Senin, 19 November 2018

Lucky Penny, Prolog


Prolog

No Name, Colorado

Senin, 6 April 1891

David Paxton tak bisa memercayai kalau kota kecilnya telah menjadi begitu sunyi sehingga ia bisa bersandar ke kursinya yang ada di luar penjara tanpa apa pun yang bisa merusak suasana hatinya. Selama lebih dari empat bulan, sejak ia mengubah taktiknya dalam menjaga keamanan, perkelahian di bar dan adu senjata, yang merupakan hal lazim di masa lalu, sudah jarang terjadi. Awalnya ia tak merasa yakin perubahan itu akan bertahan lama, tapi sekarang ia akhirnya mulai percaya kalau hal itu akan bertahan. Tidak ada lagi ketegangan, tidak perlu lagi waspada menanti datangnya masalah. Butuh waktu agar ia terbiasa dengan perubahan itu, tapi sekarang pekerjaannya sebagai marshal terlihat sangat mudah sampai-sampai rasanya hampir membosankan.


Di tengah embusan angin pagi, rambutnya yang sepuncak melayang ke wajahnya, membuat segalanya tampak keemasan, sebelum ia mendorong helaian rambutnya itu ke belakang dengan malas. Kapan terakhir kalinya ia merasa sesantai ini? Paling tidak setahun yang lalu. Terus menerus tegang dan berjaga-jaga tidak bagus untuk kesehatan. Semalam, merasa yakin ia tidak akan nyenyak. Hah, ia merasa kondisi sangat sempurna sampai-sampai ia bisa bersumpah kalau usianya tak lebih sehapi pun dari dua puluh tahun, dan bukannya tiga puluh tahun. Sungguh sulit untuk dipercaya kalau ia akan berusia tiga puluh satu tahun hanya dalam dua bulan lagi.

Old Mose Hepburn, si tukang mabuk lokal dan satu-satunya tahanan David, sedang tidur di dalam selnya, sebahagia cacing di kayu busuk sehingga pria itu bisa mendengkur di kasurnya yang tipis.

Seringnya, pria itu harus bersaing mendapatkan tempat dengan tikus-tikus di loteng penyimpanan jerami di istal milik Cris Coffle. Kalau pria tua penggerutu itu setia pada pola lamanya, ia tidak akan bangun sampai siang, dan ketika itu Billy Joe Roberts, salah satu deputi David, sudah akan tiba di kantor ini untuk bertugas dan bisa membelikan sarapan untuk Mose. David mendesah puas dan merenggangkan bahunya, senang karena sekali-sekali bisa bermalas-malasan dan membiarkan pikirannya mengembara. Tidak ada janji temu, tidak ada rapat, dan tidak ada koboi kasar yang membuat gaduh. Suasana hatinya yang santai semakin terasa dengan keberadaan Sam, anjingnya yang berbulu emas dan putih, yang berbaring di sampingnya, mendengkur lebih keras daripada gergaji mesin.

Menyaksikan kota No Name terbangun dari tidurnya merupakan kenikmatan yang sudah lama dirindukan oleh David. Dan, oh, sungguh pagi yang indah saat ini, membuatnya mengingat masa-masa mudanya, ketika terkadang tak ada hal lain yang bisa dilakukannya kecuali duduk di teras belakang dan menyaksikan rumput-rumput tumbuh. Papan kayu serambi itu berderit ketika ia menggeser berat badannya. Seekor lalat pertama yang dilihatnya sejak musim gugur yang lalu terbang berputar-putar di depan hidungnya. Cahaya matahari tumpah ruah di atap-atap bangunan yang ada di seberang Main Street. Kehangatan sinar mentari itu menyirami bagian bawah wajahnya yang tidak tertutupi oleh pinggiran topinya dan meresap melalui kemeja dan duster-nya yang terbuat dari kulit, hingga membuatnya seperti terbakar terlepas dari dinginnya udara awal musim semi. Yap, dan hari itu tampaknya akan menjadi hari yang indah.

Berselonjor di atas sambungan-sambungan kayu tua yang masih disebutnya kursi, David menjulurkan tungkainya yang panjang dan menyilangkan kakinya yang terbungkus sepatu bot untuk mengamati spur-nya. Ia membenci benda itu, tidak akan pernah menggunakannya pada kuda, dan merasa konyol memakainya. Tapi kakak iparnya, Caitlin, bersikeras kalau benda itu adalah “pelengkapP bagi seragam marshal-nya yang baru. Yah, Caitlin selalu punya kata-kata hebat untuk setiap hal kecil. David membalikkan pergelangan kakinya dan dengan puas menyadari kalau gigi roda spur-nya yang dulu berkilau seperti perak sekarang sudah menjadi kelabu dan penuh dengan lumpur kering. Dulu, ia pasti akan langsung mendatangi toko kelontong Gilpatrick untuk mencari semir dan mengembalikan kemilaunya. Sekarang tidak lagi. Ia sudah belajar kalau seorang marshal yang berparade keliling kota dengan kemeja bersih, celana jins berkanji, dan sepatu bot mengilap hanya akan mencari masalah. Sekarang, di bawah petunjuk dari abangnya, Ace, seorang mantan gunslinger yang terkenal, David berpakaian lebih seperti seorang penjahat ketimbang penjaga perdamaian, dan jelas sekali ia menghargai hasilnya. Tidak ada duel senjata yang memanggilnya ke jalan selama lebih dari tiga bulan ini.

Suara gebukan keras membuat dengkuran Sam berhenti dan menangkap perhatian David. Sambil menyipitkan matanya untuk melawan sinar matahari, ia mengarahkan pandangannya ke seberang jalan menuju sumber keributan itu. Rpxie Balloux, wanita montok yang selalu ceria, yang merupakan pemilik restoran terbaik di No Name, baru saja keluar dari restorannya melalui pintu samping dengan lima ember berisi sisa makanan di masing-masing tangannya. Dengan rambut coklat kemerahannya yang dikepang dan dibentuk menjadi mahkota di atas kepalanya, wanita itu terlihat menarik dalam baju rumah rapi bermotif kotak-kotak biru putih dengan lengan dari renda dan korset baru yang seharusnya membuat tubuh pemakainya lebih ramping. Namun efek itu hilang pada Roxie, yang membuat cukup banyak pria senang. Wanita itu membulat di semua tempat yang tepat dan tidak membutuhkan sumpalan apa-pun. Hell, Roxie dalam korset itu rasanya seperti menyendokkan krim kocok di atas pai apel. Bukan berarti laki-laki dengan darah yang masih mengalir bisa memikirkan makanan ketika sedang mengagumi bagian belakangnya. Sayangnya, Roxie akan berumur tiga puluh lima tahun Agustus nanti, membuatnya agak terlalu tua bagi David, yang masih berharap untuk menikah dan memiliki keluarga sendiri.

Sementara Roxie menuruni undakan depan restoran itu, Old Jeb, seekor anjing hitam milik Jesse Chandler, pembersih cerobong asap, muncul entah dari mana, menggonggong dengan gembira dan berputar-putar di kaki Roxie ketika wanita itu membalikkan ember-embernya di atas tong sampah. Ia menyerah sambil mendesah, terdengar dengan jelas bahkan dari seberang jalan, dan dengan santai mengorek sisa makanan tersebut untuk mencari hadiah bagi anjing pengemis itu. Ia melemparkan tulang yang dibubuhi oleh sesuatu yang terlihat seperti serbuk kopi ke anjing itu. Jeb tidak cerewet dan langsung menjatuhkan perutnya ke atas sepetak rumput, masih kuning akibat musim dingin, untuk menggigiti tulang itu dengan bahagia.

Sam, yang entah mendengar Jeb mengunyah atau mencium baunya, langsung tersentak bangun dan mendengking. David menurunkan satu tangannya ke atas kepala anjingnya. “Tidak boleh, dasar kau rakus. Setiap kali melahap makanan sisa Roxie, kau pasti muntah.”

Anjing gembala itu menggerutu dan kembali mendengkur. David bergoyang, beringsut, dan kembali melamun, matanya mengamati toko-toko di seberang jalan. Di samping restoran, Tobias Thompson, yang sebegitu kurusnya sampai-sampai tidak menimbulkan bayangan ketika berdiri miring, muncul dari toko pakaian jadinya sambil memegang sapu. Sama seperti biasanya, pria itu mengenakan celemek biru di atas celana panjang hitam dan kemeja putih berkerah dengan dasi merah. Bahkan di bawah naungan atap yang menjorok ke atas serambi, kepalanya yang botak berkilauan seperti batu akik yang dipoles ketika ia membungkuk untuk menyapu ambang pintunya.

Menyaksikan pria itu bekerja, David menyelipkan tangannya ke bawah topi untuk menggaruk kepalanya, berdoa kepada Yang Mahakuasa semoga ia tidak pernah kehilangan rambutnya. Mungkin ia akan memakai topinya sepanjang waktu ketika ia tua nanti. Bisa dibilang, sekarang pun ia hampir tidak pernah melepaskan topinya.

Pintu ayun di bar Golden Slipper berderit terbuka. David melirik ke sebelah kirinya, berharap untuk melihat Mac, pemilik tempat itu, melangkah keluar untuk menghirup udara pagi yang segar. Sebaliknya, Marcy May Jones, wanita penghibur baru di bar tersebut, berpose di pintu. David hampir saja menelan lidahnya. Gadis itu hanya memakai sehelai kain merah muda –tak lebih dan tak kurang– dan seutas tali dilingkarkan dengan sembarangan di pinggangnya, salah satu bahunya yang ramping serta bagian besar dari salah satu payudaranya terpampang dengan indah. David begitu terkejutnya sehingga ia tak bisa berpikir apa yang harus dilakukan atau dikatakannya. Bagaimanapun juga, ia adalah marshal, bertanggung jawab atas hukum, peraturan, dan harus menegakkan nilai-nilai kesopanan di kota itu, tapi bagaimana caranya seorang laki-laki menyuruh seorang wanita untuk membawa bokong mungilnya yang indah masuk ke dalam?

Bukan hanya David laki-laki di jalan yang terkejut. Sapu Tobias berhenti di udara ketika ia mengayunkannya, dan putranya yang sudah dewasa, Brad, yang baru-baru ini ditunjuk menjadi tukang sampah kota, hampir merubuhkan sebuah tiang dengan roda kanan belakang keretanya yang penuh ketika ia berbelok dari sebuah gang ke Main Street. Salah satu keledainya meringkik protes ketika Brad menyentakkan tali kekangnya dengan keras agar kereta itu berhenti.

“Selamat pagi, Mr. Thompson,” sapa Marcy dengan manja kepada Brad sambil mengelus pinggulnya, wajahnya menampilkan senyum dan kepalanya dimiringkan sehingga semburat merah di rambut coklatnya berkilau di bawah cahaya mentari pagi. “Aku terus berharap kau akan menghubungiku suatu malam nanti, dan hatiku hancur karena kau tidak pernah datang.”

Wajah Brad menjadi tiga kali lebih merah daripada biasanya, dan dengan satu tangan ia menarik kerah kemejanya, yang rupanya sudah mengerut. “Aku... emm... Well, Miss Marcy, aku laki-laki yang sudah  menikah dan bahagia bersama istriku.”

“Aku suka pada pria yang sudah menikah dan bahagia, Mr. Thompson. Mereka tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.”

Brad terbatuk dan tangannya menggosok wajahnya. “Well, emm, Bess-ku... dia tidak akan suka kalau aku mengunjungimu. Tidak, Ma’am, dia pasti benar-benar tidak akan suka.”

Marcy mendesah dramatis. “Sayang sekali. Aku berani bertaruh kau tidak mendapat apa pun di rumah. Kalau kau mulai merasa bosan, datanglah menemuiku. Aku akan menghilangkan semua sakitmu. Kau mendapatkan jaminan langsung dariku.”

Tobias mendelik pada Miss Jones, lalu ke punggung lebar anaknya. Ia berdeham dan baru hendak bicara ketika istri Brad, Bess, seorang wanita mungil berambut pirang yang sedang hamil tua keluar dari toko pakaian jadi. Sebelum punya anak, Bess adalah seorang guru, dan terlepas dari ukuran tubuhnya yang kecil, ia masih tampak berwibawa meskipun sekarang ia berjalan dengan mencondongkan perutnya ke depan, yang biasa terlihat pada wanita yang tengah mengandung. Ia turun dari serambi kayu ke jalan, memutari kereta Brad untuk berdiri di antara suaminya dan bar, lalu berhadapan langsung dengan Marcy, matanya menantang mata Marcy. Percikan api hijau dari matanya bisa membakar batu. David menyadari kemarahan wanita itu berasal dari kecemburuan, dan itu membuatnya bingung. Miss Marcy mamang cantik, pikir David, tapi ia tidak akan sanggup menandingi Bess.

“Di mana Mac?” tanya Bess pada Marcy. “Biar kutebak, dia pasti tidak tahu kalau gadis penghiburnya sekarang sedang mempertontonkan tubuh di pinggir jalan secara tidak senonoh!” Bess telah menyempurnakan keangkuhan khas guru wanita yang selalu membuat murid-muridnya duduk tegak. Dengan gau terangkat tinggi dan alis melengkung, wanita itu hampir saja membuat David ingin merunduk mencari perlindungan. “Kembalilah ke dalam, kota inbi punya hukum yang melindungi orang-orang tak bersalah!” Dengan kebasan tangan kirinya, Bess menunjuk ke ujung jalan, di mana terdapat gedung sekolah. “Anak-anak akan segera keluar dari rumah mereka. Aku yakin Charley dan Eva Banks tidak akan senang mengetahui anak laki-laki mereka, Ralph, menyaksikan tontonan yang tak senonoh ini dalam perjalanannya menuju ke sekolah.” Bess mengebaskan tangannya di depan dadanya dan menambahkan dengan tuduhan yang melengking, “Bagian femininmu terlihat.”

“Ini disebut payudara, Honey,” balas Marcy geli. “Ada terlalu banyak kanji di rok dalammu, sungguh sebuah keajaiban tidak terdengar bunyi meretas ketika kau berjalan.”

David sangat menikmati pertengkaran mereka sampai Bess mengarahkan tatapan itu padanya. Ia melompat berdiri seakan-akan baru ditusuk dengan garpu taman. “Kota ini punya kaidah tentang pakaian yang pantas di muka umum, Miss Marcy,” katanya dengan keras, sehingga Bess bisa mendengar, sambil berharap ketika ia berbicara kalau  kaidah adalah istilah yang tepat. Dewan kota punya banyak sekali nama untuk hukum –norma, aturan, dan semua omong kosong lainnya– sehingga ia tak pernah bisa mengingatnya dengan benar. Initinya adalah, ia telah ditunjuk menjadi  masrhal karena ia cukup cerdas dan jago menembak, bukan karena ia berbakat dengan kata-kata. “Berdiri di sana hanya dengan mengenakan...” David melirik Marcy dan, seperti Brad, tiba-tiba mendapat dorongan untuk melonggarkan kerahnya. Bahkan lebih buruk lagi, ia benar-benar lupa disebut apa benda merah muda itu, yang sudah meluncur semakin jauh dari bahu kanan Marcy, dan puncak payudara wanita itu mengintip setiap kali angin bertiup. “Well, Ma’am, aku tidak ingin menyinggungmu, tapi berdiri di luar mempertontonkan kulitmu, walaupun masih agak tertutup, bertentangan dengan hukum. Kau harus masuk ke dalam.”

Memakai gaun hijau zamrud yang serasi dengan matanya dan perut sebesar semangka Texas, Bess menunjuk wanita penghibur itu dengan jarinya yang kaku. “Secepatnya!”

“Baiklah, baiklah,” cetus Marcy dengan gerakan menggoda pinggulnya ketika berbalik. “Jangan terlalu emosi. Aku belum pernah mencuri suami siapa pun dan tidak berencana untuk memulainya. Mereka sendiri yang datang secara sukarela.”

Wajah Bess berubah menjadi sama merahnya dengan wajah suaminya. Bess mengangkat tangannya dan meninju lutut suaminya, membuat pria itu tersentak seakan-akan baru saja disentuh besi panas. David, yang sedang mendekati Hazel Wright, guru sekolah yang baru, dan sedang mempertimbangkan untuk melamar wanita itu tiba-tiba merasa tengkuknya gatal. Kalau kejadian ini bisa dijadikan sebagai indikasi, mungkin pernikahan yang bahagia tidak terlalu membahagiakan. Yang dilakukan Brad hanya tak sengaja memandang, dan hasilnya, mungkin pria itu akan mendapat biskuit gosong untuk makan malam.

Bess meninggalkan Brad untuk menyeberangi jalan yang penuh bekas roda itu, yang masih becek di beberapa tempat akibat hujan semalam. Ketika Bes mendekatinya, David bertanya-tanya bagaimana paginya yang tadinya indah dalam sekejap berubah menjadi malapetaka.

“Marshal Paxton,” kata Bess, memakai intonasi yang membawa David kembali ke masa-masa sekolahnya dulu, ketika para suster memukul punggung tangannya dengan penggaris ketika ia melakukan kenakalan. “Kami, penduduk No Name, membayarmu dengan baik untuk menjaga kota ini tetap terhormat... namun kau malah duduk di kursi reyot itu dan tidak melakukan apa pun sementara seorang wanita penghibur mempertontonkan tubuhnya di Main Street pada jam delapan pagi!”

David menggosok rahangnya yang dipenuhi bakal janggut dan memperbaiki posisi topinya. “Kau mendengar aku menyuruhnya untuk masuk ke dalam, Bess. Apa lagi yang kau harapkan untuk kulakukan, memiting kepalanya dan menyeretnya masuk?”

“Bukan itu intinya!” Bibir Bess tertarik ke belakang dalam geraman yang membuat David mengernyit. Sam mendengking dan menyilangkan kaki yang seputih salju di depan matanya. “Intinya adalah kau menatapnya dengan mulut menganga selama tiga menit penuh sebelum kau mengucapkan apa pun.”

“Menganga? Aku tidak menganga.” Well, David rasa itu memang benar, tapi ia tidak melakukannya dengan sengaja. “Aku hanya teerkejut, Bess, dan sebagai seorang marshal, aku tidak bisa bertindak sembrono. Aku harus memikirkan cara yang tepat untuk mengatasi setiap situasi.”

Dinilai dari warna merah muda di pipinya, Bess sama sekali tidak puas mendengar penjelasan David. “Camkan kata-kataku, aku akan menghadiri pertemuan dewan kota berikutnya untuk mengajukan keluhan. Kau tidak pernah ragu untuk menangkap seorang laki-laki yang berbuat onar, tapi kau gagal bertindak ketika pengganggu itu adalah seorang wanita bereputasi buruk yang berdiri setengah telanjang di depan pintu!”

David menggaruk bagian samping hidungnya. “Itu tidak adil. Dengan wanita kasusnya berbeda.”

“Bagaimana bisa?”

David menggesekkan tumitnya ke lantai. “Well, ketika seorang laki-laki melanggar hukum, aku bisa bertindak keras kalau memang itu diperlukan... atau menembaknya kalau semua cara sudah gagal. Tapi, lain ceritanya dengan seorang lady.”

“Marcy Jones bukan seorang lady!” Tatapan panas Bess bergerak dari ujung kepala David ke sepatu botnya yang berdebu. “Bukannya aku yakin kau akan bisa mengenali perbedaan itu. Dulu kau seorang marshal yang rapi dan terhormat. Sekarang, lihat saja dirimu! Gelandangan saja lebih bersih darimu.” Bess menunjuk dustar David. “Benda itu benar-benar kotor! Dan coba lihat wajahmu. Aku berani bertaruh kau belum bercukur selama seminggu.”

Sekarang David mencukur wajahnya tiga kali sehari, biasanya tepat sebelum tidur supaya janggut yang baru bisa tumbuh sebelum matahari terbit. “Duster-ku tidak kotor. Aku hanya meminyakinya supaya terlihat kotor.”

Bess menahan tangannya yang terangkat. “Aku sudah mendengar tentang semua alasanmu untuk mengubah penampilan, dan menurutku itu semua omong kosong. Terlihat kejam dan kasar untuk menjaga kedamaian? Hah. Pekerjaan sebagai marshal bukan hanya berurusan dengan pembuat onar. Seorang marshal harus merepresentasikan kota ini dalam penampilan yang rapi dan memberikan contoh yang baik bagi anak-anak kita! Wajahnya harus bersih dari janggut, dan dia harus memangkas rambutnya. Dia seharusnya berganti pakaian setiap hari! Dia seharusnya...”

“Tunggu dulu,” protes David. “Aku mengganti bajuku setiap pagi. Dan hanya karena aku terlihat kotor bukan berarti aku benar-benar kotor. Aku selalu mandi dan menggosok gigiku setiap pagi dan malam. “ Ia kemudian menunjukkan duster-nya, yang telah dirancang dan dibuat oleh istri Ace, Caitlin, dari kulit lembut yang dibelinya di toko pembuat sepatu. “Kau harus mengakui kalau sudah hampir empat bulan ini tidak pernah terjadi masalah lagi di kota kita. Kau boleh menilai penampilanku sesuka hatimu, tapi ini membuat para pembuat onar takut.”

Bess memutar bola matanya. “Kau telah menjadi aib! Ibumu yang malang pasti malu setengah mati melihatmu.”

Sebenarnya, ibu David sekarang tidur lebih nyenyak karena tidak ada lagi tembak menembak yang memanggilnya. Ibunya tidak bisa menoleransi kejorokan, jadi ibunya sering mengendap-endap di belakangnya dengan gunting untuk merapikan rambutnya. Tapi ia tidak akan memberitahukan hal itu kepada Bess. “Bagaimana perasaan ibuku tentang perubahan penampilanku bukan urusanmu, Mrs. Thompson.”

“Suamiku dan aku membayar gajimu, Marshal Paxton! Kurasa aku punya hak mengatakan sesuatu.”

Bess berjalan kembali ke seberang jalan. Sial. David pernah mendengar kalau kehamilan membuat para wanita menjadi emosional, tapi wanita yang satu ini benar-benar kasar. Biasanya Bess memiliki pembawaan yang lembut. Apakah Bess tidak sadar kalau Marcy sama sekali bukan ancaman? Brad tidak akan memandang wanita lain meski ia dibayar untuk melakukannya, yah, tidak secara sukarela. Marcy tiba-tiba saja muncul seperti itu, dan itu bukan keinginan Brad, walaupun bukan berarti Brad tidak menyukai apa yang dilihatnya. Tapi, hal itu tidak cukup untuk memvonis bahwa Brad tidak setia pada Bess.

Sam mendengking lagi. David melirik ke bawah dan melihat anjingnya yang akhirnya telah membuka mata. “Pengecut. Kau membunuh ular derik tanpa berkedip, tapi sekarang kau gemetar dan bersembunyi dari wanita hamil? Jelaskan itu padaku.”

Sam mengerang dan berguling ke punggungnya, kakinya terlentang meminta perutnya digaruk. David menggaruk perut anjing itu dengan ujung sepatu botnya. “kau anjing kampung tak berguna. Bess tidak akan menyakiti seekor lalat pun. Dia hanya sedang tidak berada dalam kondisinya yang biasa saat ini. Waktu mengandong Dory Sue, Caitlin tersinggung mendengar ejekan sekecil apa pun dan selalu menagis selama bulan-bulan terakhir kehamilannya. Ingat itu? Semua orang harus membawa saputangan ekstra untuk mengelap air matanya.”

David sudah tidak berminat lagi untuk bersantai-santai pagi itu, tapi ketika ia mulai berjalan ke dalam kantornya untuk bekerja, seseorang meneriakkan namanya. Ia berbalik dan melihat seorang pria menunggangi kuda berwarna merah keclokatan di Main Street.

“Ya?” sahut David.

Pria itu mengarahkan kudanya ke serambi kayu. “Kau marshal-nya?”

“Betul sekali,” David menarik bagian kiri duster-nya ke belakang gagang  Cold.45 yang disandangnya untuk memperlihatkan lencananya dan dengan pelan menyuruh Sam diam, yang menggeram karena pria itu orang asing. “Apa yang bisa kulakukan untukmu?”

“Kalau namamu David Paxton, aku membawakan setumpuk surat untukmu.”

“Itu memang namaku, tapi aku mengalamatkan semua suratku ke sini, ke kantor pos No Name.”

“Tidak semuanya, kurasa.” Pria itu membawa tas selempang dari kain kanvas di bagian depan pelananya. Ia melemparkannya ke depan kaki David. “Kepala Kantor Pos Denver telah menyimpan surat-surat itu selama enam tahun. Dia mengembalikan beberapa di antaranya, tapi sebagian besar hanya disimpannya, berharap David Paxton akan muncul suatu hari nanti untuk mengambil surat-suratnya.”

Alis David menyatu dalam kebingungan. Siapa yang mengirimkan surat untuknya ke Denver? Ia sering mengunjungi kota yang lebih besar itu, biasanya dengan kereta kuda untuk membawa ternaknya ke pasar, tapi ia tidak pernah tinggal di sana.

“Omong-omong,” pria itu melanjutkan, memiringkan kepalanya ke atah tas itu, “seperti yang bisa kau lihat, jumlah surat yang tidak diambil itu banyak dan mengambil banyak tempat. Kepala kantor pos itu hendak membuangnya ketika sheriff memberitahu kalau marshal di tempat ini namanya David Paxton.”

“Pasti ada kesalahan,” ujar David. “Kau yakin tidak ada laki-laki lain dengan nama yang sama?”

“Tidak ada sepanjang yang aku tahu. Dan kalaupun ada, dia tidak pernah ke kantor pos untuk mengambil surat-suratnya.” Pria itu mendongak ke arah tas itu lagi. “Pengirimnya mengira kau pasti tinggal di sana. Semua surat itu dialamatkan kepadamu.”

David harus mengakui, sekalipun hanya kepada dirinya sendiri, bahwa ia tidak pernah bertemu dengan siapa pun di luar keluarganya yang memiliki nama keluarga Paxton, apalagi Paxton dengan nama depan yang sama. “Aneh.”

“Yah, begitulah.” Pria itu mengangkat bahunya. “Kalau setelah membacanya kau merasa surat-surat itu bukan untukmu, buang saja.”

David menyaksikan pria itu memutar kuda dan pergi. Kemudian, setelah membuang ampas kopinya ke jalan, ia membungkuk untuk mengambil tas itu, yang berat oleh surat. Sambil bersiul kepada Sam agar mengikutinya, ia membawa tas itu ke dalam dan menuangkan isinya ke atas meja. Surat-surat itu telah dikelompokkan dalam bundel-bundel kecil dan diikat dengan tali. Alamat pengirim di salah satu surat itu memperlihatkan nama Briana Paxton yang tinggal di Glory Ridge, Colorado, sebuah tempat yang diyakini David berada di sebelah tenggara No Name.

Ketika Sam telah berbaring di tempat kesukaannyadi belakang kotak kayu, David mengangkat teko dengan bintik-bintik biru dari atas kompor yang berkarat untuk mengisi kembali cangkirnya. Lalu ia duduk di meja kerja tuanya yang penuh goresan, menarik pisau dari saku celana panjangnya, dan mengiris tali yang mengikat amplop-amplop itu. Setelah memotong yang pertama, ia bersandar, mengambil salah satu surat dan membacanya, yang tertanggal hanya beberapa minggu yang lalu dan ditulis dalam tulisan tangan yang elegan dan feminin khas seorang wanita. Ia hampir tidak menyadari suara dengkuran keras yang bergema melalui dinding yang memisahkan penjara dari bagian depan kantor.

David sayang,

Kuharap surat ini sampai padamu dan kau akhirnya telah mendapatkan kekayaan dari tambang emas di Denver.

Kening David berkerut. Sudah tidak ada lagi orang yang menambang emas di Denver dan wilayah sekitarnya selama bertahun-tahun.

Aku menulis surat lagi, seperti yang berulang kali kulakukan sebelumnya, untuk memohon kepadamu agar datang menjemputku dan putri kecil kita, hanya saja kali ini permohonan ini lebih mendesak. Majikanku, Charles Ricker, ingin menikah, dan bila sudah memiliki istri, dia tidak membutuhkan penjaga rumah, tukang masak, atau guru lagi untuk putranya. Di Glory Ridge, hanya ada sedikit pekerjaan yang terhormat bagi seorang wanita. Tidak lama lagi aku dan putri kita akan berada dalam kondisi yang sulit. Aku sangat merindukanmu, terutama pada malam hari ketika aku mengenang saat-saat kebersamaan kita, yang walaupun singkat namun sangat menyenangkan. Kalau kau datang untuk menjemput kami, aku berjanji akan menjadi istri yang penuh kasih dan lebih mendukung impianmu.

Milikmu selamanya,

Briana

Kerutan di kening David bertambah dalam. Siapa wanita ini? Ia tidak mengenal siapa pun yang bernama Briana, dan sudah pasti tidak menikahi Briana, dan tentunya tidak  memiliki anak dengan wanita itu. Atau ia salah? Keingat membasahi alisnya.

Tepat pada saat itu, suara ketukan pelan terdengar dari pintu dan David mengangkat kepalanya lalu melihat Hazel Wright berjalan memasuki kantornya. Secantik pagi musim semi dalam baju sehari-hari berwarna kuning dan syal hijau, rambut Hazel berwarna madu diangkat ke atas kepalanya. Hazel tersenyum cerah ketika menutup pintu, dan matanya yang biru berbinar.

“Aku hanya ingin singgah dan mengucapkan selamat pagi sebelum pergi ke sekolah,” kata Hazel sambil mengelus kalung emas yang telah diberikan David kepadanya kemarin malam. “Semalam terasa indah sekali. Paling tidak, menurutku begitu.” Pipi Hazel memerah, menyiratkan bahwa ia sedang mengingat ciuman perpisahan mereka, yang terasa menyenangkan. “Bagaimana awal harimu?”

Harinya dimulai dengan baik, tapi sekarang kepala David agak sakit, dan Hazel, wanita yang mungkin ingin dinikahinya, adalah orang terakhir yang ingin ditemuinya. “Baik.” Aku baru saja tahu kalau aku mungkin telah memiliki anak perempuan di luar pernikahan, tapi yang lainnya baik-baik saja. Mengingat tata kramanya, David berdiri tegak, melepaskan topi Stetson-nya, dan melemparkannya ke atas tumpukan surat di mejanya, berharap topi itu akan mencegah Hazel membaca lalu sadar kalau nama keluarga dari pengirim semua surat tersebut adalah Paxton. “Apa kau mau secangkir kopi? Kopinya segar, bukan seperti minyak yang biasanya diminum Billy Joe.”

Hazel menggelengkan kepala, ikal-ikal rambutnya bergerak-gerak. “Aku mau, tapi aku harus pergi sekarang. Anak-anak akan ribut kalau aku terlambat.”

Well.” Hanya itu hanya bisa dipikirkan David untuk diucapkan. “Aku senang sekali kau singgah untuk menyapaku.”

Hazel memaku David dengan sorot mata birunya, memberi David perasaan tidak nyaman kalau wanita itu akan menciumnya lagi. Ia merasa resah karena tidak merasakan keinginan untuk memutari meja mendekati Hazel. Hazel adalah wanita yang cantik, berpendidikan dan sempurna untuknya. Ketika menerima kalung itu kemarin malam, Hazel juga menyiratkan kalau wanita itu akan menerima lamarannya. Karena akan tidak pantas bagi seorang wanita untuk menerima kado semahal itu dari seorang pria.

David seharusnya merasa gembira. Ia bukan satu-satunya pria di No Name yang berusaha memenangi hati Hazel. Tapi ada sesuatu –David tidak bisa menunjuk apa tepatnya– yang hilang dalam perasaannya terhadap Hazel. Ia menyukai Hazel dan senang ketika bersama-sama dengan wanita itu. Seharusnya sekarang ia sebahagia sapi di kebun kol karena Hazel telah memilihnya ketika ada banyak pria lain yang berusaha begitu keras untuk mendapatkan perhatian wanita ini.

Jadi, kenapa ia tidak bisa memutuskan? Mungkin itu karena ia masih berharap bisa menemukan cinta sejatinya. Kedua abangnya, Ace dan Joseph, telah menemukan wanita impian mereka. Sayangnya, hal itu belum terjadi padanya. Kalau ia menunggu lebih lama lagi untuk merasakan sesuatu yang ajaib terjadi padanya, mungkin ia sudah akan terlalu tua untuk memiliki keluarga. Ia ingin punya anak. Seorang pria yang praktis akan menikahi Hazel sebelum ada pria lain menyalipnya.

David memutari mejanya, mencengkram bahu Hazel, dan memberikan ciuman di kening wanita itu. “Semoga harimu menyenangkan. Mungkin, kalau keadaan di tempat ini nanti malam tenang-tenang saja, aku bisa mengajakmu makan malam di tempat Roxie. Dia menyajikan sapi panggang pada hari senin. Seingatku, itu salah satu makanan kesukaanmu.”

Hazel mengangguk, masih memandang mata David ketika tangannya mengelus kalungnya. “Semalam ketika kau memberikan kalung ini kepadaku, aku...” Ia berhenti, lalu memalingkan wajah dan membasahi bibirnya. “Kumohon katakan kalau aku tidak salah.”

“Tidak, tentu saja kau tidak salah.” David menjawil dagu Hazel dengan lembut. “Maksudku...” David menarik napas dalam-dalam, merasa seperti dulu, ketika ia masih kanak-kanak dan hendak terjun ke sungai. Gila. Selama berminggu-minggu ia sudah berpikir untuk melamar wanita ini. Memberikan kalung itu kepada Hazel adalah caranya untuk mengetes keadaan. Jadi, mengapa sekarang ia merasa seperti seekor beruang yang kakinya terjepit perangkap? “Maksudku mulia,” ia memilih kata itu. “Aku, emm... hanya membutuhkan waktu untuk berpikir dan melakukan perencanaan sebelum mengambil langkah selanjutnya.”

Raut wajah Hazel yang tadi takut-takut sekarang menjadi cerah, senyumnya semanis dan sehangat gula di atas pancake panas. Sambil berjinjit, Hazel mencium bibir David. Sebelum David sempat bereaksi, Hazel sudah menarik diri untuk pergi.

“Makan malam di Roxie!” kata Hazel dengan riang. “Aku akan menantikannya sepanjang hari ini.”

David memandang serius ke arah pintu ketika pintu itu tertutup. Apakah seperti ini rasanya ketika seorang pria jatuh cinta? Mungkin tidak akan lebih baik daripada ini. Secara fisik, Hazel membuatnya tertarik. Ia merasa yakin kalau ia akan menikmati keintiman pernikahan bersama Hazel. Mereka cocok, berbagi beberapa kesukaan yang sama, dan sejauh ini tidak pernah bertentangan dalam masalah-masalah moral penting apa pun. Mungkin kombinasi dari semua hal itulah yang disebut cinta, dan ia hanya melayang terlalu tinggi, berharap bisa merasakan emosi meledak-ledak yang tidak akan pernah datang menghampirinya dan bahkan mungkin tidak nyata.

David kembali pada surat-surat yang bertumpuk di atas mejanya, yang sebagian besar masih belum dibuka. Briana. Nama itu terdengar asing, tapi ia tidak bisa menyangkal sedikit pun kalau orang yang namanya tercantum di setiap amplop itu adalah dirinya. Ia kembali duduk untuk melanjutkan membaca. Karena surat Briana yang lebih baru sama sekali tidak masuk akal –ia mungkin lupa pernah meniduri seorang wanita, tapi ia yakin tidak akan lupa kalau pernah menikahi wanita itu– David mencari-cari surat yang ditulis empat atau lima tahun yang lalu. Sayangnya, isi surat itu juga tidak masuk akal, kurang lebih berisikan hal yang sama dengan surat pertama tadi, kecuali Briana tidak menyebutkan bagian di mana wanita itu merindukannya pada malam hari. Kening David sedang berkerut saat ia membaca ketika ia tak sengaja menemukan sebuah amplop yang lebih baru, yang di dalamnya juga terdapat surat yang ditulis oleh seorang anak kecil, dengan tulisan yang canggung dan berisikan kalimat-kalimat singkat. Tidak ada kesalahan dalam pengejaan ataupun tanda bacanya, yang membuat David curiga kalau ibu sang anak telah mengawasi penulisan surat itu.

Papa Sayang,

Mama bilang kau terlalu sibuk menambang untuk bisa datang mengunjungiku, jadi aku menulis surat untuk memberitahu kalau kami baik-baik saja. Mr. Ricker punya sapi banyak sekali, dan ada banyak sekali aya yang sebentar lagi akan menjadi terlalu tua untuk bertelur. Pagi ini aku membantu Mama membuat rebusan kue bola. Kuharap kau akan segera datang untuk menemuiku.

Putri yang menyayangimu,

Daphne.

David membaca nama itu dengan serius. Daphne? Ini dia, bukti nyata kalau ia bukan ayah dari anak itu. Ia tidak akan pernah mengutuk seorang anak perempuan dengan nama itu. Rose, Iris, atau Violet, mungkin iya, tapi Daphne? Di sekolah, anak itu pasti akan habis-habisan.

David menggeser surat-surat itu lagi dan menemukan sebuah amplop yang dialamatkan kepadanya dengan tulisan anak-anak yang sama. Akhirnya anak itu menulis sesuatu yang jauh lebih menarik daripada pesan terakhirnya, tidak seperti sang ibu, yang sepertinya terpaku untuk mengulangi kata-kata yang sama, “Kumohon, jemputlah kami.”

Dada David sakit ketika mulai membaca surat kedua dari Daphne.

Papa Tersayang,

Pria yang menjaga toko grosir memberiku satu penny untuk mengirim surat ini kepadamu karna mama Cuma punya sedikit uwang. Mr. Charles bosnya mau menikah dan istri barunya bilang tak da cukup kamar di satu rumah tuk dua wanita.

Jelas sekali ibu Daphne tidak membantu anak itu menulis surat ini. Kesalahan ejaan dan tidak adanya tanda baca membuat surat itu sulit dibaca.

Mama harus cari kerja lain di glori rij. Dia bersihkan rmah cuci baju oran lain cuci pirin dan jahik baju malamalam.

David berhenti membaca dan harus memasukkan koma ke tempat-tempat yang tepat.

Kami da kamar di loten di rumah petak tp aku sering tidur di keser di sampin kursi mama waktu dia jahik baju sampe malam.

Setelah menyelesaikan surat itu, yang semakin suram dibanding sebelumnya, David mencari-cari hingga akhirnya ia menemukan amplop yang dirujukan kepadanya dalam tulisan tangan Daphne. Ia semakin jarang berhenti sekarang, dengan sendirinya memasukkan koma ke dalam surat itu dan memecahkan kata-kata yang salah eja dengan cara mengucapkannya keras-keras.

Makanan kami tak serin dan tak ckup tapi mama bilan tak lapar dan meberikan semua maknan yan didapna untukku. Aku pintar dan tau mama tak makn karna tak da maknan yan cukp tuk dua oran. Kadan-kadan maknan itu dari ton sampah oran tapi aku tetap makn karna tak da yan lain.

Surat terbaru dari Daphne semakin membuat hati David sakit.

Kurasa kau tak kan datan melihatku papa. Mama bilan kau sibuk sekali mencari emas dan buat kita kaya. Tapi kalau kau kirim uwang tuk aku supaya mama bisa membuatkan aku baju, aku akan senan sekali. Sekarang aku sudah sekolah, dan anak-anak perempuan lain mengejeku karna bajuku terlalu pendek dan banyak tamblannya. Mama usaha sangat keras untuk membuat tamblan itu cantik, memoton bentuk kupu-kupu dan bintan dari kain sisa, tapi semua oran bisa melihat itu tamblan. Aku tak terlalu besar, jadi kain tuk bajuku tak kan terlalu mahal.

David memiliki pendapatan yang cukup dari peternakannya, memiliki banyak uang di bank, dan mendapatkan gaji sebagai seorang marshal. Meski ia yakin gadis kecil ini bukan anaknya, ia sanggup mengirimkan uang untuk membeli pakaian. Kalau ada anak kecil di No Name yang mengalami kondisi menyedihkan seperti itu, ia tidak akan ragu-ragu untuk merogoh koceknya.

Merasa resah, David menuliskan alamat Daphne di atas sebuah amplop dan memasukkan uang yang cukup untuk membeli setengah lusin pakaian sekolah, sepasang sepatu yang bagus, keperluan lainnya, serta makanan untuk beberapa bulan. Ia menahan dirinya agar tidak menulis pesan yang menyertai uang itu. Ia bukan ayah Dphne, dan tidak ingin menyalakan harapan gadis kecil itu.

Itu adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan. Dan, hei, yang dikirimkannya cukup besar. Kebanyakan laki-laki tidak akan mengirimkan apa pun kepada anak yang bukan milik mereka.

***

Beberapa menit kemudian, dalam perjalanannya menuju ke kantor pos, yang terletak di ujung selatan kota di antara toko lilin/pembersih cerobong milik keluarga Chandler serta penyewaan kandang kuda, David dihantui oleh surat terakhir Dphne. Ia sendiri telah kehilangan ayahnya ketika masih kecil dan mengalami langsung kerasnya kehidupan. Tapi memakan makanan dari tong sampah? Ia menggigil memikirkannya. Dan membayangkan gadis kecil itu mengenakan pakaian yang ditambal serta kekecilan dan sepatu lusuh yang menjepit jari-jari kaki sungguh merobek hati David. Dari surat itu, Brianna Paxton melakukan pekerjaan apa pun yang bisa dilakukannya dan masih tetap tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka. Laki-laki seperti apa yang meninggalkan keluarganya seperti itu? David melu memikirkan kalau orang seperti itu memiliki nama belakang yang sama dengannya.

Dengan marah, David mendorong pintu kantor pos lebih keras daripada yang diperlukan, mengejutkan Baxter Piff, sang kepala kantor pos, seorang pria pendek gemuk berumur sekitar lima puluhan dengan rambut merah berantakan, janggut tebal abu-abu, dan mata biru tajam yang tidak melewatkan apa pun. Sam mendahului tuannya menuju jendela. Ketika David membanting amplopnya ke konter, Baxter Piff melirik amplop itu dan berkata, “Aku tidak tahu kau punya keluarga lain di Colorado, hanya seorang adik perempuan di California.”

“Oregon,” koreksi David, tak terlalu memperhatikan Sam yang berbaring di dekat kakinya. “Dan orang ini bukan keluargaku,” tambahnya dengan kasar. “Hanya seorang teman dengan nama keluarga yang sama.”

“Hmm.” Baxter menimbang amplop itu dan meminta sejumlah uang pada David untuk perangkonya. “Aneh. Seingatku, sejauh ini aku tidak pernah bertemu dengan Paxton lainnya.”

Sakit kepala yang sudah menganggu David memukul-mukul pelipisnya dengan intensitas tinggi. “Aku juga tidak pernah bertemu dengan orang lain bernama Piff. Tapi bukan berarti selamanya begitu.”

Baxter mengangguk. “Mungkin kau benar, tapi aku meragukannya. Kakekku mengganti nama kami. Aslinya nama itu sesuatu yang berbau Prancis, dan tidak ada yang bisa mengucapkannya dengan benar. Kemungkinan besar tidak ada orang lain yang memiliki ide itu kecuali mereka punya hubungan keluarga dengan kami.”

Well, Paxton bukan nama Prancis, cukup mudah untuk diucapkan, dan banyak orang memiliki nama itu.”

“Bagaimana kau tahu itu bukan nama Prancis? Kau kan belum pernah mengelilingi dunia dan pergi ke tempat-tempat yang jauh, bertemu dengan orang-orang dengan nama yang berbeda di sepanjang perjalanan itu.”

“Aku sudah cukup banyak bepergian... mulai dari Virginia hingga ke California lalu sampai ke kota ini.” Leher David terasa panas. Nama Paxton tidak seumum itu, tapi saat ini, ia lebih baik menelan minyak tanah daripada mengakuinya. “Kau pantas berdebat dengan kotak pos, Baxter. Pekerjaan ini ternyata tidak membuatmu cukup sibuk, dan kebosananmu terlihat.” Ia merogoh koceknya untuk mengambil beberapa koin dan menjatuhkannya ke atas telapak tangan Baxter yang terjulur. “Berapa lama sampainya?”

Baxter menjilat jarinya dan membolak-balik buku yang tebal. “Glory Ridge,” gumamnya. “hmph. Kemungkinan besar tiga hari. Surat ini setengah jallan akan dikirim menggunakan kereta api. Lalu akan dipindahkan ke kereta kuda untuk di kirim sampai ke sana. Tidak ada rel kereta api utama yang dekat dengan tempat itu, dan kota itu mungkin terlalu kecil untuk punya kantor cabang seperti yang ada di sini.”

Hingga pagi ini, David tidak tahu bahwa ada kota bernama Glory Ridge di muka bumi ini. Sekarang ia punya alasan untuk berharap tidak akan pernah mendengarnya lagi. Ia hanya ingin Daphne mendapatkan uang itu secepat mungkin, lalu ia akan kembali ke kantornya, menghancurkan surat-surat itu, dan mencuci tangannya dari semua kekacauan ini.

Ketika meninggalkan bangunan itu dan berbelok ke utara, David melihat kakaknya, Ace, menghentikan kereta kuda di dekat tiang tambat di depan kantor marshal. Sam menggonggong dengan gembira dan berlari untuk menyapa keluarga David. Rambut merah Caitlin berkilau seperti tembaga setika suaminya mengambil Dory Sue yang berumur lima belas bulan dari tangannya dan membantunya turun dari kereta itu. Little Ace, yang hampir tiga setengah tahun, nyaris tak memberi kesempatan bagi ayahnya untuk melepaskan siku Caitlin sebelum melompat dari kiursi pengemudi. Saat menangkap Little Ace, topi Ace terlepas. Rambut hitamnya berkilau seperti batu onyx yang dipoles ketika ia membungkuk untuk memungut Stetson-nya.

David memaki pelan. Tidak hari ini. Ia mencintai kakak tertuanya dan selalu senang ketika Ace singgah untuk berbincang sementara Caitlin membawa anak-anak berbelanja. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Semua surat itu masih bertumpuk di mejanya, dan Ace, yang jarang melewatkan sesuatu, tidak mungkin tidak melihat alamat pengirim surat itu, yang akan mendorong kakaknya itu untuk mengajukan pertanyaan –banyak pertanyaan– dan saat ini, ia tidak punya jawaban. Keringat mengucur di lekukan tulang belakang David ketika ia berjalan menuju kantornya.

Sambil menyeimbangkan Dory sue di pinggulnya, Caitlin melambaikan tangan, lalu mengangkat rok birunya untuk naik ke serambi kayu. “Bermalas-malasan seperti biasanya, ya,” tuduhnya dengan bercanda, pipinya berseri ketika ia berjinjit untuk mencium David. “Dan gatal juga,” tambahnya sambil tersenyum ketika bibirnya bertemu dengan bakal janggut David. “Bagaimana kabarmu?” Ia mundur untuk mengamati David, mata birunya penuh dengan kekhawatiran. “Cemberut sekali! Di mana senyum terkenal yang biasa kulihat itu?”

David berusaha sebaik mungkin untuk tersenyum ketika ia membungkuk untuk mencium kening keponakannya. Kecuali rambut hitam yang didapatkan Dory Sue dari Ace, bayi itu adalah gambaran ibunya, dengan wajah yang lembut, mata biru besar dan kulit sehalus porselin. Dory Sue mengulurkan lengannya yang gendut sambil berkata, “Pamang Day-Pamang Day!”

David terkekeh dan segera saja tangannya depenuhi dengan baju merah muda berenda dan kelembutan bayi perempuan. Ia menempelkan hidungnya ke rambut ikal hitam Dory Sue untuk menghirup aroma bersih dan manis anak itu. Dari atas kepala bayi itu, ia bertemu dengan tatapan penuh tanya Caitlin.

“Cuma pagi yang penuh masalah,” aku David. “Tidak ada yang serius, dan kalaupun iya, melihat kalian semua adalah hal yang bisa membuatku melupakannya.”

Semburat senang mewarnai pipi Caitlin. Ia menangkap tangan Little Ace ketika bocah itu berusaha memanjat kaki David layaknya memanjat tiang. “Tunggu giliranmu. Sekarang Paman David sedang mengucapkan halo pada adikmu.” Kepada David, ia berkata, “Kami berharap kau bisa bergabung untuk makan siang di tempat Roxie. Urusanku tidak akan memakan waktu lama. Aku membutuhkan beberapa barang dari toko pakaian, kemudian aku akan membawa anak-anak ke pembuat sepatu untuk mengukur sepatu mereka.” Ia memutar bola matanya. “Ace tidak mau memesan sepatu dari Montgomery Ward. Katanya sepatu yang dipesan ukurannya sering tidak pas dan tidak baik untuk kaki mereka.”

David mengangguk. “Aku setuju. Bahkan kalau kau memberi ukuran kaki mereka sekarang, sepatu itu baru akan sampai beberapa minggu kemudian.” Ia menyerahkan kembali Dory Sue kepada Caitlin dan menggendong Little Ace untuk duduk di bahunya. “Kalau melihat bagaimana bocah ini tumbuh, kakinya mungkin sudah tiga sentimeter lebih panjang ketika sepatu itu tiba.”

“Atau lebih,” tambah Ace sambil tersenyum pada istrinya. “Berhentilah meributkannya. Aku tahu sepatu yang dibuat tukang sepatu lebih mahal, tapi Shelby butuh order.”

“Tapi, Ace, kaki anak-anak cepat membesar dan tak lama lagi sepatu mereka akan kekecilan!”

“Dan ketika itu terjadi, kita akan membuat yang baru lagi. Aku bukan pria miskin yang harus menghemat untuk sepatu anak-anaknya.”

Little Ace memilih saat itu untuk menarik topi coklat dari kulit unta milik David. Ketika anak itu memakainya, kepalanya yang kecil tenggelam di dalam topi tersebut. Ketika Little Ace mendorong tepiannya untuk mengintip, semuanya tertawa.

“Kurasa kau harus lebih besar lagi sebelum mencuri topi Paman David, Nak.” Ace menarik anaknya, mengembalikan topi David, dan menurunkan anak itu ke samping sang ibu. “Tidak ada tawar-menawar dengan Shelby,” katanya kepada Caitlin ketika ia membungkuk untuk mencium pipi wanita itu. “Dia laki-laki yang jujur, dan harga yang dimintanya juga tidak akan berlebihan.”

Caitlin mendesah, memegang tangan Little Ace, dan tersenyum. “Kau boleh minum kopi, tapi jangan berani-beraninya memakan biskuit Roxie yang disimpan David di kaleng,” katanya melalui bahunya ketika ia mulai berjalan menyeberangi jalan. “Kau menjanjikan makan siang di tempat Roxie dan aku akan menagihnya.”

Ace menyeringai dan menggelengkan kepala. Kepada David, ia bergumam, “Apakah ini imajinasiku saja, atau istriku sekarang menjadi keras kepala dan suka mengatur?”

David tertawa. “Yah, itu pertanyaan yang tidak mau kujawab.”

“Kalau ada masalah yang mulai berkembang, mungkin aku sebaiknya mulai mengatasinya.”

David menahan tawanya. Ace memuja Caitlin dan melakukan apa pun yang diminta istrinya itu. Hanya sifat alaminya yang memang baik hati yang tidak menjadikan Caitlin menja dan egois.

“Apa yang begitu lucu?” tanya Ace.

David mengangkat kedua tangannya. “Tidak ada! Dia adalah salah satu orang paling lembut yang kukenal. Kalau dia menjadi agak keras kepala dan pengatur, itu kesalahanmu sendiri.”

Ace membungkuk untuk menggaruk bagian belakang telinga Sam. “Jadi kau memang berpikir kalau dia suka mengatur.”

“Aku tidak berpikir seperti itu. Tidakkah kau dengar aku baru saja berkata bagaimana lembutnya dia?  Sial, Ace. Jangan memutarbalikkan kata-kataku.”

Ace menegakkan badannya. Walau bagi kebayankan orang David tidak pernah dianggap pendek, tapi ketika bersama Ace ia selalu merasa pendek karena Ace, yang sebenarnya hanya saudara tirinya, sangat tinggi. Besar, berotot, dan sekokoh batu –itulah Ace. Sungguh mengherankan kalau seorang wanita mungil seperti Caitlin tidak hanya berhasil membuat Ace Keegan yang terkenal bertekuk lutut tapi sekarang mengasai setiap pikiran, kata-kata, dan tidak-tanduknya. Setetes air mata di mata Caitlin pasti akan membuat Ace panik.

David menepuk punggung kakaknya dan memimpin jalan ke dalam kantornya. Sam berlari untuk masuk lebih dulu dan menemukan tempat kesukaannya di belakang kompor. Setelah David melepaskan topinya dan melemparkannya ke gantungan di dinding, ia langsung berhenti, teringat akan surat-surat di meja. Perutnya terasa mual.

Ace melirik amplop yang menggunung itu dan mengambil tempat biasanya di kursi yang berseberangan dengan kursi David. Ace memiringkan kursi itu ke belakang, lalu menyilangkan pergelangan kaki serta melipat tangannya, gambaran seorang pria yang terlihat santai kecuali gerakan otot di rahangnya.

“Jadi,” kata Ace, masih bersikap biasa-biasa saja, “tumpukan surat itu dari seorang bernama Paxton. Apakah kita punya saudara yang tidak kuketahui?”

Setelah duduk di kursinya, bahu David merosot dan ia memandang langsung ke mata Ace. Sejak kematian Joseph Paxton Sr., ketika David masih sangat kecil, Ace telah menjadi satu-satunya ayah yang pernah dikenalnya, keras dan penuntut, tapi Ace juga sahabatnya. Lebih mudah baginya untuk memotong tangan kanannya ketimbang berbohong pada Ace. Terkadang rasa kekeluargaan menyebalkan.

“Semua surat itu tiba pagi ini,” jawab David. “Tukang pos di Denver telah menyimpannya selama kurang lebih enam tahun. Surat-surat itu ditulis oleh seorang wanita bernama Brianna Paxton untuk suaminya, David Paxton, yang rupanya menikahinya, menghamilinya, kemudian meninggalkannya untuk mencari emas di Denver.”

Well, adikku, itu mencoret namamu dari daftar. Kau tidak pernah menjadi penambang emas, dan aku tidak membesarkanmu untuk menjadi laki-laki pengecut yang meninggalkan wanita hamil dan membiarkannya berjuang sendirian.”

Oh, betapa David ingin sekali mereka berhenti sampai di situ saja, hanya untuk tertawa dan berkata, “Kau benar sekali.” Sebaliknya, kulit kepalanya terasa gatal, dan paru-parunya sakit seakan-akan ia baru saja berlari sejauh lima kilometer. “Di masa mudaku, aku tidak sepenuhnya baik, Ace. Waktu aku sendirian pergi ke Denver, aku sering menum-minum dan bermain perempuan, dan aku biasanya sudah terlalu mabuk untuk memikirkan konsekwensinya.”

Nah, pikir David, aku sudah mengatakannya. Dengan dengan pengakuan itu, ia merasa agak mual.

Ace menggosok hidungnya. “Kau pernah mabuk berat sampai tak ingat apa pun? Aku sudah pernah merasakannya, bangun dengan tidak ingat sama sekali apa yang terjadi malam sebelumnya, terkadang dengan seorang wanita di tempat tidurkuyang wajah dan namanya tak bisa kuingat.”

David melesak semakin dalam ke kursinya, sikunya menekan keras lengan kursi itu. “Aku mabuk berat. Berjudi juga. Waktu itu rasanya sangat menyenangkan untukku. Denver terlihat seperti kota besar kalau dibandingkan dengan No Name. Masih tetap seperti itu, hanya saja No Name sekarang sudah lebih bagus. Sekarang ketika aku sudah lebih tua, kota itu tidak terlalu menarik lagi untukku.”

“Bukan itu yang kutanya.” Ace memajukan badannya. “Apakah kau pernah sebegitu mabuknya sampai-sampai kau berhubungan intim dengan wanita ini dan tidak mengingatnya keesokan harinya?”

David menggembungkan pipinya. “Hanya kalau dia wanita penghibur, dan mereka selalu mengatasi masalah seperti itu dengan sebuah spons yang dibasahi cuka.”

“Mereka mencoba agar tidak hamil dengan spons yang dibasahi cuka, tapi cara itu hampir sama tidak efektifnya dengan menarik dirimu sebelum kau ejakulasi. Wanita penghibur juga bisa hamil. Kau tahu itu. Terkadang mereka melakukan aborsi. Terkadang tidak. Banyak anak yang tumbuh besar dengan tidur di bawah tangga rumah bordil. Sekarang, kutanya sekali lagi, dan jawab dengan jujur. Pernahkan kau sampai semabuk itu?”

David sekarang bisa menemukan sumber dari sakit kepala dan rasa mualnya, dan itu memiliki nama yang mengerikan: kebenaran. Ia memejamkan mata, memerintahkan perasaan itu untuk pergi karena tiba-tiba Hazel Wright terlihat sangat menarik. David tidak ingin kehidupannya yang bagus dikacaukan oleh seorang anak kecil yang didapatkannya dari seorang wanita yang tidak diingatnya. “Yah,” katanya dengan berat, ada masanya ketika aku pernah sampai semabuk itu.”

Ace mendesah keras. Suara deritan kayu memberi tanda kalau ia sudah bersandar kembali ke kursinya.

Akhirnya David membuka matanya. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya,” ia mengakui. “Apabila dulu wanita ini bekerja sebagai wanita penghibur, dan aku menghamilinya, kenapa dia tidak mencariku? Dan kenapa dia harus pura-pura menikah denganku?”

“Ada kemungkinan dia tidak sadar kalau dia hamil sampai dua atau tiga bulan kemudian,” jawab Ace, “dan mungkin dia mencarimu di Denver tapi tidak berhasil menemukanmu. Sementara mengenai masalah dia mengambil namamu dan mengaku sebagai istrimu, aku akan mengingatkanmu kalau kebanyakan orang Kristen tidak bersikap ramah pada wanita yang hamil tapi tidak menikah. Mungkin saja dia akhirnya meninggalkan daerah itu dan pura-pura memiliki seorang suami agar orang-orang yang baik itu tidak mengucilkan dia dan anaknya.”

Ace tidak suka dengan jemaat gereja yang merasa lebih-suci-daripada-Tuhan. Ia pergi ke gereja setiap minggu bersama Caitlin, terkadang bahkan membawa istrinya itu ke Denver untuk menghadiri misa, tapi ia menarik batas pada sikap sok suci, seakan-akan ia tidak berdosa. Ace merasa kalau banyak orang Kristen yang kehilangan makna agama itu sendiri, dan David setuju dengan kakaknya. Tak diragukan lagi itulah alasan kenapa ia tadi merasa enggan untuk mempermalukan Marcy. Pekerjaan Marcy sebagai wanita penghibur tidak membuatnya menjadi lebih rendah daripada manusia lainnya.

“Jadi kau pikir wanita ini,” David menunjuk ke arah surat-surat itu, “Mungkin benar-benar melahirkan anakku?”

“Mungkin saja.”

“Sejak membaca beberapa surat itu, aku sudah berusaha meyakinkan diriku sendiri akan hal itu,” kata David. “Bahwa itu bukannya tidak mungkin, maksudku. Kemungkinan itulah yang membuat perutku dari tadi tidak nyaman.” Dalam satu tarikan napas, ia memberitahu Ace tentang uang yang dikirimkannya kepada Daphne. “Firasatku mengatakan bahwa aku tidak pernah bertemu dengan wanita ini, Ace.” Ia berhenti dan menelan perasaan bersalah. “Tapi hati nuraniku tidak mau membiarkannya berlalu begitu saja. Bagaimana kalau aku pernah menidurinya? Dia bisa saja merupakan salah satu wanita di salah satu bar di Denver dan salah mengenaliku sebagai penambang emas. Dulu, sebelum kau membangun rel kereta api, aku berkuda membawa hewan-hewan ternakku, dan ketika sampai di kota, aku sama kotornya dengan penambang emas mana pun yang pernah kau lihat. Bagaimana kau bisa membedakan seorang penambang emas dan koboi? Dari sepatu bot yang mereka pakai? Aku tak banyak membicarakan diriku ketika bersama para wanita itu. Faktanya adalah, aku sama sekali tidak banyak bicara, kecuali untuk mengatakan hal-hal gombal, pergi sebelum aku mengatakan kepada seorang wanita kalau aku mencintainya.” David merasa seperti bocah berumur sepuluh tahun lagi. “Bahkan wanita penghibur suka mendengar kata-kata yang indah, kan?”

Ace mengangguk. “Aku membesarkanmu dengan benar. Apa yang kau lakukan dengan ilmu yang kuajarkan adalah urusanmu. Kalau kau memilih untuk membakar surat-surat itu, aku tidak akan menyalahkanmu. Sulit untuk mengatakan aku akan melakukan hal yang berbeda. Seorang wanita dan anak yang muncul tiba-tiba entah dari mana? Kau memiliki kehidupanmu di sini, di No Name. Mereka bukan bagian dari kehidupan itu. Kurasa yang ingin kukatakan adalah, lakukan apa yang dikatakan oleh hati nuranimu, David. Kalau kau bisa hidup dengan hal itu, aku pasti juga bisa.”

Sakit kepala David tiba-tiba mereda. Ia mendorong surat-surat itu. “Aku tidak bisa hidup dengan mengetahui bahwa aku memiliki seorang anak dan membiarkannya memakan makanan sisa dari tong sampah. Kalau aku pernah meniduri wanita itu... kalau aku sampai menghamilinya...” kata-katanya terhenti dan ia menghembuskan napas yang tanpa disadarinya telah ditahannya. “Well, kalau aku melakukan itu, aku punya kewajiban terhadap wanita dan anak itu. Mabuk atau tidak ketika membuat kesalahan, seorang laki-laki harus bertanggung jawab atas tindakannya. Aku tidak bisa membakar surat-surat itu dan melupakannya begitu saja.”

“Aku setuju. Tapi jangan terburu-buru. Mungkin saja ada laki-laki lain di sekitar Denver, beberapa tahun yang lalu, yang bernama David Paxton. Kusarankan agar kau pergi ke sana dan mencari di daerah itu, tidak hanya di Denver, tapi di semua komunitas penambang yang ada di sekitar Denver, untuk mencari jejak pria dengan nama itu. Kalau dia memang ada, pasti ada beberapa catatan mengenai dirinya, tanda tangan ketika dia menyewa kamar hotel, transaksi atas namanya di kantor juru kir kalau dia memang seorang penambang, tagihan di toko, pokoknya sesuatu. Dan kalau kau menemukan bukti bahwa ada David Paxton lain, kau tidak perlu bertanggung jawab terhadap mereka.”

“Dan kalau ternyata tidak terdapat bukti mengenai keberadaan David Paxton lainnya? David tidak tahu kenapa ia mengajukan pertanyaan itu, karena ia sudah tahu jawabannya, namun untuk beberapa alasan, ia butuh mendengar Ace mengucapkannya. “Apakah aku harus menemui wanita itu? Akankah aku tahu bahwa anak itu adalah anakku ketika aku melihatnya? Sial, lihatlah Dory. Kecuali rambut hitammu, dia sama sekali tidak mirip denganmu. Apa yang akan dilakukan oleh seorang laki-laki dalam situasi seperti ini?”

Ace mendorong surat itu lagi, wajahnya yang gelap tampak tegang. “Dia akan melakukan apa yang akan dikatakan oleh hati nuraninya. Kalau menurutmu ada kemungkinan bahwa anak itu anakmu, bisakah kau hidup dengan mengabaikan fakta itu?”

David menggelengkan kepalanya. “Kalau aku sampai begitu, aku tidak akan menghormati diriku sendiri sebagai seorang laki-laki.”

“Kalau begitu kau harus naik kereta ke Denver. Periksalah beberapa tempat di sana. Pergi ke bar, bicara dengan orang-orang, lihat kalau-kalau ada orang yang mengingat pria ini.”

“Itu akan butuh waktu lama, terutama kalau aku mengunjungi pinggiran kota,” ucap David kepada kirinya sendiri dengan keras. Ia memandang ke arah penjara. “Tapi, belakangan ini, kota ini lumayan tenang. Kurasa para deputiku bisa mengatasi segalanya kalau aku pergi beberapa hari.”

“Akan butuh lebih dari beberapa hari kalau kau tidak menemukan bukti akan keberadaan David Paxton. Kalau itu yang terjadi, kau harus menugaskan mandormu untuk menjalankan peternakanmu dan membiarkan deputimu yang melakukan tugas sebagai marshal selama kau melakukan perjalanan untuk menemui wanita itu.

David mengangguk dengan muram. Kalau ia tidak bisa menemukan jejak dari pria lain dengan namanya, ia akan melakukan perjalanan panjang ke sebuah kota kecil bernama Glory Ridge.





2 komentar: