Mairin
memilin-milin tali kekang dengan gelisah saat Crispen bisa dibilang melompat
turun dari pelana dengan bersemangat.
“Kalau
kau terus memegangi tali kekang itu, lass,
kau dan kuda ini akan kembali ke tempat dari mana kau datang tadi.”
Mairin
mendongak dengan perasaan bersalah kepada Alaric McCabe, yang berkuda menyusul
ke sebelah kanannya. Teguran Alaric sebenarnya hanya untuk menggoda, tapi
jujur, pria itu membuat Mairin takut. Alaric tampak ganas dengan rambut panjang
yang berwarna gelap dan berantakan, dengan kepang-kepang terjuntai dari kedua
sisi pelipisnya.
Ketika
terbangun dalam pelukan Alaric, Mairin nyaris melemparkan mereka berdua dari
pelana akubat niatnya untuk segera kabur dari pria itu. Alaric terpaksa
mengangkat Mairin dan Crispen dari pangkuan, lalu menaruh mereka berdua di
tanah sampai ia bisa membetulkan pelana kuda.
Alaric
sebenarnya tidak senang dengan sifat kepala Mairin, namun wanita itu memperoleh
dukungan penuh dari Crispen. Dan karena Mairin telah membuat Crispen berjanji
tidak akan memberitahukan namanya kepada seorang pun, mereka hanya membisu
karika mendapat pertanyaan dari Alaric.
Oh,
Alaric bertanya dengan menggertak dan mengibaskan lengan berulang kali. Bahkan
mengancam akan mencekik mereka berdua. Tapi akhirnya dia hanya bisa menggerutu
dan menghujat para wanita dan anak-anak sebelum melanjutkan perjalanan untuk
membawa Crispen pulang.
Alaric
lalu berkeras agar Mairin berkuda dengannya paling tidak sehari lagi, dengan
menjelaskan bahwa dia tidak yakin Mairin mampu menunggangi kuda sendirian dalam
kondisinya sekarang. Lagi pula, Alaric merasa amat berdosa jika membiarkan
seseorang menunggangi seekor kuda yang bagus dengan kikuk.
Perjalanan
yang biasanya ditempuh dalam dua hari kini menghabiskan waktu tiga hari, berkat
pertimbangan Alaric akan kondisi Mairin –sehingga mereka sering berhenti untuk
beristirahat. Mairin tahu Alaric memperhatikan keadaannya karena pria itu memberitahunya. Berkali-kali.
Setelah
hari pertama, Mairin bertekad untuk berkuda tanpa bantuan Alaric. Meski hanya
demi menghapus raut puas dari wajah pria itu. Alaric jelas tidak sabar
menghadapi wanita. Dan Mairin curiga, kecuali terhadap keponakannya, yang jelas
Alaric sayangi, pria itu lebih tidak sabar lagi terhadap anak-anak.
Meski
begitu, mengingat Alaric tidak tahu apa-apa tentang Mairin, selain kenyataan
bahwa Crispen memihaknya, pria itu memperlakukan Mairin dengan baik. Anak-anak
buah Alaric juga bersikap sopan dan hormat kepada wanita itu.
Sekarang,
ketika mereka sudah dekat dengan benteng Laird McCabe, tenggorokan Mairin
seolah tersumbat oleh rasa takut. Ia tak akan bisa diam terus. Sang laird pasti
akan meminta jawaban, dan ia harus memberikannya.
Mairin
mencondongkan badan ke bawah untuk berbisik di telinga Crispen. “Kau ingat
janjimu kepadaku, Crispen?”
“Ya,”
Crispen balas berbisik kepadanya. “Bahwa aku tidak boleh memberitahukan namamu
kepada siapa pun.”
Mairin
mengangguk, merasa bersalah karena sudah mengajukan permintaan seperti itu pada
Crispen. Namun jika ia bisa pura-pura menjadi orang biasa, yang kebetulan
bertemu dengan Crispen dan mengantarkan anak itu dengan selamat kepada ayahnya,
mungkin ayah Crispen akan cukup berterima kasih untuk memberikan seekor kuda
dan mungkin sedikit makanan kepadanya. Maka Mairin dapat melanjutkan
perjalanan.
“Bahkan
kepada ayahmu,” Mairin menegaskan.
Crispen
mengangguk dengan sungguh-sungguh. “Aku hanya akan memberitahu Papa bahwa kau
sudah menyelamatkanku.”
Mairin
meremas tangan Crispen dengan tangannya yang bebas. “Terima kasih. Kau
pelindung terbaikku.”
Crispen
menoleh ke belakang untuk tersenyum lebar kepada Mairin, punggungnya
menggelembung dengan perasaan bangga.
“Kalian
berdua berbisik-bisik tentang apa?” tanya Alaric dengan jengkel.
Mairin
memandang sekilas prajurit itu, yang sedang mengamatinya, mata Alaric menyipit
curiga.
“Kalau
ingin kau tahu, aku pasti akan bicara lebih keras,” jawab Mairin dengan tenang.
Alaric
memalingkan wajah dan menggerutu. Mairin yakin pria itu pasti sedang mengumpat
tentang para wanita yang menyebalkan.
“Pasti
pendeta lelah mendengar pengakuanmu yang panjang lebar,” kata Mairin.
Satu
alis Alaric terangkat. “Kata siapa aku gemar mengaku dosa?”
Mairin
menggeleng. Pria angkuh itu mungkin mengira dia pasti akan masuk surga, dan
bahwa dengan bernapas saja dia sudah mematuhi perintah Tuhan.
“Lihat,
itu dia!” seru Crispen ketika menunjuk ke depan dengan tak sabar lagi.
Mereka
berkuda ke puncak bukit dan memandang ke bawah, ke kastel batu yang terletak di
samping bukit sebelah.
Bagian
luar kastel itu rusak di beberapa tempat, dan ada sekelompok kecil pria yang
bekerja dengan tekun, mengganti beberapa batu di dinding kastel. Sementara
bagian yang bisa dilihat Mairin dari atas dinding luar, tampak kehitaman oleh
bekas asap.
Danau
terhampar di sebelah kanan kastel, airnya berkilauan di bawah sinar matahari.
Salah satu sisinya meliuk-liuk mengelilingi bagian depan kastel, menciptakan
rintangan alami bagi gerbang depan. Namun jembatan yang melintasi danau itu,
melengkung menakutkan di bagian tengahnya. Jalan setapak sementara yang sempit,
menuju samping kastel, dibuat di atas danau. Jalan itu hanya dapat dilalui
seekor kuda pada satu waktu, untuk masuk ke kastel.
Meski
kastel itu jelas dalam keadaan rusak, tanah di sekitarnya tampak indah. Di
sebelah kiri kastel, domba-domba berpencar memenuhi bukit dan merumput.
Domba-domba digembalakan pria tua yang didampingi seekor anjing di kana dan
kiri. Terkadang salah satu anjing berlari untuk menggiring domba kembali ke
batas tak kasatmata, setelah itu dia akan kembali kepada majikannya untuk
menerima tepukan pujian di kepala.
Mairin
menoleh kepada Alaric, yang berhenti di sampingnya. “Apa yang terjadi di sini?”
Tapi
alaric tidak menjawab. Kerutan dalam tampak di wajahnya, dan bola matanya
nyaris menjadi hitam. Mairin menggenggam tali kekang sedikit lebih kencang dan
menggigil melihat kebencian Alaric yang berkobar-kobar. Ya, kebencian. Tak ada
istilah lain untuk apa yang dilihatnya di mata Alaric.
Alaric
memacu kuda. Kuda Mairin langsung mengikutinya, sehingga ia harus berpegangan
kepada Crispen supaya mereka berdua tidak jatuh.
Mereka
berkuda menuruni bukit, anak buah Alaric mengapit Mairin di semua sisi untuk
melindunginya. Crispen bergerak-gerak begitu gelisah di pelana, sampai Mairin
harus mencengkram lengan anak itu supaya tidak ada yang membuatnya terperanjat.
Ketika
mereka sampai di penyeberangan
sementara, Alaric berhenti untuk menunggu Mairin.
“Aku
akan masuk lebih dulu. Ikuti aku.”
Mairin
mengangguk mengerti. Ia juga tidak mau menjadi orang pertama yang masuk kastel.
Dari satu sisi, ini lebih menakutkan baginya, daripada ketika ia tiba di kastel
Duncan Cameron. Karena Mairin tidak tahu bagaimana nasibnya di sini. Sementara
ia tahu benar apa rencana Cameron terhadap dirinya.
Mereka
berkuda di jembatan, melewati pintu masuk yang lebar dan melengkung, dan sampai
di halaman kastel. Terdengar teriakan nyaring, dan butuh sesaat bagi Mairin
untuk sadar bahwa Alaric-lah yang melengking. Ia mendongak dan melihat Alaric
yang masih menunggangi kuda, kepalan pria itu teracung tinggi di udara.
Di
sekeliling Mairin, para prajurit –jumlah mereka ratusan– mengacungkan pedang ke
langit dan ikut berseru. Mereka berulang kali mengangkat dan menurunkan pedang
untuk merayakan keberhasilan.
Seorang
pria berlari kencang memasuki halaman. Rambut pria itu berkibar-kibar di
belakang saat langkahnya secepat kilat melewati tanah di depan.
“Papa!”
Crispen berseru, dan buru-buru turun dari pelana sebelum Mairin bisa mencegah.
Begitu
menginjak tanah, Crispen langsung berlari, sementara Mairin menatap takjub pria
yang ia duga ayah anak itu. Perut Mairin mulas, dan ia menelan ludah, berusaha
tidak panik lagi.
Pria
itu sangat besar, dan tampak sama kejamnya dengan Alaric. Mairin tidak mengerti
mengapa ia dapat berpikir begitu. Padahal wajah pria itu begitu gembira ketika
meraih Crispen ke pelukan. Namun berbeda dengan Alaric, ayah Crispen membuat
Mairin takut.
Kalau
kedua kakak beradik itu memiliki perawakan dan tinggi badan yang sangat mirip.
Keduanya mempunyai rambut berwarna gelap yang terurai melewati bahu, dan
sebagian rambut mereka dikepang. Tapi saat Mairin melihat ke sekeliling, ia
melihat semua anak buah mereka mempunyai potongan rambut yang sama. Panjang,
terurai, dan membuat mereka tampak buas.
“Aku
senang sekali melihatmu, Nak,” kata ayah Crispen dengan suara tercekik.
Crispen
memeluk erat-erat sang larid dengan tangannya yang kecil, mengingatkan Mairin
kepada buah berangan berduri yang menempel pada roknya.
Dari
atas kepala Crispen, sang laird berpandangan dengan Mairin, lalu tatapannya
langsung berubah keras. Mairin yakin sang laird mengamatinya dari atas sampai
bawah. Ia bergerak-gerak dengan gelisah, merasa tidak nyaman melihat
pemandangan menyelidik pria itu.
Mairin
mulai turun dari kuda, karena merasa sedikit konyol ketika semua orang di
sekelilingnya turun dari kuda. Namun Alaric langsung mendekatinya, tangan pria
itu terulur ke atas dengan dengan mudah mengangkatnya dari kuda dan
menurunkannya ke tanah.
“Pelan-pelan,
lass,” Alaric memperingatkan.
“Keadaanmu sudah membaik, tapi kau perlu menjaga kondisi.”
Suara
Alaric seolah menunjukkan perhatian pria itu kepada Mairin. Tapi ketika Mairin
mendongak kepada Alaric, pria itu tampak merengut, sama seperti setiap kali dia
melihat Mairin. Mairin menjadi jengkel dan balas merengut kepadanya. Melihat
Mairin cemberut, Alaric mengerjap-ngerjapkan mata dengan terkejut, lalu
mendorong Mairin ke arah sang laird yang menunggu.
Ewam
McCabe tampak jauh lebih menakutkan sekarang, setelah Crispen tak lagi dalam
pelukan dan kembali menginjak tanah. Mairin mundur selangkah dan malah
membentur Alaric yang sekokoh gunung.
Ewan
pertama melihat kepada Alaric, mengabaikan Mairin seolah ia tidak kelihatan.
Namun itu tidak masalah bagi Mairin.
“Terima
kasih telah membawa pulang putraku. Aku selalu yakin kepadamu dan Caelen.”
Alaric
berdeham dan mendorong Mairin ke depan.
“Kau
harus berterima kasih kepada wanita ini atas kepulangan Crispen. Aku hanya
mengawal anakmu pulang.”
Mata
Ewan menyipit saat mengamati Mairin dengan lebih cermat. Mairin takjub ketika
melihat bahwa bola mata sang laird ternyata tidak berwarna gelap dan garang
seperti yang diduganya, melainkan warna hijau pucat yang aneh. Namun ketika
sang laird merengut, wajahnya segelap awan mendung. Jadi, siapa yang bisa
mengira jika warna bola matanya bukan hitam –yang cocok dengan keganasan
rautnya?
Terkejut
dengan kenyataan ini –dan jika ia menghindari sang laird yang mau tak mau harus
dihadapinya nanti, siapa yang bisa menyalahkannya?–Mairin tiba-tiba berpaling
dan mendongak menatap Alaric. Pria itu mengerjap-ngerjapkan mata lalu melotot
kepadanya, seolah menganggapnya perempuan tolol. Dan Mairin yakin itulah
pikiran Alaric.
“Matamu
juga hijau,” gumam Mairin.
Wajah
Alaric yang merengut berubah cemas. “Kau yakin kepalamu tidak terluka? Atau kau
belum menceritakannya padaku?”
“Pandang
aku,” raung Ewan.
Mairin
melonjak kaget dan memutar tubuh, tak sadar ia melangkah mundur dan sekali lagi
menabrak Alaric.
Alaric
mengumpat pelan lalu membungkuk, namun Mairin terlalu merisaukan Ewan hingga
tidak melihat apa yang membuat Alaric mengomel.
Keberanian
Mairin sudah habis, dan tekad untuk mengabaikan rasa sakit, untuk tidak
membiarkan tulangnya remuk, lenyap dalam sekejap.
Kaki
dan tangan Mairin gemetar, rasa sakit menusuk kedua sisi tubuh, membuatnya
terengah-engah pelan. Keringat membasahi kening, tapi ia tidak akan membiarkan
diri mundur lebih jauh lagi.
Sang
laird marah–kepadanya–dan ia sama sekali tidak tahu apa sebabnya. Bukankah
seharusnya sang laird seharusnya berterima kasih kepadanya, karena sudah
menyelamatkan putra pria itu? Meski Mairin tidak melakukan sesuatu yang heroik,
sang laird toh tidak mengetahunya. Setahunya, Mairin mungkin saja melawan
sepuluh pria demi Crispen.
Baru
ketika sang laird balas menatapnya dengan takjub, Mairin sadar bahwaia sudah
mengucapkan pikiran keras-keras. Semua orang di halaman terdiam dan
memandangnya, seolah ia mengutuk mereka semua.
“Alaric?”
gumam Mairin, tanpa memalingkan wajah dari tatapan sang laird.
“Ya,
lass?”
“Maukah
kau menangkapku jika aku pingsan? Karena jika aku jatuh, itu tidak akan baik
bagi lukaku.”
Di
luar dugaan Mairin, Alaric meraih kedua pundaknya lalu memeganginya erat-erat.
Tangan pria itu sedikit gemetar dan ia mengeluarkan suara yang sangt aneh.
Apakah Alaric menertawakannya?
Ewan
melangkah maju, ketakjubannya digantikan lagi oleh rengutan garang. Apakah tak
seorang pun dalam klan McCabe yang pernah tersenyum?
“Nay, kami tidak pernah tersenyum,” jawab
Alaric dengan geli.
Mairin
langsung tutup mulut, bertekad tidak akan berkata apa-apa lagi, dan menyiapkan
diri untuk ditegur sang larid.
Ewan
berhenti satu langkah di depan Mairin, memaksa Mairin mengangkat muka agar bisa
menatap pria itu. Sulit untuk bersikap berani ketika ia terjepit di antara dua
ksatria bertubuh besar. Namun harga diri Mairin membuatnya tidak mau bersimpuh
di kaki sang larid dan memohon ampun. Meski saat ini, menurut Mairin itu
gagasan terbaik. Tidak, ia berhasil mengatasi Duncan Cameron dan meloloskan
diri hidup-hidup. Ksatria ini lebih besar dan lebih kejam, dam mungkin sanggup
menghancurkannya seperti menginjak serangga kecil, tapi Mairin tidak akan mati
seperti pengecut. Dan ia sama sekali belum mau mati sekarang.
“Kau
akan memberitahuku siapa dirimu, mengapa kau mengenakan warna Duncan Cameron,
dan bagaimana putraku bisa berada di tanganmu.”
Mairin
menggeleng, melangkah mundur sampai tubuhnya menabrak Alaric yang ada di
belakang, membuat Alaric mengumpat lagi saat ia menginjak kaki pria itu. Lalu
ia segera maju lagi, karena teringat kepada jinji sendiri untuk bersikap berani.
Dahi
Ewan berkerut semakin dalam. “Kau menentangku?”
Suara
pria itu mengandung nada tidak percaya. Mairin mungkin akan geli mendengarnya,
jika ia tidak kesakitan dan ingin sekali melepaskan gaun ini, yang sangat
menyinggung sang laird.
Perut
Mairin mual, dan ia berdoa semoga tidak akan muntah di sepatu bot sang laird.
Sepatu itu tidak baru maupun berkilat-kilat seperti milik duncan. Meski begitu,
Mairin yakin sang laird pasti akan sangat jengkel jika ia muntah di sepatunya.
“Aku
tidak melawanmu, Laird,” kata Mairin dengan suara tenang, yang membuatnya
bangga kepada diri sendiri.
“Kalau
begitu, berikan informasi yang kuminta. Dan lakukan hal itu sekarang,” tambah
Ewan dengan suara lembut namun menyeramkan.
“Aku...”
Suara
Mairin berderak seperti es, dan ia menelan perasaan mual yang naik ke
kerongkongan.
Ia
diselamatkan oleh Crispen, yang jelas tidak sanggup berdiam diri lebih lama
lagi. Anak itu menghambur ke depan, menyelipkan diri di antara Mairin dan
ayahnya. Lalu Crispen melingkarkan lengan di kaki Mairin, membenamkan wajah di
perut Mairin yang memar.
Mairin
mengerang pelan, dan tanpa sadar meraih tubuh Crispen untuk menjauhkan anak itu
dari rusuk. Ia pasti sudah merayap di tanah jika Alaric tidak menyambar
lengannya, untuk mengembalikan keseimbangannya.
Dalam
genggaman Mairin, Crispen memutar tubuh dan menengadah kepada ayahnya, yang
tampaknya luar biasa terkejut sekaligus siap meledak.
“Jangan
ganggu dia!” Crispen berseru. “Dia terluka, dan aku janji kau akan
melindunginya, Papa. Aku sudah berjanji.
Seorang McCabe tidak pernah mengingkari janji. Kau yang memberitahuku.”
Ewan
menunduk memandang putranya dengan takjub, mulutnya bergerak-gerak sementara
urat nadi di leher menonjol keluar.
“Anak
ini benar, Ewan. Wanita ini perlu berbaring di ranjang segera. Lebih bagus lagi
jika dia bisa mandi dengan air panas.”
Terkejut
mendengar pembelaan Alaric, tapi lebih bersyukur daripada yang bisa
diungkapkannya, Mairin kembali menoleh kepada sang laird. Pria itu memandang
tak percaya kepada Alaric.
“Ranjang?
Mandi? Putraku dikembalikan kepadaku
oleh seorang wanita, yang memakai baju dengan warna kubu pria yang sangat
kubenci, dan kau malah mengusulkan supaya aku memberinya kesempatan untuk mandi
dan beristirahat di ranjang?”
Sang
laird tampaknya siap meledak. Mairin melangkah mundur. Kali ini, Alaric
memberinya ruang dengan bergeser ke samping, supaya Mairin dapat menjaga jarak
dengan Ewan.
“Dia
sudah menyelamatkan Crispen,” jawab Alaric dengan tenang.
“Dia
dipukuli karena melindungiku,” Crispen berteriak.
Ewan
tampak bimbang. Dia kembali menatap Mairin, seolah ingin melihat sendiri
seberapa parah luka Mairin. Pria itu kelihatan bingung, seolah sebenarnya ingin
mendesak Mairin agar menuruti permintaan, tapi karena Crispen dan alaric
menatapnya dengan penuh harap, akhirnya dia diam dan melangkah mundur.
Otot-otot
Ewan di lengan dan leher menonjol keluar, dia beberapa kali menarik napas,
seolah berusaha tetap sabar. Mairin merasa bersimpati kepada sang laird,
sungguh. Jika Crispen anak kandungnya, ia pasti ingin mengetahui semua yang
terjadi, sama seperti sang laird. Dan jika itu benar –dan Ewan tidak punya
alasan untuk bohong–bahwa Duncan Cameron musuh bebuyutannya, Mairin bisa
mengerti mengapa sang laird sangat curiga dan benci kepadanya. Ya, ia mengerti
benar dilema sang laird. Namun tidak berarti ia sekarang mau tunduk kepada sang
laird.
Sambil
mengumpulkan keberanian, dan berharap semoga suaranya tidak terdengar angkuh,
Mairin menatap sang laird lurus-lurus. “Aku memang menyelamatkan putramu, Laird.
Aku akan sangat menghargai bantuan apa pun yang bisa kau berikan. Aku tidak
minta banyak. Hanya seekor kuda dan mungkin sedikit makanan. Lalu aku akan
pergi supaya tidak merepotkanmu lagi.”
Kini
Ewan tidak lagi menatap Mairin. Sebaliknya, dia menengadah ke langit, seolah
berdoa agar diberi kesabaran atau dilepaskan dari cobaan ini. Atau mungkin
keduanya.
“Seekor
kuda. Makanan.”
Ewan
mengucapkan kata-kata itu dengan terus menengadah ke langit. Lalu pelan-pelan
dia menurunkan kepala, sampai matanya yang hijau menatap Mairin dengan garang.
Membuat Mairin tak bisa bernapas.
“Kau
tidak akan pergi ke mana-mana, lass.”
Synopsis
Back
Kak,,,gak update lg yaaa?
BalasHapus