Kamis, 01 November 2018

In Bed with a Highlander #2


Mairin merasa tertekan ketika melihat kastel yang menjulang itu, saat mereka melewati dinding batu terakhir dan masuk ke halaman. Niatnya untuk melarikan diri semakin ciut ketika ia menatap tak berdaya bangunan raksasa itu. Mustahil ia bisa kabur dari sana.


Kaum pria ada di mana-mana. Kebanyakan mereka sedang berlatih, beberapa di antaranya memperbaiki bagian-bagian dinding dalam. Yang lain beristirahat dan meminum air dari ember di dekat tangga kastel.

Seolah merasa pikiran Mairin yang pasrah kepada kenyataan, Crispen mendongak, matanya yang hijau bersinar ketakutan. Mairin memeluk Crispen, kadua tangannya terkait erat di depan tubuh anak itu. Ia meremas tubuh Crispen, mencoba menenangkan anak itu. Meski sebenarnya, Mairin sendiri gemetar bak daun terakhir di musim gugur.

Prajurit yang menuntun kuda Mairin berhenti, dan Mairin harus berjuang keras supaya tidak jatuh dari pelana. Crispen menjaga keseimbangan mereka dengan memegangi bulu tengkuk si kuda.

Finn muncul di samping mereka lalu dengan kasar menarik Mairin dari kuda. Crispen ikut bersama Mairin, memekik kaget saat dia terlepas dari genggaman Mairin dan mendarat di tanah.

Finn menurun kan Mairin, cengkraman jemari pria itu menyakiti lengannya. Mairin melepaskan diri, lalu dengan kedua tangannya yang terikat membantu Crispen berdiri.

Kegiatan di sekeliling mereka berhenti, karena semua orang ingin melihat siapa yang baru datang. Beberapa wanita di kastel menatap Mairin dengan ingin tahu dari kejauhan, berbisik-bisik di balik tangan.

Mairin tahu ia pasti kelihatan tidak keruan, tapi ia lebih khawatir dengan apa yang terjadi ketika Laird Cameron tiba untuk menengok tawanannya. Semoga Tuhan menolongnya saat itu.

Kemudian Mairin melihatnya. Laird Cameron muncul di puncak tangga di depan kastel, dan mencari Mairin dengan tatapan tajamnya. Kabar burung tentang ketamakan, kekejaman, dan ambisi Laird Cameron membuat Mairin mengira ia akan melihat sosok penjahat. Di luar dugaannya, ternyata Laird Cameron pria yang luar biasa tampan.

Pakaian Laird Cameron sempurna, seolah tak pernah melihat medan perang sehari pun. Tapi Mairin tahu yang sebenarnya. Ia sudah  merawat terlalu banyak prajurit yang pernah berhadapan dengan Laird Cameron. Pria itu mengenakan celana dari bahan kulit yang lembut dan tunik hijau tua serta sepatu bot yang tampak sangat baru. Di sisinya, pedangnya berkilauan di bawah sinar matahari. Mata pedang itu diasah sampai tajam sekali.

Mairin langsung meraba lehernya sendiri, lalu ia menelan ludah untuk melancarkan kerongkongan yang tersumbat.

“Kau menemukannya?” Duncan Cameron berseru dari puncak tangga.

“Ya, Laird.” Finn mendorong Mairin ke depan, mengguncang-guncangnya seperti boneka kertas. “Ini Mairin Stuart.”

Mata Duncan menyipit, lalu keningnya berkerut seolah dia pernah kecewa. Apakah Duncan sudah begitu lama mencarinya? Mairin menggigil dan berusaha tidak membiarkan rasa takut menguasainya.

“Tunjukkan,” hardik Duncan.

“Crispen melangkah ke arah Mairin persis ketika Finn menarik Mairin kepadanya. Mairin menabrak dadak Finn dengan keras sampai rasanya kehabisan napas. Seorang prajurit lain muncul di samping finn, lalu mereka mengangkat keliman gaun Mairin dengan kasar. Membuat Mairin sangat malu.

Duncan menuruni tangga, wajahnya berkerut penuh konsentrasi ketika mendekati Mairin. Kebuasan terpancar dari matanya, yang bersinar penuh kemenangan.

Jari Duncan mengelus tepi cap di tubuh Mairin, lalu dia tersenyum lebar. “Lambang kerajaan Alexander,” bisik Duncan. “Selama ini orang mengira kau sudah mati, dan Neamh Álainn hilang untuk selamanya. Sekarang kalian berdua milikku.”

“Tidak akan,” balas Mairin sambil mengertakkan gigi.

Duncan tampak terperanjat untuk sesaat, lalu melangkah mundur, dan merengut kepada Finn. “Tutupi tubuhnya.”

Finn dengan kasar menurunkan pakaian Mairin dan melepaskan lengannya. Lalu Crispen segera kembali ke sisi Mairin.

“Siapa ini?” tanya Duncan dengan suara menggelegar ketika melihat Crispen. “Apakah ini anak Mairin? Apakah dia bilang begitu kepada kalian? Tidak mungkin!”

“Tidak, Laird,” Finn buru-buru menjawab. “Ini bukan anak Mairin. Kami menangkapnya ketika dia mencoba mencuri kuda kami. Tapi Mairin membelanya. Itu saja.”

“Singkirkan dia.”

Mairin mengalungkan kedua lengan pada tubuh Crispen dan menatap Duncan dengan seluruh kebencian. “Kalau menyentuhnya, kau akan menyesal pernah lahir ke dunia ini.”

Duncan mengedip-ngedipkan mata dengan terkejut. Lalu kemarahan muncul menutupi wajahnya, membuatnya nyaris ungu. “Kau berani, berani mengancamku?”

“Ayo, bunuh saja aku,” kata Mairin dengan tenang. “Itu kan sesuai tujuanmu.”

Punggung tangan Duncan menghajar pipi Mairin. Mairin roboh ke tanah, tangannya langsung naik untuk memegang rahang.

“Jangan sentuh dia!” seru Crispen.

Mairin menyambar tangan Crispen dan menarik anak itu ke bawah, ke dalam pelukan. “Shhh,” ia mengingatkan Crispen. “Jangan lakukan apa pun yang membuatnya semakin marah.”

“Rupanya akal sehatmu sudah kembali,” sindir Duncan. “Semoga kau tidak kehilangan akal sehatmu lagi.”

Mairin diam saja. Ia hanya berbaring di tanah dan memegangi Crispen, sambil menatap sepatu bot Duncan yang tak bernoda sedikit pun. Dia pasti tidak pernah bekerja, pikir Mairin. Bahkan tangan Duncan terasa lembut di pipinya tasi. Bagaimana mungkin pria yang meraih kekuasaan di atas penderitaan orang lain bisa sekuat itu?

“Bawa dia ke dalam dan serahkan kepada para wanita untuk dimandikan,” kata Duncan dengan jijik.

“Jangan jauh-jauh dariku,” bisik Mairin kepada Crispen. Ia curiga finn akan menyakiti anak itu.

Finn menarik Mairin berdiri dan separuh menyeret, separuh membawanya ke dalam kastel. Meski bagian luar kastel berkilat-kilat, bagian dalamnya kotor, apak, dan bau bir yang sudah lama. Anjing-anjing menggonggong dengan semangat. Mairin mengerutkan hidung ketika bau kotoran menyengat penciumannya.

“Naik!” benatk Finn, sewaktu mendorong Mairin ke tangga. “Dan jangan coba-coba melakukan apa pun. Aku akan menaruh beberapa penjaga di luar pintumu. Mandilah dengan cepat. Jangan sampai Laird menunggu lama untukmu.”

Kedua wanita yang ditugasi menandikan Mairin memandangnya dengan simpatik campur penasaran saat mereka dengan sigap mencuci rambutnya.

“Apakah kau mau anak itu juga mandi?” tanya salah satu wanita itu.

“Tidak!” seru Crispen dari tempatnya bertengger di ranjang.

“Tidak,” ulang Mairin dengan lembut. “Jangan ganggu dia.”

Setelah membilas rambut Mairin, kedua wanita itu membantunya keluar dari bak mandi. Setelah itu mereka memakaikan sehelai gaun biru yang cantik kepada Mairin. Gaun itu dihiasi sulaman yang indah di bagian leher, lengan baju dan juga tepinya. Mairin sadar bahwa warna baju yang dipakainya warna Duncan. Betapa mudah Duncan menganggap dirinya sebagai milik pria itu.

Ketika kedua wanita itu menawarkan diri untuk menata rambutnya, Mairin menggeleng. Begitu rambutnya sudah kering, ia akan mengepangnya.

Sambil mengangkat bahu, kedua wanita itu keluar dari kamar, meninggalkan Mairin untuk menunggu panggilan dari Duncan.

Mairin duduk di ranjang di sebelah Crispen, yang langsung menyusup ke dalam pelukannya.

“Aku membuatmu kotor,” bisik Crispen.

“Aku tidak peduli.”

“Apa yang akan kita lakukan, Mairin?”

Suara Crispen gemetar ketakutan, lalu Mairin mencium kepalanya.

“Kita akan memikirkannya, Crispen. Kita akan memikirkannya nanti.”

Tiba-tiba pintu terbuka lebar, dan Mairin langsung mendorong Crispen ke belakang tubuh. Finn berdiri di depan pintu dengan pandangan puas.

“Laird ingin bertemu denganmu.”

Mairin berpaling kepada Crispen dan meraih dagunya sampai anak itu menatap langsung ke matanya. “Diamlah di sini,” bisik Mairin. “Jangan keluar dari kamar ini. Berjanjilah.”

Crispen mengangguk, matanya terbelalak ketakutan.

Mairin berdiri lalu pergi mendekati finn. Ketika Finn meraih lengannya, Mairin buru-buru menariknya dari cengkraman pria itu. “Aku bisa berjalan sendiri.”

“Perempuan jalang sombong,” gerutu Finn.

Mairin berjalan menuruni tangga di depan Finn dan semakin lama merasa semakin ketakutan. Ketika melihat seorang pendeta berdiri di sebelah perapian di ruangan yang besar itu, ia pun sadar bahwa Duncan tidak mau mengambil resiko. Duncan akan menikahi dan menidurinya. Sehingga tamatlah nasib Mairin dan masa depan Neamh Álainn.

Saat Finn mendorongnya maju, Mairin berdoa memohon kekuatan dan keberanian untuk apa yang harus dilakukannya.

“Itu dia pengantinku,” kata Duncan, ketika berpaling dari percakapan dengan sang pendeta.

Senyum Duncan tidak sampai ke mata, dan dia menatap Mairin lekat-lekat, seolah memperingatkan akibat yang akan ditanggung Mairin jika tidak mau menikah dengannya.

Tuhan, tolong aku.

Sang pendeta berdeham dan memusatkan perhatian kepada Mairin. “Apakah kau bersedia, lass?”

Semua diam menunggu jawaban Mairin. Lalu pelan-pelan, Mairin menggeleng. Pendeta itu lalu memandang Duncan dengan tatapan menuduh.

“Apa ini, Laird? Katamu kalian berdua menghendaki pernikahan ini.”

Raut wajah Duncan membuat pendeta itu melangkah mundur. Pendeta buru-buru membuat tanda salib dan menempatkan diri dalam jarak aman dari Duncan.

Lalu Duncan berpaling kepada Mairin, dan tubuh Mairin seolah membeku. Untuk pria yang sangat tampan, saat itu dia kelihatan jelek sekali.

Duncan melangkah ke arah Mairin, meraih lengan atas wanita itu dan meremasnya sampai Mairin takut tulangnya akan patah.

“Aku hanya akan bertanya sekali lagi,” kata duncan dengan suara yang lembut namun menakutkan. “Apakah kau bersedia?”

Mairin tahu. Ia tahu begitu menjawab tidak mau, Duncan pasti akan menyerangnya. Duncan mungkin akan membunuhnya, jika pria itu melihat impiannya untuk meraih Neamh Álainn hancur berantakan. Namun Mairin tidak bersembunyi selama bertahun-tahun hanya untuk menyerah pada kesulitan pertama yang dialaminya. Bagaimanapun, dengan cara apa pun, ia harus mencari cara untuk keluar dari kekacauan ini.

Mairin mengangkat bahu, menanamkan tekad baja ke dalam hati. Dengan suara yang jelas ia mengucapkan penolakan. “Tidak.”

Raungan kemarahan Duncan nyaris membuat Mairin tuli. Tonjokan duncan membuat tubuh Mairin melayag di udara. Begitu mendarat di tanah, Mairin meringkuk dan terengah-engah kehabisan napas. Duncan memukul rusuknya begitu keras sampai dadanya terasa sesak.

Mairin mengangkat tatapan yang terkejut dan kabur, dan melihat Duncan menjulang di atasnya. Duncan tampak menyeramkan dan jelas-jelas marah. Saat itu, Mairin tahu ia telah membuat pilihan yang benar. Jika duncan berani membunuhnya kapan saja, bagaimana kehidupannya nanti sebagai istri pria itu? Lagi pula, setelah Mairin melahirkan pewaris Neamh Álainn bagi Duncan, pria itu tidak akan memerlukannya lagi. Sehingga setelah itu Duncan pasti akan menyingkirkannya.

“Turuti permintaanku,” desak Duncan dengan tangan terkepal untuk memperingatkan Mairin.

“Tidak.”

Suara Mairin tidak sekuat sebelumnya. Malah terengah-engah seperti kehabisan napas. Bibirnya gemetar. Namun jawabannya masih terdengar dengan jelas.

Di ruangan besar itu, orang-orang mulai bergumam. Sementara Duncan tampak semakin berang, pipinya menjadi ungu sampai Mairin mengira pria itu akan meledak sebentar lagi.

Sepatu bot berkilat-kilat itu menendang, mengenai tubuh Mairin. Jerit kesakitan Mairin ditutupi tendangan berikutnya. Duncan menendang berulang kali, lalu dengan kasar menarik Mairin ke atas dan mengarahkan tinju ke sisi tubuh Mairin.

“Laird, kau akan membunuhnya.”

Mairin nyaris pingsan. Ia tidak tahu siapa yang mencetuskan peringatan itu. Ia terkulai lemas dalam cengkraman Duncan, dan merasa kesakitan setiap kali menarik napas.

Duncan menjatuhkan Mairin dengan jijik. “Kurung dia di kamar. Jangan memberinya makan atau minum  sedikit pun. Anak itu juga tidak boleh diberi apa-apa. Sebentar lagi dia pasti akan menyerah, ketika anak itu mulai merengek kelaparan.”

Lalu seseorang kembali menyeret Mairin ke atas tanpa memikirkan luka-lukanya. Dengan terseok-seok kesakitan Mairin menaiki tangga batu yang keras. Pintu kamarnya terbuka, lalu Finn melempakan tubuhnya ke kamar.

Mairin jatuh ke lantai, namun berusaha keras untuk tetap sadar.

“Mairin!”

Crispen mendekati Mairin, tangan mungilnya mencengkram Mairin sampai ia merasa kesakitan.

“Tidak, jangan sentuh aku,” bisik Mairin dengan suara serak. Jika Crispen menyentuhnya, ia pasti akan pingsan.

“Kau harus berbaring di ranjang,” bujuk Crispen dengan putus asa. “Aku akan membantumu. Ayolah, Mairin.”

Crispen nyaris menangis. Pemandangan itu membuat Mairin berpikir, bagaimana nasib anak ini di tangan Duncan jika ia sampai mati? Hanya pikiran itulah yang mencegah Mairin memejamkan mata dan berdoa memohon kedamaian.

Mairin mengerahkan kekuatan untuk merangkak ke ranjang, setiap gerakan membuat tubuhnya seolah berteriak kesakitan. Crispen memapahnya sebisa mungkin, dan akhirnya mereka berdua berhasil sampai ke tepi ranjang.

Mairin merebahkan diri di kasur jerami itu, air mata yang panas mengalir turun ke pipi. Ia merasa kesakitan setiap kali bernapas. Crispen berbaring di sebelahnya. Tubuh hangat dan menghibur anak itu mencari kenyamanan yang tak dapat diberikan Mairin.

Kali ini, Crispen-lah yang mengalungkan lengan ke tubuh Mairin, dan merapatkan Mairin ke tubuhnya yang kecil. “Tolong jangan meninggal, Mairin,” Crispen memohon dengan lembut. “Aku takut.”

