“Astronomi bukanlah keahlianku, tapi aku
mendapati diriku memikirkan jangkauan semesta hari ini. Jika Matahari kita
merupakan satu dari jutaan bintang yang ada, siapa yang dapat berkata kalau
Galileo tidak benar? Bahwa tidak ada bumi lain yang terdapat nun jauh di sana
di pinggir Galaksi yang lain? Dan siapa yang dapat berkata kalau tidak ada
Philippa Marburry yang lain, sepuluh hari sebelum pernikahannya, menantikan
wawasannya berkembang?
Tentu saja itu tidak relevan. Bahkan
kalau ada Bumi duplikasi di suatu sudut semesta, aku tetap akan menikah sepuluh
hari lagi.
Begitu pula dengan Pippa yang satu
lagi.”
Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
26 Maret 1831; sepuluh hari sebelum
pernikahannya.
Keesokan
malamnya, Pippa duduk di bangku kecil yang terdapat di pinggir sekelompok pohon
ceri kebun Dolby House, mantel menyelubungi tubuhnya rapt-rapat, Trotula di
dekat kakinya, memandangi bintang.
Atau,
setidaknya, berusaha untuk memandangi bintang.
Ia
sudah berada di luar selama lebih dari satu jam, akhirnya menyerah berpura-pura
sakit dan meninggalkan rumah setelah makan malam disajikan secara resmi, lebih
memilih berada di luar ruangan ketimbang di dalam, bahkan pada malam bulan
Maret yang dingin ini.
Ia
terlalu bersemangat.
Malam
ini, ia akan belajar tentang cara menggoda.
Dari
Cross.
Pippa
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, lalu mengulanginya, berharap
melakukannya dapat menenangkan pemikiran-pemikirannya yang berkecamuk. Ternyata
tidak. Pemikiran-pemikiran itu dikaburkan oleh fantasi tentang Cross, tentang
bagaimana Cross memelototinya dari seberang arena klub judi pria itu, bagaimana
Cross tersenyum kepadanya di tengah kegelapan, bagaimana Cross menyudutkannya
di kantor pria itu.
Tentu
saja itu bukan karena Cross, Pippa yakin ia pasti merasa seperti ini juga kalau
orang lain yang menjanjikannya pelajaran yang sudah Cross janjikan.
Pembohong.
Pippa
menghela napas panjang dengan keras.
Mengatur
napas tidak membantu.
Ia
menoleh ke balik bahunya melihat cahaya remang-remang yang berasal dari ruang
makan Dolby House. Ya, sebaiknya ia menghabiskan waktu sebelum pertemuan mereka
sendirian di tengah udara dingin ketimbang menggila selagi makan bersama orang
tuanya dan Olivia, yang pasti sedang mendiskusikan masalah “Pernikahan” saat
ini.
Sebuah
kenangan dari kejadian kemarin siang melintas, Olivia tampak gemilang dengan
gaun pengantinnya, berbinar-binar karena semangat pernikahan, pantulan Pippa
ada di cermin belakang, lebih kecil dan redup jika dibandingkan dengan adiknya
yang lebih bercahaya.
Pernikahan
itu pasti mengesankan. Pernikahan termegah di sepanjang masa. Atau, setidaknya
untuk para biang gosip.
Itulah
yang selalu diimpikan oleh Marchioness of Needham and Dolby –upacara mewah dan
formalyang ditujukan untuk memamerkan kemegahan serta keberuntungan yang
menyertai kelahiran para putri Marbury. Upacara itu akan menghapuskan kenangan
dari kedua pernikahan sebelumnya dari generasi mereka; pernikahan ganda
Victoria dan Valerie dengan pasangan yang menjemukan, dilaksanakan dengan
tergesa-gesa setelah dibatalkannya pertunangan Penelope yang penuh skandal,
dan, yang terbaru, pernikahan Penelope, diselenggarakan dengan izin khusus di
kapel desa di dekat estat pedesaan Needham sehari setelah Bourne kembali dari
tempat mana pun yang pria itu kunjungi selama sepuluh tahun.
Tentu
saja, mereka semua tahu ke mana Bourne pergi.
Bourne
pergi ke The Fallen Angel.
Dengan Cross.
Cross
yang menawan dan sangar, yang mulai membuat Pippa resah bahkan saat Pippa
menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata, menelaah perubahan yang terjadi
kepadanya ketika ia berada di dekat –baik secara mental maulun fisik– pria
jangkung berambut coklat kemerahan yang dengan berat hati sudah bersedia
membimbingnya dalam pencariannya itu.
Jantung
Pippa terasa berdebar kencang, napasnya menjadi semakin pendek. Semakin cepat.
Otot-otot
mengencang dan saraf-sarafnya menegang.
Tubuhnya
bertambah hangat... atau dingin?
Bagaimanapun
juga, semua itu merupakan tanda-tanda dari kewaspadaan yang meningkat.
Gejala-gejala semangat. Atau kegugupan. Atau ketakutan.
Pippa
yakin ia berlebihan. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari pria ini –Cross pria
terpelajar. Selalu terkendali.
Mitra
riset yang sempurna.
Tidak lebih.
Tidak
penting kalau riset yang bersangkutan sama sekali tidak wajar. Itu tetap saja
riset.
Pippa
menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkan jam dari tasnya, mengangkatnya
untuk melihatnya di tengah cahaya temaram yang menembus keluar dari
jendela-jendela ruang duduk lantai bawah.
“Sudah
jam sembilan.” Kata-kata itu terdengar lembut, berasal dari kegelapan, dan
Trotula melompat ke kaki Pippa untuk menyambut si pendatang baru, memberi Pippa
kesempatan untuk menenangkan debar jantungnya yang tidak teratur. Nanti, ia
akan merenungkan fakta bahwa ia sulit bernapas, tapi bukan karena terkejut, melainkan
karena sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih dari itu.
Akan
tetapi, saat itu hanya ada satu hal yang dapat ia pikirkan.
Cross sudah datang.
Pippa
tersenyum, memperhatikan pria itu berjongkok menyapa anjingnya. “Kau sangat
tepat waktu.”
Setelah
selesai, Cross berdiri lalu duduk di sebelah Pippa, cukup dekat untuk
membuatnya gelisah, cukup jauh untuk menghindari kontak. Dari ujung matanya,
Pippa melihat betapa panjangnya paha Cross –hampir separuh lebih panjang dari
pahanya sendiri, membuat calana wol pria itu tertarik ketat di otot dan tulang
yang ramping. Seharusnya ia tidak memandangi paha Cross.
Tulang paha.
“Namun,
kau sudah menungguku.”
Pippa
menoleh kepada Cross dan mendapatinya tengah memandangi langit, wajahnya
berselubung kegelapan, bersandar ke bangku seolah mereka sudah duduk di sana
semalaman, seolah mereka bisa terus duduk di sana, semalaman. Pippa mengikuti
arah pandangan Cross. “Aku sudah duduk di sini selama lebih dari satu jam.”
“Di
tengah udara dingin ini?”
“Ini
waktu yang tepat untuk memandangi bintang, kan? Malam yang dingin selalu jauh
lebih bersih.”
“Ada
alasannya.”
Pippa
berbalik menghadap Cross. “Benarkah?”
Cross
tidak melihat Pippa. “Bintang pada langit musim dingin lebih sedikit. Bagaimana
jari kakimu?”
“Baik-baik
saja. Kau ahli astronomi sekaligus ahli matematika?”
Cross
akhirnya menoleh kepada Pippa, cahaya dari manor di belakang mereka menyoroti
separuh wajahnya. “Kau alhi hortikultura sekaligus ahli anatomi?”
Pippa
tersenyum. “Kita mengejutkan, ya?”
Bibir
Cross berkedut. “Begitulah.”
Beberapa
saat terentang di tengah mereka sebelum Cross memalingkan wajahnya lagi,
kembali mengalihkan perhatian ke langit. “Apa yang sedang kau pandangi tadi?”
Pippa
menunjuk sebuah bintang yang terang.
Cross
menggelengkan kepala, lalu menunjuk suatu bagian dari langit. “Itu Polaris.
Yang sedang kau pandangi itu Vega.”
Pippa
tergelak. “Ah. Pantas saja aku menganggapnya tidak mengesankan.”
Cross
bersandar lalu meluruskan kakinya yang panjang. “Itu bintang paling terang ke lima
di langit.”
Pippa
tertawa. “Kau lupa aku salah saorang dari lima bersaudari. Di duniaku, bintang
paling terang ke lima berarti yang terakhir.” Ia mendongak. “Tanpa bermaksud
untuk menyinggung perasaan bintang yang bersangkutan.”
“Dan
kau sering menjadi yang terakhir?”
Pippa
mengangkat bahu. “Terkadang. Itu bukan peringkat yang menyenangkan.”
“Percayalah,
Pippa. Kau jarang menjadi yang terakhir.”
Cross
tidak bergerak selain menoleh dan memandang Pippa, raut wajahnya tampak keras
dan dingin di tengah kegelapan, membuat suatu getaran yang tidak familier
menyambar Pippa. “Berhati-hatilah dengan apa yang kau katakan. Aku harus
memberitahu Penny kalau kau menganggapnya kurang.”
Cross
menatap Pippa dengan sorot terkejut. “Aku tidak bilang begitu.”
“Dia
satu-satunya saudariku yang pernah kau lihat. Kalau aku bukan yang terakhir,
berarti menurutmu, Penny ada di belakangku.”
Salah
satu ujung bibir Cross terangkat. “Kalau begitu, jangan bahas percakapan ini
dengan orang lain.”
“Aku
setuju.” Pippa kembali mengarahkan perhatiannya ke langit. “Ceritakan tentang
bintang terbaik kelima yang menakjubkan ini.”
Saat
Cross bicara, Pippa bisa mendengar tawa pada suara rendahnya, dan Pippa menahan
keinginan untuk memandangnya. “Vega terdapat pada rasi bintang Lyra, dinamai
begitu karena menurut Ptolomeus, rasi bintang tersebut mirip dengan Lyra-nya
Orpheus.”
Pippa
tidak kuasa menahan diri untuk tidak menggoda Cross. “Kau pakar dalam bidang
sastra klasik juga, ya?”
“Maksudmu
kau bukan?” balas Cross, membuat Pippa tertawa sebelum ia menambahkan, “Orpheus
merupakan salah satu karya favoritku.”
Pippa
menoleh kepada Cross. “Mengapa?”
Pandangan
Cross tertuju ke langit malam. “Dia membuat kesalahan besar dan membayar mahal
untuk itu.”
Dengan
kata-kata itu, segalanya bertambah serius. “Eurydice,” bisik Pippa. Pippa
mengetahui kisah tentang Orpheus dan istrinya, yang ia cintai lebih dari
segalanya lalu ia lepaskan ke dunia bawah.
Cross
terdiam selama beberapa saat, dan Pippa mengira pria itu tidak akan bicara.
Waktu Cross bicara, kata-katanya datar dan tak berwmosi. “Dia membujuk Hades
untuk membebaskan Eurydice, mengembalikan Eurydice ke dunia orang hidup. Yang
harus dia lakukan hanyalah membimbing Eurydice keluar tanpa menoleh lagi ke
neraka di belakangnya.”
“Tapi
dia tidak bisa melakukannya,” ujar Pippa, otaknya berpuar.
“Orpheus
menjadi serakah dan menengok ke belakang. Ia kehilangan Eurydice selamanya.”
Cross terdiam sejenak, lalu mengulangi, “Kesalahan besar.”
Dan
ada sesuatu pada nada suara Cross, sesuatu yang mungkin tidak Pippa kenali pada
kesempatan lain, pada diri pria lain. Kehilangan. Duka. Kenangan melintas
–percakapan yang dibisikkan persis di kebun ini.
Seharusnya kau tidak menikah dengannya..
Aku tidak punya pilihan. Kau tidak
memberiku pilihan.
Semestinya aku menghentikannya.
Wanita
yang di kebun waktu itu... wanita itu Eurydice-nya Cross.
Sesuatu
yang tidak menyenangkan muncul di dada Pippa karena pemikiran tersebut, dan ia
tidak kuasa menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan menyentuh Cross,
meletakkan tangan di lengan pria itu. Cross tersentak karena sentuhan Pippa,
menjauh seolah Pippa telah membakarnya.
Mereka berdiri di tengah kesenyapan selama
beberapa saat. Hingga Pippa tidak dapat menahan diri untuk tidak berkata, “Kau
membuat kesalahan.”
Cross
mengalihkan pandangannya kepada Pippa sekilas, lalu berdiri. “Sudah waktunya
kita berangkat. Pelajaranmu menunggu.”
Tapi
Pippa sudah tidak mau pergi. Ia ingin tetap tinggal. “Kau kehilangan cintamu.”
Cross tidak menoleh kepadanya, tapi Pippa tidak akan memalingkan wajahnya
bahkan kalau sekawanan lembu jantan menerobos ke kebun Delby House saat itu.
“Wanita yang di kebun waktu itu... Lavinia,” kata Pippa, benci karena ia tidak
bisa diam. Jangan tanya, Pippa. Jangan.
“Kau... mencintainya?”
Kata
tersebut terasa ganjil di lidahnya.
Seharusnya
ia tidak kaget kalau Cross punya kekasih. Bagaimanapun juga, ada beberapa pria
di London yang memiliki reputasi seperti yang Cross miliki sebagai seorang pria
sekaligus seorang kekasih. Tapi Pippa mengakui, Cross tidak terkesan seperti
pria yang tertarik pada emosi-emosi yang lebih serius –kepada sesuatu yang
menyerupai cinta. Bagaimanapun juga, Cross pria terpelajar. Sebagaimana dirinya
yang merupakan wanita terpelajar. Dan jelas ia tidak berharap cinta akan muncul
di benaknya.
Namun,
Pada momen janggal ini, Pippa mendapati bahwa ia sangat ingin mendengar jawaban
Cross. Dan di sana, di tengah keputusasaan, ia mendapati bahwa ia berharap
jawaban Cross tidak. Bahwa tidak ada cinta tak berbalas yang terpendam di lubuk
hati pria itu.
Atau
bahkan cinta yang berbalas.
Pippa
tersentak karena pemikiran tersebut.
Wah.
Itu
tak terduga.
Bibir
Cross berkedut sewaktu ia mendengar pertanyaan Pippa, ketika ia memalingkan
wajahnya dari cahaya dan menghadap ke kegelapan. Tapi ia tidak menjawab. “Rasa
penasaran adalah sesuatu yang berbahaya, Lady Philippa.”
Pippa
bangun menghadap Cross, tahu persis tentang betapa jauh lebih tingginya Cross
darinya, tahu persis tentang pria itu.
“Rasanya aku tidak bisa menahan diri.”
“Aku
sudah menyadarinya.”
“Aku
hanya bertanya karena aku tertarik kepada gagasan bahwa kau mencintai
seseorang.” Hentikan, Pippa. Ini bukan jalan yang ditempuh
oleh wanita muda yang cerdas. Pippa berubah haluan. “Sebenarnya bukan hanya
kau. Siapa saja. Mencintai seseorang.”
“Kau
menentang cinta?”
“Bukan
menentang, tapi meragukan. Biasanya aku tidak memercayai apa yang tidak bisa
kulihat.”
Pippa
mengejutkan Cross. “Kau bukan wanita biasa.”
“Kita
sudah tahu itu. Karena itulah kau berada di sini, kalau kau ingat.”
“Kau
benar.” Cross melipat lengannya yang panjang di depan dada, lalu menambahkan,
“Jadi kau ingin menggoda suamimu, yang kau harap tidak akan kau cintai.”
“Tepat.”
Saat Cross tidak langsung menanggapi, Pippa menambahkan, “Kalau ini bisa membantu,
menurutku dia juga berharap dia tidak akan mencintaiku.”
“Pernikahan
Inggris yang ideal.”
Pippa
merenungkan kata-kata itu. “Kurasa begitu. Yang pasti pernikahan orang-orang di
dekatku seperti itu.”
Alis
Cross diangkat. “Kau meragukan fakta bahwa Bourne sangat menyayangi kakakmu?”
“Tidak.
Tapi pernikahan yang seperti itu langka.” Pippa terdiam, mengingat-ingat.
“Mungkin Olivia dan Tottenham juga. Tapi kakak-kakakku yang lain menikah karena
alasan yang kurang lebih sama denganku.”
“Yaitu?”
Pippa
mengangkat salah satu bahunya sekilas. “Itulah yang harus kami lakukan.” Ia
menatap mata Cross, tidak dapat membacanya di tengah kegelapan. “Kurasa itu
tidak masuk akal bagimu, mengingat kau bukan seorang bangsawan.”
Salah
satu ujung bibir Cross terangkat. “Apa hubungannya seorang bangsawan dengan
ini?”
Pippa
menaikkan kacamata di hidungnya. “Kau mungkin tidak tahu, tapi bangsawan
memiliki banyak peraturan yang harus dihadapi. Pernikahan berhubungan dengan
harta, status, kepatutan dan posisi. Kami tidak bisa menikah dengan siapa pun
yang kami inginkan. Yah, setidaknya para wanita begitu.” Ia memikirkannya
sebentar. “Pria bisa menanggung lebih banyak skandal, tapi pada akhirnya sangat
banyak dari mereka yang berubah haluan lalu membiarkan diri mereka diseret ke
dalam pernikahan yang menjemukan. Menurutmu mengapa?”
“Rasanya
aku enggan menebak.”
“Kekuasaan
yang dimiliki oleh pria dan betapa cerobohnya mereka memanfaatkanya... sungguh
menakjubkan. Iya kan?”
“Bagaimana
kalau kau memiliki kekuasaan yang sama?”
“Aku
tidak memilikinya.”
“Tapi
bagaimana kalau kau memilikinya?”
Dan
karena sepertinya Cross benar-benar tertarik, Pippa berkata, “Aku akan kuliah.
Aku akan bergabung dengan Royal Horticultural Society. Atau mungkin Royal
Astronomical Society... dengan begitu aku akan mengetahui perbedaan di antara
Polaris dan Vega.”
Cross
tertawa.
Pippa
melanjutkan, menikmati bagaimana ia bisa bersikap lepas di dekat Cross. “Aku
akan menikah dengan orang yang kusukai.” Ia berhenti sebentar, langsung
menyesali bagaimana kata-kata itu terdengar di telinganya. “Maksudku...
bukannyua aku tidak menyukai Castleton, dia pria yang baik. Sangat baik. Hanya
saja...” ia terdiam merasa tidak loyal.
“Aku
paham.”
Dan
selama sesaat, Pippa rasa Cross memang paham.
“Tapi
semua ini konyol. Kau mengerti, kan? Ocehan seorang gadis muda yang aneh. Aku
dilahirkan dengan aturan-aturan tertentu, dan aku harus mematuhinya. Karena
itulah menurutku mungkin kehidupan orang-orang di luar dunia bangsawan lebih
mudah.”
“Itu
dia, kau melihat dalam warna hitam putih lagi.”
“Maksudmu
kebidupanmu tidak lebih mudah?”
“maksudku
kita semua punya salib yang harus ditanggung.”
Ada
sesuatu dalam kata-kata itu –kengerian tak terduga yang membuat Pippa ragu
sebelum berkata, “Kurasa kau bicara dengan berdasarkan kepada pengalaman?”
“Benar.”
Otak
Pippa berputar dengan berbagai kemungkinan. Cross pernah berkata kalau ia tidak
pernah memikirkan pernikahan. Bahwa pernikahan bukan untuknya. Mungkin dulu
pernah. Apa Cross pernah ingin menikah? Apa Cross pernah ditolak? Karena
namanya, atau reputasinya, atau kariernya? Bergelar maupun tidak, Cross
merupakan spesimen pria yang mengesankan –pintar, kaya, berkuasa, dan sangat
tampan kalau semua faktornya dipertimbangkan.
Lady
mana yang bisa menolaknya?
Lady misterius yang ada di kebun malam
itu.
“Yah,
bagaimanapun juga, aku senang kau bukan bangsawan.”
“Kalau
aku bangsawan?”
Kau tidak seperti bangsawan yang pernah
kujumpai.
Pippa tersenyum. “Aku tidak akan memintamu untuk menjadi mitra risetku.
Omong-omong, aku sudah menyusun daftar. Daftar pertanyaan.”
“Sudah
kuduga. Tapi bukankah akan lebih mudah bagimu kalau aku bangsawan? Kau tidak
perlu menyelinap ke klub judi.”
Pippa
tersenyum. “Aku suka menyelinap ke klub judi.”
“Mungkin
begitu.” Cross mendekat, menghalangi pandangan Pippa ke rumah. “Tapi itu
mungkin juga karena setelah kau menyelesaikan risetmu, kau bisa beranjak pergi
dan melupakan kalau ini pernah terjadi.”
“Aku
tidak akan melupakannya,” cetus Pippa, kebenaran itu terucap dengan cepat dan
bebas. Wajah Pippa merona karena kata-katanya, ia mensyukuri bayangan yang
menyembunyikan rona itu dari Cross.
Tapi
ia tidak akan melupakan ini. Malah, ia yakin ia akan mengingat malam ini
setelah setelah ia menjadi Lady Castleton, berjalan mondar-mandir di estatnya
dengan rumah kaca dan anjing-anjing yang menemaninya.
Dan
yang pasti ia tidak akan melupakan Cross.
Mereka
membisu selama beberapa saat, dan Pippa bertanya-tanya apakah ia sudah bicara
terlalu banyak. Akhirnya, Cross memecah keheningan. “Aku membawakan sesuatu
untukmu.” Ia menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus oleh kertas coklat kepada
Pippa.
Napas
Pippa bertambah cepat –responnya janggal terhadap sebuah kotak kecil, itu jelas
–dan ia menerima bungkusan itu, menepiskan hidung basah Trotula yang ingin tahu
lalu dengan cepat membukanya dan menemukan sebuah topeng di atas tumpukan
kertas tipis. Ia mengangkat sutra lebar hitam itu, jantungnya berdebar kencang.
Pippa
mendongak memandang Cross, tidak bisa membaca matanya di tengah kegelapan. “Terima
kasih.”
Cross
mengangguk sekali. “Kau akan membutuhkannya...” Kemudian ia berbalik
memunggungi Pippa, menyeberangi kebun dengan cepat.
Trotula
mengekor.
Pippa
tidak mau ditinggal. Ia bergegas menyusul Cross dan anjingnya.
“Apa
kita... mau pergi ke tempat umum?”
“Bisa
dibilang begitu.”
“Kupikir...”
Pippa ragu. “Maksudku, kukira instruksinya akan disampaikan secara pribadi.” Ia
mengangkat tasnya. “Aku tidak bisa menanyakan masalah-masalah spesifik ini
kepadamu di tempat umum.”
Cross
membalikkan badan, dan Pippa nyaris menabraknya. “Malam ini bukan tentang
masalah spesifik. Malam ini tentang godaan.”
Kata
tersebut meliputinya, dan Pippa bertanya-tanya apa mungkin entah bagaimana
bahasa menjadi semakin kuat di tengah kurangnya cahaya. Sungguh pertanyaan yang
bodoh. Sudah jelas, indra-indra bertambah peka kalau salah satunya tidak
berfungsi. Ia tidak bisa melihat Cross, maka ia bisa mendengar pria itu dengan
semakin jelas.
Itu
tidak berhubungan dengan katanya sendiri.
Godaan.
Cross
mulai berjalan lagi, menambahkan, “Untuk memahami cara menggoda seorang pria,
kau harus lebih dulu memahami godaan itu sendiri.”
Pippa
mengikuti, bergegas menyusul. “Aku memahami godaan.”
Cross
melirik Pippa.
“Sungguh!”
“Apa
yang menggodamu?” mereka sampai di sebuah kereta kuda hitam, lalu Cross
mengangkat tangan untuk membuka pintu dan menurunkan undakannya. Anjing spanil
Pippa melompat masuk ke kereta dengan gembira, mengejutkan mereka berdua sampai
tertawa.
Pippa
menjentikkan jari. “Trotula, keluar.”
Sambil
mendesah sedih, anjing itu melakukan apa yang Pippa perintahkan.
Pippa
menunjuk ke rumah. “Pulang.”
Anjing
itu enggan bergerak.
Cross
menyeringai. “Dia agak kurang patuh.”
“Tidak
biasanya.”
“Mungkin
karena aku.”
Pippa
melirik Cross. “Mungkin begitu.”
“Seharusnya
aku tidak kaget. Kau juga agak kurang patuh di dekatku.”
Pippa
berpura-pura terkejut. “Sir, apa kau membandingkanku dengan seekor anjing?”
Cross
tersenyum, mata dan gigi putihnya yang mengilat menyebabkan getaran ringan yang
asing muncul di perut Pippa. “Mungkin. Nah, mari kembali ke masalah yang sedang
kita bahas. Apa yang menggodamu, Pippa?”
“Aku...”
Pippa ragu. “Aku sangat menyukai meringue.”
Cross
tertawa, suaranya lebih keras dan berani daripada yang Pippa sangka.
“Sungguh.”
“Tapi
kau bisa makan meringue kapan pun kau
mau.” Cross mundur dan memberi isyarat agar Pippa masuk ke kereta kuda.
Pippa
mengabaikan perintah tersirat itu, bersemangat untuk menegaskan maksudnya.
“Tidak. Kalau koki tidak membuatnya, aku tidak bisa memakannya.”
Seulas
senyum mengembang di bibir Cross. Pippa yang selalu praktis. Kalau
menginginkannya, kau bisa menemukannya. Itu maksudku. Pasti, di suatu tempat di
London, seseorang akan mengasihanimu dan memuaskan hasratmu akan meringue.”
Dahi
Pippa dikerutkan. “Berarti... aku tidak tergoda olehnya?”
“Tidak.
Kau menginginkannya. Tapi itu tidak sama. Keinginan itu mudah. Sesederhana
kalau kau berharap memiliki meringue,
dan meringue pun kau dapatkan.” Cross
mengibaskan sebelah tangan ke dalam kereta kuda tapi tidak menawarkan diri
untuk membantu Pippa naik. “Masuk.”
Pippa
naik selangkah sebelum berbalik lagi. Penambahan tinggi itu membuat mereka
sejajar. “Aku tidak mengerti. Lantas, apa itu godaan?”
“Godaan...”
Cross ragu, dan Pippa mendapati dirinya sudah mencondongkan badan ke depan,
sudah tidak sabar untuk mendapatkan pelajarannya yang membuatnya penasaran
sekaligus gelisah ini. “Godaan mengubahmu. Godaan mengubahmu menjadi sesuatu
yang tidak pernah kau impikan, godaan mendorongmu untuk menyerahkan segalanya demi
semua yang kau dambakan, godaan memerintahkanmu untuk menjual jiwamu demi satu
momen yang singkat.”
Kata-kata
tersebut diucapkan dengan pelan, rendah, dan sarat akan kebenaran, dan
kata-kata itu menggantung di tengah kesenyapan selama beberapa saat, undangan
yang tidak dapat disangkal. Cross berada di dekat Pippa, menjaganya agar tidak
terjatuh dari undakan, panas tubuh Cross meliputinya terlepas dari dinginnya
udara. “Godaan membuatmu merindu,” bisik Cross, dan Pippa memperhatikan bibir
pria itu meliuk di tengah kegelapan. “Kau rela berjanji apa saja, bersumpah apa
saja. Demi satu cicipan yang... sempurna... dan murni.”
Oh, astaga.
Pippa
menghela napas, panjang dan lirih, saraf-sarafnya menjerit, pikirannya kacau
balau. Ia memejamkan mata, menelan ludah, memaksakan diri untuk mundur, menjauh
dari Cross dan bagaimana pria itu...
menggodanya.
Mengapa
Cross tampak sangat tenang, santai, dan terkendali sepenuhnya?
Mengapa
Cross tidak terganggu oleh... perasaan-perasaan serupa?
Benar-benar
pria yang sangat mengesalkan.
Pippa
menghela napas. “Itu pasti meringue
yang luar biasa.”
Kesunyian
sesaat menyusul kata-kata bodoh dan konyol itu... kata-kata yang Pippa harap
dapat ia tarik kembali. Konyol sekali.
Kemudian Cross tergelak, giginya berkilat di tengah kegelapan. “Benar,” ujar
Cross, kata tersebut terdengar lebih rendah dan parau daripada sebelumnya.
Sebelum
Pippa bisa mempertanyakan suaranya, Cross sudah menambahkan, “Trotula, pulang.”
Anjing
itu membalikkan badan dan pergi sementara Cross mengalihkan perhatiannya kepada
Pippa, lalu berkata, “Masuk.”
Pippa
melakukannya. Tanpa bertanya lagi.
Gang
di belakang The Angel tampak berbeda malam itu. Lebih tidak menetramkan.
Tidak
membantu rasanya sewaktu Cross menegaskan kesepakatan kereta kuda yang bertambah
lambat dengan, “Waktunya pakai topeng,” sebelum ia membuka pintu lalu melompat
turun dari kendaraan tanpa bantuan undakan ataupun pelayan.
Pippa
tidak ragu-ragu melaksanakan perintah Cross, mengeluarkan secarik kain yang
dimaksud lalu mengangkatnya ke wajahnya, diliputi oleh semangat –ia belum
pernah punya alasan untuk menyembunyikan identitasnya sebelumnya.
Topengnya
menjanjikan kegembiraan sekaligus wawasan.
Pengalaman
menyamar pertama baginya. Momen pertama baginya untuk menjadi lebih dari putri
Marbury yang paling aneh.
Dengan
topeng itu, Pippa tidak menganggap dirinya aneh, melainkan misterius. Bukan
hanya pintar, tapi juga berani. Ia akan menjadi Circe yang sesungguhnya.
Tapi
sekarang, selagi ia berusaha memakai topeng di kepalanya, ia tersadar bahwa
imajinasi bukanlah realitas. Dan bahwa topeng bukan dibuat untuk orang
berkacamata.
Pada
upaya pertama, Pippa mengikat pitanya dengan terlalu kendur, dan topengnya
menganga lalu merosot, meluncur turun di depan lensa kacamatanya, menghalangi
pandangannya dan mengancam akan terjatuh dari hidungnya lalu ke lantai kereta
kuda bila ia terlalu cepat bergerak.
Pada
percobaan kedua, ia mengikat pitanya dengan jauh lebih kuat, meringis ketika
beberapa helai rambutnya ikut terikat menjadi simpul yang berantakan. Hasilnya
tidak jauh berbeda, topengnya sekarang menekan kacamata ke matanya,
melengkungkan bingkai emas tipisnya sampai bagian hidung dan telinganya
menempel ke kulitnya, dan membuatnya merasa sangat tidak-seperti-Circe.
Bertekad
untuk terus maju, Pippa bergeser ke pintu kereta kuda, di mana Cross sudah
berdiri menunggunya. Ia tidak akan membiarkan masalah sepele seperti
penglihatan yang terganggu menghancurkan malamnya. Dengan topeng yang
bertengger janggal di kacamatanya, Pippa melangkah tanpa melihat lagi ke kereta
kuda, selopnya menemukan undakan teratas karena sebuah mukjizat bukannya
pandangan dari ujung mata.
Salah,
undakan yang kedua.
Pippa
tersandung, mengeluarkan pekikan nyaring dan merentangkan lengannya lebar-lebar
untuk entah bagaimana memulihkan keseimbangannya. Ia terjatuh, terjungkal ke
kiri, langsung ke arah Cross, yang menangkapnya sambil menggerutu pelan.
Dada
Cross hangat dan kencang.
Lengan
Cross panjang dan cekatan.
Cross
terkesiap, memegangi Pippa erat-erat dan selama sesaat –bahkan tidak sampai
sesaat, hanya sedetik– tubuh Pippa melekat ke tubuh Cross, dan Pippa menatap
langsung mata pria itu. Yah, tidak langsung, karena tentu saja topeng sialan
itu sudah bergeser di tengah perjalanan, dan Pippa hanya memiliki sebagian dari
penglihatannya yang biasa.
Tapi
kalau bisa mendayagunakan indranya sepenuhnya, Pippa yakin ia akan mendapati
Cross tertawa. Dan ia merasakannya lagi, rasa malu, panas dan tak terelakkan
sesaat sebelum Cross menurunkannya.
Setelah
berpijak ke tanah, Pippa mengangkat sebelah tangann dari tempat di mana
tangannya mencengkram erat-erat jas wol Cross lalu berusaha untuk memperbaiki
posisi topengnya. Ia berhasil mengacaukan topeng itu dan kacamatanya, yang
terjatuh dari posisinya.
Cross
menangkap kacamata itu di udara.
Pippa
mengalihkan pandangan dari kacamatanya ke wajah Cross, rautnya menonjol terkena
cahaya yang berasal dari eksterior kereta kuda. “Bukan seperti ini aku
mengharapkan malam ini akan berjalan.”
Cross
tidak tertawa, Pippa mengacungi jempol karenanya. Malah, sepertinya pria itu
memandanginya selama beberapa saat sebelum melangkah mundur dan mengeluarkan
secarik saputangan dari saku. “Aku pun begitu, percayalah,” kata Cross,
membersihkan kacamata Pippa dengan berhati-hati sebelum mengembalikannya.
Pippa
cepat-cepat memakai kacamatanya lalu menghela napas pelan. “Aku tidak bisa
memakai topeng ini. Topeng ini tidak pas.” Ia membenci nada merajuk pada
suaranya. Ia kedengaran seperti Olivia.
Pippa
mengerutkan hidungnya lalu menatap mata Cross.
Cross
tidak bicara, malah mengulurkan tangan untuk memperbaiki posisi kacamata di
hidung Pippa tanpa menyentuhnya. Mereka berdiri di sana, di tengah keheningan,
selama beberapa saat sebelum Cross bicara, dengan lembut, “Seharusnya itu
terpikirkan olehku.”
Pippa
menggelngkan kepala. “Aku yakin kau belum pernah mendapat masalah seperti ini
sebelumnya...” Kenangan tentang Sally Tasser melintas, wanita cantik
berpenglihatan sempurna yang tidak akan mendapat kesulitan dalam memakai topeng
dan menciptakan kesan misterius yang sempurna.
Satu-satunya
yang bisa Pippa ciptakan dengan sempurna adalah kekikukan.
Dan
tiba-tiba, ia tahu persis kalau dunia ini, malam ini, pengalaman ini bukan untuknya. Ini kesalahan. Seperti Orpheus yang
menengok ke Neraka di belakangnya.
“Semestinya
aku tidak ke sini,” ujar Pippa, menatap mata Cross, mengira akan melihat
kepuasan di sana –kelegaan karena akhirnya menyerah.
Tapi
Pippa tidak melihat kelegaan. Alih-alih, ia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu
yang mantap dan tegas. “Kita harus berhati-hati.” Cross berjalan menuju klub,
ekspektasi bahwa Pippa akan mengikutinya terlihat jelas.
Selagi
mereka mendekati pintu baja besar yang merupakan pintu belakang klub, sebuah
kereta kuda menyusuri gang, berhenti beberapa meter jauhnya dari kendaraan yang
membawa mereka. Seorang pelayan melangkah turun sementara pintu kereta kuda
dibuka dari dalam dengan diiringi oleh sejumlah suara tawa feminin.
Pippa
tertegun begitu mendengar suara itu, berbalik menghadapnya.
Cross
mengumpat, pelan dan kasar, lalu meraih tangan Pippa sebelum Pippa bisa
melawan, membalikkannya ke dinding luar klub lalu menghalanginya dari pandangan
dengan tubuh jangkung pria itu.
Pippa
berusaha untuk bergerak, tapi Cross menyudutkannya ke dinding, mencegahnya
melihat wanita-wanita yang turun dari kereta kuda yang sekarang sedang
cekikikan serta mengobrol sembari berjalan ke dinding. Pippa menjulurkan leher
untuk melihat mereka, rasa penasaran membuatnya gegabah, tapi Cross sudah
memprediksikan gerakannya dan mendekat, memojokkannya, membuatnya tidak bisa
melihat apa pun.
Apa
pun selain Cross.
Pria
itu sangat tinggi. Pippa belum pernah mengenal orang yang setinggi Cross. Dan
kalau Cross berada sangat dekat, sulit rasanya memikirkan sesuatu selain pria
itu. Cross dan kehangatannya, bagaimana jasnya yang tidak dikancing melingkupi
mereka, membuat Pippa berada lebih dekat dengan seorang pria berkemeja lebih
dari yang sudah-sudah.
Pemikiran-pemikiran
Pippa disela oleh gelak tawa lainnya, disusul oleh suara yang menyuruh diam.
“Lihat!” kata seorang wanita keras-keras. “Kita menganggu sepasang kekasih
itu!”
“Ada
yang tidak bisa menunggu sampai masuk ke dalam!” sebuah suara feminin lain
berkata.
“Siapa
itu?” bisik suara ketiga.
Mata
Pippa membelalak, dan ia bicara ke dada Cross. “Siapa mereka?”
“Tidak
perlu kau pikirkan.” Cross kian merapat, meringis sambil mengangkat sebelah
tangan lalu menopangkannya ke dinding di atas kepala Pippa, menghalangi wajah
Pippa dengan lengannya yang panjang dan kerah jasnya.
Pippa
berada sangat dekat dengan dada Cross, dan ia tidak bisa mencegah dirinya
menghirup aroma cendana yang melingkupinya. Tangannya yang terkulai di samping
gatal ingin menyentuh Cross. Ia mengepalkannya lalu mendongak memandang Cross,
menatap mata gelap pria itu.
“Aku
tidak bisa melihat yang wanita,” kata salah seorang wanita, “tapi aku bisa
mengenali yang pria di mana pun. Itu Cross.” Ia memperkeras suaranya. “Iya kan,
Cross?”
Getar-getar
hawa panas meliputi Pippa sewaktu ia mendengar keakraban wanita itu, tawa pada
nada suaranya –seolah wanita itu tahu persis seperti apa rasanya berada di
sini, terimpit di tengah-tengah dinding batu klub jugi yang paling legendaris
di London dan pemiliknya yang bangga serta brilian.
“Masuklah,
Ladies,” kata Cross dengan keras,
tanpa memalingkan wajahnya dari Pippa. “Kalian melewatkan pertandingannya.”
“
Kelihatannya tontonan di luar sama serunya malam ini!” sahut seorang wanita,
mengundang gelak tawa dari wanita lainnya.
Cross
bergeser, menundukkan kepala, dan Pippa menyadari apa yang dilihat oleh para
penonton –seolah Cross hendak menciumnya. “Ladies,”
ujar Cross, suaranya rendah dan sarat akan janji, “aku tidak pernah menonton
hiburan malam kalian.”
“Kau
boleh melakukannya kapan pun kau mau, Darling.”
“Akan
kuingat itu,” timpal Cross, kata-katanya terdengar santai dan cabul. “Tapi aku
sibuk malam ini.”
“Gadis
yang beruntung!”
Pippa
menggertakkan gigi ketika suara ketukan terdengar di pintu baja, dan
wanita-wanita itu pun dipersilahkan masuk.
Meninggalkan
mereka berduaan di lorong lagi, dalam sesuatu yang paling menyerupai dekapan
yang pernah Pippa dapatkan.
Pippa
menunggu Cross bergerak, menjauh darinya.
Tapi
pria itu tidak melakukannya.
Tidak,
Cross tetap berada di tempatnya, rapat, bibirnya di telinga Pippa. “Menurut
mereka kau beruntung.”
Jantung
Pippa berdebar tidak keruan. Ia yakin Cross bisa mendengarnya. “Kukira kau
tidak percaya kepada keberuntungan.”
“Memang
tidak.”
Suara
Pippa bergetar. “Kalau percaya, apa kau akan menyebut ini beruntung?”
“Aku
akan menyebut ini siksaan.”
Pada
saat itulah, kata-kata tersebut terasa seperti embusan napas di kulit sensitif
di bawah telinganya, Pippa menyadari bahwa Cross tidak menyentuhnya. Cross
berada sangat dekat... tapi bahkan sekarang, saat memojokkannya ke dinding batu
dari bangunan besar ini, pria itu berhati-hati agar tidak menyentuhnya.
Pippa
menghela napas.
Sepintas
lalu, Pippa bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika ia yang memegang kendali.
Ia memalingkan kepalanya ke arah Cross, dan pria itu mundur –tidak jauh, tapi
cukup jauh untuk memastikan ada jarak di antara mereka. Sekarang mereka
berhadap-hadapan, bibir mereka nyaris bersentuhan, satu milimeter sekaligus
satu kilometer dari satu sama lain.
Satu
milimeter bagi Cross, karena yang perlu ia lakukan hanyalah menghilangkan jarak
tak berarti itu dan Pippa akan menjadi miliknya. Satu kilometer bagi Pippa,
karena ia tahu Cross tidak akan melakukannya... dan ia tidak bisa mencium pria
itu sendiri. Walaupun, saat itu, tidak ada lagi yanglebih ia inginkan.
Tapi
Cross tidak menginginkan hal yang sama.
Malam
ini ditujukan untuk pencarian intelektual. Bukan fisik.
Betapa
pun Pippa berharap sebaliknya.
Maka
ia melakukan satu-satunya hal yang dapat ia lakukan. Ia menarik napas
dalam-dalam, lalu berkata, “Cross?”
Terjadi
keheningan yang intens dan menganga sewaktu mereka sama-sama menyadari kalau
Pippa sudah melupakan panggilan Mister, tapi entah mengapa, di sini, di lorong
London yang gelap, gelar itu rasanya terlalu sopan untuk pria jangkung dan
bejat ini.
“Ya,
Pippa?”
“Apa
kita bisa masuk sekarang?”
Synopsis
Back
Tidak ada komentar:
Posting Komentar