Mairin
merasa tertekan ketika melihat kastel yang menjulang itu, saat mereka melewati
dinding batu terakhir dan masuk ke halaman. Niatnya untuk melarikan diri
semakin ciut ketika ia menatap tak berdaya bangunan raksasa itu. Mustahil ia
bisa kabur dari sana.
Kaum
pria ada di mana-mana. Kebanyakan mereka sedang berlatih, beberapa di antaranya
memperbaiki bagian-bagian dinding dalam. Yang lain beristirahat dan meminum air
dari ember di dekat tangga kastel.
Seolah
merasa pikiran Mairin yang pasrah kepada kenyataan, Crispen mendongak, matanya
yang hijau bersinar ketakutan. Mairin memeluk Crispen, kadua tangannya terkait
erat di depan tubuh anak itu. Ia meremas tubuh Crispen, mencoba menenangkan
anak itu. Meski sebenarnya, Mairin sendiri gemetar bak daun terakhir di musim
gugur.
Prajurit
yang menuntun kuda Mairin berhenti, dan Mairin harus berjuang keras supaya
tidak jatuh dari pelana. Crispen menjaga keseimbangan mereka dengan memegangi
bulu tengkuk si kuda.
Finn
muncul di samping mereka lalu dengan kasar menarik Mairin dari kuda. Crispen
ikut bersama Mairin, memekik kaget saat dia terlepas dari genggaman Mairin dan
mendarat di tanah.
Finn
menurun kan Mairin, cengkraman jemari pria itu menyakiti lengannya. Mairin
melepaskan diri, lalu dengan kedua tangannya yang terikat membantu Crispen
berdiri.
Kegiatan
di sekeliling mereka berhenti, karena semua orang ingin melihat siapa yang baru
datang. Beberapa wanita di kastel menatap Mairin dengan ingin tahu dari
kejauhan, berbisik-bisik di balik tangan.
Mairin
tahu ia pasti kelihatan tidak keruan, tapi ia lebih khawatir dengan apa yang
terjadi ketika Laird Cameron tiba untuk menengok tawanannya. Semoga Tuhan
menolongnya saat itu.
Kemudian
Mairin melihatnya. Laird Cameron muncul di puncak tangga di depan kastel, dan
mencari Mairin dengan tatapan tajamnya. Kabar burung tentang ketamakan,
kekejaman, dan ambisi Laird Cameron membuat Mairin mengira ia akan melihat
sosok penjahat. Di luar dugaannya, ternyata Laird Cameron pria yang luar biasa
tampan.
Pakaian
Laird Cameron sempurna, seolah tak pernah melihat medan perang sehari pun. Tapi
Mairin tahu yang sebenarnya. Ia sudah
merawat terlalu banyak prajurit yang pernah berhadapan dengan Laird
Cameron. Pria itu mengenakan celana dari bahan kulit yang lembut dan tunik
hijau tua serta sepatu bot yang tampak sangat baru. Di sisinya, pedangnya
berkilauan di bawah sinar matahari. Mata pedang itu diasah sampai tajam sekali.
Mairin
langsung meraba lehernya sendiri, lalu ia menelan ludah untuk melancarkan
kerongkongan yang tersumbat.
“Kau
menemukannya?” Duncan Cameron berseru dari puncak tangga.
“Ya,
Laird.” Finn mendorong Mairin ke depan, mengguncang-guncangnya seperti boneka
kertas. “Ini Mairin Stuart.”
Mata
Duncan menyipit, lalu keningnya berkerut seolah dia pernah kecewa. Apakah Duncan
sudah begitu lama mencarinya? Mairin menggigil dan berusaha tidak membiarkan
rasa takut menguasainya.
“Tunjukkan,”
hardik Duncan.
“Crispen
melangkah ke arah Mairin persis ketika Finn menarik Mairin kepadanya. Mairin
menabrak dadak Finn dengan keras sampai rasanya kehabisan napas. Seorang
prajurit lain muncul di samping finn, lalu mereka mengangkat keliman gaun
Mairin dengan kasar. Membuat Mairin sangat malu.
Duncan
menuruni tangga, wajahnya berkerut penuh konsentrasi ketika mendekati Mairin. Kebuasan
terpancar dari matanya, yang bersinar penuh kemenangan.
Jari
Duncan mengelus tepi cap di tubuh Mairin, lalu dia tersenyum lebar. “Lambang
kerajaan Alexander,” bisik Duncan. “Selama ini orang mengira kau sudah mati,
dan Neamh Álainn hilang untuk selamanya. Sekarang kalian berdua milikku.”
“Tidak
akan,” balas Mairin sambil mengertakkan gigi.
Duncan
tampak terperanjat untuk sesaat, lalu melangkah mundur, dan merengut kepada
Finn. “Tutupi tubuhnya.”
Finn
dengan kasar menurunkan pakaian Mairin dan melepaskan lengannya. Lalu Crispen
segera kembali ke sisi Mairin.
“Siapa
ini?” tanya Duncan dengan suara menggelegar ketika melihat Crispen. “Apakah ini
anak Mairin? Apakah dia bilang begitu kepada kalian? Tidak mungkin!”
“Tidak,
Laird,” Finn buru-buru menjawab. “Ini bukan anak Mairin. Kami menangkapnya
ketika dia mencoba mencuri kuda kami. Tapi Mairin membelanya. Itu saja.”
“Singkirkan
dia.”
Mairin
mengalungkan kedua lengan pada tubuh Crispen dan menatap Duncan dengan seluruh
kebencian. “Kalau menyentuhnya, kau akan menyesal pernah lahir ke dunia ini.”
Duncan
mengedip-ngedipkan mata dengan terkejut. Lalu kemarahan muncul menutupi
wajahnya, membuatnya nyaris ungu. “Kau berani, berani mengancamku?”
“Ayo,
bunuh saja aku,” kata Mairin dengan tenang. “Itu kan sesuai tujuanmu.”
Punggung
tangan Duncan menghajar pipi Mairin. Mairin roboh ke tanah, tangannya langsung
naik untuk memegang rahang.
“Jangan
sentuh dia!” seru Crispen.
Mairin
menyambar tangan Crispen dan menarik anak itu ke bawah, ke dalam pelukan.
“Shhh,” ia mengingatkan Crispen. “Jangan lakukan apa pun yang membuatnya
semakin marah.”
“Rupanya
akal sehatmu sudah kembali,” sindir Duncan. “Semoga kau tidak kehilangan akal
sehatmu lagi.”
Mairin
diam saja. Ia hanya berbaring di tanah dan memegangi Crispen, sambil menatap
sepatu bot Duncan yang tak bernoda sedikit pun. Dia pasti tidak pernah bekerja, pikir Mairin. Bahkan tangan Duncan
terasa lembut di pipinya tasi. Bagaimana mungkin pria yang meraih kekuasaan di
atas penderitaan orang lain bisa sekuat itu?
“Bawa
dia ke dalam dan serahkan kepada para wanita untuk dimandikan,” kata Duncan
dengan jijik.
“Jangan
jauh-jauh dariku,” bisik Mairin kepada Crispen. Ia curiga finn akan menyakiti
anak itu.
Finn
menarik Mairin berdiri dan separuh menyeret, separuh membawanya ke dalam
kastel. Meski bagian luar kastel berkilat-kilat, bagian dalamnya kotor, apak,
dan bau bir yang sudah lama. Anjing-anjing menggonggong dengan semangat. Mairin
mengerutkan hidung ketika bau kotoran menyengat penciumannya.
“Naik!”
benatk Finn, sewaktu mendorong Mairin ke tangga. “Dan jangan coba-coba
melakukan apa pun. Aku akan menaruh beberapa penjaga di luar pintumu. Mandilah
dengan cepat. Jangan sampai Laird menunggu lama untukmu.”
Kedua
wanita yang ditugasi menandikan Mairin memandangnya dengan simpatik campur
penasaran saat mereka dengan sigap mencuci rambutnya.
“Apakah
kau mau anak itu juga mandi?” tanya salah satu wanita itu.
“Tidak!”
seru Crispen dari tempatnya bertengger di ranjang.
“Tidak,”
ulang Mairin dengan lembut. “Jangan ganggu dia.”
Setelah
membilas rambut Mairin, kedua wanita itu membantunya keluar dari bak mandi.
Setelah itu mereka memakaikan sehelai gaun biru yang cantik kepada Mairin. Gaun
itu dihiasi sulaman yang indah di bagian leher, lengan baju dan juga tepinya.
Mairin sadar bahwa warna baju yang dipakainya warna Duncan. Betapa mudah Duncan
menganggap dirinya sebagai milik pria itu.
Ketika
kedua wanita itu menawarkan diri untuk menata rambutnya, Mairin menggeleng.
Begitu rambutnya sudah kering, ia akan mengepangnya.
Sambil
mengangkat bahu, kedua wanita itu keluar dari kamar, meninggalkan Mairin untuk
menunggu panggilan dari Duncan.
Mairin
duduk di ranjang di sebelah Crispen, yang langsung menyusup ke dalam
pelukannya.
“Aku
membuatmu kotor,” bisik Crispen.
“Aku
tidak peduli.”
“Apa
yang akan kita lakukan, Mairin?”
Suara
Crispen gemetar ketakutan, lalu Mairin mencium kepalanya.
“Kita
akan memikirkannya, Crispen. Kita akan memikirkannya nanti.”
Tiba-tiba
pintu terbuka lebar, dan Mairin langsung mendorong Crispen ke belakang tubuh.
Finn berdiri di depan pintu dengan pandangan puas.
“Laird
ingin bertemu denganmu.”
Mairin
berpaling kepada Crispen dan meraih dagunya sampai anak itu menatap langsung ke
matanya. “Diamlah di sini,” bisik Mairin. “Jangan keluar dari kamar ini.
Berjanjilah.”
Crispen
mengangguk, matanya terbelalak ketakutan.
Mairin
berdiri lalu pergi mendekati finn. Ketika Finn meraih lengannya, Mairin
buru-buru menariknya dari cengkraman pria itu. “Aku bisa berjalan sendiri.”
“Perempuan
jalang sombong,” gerutu Finn.
Mairin
berjalan menuruni tangga di depan Finn dan semakin lama merasa semakin
ketakutan. Ketika melihat seorang pendeta berdiri di sebelah perapian di
ruangan yang besar itu, ia pun sadar bahwa Duncan tidak mau mengambil resiko.
Duncan akan menikahi dan menidurinya. Sehingga tamatlah nasib Mairin dan masa
depan Neamh Álainn.
Saat
Finn mendorongnya maju, Mairin berdoa memohon kekuatan dan keberanian untuk apa
yang harus dilakukannya.
“Itu
dia pengantinku,” kata Duncan, ketika berpaling dari percakapan dengan sang pendeta.
Senyum
Duncan tidak sampai ke mata, dan dia menatap Mairin lekat-lekat, seolah
memperingatkan akibat yang akan ditanggung Mairin jika tidak mau menikah
dengannya.
Tuhan, tolong aku.
Sang
pendeta berdeham dan memusatkan perhatian kepada Mairin. “Apakah kau bersedia, lass?”
Semua
diam menunggu jawaban Mairin. Lalu pelan-pelan, Mairin menggeleng. Pendeta itu
lalu memandang Duncan dengan tatapan menuduh.
“Apa
ini, Laird? Katamu kalian berdua menghendaki pernikahan ini.”
Raut
wajah Duncan membuat pendeta itu melangkah mundur. Pendeta buru-buru membuat
tanda salib dan menempatkan diri dalam jarak aman dari Duncan.
Lalu
Duncan berpaling kepada Mairin, dan tubuh Mairin seolah membeku. Untuk pria
yang sangat tampan, saat itu dia kelihatan jelek sekali.
Duncan
melangkah ke arah Mairin, meraih lengan atas wanita itu dan meremasnya sampai
Mairin takut tulangnya akan patah.
“Aku
hanya akan bertanya sekali lagi,” kata duncan dengan suara yang lembut namun
menakutkan. “Apakah kau bersedia?”
Mairin
tahu. Ia tahu begitu menjawab tidak mau, Duncan pasti akan menyerangnya. Duncan
mungkin akan membunuhnya, jika pria itu melihat impiannya untuk meraih Neamh
Álainn hancur berantakan. Namun Mairin tidak bersembunyi selama bertahun-tahun
hanya untuk menyerah pada kesulitan pertama yang dialaminya. Bagaimanapun,
dengan cara apa pun, ia harus mencari cara untuk keluar dari kekacauan ini.
Mairin
mengangkat bahu, menanamkan tekad baja ke dalam hati. Dengan suara yang jelas
ia mengucapkan penolakan. “Tidak.”
Raungan
kemarahan Duncan nyaris membuat Mairin tuli. Tonjokan duncan membuat tubuh
Mairin melayag di udara. Begitu mendarat di tanah, Mairin meringkuk dan
terengah-engah kehabisan napas. Duncan memukul rusuknya begitu keras sampai
dadanya terasa sesak.
Mairin
mengangkat tatapan yang terkejut dan kabur, dan melihat Duncan menjulang di
atasnya. Duncan tampak menyeramkan dan jelas-jelas marah. Saat itu, Mairin tahu
ia telah membuat pilihan yang benar. Jika duncan berani membunuhnya kapan saja,
bagaimana kehidupannya nanti sebagai istri pria itu? Lagi pula, setelah Mairin
melahirkan pewaris Neamh Álainn bagi Duncan, pria itu tidak akan memerlukannya
lagi. Sehingga setelah itu Duncan pasti akan menyingkirkannya.
“Turuti
permintaanku,” desak Duncan dengan tangan terkepal untuk memperingatkan Mairin.
“Tidak.”
Suara
Mairin tidak sekuat sebelumnya. Malah terengah-engah seperti kehabisan napas.
Bibirnya gemetar. Namun jawabannya masih terdengar dengan jelas.
Di
ruangan besar itu, orang-orang mulai bergumam. Sementara Duncan tampak semakin
berang, pipinya menjadi ungu sampai Mairin mengira pria itu akan meledak
sebentar lagi.
Sepatu
bot berkilat-kilat itu menendang, mengenai tubuh Mairin. Jerit kesakitan Mairin
ditutupi tendangan berikutnya. Duncan menendang berulang kali, lalu dengan
kasar menarik Mairin ke atas dan mengarahkan tinju ke sisi tubuh Mairin.
“Laird,
kau akan membunuhnya.”
Mairin
nyaris pingsan. Ia tidak tahu siapa yang mencetuskan peringatan itu. Ia terkulai
lemas dalam cengkraman Duncan, dan merasa kesakitan setiap kali menarik napas.
Duncan
menjatuhkan Mairin dengan jijik. “Kurung dia di kamar. Jangan memberinya makan
atau minum sedikit pun. Anak itu juga
tidak boleh diberi apa-apa. Sebentar lagi dia pasti akan menyerah, ketika anak
itu mulai merengek kelaparan.”
Lalu
seseorang kembali menyeret Mairin ke atas tanpa memikirkan luka-lukanya. Dengan
terseok-seok kesakitan Mairin menaiki tangga batu yang keras. Pintu kamarnya
terbuka, lalu Finn melempakan tubuhnya ke kamar.
Mairin
jatuh ke lantai, namun berusaha keras untuk tetap sadar.
“Mairin!”
Crispen
mendekati Mairin, tangan mungilnya mencengkram Mairin sampai ia merasa
kesakitan.
“Tidak,
jangan sentuh aku,” bisik Mairin dengan suara serak. Jika Crispen menyentuhnya,
ia pasti akan pingsan.
“Kau
harus berbaring di ranjang,” bujuk Crispen dengan putus asa. “Aku akan
membantumu. Ayolah, Mairin.”
Crispen
nyaris menangis. Pemandangan itu membuat Mairin berpikir, bagaimana nasib anak
ini di tangan Duncan jika ia sampai mati? Hanya pikiran itulah yang mencegah
Mairin memejamkan mata dan berdoa memohon kedamaian.
Mairin
mengerahkan kekuatan untuk merangkak ke ranjang, setiap gerakan membuat
tubuhnya seolah berteriak kesakitan. Crispen memapahnya sebisa mungkin, dan
akhirnya mereka berdua berhasil sampai ke tepi ranjang.
Mairin
merebahkan diri di kasur jerami itu, air mata yang panas mengalir turun ke
pipi. Ia merasa kesakitan setiap kali bernapas. Crispen berbaring di
sebelahnya. Tubuh hangat dan menghibur anak itu mencari kenyamanan yang tak
dapat diberikan Mairin.
Kali
ini, Crispen-lah yang mengalungkan lengan ke tubuh Mairin, dan merapatkan
Mairin ke tubuhnya yang kecil. “Tolong jangan meninggal, Mairin,” Crispen
memohon dengan lembut. “Aku takut.”
***
“Lady.
My Lady, bangun. Kau harus bangun.”
Bisikan
mendesak itu membangunkan Mairin yang tak sadarkan diri. Begitu dia menoleh,
mencari suara yang menganggu, sekujur tubuhnya terasa begitu sakit sampai
napasnya terengah-engah.
“Maafkan
aku,” kata wanita itu dengan gelisah. “Aku tahu kau luka parah, tapi kau harus
segera pergi dari sini.”
“Segera?”
Mairin
bergumam, dan pikirannya masih kusut. Di sampingnya, Crispen terjaga dengan
tersentak ketakutan ketika melihat bayangan di samping ranjang.
“Ya,
segera,” suara yang tak sabar itu terdengar lagi.
“Siapa
kau?” tanya Mairin dengan susah payah.
“Tak
ada waktu untuk bicara, Lady. Laird sedang tidur dalam keadaan mabuk berat. Dia
pikir lukamu terlalu parah sehingga tidak akan bisa kabur. Kita harus pergi
sekarang jika kau mau kabur dari sini. Laird berencana membunuh anak itu jika
kau tidak mau tunduk kepadanya.”
Mendengar
kata kabur, sebagian beban pikiran
Mairin sirna. Mairin mencoba duduk namun nyaris menjerit ketika rasa sakit
menikam sisi tubuh.
“Sini,
izinkan aku membantumu. Kau juga, Nak,” kata wanita itu kepada Crispen. “Bantu
aku mengangkat sang lady.”
Crispen
segera beringsut bangun dari ranjang dan meluncur turun dari tepinya.
“Mengapa
kau melakukan ini?” tanya Mairin ketika mereka berdua membantunya duduk.
“Apa
yang Laird lakukan sangat keji,” gumam wanita itu. “Memukuli wanita, seperti
yang dilakukannya kepadamu tadi. Dia gila. Kau obsesinya. Aku mengkhawatirkan
nyawamu, entah kau mau tunduk atau tidak. Laird akan membunuh anak itu.”
Mairin
meremas tangan wanita itu dengan sisa-sisa kekuatan. “Terima kasih.”
“Kita
harus bergegas. Ada jalan untuk kabur di kamar sebelah. Kalian harus pergi
berdua saja. Aku tidak bisa mengambil risiko mengantar kalian. Di ujung jalan,
Fergus menunggu kalian dengan seekor kuda. Dia akan menaruh kau dan anak ini di
kuda itu. Ya, Kau pasti akan kesakitan dalam perjalanan, tapi kau harus kuat
menahannya. Hanya ini satu-satunya cara untuk melarikan diri.”
Mairin
mengangguk setuju. Melarikan diri dalam keadaan sakit atau mati dengan nyaman.
Tidak sulit baginya untuk memilih.
Pelayan
wanita itu membuka sedikit pintu kamar, menoleh kepada Mairin, dan memberi
isyarat agar mereka tidak bersuara. Dia menunjuk ke sebelah kiri untuk
memberitahu Mairin bahwa penjaga ada di sana.
Crispen
menyelipkan tangan ke tangan Mairin, lalu Mairin kembali meremasnya untuk
menenangkan anak itu. Dengan menahan napas, sedikit demi sedikit mereka
menyusuri ruangan besar yang gelap itu, melewati penjaga yang tidur. Mairin
tidak berani bernapas sepanjang perjalanan mereka. Ia takut embusan napasnya
akan membangunkan si penjaga, yang lalu akan memperingatkan seisi kastel.
Akhirnya
mereka sampai di kamar sebelah. Debu beterbangan dan berkumpul di sekeliling
hidung Mairin ketika mereka melangkah ke dalam. Mairin harus memencet hidung
supaya tidak bersin.
“Sini,”
bisik si pelayan dalam gelap.
Mairin
mengikuti suara wanita itu sampai merasakan hawa dingin yang terpancar dari
dinding batu.
“Semoga
Tuhan beserta kalian,” kata pelayan wanita itu saat mengantarkan Mairin dan
Crispen ke terowongan kecil.
Mairin
hanya berhenti cukup lama untuk meremas tangan wanita itu sebagai tanda
mengucapkan terima kasih kilat, lalu menyuruh Crispen masuk ke jalan sempit
itu.
Setiap
langkah membuat Mairin kesakitan. Ia takut tulang rusuknya patah, tapi tak ada
yang dapat dilakukannya sekarang.
Mereka
bergegas dalam kegelapan. Mairin bisa dibilang menyeret Crispen di belakang.
“Siapa
di sana?”
Mairin
berhenti ketika mendengar suara pria itu. Tapi kemudian ia ingat perkataan
wanita itu, bahwa Fergus akan menunggu mereka.
“Fergus?”
panggil Mairin dengan lembut. “Ini aku, Mairin Stuart.”
“Ayo,
Lady,” Fergus menyuruhnya bergegas.
Mairin
segera pergi ke ujung terowongan. Begitu ia keluar dari terowongan itu, ia
menginjak tanah yang dingin dan lembap. Ia mengernyit kesakitan saat kaki
telanjangnya menyentuh kerikil-kerikil yang kasar. Ketika memandang ke
sekeliling, Mairin melihat bahwa terowongan itu ternyata berujung di bagian
belakang kastel, di mana hanya ada tebing yang memisahkan kastel dengan lereng
bukit yang menonol ke atas.
Tanpa
suara, Fergus menghilang dalam kegelapan. Mairin berlari menyusulnya. Mereka
berjalan menyusuri kaki bukit, menuju pepohonan lebat di tepi tanah Duncan.
Seekor
kuda diikat pada salah satu pohon. Fergus dengan gesit melepaskan kuda, meraih
tali kekang saat dia berpaling kepada Mairin.
“Aku
akan menaikkanmu dulu ke sana, lalu anak itu.” Fergus menunjuk ke kejauhan.
“Itu jalan ke utara. Semoga Tuhan beserta kalian.”
Tanpa
berkata apa-apa lagi, Fergus mengangkat Mairin, praktis melemparkannya ke
pelana. Mairin harus bertahan mati-matian supaya tidak jatuh. Air mata Mairin
menggenang, lalu ia membungkuk, berjuang agar tidak pingsan.
Kumohon, tolong aku, Tuhan.
Fergus
mengangkat Crispen, yang duduk di depan Mairin. Mairin bersyukur anak itu tidak
duduk di belakangnya karena jujur, ia perlu memegangi sesuatu.
“Bisakah
kau mengendalikan kuda ini?” bisik Mairin kepada Crispen saat bersandar pada
anak itu.
“Aku
akan melindungimu,” jawab Crispen dengan sengit. “Berpeganglah kepadaku,
Mairin. Aku bersumpah, aku akan membawa kita pulang.”
Mairin
tersenyum mendengar keteguhan dalam suaranya. “Aku tahu kau pasti akan
melakukannya.”
Fergus
menepuk kuda itu, yang langsung melompat ke depan. Mairin menggigit bibir untuk
menahan pekik kesakitan yang siap keluar. Ia tak akan bertahan dalam perjalanan
ini, satu kilometer pun.
Alaric
McCabe menghentikan kuda dan mengangkat kepalan tangan untuk menyuruh anak
buahnya berhenti. Mereka sudah berkuda sepanjang pagi, tanpa henti memeriksa
berbagai jalur, mengikuti jejak kuda yang ditemukan. Tapi mereka belum berhasil
juga. Tidak ada petunjuk yang mereka peroleh. Alaric meluncur turun dari pelana
dan melangkah maju untuk mengecek tanah di depan. Ia berlutut dan menyentuh
jejak samar kaki kuda serta rumput yang terinjak-injak. Kelihatannya seseorang
jatuh dari kudanya di situ. Belum lama ini.
Alaric
mengamati daerah sekitar dan melihat jejak kaki di sebidang tanah kosong yang
kira-kira terletak satu meter darinya. Lalu ia mengarahkan pandangannya ke
daerah yang dituju orang tadi. Pelan-pelan ia berdiri, menarik pedang, memberi
isyarat agar anak buahnya berpencar dan mengepung tempat itu.
Dengan
hati-hati, Alaric berjalan menembus pepohonan. Sikapnya waspada, kalau-kalau
ada sesuatu yang akan menyerangnya. Mulanya ia melihat seekor kuda, merumput
tak jauh darinya. Tali kekang kuda itu terjulur ke bawah, pelananya miring.
Alaric mengerutkan kening. Mengabaikan seekor kuda seperti itu dosa besar.
Gemerisik
pelan dari sebelah kanan membuat Alaric memutar tubuh, dan menemukan diri
bertatapan dengan seorang wanita mungil. Punggung wanita itu menempel pada
sebatang pohon yang sangat besar. Roknya bergoyang-goyang seolah beberapa ekor
kucing bersembunyi di bawahnya, mata birunya yang besar dipenuhi ketakutan –dan
kemarahan.
Rambut
hitam dan panjang wanita itu tergerai berantakan sampai ke pinggang. Saat
itulah Alaric melihat warna tunik wanita itu dan simbol yang tersulam di
tepinya.
Perasaan
murka sejenak membutakan Alaric, sehingga ia maju dengan mengacungkan pedang ke
atas kepala.
Satu
lengan wanita itu bergerak ke belakang, mendorong sesuatu semakin jauh ke
antara dirinya dan pohon itu. Roknya menggeliat-geliat lagi, dan saat itulah,
Alaric sadar bahwa wanita itu melindungi seseorang. Seorang anak kecil.
“Jangan
keluar dari balik punggungku,” wanita itu mendesis.
“Tapi
Mai–”
Langkah
Alaric terhenti. Ia kenal suara itu. Jemarinya gemetar. Baru kali ini tangannya
tidak bisa memegang sebilah pedang dengan mantap. Neraka harus membeku dulu
sebelum ia membiarkan anak buah Cameron menyentuh anggota keluarganya.
Dengan
menggeram marah, Alaric menerjang maju, menyambar bahu wanita itu, lalu
mendorongnya ke samping. Crispen berdiri di depan pohon dengan mulut melongo.
Lalu ia melihat Alaric dan bisa dibilang melompat ke pelukannya.
Pedang
Alaric jatuh ke tanah –itu juga dosa besar– tapi saat itu Alaric tidak peduli.
Ia hanya merasa lega sekali.
“Crispen,”
kata Alaric dengan suara serak, ketika memeluk anak itu erat-erat.
Pekik
kemarahan menyerang telinga Alaric, persis saat seorang wanita menerjang
menyerangnya. Begitu terkejutnya Alaric, sampai ia nyaris jatuh ke belakang dan
mengendurkan pelukan kepada Crispen.
Wanita
itu menyelinap di antara Alaric dan Crispen, lalu menendang selangkangan
Alaric. Alaric membungkuk, mengumpat karena kesakitan. Satu kakinya jatuh
berlutut, lalu Alaric menyambar pedang sekaligus bersiul memanggil anak
buahnya. Perempuan itu sudah gila.
Dengan
pandangan nanar, Alaric melihat wanita itu meraih Crispen yang meronta-ronta
dan mencoba kabur. Beberapa hal terjadi secara bersamaan. Dua anak buah Alaric
melangkah ke depan wanita itu. Perempuan itu tiba-tiba berhenti, membuat
Crispen menabrak punggungnya. Ketika wanita itu mulai pergi ke arah berlawanan,
Gannon mengangkat lengan untuk menghentikan.
Alaric
terperangah ketika menyaksikan wanita itu memutar tubuh, meraih Crispen, lalu
menjatuhkan diri ke tanah, menindih Crispen untuk melindungi anak itu.
Gannon
dan Cormac membeku dan memandang Alaric, persis ketika anak buah Alaric yang lain berhamburan keluar dari
pepohonan.
Yang
semakin membingungkan mereka, Crispen akhirn ya menggeliat keluar dari bawah
wanita itu lalu melemparkan diri ke atas tubuh wanita tersebut, sambil melotot
galak kepada Gannon.
“Kau
tidak boleh memukulnya!” Crispen berseru.
Semua
anak buah Alaric mengerjap-ngerjapkan mata dengan terkejut mendengar kegarangan
Crispen.
“Nak,
aku tidak akan memuluknya,” jawab Gannon. Aku hanya tidak mau dia melarikan
diri. Denganmu. Demi Tuhan, kami sudah mencarimu selama berhari-hari. Laird
sangat mencemaskanmu.”
Alaric
mendekati Crispen lalu mengambilnya dari wanita yang sedang meringkuk itu.
Ketika ia menarik wanita itu supaya berdiri, Crispen meledak lagi, dan
mendorongnya mundur.
Alaric
melongo menatap keponakannya.
“Jangan
sentuh dia,” kata Crispen. “Dia terluka parah, Paman Alaric.”
Crispen
menggigit bibir bawah. Kelihatannya anak itu sudah tidak tahan akan menangis
sebentar lagi. Siapa pun wanita itu, jelas Crispen tidak takut kepadanya.
“Aku
tidak akan menyakitinya, Nak,” kata Alaric dengan lembut.
Ia
berlutut lalu menyibakkan rambut dari wajah wanita itu, dan melihatnya sudah
pingsan. Satu pipinya memar, tapi selain itu dia tampak baik-baik saja.
“Bagian
mana yang terluka?” tanya Alaric kepada Crispen.
Air
mata menggenangi mata Crispen, yang buru-buru disekanya dengan punggung tangan
yang kotor.
“Perut.
Dan punggungnya. Dia sangat kesakitan setiap kali ada orang yang menyentuhnya.”
Dengan
hati-hati, agar Crispen tidak ketakutan, Alaric menyingkap pakaian wanita itu.
Ketika melihat perut dan punggung wanita itu, Alaric menarik napas. Di
sekeliling Alaric, anak buahnya mengumpat dan menggumam iba kepada wanita
mungil itu.
“Demi
Tuhan di surga, apa yang terjadi kepadanya?”
Seluruh
tulang rusuk wanita itu berwarna ungu, dan memar-memar yang menyeramkan menodai
punggungnya yang mulus. Alaric berani bersumpah salah satu memar itu berbentuk
sepatu bot pria.
“Dia
memukulinya,” jawab Crispen dengan suara tercekik. “Bawa kami pulang, Paman
Alaric. Aku ingin bertemu Papa.”
Karena
tidak mau pertahanan Crispen runtuh di depan anak buahnya, Alaric mengangguk
dan menepuk lengan anak itu. Ada banyak waktu untuk mengorek cerita dari mulut
Crispen nanti. Ewan pasti ingin mendengar semuanya.
Alaric
menunduk menatap wanita yang pingsan dan mengerutkan kening. Wanita itu telah
memberikan tubuhnya demi melindungi Crispen, namun dia memakai baju dengan
warna kubu Duncan Cameron. Ewan pasti akan meledak jika Cameron sampai terlibat
dalam hilangnya Crispen.
Perang.
Akhirnya, setelah sekian lama, mereka akan berperang.
Alaric
memberi isyarat kepada Cormac agar merawat wanita itu. Ia sendiri hendak
mengambil Crispen, agar anak itu berkuda bersamanya. Ada beberapa pertanyaan
yang ingin diajukannya dalam perjalanan pulang mereka.
Crispen
menggeleng kuat-kuat. “Tidak, kau
saja yang membawanya, Paman Alaric. Dia harus berkuda denganmu. Aku sudah
berjanji bahwa Papa akan menjaganya. Tapi Papa tidak ada di sini, jadi kaulah
yang melakukannya. Kau harus
melakukannya.”
Alaric
menghela napas. Crispen tampaknya tak akan mengubah pendirian. Namun karena
Alaric begitu senang melihatnya masih hidup, ia akan menuruti saja permintaan
konyol anak itu. Tapi nanti, ia akan menguliahi anak bandel itu supaya tidak
menentangnya.
“Aku
juga mau berkuda dengan kalian berdua,” kata Crispen, matanya dengan gelisah
menatap wanita itu.
Dia
beringsut mendekati wanita itu, seolah tidak sanggup berpisah darinya.
Alaric
menengadah ke langit. Ewan tidak cukup keras mendidik anak itu. Hanya itu
alasan yang bisa menjelaskan sikap manja Crispen.
Jadilah
Alaric menunggangi kuda dengan wanita itu duduk bersandar di depan. Satu lengan
Alaric memeluk wa nita itu, sementara Crispen duduk di kaki Alaric yang satu
lagi, kepalanya ditaruh di dada wanita itu.
Alaric
melotot kepada anak buahnya, melarang mereka menertawakan. Ia bahkan harus
melepaskan pedang agar mampu membawa dua orang tambahan. Apalagi, berat badan
keduanya tidak seimbang dengan berat badan petarung seperti dirinya sendiri.
Ewan
lebih baik berterima kasih kepadanya. Begitu Alaric menyerahkan wanita itu
kepada Ewan, Ewan dapat memutuskan apa yang akan dilakukan dengan wanita itu.
Back
Update lagi kapan?
BalasHapus