***

“Lady. My Lady, bangun. Kau harus bangun.”

Bisikan mendesak itu membangunkan Mairin yang tak sadarkan diri. Begitu dia menoleh, mencari suara yang menganggu, sekujur tubuhnya terasa begitu sakit sampai napasnya terengah-engah.

“Maafkan aku,” kata wanita itu dengan gelisah. “Aku tahu kau luka parah, tapi kau harus segera pergi dari sini.”

“Segera?”

Mairin bergumam, dan pikirannya masih kusut. Di sampingnya, Crispen terjaga dengan tersentak ketakutan ketika melihat bayangan di samping ranjang.

“Ya, segera,” suara yang tak sabar itu terdengar lagi.

“Siapa kau?” tanya Mairin dengan susah payah.

“Tak ada waktu untuk bicara, Lady. Laird sedang tidur dalam keadaan mabuk berat. Dia pikir lukamu terlalu parah sehingga tidak akan bisa kabur. Kita harus pergi sekarang jika kau mau kabur dari sini. Laird berencana membunuh anak itu jika kau tidak mau tunduk kepadanya.”

Mendengar kata kabur, sebagian beban pikiran Mairin sirna. Mairin mencoba duduk namun nyaris menjerit ketika rasa sakit menikam sisi tubuh.

“Sini, izinkan aku membantumu. Kau juga, Nak,” kata wanita itu kepada Crispen. “Bantu aku mengangkat sang lady.”

Crispen segera beringsut bangun dari ranjang dan meluncur turun dari tepinya.

“Mengapa kau melakukan ini?” tanya Mairin ketika mereka berdua membantunya duduk.

“Apa yang Laird lakukan sangat keji,” gumam wanita itu. “Memukuli wanita, seperti yang dilakukannya kepadamu tadi. Dia gila. Kau obsesinya. Aku mengkhawatirkan nyawamu, entah kau mau tunduk atau tidak. Laird akan membunuh anak itu.”

Mairin meremas tangan wanita itu dengan sisa-sisa kekuatan. “Terima kasih.”

“Kita harus bergegas. Ada jalan untuk kabur di kamar sebelah. Kalian harus pergi berdua saja. Aku tidak bisa mengambil risiko mengantar kalian. Di ujung jalan, Fergus menunggu kalian dengan seekor kuda. Dia akan menaruh kau dan anak ini di kuda itu. Ya, Kau pasti akan kesakitan dalam perjalanan, tapi kau harus kuat menahannya. Hanya ini satu-satunya cara untuk melarikan diri.”

Mairin mengangguk setuju. Melarikan diri dalam keadaan sakit atau mati dengan nyaman. Tidak sulit baginya untuk memilih.

Pelayan wanita itu membuka sedikit pintu kamar, menoleh kepada Mairin, dan memberi isyarat agar mereka tidak bersuara. Dia menunjuk ke sebelah kiri untuk memberitahu Mairin bahwa penjaga ada di sana.

Crispen menyelipkan tangan ke tangan Mairin, lalu Mairin kembali meremasnya untuk menenangkan anak itu. Dengan menahan napas, sedikit demi sedikit mereka menyusuri ruangan besar yang gelap itu, melewati penjaga yang tidur. Mairin tidak berani bernapas sepanjang perjalanan mereka. Ia takut embusan napasnya akan membangunkan si penjaga, yang lalu akan memperingatkan seisi kastel.

Akhirnya mereka sampai di kamar sebelah. Debu beterbangan dan berkumpul di sekeliling hidung Mairin ketika mereka melangkah ke dalam. Mairin harus memencet hidung supaya tidak bersin.

“Sini,” bisik si pelayan dalam gelap.

Mairin mengikuti suara wanita itu sampai merasakan hawa dingin yang terpancar dari dinding batu.

“Semoga Tuhan beserta kalian,” kata pelayan wanita itu saat mengantarkan Mairin dan Crispen ke terowongan kecil.

Mairin hanya berhenti cukup lama untuk meremas tangan wanita itu sebagai tanda mengucapkan terima kasih kilat, lalu menyuruh Crispen masuk ke jalan sempit itu.

Setiap langkah membuat Mairin kesakitan. Ia takut tulang rusuknya patah, tapi tak ada yang dapat dilakukannya sekarang.

Mereka bergegas dalam kegelapan. Mairin bisa dibilang menyeret Crispen di belakang.

“Siapa di sana?”

Mairin berhenti ketika mendengar suara pria itu. Tapi kemudian ia ingat perkataan wanita itu, bahwa Fergus akan menunggu mereka.

“Fergus?” panggil Mairin dengan lembut. “Ini aku, Mairin Stuart.”

“Ayo, Lady,” Fergus menyuruhnya bergegas.

Mairin segera pergi ke ujung terowongan. Begitu ia keluar dari terowongan itu, ia menginjak tanah yang dingin dan lembap. Ia mengernyit kesakitan saat kaki telanjangnya menyentuh kerikil-kerikil yang kasar. Ketika memandang ke sekeliling, Mairin melihat bahwa terowongan itu ternyata berujung di bagian belakang kastel, di mana hanya ada tebing yang memisahkan kastel dengan lereng bukit yang menonol ke atas.

Tanpa suara, Fergus menghilang dalam kegelapan. Mairin berlari menyusulnya. Mereka berjalan menyusuri kaki bukit, menuju pepohonan lebat di tepi tanah Duncan.

Seekor kuda diikat pada salah satu pohon. Fergus dengan gesit melepaskan kuda, meraih tali kekang saat dia berpaling kepada Mairin.

“Aku akan menaikkanmu dulu ke sana, lalu anak itu.” Fergus menunjuk ke kejauhan. “Itu jalan ke utara. Semoga Tuhan beserta kalian.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Fergus mengangkat Mairin, praktis melemparkannya ke pelana. Mairin harus bertahan mati-matian supaya tidak jatuh. Air mata Mairin menggenang, lalu ia membungkuk, berjuang agar tidak pingsan.

Kumohon, tolong aku, Tuhan.

Fergus mengangkat Crispen, yang duduk di depan Mairin. Mairin bersyukur anak itu tidak duduk di belakangnya karena jujur, ia perlu memegangi sesuatu.

“Bisakah kau mengendalikan kuda ini?” bisik Mairin kepada Crispen saat bersandar pada anak itu.

“Aku akan melindungimu,” jawab Crispen dengan sengit. “Berpeganglah kepadaku, Mairin. Aku bersumpah, aku akan membawa kita pulang.”

Mairin tersenyum mendengar keteguhan dalam suaranya. “Aku tahu kau pasti akan melakukannya.”

Fergus menepuk kuda itu, yang langsung melompat ke depan. Mairin menggigit bibir untuk menahan pekik kesakitan yang siap keluar. Ia tak akan bertahan dalam perjalanan ini, satu kilometer pun.



Alaric McCabe menghentikan kuda dan mengangkat kepalan tangan untuk menyuruh anak buahnya berhenti. Mereka sudah berkuda sepanjang pagi, tanpa henti memeriksa berbagai jalur, mengikuti jejak kuda yang ditemukan. Tapi mereka belum berhasil juga. Tidak ada petunjuk yang mereka peroleh. Alaric meluncur turun dari pelana dan melangkah maju untuk mengecek tanah di depan. Ia berlutut dan menyentuh jejak samar kaki kuda serta rumput yang terinjak-injak. Kelihatannya seseorang jatuh dari kudanya di situ. Belum lama ini.

Alaric mengamati daerah sekitar dan melihat jejak kaki di sebidang tanah kosong yang kira-kira terletak satu meter darinya. Lalu ia mengarahkan pandangannya ke daerah yang dituju orang tadi. Pelan-pelan ia berdiri, menarik pedang, memberi isyarat agar anak buahnya berpencar dan mengepung tempat itu.

Dengan hati-hati, Alaric berjalan menembus pepohonan. Sikapnya waspada, kalau-kalau ada sesuatu yang akan menyerangnya. Mulanya ia melihat seekor kuda, merumput tak jauh darinya. Tali kekang kuda itu terjulur ke bawah, pelananya miring. Alaric mengerutkan kening. Mengabaikan seekor kuda seperti itu dosa besar.

Gemerisik pelan dari sebelah kanan membuat Alaric memutar tubuh, dan menemukan diri bertatapan dengan seorang wanita mungil. Punggung wanita itu menempel pada sebatang pohon yang sangat besar. Roknya bergoyang-goyang seolah beberapa ekor kucing bersembunyi di bawahnya, mata birunya yang besar dipenuhi ketakutan –dan kemarahan.

Rambut hitam dan panjang wanita itu tergerai berantakan sampai ke pinggang. Saat itulah Alaric melihat warna tunik wanita itu dan simbol yang tersulam di tepinya.

Perasaan murka sejenak membutakan Alaric, sehingga ia maju dengan mengacungkan pedang ke atas kepala.

Satu lengan wanita itu bergerak ke belakang, mendorong sesuatu semakin jauh ke antara dirinya dan pohon itu. Roknya menggeliat-geliat lagi, dan saat itulah, Alaric sadar bahwa wanita itu melindungi seseorang. Seorang anak kecil.

“Jangan keluar dari balik punggungku,” wanita itu mendesis.

“Tapi Mai–”

Langkah Alaric terhenti. Ia kenal suara itu. Jemarinya gemetar. Baru kali ini tangannya tidak bisa memegang sebilah pedang dengan mantap. Neraka harus membeku dulu sebelum ia membiarkan anak buah Cameron menyentuh anggota keluarganya.

Dengan menggeram marah, Alaric menerjang maju, menyambar bahu wanita itu, lalu mendorongnya ke samping. Crispen berdiri di depan pohon dengan mulut melongo. Lalu ia melihat Alaric dan bisa dibilang melompat ke pelukannya.

Pedang Alaric jatuh ke tanah –itu juga dosa besar– tapi saat itu Alaric tidak peduli. Ia hanya merasa lega sekali.

“Crispen,” kata Alaric dengan suara serak, ketika memeluk anak itu erat-erat.

Pekik kemarahan menyerang telinga Alaric, persis saat seorang wanita menerjang menyerangnya. Begitu terkejutnya Alaric, sampai ia nyaris jatuh ke belakang dan mengendurkan pelukan kepada Crispen.

Wanita itu menyelinap di antara Alaric dan Crispen, lalu menendang selangkangan Alaric. Alaric membungkuk, mengumpat karena kesakitan. Satu kakinya jatuh berlutut, lalu Alaric menyambar pedang sekaligus bersiul memanggil anak buahnya. Perempuan itu sudah gila.

Dengan pandangan nanar, Alaric melihat wanita itu meraih Crispen yang meronta-ronta dan mencoba kabur. Beberapa hal terjadi secara bersamaan. Dua anak buah Alaric melangkah ke depan wanita itu. Perempuan itu tiba-tiba berhenti, membuat Crispen menabrak punggungnya. Ketika wanita itu mulai pergi ke arah berlawanan, Gannon mengangkat lengan untuk menghentikan.

Alaric terperangah ketika menyaksikan wanita itu memutar tubuh, meraih Crispen, lalu menjatuhkan diri ke tanah, menindih Crispen untuk melindungi anak itu.

Gannon dan Cormac membeku dan memandang Alaric, persis ketika anak buah  Alaric yang lain berhamburan keluar dari pepohonan.

Yang semakin membingungkan mereka, Crispen akhirn ya menggeliat keluar dari bawah wanita itu lalu melemparkan diri ke atas tubuh wanita tersebut, sambil melotot galak kepada Gannon.

“Kau tidak boleh memukulnya!” Crispen berseru.

Semua anak buah Alaric mengerjap-ngerjapkan mata dengan terkejut mendengar kegarangan Crispen.

“Nak, aku tidak akan memuluknya,” jawab Gannon. Aku hanya tidak mau dia melarikan diri. Denganmu. Demi Tuhan, kami sudah mencarimu selama berhari-hari. Laird sangat mencemaskanmu.”

Alaric mendekati Crispen lalu mengambilnya dari wanita yang sedang meringkuk itu. Ketika ia menarik wanita itu supaya berdiri, Crispen meledak lagi, dan mendorongnya mundur.

Alaric melongo menatap keponakannya.

“Jangan sentuh dia,” kata Crispen. “Dia terluka parah, Paman Alaric.”

Crispen menggigit bibir bawah. Kelihatannya anak itu sudah tidak tahan akan menangis sebentar lagi. Siapa pun wanita itu, jelas Crispen tidak takut kepadanya.

“Aku tidak akan menyakitinya, Nak,” kata Alaric dengan lembut.

Ia berlutut lalu menyibakkan rambut dari wajah wanita itu, dan melihatnya sudah pingsan. Satu pipinya memar, tapi selain itu dia tampak baik-baik saja.

“Bagian mana yang terluka?” tanya Alaric kepada Crispen.

Air mata menggenangi mata Crispen, yang buru-buru disekanya dengan punggung tangan yang kotor.

“Perut. Dan punggungnya. Dia sangat kesakitan setiap kali ada orang yang menyentuhnya.”

Dengan hati-hati, agar Crispen tidak ketakutan, Alaric menyingkap pakaian wanita itu. Ketika melihat perut dan punggung wanita itu, Alaric menarik napas. Di sekeliling Alaric, anak buahnya mengumpat dan menggumam iba kepada wanita mungil itu.

“Demi Tuhan di surga, apa yang terjadi kepadanya?”

Seluruh tulang rusuk wanita itu berwarna ungu, dan memar-memar yang menyeramkan menodai punggungnya yang mulus. Alaric berani bersumpah salah satu memar itu berbentuk sepatu bot pria.

“Dia memukulinya,” jawab Crispen dengan suara tercekik. “Bawa kami pulang, Paman Alaric. Aku ingin bertemu Papa.”

Karena tidak mau pertahanan Crispen runtuh di depan anak buahnya, Alaric mengangguk dan menepuk lengan anak itu. Ada banyak waktu untuk mengorek cerita dari mulut Crispen nanti. Ewan pasti ingin mendengar semuanya.

Alaric menunduk menatap wanita yang pingsan dan mengerutkan kening. Wanita itu telah memberikan tubuhnya demi melindungi Crispen, namun dia memakai baju dengan warna kubu Duncan Cameron. Ewan pasti akan meledak jika Cameron sampai terlibat dalam hilangnya Crispen.

Perang. Akhirnya, setelah sekian lama, mereka akan berperang.

Alaric memberi isyarat kepada Cormac agar merawat wanita itu. Ia sendiri hendak mengambil Crispen, agar anak itu berkuda bersamanya. Ada beberapa pertanyaan yang ingin diajukannya dalam perjalanan pulang mereka.

Crispen menggeleng kuat-kuat. “Tidak, kau saja yang membawanya, Paman Alaric. Dia harus berkuda denganmu. Aku sudah berjanji bahwa Papa akan menjaganya. Tapi Papa tidak ada di sini, jadi kaulah yang melakukannya. Kau harus melakukannya.”

Alaric menghela napas. Crispen tampaknya tak akan mengubah pendirian. Namun karena Alaric begitu senang melihatnya masih hidup, ia akan menuruti saja permintaan konyol anak itu. Tapi nanti, ia akan menguliahi anak bandel itu supaya tidak menentangnya.

“Aku juga mau berkuda dengan kalian berdua,” kata Crispen, matanya dengan gelisah menatap wanita itu.

Dia beringsut mendekati wanita itu, seolah tidak sanggup berpisah darinya.

Alaric menengadah ke langit. Ewan tidak cukup keras mendidik anak itu. Hanya itu alasan yang bisa menjelaskan sikap manja Crispen.

Jadilah Alaric menunggangi kuda dengan wanita itu duduk bersandar di depan. Satu lengan Alaric memeluk wa nita itu, sementara Crispen duduk di kaki Alaric yang satu lagi, kepalanya ditaruh di dada wanita itu.

Alaric melotot kepada anak buahnya, melarang mereka menertawakan. Ia bahkan harus melepaskan pedang agar mampu membawa dua orang tambahan. Apalagi, berat badan keduanya tidak seimbang dengan berat badan petarung seperti dirinya sendiri.

Ewan lebih baik berterima kasih kepadanya. Begitu Alaric menyerahkan wanita itu kepada Ewan, Ewan dapat memutuskan apa yang akan dilakukan dengan wanita itu.



Next
Back

1 komentar: