Senin, 10 September 2018

In Bed with a Highlander 1

Mairin Stuart berlutut di lantai batu di samping kasur jerami dan menunduk untuk memanjatkan doa malam. Satu tangannya memegang salib kayu kecil yang tergantung pada seutas tali kulit di leher. Ibu jarinya mengusap-usap permukaan salib yang kini menjadi halus itu.


 Selama beberapa menit, Mairin membisikkan kata-kata yang selalu diucapkan sejak kecil. Lalu ia mengakhiri doa dengan cara yang sama. Kumohon, Tuhan. Jangan biarkan mereka menemukanku.

Mairin bangkit berdiri, lututnya bergesekan dengan batu-batu lantai yang tidak rata. Gaun coklat polos yang ia pakai menandakan tempatnya di antara para calon biarawati lain. Meski sudah tinggal di sini jauh lebih lama daripada yang lain, Mairin tak pernah mengucapkan sumpah yang akan melengkapi perjalanan spiritualnya. Karena ia tak pernah berniat melakukannya.

Mairin menghampiri baskom di sudut dan menuangkan air dari kendi. Sambil tersenyum ia membasahi sehelai lap, dan kata-kata Bunda Kedamaian terlintas di benak. Kebersihan adalah langkah menuju Kesalehan.

Mairin menyeka wajah dan baru mulai menanggalkan gaun untuk membersihkan tubuh ketika mendengar benturan keras. Suara itu membuatnya terperanjat, sampai lap di tangannya terjatuh. Lalu Mairin memutar tubuh dan menatap pintu kamarnya yang tertutup. Ia langsung bertindak; berlari dan membuka pintu lebar-lebar, melesat ke aula.

Di sekelilingnya, biarawati yang lain memenuhi aula itu, gumaman cemas mereka terdengar semakin keras. Lengkingan dari pintu depan biara bergema mengisi koridor. Jeritan kesakitan mengikuti teriakan itu, membuat jantung Mairin membeku. Bunda Kedamaian.

Mairin dan biarawati lainnya berlari ke arah suara itu. Sebagian tertinggal sementara yang lain maju terus dengan kencang. Saat mereka tiba di kapel, Mairin tiba-tiba berhenti, terpaku melihat pemandangan di depannya.

Di mana-mana ada prajurit. Jumlah mereka paling sedikit dua puluh orang. Semua mengenakan pakaian perang, wajah mereka kotor, keringat membasahi rambut dan baju mereka. Tapi tidak ada darah. Mereka bukan datang untuk meminta perlindungan atau bantuan. Pemimpin mereka memegangi lengan Bunda Kedamaian. Bahkan dari kejauhan, Mairin dapat melihat wajah biarawati kepala itu mengerut kesakitan.

“Di mana dia?” desak si pemimpin dengan suara dingin.

Mairin melangkah mundur. Pria itu tampak buas. Jahat. Kemarahan berkobar di matanya, bak ular yang siap menyerang. Dia mengguncang-guncang Bunda Kedamaian ketika wanita itu tidak menjawab, dan sang bunda bergetar dalam cengkramannya bak boneka.

Mairin membuat tanda salib dan segera berbisik-bisik memanjatkan doa. Para biarawati di sekitar Mairin lalu mengelilinginya dan turut berdoa.

“Dia tidak ada di sini,” kata Bunda Kedamaian dengan terengah-engah. “Aku sudah memberitahumu, wanita yang kau cari tidak ada di sini.”

“Kau bohong!” seru si pemimpin.

Dia berpaling kepada para biarawati, matanya mengamati mereka dengan dingin.

“Mairin Stuart. Beritahu aku di mana dia.”

Tubuh Mairin menjadi dingin, ketakutan membuat perutnya mulas. Bagaimana pria itu bisa menemukannya? Setelah sekian lama. Mimpi buruknya belum berakhir. Malah, baru saja dimulai.

Tangan Mairin begitu gemetar sampai ia harus menyembunyikannya di dalam lipatan gaun. Keringat membasahi alisnya, dan isi perutnya teraduk-aduk. Mairin menelan ludah, menguatkan diri agar tidak merasa mual.

Ketika tak ada yang menjawab, pria itu tersenyum. Senyumannya membuat bulu kuduk Mairin berdiri. Tanpa melepaskan tatapan dari mereka, pria itu mengangkat lengan Bunda Kedamaian sehingga mereka semua dapat melihatnya. Lalu dengan kejam dia menekuk telunjuk wanita itu sampai Mairin mendengar bunyi tulang yang retak.

Salah satu biarawati memekik lalu menerjang maju, namun malah dipukul sampai jatuh oleh salah satu tentara. Biarawati yang lain terperanjat menyaksikan tindakan kasar itu.

“Ini rumah Tuhan,” kata Bunda Kedamaian dengan suara tajam. “Kalian sudah berdosa besar dengan melakukan kekerasan di tempat suci ini.”

“Diam, wanita tua!” bentak si pemimpin. “Beritahu aku di mana Mairin Stuart atau akan kubunuh kalian semua.”

Mairin menarik napas dan mengepalkan kedua tangan. Ia percaya ancaman si pemimpin. Ada terlalu banyak kejahatan dan keputusasaan di mata pria itu. Laki-laki itu di kirim untuk berbuat jahat, dan tidak ada yang sanggup untuk menghalangi niatnya.

Si pemimpin meraih jari tengah Bunda Kedamaian, lalu Mairin buru-buru maju.

“Charity, jangan!” seru Bunda Kedamaian.

Mairin mengabaikannya. “aku Mairin Stuart. Sekarang, lepaskan dia!”

Pria itu melepaskan tangan Bunda Kedamaian lalu mendorongnya ke belakang. Dia mengamati wajah Mairin, lalu tatapannya menjelajahi tubuh mairin dari atas sampai bawah. Sikap lantang itu membuat pipi Mairin memerah, tapi tidak gentar. Mairin malah balas memandang pria itu dengan seluruh keberanian.

Si pemimpin menjentikkan jari, lalu dua pria mendekati mairin dan menyambar tubuhnya sebelum ia bisa berpikir untuk kabur. Dalam sekejap mereka merebahkan tubuh Mairin di lantai, lalu berusaha meraih keliman gaunnya.

Mairin menendang dan meronta-ronta, tapi mereka jauh lebih kuat daripada dirinya. Apakah mereka akan menguasainya di sini, di lantai kapel? Air mata Mairin menggenang saat mereka mengangkat bajunya sampai pinggulnya tersingkap.

Mereka membalikkan tubuh Mairin ke kanan dan menyentuh pinggulnya, persis di tempat tanda itu berada.

Oh, tidak.

Mairin menunduk saat air mata kekalahan mengalir turun ke pipi.

“Ini benar dia!” seru salah satu dari mereka.

Pria yang berseru tadi langsung didorong ke samping ketika si pemimpin membungkuk untuk memeriksa sendiri tanda itu.

Si pemimpin juga menyentuh tanda itu, yang menggambarkan simbol raja Alexander. Sambil menggeram puas, ia meraih dagu Mairin dan dengan kasar mengangkatnya, sampai Mairin memandangnya.

Senyum si pemimpin membuat Mairin muak.

“Sudah lama kami mencarimu, Mairin Stuart.”

“Pergi ke neraka,” Mairin meludahinya.

Si pemimpin tidak memukulnya, tapi malah menyeringai semakin lebar. “Ck, ck, ck, bisa-bisanya kau menghujat seperti itu di rumah Tuhan.”

Pemimpin itu dengan cepat berdiri, dan dalam sekejap, tubuh Mairin diangkat ke bahu seorang pria. Lalu para tentara berbaris keluar dari biara di malam yang sejuk itu.

Mereka segera menunggangi kuda masing-masing. Sementara Mairin, dengan mulut disumpal serta tangan dan kaki terikat, dilemparkan ke pelana, di depan salah satu tentara. Lalu mereka pergi dari sana, gemuruh kaki kuda bergema di malam yang sunyi, sebelum Mairin sempat berbuat apa pun. Mereka cekatan, sekaligus kejam.

Pelana itu menyakiti perut Mairin, dan tubuhnya terguncang naik-turun sampai rasanya ia ingin muntah. Mairin mengerang, takut akan tercekik kain yang disumpalkan dalam-dalam ke mulutnya.

Ketika mereka akhirnya berhenti, Mairin nyaris pingsan. Sebuah tangan mencengkram tengkuk Mairin, jari-jarinya dengan mudah memegang batang leher Mairin kecil. Mairin di angkat ke atas lalu dijatuhkan begitu saja ke tanah.

Di sekeliling Mairin, mereka mendirikan kemah, sementara ia terkulai menggigil di tengah hawa yang lembap. Akhirnya ia mendengar seseorang berkata, “Lebih baik kau mengecek perempuan itu, Finn. Laird Cameron tidak akan senang jika dia sampai mati kedinginan.”

Gerutuan kesal mengikuti perintah itu. Tapi semenit kemudian, ikatan Mairin dilepaskan dan sumpalan dikeluarkan dari mulutnya. Finn, yang rupanya peminpin penculikan ini, membungkuk di atas Mairin, matanya berkilat-kilat dalam nyala api.

“Tak akan ada orang yang mendengar jeritanmu, dan kalau kau bersuara sedikit saja, akan kuhajar rahangmu.”

Mairin mengangguk tanda mengerti lalu berjalan dengan merangkak. Finn menyenggol bokong Mairin dengan sepatu bot dan tertawa kecil ketika wanita itu memutar kepala dengan marah.

“Ada selimut di samping perapian. Ambillan dan tidurlah. Kita akan berangkat saat fajar.”

Dengan rasa syukur Mairin meringkuk dalam kehangatan selimut, tak mempedulikan batu dan ranting di tanah yang menusuk kulitnya. Laird Cameron. Mairin mendengar tentang pria itu dari para tentara yang keluar masuk biara. Laird Cameron pria yang kejam. Tamak dan bernafsu untuk terus memperbesar kekuasaannya. Kabarnya, pasukan Laird Cameron salah satu pasukan terbesar di Skotlandia dan David, raja Skotlandia, takut kepadanya.

Malcolm, putra haram Alexander –sekaligus saudara tiri Mairin– sudah satu kali memberontak kepada David, untuk merebut takhta dari sang raja. Jika Malcolm dan Duncan Cameron sampai bersekutu, nyaris tak akan ada yang dapat menghentikan mereka.

Mairin menelan ludah dan memejamkan mata. Memiliki Neamh Alainn akan membuat Cameron menjadi pria yang tak terkalahkan.

“Oh Tuhan, tolong aku,” bisik Mairin.

Ia tak boleh membiarkan Cameron menguasai Neamh Alainn. Tanah itu diwariskan kepadanya, satu-satunya yang Mairin miliki dari ayahnya.

Mairin tidak bisa tidur. Maka ia hanya bergelung di dalam selimut, tangannya menggenggam salib kayu saat ia berdoa memohon kekuatan dan bimbingan. Sebagian prajurit tidur sementara yang lainnya berjaga-jaga. Mairin tidak cukup bodoh untuk berpikir bahwa mereka akan memberinya peluang untuk kabur. Tidak ketika ia lebih berharga daripada emas puluhan kilogram.

Tapi mereka juga tidak akan membunuhnya; ini keuntungan bagi wanita itu. Jadi ia tidak perlu takut untuk mencoba kabur dan siapa tahu ia akan berhasil.

Setelah satu jam khusyuk berdoa, suara gaduh di belakangnya membuat Mairin duduk tegak dan mengamati kegelapan malam. Di sekitarnya, para prajurit yang tadi sedang tidur tersentak bangun dan langsung meraih pedang ketika seruan seorang anak kecil memecah keheningan malam.

Salah satu pria menyeret seorang anak kecil yang menendang dan meronta-ronta ke lingkungan di sekitar api dan menjatuhkannya ke tanah. Anak itu merunduk dan melihat ke sekeliling dengan tatapan liar sementara para pria tertawa terbahak-bahak.

“Ada apa ini?” tanya Finn dengan galak.

“Aku memergokinya mencoba mencuri kuda,” jawab pria yang menangkap anak itu.

Kemarahan membuat wajah Finn menjadi mirip setan, yang tampak semakin jahat dalam cahaya api. Anak laki-laki itu, yang usianya tak mungkin lebih dari tujuh atau delapan tahun, mengangkat dagu dengan angkuh. Seolah menantang Finn untuk melakukan yang terburuk kepadanya.

“Anak kecil kurang ajar,” Finn meraung.

Finn mengangkat tangan, namun Mairin bergerak secepat kilat, melemparkan tubuhnya ke depan anak itu saat pria tersebut mengayunkan kepalan dan menghantam pipi Mairin.

Mairin terhuyung-huyung akibat pukulan itu, tapi berhasil mengembalikan keseimbangan. Dengan cepat Mairin kembali melemparkan di ri ke atas tubuh anak itu. Ia memeluk anak itu erat-erat, melindunginya sebisa mungkin.

Anak laki-laki itu meronta-ronta di bawah Mairin, memekikkan kata-kata kotor dalam bahasa Gaelic. Kepalanya membentur rahang Mairin yang kesakitan, membuat pandangan Mairin berkunang-kunang.

“Tenang saja,” Mairin membujuk anak itu dalam bahasa Gaelic. “Jangan meronta-ronta. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu.”

“Jauhi anak itu!” Finn meraung.

Mairin semakin erat memeluk anak laki-laki itu, yang akhirnya berhenti menendang dan mengayunkan tangan. Finn lalu membungkuk dan menjambak rambut Mairin, menariknya dengan kasar ke atas, tapi Mairin tidak mau melepaskan anak yang dilindunginya.

“Langkahi dulu mayaktu,” kata Mairin dengan tenang ketika Finn memaksanya menatap pria itu.

Finn melepaskan rambut Mairin sambil mengumpat, lalu mundur ke belakang dan menendang rusuknya. Mairin membungkuk kesakitan, tapi tetap melindungi anak itu dari Finn, yang ganas dan maniak.

“Finn, cukup!” hardik salah satu pria. “Laird menginginkannya dalam keadaan utuh.”

Sambil mengumpat pelan, Finn mundur menjauhi Mairin. “Biarkan dia bersama pengemis kotor itu. Tak lama lagi dia juga harus melepaskan anak itu.”

Mairin langsung mengangkat wajah untuk melotot kepada Finn. “Jika kau menyentuh anak ini sedikit saja, aku akan menggorok leherku sendiri.”

Tawa Finn memecah keheningan malam itu. “Gertakanmu tak masuk akal, lass. Jika mau bernegosiasi, kau perlu belajar dulu untuk meyakinkan lawanmu.”

Perlahan mairin bangkit sampai berdiri hanya selangkah dari pria yang jauh lebih besar itu. Ia menatap finn sampai mata Finn berkedip dan pria itu memalingkan wajah.

“Menggertak?” sahut Mairin dengan lembut. “Aku kira tidak. Bahkan, jika aku jadi kau, aku akan menjauhkan semua benda tajam dariku. Menurutmu aku tidak tahu apa nasibku? Aku tahu, laird-mu yang brutal itu akan meniduriku, sampai aku hamil sehingga dia bisa menguasai Neamh Alainn. Tapi aku lebih baik mati.”

Mata finn menyipit. “Dasar bodoh!”

Aye, kau mungkin benar. Karena itu, aku khawatir salah satu benda tajam itu akan menyerang rusukmu.”

Finn melambaikan tangan. “Ambil saja anak itu. Laird akan mengurus kalian berdua. Kami tidak suka pencuri kuda.”

Mairin mengabaikan finn dan kembali berpaling kepada anak laki-laki yang meringkuk di tanah. Dia menatap Mairin dengan takut campur memuja.

“Ayu,” kata Mairin dengan lembut. “Jika kita berdekapan selimut itu cukup untuk kita berdua.”

Anak itu langsung menghampiri Mairin, merapatkan tubuhnya yang lebih kecil kepada Mairin.

“Di mana rumahmu?” tanya Mairin setelah anak itu menjadi lebih tenang.

“Aku tidak tahu,” jawab anak itu dengan murung. “Pasti jauh dari sini. Setidaknya dua hari perjalanan.”

“Shh,” Mairin menenangkannya. “Bagaimana kau bisa sampai di sini?”

“Aku tersesat. Kata Papa, aku tidak boleh meninggalkan kastel kami tanpa anak buahnya, tapi aku capek diperlakukan seperti bayi. Padahal aku bukan bayi lagi.”

Mairin tersenyum. “Ya, aku tahu. Jadi, kau meninggalkan kastelmu?”

Anak itu mengangguk. “Aku mengambil seekor kuda. Aku hanya bermaksud menemui Paman Alarik. Dia akan pulang hari ini dan aku ingin menunggu di dekat perbatasan untuk menyambutnya.”

“Perbatasan?”

“Dari tanah kami.”

“Dan siapa namamu, Nak?”

“Namaku Crispen, bukan Nak.” Nada sebal terdengar jelas dalam suaranya, dan Mairin tersenyum lagi.

“Crispen nama yang bagus. Sekarang, lanjutkan ceritamu.”

“Siapa namamu?” tanya Crispen.

“Mairin,” jawabnya dengan lembut.

“Papaku Laird Ewan McCabe.”

Mairin berusaha mengenali nama itu, tapi ada begitu banyak klan yang tidak diketahuinya. Ia sendiri berasal dari dataran tinggi, tapi sudah sepuluh tahun tidak melihat kampungnya sendiri.

“Jadi kau pergi untuk menemui pamanmu. Lalu apa yang terjadi?”

“Aku tersesat,” jawab Crispen dengan murung. “Lalu seorang prajurit Mc Donald menemukanku dan berniat membawaku ke laird-nya. Supaya mereka bisa meminta tebusan atas diriku. Tapi aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Permintaan itu akan membuat malu papaku, dan dia tidak akan sanggup menebusku. Tebusan itu akan melumpuhkan klan kami.”

Mairin mengelus rambut Crispen saat napas hangat anak itu bertiup di dadanya. Crispen terdengar jauh lebih tua daripada usianya yang belia. Dan punya harga diri yang begitu tinggi.

“Aku kabur dan bersembunyi dalam gerobak seorang pedagang keliling. Aku menumpang sehari sebelum pedagang itu menemukanku.” Crispen mengangkat kepala, kembali membentur rahang Mairin yang sakit. “Di mana kita, Mairin?” bisiknya. “apakah kita sangat jauh dari rumah?”

“Aku tidak tahu pasti di mana rumahmu,” jawab Mairin dengan sedih. “Tapi kita ada di dataran rendah. Aku berani bertaruh paling tidak kita berada dua hari perjalanan dari kastelmu.”

“Dataran rendah,” Crispen meludah. “Apakah kau berasal dari sini?”

Mairin tersenyum melihat kesengitannya. “Tidak, Crispen. Aku warga dataran tinggi.”

“Lalu apa yang kau lakukan di sini?” Crispen terus menanyainya. “Apakah mereka menculikmu dari rumahmu?”

Mairin menghela napas. “Ceritanya panjang. Bermula sebelum kau lahir.”

Ketika Crispen hendak bertanya lagi, Mairin mencegahnya dengan meremas lembut tubuhnya. “Tidurlah, Crispen. Kita harus menjaga kekuatan, jika kita ingin kabur.”

“Kita akan kabur?” bisik Crispen.

Aye, tentu saja. Itulah yang dilakukan tahanan,” jawab Mairin dengan riang. Ketakutan dalam suara Crispen membuatnya sedih. Pasti sangat menakutkan bagi Crispen, berada begitu jauh dari rumah dan orang-orang yang menyayanginya.

“Apakah kau akan membawaku pulang kepada papaku? Aku akan membuat papa melindungimu dari Laird Cameron.”

Mairin tersenyum mendengar kesungguhan dalam suara Crispen. “Tentu saja, aku pasti akan membawamu pulang.”

“Janji?”

“Aku janji.”

***

“Cari Putraku!”

Raungan Ewan McCabe bisa terdengar di seluruh halaman. Semua anak buahnya berdiri tegap, dengan mimik serius. Sebagian mengerut dengan sikap simpatik. Mereka yakin Crispen sudah mati, meski tak seorang pun berani mengutarakan kemungkinan itu kepada Ewan.

Ewan sendiri sudah mempertimbangkan kemungkinan itu. Tapi ia tidak mau menyerah sebelum putranya ditemukan –dalam keadaan hidup atau mati.

Ewan berpaling kepada kedua adiknya, Alaric dan Caelen. “Aku tidak bisa mengerahkan semua orang untuk mencari Crispen,” katanya dengan suara rendah. “Tindakan itu akan membuat pertahanan kita rapuh. Aku memercayai kalian berdua dengan hidupku –hidup putraku. Aku mau kalian berdua masing-masing membawa sekelompok pria dan pergi ke dua arah yang berbeda. Bawa putraku pulang.”

Alaric, nomor dua dari tiga bersaudara McCabe, mengangguk. “Kau tahu kami tidak akan berhenti sebelum menemukannya.”

“Ya, aku tahu,” kata Ewan.

Ewan mengawasi kedua adiknya pergi, meneriakkan perintah kepada anak buah mereka. Ia memejamkan mata dan mengepalkan tangan dengan geram. Siapa yang berani mengambil putranya? Sudah tiga hari Ewan menunggu permintaan tebusan, tapi tidak ada yang datang. Selama tiga hari itu ia memeriksa setiap jengkal tanah McCabe dan daerah sekitarnya.

Apakah ini pendahuluan sebuah serangan? Apakah musuh-musuhnya ingin memukulnya ketika ia lemah? Ketika setiap prajuritnya terlibat dalam pencarian putranya?

Ewan mengatupkan rahang saat menatap ke sekeliling kastel yang berantakan. Selama delapan tahun ia berjuang agar klannya tetap hidup dan kuat. Dulu, McCabe nama yang berpengaruh dan membanggakan bagi klannya. Lalu, delapan tahun silam klan McCabe mengalami serangan yang melumpuhkan. Dikhianati oleh wanita yang dicintai Caelen, ayah Ewan dan istri Ewan yang basih belia tewas dibunuh. Sementara anak Ewan selamat hanya karena dia disembunyikan salah satu pembantu.

Nyaris tak ada yang tersisa ketika Ewan dan kedua adiknya kembali. Hanya tampak reruntuhan di sana-sini, anggota klannya berpencar ke mana-mana, pasukannya nyaris binasa.

Tak ada yang diperoleh Ewan ketika ia mengambil alih posisi laird.

Selama inilah waktu yang dibutuhkan Ewan untuk membangun kembali klan. Para prajuritnya paling terlatih di seluruh dataran tinggi. Ia dan kedua adiknya bekerja mati-matian untuk memastikan ada makanan bagi anggota klan yang tua, yang sakit, para wanita dan anak-anak. Kerap kali kaum pria harus menahan rasa lapar. Dan diam-diam klan mereka tumbuh, menjadi semakin besar. Sampai akhirnya, Ewan mulai membawa klan –yang selama ini hidup susah– ke arah yang lebih baik.

Tak lama kemudian, Ewan dapat mengalihkan pikiran kepada balas dendam. Tidak, itu keliru. Balas dendamlan yang membuatnya mampu bertahan selama delapan tahun terakhir ini. Ewan tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa memikirkannya.

“Laird, aku membawa kabar tentang putramu.”

Ewan langsung memutar tubuh dan melihat salah satu prajuritnya buru-buru menghampiri. Tunik prajurit itu berdebu, seolah dia baru saja turun dari kuda.

“Bicaralah,” perintah Ewan.

“Salah satu warga McDonald menemukan putramu tiga hari lalu, di sepanjang perbatasan utara tanahmu. Dia mengambil putramu, bermaksud membawanya kepada laird mereka supaya sang laird bisa memninta tebusan untuknya. Hanya saja, dia berhasil melarikan diri. Tak seorang pun melihatnya sejak itu.”

Ewan sampai gemetar karena murka saat mendengarnya. “Bawa delapan prajurit dan temui McDonald. Sampaikan pesan ini kepadanya. Dia harus membawa prajurit yang mengambil putraku ke jalan masuk daerahku. Atau dia akan mati. Jika McDonald tidak memenuhi permintaanku, aku sendiri yang akan mendatanginya. Aku akan membunuhnya. Dan dia akan mati pelan-pelan. Jangan melupakan satu pun kata dari pesanku.”

Prajurit itu membungkuk. “Ya, Laird.”

Dia memutar tubuh dan segera pergi, meninggalkan Ewan yang merasa lega campur marah. Crispen masih hidup, atau setidaknya sampai saat itu. McDonald bertindak bodoh dengan melanggar perjanjian damai tak tertulis di antara mereka. Meski kedua klan bisa dikatakan tidak punya hubungan sebagai sekutu, McDonald tidak cukup tolol untuk memicu kemarahan Ewan McCabe. Kastel Ewan mungkin masih berantakan, dan warganya mungkin bukan klan paling makmur, tapi kekuatannya sudah pulih dua kali lipat.

Para prajuritnya pasuka kesatria yang mematikan, yang tidak bisa dianggap enteng. Mereka yang tinggal di dekat daerah kekuasaan Ewan menyadari hal itu. Tapi sasaran Ewan bukan para tetangga. Targetnya Duncan Cameron. Ewan tidak akan senang sampai seluruh Skotlandia berlumuran darah Cameron.


Sinopsis
Next

Tidak ada komentar:

Posting Komentar