Prolog
No Name, Colorado
Senin, 6 April 1891
David Paxton tak bisa memercayai kalau kota kecilnya telah
menjadi begitu sunyi sehingga ia bisa bersandar ke kursinya yang ada di luar
penjara tanpa apa pun yang bisa merusak suasana hatinya. Selama lebih dari
empat bulan, sejak ia mengubah taktiknya dalam menjaga keamanan, perkelahian di
bar dan adu senjata, yang merupakan hal lazim di masa lalu, sudah jarang
terjadi. Awalnya ia tak merasa yakin perubahan itu akan bertahan lama, tapi sekarang
ia akhirnya mulai percaya kalau hal itu akan bertahan. Tidak ada lagi
ketegangan, tidak perlu lagi waspada menanti datangnya masalah. Butuh waktu
agar ia terbiasa dengan perubahan itu, tapi sekarang pekerjaannya sebagai marshal terlihat sangat mudah
sampai-sampai rasanya hampir membosankan.
Di tengah embusan angin pagi, rambutnya yang sepuncak
melayang ke wajahnya, membuat segalanya tampak keemasan, sebelum ia mendorong
helaian rambutnya itu ke belakang dengan malas. Kapan terakhir kalinya ia merasa
sesantai ini? Paling tidak setahun yang lalu. Terus menerus tegang dan
berjaga-jaga tidak bagus untuk kesehatan. Semalam, merasa yakin ia tidak akan
nyenyak. Hah, ia merasa kondisi sangat sempurna sampai-sampai ia bisa bersumpah
kalau usianya tak lebih sehapi pun dari dua puluh tahun, dan bukannya tiga
puluh tahun. Sungguh sulit untuk dipercaya kalau ia akan berusia tiga puluh
satu tahun hanya dalam dua bulan lagi.
Old Mose Hepburn, si tukang mabuk lokal dan satu-satunya
tahanan David, sedang tidur di dalam selnya, sebahagia cacing di kayu busuk
sehingga pria itu bisa mendengkur di kasurnya yang tipis.
Seringnya, pria itu harus bersaing mendapatkan tempat dengan
tikus-tikus di loteng penyimpanan jerami di istal milik Cris Coffle. Kalau pria
tua penggerutu itu setia pada pola lamanya, ia tidak akan bangun sampai siang,
dan ketika itu Billy Joe Roberts, salah satu deputi David, sudah akan tiba di
kantor ini untuk bertugas dan bisa membelikan sarapan untuk Mose. David
mendesah puas dan merenggangkan bahunya, senang karena sekali-sekali bisa
bermalas-malasan dan membiarkan pikirannya mengembara. Tidak ada janji temu,
tidak ada rapat, dan tidak ada koboi kasar yang membuat gaduh. Suasana hatinya
yang santai semakin terasa dengan keberadaan Sam, anjingnya yang berbulu emas
dan putih, yang berbaring di sampingnya, mendengkur lebih keras daripada
gergaji mesin.
Menyaksikan kota No Name terbangun dari tidurnya merupakan
kenikmatan yang sudah lama dirindukan oleh David. Dan, oh, sungguh pagi yang
indah saat ini, membuatnya mengingat masa-masa mudanya, ketika terkadang tak
ada hal lain yang bisa dilakukannya kecuali duduk di teras belakang dan
menyaksikan rumput-rumput tumbuh. Papan kayu serambi itu berderit ketika ia
menggeser berat badannya. Seekor lalat pertama yang dilihatnya sejak musim
gugur yang lalu terbang berputar-putar di depan hidungnya. Cahaya matahari
tumpah ruah di atap-atap bangunan yang ada di seberang Main Street. Kehangatan
sinar mentari itu menyirami bagian bawah wajahnya yang tidak tertutupi oleh
pinggiran topinya dan meresap melalui kemeja dan duster-nya yang terbuat dari kulit, hingga membuatnya seperti
terbakar terlepas dari dinginnya udara awal musim semi. Yap, dan hari itu
tampaknya akan menjadi hari yang indah.
Berselonjor di atas sambungan-sambungan kayu tua yang masih
disebutnya kursi, David menjulurkan tungkainya yang panjang dan menyilangkan
kakinya yang terbungkus sepatu bot untuk mengamati spur-nya. Ia membenci benda itu, tidak akan pernah menggunakannya
pada kuda, dan merasa konyol memakainya. Tapi kakak iparnya, Caitlin,
bersikeras kalau benda itu adalah “pelengkapP bagi seragam marshal-nya yang baru. Yah, Caitlin selalu punya kata-kata hebat
untuk setiap hal kecil. David membalikkan pergelangan kakinya dan dengan puas
menyadari kalau gigi roda spur-nya
yang dulu berkilau seperti perak sekarang sudah menjadi kelabu dan penuh dengan
lumpur kering. Dulu, ia pasti akan langsung mendatangi toko kelontong
Gilpatrick untuk mencari semir dan mengembalikan kemilaunya. Sekarang tidak lagi.
Ia sudah belajar kalau seorang marshal
yang berparade keliling kota dengan kemeja bersih, celana jins berkanji, dan
sepatu bot mengilap hanya akan mencari masalah. Sekarang, di bawah petunjuk
dari abangnya, Ace, seorang mantan gunslinger
yang terkenal, David berpakaian lebih seperti seorang penjahat ketimbang
penjaga perdamaian, dan jelas sekali ia menghargai hasilnya. Tidak ada duel
senjata yang memanggilnya ke jalan selama lebih dari tiga bulan ini.
Suara gebukan keras membuat dengkuran Sam berhenti dan
menangkap perhatian David. Sambil menyipitkan matanya untuk melawan sinar
matahari, ia mengarahkan pandangannya ke seberang jalan menuju sumber keributan
itu. Rpxie Balloux, wanita montok yang selalu ceria, yang merupakan pemilik
restoran terbaik di No Name, baru saja keluar dari restorannya melalui pintu
samping dengan lima ember berisi sisa makanan di masing-masing tangannya.
Dengan rambut coklat kemerahannya yang dikepang dan dibentuk menjadi mahkota di
atas kepalanya, wanita itu terlihat menarik dalam baju rumah rapi bermotif
kotak-kotak biru putih dengan lengan dari renda dan korset baru yang seharusnya
membuat tubuh pemakainya lebih ramping. Namun efek itu hilang pada Roxie, yang
membuat cukup banyak pria senang. Wanita itu membulat di semua tempat yang
tepat dan tidak membutuhkan sumpalan apa-pun. Hell, Roxie dalam korset itu rasanya seperti menyendokkan krim
kocok di atas pai apel. Bukan berarti laki-laki dengan darah yang masih
mengalir bisa memikirkan makanan ketika sedang mengagumi bagian belakangnya.
Sayangnya, Roxie akan berumur tiga puluh lima tahun Agustus nanti, membuatnya
agak terlalu tua bagi David, yang masih berharap untuk menikah dan memiliki
keluarga sendiri.
Sementara Roxie menuruni undakan depan restoran itu, Old
Jeb, seekor anjing hitam milik Jesse Chandler, pembersih cerobong asap, muncul
entah dari mana, menggonggong dengan gembira dan berputar-putar di kaki Roxie
ketika wanita itu membalikkan ember-embernya di atas tong sampah. Ia menyerah
sambil mendesah, terdengar dengan jelas bahkan dari seberang jalan, dan dengan
santai mengorek sisa makanan tersebut untuk mencari hadiah bagi anjing pengemis
itu. Ia melemparkan tulang yang dibubuhi oleh sesuatu yang terlihat seperti
serbuk kopi ke anjing itu. Jeb tidak cerewet dan langsung menjatuhkan perutnya
ke atas sepetak rumput, masih kuning akibat musim dingin, untuk menggigiti
tulang itu dengan bahagia.
Sam, yang entah mendengar Jeb mengunyah atau mencium baunya,
langsung tersentak bangun dan mendengking. David menurunkan satu tangannya ke
atas kepala anjingnya. “Tidak boleh, dasar kau rakus. Setiap kali melahap
makanan sisa Roxie, kau pasti muntah.”
Anjing gembala itu menggerutu dan kembali mendengkur. David
bergoyang, beringsut, dan kembali melamun, matanya mengamati toko-toko di seberang
jalan. Di samping restoran, Tobias Thompson, yang sebegitu kurusnya
sampai-sampai tidak menimbulkan bayangan ketika berdiri miring, muncul dari
toko pakaian jadinya sambil memegang sapu. Sama seperti biasanya, pria itu
mengenakan celemek biru di atas celana panjang hitam dan kemeja putih berkerah
dengan dasi merah. Bahkan di bawah naungan atap yang menjorok ke atas serambi,
kepalanya yang botak berkilauan seperti batu akik yang dipoles ketika ia
membungkuk untuk menyapu ambang pintunya.
Menyaksikan pria itu bekerja, David menyelipkan tangannya ke
bawah topi untuk menggaruk kepalanya, berdoa kepada Yang Mahakuasa semoga ia
tidak pernah kehilangan rambutnya. Mungkin ia akan memakai topinya sepanjang
waktu ketika ia tua nanti. Bisa dibilang, sekarang pun ia hampir tidak pernah
melepaskan topinya.
Pintu ayun di bar Golden Slipper berderit terbuka. David
melirik ke sebelah kirinya, berharap untuk melihat Mac, pemilik tempat itu,
melangkah keluar untuk menghirup udara pagi yang segar. Sebaliknya, Marcy May Jones,
wanita penghibur baru di bar tersebut, berpose di pintu. David hampir saja
menelan lidahnya. Gadis itu hanya memakai sehelai kain merah muda –tak lebih
dan tak kurang– dan seutas tali dilingkarkan dengan sembarangan di pinggangnya,
salah satu bahunya yang ramping serta bagian besar dari salah satu payudaranya
terpampang dengan indah. David begitu terkejutnya sehingga ia tak bisa berpikir
apa yang harus dilakukan atau dikatakannya. Bagaimanapun juga, ia adalah marshal, bertanggung jawab atas hukum,
peraturan, dan harus menegakkan nilai-nilai kesopanan di kota itu, tapi
bagaimana caranya seorang laki-laki menyuruh seorang wanita untuk membawa
bokong mungilnya yang indah masuk ke dalam?
Bukan hanya David laki-laki di jalan yang terkejut. Sapu
Tobias berhenti di udara ketika ia mengayunkannya, dan putranya yang sudah
dewasa, Brad, yang baru-baru ini ditunjuk menjadi tukang sampah kota, hampir
merubuhkan sebuah tiang dengan roda kanan belakang keretanya yang penuh ketika
ia berbelok dari sebuah gang ke Main Street. Salah satu keledainya meringkik
protes ketika Brad menyentakkan tali kekangnya dengan keras agar kereta itu
berhenti.
“Selamat pagi, Mr. Thompson,” sapa Marcy dengan manja kepada
Brad sambil mengelus pinggulnya, wajahnya menampilkan senyum dan kepalanya
dimiringkan sehingga semburat merah di rambut coklatnya berkilau di bawah
cahaya mentari pagi. “Aku terus berharap kau akan menghubungiku suatu malam
nanti, dan hatiku hancur karena kau tidak pernah datang.”
Wajah Brad menjadi tiga kali lebih merah daripada biasanya,
dan dengan satu tangan ia menarik kerah kemejanya, yang rupanya sudah mengerut.
“Aku... emm... Well, Miss Marcy, aku
laki-laki yang sudah menikah dan bahagia
bersama istriku.”
“Aku suka pada pria yang sudah menikah dan bahagia, Mr. Thompson.
Mereka tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.”
Brad terbatuk dan tangannya menggosok wajahnya. “Well, emm, Bess-ku... dia tidak akan
suka kalau aku mengunjungimu. Tidak, Ma’am, dia pasti benar-benar tidak akan
suka.”
Marcy mendesah dramatis. “Sayang sekali. Aku berani bertaruh
kau tidak mendapat apa pun di rumah. Kalau kau mulai merasa bosan, datanglah
menemuiku. Aku akan menghilangkan semua sakitmu. Kau mendapatkan jaminan
langsung dariku.”
Tobias mendelik pada Miss Jones, lalu ke punggung lebar
anaknya. Ia berdeham dan baru hendak bicara ketika istri Brad, Bess, seorang
wanita mungil berambut pirang yang sedang hamil tua keluar dari toko pakaian
jadi. Sebelum punya anak, Bess adalah seorang guru, dan terlepas dari ukuran
tubuhnya yang kecil, ia masih tampak berwibawa meskipun sekarang ia berjalan
dengan mencondongkan perutnya ke depan, yang biasa terlihat pada wanita yang
tengah mengandung. Ia turun dari serambi kayu ke jalan, memutari kereta Brad
untuk berdiri di antara suaminya dan bar, lalu berhadapan langsung dengan
Marcy, matanya menantang mata Marcy. Percikan api hijau dari matanya bisa
membakar batu. David menyadari kemarahan wanita itu berasal dari kecemburuan,
dan itu membuatnya bingung. Miss Marcy mamang cantik, pikir David, tapi ia
tidak akan sanggup menandingi Bess.
“Di mana Mac?” tanya Bess pada Marcy. “Biar kutebak, dia
pasti tidak tahu kalau gadis penghiburnya
sekarang sedang mempertontonkan tubuh di pinggir jalan secara tidak senonoh!”
Bess telah menyempurnakan keangkuhan khas guru wanita yang selalu membuat
murid-muridnya duduk tegak. Dengan gau terangkat tinggi dan alis melengkung,
wanita itu hampir saja membuat David ingin merunduk mencari perlindungan.
“Kembalilah ke dalam, kota inbi punya hukum yang melindungi orang-orang tak
bersalah!” Dengan kebasan tangan kirinya, Bess menunjuk ke ujung jalan, di mana
terdapat gedung sekolah. “Anak-anak
akan segera keluar dari rumah mereka. Aku yakin Charley dan Eva Banks tidak
akan senang mengetahui anak laki-laki mereka, Ralph, menyaksikan tontonan yang
tak senonoh ini dalam perjalanannya menuju ke sekolah.” Bess mengebaskan
tangannya di depan dadanya dan menambahkan dengan tuduhan yang melengking, “Bagian femininmu terlihat.”
“Ini disebut payudara,
Honey,” balas Marcy geli. “Ada terlalu banyak kanji di rok dalammu, sungguh
sebuah keajaiban tidak terdengar bunyi meretas ketika kau berjalan.”
David sangat menikmati pertengkaran mereka sampai Bess
mengarahkan tatapan itu padanya. Ia melompat berdiri seakan-akan baru ditusuk
dengan garpu taman. “Kota ini punya kaidah tentang pakaian yang pantas di muka
umum, Miss Marcy,” katanya dengan keras, sehingga Bess bisa mendengar, sambil
berharap ketika ia berbicara kalau kaidah adalah istilah yang tepat. Dewan
kota punya banyak sekali nama untuk hukum –norma,
aturan, dan semua omong kosong
lainnya– sehingga ia tak pernah bisa mengingatnya dengan benar. Initinya
adalah, ia telah ditunjuk menjadi masrhal karena ia cukup cerdas dan jago
menembak, bukan karena ia berbakat dengan kata-kata. “Berdiri di sana hanya
dengan mengenakan...” David melirik Marcy dan, seperti Brad, tiba-tiba mendapat
dorongan untuk melonggarkan kerahnya. Bahkan lebih buruk lagi, ia benar-benar
lupa disebut apa benda merah muda itu, yang sudah meluncur semakin jauh dari
bahu kanan Marcy, dan puncak payudara wanita itu mengintip setiap kali angin
bertiup. “Well, Ma’am, aku tidak
ingin menyinggungmu, tapi berdiri di luar mempertontonkan kulitmu, walaupun
masih agak tertutup, bertentangan dengan hukum. Kau harus masuk ke dalam.”
Memakai gaun hijau zamrud yang serasi dengan matanya dan
perut sebesar semangka Texas, Bess menunjuk wanita penghibur itu dengan jarinya
yang kaku. “Secepatnya!”
“Baiklah, baiklah,” cetus Marcy dengan gerakan menggoda
pinggulnya ketika berbalik. “Jangan terlalu emosi. Aku belum pernah mencuri
suami siapa pun dan tidak berencana untuk memulainya. Mereka sendiri yang
datang secara sukarela.”
Wajah Bess berubah menjadi sama merahnya dengan wajah
suaminya. Bess mengangkat tangannya dan meninju lutut suaminya, membuat pria
itu tersentak seakan-akan baru saja disentuh besi panas. David, yang sedang
mendekati Hazel Wright, guru sekolah yang baru, dan sedang mempertimbangkan
untuk melamar wanita itu tiba-tiba merasa tengkuknya gatal. Kalau kejadian ini
bisa dijadikan sebagai indikasi, mungkin pernikahan yang bahagia tidak terlalu
membahagiakan. Yang dilakukan Brad hanya tak sengaja memandang, dan hasilnya,
mungkin pria itu akan mendapat biskuit gosong untuk makan malam.
Bess meninggalkan Brad untuk menyeberangi jalan yang penuh
bekas roda itu, yang masih becek di beberapa tempat akibat hujan semalam.
Ketika Bes mendekatinya, David bertanya-tanya bagaimana paginya yang tadinya
indah dalam sekejap berubah menjadi malapetaka.
“Marshal Paxton,” kata Bess, memakai intonasi yang membawa
David kembali ke masa-masa sekolahnya dulu, ketika para suster memukul punggung
tangannya dengan penggaris ketika ia melakukan kenakalan. “Kami, penduduk No
Name, membayarmu dengan baik untuk menjaga kota ini tetap terhormat... namun
kau malah duduk di kursi reyot itu dan tidak melakukan apa pun sementara
seorang wanita penghibur mempertontonkan tubuhnya di Main Street pada jam
delapan pagi!”
David menggosok rahangnya yang dipenuhi bakal janggut dan
memperbaiki posisi topinya. “Kau mendengar aku menyuruhnya untuk masuk ke
dalam, Bess. Apa lagi yang kau harapkan untuk kulakukan, memiting kepalanya dan
menyeretnya masuk?”
“Bukan itu
intinya!” Bibir Bess tertarik ke belakang dalam geraman yang membuat David
mengernyit. Sam mendengking dan menyilangkan kaki yang seputih salju di depan
matanya. “Intinya adalah kau menatapnya dengan mulut menganga selama
tiga menit penuh sebelum kau mengucapkan apa pun.”
“Menganga? Aku tidak menganga.” Well, David rasa itu memang benar, tapi ia tidak melakukannya
dengan sengaja. “Aku hanya teerkejut, Bess, dan sebagai seorang marshal, aku tidak bisa bertindak
sembrono. Aku harus memikirkan cara yang tepat untuk mengatasi setiap situasi.”
Dinilai dari warna merah muda di pipinya, Bess sama sekali
tidak puas mendengar penjelasan David. “Camkan kata-kataku, aku akan menghadiri
pertemuan dewan kota berikutnya untuk mengajukan keluhan. Kau tidak pernah ragu
untuk menangkap seorang laki-laki yang berbuat onar, tapi kau gagal bertindak
ketika pengganggu itu adalah seorang wanita bereputasi buruk yang berdiri
setengah telanjang di depan pintu!”
David menggaruk bagian samping hidungnya. “Itu tidak adil.
Dengan wanita kasusnya berbeda.”
“Bagaimana bisa?”
David menggesekkan tumitnya ke lantai. “Well, ketika seorang laki-laki melanggar hukum, aku bisa bertindak
keras kalau memang itu diperlukan... atau menembaknya kalau semua cara sudah
gagal. Tapi, lain ceritanya dengan seorang lady.”
“Marcy Jones bukan
seorang lady!” Tatapan panas Bess
bergerak dari ujung kepala David ke sepatu botnya yang berdebu. “Bukannya aku
yakin kau akan bisa mengenali perbedaan itu. Dulu kau seorang marshal yang rapi dan terhormat.
Sekarang, lihat saja dirimu! Gelandangan saja lebih bersih darimu.” Bess
menunjuk dustar David. “Benda itu benar-benar kotor! Dan coba
lihat wajahmu. Aku berani bertaruh kau belum bercukur selama seminggu.”
Sekarang David mencukur wajahnya tiga kali sehari, biasanya
tepat sebelum tidur supaya janggut yang baru bisa tumbuh sebelum matahari
terbit. “Duster-ku tidak kotor. Aku
hanya meminyakinya supaya terlihat kotor.”
Bess menahan tangannya yang terangkat. “Aku sudah mendengar
tentang semua alasanmu untuk mengubah penampilan, dan menurutku itu semua omong
kosong. Terlihat kejam dan kasar untuk menjaga kedamaian? Hah. Pekerjaan
sebagai marshal bukan hanya berurusan
dengan pembuat onar. Seorang marshal
harus merepresentasikan kota ini dalam penampilan yang rapi dan memberikan
contoh yang baik bagi anak-anak kita! Wajahnya harus bersih dari janggut, dan
dia harus memangkas rambutnya. Dia seharusnya berganti pakaian setiap hari! Dia
seharusnya...”
“Tunggu dulu,” protes David. “Aku mengganti bajuku setiap
pagi. Dan hanya karena aku terlihat kotor bukan berarti aku benar-benar kotor.
Aku selalu mandi dan menggosok gigiku setiap pagi dan malam. “ Ia kemudian
menunjukkan duster-nya, yang telah
dirancang dan dibuat oleh istri Ace, Caitlin, dari kulit lembut yang dibelinya
di toko pembuat sepatu. “Kau harus mengakui kalau sudah hampir empat bulan ini
tidak pernah terjadi masalah lagi di kota kita. Kau boleh menilai penampilanku
sesuka hatimu, tapi ini membuat para pembuat onar takut.”
Bess memutar bola matanya. “Kau telah menjadi aib! Ibumu
yang malang pasti malu setengah mati melihatmu.”
Sebenarnya, ibu David sekarang tidur lebih nyenyak karena
tidak ada lagi tembak menembak yang memanggilnya. Ibunya tidak bisa menoleransi
kejorokan, jadi ibunya sering mengendap-endap di belakangnya dengan gunting
untuk merapikan rambutnya. Tapi ia tidak akan memberitahukan hal itu kepada
Bess. “Bagaimana perasaan ibuku tentang perubahan penampilanku bukan urusanmu,
Mrs. Thompson.”
“Suamiku dan aku membayar gajimu, Marshal Paxton! Kurasa aku
punya hak mengatakan sesuatu.”
Bess berjalan kembali ke seberang jalan. Sial. David pernah mendengar kalau
kehamilan membuat para wanita menjadi emosional, tapi wanita yang satu ini
benar-benar kasar. Biasanya Bess memiliki pembawaan yang lembut. Apakah Bess
tidak sadar kalau Marcy sama sekali bukan ancaman? Brad tidak akan memandang
wanita lain meski ia dibayar untuk melakukannya, yah, tidak secara sukarela.
Marcy tiba-tiba saja muncul seperti itu, dan itu bukan keinginan Brad, walaupun
bukan berarti Brad tidak menyukai apa yang dilihatnya. Tapi, hal itu tidak
cukup untuk memvonis bahwa Brad tidak setia pada Bess.
Sam mendengking lagi. David melirik ke bawah dan melihat
anjingnya yang akhirnya telah membuka mata. “Pengecut. Kau membunuh ular derik
tanpa berkedip, tapi sekarang kau gemetar dan bersembunyi dari wanita hamil?
Jelaskan itu padaku.”
Sam mengerang dan berguling ke punggungnya, kakinya
terlentang meminta perutnya digaruk. David menggaruk perut anjing itu dengan
ujung sepatu botnya. “kau anjing kampung tak berguna. Bess tidak akan menyakiti
seekor lalat pun. Dia hanya sedang tidak berada dalam kondisinya yang biasa
saat ini. Waktu mengandong Dory Sue, Caitlin tersinggung mendengar ejekan
sekecil apa pun dan selalu menagis selama bulan-bulan terakhir kehamilannya.
Ingat itu? Semua orang harus membawa saputangan ekstra untuk mengelap air
matanya.”
David sudah tidak berminat lagi untuk bersantai-santai pagi
itu, tapi ketika ia mulai berjalan ke dalam kantornya untuk bekerja, seseorang
meneriakkan namanya. Ia berbalik dan melihat seorang pria menunggangi kuda
berwarna merah keclokatan di Main Street.
“Ya?” sahut David.
Pria itu mengarahkan kudanya ke serambi kayu. “Kau marshal-nya?”
“Betul sekali,” David menarik bagian kiri duster-nya ke belakang gagang Cold.45 yang disandangnya untuk
memperlihatkan lencananya dan dengan pelan menyuruh Sam diam, yang menggeram
karena pria itu orang asing. “Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Kalau namamu David Paxton, aku membawakan setumpuk surat
untukmu.”
“Itu memang namaku, tapi aku mengalamatkan semua suratku ke
sini, ke kantor pos No Name.”
“Tidak semuanya, kurasa.” Pria itu membawa tas selempang
dari kain kanvas di bagian depan pelananya. Ia melemparkannya ke depan kaki
David. “Kepala Kantor Pos Denver telah menyimpan surat-surat itu selama enam
tahun. Dia mengembalikan beberapa di antaranya, tapi sebagian besar hanya
disimpannya, berharap David Paxton akan muncul suatu hari nanti untuk mengambil
surat-suratnya.”
Alis David menyatu dalam kebingungan. Siapa yang mengirimkan
surat untuknya ke Denver? Ia sering mengunjungi kota yang lebih besar itu,
biasanya dengan kereta kuda untuk membawa ternaknya ke pasar, tapi ia tidak
pernah tinggal di sana.
“Omong-omong,” pria itu melanjutkan, memiringkan kepalanya
ke atah tas itu, “seperti yang bisa kau lihat, jumlah surat yang tidak diambil
itu banyak dan mengambil banyak tempat. Kepala kantor pos itu hendak
membuangnya ketika sheriff
memberitahu kalau marshal di tempat
ini namanya David Paxton.”
“Pasti ada kesalahan,” ujar David. “Kau yakin tidak ada
laki-laki lain dengan nama yang sama?”
“Tidak ada sepanjang yang aku tahu. Dan kalaupun ada, dia
tidak pernah ke kantor pos untuk mengambil surat-suratnya.” Pria itu mendongak
ke arah tas itu lagi. “Pengirimnya mengira kau pasti tinggal di sana. Semua
surat itu dialamatkan kepadamu.”
David harus mengakui, sekalipun hanya kepada dirinya
sendiri, bahwa ia tidak pernah bertemu dengan siapa pun di luar keluarganya
yang memiliki nama keluarga Paxton, apalagi Paxton dengan nama depan yang sama.
“Aneh.”
“Yah, begitulah.” Pria itu mengangkat bahunya. “Kalau
setelah membacanya kau merasa surat-surat itu bukan untukmu, buang saja.”
David menyaksikan pria itu memutar kuda dan pergi. Kemudian,
setelah membuang ampas kopinya ke jalan, ia membungkuk untuk mengambil tas itu,
yang berat oleh surat. Sambil bersiul kepada Sam agar mengikutinya, ia membawa
tas itu ke dalam dan menuangkan isinya ke atas meja. Surat-surat itu telah
dikelompokkan dalam bundel-bundel kecil dan diikat dengan tali. Alamat pengirim
di salah satu surat itu memperlihatkan nama Briana Paxton yang tinggal di Glory
Ridge, Colorado, sebuah tempat yang diyakini David berada di sebelah tenggara
No Name.
Ketika Sam telah berbaring di tempat kesukaannyadi belakang
kotak kayu, David mengangkat teko dengan bintik-bintik biru dari atas kompor
yang berkarat untuk mengisi kembali cangkirnya. Lalu ia duduk di meja kerja
tuanya yang penuh goresan, menarik pisau dari saku celana panjangnya, dan
mengiris tali yang mengikat amplop-amplop itu. Setelah memotong yang pertama,
ia bersandar, mengambil salah satu surat dan membacanya, yang tertanggal hanya
beberapa minggu yang lalu dan ditulis dalam tulisan tangan yang elegan dan
feminin khas seorang wanita. Ia hampir tidak menyadari suara dengkuran keras yang
bergema melalui dinding yang memisahkan penjara dari bagian depan kantor.
David sayang,
Kuharap surat ini
sampai padamu dan kau akhirnya telah mendapatkan kekayaan dari tambang emas di
Denver.
Kening David berkerut. Sudah tidak ada lagi orang yang
menambang emas di Denver dan wilayah sekitarnya selama bertahun-tahun.
Aku menulis surat
lagi, seperti yang berulang kali kulakukan sebelumnya, untuk memohon kepadamu
agar datang menjemputku dan putri kecil kita, hanya saja kali ini permohonan
ini lebih mendesak. Majikanku, Charles Ricker, ingin menikah, dan bila sudah
memiliki istri, dia tidak membutuhkan penjaga rumah, tukang masak, atau guru
lagi untuk putranya. Di Glory Ridge, hanya ada sedikit pekerjaan yang terhormat
bagi seorang wanita. Tidak lama lagi aku dan putri kita akan berada dalam
kondisi yang sulit. Aku sangat merindukanmu, terutama pada malam hari ketika
aku mengenang saat-saat kebersamaan kita, yang walaupun singkat namun sangat
menyenangkan. Kalau kau datang untuk menjemput kami, aku berjanji akan menjadi
istri yang penuh kasih dan lebih mendukung impianmu.
Milikmu selamanya,
Briana
Kerutan di kening David bertambah dalam. Siapa wanita ini?
Ia tidak mengenal siapa pun yang bernama Briana, dan sudah pasti tidak menikahi
Briana, dan tentunya tidak memiliki anak dengan wanita itu. Atau ia
salah? Keingat membasahi alisnya.
Tepat pada saat itu, suara ketukan pelan terdengar dari
pintu dan David mengangkat kepalanya lalu melihat Hazel Wright berjalan
memasuki kantornya. Secantik pagi musim semi dalam baju sehari-hari berwarna
kuning dan syal hijau, rambut Hazel berwarna madu diangkat ke atas kepalanya.
Hazel tersenyum cerah ketika menutup pintu, dan matanya yang biru berbinar.
“Aku hanya ingin singgah dan mengucapkan selamat pagi
sebelum pergi ke sekolah,” kata Hazel sambil mengelus kalung emas yang telah
diberikan David kepadanya kemarin malam. “Semalam terasa indah sekali. Paling
tidak, menurutku begitu.” Pipi Hazel memerah, menyiratkan bahwa ia sedang
mengingat ciuman perpisahan mereka, yang terasa menyenangkan. “Bagaimana awal
harimu?”
Harinya dimulai dengan baik, tapi sekarang kepala David agak
sakit, dan Hazel, wanita yang mungkin ingin dinikahinya, adalah orang terakhir
yang ingin ditemuinya. “Baik.” Aku baru
saja tahu kalau aku mungkin telah memiliki anak perempuan di luar pernikahan,
tapi yang lainnya baik-baik saja. Mengingat tata kramanya, David berdiri
tegak, melepaskan topi Stetson-nya, dan melemparkannya ke atas tumpukan surat
di mejanya, berharap topi itu akan mencegah Hazel membaca lalu sadar kalau nama
keluarga dari pengirim semua surat tersebut adalah Paxton. “Apa kau mau
secangkir kopi? Kopinya segar, bukan seperti minyak yang biasanya diminum Billy
Joe.”
Hazel menggelengkan kepala, ikal-ikal rambutnya
bergerak-gerak. “Aku mau, tapi aku harus pergi sekarang. Anak-anak akan ribut
kalau aku terlambat.”
“Well.” Hanya itu
hanya bisa dipikirkan David untuk diucapkan. “Aku senang sekali kau singgah
untuk menyapaku.”
Hazel memaku David dengan sorot mata birunya, memberi David
perasaan tidak nyaman kalau wanita itu akan menciumnya lagi. Ia merasa resah
karena tidak merasakan keinginan untuk memutari meja mendekati Hazel. Hazel
adalah wanita yang cantik, berpendidikan dan sempurna untuknya. Ketika menerima
kalung itu kemarin malam, Hazel juga menyiratkan kalau wanita itu akan menerima
lamarannya. Karena akan tidak pantas bagi seorang wanita untuk menerima kado
semahal itu dari seorang pria.
David seharusnya merasa gembira. Ia bukan satu-satunya pria
di No Name yang berusaha memenangi hati Hazel. Tapi ada sesuatu –David tidak
bisa menunjuk apa tepatnya– yang hilang dalam perasaannya terhadap Hazel. Ia
menyukai Hazel dan senang ketika bersama-sama dengan wanita itu. Seharusnya
sekarang ia sebahagia sapi di kebun kol karena Hazel telah memilihnya ketika
ada banyak pria lain yang berusaha begitu keras untuk mendapatkan perhatian
wanita ini.
Jadi, kenapa ia tidak bisa memutuskan? Mungkin itu karena ia
masih berharap bisa menemukan cinta sejatinya. Kedua abangnya, Ace dan Joseph,
telah menemukan wanita impian mereka. Sayangnya, hal itu belum terjadi padanya.
Kalau ia menunggu lebih lama lagi untuk merasakan sesuatu yang ajaib terjadi
padanya, mungkin ia sudah akan terlalu tua untuk memiliki keluarga. Ia ingin
punya anak. Seorang pria yang praktis akan menikahi Hazel sebelum ada pria lain
menyalipnya.
David memutari mejanya, mencengkram bahu Hazel, dan
memberikan ciuman di kening wanita itu. “Semoga harimu menyenangkan. Mungkin,
kalau keadaan di tempat ini nanti malam tenang-tenang saja, aku bisa mengajakmu
makan malam di tempat Roxie. Dia menyajikan sapi panggang pada hari senin.
Seingatku, itu salah satu makanan kesukaanmu.”
Hazel mengangguk, masih memandang mata David ketika
tangannya mengelus kalungnya. “Semalam ketika kau memberikan kalung ini
kepadaku, aku...” Ia berhenti, lalu memalingkan wajah dan membasahi bibirnya.
“Kumohon katakan kalau aku tidak salah.”
“Tidak, tentu saja kau tidak salah.” David menjawil dagu
Hazel dengan lembut. “Maksudku...” David menarik napas dalam-dalam, merasa
seperti dulu, ketika ia masih kanak-kanak dan hendak terjun ke sungai. Gila. Selama berminggu-minggu ia sudah
berpikir untuk melamar wanita ini. Memberikan kalung itu kepada Hazel adalah
caranya untuk mengetes keadaan. Jadi, mengapa sekarang ia merasa seperti seekor
beruang yang kakinya terjepit perangkap? “Maksudku mulia,” ia memilih kata itu.
“Aku, emm... hanya membutuhkan waktu untuk berpikir dan melakukan perencanaan
sebelum mengambil langkah selanjutnya.”
Raut wajah Hazel yang tadi takut-takut sekarang menjadi
cerah, senyumnya semanis dan sehangat gula di atas pancake panas. Sambil berjinjit, Hazel mencium bibir David. Sebelum
David sempat bereaksi, Hazel sudah menarik diri untuk pergi.
“Makan malam di Roxie!” kata Hazel dengan riang. “Aku akan
menantikannya sepanjang hari ini.”
David memandang serius ke arah pintu ketika pintu itu
tertutup. Apakah seperti ini rasanya ketika seorang pria jatuh cinta? Mungkin
tidak akan lebih baik daripada ini. Secara fisik, Hazel membuatnya tertarik. Ia
merasa yakin kalau ia akan menikmati keintiman pernikahan bersama Hazel. Mereka
cocok, berbagi beberapa kesukaan yang sama, dan sejauh ini tidak pernah
bertentangan dalam masalah-masalah moral penting apa pun. Mungkin kombinasi
dari semua hal itulah yang disebut cinta, dan ia hanya melayang terlalu tinggi,
berharap bisa merasakan emosi meledak-ledak yang tidak akan pernah datang
menghampirinya dan bahkan mungkin tidak nyata.
David kembali pada surat-surat yang bertumpuk di atas
mejanya, yang sebagian besar masih belum dibuka. Briana. Nama itu terdengar asing, tapi ia tidak bisa menyangkal
sedikit pun kalau orang yang namanya tercantum di setiap amplop itu adalah
dirinya. Ia kembali duduk untuk melanjutkan membaca. Karena surat Briana yang
lebih baru sama sekali tidak masuk akal –ia mungkin lupa pernah meniduri
seorang wanita, tapi ia yakin tidak akan lupa kalau pernah menikahi wanita itu–
David mencari-cari surat yang ditulis empat atau lima tahun yang lalu.
Sayangnya, isi surat itu juga tidak masuk akal, kurang lebih berisikan hal yang
sama dengan surat pertama tadi, kecuali Briana tidak menyebutkan bagian di mana
wanita itu merindukannya pada malam hari. Kening David sedang berkerut saat ia
membaca ketika ia tak sengaja menemukan sebuah amplop yang lebih baru, yang di
dalamnya juga terdapat surat yang ditulis oleh seorang anak kecil, dengan
tulisan yang canggung dan berisikan kalimat-kalimat singkat. Tidak ada
kesalahan dalam pengejaan ataupun tanda bacanya, yang membuat David curiga
kalau ibu sang anak telah mengawasi penulisan surat itu.
Papa Sayang,
Mama bilang kau
terlalu sibuk menambang untuk bisa datang mengunjungiku, jadi aku menulis surat
untuk memberitahu kalau kami baik-baik saja. Mr. Ricker punya sapi banyak
sekali, dan ada banyak sekali aya yang sebentar lagi akan menjadi terlalu tua
untuk bertelur. Pagi ini aku membantu Mama membuat rebusan kue bola. Kuharap
kau akan segera datang untuk menemuiku.
Putri yang
menyayangimu,
Daphne.
David membaca nama itu dengan serius. Daphne? Ini dia, bukti nyata kalau ia bukan ayah dari anak itu. Ia
tidak akan pernah mengutuk seorang anak perempuan dengan nama itu. Rose, Iris,
atau Violet, mungkin iya, tapi Daphne?
Di sekolah, anak itu pasti akan habis-habisan.
David menggeser surat-surat itu lagi dan menemukan sebuah
amplop yang dialamatkan kepadanya dengan tulisan anak-anak yang sama. Akhirnya
anak itu menulis sesuatu yang jauh lebih menarik daripada pesan terakhirnya,
tidak seperti sang ibu, yang sepertinya terpaku untuk mengulangi kata-kata yang
sama, “Kumohon, jemputlah kami.”
Dada David sakit ketika mulai membaca surat kedua dari
Daphne.
Papa Tersayang,
Pria yang menjaga toko
grosir memberiku satu penny untuk mengirim surat ini kepadamu karna mama Cuma punya
sedikit uwang. Mr. Charles bosnya mau menikah dan istri barunya bilang tak da
cukup kamar di satu rumah tuk dua wanita.
Jelas sekali ibu Daphne tidak membantu anak itu menulis
surat ini. Kesalahan ejaan dan tidak adanya tanda baca membuat surat itu sulit
dibaca.
Mama harus cari kerja
lain di glori rij. Dia bersihkan rmah cuci baju oran lain cuci pirin dan jahik
baju malamalam.
David berhenti membaca dan harus memasukkan koma ke
tempat-tempat yang tepat.
Kami da kamar di loten
di rumah petak tp aku sering tidur di keser di sampin kursi mama waktu dia jahik
baju sampe malam.
Setelah menyelesaikan surat itu, yang semakin suram
dibanding sebelumnya, David mencari-cari hingga akhirnya ia menemukan amplop
yang dirujukan kepadanya dalam tulisan tangan Daphne. Ia semakin jarang
berhenti sekarang, dengan sendirinya memasukkan koma ke dalam surat itu dan
memecahkan kata-kata yang salah eja dengan cara mengucapkannya keras-keras.
Makanan kami tak serin
dan tak ckup tapi mama bilan tak lapar dan meberikan semua maknan yan didapna
untukku. Aku pintar dan tau mama tak makn karna tak da maknan yan cukp tuk dua
oran. Kadan-kadan maknan itu dari ton sampah oran tapi aku tetap makn karna tak
da yan lain.
Surat terbaru dari Daphne semakin membuat hati David sakit.
Kurasa kau tak kan
datan melihatku papa. Mama bilan kau sibuk sekali mencari emas dan buat kita
kaya. Tapi kalau kau kirim uwang tuk aku supaya mama bisa membuatkan aku baju,
aku akan senan sekali. Sekarang aku sudah sekolah, dan anak-anak perempuan lain
mengejeku karna bajuku terlalu pendek dan banyak tamblannya. Mama usaha sangat
keras untuk membuat tamblan itu cantik, memoton bentuk kupu-kupu dan bintan
dari kain sisa, tapi semua oran bisa melihat itu tamblan. Aku tak terlalu
besar, jadi kain tuk bajuku tak kan terlalu mahal.
David memiliki pendapatan yang cukup dari peternakannya,
memiliki banyak uang di bank, dan mendapatkan gaji sebagai seorang marshal. Meski ia yakin gadis kecil ini
bukan anaknya, ia sanggup mengirimkan uang untuk membeli pakaian. Kalau ada
anak kecil di No Name yang mengalami kondisi menyedihkan seperti itu, ia tidak
akan ragu-ragu untuk merogoh koceknya.
Merasa resah, David menuliskan alamat Daphne di atas sebuah
amplop dan memasukkan uang yang cukup untuk membeli setengah lusin pakaian
sekolah, sepasang sepatu yang bagus, keperluan lainnya, serta makanan untuk
beberapa bulan. Ia menahan dirinya agar tidak menulis pesan yang menyertai uang
itu. Ia bukan ayah Dphne, dan tidak ingin menyalakan harapan gadis kecil itu.
Itu adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan. Dan, hei, yang
dikirimkannya cukup besar. Kebanyakan laki-laki tidak akan mengirimkan apa pun
kepada anak yang bukan milik mereka.
***
Beberapa menit kemudian, dalam perjalanannya menuju ke
kantor pos, yang terletak di ujung selatan kota di antara toko lilin/pembersih
cerobong milik keluarga Chandler serta penyewaan kandang kuda, David dihantui
oleh surat terakhir Dphne. Ia sendiri telah kehilangan ayahnya ketika masih
kecil dan mengalami langsung kerasnya kehidupan. Tapi memakan makanan dari tong
sampah? Ia menggigil memikirkannya. Dan membayangkan gadis kecil itu mengenakan
pakaian yang ditambal serta kekecilan dan sepatu lusuh yang menjepit jari-jari
kaki sungguh merobek hati David. Dari surat itu, Brianna Paxton melakukan
pekerjaan apa pun yang bisa dilakukannya dan masih tetap tidak bisa mencukupi
kebutuhan mereka. Laki-laki seperti apa yang meninggalkan keluarganya seperti
itu? David melu memikirkan kalau orang seperti itu memiliki nama belakang yang
sama dengannya.
Dengan marah, David mendorong pintu kantor pos lebih keras
daripada yang diperlukan, mengejutkan Baxter Piff, sang kepala kantor pos,
seorang pria pendek gemuk berumur sekitar lima puluhan dengan rambut merah
berantakan, janggut tebal abu-abu, dan mata biru tajam yang tidak melewatkan
apa pun. Sam mendahului tuannya menuju jendela. Ketika David membanting
amplopnya ke konter, Baxter Piff melirik amplop itu dan berkata, “Aku tidak
tahu kau punya keluarga lain di Colorado, hanya seorang adik perempuan di
California.”
“Oregon,” koreksi David, tak terlalu memperhatikan Sam yang
berbaring di dekat kakinya. “Dan orang ini bukan keluargaku,” tambahnya dengan
kasar. “Hanya seorang teman dengan nama keluarga yang sama.”
“Hmm.” Baxter menimbang amplop itu dan meminta sejumlah uang
pada David untuk perangkonya. “Aneh. Seingatku, sejauh ini aku tidak pernah
bertemu dengan Paxton lainnya.”
Sakit kepala yang sudah menganggu David memukul-mukul
pelipisnya dengan intensitas tinggi. “Aku juga tidak pernah bertemu dengan
orang lain bernama Piff. Tapi bukan berarti selamanya begitu.”
Baxter mengangguk. “Mungkin kau benar, tapi aku
meragukannya. Kakekku mengganti nama kami. Aslinya nama itu sesuatu yang berbau
Prancis, dan tidak ada yang bisa mengucapkannya dengan benar. Kemungkinan besar
tidak ada orang lain yang memiliki ide itu kecuali mereka punya hubungan
keluarga dengan kami.”
“Well, Paxton
bukan nama Prancis, cukup mudah untuk diucapkan, dan banyak orang memiliki nama
itu.”
“Bagaimana kau tahu itu bukan nama Prancis? Kau kan belum
pernah mengelilingi dunia dan pergi ke tempat-tempat yang jauh, bertemu dengan
orang-orang dengan nama yang berbeda di sepanjang perjalanan itu.”
“Aku sudah cukup banyak bepergian... mulai dari Virginia hingga
ke California lalu sampai ke kota ini.” Leher David terasa panas. Nama Paxton
tidak seumum itu, tapi saat ini, ia lebih baik menelan minyak tanah daripada
mengakuinya. “Kau pantas berdebat dengan kotak pos, Baxter. Pekerjaan ini
ternyata tidak membuatmu cukup sibuk, dan kebosananmu terlihat.” Ia merogoh
koceknya untuk mengambil beberapa koin dan menjatuhkannya ke atas telapak
tangan Baxter yang terjulur. “Berapa lama sampainya?”
Baxter menjilat jarinya dan membolak-balik buku yang tebal.
“Glory Ridge,” gumamnya. “hmph.
Kemungkinan besar tiga hari. Surat ini setengah jallan akan dikirim menggunakan
kereta api. Lalu akan dipindahkan ke kereta kuda untuk di kirim sampai ke sana.
Tidak ada rel kereta api utama yang dekat dengan tempat itu, dan kota itu
mungkin terlalu kecil untuk punya kantor cabang seperti yang ada di sini.”
Hingga pagi ini, David tidak tahu bahwa ada kota bernama
Glory Ridge di muka bumi ini. Sekarang ia punya alasan untuk berharap tidak
akan pernah mendengarnya lagi. Ia hanya ingin Daphne mendapatkan uang itu
secepat mungkin, lalu ia akan kembali ke kantornya, menghancurkan surat-surat
itu, dan mencuci tangannya dari semua kekacauan ini.
Ketika meninggalkan bangunan itu dan berbelok ke utara,
David melihat kakaknya, Ace, menghentikan kereta kuda di dekat tiang tambat di
depan kantor marshal. Sam menggonggong
dengan gembira dan berlari untuk menyapa keluarga David. Rambut merah Caitlin
berkilau seperti tembaga setika suaminya mengambil Dory Sue yang berumur lima
belas bulan dari tangannya dan membantunya turun dari kereta itu. Little Ace,
yang hampir tiga setengah tahun, nyaris tak memberi kesempatan bagi ayahnya
untuk melepaskan siku Caitlin sebelum melompat dari kiursi pengemudi. Saat
menangkap Little Ace, topi Ace terlepas. Rambut hitamnya berkilau seperti batu onyx yang dipoles ketika ia membungkuk
untuk memungut Stetson-nya.
David memaki pelan. Tidak
hari ini. Ia mencintai kakak tertuanya dan selalu senang ketika Ace singgah
untuk berbincang sementara Caitlin membawa anak-anak berbelanja. Tapi ini bukan
waktu yang tepat. Semua surat itu masih bertumpuk di mejanya, dan Ace, yang
jarang melewatkan sesuatu, tidak mungkin tidak melihat alamat pengirim surat
itu, yang akan mendorong kakaknya itu untuk mengajukan pertanyaan –banyak
pertanyaan– dan saat ini, ia tidak punya jawaban. Keringat mengucur di lekukan
tulang belakang David ketika ia berjalan menuju kantornya.
Sambil menyeimbangkan Dory sue di pinggulnya, Caitlin
melambaikan tangan, lalu mengangkat rok birunya untuk naik ke serambi kayu.
“Bermalas-malasan seperti biasanya, ya,” tuduhnya dengan bercanda, pipinya
berseri ketika ia berjinjit untuk mencium David. “Dan gatal juga,” tambahnya
sambil tersenyum ketika bibirnya bertemu dengan bakal janggut David. “Bagaimana
kabarmu?” Ia mundur untuk mengamati David, mata birunya penuh dengan
kekhawatiran. “Cemberut sekali! Di mana senyum terkenal yang biasa kulihat
itu?”
David berusaha sebaik mungkin untuk tersenyum ketika ia
membungkuk untuk mencium kening keponakannya. Kecuali rambut hitam yang
didapatkan Dory Sue dari Ace, bayi itu adalah gambaran ibunya, dengan wajah
yang lembut, mata biru besar dan kulit sehalus porselin. Dory Sue mengulurkan
lengannya yang gendut sambil berkata, “Pamang Day-Pamang Day!”
David terkekeh dan segera saja tangannya depenuhi dengan
baju merah muda berenda dan kelembutan bayi perempuan. Ia menempelkan hidungnya
ke rambut ikal hitam Dory Sue untuk menghirup aroma bersih dan manis anak itu.
Dari atas kepala bayi itu, ia bertemu dengan tatapan penuh tanya Caitlin.
“Cuma pagi yang penuh masalah,” aku David. “Tidak ada yang
serius, dan kalaupun iya, melihat kalian semua adalah hal yang bisa membuatku
melupakannya.”
Semburat senang mewarnai pipi Caitlin. Ia menangkap tangan
Little Ace ketika bocah itu berusaha memanjat kaki David layaknya memanjat
tiang. “Tunggu giliranmu. Sekarang Paman David sedang mengucapkan halo pada
adikmu.” Kepada David, ia berkata, “Kami berharap kau bisa bergabung untuk
makan siang di tempat Roxie. Urusanku tidak akan memakan waktu lama. Aku
membutuhkan beberapa barang dari toko pakaian, kemudian aku akan membawa
anak-anak ke pembuat sepatu untuk mengukur sepatu mereka.” Ia memutar bola
matanya. “Ace tidak mau memesan sepatu dari Montgomery Ward. Katanya sepatu
yang dipesan ukurannya sering tidak pas dan tidak baik untuk kaki mereka.”
David mengangguk. “Aku setuju. Bahkan kalau kau memberi
ukuran kaki mereka sekarang, sepatu itu baru akan sampai beberapa minggu
kemudian.” Ia menyerahkan kembali Dory Sue kepada Caitlin dan menggendong
Little Ace untuk duduk di bahunya. “Kalau melihat bagaimana bocah ini tumbuh,
kakinya mungkin sudah tiga sentimeter lebih panjang ketika sepatu itu tiba.”
“Atau lebih,” tambah Ace sambil tersenyum pada istrinya.
“Berhentilah meributkannya. Aku tahu sepatu yang dibuat tukang sepatu lebih
mahal, tapi Shelby butuh order.”
“Tapi, Ace, kaki anak-anak cepat membesar dan tak lama lagi
sepatu mereka akan kekecilan!”
“Dan ketika itu terjadi, kita akan membuat yang baru lagi.
Aku bukan pria miskin yang harus menghemat untuk sepatu anak-anaknya.”
Little Ace memilih saat itu untuk menarik topi coklat dari
kulit unta milik David. Ketika anak itu memakainya, kepalanya yang kecil
tenggelam di dalam topi tersebut. Ketika Little Ace mendorong tepiannya untuk
mengintip, semuanya tertawa.
“Kurasa kau harus lebih besar lagi sebelum mencuri topi
Paman David, Nak.” Ace menarik anaknya, mengembalikan topi David, dan
menurunkan anak itu ke samping sang ibu. “Tidak ada tawar-menawar dengan
Shelby,” katanya kepada Caitlin ketika ia membungkuk untuk mencium pipi wanita
itu. “Dia laki-laki yang jujur, dan harga yang dimintanya juga tidak akan
berlebihan.”
Caitlin mendesah, memegang tangan Little Ace, dan tersenyum.
“Kau boleh minum kopi, tapi jangan berani-beraninya memakan biskuit Roxie yang
disimpan David di kaleng,” katanya melalui bahunya ketika ia mulai berjalan
menyeberangi jalan. “Kau menjanjikan makan siang di tempat Roxie dan aku akan
menagihnya.”
Ace menyeringai dan menggelengkan kepala. Kepada David, ia
bergumam, “Apakah ini imajinasiku saja, atau istriku sekarang menjadi keras
kepala dan suka mengatur?”
David tertawa. “Yah, itu pertanyaan yang tidak mau kujawab.”
“Kalau ada masalah yang mulai berkembang, mungkin aku
sebaiknya mulai mengatasinya.”
David menahan tawanya. Ace memuja Caitlin dan melakukan apa
pun yang diminta istrinya itu. Hanya sifat alaminya yang memang baik hati yang
tidak menjadikan Caitlin menja dan egois.
“Apa yang begitu lucu?” tanya Ace.
David mengangkat kedua tangannya. “Tidak ada! Dia adalah
salah satu orang paling lembut yang kukenal. Kalau dia menjadi agak keras
kepala dan pengatur, itu kesalahanmu sendiri.”
Ace membungkuk untuk menggaruk bagian belakang telinga Sam.
“Jadi kau memang berpikir kalau dia suka mengatur.”
“Aku tidak berpikir seperti itu. Tidakkah kau dengar aku
baru saja berkata bagaimana lembutnya dia? Sial, Ace. Jangan memutarbalikkan
kata-kataku.”
Ace menegakkan badannya. Walau bagi kebayankan orang David
tidak pernah dianggap pendek, tapi ketika bersama Ace ia selalu merasa pendek
karena Ace, yang sebenarnya hanya saudara tirinya, sangat tinggi. Besar,
berotot, dan sekokoh batu –itulah Ace. Sungguh mengherankan kalau seorang
wanita mungil seperti Caitlin tidak hanya berhasil membuat Ace Keegan yang
terkenal bertekuk lutut tapi sekarang mengasai setiap pikiran, kata-kata, dan
tidak-tanduknya. Setetes air mata di mata Caitlin pasti akan membuat Ace panik.
David menepuk punggung kakaknya dan memimpin jalan ke dalam
kantornya. Sam berlari untuk masuk lebih dulu dan menemukan tempat kesukaannya
di belakang kompor. Setelah David melepaskan topinya dan melemparkannya ke
gantungan di dinding, ia langsung berhenti, teringat akan surat-surat di meja.
Perutnya terasa mual.
Ace melirik amplop yang menggunung itu dan mengambil tempat
biasanya di kursi yang berseberangan dengan kursi David. Ace memiringkan kursi
itu ke belakang, lalu menyilangkan pergelangan kaki serta melipat tangannya,
gambaran seorang pria yang terlihat santai kecuali gerakan otot di rahangnya.
“Jadi,” kata Ace, masih bersikap biasa-biasa saja, “tumpukan
surat itu dari seorang bernama Paxton. Apakah kita punya saudara yang tidak
kuketahui?”
Setelah duduk di kursinya, bahu David merosot dan ia
memandang langsung ke mata Ace. Sejak kematian Joseph Paxton Sr., ketika David
masih sangat kecil, Ace telah menjadi satu-satunya ayah yang pernah dikenalnya,
keras dan penuntut, tapi Ace juga sahabatnya. Lebih mudah baginya untuk
memotong tangan kanannya ketimbang berbohong pada Ace. Terkadang rasa
kekeluargaan menyebalkan.
“Semua surat itu tiba pagi ini,” jawab David. “Tukang pos di
Denver telah menyimpannya selama kurang lebih enam tahun. Surat-surat itu
ditulis oleh seorang wanita bernama Brianna Paxton untuk suaminya, David
Paxton, yang rupanya menikahinya, menghamilinya, kemudian meninggalkannya untuk
mencari emas di Denver.”
“Well, adikku, itu
mencoret namamu dari daftar. Kau tidak pernah menjadi penambang emas, dan aku
tidak membesarkanmu untuk menjadi laki-laki pengecut yang meninggalkan wanita
hamil dan membiarkannya berjuang sendirian.”
Oh, betapa David ingin sekali mereka berhenti sampai di situ
saja, hanya untuk tertawa dan berkata, “Kau benar sekali.” Sebaliknya, kulit
kepalanya terasa gatal, dan paru-parunya sakit seakan-akan ia baru saja berlari
sejauh lima kilometer. “Di masa mudaku, aku tidak sepenuhnya baik, Ace. Waktu
aku sendirian pergi ke Denver, aku sering menum-minum dan bermain perempuan,
dan aku biasanya sudah terlalu mabuk untuk memikirkan konsekwensinya.”
Nah, pikir David, aku sudah mengatakannya. Dengan dengan
pengakuan itu, ia merasa agak mual.
Ace menggosok hidungnya. “Kau pernah mabuk berat sampai tak
ingat apa pun? Aku sudah pernah merasakannya, bangun dengan tidak ingat sama
sekali apa yang terjadi malam sebelumnya, terkadang dengan seorang wanita di
tempat tidurkuyang wajah dan namanya tak bisa kuingat.”
David melesak semakin dalam ke kursinya, sikunya menekan
keras lengan kursi itu. “Aku mabuk berat. Berjudi juga. Waktu itu rasanya
sangat menyenangkan untukku. Denver terlihat seperti kota besar kalau
dibandingkan dengan No Name. Masih tetap seperti itu, hanya saja No Name
sekarang sudah lebih bagus. Sekarang ketika aku sudah lebih tua, kota itu tidak
terlalu menarik lagi untukku.”
“Bukan itu yang kutanya.” Ace memajukan badannya. “Apakah
kau pernah sebegitu mabuknya sampai-sampai kau berhubungan intim dengan wanita
ini dan tidak mengingatnya keesokan harinya?”
David menggembungkan pipinya. “Hanya kalau dia wanita
penghibur, dan mereka selalu mengatasi masalah seperti itu dengan sebuah spons
yang dibasahi cuka.”
“Mereka mencoba
agar tidak hamil dengan spons yang dibasahi cuka, tapi cara itu hampir sama
tidak efektifnya dengan menarik dirimu sebelum kau ejakulasi. Wanita penghibur
juga bisa hamil. Kau tahu itu. Terkadang mereka melakukan aborsi. Terkadang
tidak. Banyak anak yang tumbuh besar dengan tidur di bawah tangga rumah bordil.
Sekarang, kutanya sekali lagi, dan jawab dengan jujur. Pernahkan kau sampai semabuk itu?”
David sekarang bisa menemukan sumber dari sakit kepala dan
rasa mualnya, dan itu memiliki nama yang mengerikan: kebenaran. Ia memejamkan mata, memerintahkan perasaan itu untuk
pergi karena tiba-tiba Hazel Wright terlihat sangat menarik. David tidak ingin
kehidupannya yang bagus dikacaukan oleh seorang anak kecil yang didapatkannya
dari seorang wanita yang tidak diingatnya. “Yah,” katanya dengan berat, ada
masanya ketika aku pernah sampai semabuk itu.”
Ace mendesah keras. Suara deritan kayu memberi tanda kalau
ia sudah bersandar kembali ke kursinya.
Akhirnya David membuka matanya. “Aku tidak tahu apa yang
harus kulakukan selanjutnya,” ia mengakui. “Apabila dulu wanita ini bekerja
sebagai wanita penghibur, dan aku menghamilinya, kenapa dia tidak mencariku?
Dan kenapa dia harus pura-pura menikah denganku?”
“Ada kemungkinan dia tidak sadar kalau dia hamil sampai dua
atau tiga bulan kemudian,” jawab Ace, “dan mungkin dia mencarimu di Denver tapi
tidak berhasil menemukanmu. Sementara mengenai masalah dia mengambil namamu dan
mengaku sebagai istrimu, aku akan mengingatkanmu kalau kebanyakan orang Kristen
tidak bersikap ramah pada wanita yang hamil tapi tidak menikah. Mungkin saja
dia akhirnya meninggalkan daerah itu dan pura-pura memiliki seorang suami agar
orang-orang yang baik itu tidak
mengucilkan dia dan anaknya.”
Ace tidak suka dengan jemaat gereja yang merasa
lebih-suci-daripada-Tuhan. Ia pergi ke gereja setiap minggu bersama Caitlin,
terkadang bahkan membawa istrinya itu ke Denver untuk menghadiri misa, tapi ia
menarik batas pada sikap sok suci, seakan-akan ia tidak berdosa. Ace merasa
kalau banyak orang Kristen yang kehilangan makna agama itu sendiri, dan David
setuju dengan kakaknya. Tak diragukan lagi itulah alasan kenapa ia tadi merasa
enggan untuk mempermalukan Marcy. Pekerjaan Marcy sebagai wanita penghibur
tidak membuatnya menjadi lebih rendah daripada manusia lainnya.
“Jadi kau pikir wanita ini,” David menunjuk ke arah
surat-surat itu, “Mungkin benar-benar melahirkan anakku?”
“Mungkin saja.”
“Sejak membaca beberapa surat itu, aku sudah berusaha
meyakinkan diriku sendiri akan hal itu,” kata David. “Bahwa itu bukannya tidak
mungkin, maksudku. Kemungkinan itulah
yang membuat perutku dari tadi tidak nyaman.” Dalam satu tarikan napas, ia
memberitahu Ace tentang uang yang dikirimkannya kepada Daphne. “Firasatku
mengatakan bahwa aku tidak pernah bertemu dengan wanita ini, Ace.” Ia berhenti
dan menelan perasaan bersalah. “Tapi hati nuraniku tidak mau membiarkannya
berlalu begitu saja. Bagaimana kalau aku pernah menidurinya? Dia bisa saja
merupakan salah satu wanita di salah satu bar di Denver dan salah mengenaliku
sebagai penambang emas. Dulu, sebelum kau membangun rel kereta api, aku berkuda
membawa hewan-hewan ternakku, dan ketika sampai di kota, aku sama kotornya
dengan penambang emas mana pun yang pernah kau lihat. Bagaimana kau bisa
membedakan seorang penambang emas dan koboi? Dari sepatu bot yang mereka pakai?
Aku tak banyak membicarakan diriku ketika bersama para wanita itu. Faktanya
adalah, aku sama sekali tidak banyak bicara, kecuali untuk mengatakan hal-hal
gombal, pergi sebelum aku mengatakan kepada seorang wanita kalau aku
mencintainya.” David merasa seperti bocah berumur sepuluh tahun lagi. “Bahkan
wanita penghibur suka mendengar kata-kata yang indah, kan?”
Ace mengangguk. “Aku membesarkanmu dengan benar. Apa yang
kau lakukan dengan ilmu yang kuajarkan adalah urusanmu. Kalau kau memilih untuk
membakar surat-surat itu, aku tidak akan menyalahkanmu. Sulit untuk mengatakan
aku akan melakukan hal yang berbeda. Seorang wanita dan anak yang muncul
tiba-tiba entah dari mana? Kau memiliki kehidupanmu di sini, di No Name. Mereka
bukan bagian dari kehidupan itu. Kurasa yang ingin kukatakan adalah, lakukan
apa yang dikatakan oleh hati nuranimu, David. Kalau kau bisa hidup dengan hal
itu, aku pasti juga bisa.”
Sakit kepala David tiba-tiba mereda. Ia mendorong
surat-surat itu. “Aku tidak bisa hidup dengan mengetahui bahwa aku memiliki
seorang anak dan membiarkannya memakan makanan sisa dari tong sampah. Kalau aku
pernah meniduri wanita itu... kalau aku sampai menghamilinya...” kata-katanya
terhenti dan ia menghembuskan napas yang tanpa disadarinya telah ditahannya. “Well, kalau aku melakukan itu, aku punya
kewajiban terhadap wanita dan anak itu. Mabuk atau tidak ketika membuat
kesalahan, seorang laki-laki harus bertanggung jawab atas tindakannya. Aku
tidak bisa membakar surat-surat itu dan melupakannya begitu saja.”
“Aku setuju. Tapi jangan terburu-buru. Mungkin saja ada
laki-laki lain di sekitar Denver, beberapa tahun yang lalu, yang bernama David
Paxton. Kusarankan agar kau pergi ke sana dan mencari di daerah itu, tidak
hanya di Denver, tapi di semua komunitas penambang yang ada di sekitar Denver,
untuk mencari jejak pria dengan nama itu. Kalau dia memang ada, pasti ada
beberapa catatan mengenai dirinya, tanda tangan ketika dia menyewa kamar hotel,
transaksi atas namanya di kantor juru kir kalau dia memang seorang penambang,
tagihan di toko, pokoknya sesuatu.
Dan kalau kau menemukan bukti bahwa ada David Paxton lain, kau tidak perlu
bertanggung jawab terhadap mereka.”
“Dan kalau ternyata tidak terdapat bukti mengenai keberadaan
David Paxton lainnya? David tidak tahu kenapa ia mengajukan pertanyaan itu,
karena ia sudah tahu jawabannya, namun untuk beberapa alasan, ia butuh
mendengar Ace mengucapkannya. “Apakah aku harus menemui wanita itu? Akankah aku
tahu bahwa anak itu adalah anakku ketika aku melihatnya? Sial, lihatlah Dory.
Kecuali rambut hitammu, dia sama sekali tidak mirip denganmu. Apa yang akan
dilakukan oleh seorang laki-laki dalam situasi seperti ini?”
Ace mendorong surat itu lagi, wajahnya yang gelap tampak
tegang. “Dia akan melakukan apa yang akan dikatakan oleh hati nuraninya. Kalau
menurutmu ada kemungkinan bahwa anak itu anakmu, bisakah kau hidup dengan
mengabaikan fakta itu?”
David menggelengkan kepalanya. “Kalau aku sampai begitu, aku
tidak akan menghormati diriku sendiri sebagai seorang laki-laki.”
“Kalau begitu kau harus naik kereta ke Denver. Periksalah
beberapa tempat di sana. Pergi ke bar, bicara dengan orang-orang, lihat
kalau-kalau ada orang yang mengingat pria ini.”
“Itu akan butuh waktu lama, terutama kalau aku mengunjungi
pinggiran kota,” ucap David kepada kirinya sendiri dengan keras. Ia memandang
ke arah penjara. “Tapi, belakangan ini, kota ini lumayan tenang. Kurasa para
deputiku bisa mengatasi segalanya kalau aku pergi beberapa hari.”
“Akan butuh lebih dari beberapa hari kalau kau tidak
menemukan bukti akan keberadaan David Paxton. Kalau itu yang terjadi, kau harus
menugaskan mandormu untuk menjalankan peternakanmu dan membiarkan deputimu yang
melakukan tugas sebagai marshal
selama kau melakukan perjalanan untuk menemui wanita itu.
David mengangguk dengan muram. Kalau ia tidak bisa menemukan
jejak dari pria lain dengan namanya, ia akan melakukan perjalanan panjang ke sebuah
kota kecil bernama Glory Ridge.
Request terjemahan buku karya catherin anderson yang judulnya annie's song boleh?
BalasHapusBagus banget
BalasHapus