Simon
tidak pernah bisa memercayai semua ini, tapi meski demikian ia menikmati
statusnya, menerima apa yang ditawarkan kepadanya, bertindak sesuka hati
bersama temannya, menikmati pendampingan para janda muda serta penyanyi opera
yang menginginkan perhatiannya, dan setiap pengalaman liar itu terasa lebih
manis karena tahu ayahnya pasti tidak menyetujuinya.
Tapi
ternyata ayahnya tidak sepenuhnya
tidak menyetujuinya. Tanpa sepengetahuan Simon, Duke of Hastings mulai tertarik
pada kemajuan putra tunggalnya itu. Dia meminta laporan akademis dari
universitas dan menyewa detektif Boe Street Runner untuk melaporkan aktivitas
ekstrakurikuler Simon. Dan akhirnya sang duke berhenti mengharapkan setiap
surat berisi kisah ketololan putranya.
Mustahil
mengetahui persisnya kapan beliau berubah pikiran, tapi suatu hari sang duke
penyadari putranya ternyata lumayan bisa dibanggakan.
Sang
duke membusungkan dada dengan bangga. Seperti biasa, keturunan yang baik selalu
terbukti pada akhirnya. Seharusnya ia tahu darah Basset tidak mungkin
menghasilkan anak idiot.
Begitu
lulus dari Oxford dengan rangking pertama dalam pelajaran matematika, Simon
datang ke London bersama temannya. Tentu saja ia tinggal di rumah bujangan,
karena tidak mau berdiam bersama ayahnya. Dan manakala Simon memasuki
lingkungan pergaulan masyarakat, lebih banyak orang salah mengartikan kebisuan penuh
artinya sebagai arogansi dan kelompok kecil temannya sebagai eksklusivitas.
Reputasinya
terparti ketika Beau Brummel, yang pada saat itu diakui sebagai pemimpin
masyarakat kelas atas, melontarkan pertanyaan agak mendetail tentang
remeh-temeh mode baru. Nada bicara Brummel terdengar merendahkan dan dia jelas
berharap ingin mempermalukan lord
muda itu. Seperti yang diketahui seluruh London, tidak ada yang lebih disukai
Brummel selain membuat kaum elite Inggris menjadi orang idiot yang gagap. Jadi
dia pura-pura memedulikan pendapat Simon, mengakhiri pertanyaannya dengan
ucapan malas, “Bukankah begitu menurutmu?”
Sementara
para penonton gosip mengamati sambil menahan napas, Simon yang sama sekali
tidak peduli tentang susunan spesifik cravat
–semacam dasi– sang Pangeran, hanya mengarahkan tatapan mata biru dinginnya
kepada Brummel dan menjawab, “Tidak.”
Tidak
ada penjelasan, tidak ada keterangan, hanya, “Tidak.”
Kemudian
Simon pergi dari sana.
Keesokan
siangnya Simon bisa dibilang menjadi raja masyarakat kelas atas. Ironi itu
menggelikan. Simon tidak menyukai Brummel ataupun nada bicaranya, dan mungkin
ia akan melontarkan hinaan yang lebih menusuk jika ia yakin ia bisa
melakukannya tanpa tergagap. Namun dalam hal ini, sedikit bicara terbukti lebih
berarti, dan jawaban ketus Simon ternyata jauh lebih mematikan dibanding ucapan
panjang-lebar yang mungkin diutarakannya.
Kabar
pewaris Hastings yang brilian dan amat sangat tampan tentu saja mencapai
telinga sang duke. Walaupun dia tidak langsung mencari Simon, Simon mulai
mendengar gosip yang memperingatkannya bahwa hubungannya dengan ayahnya mungkin
sebentar lagi akan berubah. Sang duke tertawa ketika mendengar insiden Brummel,
dan berkata, “Tentu saja. Dia kan keturunan Basset.” Seorang kenalan
menyebutkan bahwa sang duke terdengar membanggakan rangking pertama Simon di Oxford.
Kemudian
keduanya bertemu muka di pesta dansa di London.
Sang
duke tidak mengizinkan Simon mengabaikannya.
Simon
berusaha melakukannya. Oh, ia sungguh-sungguh berusaha mengabaikan sang duke. Tapi
tak seorang pun mampu menghancurkan keyakinan dirinya seperti ayahnya, dan
manakala ia menatap sang duke, yang bisa dibilang cerminan dirinya walaupun
dalam versi yang sedikit lebih tua, ia tidak bisa bergerak, bahkan tidak
sanggup berbicara. Lidahnya terasa kelu, mulutnya terasa aneh, dan seolah kegagapan
menyebar dari mulut ke tubuhnya, karena mendadak ia bahkan tidak merasa nyaman
berada di dalam dirinya sendiri. Sang duke mengambil kesempatan dari
kelinglungan sementara Simon itu dengan memeluknya sambil berkata, “Putraku,”
dengan penuh sayang.
Simon
pergi dari Inggris keesokan harinya.
Ia
tahu mustahil menghindari ayahnya sepenuhnya jika ia tetap berada di Inggris.
Dan ia tidak mau berperan sebagai putra pria itu setelah bertahun-tahun lamanya
sang duke tidak berperan sebagai ayahnya.
Lagi
pula, akhir-akhir ini ia mulai bosan dengan kehidupan liar di London. Tanpa
memperhitungkan reputasi playboy-nya,
Simon sebenarnya tidak memiliki sifat layaknya perayu wanita sejati. Ia
menikmati malam-malam di kota seperti para sahabat berandalannya yang mana pun,
tapi setelah tiga tahun di Oxford dan satu tahun di London, rangkaian pesta dan
pelacur tanpa henti mulai terasa, yah, membosankan.
Jadi
ia pun pergi.
Tapi
sekarang ia senang sudah kembali kemari. Ada sesuatu yang nyaman berada di
tempat asalnya, sesuatu yang damai dan tenang tentang musim semi Inggris. Dan
setelah enam tahun pergi sendirian, senang sekali bisa bertemu teman-temannya
lagi.
Ia
berjalan tanpa suara melaului koridor, mengarah ke ruang dansa. Ia tidak ingin
kedatangannya diumumkan; Ia sama sekali tidak menginginkan deklarasi
kehadirannya. Pembicaraan tadi siang bersama Anthony Bridgerton telah
menegaskan kembali reputasinya untuk tidak berperan aktif dalam masyarakat London. Ia tidak berencana untuk menikah.
Selamanya. Dan tidak ada gunanya menghadiri pesta para bangsawan jika seorang
pria tidak mencari istri.
Meski
demikian ia merasa berutang budi pada Lady Danbury setelah menerima begitu
banyak kebaikan hati wanita itu selama masa kecilnya, dan sejujurnya, ia sangat
menyayangi wanita tua bakblakan itu. Menolak undangan wanita itu berarti ia
bersikap sangat kasar, terutama karena undangan itu disertai catatan pribadi
yang menyambut kedatangannya kembali ke negara ini.
Karena
tahu seluk beluk rumah ini, Simon masuk dari pintu samping. Jika segalanya
berjalan dengan baik, ia bisa menyelinap danpa ketahuan ke dalam ruang dansa,
Memberi salam pada Lady Danbury, lalu pergi.
Tapi
manakala berbelok di sudut, ia mendengar suara-suara, dan tubuhnya pun terpaku.
Simon
menahan erangan. Ia mendapati sepasang kekasih sedang bermesraan. Sialan.
Bagaimana ia bisa pergi dari sini tanpa ketahuan? Jika keberadaannya diketahui,
peristiwa yang terjadi selanjutnya pasti penuh dengan histeria, rasa malu, dan
emosi yang membosankan yang tak ada henti-hentinya. Lebih baik membaur ke
antara bayangan dan membiarkan sepasang kekasih itu melanjutkan kisah kasih
mereka.
Tapi
ketika mulai melangkah mundur tanpa suara, ia mendengar sesuatu yang menarik
perhatiannya.
“Tidak.”
Tidak?
Apa ada gadis muda yang dipaksa ke koridor kosong ini? Simon sama sekali tidak
ingin menjadi pahwalan bagi siapa pun, tapi bahkan dirinya tidak bisa
membiarkan pelecehan itu terus berlangsung. Ia menjulurkan lehernya sedikit,
menangkup tangan ke belakang telinga supaya bisa mendengar dengan lebih baik.
Lagi pula, bisa saja dirinya salah dengar. Jika tidak ada orang yang perlu
diselamatkan, sudah pasti ia takkan merengsek maju seperti orang tolol yang sok
tahu.
“Nigel,”
ucap gadis itu, “seharusnya kau tidak mengikutiku kemari.”
“Tapi
aku mencintaimu!” seru si pemuda dengan suara penuh gairah. “Aku hanya ingin
memperistrimu.”
Simon
nyaris mengerang. Pemuda itu dibutakan oleh cinta yang malang. Hal ini
menyakitkan untuk di dengar.
“Nigel,”
ujar si gadis lagi, suaranya secara mengejutkan terdengar ramah dan sabar, “kakakku
sudah memberitahumu bahwa aku tidak bisa menikah denganmu. Kuharap kita bisa
terus berteman.”
“Tapi
kakakmu tidak mengerti!”
“Ya,
dia mengerti,” tukas wanita itu tegas.
“Astaga!
Kalau kau tidak menikah denganku, siapa yang mau?”
Simon
mengerjapkan mata dengan terkejut. Dalam hal lamar-melamar, hal ini sama sekali
tidak romantis.
Sepertinya
gadis itu juga memikirkan hal yang sama. “Yah,” ujarnya, terdengar agak sebal, “bukankah
ada lusinan gadis muda lain di ruang dansa Lady Danbury saat ini? Aku yakin
salah satu dari mereka akan sangat senang menikah denganmu.”
Simon
mencondongkan tubuh sedikit ke depan supaya bisa melihat sebagian peristiwa
itu. Si gadis tertutup bayangan, tapi ia bisa melihat sang pria dengan lumayan
jelas. Wajah pria itu menampakkan ekspresi murung, bahunya agak membungkuk ke
depan dengan pasrah. Perlahan-lahan pria itu menggeleng. “Tidak,” ucap pria itu
muram, “mereka tidak mungkin senang. Tidakkah kau melihatnya? Mereka... mereka–”
Simon
mengernyit manakala pria itu bergulat dengan kata-kata. Tampaknya pemuda itu
tidak gagap, hanya terlalu emosional, tapi ia tidak pernah nyaman mendengar
seseorang yang tidak mampu mengucapkan suatu kalimat.
“Tidak
ada yang sebaik dirimu,” akhirnya pemuda itu berkata. “Kaulah satu-satunya yang
pernah tersenyum padaku.”
“Oh,
Nigel,” ujar gadis itu, mendesah keras. “Aku yakin itu tidak benar.”
Tapi
Simon tahu gadis itu hanya berusaha berbaik hati. Dan manakala gadis itu
mendesah lagi, jelas dia tidak perlu diselamatkan. Sepertinya gadis itu sudah
bisa mengatasi situasi ini dengan baik, dan, walaupun Simon merasakan simpati
samar terhadap Nigel yang malang, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk
membantunya.
Lagi
pula, ia mulai merasa seperti tukang intip paling menjijikan.
Ia
mulai mundur dengan pelan, terus memusatkan perhatiannya pada pintu yang ia
tahu mengarah ke perpustakaan. Ada pintu lain di seberang ruangan itu yang
mengarah ke rumah kaca. Dari sana ia bisa masuk ke aula utama dan melanjutkan
perjalanannya ke ruang dansa. Itu berarti ia takkan bisa menyelinap diam-diam
misalnya memintas melalui koridor belakang, tapi paling tidak Nigel malang
takkan tahu ada seseorang yang menyaksikan peristiwa memalukan tersebut. Tapi
kemudian hanya satu langkah dari pelarian yang sukses, ia mendengar si gadis
memekik.
“Kau
harus menikah denganku!” seru Nigel. “Harus! Aku takkan menemukan orang lain
lagi–”
“Nigel,
hentikan!”
Simon
berbalik dan mengerang. Tampaknya ia ternyata memang harus menyelamatkan gadis
itu. Ia berderap kembali ke dalam aula, menampilkan ekspresi paling tegas dan
paling pongah ala duke di wajahnya.
Kata-kata, “Kurasa wanita itu memintamu untuk berhenti,” tergantung di
lidahnya, tapi sepertinya ia memang tidak ditakdirkan berperan sebagai pahlawan
malam ini, karena sebelum ia sempat bersuara, wanita muda itu menekuk lengan
kanannya dan mendaratkan pukulan yang secara mengejutkan efektif di rahang
Nigel.
Nigel
tersungkur, kedua lengannya bergerak-gerak aneh sementara kakinya melemas.
Simon hanya berdiri di sana, mengamati dengan takjub manakala gadis itu
berlutut.
“Oh,
astaga,” ucap gadis itu, suaranya sedikit panik. “Nigal, kau baik-baik saja?
Aku tidak bermaksud meninjumu sekeras itu.”
Simon
terbahak. Ia tidak bisa menahannya. Gadis itu mendongak dengan kaget.
Simon
terkesiap. Sampai beberapa saat lalu gadis itu tertutup bayangan, dan yang bisa
dilihatnya hanyalah rambut gelap dan tebal. Tapi sekarang, ketika gadis itu
mempunyai mata besar yang sama-sama kelam, dan bibir paling lebar serta paling
ranum yang pernah dilihatnya. Wajah berbentuk hati gadis itu tidak cantik
menurut standar masyarakat kelas atas, tapi sesuatu tentang gadis itu membuat
seluruh oksigen di tubuhnya menguap.
Alis
gadis itu, tebal namun terlihat indah bak semut beriring, bertaut. “Siapa kau?”
tanyanya, sama sekali tidak terdengar senang melihat Simon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar