Minggu, 09 September 2018

The Duke and I, Prolog


Kelahiran Simon Arthur Henry Fitzranulph Basset, Earl Clyvedon, disambut dengan perayaan meriah. Lonceng gereja berdentang berjam-jam, sampanye mengalir deras di seluruh kastil raksasa yang akan menjadi rumah bagi bayi yang baru lahir itu, dan seluruh desa Clyvedon berhenti bekerja untuk berpartisipasi dalam pesta dan hari libur yang ditetapkan oleh ayah earl muda tersebut.

“Ini bukan bayi biasa,” ujar pembuat roti kepada pandai besi.


Karena Simon Arthur Henry Fitzranulph Basset takkan menghabiskan hidupnya sebagai Earl Clyvedon. Itu sekadar gelar kehorhatan. Simon Arthur Henry Fitzranulph Basset –bayi dengan nama yang terlalu panjang itu-  adalah pewaris salah satu gelar duke tertua dan terkaya di Inggris. Dan ayahnya, Duke of Hastings ke sembilan, sudah bertahun-tahun menunggu saat ini.

Sembari berdiri di depan ruang bersalin intrinya, menggendong bayi yang menjerit-jerit itu, dada sang duke nyaris meledak karena bangga. Karena usianya yang sudah lebih dari empat puluh tahun, ia melihat rekan-rekannya –para duke dan earl- semuanya mendapat pewaris demi pewaris. Beberapa harus menderita dengan beberapa putri terlebih dulu sebelum menghasilkan putra yang berharga, tapi pada akhirnya mereka semua memastikan keturunan mereka akan berlanjut, bahwa darah mereka akan diteruskan ke generasi elit Inggris berikutnya.

Tapi tidak demikian halnya dengan Duke of Hastings. Walaupun istrinya berhasil mengandung lima kali selama lima belas tahun perkawinan mereka, hanya dua kali kandungan wanita itu mampu mencapai usia sembilan bulan, dan kedua bayi tersebut lahir tak bernyawa. Setelah kehamilan ke lima, yang berakhir dengan keguguran dan perdarahan pada bulan ke lima, ahli bedah serta dokter memperingatkan sang duke dan duchess bahwa mereka sama sekali tidak boleh mencoba punya anak lagi. Nyawa sang duchess bisa melayang. Wanita itu terlalu rapuh, terlalu lemah dan mungkin terlalu tua, jelas mereka dengan halus. Sang duke harus bisa menerima kenyataan gelar duke ini akan terlepas dari tangan keluarga Basset.

Namun sang duchess, semoga Tuhan memberkatinya mengetahui perannya dalam hidup ini dan, setelah enam periode pemulihan, ia membuka pintu penghubung antara kamar tidur mereka, dan sang duke sekali lagi berupaya mendapatkan putra.

Lima bulan kemudian sang duchess memberitahu sang duke bahwa dirinya telah mengandung. Kegembiraan sang duke langsung dibayangi oleh tekad kuat bahwa tidak ada apa-apa, tidak ada satu pun hal yang akan menggagalkan kehamilan ini. Sang duchess dilarang turun dari ranjang begitu menyadari dia tidak mengalami haid bulanannya. Seorang dokter dipanggil untuk memeriksanya setiap hari, dan setengah jalan kehamilan itu, sang duke menemukan dokter paling ternama di London dan mengeluarkan sejumlah besar uang supaya pria itu bersedia meninggalkan tempat praktiknya dan untuk sementara tinggal di Clyvedon Castle.

Kali ini sang duke tidak mengambil risiko sedikit pun. Ia akan punya putra, dan gelar duke ini akan  tetap berada di tangan keluarga Basset.

Sang duchess mengalami kontraksi sebulan lebih cepat, dan bagian bawah pinggulnya diganjal dengan bantal. Gravitasi mungkin membantu bayinya tetap di dalam, jelas Dr. Stubbs. Sang duke berpikir alasan itu masuk akal dan, begitu sang dokter pulang pada malam hari, menambah satu bantal lagi di bawah tubuh istrinya, mengangkat pinggul wanita itu hingga dua puluh derajat. Sang duches terus berada dalam posisi itu selama sebulan.

Dan akhirnya saat yang dinanti-nanti pun tiba. Seluruh pelayan berdoa bagi sang duke, yang amat sangat menginginkan pewaris, sementara segelintir orang mendoakan sang duchess yang terlihat semakin kurus dan rapuh bahkan ketika perutnya semakin bulat dan besar. Mereka berusaha tidak terlalu berharap. Lagi pula, sang duchess sudah melahirkan dan menguburkan dua bayi. Dan bahkan jika dia berhasil melahirkan bayi dengan selamat, bayi itu bisa saja, yah, perempuan.

Ketika jeritan sang duchess semakin keras dan sering, sang duke menerobos masuk ke kamar istrinya, mengabaikan protes dokter, bidan, dan pelayan Her Grace. Situasinya mengerikan dan banyak darah, tapi sang duke bertekad ada di sana ketika mereka memastikan jenis kelamin bayinya.

Kepala si bayi muncul, kemudian bahunya. Semua orang mencondongkan tubuh ke depan untuk mengamati manakala sang duchess mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong, kemudian...

Kemudian sang duke tahu Tuhan itu ada, dan Dia masih memberkati keluarga Basset. Ia memberi satu menit kepada sang bidan untuk memandikan bayi itu, lalu menggendong bocah kecil itu dan berderat ke aula utama untuk memamerkan putranya.

“Aku punya putra!” serunya keras-keras. “Putra kecil yang sempurna!”

Sementara para pelayan bersorak dan menangis lega, sang duke menunduk memandang earl kecil-mungil itu dan berkata, “Kau sempurna. Kau seorang Basset. Kau milikku.”

Sang duke ingin mambawa bayi itu keluar untuk membuktikan kepada semua orang bahwa akhirnya dia mendapatkan anak lelaki yang sehat, tapi udara pada awal April itu agak dingin, jadi dia mengizinkan sang bidan membawa bayi itu ke ibunya. Sang duke menunggangi salah satu kuda jantannya yang amat berharga lalu berderap pergi untuk merayakannya, menyerukan nasib baiknya kepada semua orang yang mau mendengarnya.

Sementara itu sang duchess, yang terus mengalami perdarahan sejak melahirkan, tidak sadarkan diri, kemudian meninggal.

Sang duke berduka atas kepergian istrinya. Ia sungguh-sungguh berduka. Ia memang tidak mencintai istrinya, dan wanita itu tidak mencintainya, tapi mereka menjadi teman yang agak dekat. Sang duke tidak mengharapkan apa pun dari pernikahan selain putra dan pewaris, dan dalam hal itu istrinya telah membuktikan diri sebagai pasangan yang patut dicontoh. Ia menyuruh bunga segar diletakkan di dasar monumen pemakaman wanita itu setiap minggu, tanpa memedulikan musim, sementara potret istrinya dipindah dari ruang duduk ke aula, diposisi yang sangat terhormat di atas tangga.

Kemudian sang duke mulai mengurus pendidikan putranya.

Tentu saja tidak banyak yang bisa ia lakukan pada tahun pertama. Bayi itu terlalu muda untuk belajar tentang pengelolaan lahan serta tanggung jawab, jadi sang duke menyerahkan perawatan Simon ke tangan pengasuhnya dan pergi ke London, tempat hidupnya terus berlanjut seperti sebelum dirinya menjadi ayah, kecuali sekarang ia memaksa semua orang, bahka sang raja untuk melihat miniatur lukisan putranya yang dibuat tidak lama setelah kelahirannya.

Sang duke mengunjungi Clyvedon dari waktu ke waktu, kemudian kembali untuk menetap di sana pada ulang tahun kedua Simon, siap mengambil alih kendali pendidikan bocah laki-laki itu. Ia membeli kuda poni, memilih pistol kecil yang akan digunakan dalam perburuan rubah kelak, dan menyewa tutor untuk semua bidang pengetahuan yang dikenal manusia.

“Dia terlalu kecil untuk semua itu!” seru Nurse Hopkins.

“Omong kosong,” bantah Hastings sok tahu. “Jelas aku tidak mengharapkan dia menguasai semua ini dalam waktu singkat, tapi tidak pernah ada yang namanya terlalu dini dalam memulai pendidikan seorang duke.”

“Dia bukan duke,” gumam Nurse itu.

“Dia akan menjadi duke.” Hastings berbalik memunggungi wanita itu dan berjongkok di samping putranya yang asyik membangun istana asimetris dengan sejumlah balok kayu di lantai. Sudah beberapa bulan sang duke tidak berkunjung ke Clayvedon, dan ia senang melihat perkembangan Simon. Bocah itu gagah dan sehat, dengan rambut coklat mengilap dan mata biru jernih.

“Apa yang sedang kau buat, Nak?”

Simon tersenyum dan menunjuk.

Hastings mendongak ke arah Nurse Hopkins. “Memangnya dia tidak berbicara?”

Wanita itu menggeleng. “Belum, Your Grace.”

Sang duke mengerutkan dahi. “dia kan sudah dua tahun. Bukankah seharusnya dia sudah mulai berbicara?”

“Beberapa anak butuh waktu lebih lama dibanding lainnya, Your Grace. Sudah jelas dia bocah kecil yang cerdas.”

“Tentu saja dia cerdas. Dia kan keturunan Basset.”

Nurse mengangguk. Ia selalu mengangguk ketika sang duke bernicara tentang superioritas darah Basset. “Mungkin dia Cuma tidak ingin mengatakan apa-apa,” usulnya.

Sang duke terlihat tidak yakin, tapi kemudian menyerahkan tentara mainan kepada Simon, menepuk kepala bocah itu, lalu meinggalkan rumah untuk melatih kuda betina yang baru dibelinya dari Lord Worth.

Namun dua tahun kemudian dia lebih pesimis. “Kenapa dia tidak berbicara?” tanyanya lantang.

“Saya tidak tahu,” jawab Nurse, meremas-remas tangannya.

“Apa yang kau lakukan padanya?”

“Saya tidak melakukan apa-apa!”

“Jika kau melakukan tugasmu dengan benar, dia pasti sudah berbicara,” sang duke mengacungkan jarinya dengan geram ke arah Simon.

Simon yang sedang berlatih menulis di meja kecilnya mengamati perbincangan mereka dengan penuh perhatian.

“Brengsek, dia sudah empat tahun,” seru sang duke. “Seharusnya dia sudah berbicara.”

“Dia bisa menulis,” ujar Nurse cepat-cepat. “Aku sudah membesarkan lima anak, dan tak satu pun yang bisa menulis secepat Master simon.”

“Apa gunanya bisa menulis kalau dia tidak bisa bicara.” Hastings berbalik menghadap Simon, amarah membara di matanya. “Sialan, bicaralah padaku!”

Simon sedikit meringkuk, bibir bawahnya bergetar.

“Your Grace!” seru Nurse. “Anda menakut-nakuti anak itu.”

Hastings dengan cepat berbalik menghadap wanita tersebut. “Mungkin dia perlu ditakut-takuti. Mungkin dia membutuhkan hukuman tegas. Mungkin pukulan kuat di bokong akan membantunya berbicara.”

Sang duke meraih sisir sikat bergagang perak yang digunakan Nurse untuk menyisir rambut Simon dan menghampiri putranya. “Aku akan membuatmu berbicara, kau bocah kecil dungu!”

“Tidak!”

Nurse terkesiap. Sang duke menjatuhkan sisir sikat itu. Itu pertama kalinya mereka mendengar suara Simon.

“Apa kau bilang?” bisik sang duke, air matanya merebak.

Simon mengepalkan tangan di sisinya, dagu kecilnya terangkat ketika ia berkata, “Jangan p-p-p-p-p-p?”

Wajah sang duke berubah pucat pasi. “Apa yang dikatakannya?”

Simon berusaha mengucapkannya lagi. “J-j-j-j-j-j?”

“Demi Tuhan,” bisik sang duke. “Dia idiot.”

“Dia bukan anak idiot!” seru Nurse, lalu memeluk bocah itu.

“J-j-j-j-j-jangan p-p-p-p-p-pukul,” Simon menarik napas dalam-dalam, “aku.”

Hastings mengeyakkan tubuh ke bangku jendela, menopang kepalanya dengan tangan. “Apa yang kulakukan hingga mendapatkan kemalangan semacam ini? Apa yang telah kulakukan...”

“Seharusnya Anda memuji anak ini!” tegur Nurse Hopkins. “Sudah empat tahun Anda menunggu ia berbicara, dan-”

“Dan dia ternyata idiot!” raung Hastings. “Anak keparat, tidak tahu diuntung, dan idiot!”

Simon mulai menangis.

“Hastings akan diwariskan kepada orang idiot,” erang sang duke. “Bertahun-tahun aku berdoa mengharapkan pewaris, dan sekarang semuanya hancur. Seharusnya aku menyerahkan gelar ini kepada sepupuku.” Ia berbalik memandang putranya yang terisak dan mengusap matanya, berusaha terlihat kuat di depan ayahnya. “Aku tidak mampu memandangnya,” ucapnya terengah. “aku bahka tidak sanggup memandangnya.”

Dan setelah itu sang duke berderap keluar dari kamar.

Nurse Hopkins memeluk bocah itu erat-erat. “Kau bukan anak idiot,” bisiknya tegas. “Kau bocah kecil paling pintar yang kukenal. Dan kalau ada orang yang bisa belajar berbicara dengan normal, aku yakin kaulah orangnya.”

Simon merapat ke dalam pelukan hangat wanita itu dan terisak.

“Kita akan membuktikannya,” sumpah Nurse. “Dia akan menjilat kembali ucapannya bahkan jika itu hal terakhir yang kulakukan.”

Nurse Hopkins terbukti memegang teguh janjinya. Sementara duke of Hastings pindah ke London dan berusaha berpura-pura tidak mempunyai anak lelaki, Nurse Hopkins menghabiskan setiap menit bersama Simon, melatih pengucapan kata dan suku kata, memuji bocah itu setinggi langit ketika Simon berhasil melakukan sesuatu dengan benar, dan menyemangatinya manakala Simon gagal.

Kemajuannya lambat, tapi pengucapan Simon membaik. Pada usia enam tahun, “j-j-j-j-j-j-j-jangan” sudah sudah berubah menjadi “j-jangan,” dan pada usia delapan tahun, Simon berhasil mengucapkan satu kalimat penuh tanpa tergagap sekali pun. Ia masih bermasalah ketika marah, dan Nurse harus sering mengingatkan bocah itu bahwa ia perlu berssikap tenang dan kalem jika ingin mengucapkan kata-kata tersebut tanpa gagap. Tapi Simon penuh tekad, dan cerdas, dan mungkin yang paling penting, dia sangat keras kepala. Ia belajar menarik napas sebelum mengucapkan suatu kalimat, dan memikirkan kata-katanya sebelum berusaha mengucapkannya. Ia mempelajari rasa di mulutnya ketika bisa berbicara dengan benar, dan mencoba menganalisis apa yang salah ketika ia tidak bisa melakukannya dengan benar. Dan akhirnya, pada usia sebelas, ia menatap Nurse Hopkins, terdiam sejenak untuk memutuskan pikirannya, dan berkata, “Kurasa sudah waktunya aku menemui ayahku.”

Nurse mendongak dengan cepat. Sang duke tidak sekali pun pernah menengok bocah itu selama tujuh tahun. Dan beliau tidak pernah sekali pun membalas surat yang dikirim simon kepadanya. Padahal simon nyaris mengirim seratus pucuk surat. “Kau yakin?” tanyanya. Simon mengangguk.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan meminta mereka menyiapkan kereta kuda. Kita akan pergi ke London besok pagi.”

Perjalanan itu memakan waktu satu setengah hari, dan hari sudah sore ketika kereta kuda tersebut berhenti di depan Basset House. Simon terkesima melihat pemandangan jalan London yang sibuk sementara Nurse Hopkins menuntunnya menaiki tangga. Tak seorang pun di antara mereka yang pernah mengunjungi Basset House, jadi Nurse tidak tahu apa yang harus dilakukannya ketika dia tiba di pintu depan selain mengetuknya. Pintu terbuka dalam beberapa detik, dan mereka mendapati kepala pelayan yang lumayan berwibawa memandang mereka dengan agak menghina.

“Pengiriman dilakukan di pintu belakang,” tutur pria itu, mengulurkan tangan untuk menutup pintu.

“Tunggu dulu!” cegah Nurse cepat-cepat, menyelipkan kaki ke pintu untuk menahannya. “Kami bukan pelayan.”

Kepala pelayan itu memandang pakaian Nurse dengan tatapan menghina.

“Yah, aku memang pelayan, tapi dia bukan.” Nurse menggamit lengan Simon dan menyentaknya ke depan. “Ini Earl Clyvedon, dan sebaiknya kau memperlakukannya dengan hormat.”

Mulut kepala pelayan itu benar-benar menganga, dan dia berkedip beberapa kali sebelum berkata, “Sepanjang pengetahuan saya, Earl of Clyvedon sudah meninggal.”

“Apa?” pekik Nurse melengking.

“Aku sama sekali belum meninggal!” seru Simon, dengan perasaan tersinggung layaknya anak sebelas tahun.

Kepala pelayan itu mencermati Simon, langsung mengenali ciri khas keluarga Basset dalam sosoknya, lalu mempersilahkan mereka masuk.

“Kenapa kau berpikir aku sudah m-mati?” tanya Simon, mengumpat dalam hati karena kesalahan itu, meski hal itu tidak mengejutkannya. Ia hampir selalu tergagap ketika marah.

“Saya tidak berhak menjelaskannya,” jawab si kepala pelayan.

“Tentu saja kau harus,” sembur Nurse. “Kau tidak bisa mengatakan hal semacam itu kepada anak seumurnya tanpa memberi penjelasan.”

Si kepala pelayan terdiam sejenak, kemudian akhirnya berkata, “His Grace sudah bertahun-tahun tidak membicarakan Anda. Terakhir saya dengar, beliau berkata beliau tidak punya putra. Beliau terlihat lumayan bermuram durja ketika mengucapkannya, jadi tidak ada yang mempertanyakannya lebih lanjut. Kami, maksud saya para pelayan, berasumsi Anda telah berpulang ke alam baka.”

Simon merasakan otot rahangnya berkedut, merasakan lehernya menelan ludah dengan susah payah.

“Bukankah kalau begitu beliau akan berkabung?” desak Nurse. “Tidakkah kau memikirkan hal itu? Bagaimana kau bisa berasumsi putranya sudah meninggal jika ayahnya tidak berkabung?”

Si kepala pelayan mengangkat bahu. “His Grace sering sekali memakai pakaian hitam. Berkabung takkan mengubah pakaiannya.”

“Ini keterlaluan,” ujar Nurse Hopkins. “Aku menuntut kau memanggil His Grace sekarang juga.”

Simon tidak berkata apa-apa. Ia berusaha sekuat tenaga mengendalikan emosinya. Harus. Tidak mungkin ia bisa berbicara dengan ayahnya sementara darahnya masih bergolak.

Si kepala pelayan mengangguk. “Beliau ada di atas. Saya akan langsung memberitahukan kedatangan kalian.”

Nurse mulai mondar-mandir dengan geram, menggerutu pelan dan mengaitkan His Grace dengan setiap kata kotor yang ada dalam perbendaharaan katanya yang ternyata teramat banyak. Simon tetap berada di tengah ruangan, lengannya lurus dan kaku karena marah di sisinya, dan menarik napas dalam-dalam.

Kau bisa melakukannya, teriaknya dalam hati. Kau bisa melakukannya.

Nurse berbalik ke arah Simon, melihat bocah itu berusaha mengendalikan emosinya, dan langsung terkesiap. “Ya, begitu,” ucapnya cepat-cepat, berlutut dan meraih tangan bocah itu dengan kedua tangannya. Ia lebih tahu dibanding siapa pun apa yang terjadi jika Simon berusaha menghadapi ayahnya sebelum dia bisa menenangkan diri. “Tarik napas dalam-dalam. Dan jangan lupa memikirkan kata-katamu sebelum berbicara. Bisakah kau mengendalikannya?”

“Kulihat kau masih memanjakan bocah itu,” terdengar suara angkuh dari ambang pintu. Nurse Hopkins menegakkan tubuh dan perlahan-lahan berbalik. Ia berusaha memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Ia berusaha memikirkan sesuatu yang bisa memperbaiki situasi buruk ini. Tapi ketika ia memandang sang duke, melihat Simon di dalam diri pria itu, amarahnya kembali membara. Sang duke mungkin tampak mirip putranya, tapi pria itu jelas bukan ayah bagi bocah tersebut.

“Sir, Anda menjijikkan,” semburnya.

“Dan kau dipecat, Madam.” Nurse terhuyung ke belakang. “Tidak ada yang berbicara kepada Duke of Hastings seperti itu,” raung sang duke. “Tidak seorang pun!”

“Bahkan sang raja sekalipun?” ejek Simon.

Hastings berbalik badan dengan cepat, bahkan tidak menyadari putranya barusan berbicara dengan jelas. “Kau,” ucapnya dengan suara rendah.

Simon mengangguk kaku. Ia berhasil mengucapkan satu kalimat pendek, dan tidak ingin mengambil resiko dengan kalimat yang lebih panjang. Tidak ketika dirinya sangat emosi seperti ini. Biasanya ia bisa tidak gagap sampai berhari-hari, tapi sekarang... Cara ayahnya memandangnya membuatnya merasa seperti anak balita. Balita tolol. Dan mendadak lidahnya terasa kikuk dan kebas.

Sang duke tersenyum kejam. “Apa yang ingin kau katakan, Nak? Hah? Apa yang mau kau katakan?”

“Tidak apa-apa, Simon,” bisik Nurse Hopkins, melirik geram ke arah sang duke. “Jangan biarkan dia membuatmu marah. Kau bisa melakukannya, Manis.”

Dan entah bagaimana nada menghibur Nurse Hopkins malah memperparah situasi. Simon datang kemari untuk membuktikan dirinya pada ayahnya, tapi pengasuhnya malah memperlakukannya seperti bayi.

“Kenapa,” ledek sang duke. “Lidahmu kelu?”

Otot Simon mengejang begitu keras hingga dirinya mulai bergetar.

Ayah dan anak menatap satu sama lain yang terasa begitu lama sampai akhirnya sang duke mengumpat dan berderap ke pintu. “Kau kegagalan terbesarku,” desisnya pada putranya. “Aku tidak tahu apa yang aku lakukan hingga mendapatkanmu, tapi semoga Tuhan membantuku jika aku pernah melihatmu lagi.”

“Your Grace!” seru Nurse Hopkins. “Bukan begitu caranya berbicara pada anak kecil.”

“Singkirkan dia dari hadapanku,” semburnya kepada wanita itu. “Kau bisa mempertahankan pekerjaanmu asalkan kau menjauhkan dia dariku.”

“Tunggu!”

Sang duke berbalik perlahan mendengar suara Simon. “Kau mengatakan sesuatu?” tanyanya malas.

Simon menarik napas dalam-dalam melalui hidungnya tiga kali, bibirnya masih terkatup dengan geram. Ia memaksa rahangnya supaya lebih rileks dan menggesekkan lidahnya ke langit-langit mulut, berusaha mengingatkan diri bagaimana rasanya berbicara dengan benar. Akhirnya, tepat ketika sang duke hendak meninggalkannya lagi, ia membuka mulut dan berkata, “Aku putramu.”

Simon mendengar Nurse Hopkins mendesah lega, dan sesuatu yang tak pernah dilihatnya memancar di mata ayahnya. Tidak terlalu kentara, tapi ada sesuatu di sana, bersembunyi jauh di dalam; sesuatu yang memunculkan setitik harapan di hati Simon.

“Aku putramu,” ucapnya lagi kali ini sedikit lebih keras, “dan aku tidak m-”

Mendadak tenggorokannya tercekat. Dan Simon panik.

Kau bisa melakukannya. Kau bisa melakukannya.

Tapi tenggorokannya sudah tercekik, dan lidahnya terasa kebas, dan mata ayahnya mulai menyipit....

“Aku tidak m-m-m-”

“Pulang sana,” ujar sang duke pelan. “Tidak ada tempat bagimu di sini.”

Simon merasakan penolakan sang duke hingga ke dalam tulangnya, merasakan rasa sakit yang aneh memasuki tubuhnya dan menjalar hingga melingkupi hatinya. Dan, manakala kebencian membanjiri dirinya dan memancar dari matanya, ia bersumpah dengan sepenuh hati.

Jika aku tidak bisa menjadi putra yang diinginkan ayahku, dengan Tuhan sebagai saksiku, aku akan menjadi hal yang sebaliknya...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar