Sabtu, 08 September 2018

Beyond the Highland Mist, Prolog

BELTANE
(Spring)

Kau melihat ular berlidah ganda
Landak berduri, tidak terlihat
Kadal dan cacing. Tak melakukan kesalahan
Jangan dekati Ratu kami

Shakespeare, A. Midsummer Night’s Dream


Skotlandia
1 Februari 1513

Wangi bunga melati dan kayu cendana merebak di antara pohon rowan. Jauh di atas daun-daunnya yang basah oleh embun, seekor burung camar terbang menembus kabut membumbung tinggi seolah ingin mengecup fajar di atas pasir putih Morar. Gelombang pasang berwarna biru yang berkilau seolah membentuk bayangan sirip ekor ikan duyung menghempas di permukaan pantai berwarna pualam.


Istana megah kerajaan Tuatha De Danaan mewarnai bentangan tanaman hijau subur. Kursi-kursi berwarna ungu terang dan kuning menghiasi pelataran berumput, tersebar dalam susunan separuh lingkaran di pelataran luar mimbar.

“Mereka bilang lelaki itu lebih tampan darimu,” Sang Ratu berkata pada seorang lelaki yang sedang telentang bermalas-malasan di kaki mimbar.

“Mustahil.” Suara tertawanya yang mengejek bergema seperti dentingan kristal terbawa angin.

“Mereka bilang, ukuran kejantanannya saat sedang separuh tegang pun bisa membuat kuda jantan iri.” Sang Ratu melirik ke arah para dayang-dayangnya.

“Mungkin lebih seperti tikus,” tukas sang lelaki di ujung kaki sang Ratu. Jemarinya yang anggun mengisyaratkan sesuatu yang lemah, seraya terkekeh dengan suara tawa yang seolah membelah kabut.

“Mereka bilang, dalam keadaan penuh, kejantanannya dapat memisahkan kewarasan seorang wanita dari tubuhnya. Lalu merampas jiwanya.” Sang Ratu menurunkan kelopak mata untuk menyembunyikan kilatan api nakal dalam tatapannya. Betapa mudahnya membangkitkan amarah lelaki!

Lelaki itu memutar bola matanya dan seketika wajahnya yang sombong menyiratkan rasa terhina. Ia menyilangkan kedua kakinya sebatas pergelangan kaki lalu memandang ke laut lepas.

Tapi sang Ratu tak bisa dibohongi. Lelaki di ujung kakinya itu memang sombong, dan bagaimanapun ia berpura-pura tak mempan, sang Ratu mengetahui bahwa lelaki itu tidak kebal terhadap pancingannya.

“Cukuplah mempermainkannya, Ratuku,” Raja Finnbheara menegur. “Kau tahu bagaimana si bodoh itu jika egonya terluka.” Ia menepuk lengan sang Ratu dengan halus. “Sudah sukup kau menggodanya.”

Mata sang Ratu meredup. Untuk sesaat ia memutuskan untuk meneruskan pembalasan ini. Sebuah pandangan ke arah para pelayannya menghilangkan pikiran itu, saat ia teringat apa yang tak sengaja ia dengar dari pembicaraan mereka yang sangat mendetail semalam.

Yang mereka bicarakan tak bisa dimaafkan. Sang Ratu bukanlah seorang wanita yang bisa dibandingkan dengan wanita lain, lalu kalah. Bibirnya mengatup rapat. Tangannya yang anggun mengepal. Dengan hati-hati, ia berkata.

“Tapi ia memang seperti yang mereka katakan,” sang Ratu berkata merdu.

Dalam keheningan yang terjadi sesaat kemudian, pernyataan sang Ratu tetap melayang, tanpa tertanggapi, sebab hal itu seolah terlalu melukai harga diri. Sang Raja di sampingnya dan lelaki yang ada di ujung kakinya beringsut gelisah. Sang Ratu mulai mengira ia tak terlalu jelas memberi pernyataan, saat dengan serentak tiba-tiba kedua pria di dekatnya itu menyambar umpan yang dilemparnya. “Siapa lelaki itu?”

Ratu Peri Aoibheal menyembunyikan senyuman kepuasan saat ia menguap kecil, sambil menikmati kecemburuan kedua pria di dekatnya itu. “Mereka menyebutnya Hawk.”



Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar