Kelahiran
Simon Arthur Henry Fitzranulph Basset, Earl Clyvedon, disambut dengan perayaan
meriah. Lonceng gereja berdentang berjam-jam, sampanye mengalir deras di
seluruh kastil raksasa yang akan menjadi rumah bagi bayi yang baru lahir itu,
dan seluruh desa Clyvedon berhenti bekerja untuk berpartisipasi dalam pesta dan
hari libur yang ditetapkan oleh ayah earl
muda tersebut.
“Ini
bukan bayi biasa,” ujar pembuat roti kepada pandai besi.
Karena
Simon Arthur Henry Fitzranulph Basset takkan menghabiskan hidupnya sebagai Earl
Clyvedon. Itu sekadar gelar kehorhatan. Simon Arthur Henry Fitzranulph Basset –bayi
dengan nama yang terlalu panjang itu-
adalah pewaris salah satu gelar duke
tertua dan terkaya di Inggris. Dan ayahnya, Duke of Hastings ke sembilan, sudah
bertahun-tahun menunggu saat ini.
Sembari
berdiri di depan ruang bersalin intrinya, menggendong bayi yang menjerit-jerit
itu, dada sang duke nyaris meledak
karena bangga. Karena usianya yang sudah lebih dari empat puluh tahun, ia
melihat rekan-rekannya –para duke dan
earl- semuanya mendapat pewaris demi
pewaris. Beberapa harus menderita dengan beberapa putri terlebih dulu sebelum
menghasilkan putra yang berharga, tapi pada akhirnya mereka semua memastikan
keturunan mereka akan berlanjut, bahwa darah mereka akan diteruskan ke generasi
elit Inggris berikutnya.
Tapi
tidak demikian halnya dengan Duke of Hastings. Walaupun istrinya berhasil
mengandung lima kali selama lima belas tahun perkawinan mereka, hanya dua kali
kandungan wanita itu mampu mencapai usia sembilan bulan, dan kedua bayi
tersebut lahir tak bernyawa. Setelah kehamilan ke lima, yang berakhir dengan
keguguran dan perdarahan pada bulan ke lima, ahli bedah serta dokter
memperingatkan sang duke dan duchess bahwa mereka sama sekali tidak boleh
mencoba punya anak lagi. Nyawa sang
duchess bisa melayang. Wanita itu terlalu rapuh, terlalu lemah dan mungkin
terlalu tua, jelas mereka dengan halus. Sang duke harus bisa menerima kenyataan
gelar duke ini akan terlepas dari tangan
keluarga Basset.
Namun
sang duchess, semoga Tuhan memberkatinya mengetahui perannya dalam hidup ini
dan, setelah enam periode pemulihan, ia membuka pintu penghubung antara kamar
tidur mereka, dan sang duke sekali lagi berupaya mendapatkan putra.
Lima
bulan kemudian sang duchess memberitahu sang duke bahwa dirinya telah
mengandung. Kegembiraan sang duke langsung dibayangi oleh tekad kuat bahwa
tidak ada apa-apa, tidak ada satu pun hal yang akan menggagalkan kehamilan ini.
Sang duchess dilarang turun dari ranjang begitu menyadari dia tidak mengalami
haid bulanannya. Seorang dokter dipanggil untuk memeriksanya setiap hari, dan
setengah jalan kehamilan itu, sang duke menemukan dokter paling ternama di
London dan mengeluarkan sejumlah besar uang supaya pria itu bersedia
meninggalkan tempat praktiknya dan untuk sementara tinggal di Clyvedon Castle.
Kali
ini sang duke tidak mengambil risiko sedikit pun. Ia akan punya putra, dan gelar duke
ini akan tetap berada di tangan keluarga Basset.
Sang
duchess mengalami kontraksi sebulan lebih cepat, dan bagian bawah pinggulnya
diganjal dengan bantal. Gravitasi mungkin membantu bayinya tetap di dalam, jelas
Dr. Stubbs. Sang duke berpikir alasan itu masuk akal dan, begitu sang dokter
pulang pada malam hari, menambah satu bantal lagi di bawah tubuh istrinya,
mengangkat pinggul wanita itu hingga dua puluh derajat. Sang duches terus
berada dalam posisi itu selama sebulan.
Dan
akhirnya saat yang dinanti-nanti pun tiba. Seluruh pelayan berdoa bagi sang
duke, yang amat sangat menginginkan pewaris, sementara segelintir orang
mendoakan sang duchess yang terlihat semakin kurus dan rapuh bahkan ketika
perutnya semakin bulat dan besar. Mereka berusaha tidak terlalu berharap. Lagi
pula, sang duchess sudah melahirkan dan menguburkan dua bayi. Dan bahkan jika
dia berhasil melahirkan bayi dengan selamat, bayi itu bisa saja, yah,
perempuan.
Ketika
jeritan sang duchess semakin keras dan sering, sang duke menerobos masuk ke
kamar istrinya, mengabaikan protes dokter, bidan, dan pelayan Her Grace.
Situasinya mengerikan dan banyak darah, tapi sang duke bertekad ada di sana
ketika mereka memastikan jenis kelamin bayinya.
Kepala
si bayi muncul, kemudian bahunya. Semua orang mencondongkan tubuh ke depan
untuk mengamati manakala sang duchess mengerahkan seluruh tenaganya untuk
mendorong, kemudian...
Kemudian
sang duke tahu Tuhan itu ada, dan Dia masih memberkati keluarga Basset. Ia
memberi satu menit kepada sang bidan untuk memandikan bayi itu, lalu
menggendong bocah kecil itu dan berderat ke aula utama untuk memamerkan
putranya.
“Aku
punya putra!” serunya keras-keras. “Putra kecil yang sempurna!”
Sementara
para pelayan bersorak dan menangis lega, sang duke menunduk memandang earl
kecil-mungil itu dan berkata, “Kau sempurna. Kau seorang Basset. Kau milikku.”
Sang
duke ingin mambawa bayi itu keluar untuk membuktikan kepada semua orang bahwa
akhirnya dia mendapatkan anak lelaki yang sehat, tapi udara pada awal April itu
agak dingin, jadi dia mengizinkan sang bidan membawa bayi itu ke ibunya. Sang
duke menunggangi salah satu kuda jantannya yang amat berharga lalu berderap
pergi untuk merayakannya, menyerukan nasib baiknya kepada semua orang yang mau
mendengarnya.
Sementara
itu sang duchess, yang terus mengalami perdarahan sejak melahirkan, tidak
sadarkan diri, kemudian meninggal.
Sang
duke berduka atas kepergian istrinya. Ia sungguh-sungguh berduka. Ia memang
tidak mencintai istrinya, dan wanita itu tidak mencintainya, tapi mereka
menjadi teman yang agak dekat. Sang duke tidak mengharapkan apa pun dari
pernikahan selain putra dan pewaris, dan dalam hal itu istrinya telah
membuktikan diri sebagai pasangan yang patut dicontoh. Ia menyuruh bunga segar
diletakkan di dasar monumen pemakaman wanita itu setiap minggu, tanpa
memedulikan musim, sementara potret istrinya dipindah dari ruang duduk ke aula,
diposisi yang sangat terhormat di atas tangga.
Kemudian
sang duke mulai mengurus pendidikan putranya.
Tentu
saja tidak banyak yang bisa ia lakukan pada tahun pertama. Bayi itu terlalu
muda untuk belajar tentang pengelolaan lahan serta tanggung jawab, jadi sang
duke menyerahkan perawatan Simon ke tangan pengasuhnya dan pergi ke London,
tempat hidupnya terus berlanjut seperti sebelum dirinya menjadi ayah, kecuali
sekarang ia memaksa semua orang, bahka sang raja untuk melihat miniatur lukisan
putranya yang dibuat tidak lama setelah kelahirannya.
Sang
duke mengunjungi Clyvedon dari waktu ke waktu, kemudian kembali untuk menetap
di sana pada ulang tahun kedua Simon, siap mengambil alih kendali pendidikan
bocah laki-laki itu. Ia membeli kuda poni, memilih pistol kecil yang akan
digunakan dalam perburuan rubah kelak, dan menyewa tutor untuk semua bidang
pengetahuan yang dikenal manusia.
“Dia
terlalu kecil untuk semua itu!” seru Nurse Hopkins.
“Omong
kosong,” bantah Hastings sok tahu. “Jelas aku tidak mengharapkan dia menguasai
semua ini dalam waktu singkat, tapi tidak pernah ada yang namanya terlalu dini
dalam memulai pendidikan seorang duke.”
“Dia
bukan duke,” gumam Nurse itu.
“Dia
akan menjadi duke.” Hastings berbalik
memunggungi wanita itu dan berjongkok di samping putranya yang asyik membangun
istana asimetris dengan sejumlah balok kayu di lantai. Sudah beberapa bulan
sang duke tidak berkunjung ke Clayvedon, dan ia senang melihat perkembangan
Simon. Bocah itu gagah dan sehat, dengan rambut coklat mengilap dan mata biru
jernih.
“Apa
yang sedang kau buat, Nak?”
Simon
tersenyum dan menunjuk.
Hastings
mendongak ke arah Nurse Hopkins. “Memangnya dia tidak berbicara?”
Wanita
itu menggeleng. “Belum, Your Grace.”
Sang
duke mengerutkan dahi. “dia kan sudah dua tahun. Bukankah seharusnya dia sudah
mulai berbicara?”
“Beberapa
anak butuh waktu lebih lama dibanding lainnya, Your Grace. Sudah jelas dia
bocah kecil yang cerdas.”
“Tentu
saja dia cerdas. Dia kan keturunan Basset.”
Nurse
mengangguk. Ia selalu mengangguk ketika sang duke bernicara tentang superioritas
darah Basset. “Mungkin dia Cuma tidak ingin mengatakan apa-apa,” usulnya.
Sang
duke terlihat tidak yakin, tapi kemudian menyerahkan tentara mainan kepada
Simon, menepuk kepala bocah itu, lalu meinggalkan rumah untuk melatih kuda
betina yang baru dibelinya dari Lord Worth.
Namun
dua tahun kemudian dia lebih pesimis. “Kenapa
dia tidak berbicara?” tanyanya lantang.
“Saya
tidak tahu,” jawab Nurse, meremas-remas tangannya.
“Apa
yang kau lakukan padanya?”
“Saya
tidak melakukan apa-apa!”
“Jika
kau melakukan tugasmu dengan benar, dia
pasti sudah berbicara,” sang duke mengacungkan jarinya dengan geram ke arah
Simon.
Simon
yang sedang berlatih menulis di meja kecilnya mengamati perbincangan mereka
dengan penuh perhatian.
“Brengsek,
dia sudah empat tahun,” seru sang duke. “Seharusnya dia sudah berbicara.”
“Dia
bisa menulis,” ujar Nurse cepat-cepat. “Aku sudah membesarkan lima anak, dan
tak satu pun yang bisa menulis secepat Master simon.”
“Apa
gunanya bisa menulis kalau dia tidak bisa bicara.” Hastings berbalik menghadap
Simon, amarah membara di matanya. “Sialan, bicaralah padaku!”
Simon
sedikit meringkuk, bibir bawahnya bergetar.
“Your
Grace!” seru Nurse. “Anda menakut-nakuti anak itu.”
Hastings
dengan cepat berbalik menghadap wanita tersebut. “Mungkin dia perlu
ditakut-takuti. Mungkin dia membutuhkan hukuman tegas. Mungkin pukulan kuat di
bokong akan membantunya berbicara.”
Sang
duke meraih sisir sikat bergagang perak yang digunakan Nurse untuk menyisir
rambut Simon dan menghampiri putranya. “Aku akan membuatmu berbicara, kau bocah
kecil dungu!”
“Tidak!”
Nurse
terkesiap. Sang duke menjatuhkan sisir sikat itu. Itu pertama kalinya mereka
mendengar suara Simon.
“Apa
kau bilang?” bisik sang duke, air matanya merebak.
Simon
mengepalkan tangan di sisinya, dagu kecilnya terangkat ketika ia berkata, “Jangan
p-p-p-p-p-p?”
Wajah
sang duke berubah pucat pasi. “Apa yang dikatakannya?”
Simon
berusaha mengucapkannya lagi. “J-j-j-j-j-j?”
“Demi
Tuhan,” bisik sang duke. “Dia idiot.”
“Dia
bukan anak idiot!” seru Nurse, lalu memeluk bocah itu.
“J-j-j-j-j-jangan
p-p-p-p-p-pukul,” Simon menarik napas dalam-dalam, “aku.”
Hastings
mengeyakkan tubuh ke bangku jendela, menopang kepalanya dengan tangan. “Apa
yang kulakukan hingga mendapatkan kemalangan semacam ini? Apa yang telah
kulakukan...”
“Seharusnya
Anda memuji anak ini!” tegur Nurse Hopkins. “Sudah empat tahun Anda menunggu ia
berbicara, dan-”
“Dan
dia ternyata idiot!” raung Hastings. “Anak keparat, tidak tahu diuntung, dan
idiot!”
Simon
mulai menangis.
“Hastings
akan diwariskan kepada orang idiot,” erang sang duke. “Bertahun-tahun aku
berdoa mengharapkan pewaris, dan sekarang semuanya hancur. Seharusnya aku
menyerahkan gelar ini kepada sepupuku.” Ia berbalik memandang putranya yang
terisak dan mengusap matanya, berusaha terlihat kuat di depan ayahnya. “Aku
tidak mampu memandangnya,” ucapnya terengah. “aku bahka tidak sanggup
memandangnya.”
Dan
setelah itu sang duke berderap keluar dari kamar.
Nurse
Hopkins memeluk bocah itu erat-erat. “Kau bukan anak idiot,” bisiknya tegas. “Kau
bocah kecil paling pintar yang kukenal. Dan kalau ada orang yang bisa belajar
berbicara dengan normal, aku yakin kaulah orangnya.”
Simon
merapat ke dalam pelukan hangat wanita itu dan terisak.
“Kita
akan membuktikannya,” sumpah Nurse. “Dia akan menjilat kembali ucapannya bahkan
jika itu hal terakhir yang kulakukan.”
Nurse
Hopkins terbukti memegang teguh janjinya. Sementara duke of Hastings pindah ke
London dan berusaha berpura-pura tidak mempunyai anak lelaki, Nurse Hopkins
menghabiskan setiap menit bersama Simon, melatih pengucapan kata dan suku kata,
memuji bocah itu setinggi langit ketika Simon berhasil melakukan sesuatu dengan
benar, dan menyemangatinya manakala Simon gagal.
Kemajuannya
lambat, tapi pengucapan Simon membaik. Pada usia enam tahun, “j-j-j-j-j-j-j-jangan”
sudah sudah berubah menjadi “j-jangan,” dan pada usia delapan tahun, Simon
berhasil mengucapkan satu kalimat penuh tanpa tergagap sekali pun. Ia masih
bermasalah ketika marah, dan Nurse harus sering mengingatkan bocah itu bahwa ia
perlu berssikap tenang dan kalem jika ingin mengucapkan kata-kata tersebut
tanpa gagap. Tapi Simon penuh tekad, dan cerdas, dan mungkin yang paling
penting, dia sangat keras kepala. Ia belajar menarik napas sebelum mengucapkan
suatu kalimat, dan memikirkan kata-katanya sebelum berusaha mengucapkannya. Ia
mempelajari rasa di mulutnya ketika bisa berbicara dengan benar, dan mencoba
menganalisis apa yang salah ketika ia tidak bisa melakukannya dengan benar. Dan
akhirnya, pada usia sebelas, ia menatap Nurse Hopkins, terdiam sejenak untuk
memutuskan pikirannya, dan berkata, “Kurasa sudah waktunya aku menemui ayahku.”
Nurse
mendongak dengan cepat. Sang duke tidak sekali pun pernah menengok bocah itu
selama tujuh tahun. Dan beliau tidak pernah sekali pun membalas surat yang
dikirim simon kepadanya. Padahal simon nyaris mengirim seratus pucuk surat. “Kau
yakin?” tanyanya. Simon mengangguk.
“Baiklah
kalau begitu. Aku akan meminta mereka menyiapkan kereta kuda. Kita akan pergi
ke London besok pagi.”
Perjalanan
itu memakan waktu satu setengah hari, dan hari sudah sore ketika kereta kuda
tersebut berhenti di depan Basset House. Simon terkesima melihat pemandangan
jalan London yang sibuk sementara Nurse Hopkins menuntunnya menaiki tangga. Tak
seorang pun di antara mereka yang pernah mengunjungi Basset House, jadi Nurse
tidak tahu apa yang harus dilakukannya ketika dia tiba di pintu depan selain
mengetuknya. Pintu terbuka dalam beberapa detik, dan mereka mendapati kepala
pelayan yang lumayan berwibawa memandang mereka dengan agak menghina.
“Pengiriman
dilakukan di pintu belakang,” tutur pria itu, mengulurkan tangan untuk menutup
pintu.
“Tunggu
dulu!” cegah Nurse cepat-cepat, menyelipkan kaki ke pintu untuk menahannya. “Kami
bukan pelayan.”
Kepala
pelayan itu memandang pakaian Nurse dengan tatapan menghina.
“Yah,
aku memang pelayan, tapi dia bukan.” Nurse menggamit lengan Simon dan menyentaknya
ke depan. “Ini Earl Clyvedon, dan sebaiknya kau memperlakukannya dengan hormat.”
Mulut
kepala pelayan itu benar-benar menganga, dan dia berkedip beberapa kali sebelum
berkata, “Sepanjang pengetahuan saya, Earl of Clyvedon sudah meninggal.”
“Apa?”
pekik Nurse melengking.
“Aku
sama sekali belum meninggal!” seru Simon, dengan perasaan tersinggung layaknya
anak sebelas tahun.
Kepala
pelayan itu mencermati Simon, langsung mengenali ciri khas keluarga Basset
dalam sosoknya, lalu mempersilahkan mereka masuk.
“Kenapa
kau berpikir aku sudah m-mati?” tanya Simon, mengumpat dalam hati karena
kesalahan itu, meski hal itu tidak mengejutkannya. Ia hampir selalu tergagap
ketika marah.
“Saya
tidak berhak menjelaskannya,” jawab si kepala pelayan.
“Tentu
saja kau harus,” sembur Nurse. “Kau tidak bisa mengatakan hal semacam itu
kepada anak seumurnya tanpa memberi penjelasan.”
Si
kepala pelayan terdiam sejenak, kemudian akhirnya berkata, “His Grace sudah
bertahun-tahun tidak membicarakan Anda. Terakhir saya dengar, beliau berkata
beliau tidak punya putra. Beliau terlihat lumayan bermuram durja ketika
mengucapkannya, jadi tidak ada yang mempertanyakannya lebih lanjut. Kami,
maksud saya para pelayan, berasumsi Anda telah berpulang ke alam baka.”
Simon
merasakan otot rahangnya berkedut, merasakan lehernya menelan ludah dengan
susah payah.
“Bukankah
kalau begitu beliau akan berkabung?” desak Nurse. “Tidakkah kau memikirkan hal
itu? Bagaimana kau bisa berasumsi putranya sudah meninggal jika ayahnya tidak
berkabung?”
Si
kepala pelayan mengangkat bahu. “His Grace sering sekali memakai pakaian hitam.
Berkabung takkan mengubah pakaiannya.”
“Ini
keterlaluan,” ujar Nurse Hopkins. “Aku menuntut kau memanggil His Grace
sekarang juga.”
Simon
tidak berkata apa-apa. Ia berusaha sekuat tenaga mengendalikan emosinya. Harus.
Tidak mungkin ia bisa berbicara dengan ayahnya sementara darahnya masih
bergolak.
Si
kepala pelayan mengangguk. “Beliau ada di atas. Saya akan langsung
memberitahukan kedatangan kalian.”
Nurse
mulai mondar-mandir dengan geram, menggerutu pelan dan mengaitkan His Grace
dengan setiap kata kotor yang ada dalam perbendaharaan katanya yang ternyata
teramat banyak. Simon tetap berada di tengah ruangan, lengannya lurus dan kaku
karena marah di sisinya, dan menarik napas dalam-dalam.
Kau
bisa melakukannya, teriaknya dalam hati. Kau
bisa melakukannya.
Nurse
berbalik ke arah Simon, melihat bocah itu berusaha mengendalikan emosinya, dan
langsung terkesiap. “Ya, begitu,” ucapnya cepat-cepat, berlutut dan meraih
tangan bocah itu dengan kedua tangannya. Ia lebih tahu dibanding siapa pun apa
yang terjadi jika Simon berusaha menghadapi ayahnya sebelum dia bisa
menenangkan diri. “Tarik napas dalam-dalam. Dan jangan lupa memikirkan kata-katamu
sebelum berbicara. Bisakah kau mengendalikannya?”
“Kulihat
kau masih memanjakan bocah itu,” terdengar suara angkuh dari ambang pintu.
Nurse Hopkins menegakkan tubuh dan perlahan-lahan berbalik. Ia berusaha
memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Ia berusaha memikirkan sesuatu yang bisa
memperbaiki situasi buruk ini. Tapi ketika ia memandang sang duke, melihat
Simon di dalam diri pria itu, amarahnya kembali membara. Sang duke mungkin
tampak mirip putranya, tapi pria itu jelas bukan ayah bagi bocah tersebut.
“Sir,
Anda menjijikkan,” semburnya.
“Dan
kau dipecat, Madam.” Nurse terhuyung ke belakang. “Tidak ada yang berbicara
kepada Duke of Hastings seperti itu,” raung sang duke. “Tidak seorang pun!”
“Bahkan
sang raja sekalipun?” ejek Simon.
Hastings
berbalik badan dengan cepat, bahkan tidak menyadari putranya barusan berbicara
dengan jelas. “Kau,” ucapnya dengan suara rendah.
Simon
mengangguk kaku. Ia berhasil mengucapkan satu kalimat pendek, dan tidak ingin
mengambil resiko dengan kalimat yang lebih panjang. Tidak ketika dirinya sangat
emosi seperti ini. Biasanya ia bisa tidak gagap sampai berhari-hari, tapi
sekarang... Cara ayahnya memandangnya membuatnya merasa seperti anak balita.
Balita tolol. Dan mendadak lidahnya terasa kikuk dan kebas.
Sang
duke tersenyum kejam. “Apa yang ingin kau katakan, Nak? Hah? Apa yang mau kau
katakan?”
“Tidak
apa-apa, Simon,” bisik Nurse Hopkins, melirik geram ke arah sang duke. “Jangan
biarkan dia membuatmu marah. Kau bisa melakukannya, Manis.”
Dan
entah bagaimana nada menghibur Nurse Hopkins malah memperparah situasi. Simon datang
kemari untuk membuktikan dirinya pada ayahnya, tapi pengasuhnya malah
memperlakukannya seperti bayi.
“Kenapa,”
ledek sang duke. “Lidahmu kelu?”
Otot
Simon mengejang begitu keras hingga dirinya mulai bergetar.
Ayah
dan anak menatap satu sama lain yang terasa begitu lama sampai akhirnya sang
duke mengumpat dan berderap ke pintu. “Kau kegagalan terbesarku,” desisnya pada
putranya. “Aku tidak tahu apa yang aku lakukan hingga mendapatkanmu, tapi
semoga Tuhan membantuku jika aku pernah melihatmu lagi.”
“Your
Grace!” seru Nurse Hopkins. “Bukan begitu caranya berbicara pada anak kecil.”
“Singkirkan
dia dari hadapanku,” semburnya kepada wanita itu. “Kau bisa mempertahankan
pekerjaanmu asalkan kau menjauhkan dia dariku.”
“Tunggu!”
Sang
duke berbalik perlahan mendengar suara Simon. “Kau mengatakan sesuatu?”
tanyanya malas.
Simon
menarik napas dalam-dalam melalui hidungnya tiga kali, bibirnya masih terkatup
dengan geram. Ia memaksa rahangnya supaya lebih rileks dan menggesekkan
lidahnya ke langit-langit mulut, berusaha mengingatkan diri bagaimana rasanya
berbicara dengan benar. Akhirnya, tepat ketika sang duke hendak meninggalkannya
lagi, ia membuka mulut dan berkata, “Aku putramu.”
Simon
mendengar Nurse Hopkins mendesah lega, dan sesuatu yang tak pernah dilihatnya
memancar di mata ayahnya. Tidak terlalu kentara, tapi ada sesuatu di sana,
bersembunyi jauh di dalam; sesuatu yang memunculkan setitik harapan di hati
Simon.
“Aku
putramu,” ucapnya lagi kali ini sedikit lebih keras, “dan aku tidak m-”
Mendadak
tenggorokannya tercekat. Dan Simon panik.
Kau
bisa melakukannya. Kau bisa melakukannya.
Tapi
tenggorokannya sudah tercekik, dan lidahnya terasa kebas, dan mata ayahnya
mulai menyipit....
“Aku
tidak m-m-m-”
“Pulang
sana,” ujar sang duke pelan. “Tidak ada tempat bagimu di sini.”
Simon
merasakan penolakan sang duke hingga ke dalam tulangnya, merasakan rasa sakit
yang aneh memasuki tubuhnya dan menjalar hingga melingkupi hatinya. Dan,
manakala kebencian membanjiri dirinya dan memancar dari matanya, ia bersumpah
dengan sepenuh hati.
Jika
aku tidak bisa menjadi putra yang diinginkan ayahku, dengan Tuhan sebagai
saksiku, aku akan menjadi hal yang
sebaliknya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar