Jumat, 25 Januari 2019

In Bed With a Highlander #3

Begitu mereka menyeberangi perbatasan dan masuk ke tanah McCabe, teriakan bergema di bukit-bukit. Dari kejauhan, Mairin mendengar seseorang menjawab teriakan itu dan meneruskannya. Tak lama lagi, sang laird akan mendengar kepulangan mereka.

Mairin memilin-milin tali kekang dengan gelisah saat Crispen bisa dibilang melompat turun dari pelana dengan bersemangat.


“Kalau kau terus memegangi tali kekang itu, lass, kau dan kuda ini akan kembali ke tempat dari mana kau datang tadi.”

Mairin mendongak dengan perasaan bersalah kepada Alaric McCabe, yang berkuda menyusul ke sebelah kanannya. Teguran Alaric sebenarnya hanya untuk menggoda, tapi jujur, pria itu membuat Mairin takut. Alaric tampak ganas dengan rambut panjang yang berwarna gelap dan berantakan, dengan kepang-kepang terjuntai dari kedua sisi pelipisnya.

Ketika terbangun dalam pelukan Alaric, Mairin nyaris melemparkan mereka berdua dari pelana akubat niatnya untuk segera kabur dari pria itu. Alaric terpaksa mengangkat Mairin dan Crispen dari pangkuan, lalu menaruh mereka berdua di tanah sampai ia bisa membetulkan pelana kuda.

Alaric sebenarnya tidak senang dengan sifat kepala Mairin, namun wanita itu memperoleh dukungan penuh dari Crispen. Dan karena Mairin telah membuat Crispen berjanji tidak akan memberitahukan namanya kepada seorang pun, mereka hanya membisu karika mendapat pertanyaan dari Alaric.

Oh, Alaric bertanya dengan menggertak dan mengibaskan lengan berulang kali. Bahkan mengancam akan mencekik mereka berdua. Tapi akhirnya dia hanya bisa menggerutu dan menghujat para wanita dan anak-anak sebelum melanjutkan perjalanan untuk membawa Crispen pulang.

Alaric lalu berkeras agar Mairin berkuda dengannya paling tidak sehari lagi, dengan menjelaskan bahwa dia tidak yakin Mairin mampu menunggangi kuda sendirian dalam kondisinya sekarang. Lagi pula, Alaric merasa amat berdosa jika membiarkan seseorang menunggangi seekor kuda yang bagus dengan kikuk.

Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam dua hari kini menghabiskan waktu tiga hari, berkat pertimbangan Alaric akan kondisi Mairin –sehingga mereka sering berhenti untuk beristirahat. Mairin tahu Alaric memperhatikan keadaannya karena pria itu memberitahunya. Berkali-kali.

Setelah hari pertama, Mairin bertekad untuk berkuda tanpa bantuan Alaric. Meski hanya demi menghapus raut puas dari wajah pria itu. Alaric jelas tidak sabar menghadapi wanita. Dan Mairin curiga, kecuali terhadap keponakannya, yang jelas Alaric sayangi, pria itu lebih tidak sabar lagi terhadap anak-anak.

Meski begitu, mengingat Alaric tidak tahu apa-apa tentang Mairin, selain kenyataan bahwa Crispen memihaknya, pria itu memperlakukan Mairin dengan baik. Anak-anak buah Alaric juga bersikap sopan dan hormat kepada wanita itu.

Sekarang, ketika mereka sudah dekat dengan benteng Laird McCabe, tenggorokan Mairin seolah tersumbat oleh rasa takut. Ia tak akan bisa diam terus. Sang laird pasti akan meminta jawaban, dan ia harus memberikannya.

Mairin mencondongkan badan ke bawah untuk berbisik di telinga Crispen. “Kau ingat janjimu kepadaku, Crispen?”

“Ya,” Crispen balas berbisik kepadanya. “Bahwa aku tidak boleh memberitahukan namamu kepada siapa pun.”

Mairin mengangguk, merasa bersalah karena sudah mengajukan permintaan seperti itu pada Crispen. Namun jika ia bisa pura-pura menjadi orang biasa, yang kebetulan bertemu dengan Crispen dan mengantarkan anak itu dengan selamat kepada ayahnya, mungkin ayah Crispen akan cukup berterima kasih untuk memberikan seekor kuda dan mungkin sedikit makanan kepadanya. Maka Mairin dapat melanjutkan perjalanan.

“Bahkan kepada ayahmu,” Mairin menegaskan.

Crispen mengangguk dengan sungguh-sungguh. “Aku hanya akan memberitahu Papa bahwa kau sudah menyelamatkanku.”

Mairin meremas tangan Crispen dengan tangannya yang bebas. “Terima kasih. Kau pelindung terbaikku.”

Crispen menoleh ke belakang untuk tersenyum lebar kepada Mairin, punggungnya menggelembung dengan perasaan bangga.

“Kalian berdua berbisik-bisik tentang apa?” tanya Alaric dengan jengkel.

Mairin memandang sekilas prajurit itu, yang sedang mengamatinya, mata Alaric menyipit curiga.

“Kalau ingin kau tahu, aku pasti akan bicara lebih keras,” jawab Mairin dengan tenang.

Alaric memalingkan wajah dan menggerutu. Mairin yakin pria itu pasti sedang mengumpat tentang para wanita yang menyebalkan.

“Pasti pendeta lelah mendengar pengakuanmu yang panjang lebar,” kata Mairin.

Satu alis Alaric terangkat. “Kata siapa aku gemar mengaku dosa?”

Mairin menggeleng. Pria angkuh itu mungkin mengira dia pasti akan masuk surga, dan bahwa dengan bernapas saja dia sudah mematuhi perintah Tuhan.

“Lihat, itu dia!” seru Crispen ketika menunjuk ke depan dengan tak sabar lagi.

Mereka berkuda ke puncak bukit dan memandang ke bawah, ke kastel batu yang terletak di samping bukit sebelah.

Bagian luar kastel itu rusak di beberapa tempat, dan ada sekelompok kecil pria yang bekerja dengan tekun, mengganti beberapa batu di dinding kastel. Sementara bagian yang bisa dilihat Mairin dari atas dinding luar, tampak kehitaman oleh bekas asap.

Danau terhampar di sebelah kanan kastel, airnya berkilauan di bawah sinar matahari. Salah satu sisinya meliuk-liuk mengelilingi bagian depan kastel, menciptakan rintangan alami bagi gerbang depan. Namun jembatan yang melintasi danau itu, melengkung menakutkan di bagian tengahnya. Jalan setapak sementara yang sempit, menuju samping kastel, dibuat di atas danau. Jalan itu hanya dapat dilalui seekor kuda pada satu waktu, untuk masuk ke kastel.

Meski kastel itu jelas dalam keadaan rusak, tanah di sekitarnya tampak indah. Di sebelah kiri kastel, domba-domba berpencar memenuhi bukit dan merumput. Domba-domba digembalakan pria tua yang didampingi seekor anjing di kana dan kiri. Terkadang salah satu anjing berlari untuk menggiring domba kembali ke batas tak kasatmata, setelah itu dia akan kembali kepada majikannya untuk menerima tepukan pujian di kepala.

Mairin menoleh kepada Alaric, yang berhenti di sampingnya. “Apa yang terjadi di sini?”

Tapi alaric tidak menjawab. Kerutan dalam tampak di wajahnya, dan bola matanya nyaris menjadi hitam. Mairin menggenggam tali kekang sedikit lebih kencang dan menggigil melihat kebencian Alaric yang berkobar-kobar. Ya, kebencian. Tak ada istilah lain untuk apa yang dilihatnya di mata Alaric.

Alaric memacu kuda. Kuda Mairin langsung mengikutinya, sehingga ia harus berpegangan kepada Crispen supaya mereka berdua tidak jatuh.

Mereka berkuda menuruni bukit, anak buah Alaric mengapit Mairin di semua sisi untuk melindunginya. Crispen bergerak-gerak begitu gelisah di pelana, sampai Mairin harus mencengkram lengan anak itu supaya tidak ada yang membuatnya terperanjat.

Ketika mereka sampai  di penyeberangan sementara, Alaric berhenti untuk menunggu Mairin.

“Aku akan masuk lebih dulu. Ikuti aku.”

Mairin mengangguk mengerti. Ia juga tidak mau menjadi orang pertama yang masuk kastel. Dari satu sisi, ini lebih menakutkan baginya, daripada ketika ia tiba di kastel Duncan Cameron. Karena Mairin tidak tahu bagaimana nasibnya di sini. Sementara ia tahu benar apa rencana Cameron terhadap dirinya.

Mereka berkuda di jembatan, melewati pintu masuk yang lebar dan melengkung, dan sampai di halaman kastel. Terdengar teriakan nyaring, dan butuh sesaat bagi Mairin untuk sadar bahwa Alaric-lah yang melengking. Ia mendongak dan melihat Alaric yang masih menunggangi kuda, kepalan pria itu teracung tinggi di udara.

Di sekeliling Mairin, para prajurit –jumlah mereka ratusan– mengacungkan pedang ke langit dan ikut berseru. Mereka berulang kali mengangkat dan menurunkan pedang untuk merayakan keberhasilan.

Seorang pria berlari kencang memasuki halaman. Rambut pria itu berkibar-kibar di belakang saat langkahnya secepat kilat melewati tanah di depan.

“Papa!” Crispen berseru, dan buru-buru turun dari pelana sebelum Mairin bisa mencegah.

Begitu menginjak tanah, Crispen langsung berlari, sementara Mairin menatap takjub pria yang ia duga ayah anak itu. Perut Mairin mulas, dan ia menelan ludah, berusaha tidak panik lagi.

Pria itu sangat besar, dan tampak sama kejamnya dengan Alaric. Mairin tidak mengerti mengapa ia dapat berpikir begitu. Padahal wajah pria itu begitu gembira ketika meraih Crispen ke pelukan. Namun berbeda dengan Alaric, ayah Crispen membuat Mairin takut.

Kalau kedua kakak beradik itu memiliki perawakan dan tinggi badan yang sangat mirip. Keduanya mempunyai rambut berwarna gelap yang terurai melewati bahu, dan sebagian rambut mereka dikepang. Tapi saat Mairin melihat ke sekeliling, ia melihat semua anak buah mereka mempunyai potongan rambut yang sama. Panjang, terurai, dan membuat mereka tampak buas.

“Aku senang sekali melihatmu, Nak,” kata ayah Crispen dengan suara tercekik.

Crispen memeluk erat-erat sang larid dengan tangannya yang kecil, mengingatkan Mairin kepada buah berangan berduri yang menempel pada roknya.

Dari atas kepala Crispen, sang laird berpandangan dengan Mairin, lalu tatapannya langsung berubah keras. Mairin yakin sang laird mengamatinya dari atas sampai bawah. Ia bergerak-gerak dengan gelisah, merasa tidak nyaman melihat pemandangan menyelidik pria itu.

Mairin mulai turun dari kuda, karena merasa sedikit konyol ketika semua orang di sekelilingnya turun dari kuda. Namun Alaric langsung mendekatinya, tangan pria itu terulur ke atas dengan dengan mudah mengangkatnya dari kuda dan menurunkannya ke tanah.

“Pelan-pelan, lass,” Alaric memperingatkan. “Keadaanmu sudah membaik, tapi kau perlu menjaga kondisi.”

Suara Alaric seolah menunjukkan perhatian pria itu kepada Mairin. Tapi ketika Mairin mendongak kepada Alaric, pria itu tampak merengut, sama seperti setiap kali dia melihat Mairin. Mairin menjadi jengkel dan balas merengut kepadanya. Melihat Mairin cemberut, Alaric mengerjap-ngerjapkan mata dengan terkejut, lalu mendorong Mairin ke arah sang laird yang menunggu.

Ewam McCabe tampak jauh lebih menakutkan sekarang, setelah Crispen tak lagi dalam pelukan dan kembali menginjak tanah. Mairin mundur selangkah dan malah membentur Alaric yang sekokoh gunung.

Ewan pertama melihat kepada Alaric, mengabaikan Mairin seolah ia tidak kelihatan. Namun itu tidak masalah bagi Mairin.

“Terima kasih telah membawa pulang putraku. Aku selalu yakin kepadamu dan Caelen.”

Alaric berdeham dan mendorong Mairin ke depan.

“Kau harus berterima kasih kepada wanita ini atas kepulangan Crispen. Aku hanya mengawal anakmu pulang.”

Mata Ewan menyipit saat mengamati Mairin dengan lebih cermat. Mairin takjub ketika melihat bahwa bola mata sang laird ternyata tidak berwarna gelap dan garang seperti yang diduganya, melainkan warna hijau pucat yang aneh. Namun ketika sang laird merengut, wajahnya segelap awan mendung. Jadi, siapa yang bisa mengira jika warna bola matanya bukan hitam –yang cocok dengan keganasan rautnya?

Terkejut dengan kenyataan ini –dan jika ia menghindari sang laird yang mau tak mau harus dihadapinya nanti, siapa yang bisa menyalahkannya?–Mairin tiba-tiba berpaling dan mendongak menatap Alaric. Pria itu mengerjap-ngerjapkan mata lalu melotot kepadanya, seolah menganggapnya perempuan tolol. Dan Mairin yakin itulah pikiran Alaric.

“Matamu juga hijau,” gumam Mairin.

Wajah Alaric yang merengut berubah cemas. “Kau yakin kepalamu tidak terluka? Atau kau belum menceritakannya padaku?”

“Pandang aku,” raung Ewan.

Mairin melonjak kaget dan memutar tubuh, tak sadar ia melangkah mundur dan sekali lagi menabrak Alaric.

Alaric mengumpat pelan lalu membungkuk, namun Mairin terlalu merisaukan Ewan hingga tidak melihat apa yang membuat Alaric mengomel.

Keberanian Mairin sudah habis, dan tekad untuk mengabaikan rasa sakit, untuk tidak membiarkan tulangnya remuk, lenyap dalam sekejap.

Kaki dan tangan Mairin gemetar, rasa sakit menusuk kedua sisi tubuh, membuatnya terengah-engah pelan. Keringat membasahi kening, tapi ia tidak akan membiarkan diri mundur lebih jauh lagi.

Sang laird marah–kepadanya–dan ia sama sekali tidak tahu apa sebabnya. Bukankah seharusnya sang laird seharusnya berterima kasih kepadanya, karena sudah menyelamatkan putra pria itu? Meski Mairin tidak melakukan sesuatu yang heroik, sang laird toh tidak mengetahunya. Setahunya, Mairin mungkin saja melawan sepuluh pria demi Crispen.

Baru ketika sang laird balas menatapnya dengan takjub, Mairin sadar bahwaia sudah mengucapkan pikiran keras-keras. Semua orang di halaman terdiam dan memandangnya, seolah ia mengutuk mereka semua.

“Alaric?” gumam Mairin, tanpa memalingkan wajah dari tatapan sang laird.

“Ya, lass?”

“Maukah kau menangkapku jika aku pingsan? Karena jika aku jatuh, itu tidak akan baik bagi lukaku.”

Di luar dugaan Mairin, Alaric meraih kedua pundaknya lalu memeganginya erat-erat. Tangan pria itu sedikit gemetar dan ia mengeluarkan suara yang sangt aneh. Apakah Alaric menertawakannya?

Ewan melangkah maju, ketakjubannya digantikan lagi oleh rengutan garang. Apakah tak seorang pun dalam klan McCabe yang pernah tersenyum?

Nay, kami tidak pernah tersenyum,” jawab Alaric dengan geli.

Mairin langsung tutup mulut, bertekad tidak akan berkata apa-apa lagi, dan menyiapkan diri untuk ditegur sang larid.

Ewan berhenti satu langkah di depan Mairin, memaksa Mairin mengangkat muka agar bisa menatap pria itu. Sulit untuk bersikap berani ketika ia terjepit di antara dua ksatria bertubuh besar. Namun harga diri Mairin membuatnya tidak mau bersimpuh di kaki sang larid dan memohon ampun. Meski saat ini, menurut Mairin itu gagasan terbaik. Tidak, ia berhasil mengatasi Duncan Cameron dan meloloskan diri hidup-hidup. Ksatria ini lebih besar dan lebih kejam, dam mungkin sanggup menghancurkannya seperti menginjak serangga kecil, tapi Mairin tidak akan mati seperti pengecut. Dan ia sama sekali belum mau mati sekarang.

“Kau akan memberitahuku siapa dirimu, mengapa kau mengenakan warna Duncan Cameron, dan bagaimana putraku bisa berada di tanganmu.”

Mairin menggeleng, melangkah mundur sampai tubuhnya menabrak Alaric yang ada di belakang, membuat Alaric mengumpat lagi saat ia menginjak kaki pria itu. Lalu ia segera maju lagi, karena teringat kepada jinji sendiri untuk bersikap berani.

Dahi Ewan berkerut semakin dalam. “Kau menentangku?”

Suara pria itu mengandung nada tidak percaya. Mairin mungkin akan geli mendengarnya, jika ia tidak kesakitan dan ingin sekali melepaskan gaun ini, yang sangat menyinggung sang laird.

Perut Mairin mual, dan ia berdoa semoga tidak akan muntah di sepatu bot sang laird. Sepatu itu tidak baru maupun berkilat-kilat seperti milik duncan. Meski begitu, Mairin yakin sang laird pasti akan sangat jengkel jika ia muntah di sepatunya.

“Aku tidak melawanmu, Laird,” kata Mairin dengan suara tenang, yang membuatnya bangga kepada diri sendiri.

“Kalau begitu, berikan informasi yang kuminta. Dan lakukan hal itu sekarang,” tambah Ewan dengan suara lembut namun menyeramkan.

“Aku...”

Suara Mairin berderak seperti es, dan ia menelan perasaan mual yang naik ke kerongkongan.

Ia diselamatkan oleh Crispen, yang jelas tidak sanggup berdiam diri lebih lama lagi. Anak itu menghambur ke depan, menyelipkan diri di antara Mairin dan ayahnya. Lalu Crispen melingkarkan lengan di kaki Mairin, membenamkan wajah di perut Mairin yang memar.

Mairin mengerang pelan, dan tanpa sadar meraih tubuh Crispen untuk menjauhkan anak itu dari rusuk. Ia pasti sudah merayap di tanah jika Alaric tidak menyambar lengannya, untuk mengembalikan keseimbangannya.

Dalam genggaman Mairin, Crispen memutar tubuh dan menengadah kepada ayahnya, yang tampaknya luar biasa terkejut sekaligus siap meledak.

“Jangan ganggu dia!” Crispen berseru. “Dia terluka, dan aku janji kau akan melindunginya, Papa. Aku sudah berjanji. Seorang McCabe tidak pernah mengingkari janji. Kau yang memberitahuku.”

Ewan menunduk memandang putranya dengan takjub, mulutnya bergerak-gerak sementara urat nadi di leher menonjol keluar.

“Anak ini benar, Ewan. Wanita ini perlu berbaring di ranjang segera. Lebih bagus lagi jika dia bisa mandi dengan air panas.”

Terkejut mendengar pembelaan Alaric, tapi lebih bersyukur daripada yang bisa diungkapkannya, Mairin kembali menoleh kepada sang laird. Pria itu memandang tak percaya kepada Alaric.

“Ranjang? Mandi? Putraku dikembalikan kepadaku oleh seorang wanita, yang memakai baju dengan warna kubu pria yang sangat kubenci, dan kau malah mengusulkan supaya aku memberinya kesempatan untuk mandi dan beristirahat di ranjang?”

Sang laird tampaknya siap meledak. Mairin melangkah mundur. Kali ini, Alaric memberinya ruang dengan bergeser ke samping, supaya Mairin dapat menjaga jarak dengan Ewan.

“Dia sudah menyelamatkan Crispen,” jawab Alaric dengan tenang.

“Dia dipukuli karena melindungiku,” Crispen berteriak.

Ewan tampak bimbang. Dia kembali menatap Mairin, seolah ingin melihat sendiri seberapa parah luka Mairin. Pria itu kelihatan bingung, seolah sebenarnya ingin mendesak Mairin agar menuruti permintaan, tapi karena Crispen dan alaric menatapnya dengan penuh harap, akhirnya dia diam dan melangkah mundur.

Otot-otot Ewan di lengan dan leher menonjol keluar, dia beberapa kali menarik napas, seolah berusaha tetap sabar. Mairin merasa bersimpati kepada sang laird, sungguh. Jika Crispen anak kandungnya, ia pasti ingin mengetahui semua yang terjadi, sama seperti sang laird. Dan jika itu benar –dan Ewan tidak punya alasan untuk bohong–bahwa Duncan Cameron musuh bebuyutannya, Mairin bisa mengerti mengapa sang laird sangat curiga dan benci kepadanya. Ya, ia mengerti benar dilema sang laird. Namun tidak berarti ia sekarang mau tunduk kepada sang laird.

Sambil mengumpulkan keberanian, dan berharap semoga suaranya tidak terdengar angkuh, Mairin menatap sang laird lurus-lurus. “Aku memang menyelamatkan putramu, Laird. Aku akan sangat menghargai bantuan apa pun yang bisa kau berikan. Aku tidak minta banyak. Hanya seekor kuda dan mungkin sedikit makanan. Lalu aku akan pergi supaya tidak merepotkanmu lagi.”

Kini Ewan tidak lagi menatap Mairin. Sebaliknya, dia menengadah ke langit, seolah berdoa agar diberi kesabaran atau dilepaskan dari cobaan ini. Atau mungkin keduanya.

“Seekor kuda. Makanan.”

Ewan mengucapkan kata-kata itu dengan terus menengadah ke langit. Lalu pelan-pelan dia menurunkan kepala, sampai matanya yang hijau menatap Mairin dengan garang. Membuat Mairin tak bisa bernapas.

“Kau tidak akan pergi ke mana-mana, lass.”



Synopsis
Back

1 komentar: