Selama
beberapa menit, Mairin membisikkan kata-kata yang selalu diucapkan sejak kecil.
Lalu ia mengakhiri doa dengan cara yang sama. Kumohon, Tuhan. Jangan biarkan mereka menemukanku.
Mairin
bangkit berdiri, lututnya bergesekan dengan batu-batu lantai yang tidak rata.
Gaun coklat polos yang ia pakai menandakan tempatnya di antara para calon
biarawati lain. Meski sudah tinggal di sini jauh lebih lama daripada yang lain,
Mairin tak pernah mengucapkan sumpah yang akan melengkapi perjalanan
spiritualnya. Karena ia tak pernah berniat melakukannya.
Mairin
menghampiri baskom di sudut dan menuangkan air dari kendi. Sambil tersenyum ia
membasahi sehelai lap, dan kata-kata Bunda Kedamaian terlintas di benak. Kebersihan adalah langkah menuju Kesalehan.
Mairin
menyeka wajah dan baru mulai menanggalkan gaun untuk membersihkan tubuh ketika
mendengar benturan keras. Suara itu membuatnya terperanjat, sampai lap di
tangannya terjatuh. Lalu Mairin memutar tubuh dan menatap pintu kamarnya yang
tertutup. Ia langsung bertindak; berlari dan membuka pintu lebar-lebar, melesat
ke aula.
Di
sekelilingnya, biarawati yang lain memenuhi aula itu, gumaman cemas mereka
terdengar semakin keras. Lengkingan dari pintu depan biara bergema mengisi
koridor. Jeritan kesakitan mengikuti teriakan itu, membuat jantung Mairin
membeku. Bunda Kedamaian.
Mairin
dan biarawati lainnya berlari ke arah suara itu. Sebagian tertinggal sementara
yang lain maju terus dengan kencang. Saat mereka tiba di kapel, Mairin
tiba-tiba berhenti, terpaku melihat pemandangan di depannya.
Di
mana-mana ada prajurit. Jumlah mereka paling sedikit dua puluh orang. Semua
mengenakan pakaian perang, wajah mereka kotor, keringat membasahi rambut dan
baju mereka. Tapi tidak ada darah. Mereka bukan datang untuk meminta
perlindungan atau bantuan. Pemimpin mereka memegangi lengan Bunda Kedamaian.
Bahkan dari kejauhan, Mairin dapat melihat wajah biarawati kepala itu mengerut
kesakitan.
“Di
mana dia?” desak si pemimpin dengan suara dingin.
Mairin
melangkah mundur. Pria itu tampak buas. Jahat. Kemarahan berkobar di matanya,
bak ular yang siap menyerang. Dia mengguncang-guncang Bunda Kedamaian ketika
wanita itu tidak menjawab, dan sang bunda bergetar dalam cengkramannya bak
boneka.
Mairin
membuat tanda salib dan segera berbisik-bisik memanjatkan doa. Para biarawati
di sekitar Mairin lalu mengelilinginya dan turut berdoa.
“Dia
tidak ada di sini,” kata Bunda Kedamaian dengan terengah-engah. “Aku sudah memberitahumu,
wanita yang kau cari tidak ada di sini.”
“Kau
bohong!” seru si pemimpin.
Dia
berpaling kepada para biarawati, matanya mengamati mereka dengan dingin.
“Mairin
Stuart. Beritahu aku di mana dia.”
Tubuh
Mairin menjadi dingin, ketakutan membuat perutnya mulas. Bagaimana pria itu
bisa menemukannya? Setelah sekian lama. Mimpi buruknya belum berakhir. Malah,
baru saja dimulai.
Tangan
Mairin begitu gemetar sampai ia harus menyembunyikannya di dalam lipatan gaun. Keringat
membasahi alisnya, dan isi perutnya teraduk-aduk. Mairin menelan ludah,
menguatkan diri agar tidak merasa mual.
Ketika
tak ada yang menjawab, pria itu tersenyum. Senyumannya membuat bulu kuduk
Mairin berdiri. Tanpa melepaskan tatapan dari mereka, pria itu mengangkat
lengan Bunda Kedamaian sehingga mereka semua dapat melihatnya. Lalu dengan
kejam dia menekuk telunjuk wanita itu sampai Mairin mendengar bunyi tulang yang
retak.
Salah
satu biarawati memekik lalu menerjang maju, namun malah dipukul sampai jatuh
oleh salah satu tentara. Biarawati yang lain terperanjat menyaksikan tindakan
kasar itu.
“Ini
rumah Tuhan,” kata Bunda Kedamaian dengan suara tajam. “Kalian sudah berdosa
besar dengan melakukan kekerasan di tempat suci ini.”
“Diam,
wanita tua!” bentak si pemimpin. “Beritahu aku di mana Mairin Stuart atau akan
kubunuh kalian semua.”
Mairin
menarik napas dan mengepalkan kedua tangan. Ia percaya ancaman si pemimpin. Ada
terlalu banyak kejahatan dan keputusasaan di mata pria itu. Laki-laki itu di
kirim untuk berbuat jahat, dan tidak ada yang sanggup untuk menghalangi
niatnya.
Si
pemimpin meraih jari tengah Bunda Kedamaian, lalu Mairin buru-buru maju.
“Charity,
jangan!” seru Bunda Kedamaian.
Mairin
mengabaikannya. “aku Mairin Stuart. Sekarang, lepaskan dia!”
Pria
itu melepaskan tangan Bunda Kedamaian lalu mendorongnya ke belakang. Dia
mengamati wajah Mairin, lalu tatapannya menjelajahi tubuh mairin dari atas
sampai bawah. Sikap lantang itu membuat pipi Mairin memerah, tapi tidak gentar.
Mairin malah balas memandang pria itu dengan seluruh keberanian.
Si
pemimpin menjentikkan jari, lalu dua pria mendekati mairin dan menyambar
tubuhnya sebelum ia bisa berpikir untuk kabur. Dalam sekejap mereka merebahkan
tubuh Mairin di lantai, lalu berusaha meraih keliman gaunnya.
Mairin
menendang dan meronta-ronta, tapi mereka jauh lebih kuat daripada dirinya.
Apakah mereka akan menguasainya di sini, di lantai kapel? Air mata Mairin
menggenang saat mereka mengangkat bajunya sampai pinggulnya tersingkap.
Mereka
membalikkan tubuh Mairin ke kanan dan menyentuh pinggulnya, persis di tempat
tanda itu berada.
Oh,
tidak.
Mairin
menunduk saat air mata kekalahan mengalir turun ke pipi.
“Ini
benar dia!” seru salah satu dari mereka.
Pria
yang berseru tadi langsung didorong ke samping ketika si pemimpin membungkuk
untuk memeriksa sendiri tanda itu.
Si
pemimpin juga menyentuh tanda itu, yang menggambarkan simbol raja Alexander.
Sambil menggeram puas, ia meraih dagu Mairin dan dengan kasar mengangkatnya,
sampai Mairin memandangnya.
Senyum
si pemimpin membuat Mairin muak.
“Sudah
lama kami mencarimu, Mairin Stuart.”
“Pergi
ke neraka,” Mairin meludahinya.
Si
pemimpin tidak memukulnya, tapi malah menyeringai semakin lebar. “Ck, ck, ck,
bisa-bisanya kau menghujat seperti itu di rumah Tuhan.”
Pemimpin
itu dengan cepat berdiri, dan dalam sekejap, tubuh Mairin diangkat ke bahu
seorang pria. Lalu para tentara berbaris keluar dari biara di malam yang sejuk
itu.
Mereka
segera menunggangi kuda masing-masing. Sementara Mairin, dengan mulut disumpal
serta tangan dan kaki terikat, dilemparkan ke pelana, di depan salah satu
tentara. Lalu mereka pergi dari sana, gemuruh kaki kuda bergema di malam yang
sunyi, sebelum Mairin sempat berbuat apa pun. Mereka cekatan, sekaligus kejam.
Pelana
itu menyakiti perut Mairin, dan tubuhnya terguncang naik-turun sampai rasanya
ia ingin muntah. Mairin mengerang, takut akan tercekik kain yang disumpalkan
dalam-dalam ke mulutnya.
Ketika
mereka akhirnya berhenti, Mairin nyaris pingsan. Sebuah tangan mencengkram
tengkuk Mairin, jari-jarinya dengan mudah memegang batang leher Mairin kecil.
Mairin di angkat ke atas lalu dijatuhkan begitu saja ke tanah.
Di
sekeliling Mairin, mereka mendirikan kemah, sementara ia terkulai menggigil di
tengah hawa yang lembap. Akhirnya ia mendengar seseorang berkata, “Lebih baik
kau mengecek perempuan itu, Finn. Laird Cameron tidak akan senang jika dia
sampai mati kedinginan.”
Gerutuan
kesal mengikuti perintah itu. Tapi semenit kemudian, ikatan Mairin dilepaskan
dan sumpalan dikeluarkan dari mulutnya. Finn, yang rupanya peminpin penculikan
ini, membungkuk di atas Mairin, matanya berkilat-kilat dalam nyala api.
“Tak
akan ada orang yang mendengar jeritanmu, dan kalau kau bersuara sedikit saja,
akan kuhajar rahangmu.”
Mairin
mengangguk tanda mengerti lalu berjalan dengan merangkak. Finn menyenggol
bokong Mairin dengan sepatu bot dan tertawa kecil ketika wanita itu memutar
kepala dengan marah.
“Ada
selimut di samping perapian. Ambillan dan tidurlah. Kita akan berangkat saat
fajar.”
Dengan
rasa syukur Mairin meringkuk dalam kehangatan selimut, tak mempedulikan batu
dan ranting di tanah yang menusuk kulitnya. Laird Cameron. Mairin mendengar tentang
pria itu dari para tentara yang keluar masuk biara. Laird Cameron pria yang
kejam. Tamak dan bernafsu untuk terus memperbesar kekuasaannya. Kabarnya,
pasukan Laird Cameron salah satu pasukan terbesar di Skotlandia dan David, raja
Skotlandia, takut kepadanya.
Malcolm,
putra haram Alexander –sekaligus saudara tiri Mairin– sudah satu kali
memberontak kepada David, untuk merebut takhta dari sang raja. Jika Malcolm dan
Duncan Cameron sampai bersekutu, nyaris tak akan ada yang dapat menghentikan
mereka.
Mairin
menelan ludah dan memejamkan mata. Memiliki Neamh Alainn akan membuat Cameron
menjadi pria yang tak terkalahkan.
“Oh
Tuhan, tolong aku,” bisik Mairin.
Ia
tak boleh membiarkan Cameron menguasai Neamh Alainn. Tanah itu diwariskan
kepadanya, satu-satunya yang Mairin
miliki dari ayahnya.
Mairin
tidak bisa tidur. Maka ia hanya bergelung di dalam selimut, tangannya
menggenggam salib kayu saat ia berdoa memohon kekuatan dan bimbingan. Sebagian
prajurit tidur sementara yang lainnya berjaga-jaga. Mairin tidak cukup bodoh
untuk berpikir bahwa mereka akan memberinya peluang untuk kabur. Tidak ketika
ia lebih berharga daripada emas puluhan kilogram.
Tapi
mereka juga tidak akan membunuhnya; ini keuntungan bagi wanita itu. Jadi ia
tidak perlu takut untuk mencoba kabur dan siapa tahu ia akan berhasil.
Setelah
satu jam khusyuk berdoa, suara gaduh di belakangnya membuat Mairin duduk tegak
dan mengamati kegelapan malam. Di sekitarnya, para prajurit yang tadi sedang
tidur tersentak bangun dan langsung meraih pedang ketika seruan seorang anak
kecil memecah keheningan malam.
Salah
satu pria menyeret seorang anak kecil yang menendang dan meronta-ronta ke
lingkungan di sekitar api dan menjatuhkannya ke tanah. Anak itu merunduk dan
melihat ke sekeliling dengan tatapan liar sementara para pria tertawa
terbahak-bahak.
“Ada
apa ini?” tanya Finn dengan galak.
“Aku
memergokinya mencoba mencuri kuda,” jawab pria yang menangkap anak itu.
Kemarahan
membuat wajah Finn menjadi mirip setan, yang tampak semakin jahat dalam cahaya
api. Anak laki-laki itu, yang usianya tak mungkin lebih dari tujuh atau delapan
tahun, mengangkat dagu dengan angkuh. Seolah menantang Finn untuk melakukan
yang terburuk kepadanya.
“Anak
kecil kurang ajar,” Finn meraung.
Finn
mengangkat tangan, namun Mairin bergerak secepat kilat, melemparkan tubuhnya ke
depan anak itu saat pria tersebut mengayunkan kepalan dan menghantam pipi
Mairin.
Mairin
terhuyung-huyung akibat pukulan itu, tapi berhasil mengembalikan keseimbangan.
Dengan cepat Mairin kembali melemparkan di ri ke atas tubuh anak itu. Ia
memeluk anak itu erat-erat, melindunginya sebisa mungkin.
Anak
laki-laki itu meronta-ronta di bawah Mairin, memekikkan kata-kata kotor dalam
bahasa Gaelic. Kepalanya membentur rahang Mairin yang kesakitan, membuat
pandangan Mairin berkunang-kunang.
“Tenang
saja,” Mairin membujuk anak itu dalam bahasa Gaelic. “Jangan meronta-ronta. Aku
tidak akan membiarkan mereka menyakitimu.”
“Jauhi
anak itu!” Finn meraung.
Mairin
semakin erat memeluk anak laki-laki itu, yang akhirnya berhenti menendang dan
mengayunkan tangan. Finn lalu membungkuk dan menjambak rambut Mairin,
menariknya dengan kasar ke atas, tapi Mairin tidak mau melepaskan anak yang
dilindunginya.
“Langkahi
dulu mayaktu,” kata Mairin dengan tenang ketika Finn memaksanya menatap pria
itu.
Finn
melepaskan rambut Mairin sambil mengumpat, lalu mundur ke belakang dan
menendang rusuknya. Mairin membungkuk kesakitan, tapi tetap melindungi anak itu
dari Finn, yang ganas dan maniak.
“Finn,
cukup!” hardik salah satu pria. “Laird menginginkannya dalam keadaan utuh.”
Sambil
mengumpat pelan, Finn mundur menjauhi Mairin. “Biarkan dia bersama pengemis
kotor itu. Tak lama lagi dia juga harus melepaskan anak itu.”
Mairin
langsung mengangkat wajah untuk melotot kepada Finn. “Jika kau menyentuh anak
ini sedikit saja, aku akan menggorok leherku sendiri.”
Tawa
Finn memecah keheningan malam itu. “Gertakanmu tak masuk akal, lass. Jika mau bernegosiasi, kau perlu
belajar dulu untuk meyakinkan lawanmu.”
Perlahan
mairin bangkit sampai berdiri hanya selangkah dari pria yang jauh lebih besar
itu. Ia menatap finn sampai mata Finn berkedip dan pria itu memalingkan wajah.
“Menggertak?”
sahut Mairin dengan lembut. “Aku kira tidak. Bahkan, jika aku jadi kau, aku
akan menjauhkan semua benda tajam dariku. Menurutmu aku tidak tahu apa nasibku?
Aku tahu, laird-mu yang brutal itu
akan meniduriku, sampai aku hamil sehingga dia bisa menguasai Neamh Alainn.
Tapi aku lebih baik mati.”
Mata
finn menyipit. “Dasar bodoh!”
“Aye, kau mungkin benar. Karena itu, aku
khawatir salah satu benda tajam itu akan menyerang rusukmu.”
Finn
melambaikan tangan. “Ambil saja anak itu. Laird akan mengurus kalian berdua.
Kami tidak suka pencuri kuda.”
Mairin
mengabaikan finn dan kembali berpaling kepada anak laki-laki yang meringkuk di
tanah. Dia menatap Mairin dengan takut campur memuja.
“Ayu,”
kata Mairin dengan lembut. “Jika kita berdekapan selimut itu cukup untuk kita
berdua.”
Anak
itu langsung menghampiri Mairin, merapatkan tubuhnya yang lebih kecil kepada
Mairin.
“Di
mana rumahmu?” tanya Mairin setelah anak itu menjadi lebih tenang.
“Aku
tidak tahu,” jawab anak itu dengan murung. “Pasti jauh dari sini. Setidaknya
dua hari perjalanan.”
“Shh,”
Mairin menenangkannya. “Bagaimana kau bisa sampai di sini?”
“Aku
tersesat. Kata Papa, aku tidak boleh meninggalkan kastel kami tanpa anak
buahnya, tapi aku capek diperlakukan seperti bayi. Padahal aku bukan bayi lagi.”
Mairin
tersenyum. “Ya, aku tahu. Jadi, kau meninggalkan kastelmu?”
Anak
itu mengangguk. “Aku mengambil seekor kuda. Aku hanya bermaksud menemui Paman
Alarik. Dia akan pulang hari ini dan aku ingin menunggu di dekat perbatasan
untuk menyambutnya.”
“Perbatasan?”
“Dari
tanah kami.”
“Dan
siapa namamu, Nak?”
“Namaku
Crispen, bukan Nak.” Nada sebal terdengar jelas dalam suaranya, dan Mairin
tersenyum lagi.
“Crispen
nama yang bagus. Sekarang, lanjutkan ceritamu.”
“Siapa
namamu?” tanya Crispen.
“Mairin,”
jawabnya dengan lembut.
“Papaku
Laird Ewan McCabe.”
Mairin
berusaha mengenali nama itu, tapi ada begitu banyak klan yang tidak
diketahuinya. Ia sendiri berasal dari dataran tinggi, tapi sudah sepuluh tahun
tidak melihat kampungnya sendiri.
“Jadi
kau pergi untuk menemui pamanmu. Lalu apa yang terjadi?”
“Aku
tersesat,” jawab Crispen dengan murung. “Lalu seorang prajurit Mc Donald
menemukanku dan berniat membawaku ke laird-nya.
Supaya mereka bisa meminta tebusan atas diriku. Tapi aku tidak bisa membiarkan
hal itu terjadi. Permintaan itu akan membuat malu papaku, dan dia tidak akan
sanggup menebusku. Tebusan itu akan melumpuhkan klan kami.”
Mairin
mengelus rambut Crispen saat napas hangat anak itu bertiup di dadanya. Crispen
terdengar jauh lebih tua daripada usianya yang belia. Dan punya harga diri yang
begitu tinggi.
“Aku
kabur dan bersembunyi dalam gerobak seorang pedagang keliling. Aku menumpang
sehari sebelum pedagang itu menemukanku.” Crispen mengangkat kepala, kembali
membentur rahang Mairin yang sakit. “Di mana kita, Mairin?” bisiknya. “apakah
kita sangat jauh dari rumah?”
“Aku
tidak tahu pasti di mana rumahmu,” jawab Mairin dengan sedih. “Tapi kita ada di
dataran rendah. Aku berani bertaruh paling tidak kita berada dua hari
perjalanan dari kastelmu.”
“Dataran
rendah,” Crispen meludah. “Apakah kau berasal dari sini?”
Mairin
tersenyum melihat kesengitannya. “Tidak, Crispen. Aku warga dataran tinggi.”
“Lalu
apa yang kau lakukan di sini?” Crispen terus menanyainya. “Apakah mereka
menculikmu dari rumahmu?”
Mairin
menghela napas. “Ceritanya panjang. Bermula sebelum kau lahir.”
Ketika
Crispen hendak bertanya lagi, Mairin mencegahnya dengan meremas lembut
tubuhnya. “Tidurlah, Crispen. Kita harus menjaga kekuatan, jika kita ingin
kabur.”
“Kita
akan kabur?” bisik Crispen.
“Aye, tentu saja. Itulah yang dilakukan
tahanan,” jawab Mairin dengan riang. Ketakutan dalam suara Crispen membuatnya
sedih. Pasti sangat menakutkan bagi Crispen, berada begitu jauh dari rumah dan
orang-orang yang menyayanginya.
“Apakah
kau akan membawaku pulang kepada papaku? Aku akan membuat papa melindungimu
dari Laird Cameron.”
Mairin
tersenyum mendengar kesungguhan dalam suara Crispen. “Tentu saja, aku pasti
akan membawamu pulang.”
“Janji?”
“Aku
janji.”
***
“Cari
Putraku!”
Raungan
Ewan McCabe bisa terdengar di seluruh halaman. Semua anak buahnya berdiri
tegap, dengan mimik serius. Sebagian mengerut dengan sikap simpatik. Mereka
yakin Crispen sudah mati, meski tak seorang pun berani mengutarakan kemungkinan
itu kepada Ewan.
Ewan
sendiri sudah mempertimbangkan kemungkinan itu. Tapi ia tidak mau menyerah
sebelum putranya ditemukan –dalam keadaan hidup atau mati.
Ewan
berpaling kepada kedua adiknya, Alaric dan Caelen. “Aku tidak bisa mengerahkan
semua orang untuk mencari Crispen,” katanya dengan suara rendah. “Tindakan itu
akan membuat pertahanan kita rapuh. Aku memercayai kalian berdua dengan hidupku
–hidup putraku. Aku mau kalian berdua masing-masing membawa sekelompok pria dan
pergi ke dua arah yang berbeda. Bawa putraku pulang.”
Alaric,
nomor dua dari tiga bersaudara McCabe, mengangguk. “Kau tahu kami tidak akan
berhenti sebelum menemukannya.”
“Ya,
aku tahu,” kata Ewan.
Ewan
mengawasi kedua adiknya pergi, meneriakkan perintah kepada anak buah mereka. Ia
memejamkan mata dan mengepalkan tangan dengan geram. Siapa yang berani
mengambil putranya? Sudah tiga hari Ewan menunggu permintaan tebusan, tapi
tidak ada yang datang. Selama tiga hari itu ia memeriksa setiap jengkal tanah
McCabe dan daerah sekitarnya.
Apakah
ini pendahuluan sebuah serangan? Apakah musuh-musuhnya ingin memukulnya ketika
ia lemah? Ketika setiap prajuritnya terlibat dalam pencarian putranya?
Ewan
mengatupkan rahang saat menatap ke sekeliling kastel yang berantakan. Selama
delapan tahun ia berjuang agar klannya tetap hidup dan kuat. Dulu, McCabe nama
yang berpengaruh dan membanggakan bagi klannya. Lalu, delapan tahun silam klan
McCabe mengalami serangan yang melumpuhkan. Dikhianati oleh wanita yang
dicintai Caelen, ayah Ewan dan istri Ewan yang basih belia tewas dibunuh.
Sementara anak Ewan selamat hanya karena dia disembunyikan salah satu pembantu.
Nyaris
tak ada yang tersisa ketika Ewan dan kedua adiknya kembali. Hanya tampak
reruntuhan di sana-sini, anggota klannya berpencar ke mana-mana, pasukannya
nyaris binasa.
Tak
ada yang diperoleh Ewan ketika ia mengambil alih posisi laird.
Selama
inilah waktu yang dibutuhkan Ewan untuk membangun kembali klan. Para
prajuritnya paling terlatih di seluruh dataran tinggi. Ia dan kedua adiknya
bekerja mati-matian untuk memastikan ada makanan bagi anggota klan yang tua,
yang sakit, para wanita dan anak-anak. Kerap kali kaum pria harus menahan rasa lapar.
Dan diam-diam klan mereka tumbuh, menjadi semakin besar. Sampai akhirnya, Ewan
mulai membawa klan –yang selama ini hidup susah– ke arah yang lebih baik.
Tak
lama kemudian, Ewan dapat mengalihkan pikiran kepada balas dendam. Tidak, itu
keliru. Balas dendamlan yang membuatnya mampu bertahan selama delapan tahun
terakhir ini. Ewan tidak pernah
melewatkan satu hari pun tanpa memikirkannya.
“Laird,
aku membawa kabar tentang putramu.”
Ewan
langsung memutar tubuh dan melihat salah satu prajuritnya buru-buru
menghampiri. Tunik prajurit itu berdebu, seolah dia baru saja turun dari kuda.
“Bicaralah,”
perintah Ewan.
“Salah
satu warga McDonald menemukan putramu tiga hari lalu, di sepanjang perbatasan
utara tanahmu. Dia mengambil putramu, bermaksud membawanya kepada laird mereka supaya sang laird bisa
memninta tebusan untuknya. Hanya saja, dia berhasil melarikan diri. Tak seorang
pun melihatnya sejak itu.”
Ewan
sampai gemetar karena murka saat mendengarnya. “Bawa delapan prajurit dan temui
McDonald. Sampaikan pesan ini kepadanya. Dia harus membawa prajurit yang
mengambil putraku ke jalan masuk daerahku. Atau dia akan mati. Jika McDonald
tidak memenuhi permintaanku, aku sendiri yang akan mendatanginya. Aku akan
membunuhnya. Dan dia akan mati pelan-pelan. Jangan melupakan satu pun kata dari
pesanku.”
Prajurit
itu membungkuk. “Ya, Laird.”
Dia
memutar tubuh dan segera pergi, meninggalkan Ewan yang merasa lega campur
marah. Crispen masih hidup, atau setidaknya sampai saat itu. McDonald bertindak
bodoh dengan melanggar perjanjian damai tak tertulis di antara mereka. Meski
kedua klan bisa dikatakan tidak punya hubungan sebagai sekutu, McDonald tidak
cukup tolol untuk memicu kemarahan Ewan McCabe. Kastel Ewan mungkin masih
berantakan, dan warganya mungkin bukan klan paling makmur, tapi kekuatannya
sudah pulih dua kali lipat.
Para
prajuritnya pasuka kesatria yang mematikan, yang tidak bisa dianggap enteng. Mereka
yang tinggal di dekat daerah kekuasaan Ewan menyadari hal itu. Tapi sasaran
Ewan bukan para tetangga. Targetnya Duncan Cameron. Ewan tidak akan senang
sampai seluruh Skotlandia berlumuran darah Cameron.
Next
Tidak ada komentar:
Posting Komentar