Senin, 21 Januari 2019

The Duke and I, #2

Duke of Hastings yang baru ini sosok yang sangat menarik. Walaupun sudah menjadi rahasia umum bahwa dia tidak berhubungan baik dengan ayahnya, bahkan Penulis tidak bisa  mengetahui alasan perselisihan mereka.

LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN,
26 APRIL 1813


Beberapa hari setelahnya, masih dalam minggu yang sama, Daphne mendapati dirinya berdiri di pinggir ruang dansa Lady Danbury, jauh dari kerumunan warga terkemuka. Ia cukup puas dengan posisinya.

Biasanya ia menikmati keriaan ini; ia menyukai pesta yang bagus seperti halnya gadis biasa, tapi tadi sore kakaknya berkata bahwa Nigel Berbrooke menemui Anthony dua hari lalu untuk meminang Daphne. Lagi. Tentu saja Anthony menolaknya (lagi!), tapi Daphne punya firasat kuat Nigel takkan pernah menyerah, dan itu membuatnya resah. Lagi pula, dua pinangan dalam dua minggu tidak menggambarkan pria yang akan menerima kekalahan dengan mudah.

Di seberang ruang dansa Daphne bisa melihat pria itu menoleh ke sana kemari, sehingga ia pun bersembunyi semakin dalam ke balik bayangan.

Ia tidak tahu menghadapi pria malang itu. Nigel tidak terlalu cerdas, tapi juga tidak terlalu jahat, dan, walaupun tahu ia harus mengakhiri kegrandrungan pria itu terhadapnya, ia mendapati lebih mudah bertindak seperti pengecut dan menghindari pria itu jauh-jauh.

Ia sedang mempertimbangkan menyelinap ke ruang istirahat wanita ketika suara familier menghentikan langkahnya.

“Hei, Daphne, apa yang kau lakukan di sana!”

Daphne mendongak dan melihat kakak laki-laki sulungnya menghampirinya. “Anthony,” ucapnya, berusaha memutuskan dirinya senang bertemu dengan kakaknya atau sebal karena kakaknya mungkin datang untuk mencampuri urusannya. “Aku tidak tahu kau akan menghadiri acara ini.”

“Ibu,” jawab anthony muram. Tidak ada kata lain yang perlu diucapkan.

“Ah,” sahut Daphne sambil mengangguk bersimpati. “Kau tidak perlu bilang apa-apa lagi. Aku sangat mengerti.”

“Dia membuat daftar calon mempelai potensial.” Anthony melontarkan tatapan merana kepada adiknya. “Kita menyayanginya, bukan?”

Daphne tersedak menahan tawa. “Ya, anthony, kita menyayanginya.”

“Ini kegilaan sementara,” gerutu Anthony. “Pasti begitu. Tidak ada penjelasan lain. Dia ibu yang sangat logis sampai usiamu sudah pantas untuk menikah.”

“Aku?” pekik Daphne. “Kalau begitu semua ini salahku? Kau delapan tahun lebih tua dibanding aku!”

“Ya, tapi dia tidak dicengkram gairah pernikahan ini sebelum kau cukup umur.”

Daphne mendengus. “Maaf kalau aku tidak bersimpati padamu. Aku menerima daftarnya tahun lalu.”

“Benarkah?”

“Tentu saja. Dan akhir-akhir ini dia mengancam akan mengirimkannya setiap minggu. Dia merecokiku dalam hal pernikahan, lebih parah daripada yang bisa kau bayangkan. Lagi pula, pria lajang itu tantangan. Perawan tua itu hanya menyedihkan. Dan kalau kau belum menyadarinya, aku ini perempuan.”

Anthony terkekeh pelan. “Aku kakakmu. Aku tidak menyadari hal semacam itu.” Ia melirik jail ke arah adiknya. “Kau membawanya, tidak?”

“Daftarku? Astaga, tidak. Apa sih yang kau pikirkan?”

Senyum Anthony melebar. “Aku membawa daftarku.”

Daphne terkesiap. “Bohong!”

“Betul kok. Hanya untuk menyiksa ibu. Aku akan mencermatinya tepat di hadapan Ibu, menggunakan kacamata kecilku–”

“Kau tidak punya kacamata kecil.”

Anthony menyengir, senyuman pelan dan amat sangat menggoda yang tampaknya dimiliki oleh semua pria Bridgerton. “Aku membelinya khusus untuk acara ini.”

“Anthony, sama sekali jangan melakukannya. Dia akan membunuhmu. Kemudian, entah bagaimana, dia akan menemukan cara untuk menyalahkanku.”

“Aku memang mengharapkannya.”

Daphne memukul bahu Anthony, membuat kakaknya melontarkan suara mengaduh yang cukup keras hingga enam orang tamu pesta melirik dengan penasaran ke arah mereka.

“Pukulan yang kuat,” komentar Anthony sambil mengusap lengannya.

“Anak perempuan tidak bisa hidup lama bersama empat saudara laki-laki tanpa belajar memukul dengan kuat.” Daphne menyilangkan tangannya. “Coba kulihat daftarmu.”

“Setelah kau barusan menyerangku?”

Daphne memutar mata coklatnya dan menelengkan kepala dalam sikap yang menunjukkan ketidaksabarannya.

“Oh, baiklah.” Anthony meraih ke dalam rompinya, mengeluarkan secarik kertas yang terlipat, lalu menyerahkannya pada Daphne. “Katakan padaku apa pendapatmu. Aku yakin kau punya komentar tajam yang tidak ada habisnya.”

Daphne membuka kertas yang terlipat itu dan membaca tulisan tangan rapi serta elegan ibunya. V iscountess Bridgerton menuliskan nama delapan wanita. Delapan wanita muda yang sangat layak dan sangat kaya. “Persis seperti dugaanku,” gumam Daphne.

“Apa itu seburuk dugaanku?”

“Lebih buruk malah. Philipa Featherington itu berotak udang.”

“Dan sisanya?”

Daphne mendongak memandang kakaknya sambil mengangkat alis. “Kau tidak berniat menikah tahun ini, bukan?”

Anthony mengernyit. “Dan bagaimana dengan daftarmu?”

“Untungnya sudah ketinggalan zaman sekarang. Tiga dari lima nama itu menikah musim kemarin. Ibu masih mengomeliku karena membiarkan mereka lolos dari genggamanku.”

Kedua Bridgerton itu mendesah dengan serupa sembari bersandar ke dinding. Violet Bridgerton tidak kenal gentar dalam misi menikahkan anak-anaknya. Anthony, si putra sulung, dan Daphne, si putri sulung, mendapat tekanan terbesar, walaupun Daphne curiga sang viscountess mungkin akan dengan riang akan menikahkan Hyacinth yang baru berumur sepuluh tahun jika anak itu menerima lamaran yang sesuai.

“Demi Tuhan, kalain terlihat seperti sepasang patung muram. Apa yang kalian lakukan bersembunyi di pojok sini?”

Satu lagi suara yang langsung bisa dikenali. “Benedict,” ujar Daphne, melirik ke arah kakak laki-lakinya tanpa menoleh. “Jangan bilang Ibu berhasil memaksamu menghadiri acara malam ini.”

Benedict mengangguk muram. “Dia tidak menggunakan bujukan lagi dan langsung mengulik rasa bersalahku. Minggu ini dia sampai tiga kali mengingatkanku bahwa aku mengkin harus menghasilkan viscount berikutnya jika Anthony tidak segera bertindak.”

Anthony mengerang.

“Aku berasumsi itu juga menjelaskan pelarian kalian ke sudut terkelam ruang dansa ini?” lanjut Benedict. “Menghindari ibu?”

“Sebenarnya,” jawab anthony, “Aku melihat Daff mengumpet di sudut lalu–”

“Mengumpet?” Ucap Benedict dengan nada pura-pura terkejut.

Daphne mengerutkan dahi sembari menatap kedua kakaknya. “Aku kemari untuk bersembunyi dari Nigel Berbrooke,” jelasnya. “Aku meninggalkan Ibu yang ditemani Lady Jersey, jadi dia takkan menggangguku dalam waktu dekat, tapi Nigel?”

“Lebih mirip kera dibanding manusia,” kutip Benedict.

“Yah, aku takkan membandingkannya persis seperti itu,” ujar Daphne, berusaha berbaik hati, “tapi dia tidak terlalu cerdas, dan jauh lebih mudah menghindarinya dibanding melukai perasaannya. Tentu saja karena kalian sudah menemukanku, aku takkan bisa menghindarinya lebih lama lagi.”

Anthony mengutarakan satu kata singkat, “Oh?”

Daphne menatap kedua kakak laki-lakinya, dengan tinggi lebih dari 180 sentimeter, bahu bidang, dan mata coklat tebal yang mirip dengan rambutnya sendiri, dan yang lebih penting, keduanya tidak bisa pergi ke mana pun di antara kerumunan masyarakat kelas atas tanpa diikuti oleh sekumpulan kecil gadis muda yang sibuk berceloteh.

Dan ke mana pun sekumpulan gadis muda yang sibuk berceloteh pergi, Nigel Berbrooke pasti mengikutinya.

Daphne sudah bisa melihat kepala-kepala menoleh ke arah mereka. Para ibu ambisius mendorong putri mereka dan menunjuk kedua anak lelaki Bridgerton, sendirian tanpa ditemani siapa pun kecuali adik perempuan mereka.

“Aku tahu seharusnya aku pergi ke ruang istirahat,” gerutu Daphne.

“Hei, kertas apa yang kau pegang itu, Daff?” tanya Benedict.

Tanpa pikir panjang Dapnhe menyerahkan daftar calon mempelai anthony kepada Benedict.

Mendengar tawa keras Benedict, Anthony menyilangkan tangannya dan berkata, “Tolong jangan terlalu bersuka ria di atas penderitaanku. Aku memprediksi kau akan menerima daftar serupa minggu depan.”

“Sudah pasti,” Benedict menyetujui. “Tidak mengherankan Colin–” Mata Benedict terbelalak. “Colin!”

Satu lagi anak lelaki Bridgerton bergabung dengan mereka.

“Oh, Colin!” seru Daphne, memeluk kakaknya. “Aku senang sekali bertemu denganmu.”

“Perhatikan bagaimana kita tidak menerima sambutan seantusias itu,” ucap Anthony kepada Benedict.

“Aku sudah bertemu kalian berdua,” balas Daphne. “Colin sudah pergi setahun penuh.” Setelah memeluk sekali lagi, ia melangkah mundur dan mengomel, “Kami pikir kau baru akan datang minggu depan.”

Gerakan salah satu bahu Colin amat sangat serupa dengan senyum menawannya. “Paris mulai membosankan.”

“Ah,” sahut Daphne dengan pandangan jeli. “Lalu kau kehabisan uang.”

Colin terbahak dan mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Tebakanmu tepat sekali.”

Anthony memeluk adik lelakinya dan berkata dengan suara kasar, “Senang sekali melihatmu pulang ke rumah, Dik. Walaupun uang yang kukirimkan kepadamu seharusnya cukup paling tidak sampai–”

“Stop,” ujar Colin tanpa daya, tawa masih mewarnai suaranya. “Aku berjanji kau boleh mengomeliku sepuasmu besok. Malam ini aku hanya ingin menikmati ada di dekat keluargaku tercinta.”

Benedict mendengus. “Kau pasti benar-benar bangkrut kalau sampai menyebut kami ‘keluarga tercinta’-mu.” Meski demikian ia tetap mencondongkan badan untuk memeluk adiknya erat-erat. “Selamat datang kembali.”

Colin menyengir, anak paling bandil dalam keluarga Bridgerton, mata hijaunya berseri-seri. “Senang rasanya bisa kembali. Walaupun aku harus mengakui cuacanya tidak sebaik di Eropa, sementara kaum wanitanya, yah, Inggris pasti kesulitan jika harus bersaing dengan para signorina yang ku–”

Daphne meninju lengan Colin. “Jangan kurang ajr, tolong diingat ya, ada wanita di sini.” Hampir tidak ada amarah dalam suaranya. Dari semua saudaranya, Colinlah yang paling dekat dengannya, hanya delapan belas bulan lebih tua. Ketika masih kecil, mereka tidak terpisankan dan selalu terjerumus masalah. Colin memang suka menjaili orang, dan Daphne tidak pernah perlu dibujuk lama-lama untuk mengikuti rencana Colin. “Ibu sudah tahu kau sudah pulang?” tanya Daphne.

Colin menggeleng. “aku sampai dan mendapati rumah kosong, jadi –”

“Ya, Ibu menidurkan adik-adik yang masih kecil lebih cepat malam ini, sela Daphne.

“Aku tidak mau menunggu sambil bengong, jadi Humboldt memberitahukan lokasimu malam ini dan aku menyusul kemari.”

Wajah Daphne berseri-seri, senyum lebar itu menghangatkan mata kelamnya. “aku senang kau menyusul kemari.”

“Ibu ada di mana?” tanya Colin, menjulurkan leher untuk mengamati ke atas kerumunan orang. Seperti halnya semua pria Bridgerton, tubuhnya jangkung, jadi dia tidak perlu menjulurkan lehernya jauh-jauh.

Di sudut bersama Lady Jersey,” jawab Daphne.

Colin bergidik. “Aku akan menunggu sampai dia pergi sendiri dari sana. Aku tidak ingin dicincang hidup-hidup oleh naga itu.”

“Omong-omong tentang naga,” imbuh Benedict muram. Kepalanya tidak bergerak, namun matanya melirik ke kiri.

Daphne mengikuti arah pandangan Benedict dan melihat Lady Danbury berderap perlahan menuju tempat mereka. Wanita itu membawa tongkat, tapi Daphne menelan ludah dengan gugup dan menegakkan bahunya. Komentar tajam yang sering dilontarkan Lady Danbury sudah melegenda di antara kaum bangsawan. Daphne selalu curiga sikap tajam itu menyembunyikan hati yang sentimental, tapi tetap saja, selalu menakutkan ketika Lady Danbury mendesak seseorang untuk bercakap-cakap dengannya.

“Tidak bisa kabur,” Daphne mendengar salah satu kakak lelakinya mengerang.

Daphne menyuruhnya diam dan menyunggingkan senyum ragu kepada wanita tua itu.

Alis Lady Danbury terangkat, dan ketika jaraknya tinggal satu meter lagi dari kumpulan Bridgerton itu, dia berhenti dan mengomel, “Jangan pura-pura tidak melihatku!”

Ini diikuti oleh entakan tongkat yang begitu keras hingga Daphne meloncat ke belakang dan menginjak jari kaki Benedict.

“Aduh,” ujar Benedict.

Karena ketiga kakaknya mendadak jadi bisu untuk sementara (tentu saja kecuali Benedict, tapi Daphne pikir ungkapan kesakitan itu tidak bisa dianggap sebagai ucapan yang cerdas) ia menelan ludah dan berkata, “Saya harap saya tidak memberi kesan seperti itu, Lady Danbury, mengingat–”

“Bukan kau,” potong Lady Danbury angkuh. Ia mengangkat tongkatnya hingga membentuk garis horisontal sempurna, dan ujungnya nyaris menyentuh perut Colin. “Tapi mereka.”

Raspon mereka berupa kor gumaman sambutan.

Lady Danbury hanya melirik sekilas ketiga pria itu sebelum kembali menatap Daphne dan berkata, “Barusan Mr. Berbrooke mencarimu.”

Daphne benar-benar merasa wajahnya memucat. “Benarkah?”

Lady Danburi mengangguk ketus. “Kalau aku jadi dirimu, aku akan langsung memupus harapannya, Miss Bridgerton.”

“Apa kau memberitahunya di mana aku berada?”

Bibir Lady Danbury melekuk membentuk senyum licik dan bersekongkol. “Aku selalu tahu aku menyukaimu. Dan tidak, aku tidak memberitahunya di mana kau berada.”

“Terima kasih,” ucap Daphne penuh syukur.

“Jika kau menikah dengan bocah tolol itu, itu hanya akan menyia-nyiakan otak cerdasmu,” tukas Lady Danbury, “dan Tuhan tahu kaum bangsawan tidak bisa menyia-nyiakan segelintir otak cerdas yang kita punya.”

“Eh, terima kasih,” sahut Daphne.

“Sementara kalian,” Lady Danbury melambaikan tongkatnya ke arah kakak lelaki Daphne, “aku belum memutuskan pendapatku. Kau” –ia mengacungkan tongkatnya kepada Anthony– “aku  cenderung menyukaimu, mengingat kau menolak lamaran Berbrooke atas nama adikmu, tapi kalian berdua... Hah.”

Dan setelah itu lagi Danbury pergi meninggalkan mereka.

“Hah?” seru Benedict. “’Hah?’ Dia meragukan kecerdasanku dan yang bisa dikatakannya hanya ‘Hah?’”

Daphne tersenyum puas. “Dia menyukaiku.”

“Aku sama sekali tidak keberatan kok,” gerutu Benedict.

“Dia ternyata lumayan baik, mau mempertimbangkanmu tentang Berbrooke,” aku Anthony.

Daphne mengangguk. “Kurasa itu pertanda bagiku untuk segera pergi dari sini.” Ia berbalik dan melontarkan tatapan mengiba pada Anthony. “Jika Nigel mencariku–”

“Aku akan mengurusnya,” sahut Anthony lembut. “Jangan khawatir.”

“Terima kasih.” Kemudian setelah tersenyum kepada kakak-kakaknya, Daphne menyelinap ke luar ruang dansa.



Manakala berjalan tanpa suara melalui koridor kediaman London Lady Danbury, Simon sadar dirinya sangat gembira. Ini sungguh-sungguh luar biasa, batinnya sambil terkekeh, mengingat fakta ia hendak mendatangi pesta dansa masyarakat kelas atas dan oleh karena itu menceburkan dirinya ke dalam kengerian yang dipaparkan Anthony Bridgerton kepadanya tadi siang.

Tapi ia dapat menghibur diri karena tahu setelahnya ia takkan perlu menghadiri acara semacam ini lagi; seperti yang dikatakan pada Anthony tadi siang, ia hanya menghadiri pesta dansa ini atas dasar kesetiaannya kepada Lady Danbury, yang, meski cerewet, selalu lumayan berbaik hati kepadanya semasa ia kecil.

Ia mulai menyadari suasana hatinya yang baik berasal dari kenyataan sederhana bahwa dirinya senang sudah kembali berada di Inggris.

Bukannya ia tidak menikmati perjalanannya keliling dunia. Ia sudah berkeliling ke seluruh penjuru Eropa, berlayar di lautan Mediterania yang luar biasa biru dan indah, lalu menceburkan diri ke dalam misteri Afrika utara. Dari sana ia pergi ke Tanah Suci, lalu, dan ketika penyelidikan mengungkapkan belum saatnya ia pulang, ia pun menyeberangi Atlantik dan mengeksplorasi Hindia Barat. Saat itu ia mempertimbangkan untuk pindah ke Amerika Serikat, tapi negara baru itu malah memulai konflik dengan Inggris, jadi Simon menjauh dari sana.

Lagi pula, pada saat itulah ia mendapat kabar ayahnya akhirnya meninggal dunia setelah beberapa tahun sakit.

Sebenarnya ini ironis. Simon takkan mau menukar tahun-tahun pengelanaannya dengan apa pun juga. Enam tahun memberinya banyak waktu untuk berpikir, dan belajar apa artinya menjadi pria dewasa. Namun satu-satunya alasan Simon yang berusia 22 tahun meninggalkan Inggris adalah karena ayahnya mendadak memutuskan untuk akhirnya menerima putranya.

Tapi ia tidak bersedia menerima ayahnya, jadi ia langsung mengemas barang-barangnya dan pergi dari negara itu, memilih mengasingkan diri dibanding menerima limpahan kasih sayang duke tua hipokrit itu.

Semua itu dimulai ketika Simon selesai bersekolah di Oxford. Sang duke awalnya tidak mau membayar biaya sekolah anaknya; Simon pernah melihat surat yang ditujukan kepada seorang dosen yang menyatakan bahwa sang duke tidak mau membiarkan anak idiotnya mempermalukan keluarganya ke Eton. Tapi Simon haus akan pengetahuan serta keras hati, jadi ia menyuruh kereta  kuda membawanya ke Eton, mengetuk pintu kepala sekolah, dan memberitahukan kedatangannya.

Itu hal paling menakutkan yang pernah dilakukannya, tapi entah bagaimana ia berhasil meyakinkan kepala sekolah bahwa keteledoran itu merupakan kesalahan pihak sekolah, bahwa entah bagaimana Eton pasti menghilangkan berkas pendaftaran serta uang sekolahnya. Ia meniru semua tindak-tanduk ayahnya, Menaikkan alis dengan arogan, mengangkat dagu, dan bersikap angkuh, secara garis besar terlihat seolah dia pikir dialah pemilik dunia ini.

Sementara selama itu hatinya gemetar, takut ucapannya akan tergagap dan tumpang-tindih, bahwa “Aku Earl Clyvedon, dan aku kemari untuk memulai pelajaranku,” malah terucap seperti, “Aku Earl Clyvedon, dan aku k-k-k-k-k–”

Tapi itu tidak terjadi, dan kepala sekolah yang sudah menghabiskan waktu cukup lama mendidik kaum elite Inggris hingga langsung bisa mengenali Simon sebagai anggota keluarga Basset, langsung mendaftarkan Simon dengan segera dan tanpa basa-basi. Butuh beberapa bulan bagi sang duke (yang selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri) untuk mengetahui status baru serta perubahan tempat tinggal putranya. Pada saat itu Simon sudah mapan di Eton, dan akan terlihat sangat buruk jika sang duke mengeluarkan anak itu dari sekolah tanpa alasan yang jelas.

Dan sang duke tidak suka terlihat buruk.

Simon sering bertanya-tanya mengapa ayahnya tidak memilih untuk bertindak pada saat itu juga. Jelas ia tidak gagap ketika ia berbicara di Eton; sang Duke pasti mendapat kabar dari kepala sekolah jika putranya tidak sanggup mengikuti pelajaran. Ucapan Simon terkadang masih gagap, tapi pada saat itu ia sudah sangat mahir menutupi kesalahannya dengan terbatuk atau, jika sedang beruntung dan hal itu terjadi pada saat makan, ia bisa memilih waktu yang tepat untuk minum teh atau susu.

Tapi sang duke bahkan tidak pernah menulis sepucuk surat pun kepadanya. Simon beranggapan ayahnya sudah terlalu terbiasa mengabaikan putranya hingga tidak peduli dirinya tidak terbukti mempermalukan nama Basset.

Setelah lulus dari Eton, Simon secara alamiah melanjutkan pendidikan di Oxford, tempat ia mendapat reputasi sebagai cendekiawan sekaligus playboy. Sejujurnya, ia tidak lebih pantas mendapat gelar playboy dibading kebanyakan pemuda di universitas tersebut, tapi sikap Simon yang agak angkuh entah bagaimana menumbuhkan gambaran tersebut.

Simon tidak yakin bagaimana hal itu terjadi, tapi perlahan-lahan ia sadar teman-teman seusianya mendambakan persetujuannya. Dirinya cerdas dan atletis, tapi sepertinya status kehormatan itu lebih disebabkan oleh tindak-tanduknya dibanding hal lain. Karena Simon tidak berbicara ketika kata-kata tidak benar-benar diperlukan, mereka menilainya sebagai sosok yang arogan, persis seperti sikap calon duke di masa depan. Karena ia lebih suka dikelilingi oleh teman yang sungguh-sungguh dirasanya nyaman, mereka memutuskan dia amat sangat pemilih dalam menentukan teman, persis seperti yang dilakukan oleh calon duke.

Ia tidak banyak bicara, tapi ketika mengatakan sesuatu, komentarnya bersifat blak-blakan dan sering kali sinis, tipe humor yang memastikan orang-orang sangat menghargai setiap ucapannya. Dan lagi-lagi, karena ia tidak banyak cakap, seperti halnya begitu banyak kaum bangsawan, mereka bahkan semakin terobsesi dengan ucapannya.

Simon disebut “amat sangat percaya diri,” “Luar biasa tampan,” dan “sosok pria Inggris sempurna.” Para pria meminta pendapatnya dalam berbagai topik.

Para wanita terkulai di kakinya.

Simon tidak pernah bisa memercayai semua ini, tapi meski demikian ia menikmati statusnya, menerima apa yang ditawarkan kepadanya, bertindak sesuka hati bersama temannya, menikmati pendampingan para janda muda serta penyanyi opera yang menginginkan perhatiannya, dan setiap pengalaman liar itu terasa lebih manis karena tahu ayahnya pasti tidak menyetujuinya.

Tapi ternyata ayahnya tidak sepenuhnya tidak menyetujuinya. Tanpa sepengetahuan Simon, Duke of Hastings mulai tertarik pada kemajuan putra tunggalnya itu. Dia meminta laporan akademis dari universitas dan menyewa detektif Boe Street Runner untuk melaporkan aktivitas ekstrakurikuler Simon. Dan akhirnya sang duke berhenti mengharapkan setiap surat berisi kisah ketololan putranya.

Mustahil mengetahui persisnya kapan beliau berubah pikiran, tapi suatu hari sang duke penyadari putranya ternyata lumayan bisa dibanggakan.

Sang duke membusungkan dada dengan bangga. Seperti biasa, keturunan yang baik selalu terbukti pada akhirnya. Seharusnya ia tahu darah Basset tidak mungkin menghasilkan anak idiot.

Begitu lulus dari Oxford dengan rangking pertama dalam pelajaran matematika, Simon datang ke London bersama temannya. Tentu saja ia tinggal di rumah bujangan, karena tidak mau berdiam bersama ayahnya. Dan manakala Simon memasuki lingkungan pergaulan masyarakat, lebih banyak orang salah mengartikan kebisuan penuh artinya sebagai arogansi dan kelompok kecil temannya sebagai eksklusivitas.

Reputasinya terparti ketika Beau Brummel, yang pada saat itu diakui sebagai pemimpin masyarakat kelas atas, melontarkan pertanyaan agak mendetail tentang remeh-temeh mode baru. Nada bicara Brummel terdengar merendahkan dan dia jelas berharap ingin mempermalukan lord muda itu. Seperti yang diketahui seluruh London, tidak ada yang lebih disukai Brummel selain membuat kaum elite Inggris menjadi orang idiot yang gagap. Jadi dia pura-pura memedulikan pendapat Simon, mengakhiri pertanyaannya dengan ucapan malas, “Bukankah begitu menurutmu?”

Sementara para penonton gosip mengamati sambil menahan napas, Simon yang sama sekali tidak peduli tentang susunan spesifik cravat –semacam dasi– sang Pangeran, hanya mengarahkan tatapan mata biru dinginnya kepada Brummel dan menjawab, “Tidak.”

Tidak ada penjelasan, tidak ada keterangan, hanya, “Tidak.”

Kemudian Simon pergi dari sana.

Keesokan siangnya Simon bisa dibilang menjadi raja masyarakat kelas atas. Ironi itu menggelikan. Simon tidak menyukai Brummel ataupun nada bicaranya, dan mungkin ia akan melontarkan hinaan yang lebih menusuk jika ia yakin ia bisa melakukannya tanpa tergagap. Namun dalam hal ini, sedikit bicara terbukti lebih berarti, dan jawaban ketus Simon ternyata jauh lebih mematikan dibanding ucapan panjang-lebar yang mungkin diutarakannya.

Kabar pewaris Hastings yang brilian dan amat sangat tampan tentu saja mencapai telinga sang duke. Walaupun dia tidak langsung mencari Simon, Simon mulai mendengar gosip yang memperingatkannya bahwa hubungannya dengan ayahnya mungkin sebentar lagi akan berubah. Sang duke tertawa ketika mendengar insiden Brummel, dan berkata, “Tentu saja. Dia kan keturunan Basset.” Seorang kenalan menyebutkan bahwa sang duke terdengar membanggakan rangking pertama Simon di Oxford.

Kemudian keduanya bertemu muka di pesta dansa di London.

Sang duke tidak mengizinkan Simon mengabaikannya.

Simon berusaha melakukannya. Oh, ia sungguh-sungguh berusaha mengabaikan sang duke. Tapi tak seorang pun mampu menghancurkan keyakinan dirinya seperti ayahnya, dan manakala ia menatap sang duke, yang bisa dibilang cerminan dirinya walaupun dalam versi yang sedikit lebih tua, ia tidak bisa bergerak, bahkan tidak sanggup berbicara. Lidahnya terasa kelu, mulutnya terasa aneh, dan seolah kegagapan menyebar dari mulut ke tubuhnya, karena mendadak ia bahkan tidak merasa nyaman berada di dalam dirinya sendiri. Sang duke mengambil kesempatan dari kelinglungan sementara Simon itu dengan memeluknya sambil berkata, “Putraku,” dengan penuh sayang.

Simon pergi dari Inggris keesokan harinya.

Ia tahu mustahil menghindari ayahnya sepenuhnya jika ia tetap berada di Inggris. Dan ia tidak mau berperan sebagai putra pria itu setelah bertahun-tahun lamanya sang duke tidak berperan sebagai ayahnya.

Lagi pula, akhir-akhir ini ia mulai bosan dengan kehidupan liar di London. Tanpa memperhitungkan reputasi playboy-nya, Simon sebenarnya tidak memiliki sifat layaknya perayu wanita sejati. Ia menikmati malam-malam di kota seperti para sahabat berandalannya yang mana pun, tapi setelah tiga tahun di Oxford dan satu tahun di London, rangkaian pesta dan pelacur tanpa henti mulai terasa, yah, membosankan.

Jadi ia pun pergi.

Tapi sekarang ia senang sudah kembali kemari. Ada sesuatu yang nyaman berada di tempat asalnya, sesuatu yang damai dan tenang tentang musim semi Inggris. Dan setelah enam tahun pergi sendirian, senang sekali bisa bertemu teman-temannya lagi.

Ia berjalan tanpa suara melaului koridor, mengarah ke ruang dansa. Ia tidak ingin kedatangannya diumumkan; Ia sama sekali tidak menginginkan deklarasi kehadirannya. Pembicaraan tadi siang bersama Anthony Bridgerton telah menegaskan kembali reputasinya untuk tidak berperan aktif dalam masyarakat  London. Ia tidak berencana untuk menikah. Selamanya. Dan tidak ada gunanya menghadiri pesta para bangsawan jika seorang pria tidak mencari istri.

Meski demikian ia merasa berutang budi pada Lady Danbury setelah menerima begitu banyak kebaikan hati wanita itu selama masa kecilnya, dan sejujurnya, ia sangat menyayangi wanita tua bakblakan itu. Menolak undangan wanita itu berarti ia bersikap sangat kasar, terutama karena undangan itu disertai catatan pribadi yang menyambut kedatangannya kembali ke negara ini.

Karena tahu seluk beluk rumah ini, Simon masuk dari pintu samping. Jika segalanya berjalan dengan baik, ia bisa menyelinap danpa ketahuan ke dalam ruang dansa, Memberi salam pada Lady Danbury, lalu pergi.

Tapi manakala berbelok di sudut, ia mendengar suara-suara, dan tubuhnya pun terpaku.

Simon menahan erangan. Ia mendapati sepasang kekasih sedang bermesraan. Sialan. Bagaimana ia bisa pergi dari sini tanpa ketahuan? Jika keberadaannya diketahui, peristiwa yang terjadi selanjutnya pasti penuh dengan histeria, rasa malu, dan emosi yang membosankan yang tak ada henti-hentinya. Lebih baik membaur ke antara bayangan dan membiarkan sepasang kekasih itu melanjutkan kisah kasih mereka.

Tapi ketika mulai melangkah mundur tanpa suara, ia mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Tidak.”

Tidak? Apa ada gadis muda yang dipaksa ke koridor kosong ini? Simon sama sekali tidak ingin menjadi pahwalan bagi siapa pun, tapi bahkan dirinya tidak bisa membiarkan pelecehan itu terus berlangsung. Ia menjulurkan lehernya sedikit, menangkup tangan ke belakang telinga supaya bisa mendengar dengan lebih baik. Lagi pula, bisa saja dirinya salah dengar. Jika tidak ada orang yang perlu diselamatkan, sudah pasti ia takkan merengsek maju seperti orang tolol yang sok tahu.

“Nigel,” ucap gadis itu, “seharusnya kau tidak mengikutiku kemari.”

“Tapi aku mencintaimu!” seru si pemuda dengan suara penuh gairah. “Aku hanya ingin memperistrimu.”

Simon nyaris mengerang. Pemuda itu dibutakan oleh cinta yang malang. Hal ini menyakitkan untuk di dengar.

“Nigel,” ujar si gadis lagi, suaranya secara mengejutkan terdengar ramah dan sabar, “kakakku sudah memberitahumu bahwa aku tidak bisa menikah denganmu. Kuharap kita bisa terus berteman.”

“Tapi kakakmu tidak mengerti!”

“Ya, dia mengerti,” tukas wanita itu tegas.

“Astaga! Kalau kau tidak menikah denganku, siapa yang mau?”

Simon mengerjapkan mata dengan terkejut. Dalam hal lamar-melamar, hal ini sama sekali tidak romantis.

Sepertinya gadis itu juga memikirkan hal yang sama. “Yah,” ujarnya, terdengar agak sebal, “bukankah ada lusinan gadis muda lain di ruang dansa Lady Danbury saat ini? Aku yakin salah satu dari mereka akan sangat senang menikah denganmu.”

Simon mencondongkan tubuh sedikit ke depan supaya bisa melihat sebagian peristiwa itu. Si gadis tertutup bayangan, tapi ia bisa melihat sang pria dengan lumayan jelas. Wajah pria itu menampakkan ekspresi murung, bahunya agak membungkuk ke depan dengan pasrah. Perlahan-lahan pria itu menggeleng. “Tidak,” ucap pria itu muram, “mereka tidak mungkin senang. Tidakkah kau melihatnya? Mereka... mereka–”

Simon mengernyit manakala pria itu bergulat dengan kata-kata. Tampaknya pemuda itu tidak gagap, hanya terlalu emosional, tapi ia tidak pernah nyaman mendengar seseorang yang tidak mampu mengucapkan suatu kalimat.

“Tidak ada yang sebaik dirimu,” akhirnya pemuda itu berkata. “Kaulah satu-satunya yang pernah tersenyum padaku.”

“Oh, Nigel,” ujar gadis itu, mendesah keras. “Aku yakin itu tidak benar.”

Tapi Simon tahu gadis itu hanya berusaha berbaik hati. Dan manakala gadis itu mendesah lagi, jelas dia tidak perlu diselamatkan. Sepertinya gadis itu sudah bisa mengatasi situasi ini dengan baik, dan, walaupun Simon merasakan simpati samar terhadap Nigel yang malang, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membantunya.

Lagi pula, ia mulai merasa seperti tukang intip paling menjijikan.

Ia mulai mundur dengan pelan, terus memusatkan perhatiannya pada pintu yang ia tahu mengarah ke perpustakaan. Ada pintu lain di seberang ruangan itu yang mengarah ke rumah kaca. Dari sana ia bisa masuk ke aula utama dan melanjutkan perjalanannya ke ruang dansa. Itu berarti ia takkan bisa menyelinap diam-diam misalnya memintas melalui koridor belakang, tapi paling tidak Nigel malang takkan tahu ada seseorang yang menyaksikan peristiwa memalukan tersebut. Tapi kemudian hanya satu langkah dari pelarian yang sukses, ia mendengar si gadis memekik.

“Kau harus menikah denganku!” seru Nigel. “Harus! Aku takkan menemukan orang lain lagi–”

“Nigel, hentikan!”

Simon berbalik dan mengerang. Tampaknya ia ternyata memang harus menyelamatkan gadis itu. Ia berderap kembali ke dalam aula, menampilkan ekspresi paling tegas dan paling pongah ala duke di wajahnya. Kata-kata, “Kurasa wanita itu memintamu untuk berhenti,” tergantung di lidahnya, tapi sepertinya ia memang tidak ditakdirkan berperan sebagai pahlawan malam ini, karena sebelum ia sempat bersuara, wanita muda itu menekuk lengan kanannya dan mendaratkan pukulan yang secara mengejutkan efektif di rahang Nigel.

Nigel tersungkur, kedua lengannya bergerak-gerak aneh sementara kakinya melemas. Simon hanya berdiri di sana, mengamati dengan takjub manakala gadis itu berlutut.

“Oh, astaga,” ucap gadis itu, suaranya sedikit panik. “Nigal, kau baik-baik saja? Aku tidak bermaksud meninjumu sekeras itu.”

Simon terbahak. Ia tidak bisa menahannya. Gadis itu mendongak dengan kaget.

Simon terkesiap. Sampai beberapa saat lalu gadis itu tertutup bayangan, dan yang bisa dilihatnya hanyalah rambut gelap dan tebal. Tapi sekarang, ketika gadis itu mempunyai mata besar yang sama-sama kelam, dan bibir paling lebar serta paling ranum yang pernah dilihatnya. Wajah berbentuk hati gadis itu tidak cantik menurut standar masyarakat kelas atas, tapi sesuatu tentang gadis itu membuat seluruh oksigen di tubuhnya menguap.

Alis gadis itu, tebal namun terlihat indah bak semut beriring, bertaut. “Siapa kau?” tanyanya, sama sekali tidak terdengar senang melihat Simon.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar