Selasa, 15 Januari 2019

One Good Earl Deserves a Lover, 8

“Astronomi bukanlah keahlianku, tapi aku mendapati diriku memikirkan jangkauan semesta hari ini. Jika Matahari kita merupakan satu dari jutaan bintang yang ada, siapa yang dapat berkata kalau Galileo tidak benar? Bahwa tidak ada bumi lain yang terdapat nun jauh di sana di pinggir Galaksi yang lain? Dan siapa yang dapat berkata kalau tidak ada Philippa Marburry yang lain, sepuluh hari sebelum pernikahannya, menantikan wawasannya berkembang?
Tentu saja itu tidak relevan. Bahkan kalau ada Bumi duplikasi di suatu sudut semesta, aku tetap akan menikah sepuluh hari lagi.
Begitu pula dengan Pippa yang satu lagi.”


Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
26 Maret 1831; sepuluh hari sebelum pernikahannya.


Keesokan malamnya, Pippa duduk di bangku kecil yang terdapat di pinggir sekelompok pohon ceri kebun Dolby House, mantel menyelubungi tubuhnya rapt-rapat, Trotula di dekat kakinya, memandangi bintang.

Atau, setidaknya, berusaha untuk memandangi bintang.

Ia sudah berada di luar selama lebih dari satu jam, akhirnya menyerah berpura-pura sakit dan meninggalkan rumah setelah makan malam disajikan secara resmi, lebih memilih berada di luar ruangan ketimbang di dalam, bahkan pada malam bulan Maret yang dingin ini.

Ia terlalu bersemangat.

Malam ini, ia akan belajar tentang cara menggoda.

Dari Cross.

Pippa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, lalu mengulanginya, berharap melakukannya dapat menenangkan pemikiran-pemikirannya yang berkecamuk. Ternyata tidak. Pemikiran-pemikiran itu dikaburkan oleh fantasi tentang Cross, tentang bagaimana Cross memelototinya dari seberang arena klub judi pria itu, bagaimana Cross tersenyum kepadanya di tengah kegelapan, bagaimana Cross menyudutkannya di kantor pria itu.

Tentu saja itu bukan karena Cross, Pippa yakin ia pasti merasa seperti ini juga kalau orang lain yang menjanjikannya pelajaran yang sudah Cross janjikan.

Pembohong.

Pippa menghela napas panjang dengan keras.

Mengatur napas tidak membantu.

Ia menoleh ke balik bahunya melihat cahaya remang-remang yang berasal dari ruang makan Dolby House. Ya, sebaiknya ia menghabiskan waktu sebelum pertemuan mereka sendirian di tengah udara dingin ketimbang menggila selagi makan bersama orang tuanya dan Olivia, yang pasti sedang mendiskusikan masalah “Pernikahan” saat ini.

Sebuah kenangan dari kejadian kemarin siang melintas, Olivia tampak gemilang dengan gaun pengantinnya, berbinar-binar karena semangat pernikahan, pantulan Pippa ada di cermin belakang, lebih kecil dan redup jika dibandingkan dengan adiknya yang lebih bercahaya.

Pernikahan itu pasti mengesankan. Pernikahan termegah di sepanjang masa. Atau, setidaknya untuk para biang gosip.

Itulah yang selalu diimpikan oleh Marchioness of Needham and Dolby –upacara mewah dan formalyang ditujukan untuk memamerkan kemegahan serta keberuntungan yang menyertai kelahiran para putri Marbury. Upacara itu akan menghapuskan kenangan dari kedua pernikahan sebelumnya dari generasi mereka; pernikahan ganda Victoria dan Valerie dengan pasangan yang menjemukan, dilaksanakan dengan tergesa-gesa setelah dibatalkannya pertunangan Penelope yang penuh skandal, dan, yang terbaru, pernikahan Penelope, diselenggarakan dengan izin khusus di kapel desa di dekat estat pedesaan Needham sehari setelah Bourne kembali dari tempat mana pun yang pria itu kunjungi selama sepuluh tahun.

Tentu saja, mereka semua tahu ke mana Bourne pergi.

Bourne pergi ke The Fallen Angel.

Dengan Cross.

Cross yang menawan dan sangar, yang mulai membuat Pippa resah bahkan saat Pippa menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata, menelaah perubahan yang terjadi kepadanya ketika ia berada di dekat –baik secara mental maulun fisik– pria jangkung berambut coklat kemerahan yang dengan berat hati sudah bersedia membimbingnya dalam pencariannya itu.

Jantung Pippa terasa berdebar kencang, napasnya menjadi semakin pendek. Semakin cepat.

Otot-otot mengencang dan saraf-sarafnya menegang.

Tubuhnya bertambah hangat... atau dingin?

Bagaimanapun juga, semua itu merupakan tanda-tanda dari kewaspadaan yang meningkat. Gejala-gejala semangat. Atau kegugupan. Atau ketakutan.

Pippa yakin ia berlebihan. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari pria ini –Cross pria terpelajar. Selalu terkendali.

Mitra riset yang sempurna.

Tidak lebih.

Tidak penting kalau riset yang bersangkutan sama sekali tidak wajar. Itu tetap saja riset.

Pippa menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkan jam dari tasnya, mengangkatnya untuk melihatnya di tengah cahaya temaram yang menembus keluar dari jendela-jendela ruang duduk lantai bawah.

“Sudah jam sembilan.” Kata-kata itu terdengar lembut, berasal dari kegelapan, dan Trotula melompat ke kaki Pippa untuk menyambut si pendatang baru, memberi Pippa kesempatan untuk menenangkan debar jantungnya yang tidak teratur. Nanti, ia akan merenungkan fakta bahwa ia sulit bernapas, tapi bukan karena terkejut, melainkan karena sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih dari itu.

Akan tetapi, saat itu hanya ada satu hal yang dapat ia pikirkan.

Cross sudah datang.

Pippa tersenyum, memperhatikan pria itu berjongkok menyapa anjingnya. “Kau sangat tepat waktu.”

Setelah selesai, Cross berdiri lalu duduk di sebelah Pippa, cukup dekat untuk membuatnya gelisah, cukup jauh untuk menghindari kontak. Dari ujung matanya, Pippa melihat betapa panjangnya paha Cross –hampir separuh lebih panjang dari pahanya sendiri, membuat calana wol pria itu tertarik ketat di otot dan tulang yang ramping. Seharusnya ia tidak memandangi paha Cross.

Tulang paha.

“Namun, kau sudah menungguku.”

Pippa menoleh kepada Cross dan mendapatinya tengah memandangi langit, wajahnya berselubung kegelapan, bersandar ke bangku seolah mereka sudah duduk di sana semalaman, seolah mereka bisa terus duduk di sana, semalaman. Pippa mengikuti arah pandangan Cross. “Aku sudah duduk di sini selama lebih dari satu jam.”

“Di tengah udara dingin ini?”

“Ini waktu yang tepat untuk memandangi bintang, kan? Malam yang dingin selalu jauh lebih bersih.”

“Ada alasannya.”

Pippa berbalik menghadap Cross. “Benarkah?”

Cross tidak melihat Pippa. “Bintang pada langit musim dingin lebih sedikit. Bagaimana jari kakimu?”

“Baik-baik saja. Kau ahli astronomi sekaligus ahli matematika?”

Cross akhirnya menoleh kepada Pippa, cahaya dari manor di belakang mereka menyoroti separuh wajahnya. “Kau alhi hortikultura sekaligus ahli anatomi?”

Pippa tersenyum. “Kita mengejutkan, ya?”

Bibir Cross berkedut. “Begitulah.”

Beberapa saat terentang di tengah mereka sebelum Cross memalingkan wajahnya lagi, kembali mengalihkan perhatian ke langit. “Apa yang sedang kau pandangi tadi?”

Pippa menunjuk sebuah bintang yang terang.

Cross menggelengkan kepala, lalu menunjuk suatu bagian dari langit. “Itu Polaris. Yang sedang kau pandangi itu Vega.”

Pippa tergelak. “Ah. Pantas saja aku menganggapnya tidak mengesankan.”

Cross bersandar lalu meluruskan kakinya yang panjang. “Itu bintang paling terang ke lima di langit.”

Pippa tertawa. “Kau lupa aku salah saorang dari lima bersaudari. Di duniaku, bintang paling terang ke lima berarti yang terakhir.” Ia mendongak. “Tanpa bermaksud untuk menyinggung perasaan bintang yang bersangkutan.”

“Dan kau sering menjadi yang terakhir?”

Pippa mengangkat bahu. “Terkadang. Itu bukan peringkat yang menyenangkan.”

“Percayalah, Pippa. Kau jarang menjadi yang terakhir.”

Cross tidak bergerak selain menoleh dan memandang Pippa, raut wajahnya tampak keras dan dingin di tengah kegelapan, membuat suatu getaran yang tidak familier menyambar Pippa. “Berhati-hatilah dengan apa yang kau katakan. Aku harus memberitahu Penny kalau kau menganggapnya kurang.”

Cross menatap Pippa dengan sorot terkejut. “Aku tidak bilang begitu.”

“Dia satu-satunya saudariku yang pernah kau lihat. Kalau aku bukan yang terakhir, berarti menurutmu, Penny ada di belakangku.”

Salah satu ujung bibir Cross terangkat. “Kalau begitu, jangan bahas percakapan ini dengan orang lain.”

“Aku setuju.” Pippa kembali mengarahkan perhatiannya ke langit. “Ceritakan tentang bintang terbaik kelima yang menakjubkan ini.”

Saat Cross bicara, Pippa bisa mendengar tawa pada suara rendahnya, dan Pippa menahan keinginan untuk memandangnya. “Vega terdapat pada rasi bintang Lyra, dinamai begitu karena menurut Ptolomeus, rasi bintang tersebut mirip dengan Lyra-nya Orpheus.”

Pippa tidak kuasa menahan diri untuk tidak menggoda Cross. “Kau pakar dalam bidang sastra klasik juga, ya?”

“Maksudmu kau bukan?” balas Cross, membuat Pippa tertawa sebelum ia menambahkan, “Orpheus merupakan salah satu karya favoritku.”

Pippa menoleh kepada Cross. “Mengapa?”

Pandangan Cross tertuju ke langit malam. “Dia membuat kesalahan besar dan membayar mahal untuk itu.”

Dengan kata-kata itu, segalanya bertambah serius. “Eurydice,” bisik Pippa. Pippa mengetahui kisah tentang Orpheus dan istrinya, yang ia cintai lebih dari segalanya lalu ia lepaskan ke dunia bawah.

Cross terdiam selama beberapa saat, dan Pippa mengira pria itu tidak akan bicara. Waktu Cross bicara, kata-katanya datar dan tak berwmosi. “Dia membujuk Hades untuk membebaskan Eurydice, mengembalikan Eurydice ke dunia orang hidup. Yang harus dia lakukan hanyalah membimbing Eurydice keluar tanpa menoleh lagi ke neraka di belakangnya.”

“Tapi dia tidak bisa melakukannya,” ujar Pippa, otaknya berpuar.

“Orpheus menjadi serakah dan menengok ke belakang. Ia kehilangan Eurydice selamanya.” Cross terdiam sejenak, lalu mengulangi, “Kesalahan besar.”

Dan ada sesuatu pada nada suara Cross, sesuatu yang mungkin tidak Pippa kenali pada kesempatan lain, pada diri pria lain. Kehilangan. Duka. Kenangan melintas –percakapan yang dibisikkan persis di kebun ini.

Seharusnya kau tidak menikah dengannya..

Aku tidak punya pilihan. Kau tidak memberiku pilihan.

Semestinya aku menghentikannya.

Wanita yang di kebun waktu itu... wanita itu Eurydice-nya Cross.

Sesuatu yang tidak menyenangkan muncul di dada Pippa karena pemikiran tersebut, dan ia tidak kuasa menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan menyentuh Cross, meletakkan tangan di lengan pria itu. Cross tersentak karena sentuhan Pippa, menjauh seolah Pippa telah membakarnya.

 Mereka berdiri di tengah kesenyapan selama beberapa saat. Hingga Pippa tidak dapat menahan diri untuk tidak berkata, “Kau membuat kesalahan.”

Cross mengalihkan pandangannya kepada Pippa sekilas, lalu berdiri. “Sudah waktunya kita berangkat. Pelajaranmu menunggu.”

Tapi Pippa sudah tidak mau pergi. Ia ingin tetap tinggal. “Kau kehilangan cintamu.” Cross tidak menoleh kepadanya, tapi Pippa tidak akan memalingkan wajahnya bahkan kalau sekawanan lembu jantan menerobos ke kebun Delby House saat itu. “Wanita yang di kebun waktu itu... Lavinia,” kata Pippa, benci karena ia tidak bisa diam. Jangan tanya, Pippa. Jangan. “Kau... mencintainya?”

Kata tersebut terasa ganjil di lidahnya.

Seharusnya ia tidak kaget kalau Cross punya kekasih. Bagaimanapun juga, ada beberapa pria di London yang memiliki reputasi seperti yang Cross miliki sebagai seorang pria sekaligus seorang kekasih. Tapi Pippa mengakui, Cross tidak terkesan seperti pria yang tertarik pada emosi-emosi yang lebih serius –kepada sesuatu yang menyerupai cinta. Bagaimanapun juga, Cross pria terpelajar. Sebagaimana dirinya yang merupakan wanita terpelajar. Dan jelas ia tidak berharap cinta akan muncul di benaknya.

Namun, Pada momen janggal ini, Pippa mendapati bahwa ia sangat ingin mendengar jawaban Cross. Dan di sana, di tengah keputusasaan, ia mendapati bahwa ia berharap jawaban Cross tidak. Bahwa tidak ada cinta tak berbalas yang terpendam di lubuk hati pria itu.

Atau bahkan cinta yang berbalas.

Pippa tersentak karena pemikiran tersebut.

Wah.

Itu tak terduga.

Bibir Cross berkedut sewaktu ia mendengar pertanyaan Pippa, ketika ia memalingkan wajahnya dari cahaya dan menghadap ke kegelapan. Tapi ia tidak menjawab. “Rasa penasaran adalah sesuatu yang berbahaya, Lady Philippa.”

Pippa bangun menghadap Cross, tahu persis tentang betapa jauh lebih tingginya Cross darinya, tahu persis tentang pria itu. “Rasanya aku tidak bisa menahan diri.”

“Aku sudah menyadarinya.”

“Aku hanya bertanya karena aku tertarik kepada gagasan bahwa kau mencintai seseorang.”  Hentikan, Pippa. Ini bukan jalan yang ditempuh oleh wanita muda yang cerdas. Pippa berubah haluan. “Sebenarnya bukan hanya kau. Siapa saja. Mencintai seseorang.”

“Kau menentang cinta?”

“Bukan menentang, tapi meragukan. Biasanya aku tidak memercayai apa yang tidak bisa kulihat.”

Pippa mengejutkan Cross. “Kau bukan wanita biasa.”

“Kita sudah tahu itu. Karena itulah kau berada di sini, kalau kau ingat.”

“Kau benar.” Cross melipat lengannya yang panjang di depan dada, lalu menambahkan, “Jadi kau ingin menggoda suamimu, yang kau harap tidak akan kau cintai.”

“Tepat.” Saat Cross tidak langsung menanggapi, Pippa menambahkan, “Kalau ini bisa membantu, menurutku dia juga berharap dia tidak akan mencintaiku.”

“Pernikahan Inggris yang ideal.”

Pippa merenungkan kata-kata itu. “Kurasa begitu. Yang pasti pernikahan orang-orang di dekatku seperti itu.”

Alis Cross diangkat. “Kau meragukan fakta bahwa Bourne sangat menyayangi kakakmu?”

“Tidak. Tapi pernikahan yang seperti itu langka.” Pippa terdiam, mengingat-ingat. “Mungkin Olivia dan Tottenham juga. Tapi kakak-kakakku yang lain menikah karena alasan yang kurang lebih sama denganku.”

“Yaitu?”

Pippa mengangkat salah satu bahunya sekilas. “Itulah yang harus kami lakukan.” Ia menatap mata Cross, tidak dapat membacanya di tengah kegelapan. “Kurasa itu tidak masuk akal bagimu, mengingat kau bukan seorang bangsawan.”

Salah satu ujung bibir Cross terangkat. “Apa hubungannya seorang bangsawan dengan ini?”

Pippa menaikkan kacamata di hidungnya. “Kau mungkin tidak tahu, tapi bangsawan memiliki banyak peraturan yang harus dihadapi. Pernikahan berhubungan dengan harta, status, kepatutan dan posisi. Kami tidak bisa menikah dengan siapa pun yang kami inginkan. Yah, setidaknya para wanita begitu.” Ia memikirkannya sebentar. “Pria bisa menanggung lebih banyak skandal, tapi pada akhirnya sangat banyak dari mereka yang berubah haluan lalu membiarkan diri mereka diseret ke dalam pernikahan yang menjemukan. Menurutmu mengapa?”

“Rasanya aku enggan menebak.”

“Kekuasaan yang dimiliki oleh pria dan betapa cerobohnya mereka memanfaatkanya... sungguh menakjubkan. Iya kan?”

“Bagaimana kalau kau memiliki kekuasaan yang sama?”

“Aku tidak memilikinya.”

“Tapi bagaimana kalau kau memilikinya?”

Dan karena sepertinya Cross benar-benar tertarik, Pippa berkata, “Aku akan kuliah. Aku akan bergabung dengan Royal Horticultural Society. Atau mungkin Royal Astronomical Society... dengan begitu aku akan mengetahui perbedaan di antara Polaris dan Vega.”

Cross tertawa.

Pippa melanjutkan, menikmati bagaimana ia bisa bersikap lepas di dekat Cross. “Aku akan menikah dengan orang yang kusukai.” Ia berhenti sebentar, langsung menyesali bagaimana kata-kata itu terdengar di telinganya. “Maksudku... bukannyua aku tidak menyukai Castleton, dia pria yang baik. Sangat baik. Hanya saja...” ia terdiam merasa tidak loyal.

“Aku paham.”

Dan selama sesaat, Pippa rasa Cross memang paham.

“Tapi semua ini konyol. Kau mengerti, kan? Ocehan seorang gadis muda yang aneh. Aku dilahirkan dengan aturan-aturan tertentu, dan aku harus mematuhinya. Karena itulah menurutku mungkin kehidupan orang-orang di luar dunia bangsawan lebih mudah.”

“Itu dia, kau melihat dalam warna hitam putih lagi.”

“Maksudmu kebidupanmu tidak lebih mudah?”

“maksudku kita semua punya salib yang harus ditanggung.”

Ada sesuatu dalam kata-kata itu –kengerian tak terduga yang membuat Pippa ragu sebelum berkata, “Kurasa kau bicara dengan berdasarkan kepada pengalaman?”

“Benar.”

Otak Pippa berputar dengan berbagai kemungkinan. Cross pernah berkata kalau ia tidak pernah memikirkan pernikahan. Bahwa pernikahan bukan untuknya. Mungkin dulu pernah. Apa Cross pernah ingin menikah? Apa Cross pernah ditolak? Karena namanya, atau reputasinya, atau kariernya? Bergelar maupun tidak, Cross merupakan spesimen pria yang mengesankan –pintar, kaya, berkuasa, dan sangat tampan kalau semua faktornya dipertimbangkan.

Lady mana yang bisa menolaknya?

Lady misterius yang ada di kebun malam itu.

“Yah, bagaimanapun juga, aku senang kau bukan bangsawan.”

“Kalau aku bangsawan?”

Kau tidak seperti bangsawan yang pernah kujumpai. Pippa tersenyum. “Aku tidak akan memintamu untuk menjadi mitra risetku. Omong-omong, aku sudah menyusun daftar. Daftar pertanyaan.”

“Sudah kuduga. Tapi bukankah akan lebih mudah bagimu kalau aku bangsawan? Kau tidak perlu menyelinap ke klub judi.”

Pippa tersenyum. “Aku suka menyelinap ke klub judi.”

“Mungkin begitu.” Cross mendekat, menghalangi pandangan Pippa ke rumah. “Tapi itu mungkin juga karena setelah kau menyelesaikan risetmu, kau bisa beranjak pergi dan melupakan kalau ini pernah terjadi.”

“Aku tidak akan melupakannya,” cetus Pippa, kebenaran itu terucap dengan cepat dan bebas. Wajah Pippa merona karena kata-katanya, ia mensyukuri bayangan yang menyembunyikan rona itu dari Cross.

Tapi ia tidak akan melupakan ini. Malah, ia yakin ia akan mengingat malam ini setelah setelah ia menjadi Lady Castleton, berjalan mondar-mandir di estatnya dengan rumah kaca dan anjing-anjing yang menemaninya.

Dan yang pasti ia tidak akan melupakan Cross.

Mereka membisu selama beberapa saat, dan Pippa bertanya-tanya apakah ia sudah bicara terlalu banyak. Akhirnya, Cross memecah keheningan. “Aku membawakan sesuatu untukmu.” Ia menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus oleh kertas coklat kepada Pippa.

Napas Pippa bertambah cepat –responnya janggal terhadap sebuah kotak kecil, itu jelas –dan ia menerima bungkusan itu, menepiskan hidung basah Trotula yang ingin tahu lalu dengan cepat membukanya dan menemukan sebuah topeng di atas tumpukan kertas tipis. Ia mengangkat sutra lebar hitam itu, jantungnya berdebar kencang.

Pippa mendongak memandang Cross, tidak bisa membaca matanya di tengah kegelapan. “Terima kasih.”

Cross mengangguk sekali. “Kau akan membutuhkannya...” Kemudian ia berbalik memunggungi Pippa, menyeberangi kebun dengan cepat.

Trotula mengekor.

Pippa tidak mau ditinggal. Ia bergegas menyusul Cross dan anjingnya.

“Apa kita... mau pergi ke tempat umum?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Kupikir...” Pippa ragu. “Maksudku, kukira instruksinya akan disampaikan secara pribadi.” Ia mengangkat tasnya. “Aku tidak bisa menanyakan masalah-masalah spesifik ini kepadamu di tempat umum.”

Cross membalikkan badan, dan Pippa nyaris menabraknya. “Malam ini bukan tentang masalah spesifik. Malam ini tentang godaan.”

Kata tersebut meliputinya, dan Pippa bertanya-tanya apa mungkin entah bagaimana bahasa menjadi semakin kuat di tengah kurangnya cahaya. Sungguh pertanyaan yang bodoh. Sudah jelas, indra-indra bertambah peka kalau salah satunya tidak berfungsi. Ia tidak bisa melihat Cross, maka ia bisa mendengar pria itu dengan semakin jelas.

Itu tidak berhubungan dengan katanya sendiri.

Godaan.

Cross mulai berjalan lagi, menambahkan, “Untuk memahami cara menggoda seorang pria, kau harus lebih dulu memahami godaan itu sendiri.”

Pippa mengikuti, bergegas menyusul. “Aku memahami godaan.”

Cross melirik Pippa.

“Sungguh!”

“Apa yang menggodamu?” mereka sampai di sebuah kereta kuda hitam, lalu Cross mengangkat tangan untuk membuka pintu dan menurunkan undakannya. Anjing spanil Pippa melompat masuk ke kereta dengan gembira, mengejutkan mereka berdua sampai tertawa.

Pippa menjentikkan jari. “Trotula, keluar.”

Sambil mendesah sedih, anjing itu melakukan apa yang Pippa perintahkan.

Pippa menunjuk ke rumah. “Pulang.”

Anjing itu enggan bergerak.

Cross menyeringai. “Dia agak kurang patuh.”

“Tidak biasanya.”

“Mungkin karena aku.”

Pippa melirik Cross. “Mungkin begitu.”

“Seharusnya aku tidak kaget. Kau juga agak kurang patuh di dekatku.”

Pippa berpura-pura terkejut. “Sir, apa kau membandingkanku dengan seekor anjing?”

Cross tersenyum, mata dan gigi putihnya yang mengilat menyebabkan getaran ringan yang asing muncul di perut Pippa. “Mungkin. Nah, mari kembali ke masalah yang sedang kita bahas. Apa yang menggodamu, Pippa?”

“Aku...” Pippa ragu. “Aku sangat menyukai meringue.”

Cross tertawa, suaranya lebih keras dan berani daripada yang Pippa sangka.

“Sungguh.”

“Tapi kau bisa makan meringue kapan pun kau mau.” Cross mundur dan memberi isyarat agar Pippa masuk ke kereta kuda.

Pippa mengabaikan perintah tersirat itu, bersemangat untuk menegaskan maksudnya. “Tidak. Kalau koki tidak membuatnya, aku tidak bisa memakannya.”

Seulas senyum mengembang di bibir Cross. Pippa yang selalu praktis. Kalau menginginkannya, kau bisa menemukannya. Itu maksudku. Pasti, di suatu tempat di London, seseorang akan mengasihanimu dan memuaskan hasratmu akan meringue.”

Dahi Pippa dikerutkan. “Berarti... aku tidak tergoda olehnya?”

“Tidak. Kau menginginkannya. Tapi itu tidak sama. Keinginan itu mudah. Sesederhana kalau kau berharap memiliki meringue, dan meringue pun kau dapatkan.” Cross mengibaskan sebelah tangan ke dalam kereta kuda tapi tidak menawarkan diri untuk membantu Pippa naik. “Masuk.”

Pippa naik selangkah sebelum berbalik lagi. Penambahan tinggi itu membuat mereka sejajar. “Aku tidak mengerti. Lantas, apa itu godaan?”

“Godaan...” Cross ragu, dan Pippa mendapati dirinya sudah mencondongkan badan ke depan, sudah tidak sabar untuk mendapatkan pelajarannya yang membuatnya penasaran sekaligus gelisah ini. “Godaan mengubahmu. Godaan mengubahmu menjadi sesuatu yang tidak pernah kau impikan, godaan mendorongmu untuk menyerahkan segalanya demi semua yang kau dambakan, godaan memerintahkanmu untuk menjual jiwamu demi satu momen yang singkat.”

Kata-kata tersebut diucapkan dengan pelan, rendah, dan sarat akan kebenaran, dan kata-kata itu menggantung di tengah kesenyapan selama beberapa saat, undangan yang tidak dapat disangkal. Cross berada di dekat Pippa, menjaganya agar tidak terjatuh dari undakan, panas tubuh Cross meliputinya terlepas dari dinginnya udara. “Godaan membuatmu merindu,” bisik Cross, dan Pippa memperhatikan bibir pria itu meliuk di tengah kegelapan. “Kau rela berjanji apa saja, bersumpah apa saja. Demi satu cicipan yang... sempurna... dan murni.”

Oh, astaga.

Pippa menghela napas, panjang dan lirih, saraf-sarafnya menjerit, pikirannya kacau balau. Ia memejamkan mata, menelan ludah, memaksakan diri untuk mundur, menjauh dari Cross dan bagaimana pria itu... menggodanya.

Mengapa Cross tampak sangat tenang, santai, dan terkendali sepenuhnya?

Mengapa Cross tidak terganggu oleh... perasaan-perasaan serupa?

Benar-benar pria yang sangat mengesalkan.

Pippa menghela napas. “Itu pasti meringue yang luar biasa.”

Kesunyian sesaat menyusul kata-kata bodoh dan konyol itu... kata-kata yang Pippa harap dapat ia tarik kembali. Konyol sekali. Kemudian Cross tergelak, giginya berkilat di tengah kegelapan. “Benar,” ujar Cross, kata tersebut terdengar lebih rendah dan parau daripada sebelumnya.

Sebelum Pippa bisa mempertanyakan suaranya, Cross sudah menambahkan, “Trotula, pulang.”

Anjing itu membalikkan badan dan pergi sementara Cross mengalihkan perhatiannya kepada Pippa, lalu berkata, “Masuk.”

Pippa melakukannya. Tanpa bertanya lagi.


Gang di belakang The Angel tampak berbeda malam itu. Lebih tidak menetramkan.

Tidak membantu rasanya sewaktu Cross menegaskan kesepakatan kereta kuda yang bertambah lambat dengan, “Waktunya pakai topeng,” sebelum ia membuka pintu lalu melompat turun dari kendaraan tanpa bantuan undakan ataupun pelayan.

Pippa tidak ragu-ragu melaksanakan perintah Cross, mengeluarkan secarik kain yang dimaksud lalu mengangkatnya ke wajahnya, diliputi oleh semangat –ia belum pernah punya alasan untuk menyembunyikan identitasnya sebelumnya.

Topengnya menjanjikan kegembiraan sekaligus wawasan.

Pengalaman menyamar pertama baginya. Momen pertama baginya untuk menjadi lebih dari putri Marbury yang paling aneh.

Dengan topeng itu, Pippa tidak menganggap dirinya aneh, melainkan misterius. Bukan hanya pintar, tapi juga berani. Ia akan menjadi Circe yang sesungguhnya.

Tapi sekarang, selagi ia berusaha memakai topeng di kepalanya, ia tersadar bahwa imajinasi bukanlah realitas. Dan bahwa topeng bukan dibuat untuk orang berkacamata.

Pada upaya pertama, Pippa mengikat pitanya dengan terlalu kendur, dan topengnya menganga lalu merosot, meluncur turun di depan lensa kacamatanya, menghalangi pandangannya dan mengancam akan terjatuh dari hidungnya lalu ke lantai kereta kuda bila ia terlalu cepat bergerak.

Pada percobaan kedua, ia mengikat pitanya dengan jauh lebih kuat, meringis ketika beberapa helai rambutnya ikut terikat menjadi simpul yang berantakan. Hasilnya tidak jauh berbeda, topengnya sekarang menekan kacamata ke matanya, melengkungkan bingkai emas tipisnya sampai bagian hidung dan telinganya menempel ke kulitnya, dan membuatnya merasa sangat tidak-seperti-Circe.

Bertekad untuk terus maju, Pippa bergeser ke pintu kereta kuda, di mana Cross sudah berdiri menunggunya. Ia tidak akan membiarkan masalah sepele seperti penglihatan yang terganggu menghancurkan malamnya. Dengan topeng yang bertengger janggal di kacamatanya, Pippa melangkah tanpa melihat lagi ke kereta kuda, selopnya menemukan undakan teratas karena sebuah mukjizat bukannya pandangan dari ujung mata.

Salah, undakan yang kedua.

Pippa tersandung, mengeluarkan pekikan nyaring dan merentangkan lengannya lebar-lebar untuk entah bagaimana memulihkan keseimbangannya. Ia terjatuh, terjungkal ke kiri, langsung ke arah Cross, yang menangkapnya sambil menggerutu pelan.

Dada Cross hangat dan kencang.

Lengan Cross panjang dan cekatan.

Cross terkesiap, memegangi Pippa erat-erat dan selama sesaat –bahkan tidak sampai sesaat, hanya sedetik– tubuh Pippa melekat ke tubuh Cross, dan Pippa menatap langsung mata pria itu. Yah, tidak langsung, karena tentu saja topeng sialan itu sudah bergeser di tengah perjalanan, dan Pippa hanya memiliki sebagian dari penglihatannya yang biasa.

Tapi kalau bisa mendayagunakan indranya sepenuhnya, Pippa yakin ia akan mendapati Cross tertawa. Dan ia merasakannya lagi, rasa malu, panas dan tak terelakkan sesaat sebelum Cross menurunkannya.

Setelah berpijak ke tanah, Pippa mengangkat sebelah tangann dari tempat di mana tangannya mencengkram erat-erat jas wol Cross lalu berusaha untuk memperbaiki posisi topengnya. Ia berhasil mengacaukan topeng itu dan kacamatanya, yang terjatuh dari posisinya.

Cross menangkap kacamata itu di udara.

Pippa mengalihkan pandangan dari kacamatanya ke wajah Cross, rautnya menonjol terkena cahaya yang berasal dari eksterior kereta kuda. “Bukan seperti ini aku mengharapkan malam ini akan berjalan.”

Cross tidak tertawa, Pippa mengacungi jempol karenanya. Malah, sepertinya pria itu memandanginya selama beberapa saat sebelum melangkah mundur dan mengeluarkan secarik saputangan dari saku. “Aku pun begitu, percayalah,” kata Cross, membersihkan kacamata Pippa dengan berhati-hati sebelum mengembalikannya.

Pippa cepat-cepat memakai kacamatanya lalu menghela napas pelan. “Aku tidak bisa memakai topeng ini. Topeng ini tidak pas.” Ia membenci nada merajuk pada suaranya. Ia kedengaran seperti Olivia.

Pippa mengerutkan hidungnya lalu menatap mata Cross.

Cross tidak bicara, malah mengulurkan tangan untuk memperbaiki posisi kacamata di hidung Pippa tanpa menyentuhnya. Mereka berdiri di sana, di tengah keheningan, selama beberapa saat sebelum Cross bicara, dengan lembut, “Seharusnya itu terpikirkan olehku.”

Pippa menggelngkan kepala. “Aku yakin kau belum pernah mendapat masalah seperti ini sebelumnya...” Kenangan tentang Sally Tasser melintas, wanita cantik berpenglihatan sempurna yang tidak akan mendapat kesulitan dalam memakai topeng dan menciptakan kesan misterius yang sempurna.

Satu-satunya yang bisa Pippa ciptakan dengan sempurna adalah kekikukan.

Dan tiba-tiba, ia tahu persis kalau dunia ini, malam ini, pengalaman ini bukan untuknya. Ini kesalahan. Seperti Orpheus yang menengok ke Neraka di belakangnya.

“Semestinya aku tidak ke sini,” ujar Pippa, menatap mata Cross, mengira akan melihat kepuasan di sana –kelegaan karena akhirnya menyerah.

Tapi Pippa tidak melihat kelegaan. Alih-alih, ia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang mantap dan tegas. “Kita harus berhati-hati.” Cross berjalan menuju klub, ekspektasi bahwa Pippa akan mengikutinya terlihat jelas.

Selagi mereka mendekati pintu baja besar yang merupakan pintu belakang klub, sebuah kereta kuda menyusuri gang, berhenti beberapa meter jauhnya dari kendaraan yang membawa mereka. Seorang pelayan melangkah turun sementara pintu kereta kuda dibuka dari dalam dengan diiringi oleh sejumlah suara tawa feminin.

Pippa tertegun begitu mendengar suara itu, berbalik menghadapnya.

Cross mengumpat, pelan dan kasar, lalu meraih tangan Pippa sebelum Pippa bisa melawan, membalikkannya ke dinding luar klub lalu menghalanginya dari pandangan dengan tubuh jangkung pria itu.

Pippa berusaha untuk bergerak, tapi Cross menyudutkannya ke dinding, mencegahnya melihat wanita-wanita yang turun dari kereta kuda yang sekarang sedang cekikikan serta mengobrol sembari berjalan ke dinding. Pippa menjulurkan leher untuk melihat mereka, rasa penasaran membuatnya gegabah, tapi Cross sudah memprediksikan gerakannya dan mendekat, memojokkannya, membuatnya tidak bisa melihat apa pun.

Apa pun selain Cross.

Pria itu sangat tinggi. Pippa belum pernah mengenal orang yang setinggi Cross. Dan kalau Cross berada sangat dekat, sulit rasanya memikirkan sesuatu selain pria itu. Cross dan kehangatannya, bagaimana jasnya yang tidak dikancing melingkupi mereka, membuat Pippa berada lebih dekat dengan seorang pria berkemeja lebih dari yang sudah-sudah.

Pemikiran-pemikiran Pippa disela oleh gelak tawa lainnya, disusul oleh suara yang menyuruh diam. “Lihat!” kata seorang wanita keras-keras. “Kita menganggu sepasang kekasih itu!”

“Ada yang tidak bisa menunggu sampai masuk ke dalam!” sebuah suara feminin lain berkata.

“Siapa itu?” bisik suara ketiga.

Mata Pippa membelalak, dan ia bicara ke dada Cross. “Siapa mereka?”

“Tidak perlu kau pikirkan.” Cross kian merapat, meringis sambil mengangkat sebelah tangan lalu menopangkannya ke dinding di atas kepala Pippa, menghalangi wajah Pippa dengan lengannya yang panjang dan kerah jasnya.

Pippa berada sangat dekat dengan dada Cross, dan ia tidak bisa mencegah dirinya menghirup aroma cendana yang melingkupinya. Tangannya yang terkulai di samping gatal ingin menyentuh Cross. Ia mengepalkannya lalu mendongak memandang Cross, menatap mata gelap pria itu.

“Aku tidak bisa melihat yang wanita,” kata salah seorang wanita, “tapi aku bisa mengenali yang pria di mana pun. Itu Cross.” Ia memperkeras suaranya. “Iya kan, Cross?”

Getar-getar hawa panas meliputi Pippa sewaktu ia mendengar keakraban wanita itu, tawa pada nada suaranya –seolah wanita itu tahu persis seperti apa rasanya berada di sini, terimpit di tengah-tengah dinding batu klub jugi yang paling legendaris di London dan pemiliknya yang bangga serta brilian.

“Masuklah, Ladies,” kata Cross dengan keras, tanpa memalingkan wajahnya dari Pippa. “Kalian melewatkan pertandingannya.”

“ Kelihatannya tontonan di luar sama serunya malam ini!” sahut seorang wanita, mengundang gelak tawa dari wanita lainnya.

Cross bergeser, menundukkan kepala, dan Pippa menyadari apa yang dilihat oleh para penonton –seolah Cross hendak menciumnya. “Ladies,” ujar Cross, suaranya rendah dan sarat akan janji, “aku tidak pernah menonton hiburan malam kalian.”

“Kau boleh melakukannya kapan pun kau mau, Darling.”

“Akan kuingat itu,” timpal Cross, kata-katanya terdengar santai dan cabul. “Tapi aku sibuk malam ini.”

“Gadis yang beruntung!”

Pippa menggertakkan gigi ketika suara ketukan terdengar di pintu baja, dan wanita-wanita itu pun dipersilahkan masuk.

Meninggalkan mereka berduaan di lorong lagi, dalam sesuatu yang paling menyerupai dekapan yang pernah Pippa dapatkan.

Pippa menunggu Cross bergerak, menjauh darinya.

Tapi pria itu tidak melakukannya.

Tidak, Cross tetap berada di tempatnya, rapat, bibirnya di telinga Pippa. “Menurut mereka kau beruntung.”

Jantung Pippa berdebar tidak keruan. Ia yakin Cross bisa mendengarnya. “Kukira kau tidak percaya kepada keberuntungan.”

“Memang tidak.”

Suara Pippa bergetar. “Kalau percaya, apa kau akan menyebut ini beruntung?”

“Aku akan menyebut ini siksaan.”

Pada saat itulah, kata-kata tersebut terasa seperti embusan napas di kulit sensitif di bawah telinganya, Pippa menyadari bahwa Cross tidak menyentuhnya. Cross berada sangat dekat... tapi bahkan sekarang, saat memojokkannya ke dinding batu dari bangunan besar ini, pria itu berhati-hati agar tidak menyentuhnya.

Pippa menghela napas.

Sepintas lalu, Pippa bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika ia yang memegang kendali. Ia memalingkan kepalanya ke arah Cross, dan pria itu mundur –tidak jauh, tapi cukup jauh untuk memastikan ada jarak di antara mereka. Sekarang mereka berhadap-hadapan, bibir mereka nyaris bersentuhan, satu milimeter sekaligus satu kilometer dari satu sama lain.

Satu milimeter bagi Cross, karena yang perlu ia lakukan hanyalah menghilangkan jarak tak berarti itu dan Pippa akan menjadi miliknya. Satu kilometer bagi Pippa, karena ia tahu Cross tidak akan melakukannya... dan ia tidak bisa mencium pria itu sendiri. Walaupun, saat itu, tidak ada lagi yanglebih ia inginkan.

Tapi Cross tidak menginginkan hal yang sama.

Malam ini ditujukan untuk pencarian intelektual. Bukan fisik.

Betapa pun Pippa berharap sebaliknya.

Maka ia melakukan satu-satunya hal yang dapat ia lakukan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Cross?”

Terjadi keheningan yang intens dan menganga sewaktu mereka sama-sama menyadari kalau Pippa sudah melupakan panggilan Mister, tapi entah mengapa, di sini, di lorong London yang gelap, gelar itu rasanya terlalu sopan untuk pria jangkung dan bejat ini.

“Ya, Pippa?”

“Apa kita bisa masuk sekarang?”




Synopsis
Back

Tidak ada komentar:

Posting Komentar