Oh, permainan yang dimainkan seorang
pria!...
Eirik
membuatnya gila.
“Aku
harus bicara denganmu,” Eadyth bersikeras saat ia merayap ke ranjang Eirik
malam itu. Ia begitu ingin mengakui penyamaran bodohnya. Bahkan, jam demi jam,
ia menjadi semakin takut akan nasibnya jika ia tak mengaku.
Tapi
sangat sulit berkonsentrasi saat tubuh telanjang suaminya terbaring hanya
berjarak sejengkal darinya, dan pria itu tampaknya sama sekali tak tertarik
untuk menyempurnakan pernikahan mereka. Kalau pria itu menguap, dengan membuka
lebar-lebar mulutnya dan dengan suara keras, sekali lagi, Eadyth mungkin bisa
menyumpalkan perjanjian pernikahan mereka ke tenggorokannya.
“Eirik,
hentikan menguap dengan tak sopan dan pandang aku.”
“Menguap
itu tak sopan? Aku tak tahu itu. Lihatlah, kau memang membawa pengaruh baik
untukku, Eadyth. Kau mengajariku begitu banyak hal-hal yang tak penting.”
Eadyth
melayangkan tatapan curiga padanya. Apa ia sedang mengolok-ngoloknya? “Eirik!
Berhentilah mengubah topik pembicaraan. Aku ingin memberitahumu sesuatu yang
tidak penting.”
“Tidak,
terlalu panas untuk bicara. Aku nyaris tak bisa bernapas dengan semua kain
linen di ranjang ini.” Ia menatap tajam pada kain yang menutupi tubuh telanjang
Eadyth. “Dan setiap kali kau punya sesuatu yang penting untuk memberitahuku,
pasti melibatkan banyak pekerjaan. Kau membuat darahku mendidih saat kau
mencecarku, sedangkan sudah terlalu pengap di sini.”
“Mungkin
ini semua karena begitu banyak lilin yang kau nyalakan.” Eadyth menyapukan
pandangannya ke sekitar kamar di mana selusin lilin menyala dengan sia-sia
karena Eirik menginginkannya. Ia mengatakan tiba-tiba memerlukan cahaya jika
sewaktu-waktu ia perlu menggunakan kamar mandi di tengah malam.
“Dalam
hal apa pun, aku tak akan mencecarmu.” Eadyth dengan hati-hati berusaha
mengalihkan pandangannya dari tubuh telanjang Eirik sambil meneruskan
bicaranya. “Aku hanya...”
Ia
gagal.
Kata-katanya
mengambang saat tak sadar ia memandang ke arahnya dan, oh, Tuhan, Eirik
berbaring dengan lengan terlipat di balik kepalanya, kakinya yang panjang disilangkan
di pergelangan kakinya, dan bagian tubuhnya yang itu tegak di udara seperti tombak logam yang kokoh.
Eadyth
terkesiap dan memaksakan matanya memandang ke wajah Eirik.
“Eadyth,
kau selalu mengomel.”
Untungnya,
Eirik tampaknya tak menyadari pengamatan Eadyth atau rasa malunya kemudian. Ia
balas memandang Eadyth dengan enteng, mata birunya memindai kain linen yang
digunakan Eadyth menyelimuti dirinya sampai ke dagunya dengan mencibir.
“Rasanya
seperti dalam oven di sini,” ia menggerutu.
“Apa
yang kau mau lakukan?” sembur Eadyth dan seketika menyesali pertanyaannya yang
impulsif.
“Singkirkan
selimut itu. Semuanya.”
Eadyth
menelan ludah.
Eirik
menyusup ke bawah dan berguling bolak-balik, berusaha mendapatkan posisi
nyaman. Sekali waktu, ia mengulurkan lengannya, secara tak sengaja menyenggol
payudara kirinya melalui kain linen yang kasar. Saat Eadyth berbalik
memunggunginya, lutut Eirik menyentuh bokongnya, sekilas.
Eadyth
menegang. Bagaimana pun, ia segera rileks, menyadari bahwa sentuhan Eirik pasti
tak sengaja. Eirik sudah sering mengatakan padanya bahwa bentuk tubuh, wajah,
dan tingkah lakunya membuatnya jengah. Malahan, satu-satunya bagian tubuh
Eadyth yang tampaknya menarik perhatian pria yang menyebalkan itu adalah tahi
lalat di atas bibirnya. Demi Santa Bridgit! Pria itu benar-benar mesum. Kalau
sekali lagi saja ia menyebutkan tentang apa yang akan dilakukannya pada tahi
lalatnya dengan lidahnya, Eadyth b isa mencekiknya.
Dan
tetap saja pria itu tak mau menyempurnakan pernikahan mereka. Hmmm.
Tiba-tiba,
Eadyth menyadari bahwa ia sudah membiarkan pria itu sekali lagi mengalihkan
perhatiannya pada tujuannya semula –pengakuannya. Ia seketika duduk di
ranjangnya, nyaris tak meraih selimutnya yang dengan cepat turun ke
payudaranya.
Mata
Eirik membelalak dan nyaris keluar dari kepalanya. Tampaknya pria itu bisa
melihat dengan jelas dalam hal-hal tertentu!
“Eirik,
aku bersikeras untuk memberitahumu sesuatu yang penting. Berhentilah bergerak
dan dengarkan...”
“Mungkin
kita harus menyempurnakan pernikahan kita,” selanya santai. “Sekarang.”
“Sekarang?”
Eadyth menjerit. Tuhan, pria ini berubah-ubah dalam seketika.
“Ya.
Kalau kau mau melakukan beberapa hal kecil untuk membantu, aku mungkin bisa
melakukannya,” tawarnya dengan cemas. Eadyth berani bersumpah ia bisa melihat
seringai yang akan terbentuk di sudut-sudut bibir keras pria itu, tapi gerakan
itu berhenti sebelum Eadyth sempat mengamatinya lebih dekat.
“Kelihatannya
adonanmu lebih dari sekadar mengeras,” ujar Eadyth datar, ingat sekali bagaimana
bagian itu terlihat beberapa saat
lalu. Ia melambaikan tangan ke arah bagian kejantanan Eirik, tapi tak mau
melihat bagian itu lagi. “Kau bukan
bunga lili yang loyo.”
“Ah,
jadi kau melihatnya. Tapi, seperti yang kau lihat sekarang, adonannya sudah mengempis
lagi. Lihat saja.”
Tidak akan, bahkan jika nyawaku
dipertaruhkan!
Eadyth mengangkat dagunya dan menoleh ke arah dinding di arah sebaliknya,
wajahnya merona saat ia berusaha mengenyahkan bayangan kejantanan Eirik dari
benaknya.
Eirik
mendecak aneh. “Tentu saja, kalau kau berusaha melakukan... sesuatu... kita mungkin bisa
membangkitkannya lagi.”
“Sesuatu?
Sesuatu apa?” tanya Eadyth curiga, membalikkan punggungnya untuk melihat ke
arah Eirik.
“Well, aku pernah mengenal seorang pria
yang...”
“Jangan
cerita soal khalifah sialan itu lagi!”
“Eadyth!
Jaga bahasamu! Ck ck. Tidak, ini tentang pria lain, bukan si khalifah. Seorang
saudagar sutra dari Micklegaard, kurasa,” jelas Eirik, melambaikan tangannya.
“Adonan pria ini juga punya masalah dalam hal ‘mengeras’. Pastinya karena wajah
istrinya seperti bokong seekor keledai.” Eirik memandang Eadyth dengan sorot
yang menggetarkan hati.
Eadyth
mengernyit dalam hati pada komentar suaminya tentang penampilan fisiknya...
atau kekurangannya.
“Tapi
istrinya memang berusaha keras, aku salut soal itu,” Eirik melanjutkan. “Pria
itu bilang bahwa kadang-kadang istrinya itu akan berdiri terbalik dengan kepala
di bawah di kaki ranjang untuk membangkitkan hasrat suaminya. Tentunya dalam
keadaan telanjang. Dengan rambut panjang yang terurai menutupi wajahnya. Pria
itu bilang cara itu selalu berhasil. Dan, tentu saja, mereka punya sepuluh
anak. Kurasa kau tak...”
“Tak
akan pernah!” sembur Eadyth dan menutup mulutnya yang ternganga rapat-rapat,
menjauh dari lelaki menyebalkan itu. Tentu saja, suaminya itu bohong. Wanita
tak melakukan hal seperti itu. Eadyth tahu itu.
Benarkah?
Eirik
telah membuatnya marah kemudian dengan berguling menjauh dan mengabaikannya
lagi. Bukannya ia ingin Eirik menginginkannya. Sungguh, lebih baik begini,
katanya pada dirinya sendiri.
Lalu
mengapa ia justru merasa hampa?
Lalu rayuannya semakin gencar...
Keesokan
paginya, Eadyth terbangun mendengar suara koak Abdul. Eirik berdiri di depan
kandang burung itu, berpakaian lengkap, mengenakan celana panjang hitam dan
sepatu bot serta kemeja yang berbantalan, tampak sudah bersiap untuk melakukan
olahraga lapangan dengan anak buahnya. Eirik mengulurkan potongan roti untuk
burung yang lapar itu.
“Keparat
menyebalkan! Awk!” burung itu berkoak dalam suara yang mirip dengan suara
Eadyth. “Orang liar menjengkelkan! Brengsek bodoh! Lord tolol! Awk!”
Eirik
menoleh ke arahnya, menaikkan satu alisnya menuduh. “Mungkin kau memiliki
terlalu banyak waktu luang, Eadyth.”
“Maukah
kau mencium bulu ekorku?”
“Aku
tak mengajarinya kata-kata itu,”
Eadyth membela diri saat Eirik menaikkan satu alis bertanya.
“Lili
loyo. Lili loyo. Lili loyo.”
Mata
Eirik menyipit mengancam saat burung itu mengulangi kata-kata Eadyth malam
sebelumnya.
Eadyth
merasakan pipinya memanas karena malu.
“Hmmm,
mungkin kau perlu diajari, Istriku,”
Eirik berkata dengan suara selembut sutra dan meraih ke dalam kandang, memungut
sehelai bulu panjang berwarna hijau yang terlepas dari tubuh Abdul. Eirik
mengerling pada Eadyth, berspekulasi saat ia berjalan ke arah ranjang, lalu
duduk di pinggirnya, pinggulnya hangat bergesekan dengan pinggul Eadyth,
walaupun dengan batasan pakaian.
Menyentuhkan
ujung bulu itu ke tahi lalatnya, Eirik berkata dengan parau, “Suatu hari...
suatu hari, Eadyth, kita akan melakukan sesuatu yang menarik dengan bulu ini.”
Eadyth
memandang Eirik, terpikat dengan denyut nadi yang berdenyut di lehernya,
kilatan sensual di mata biru pucatnya, bibirnya yang memesona. Bagaimana
mungkin seorang pria bisa berubah dari tak berminat sama sekali menjadi
menyala-nyala penuh gairah dalam seketika? Dan Eadyth tak mempertanyakannya
sama sekali, bahwa pada saat ini, pria itu menginginkannya, seperti layaknya
seorang pria menginginkan seorang wanita.
Sambil
terus memandang Eadyth, Eirik mulai menyentuh bibir Eadyth menggunakan bulu
itu, meluncur di sepanjang rahangnya, di atas bahu telanjangnya, dan oh, ya
Tuhan, di atas puncak payudaranya yang masih berada di bawah selimut. Melalui
kain linen yang tipis, mereka berdua bisa melihat puncak payudara Eadyth
bereaksi.
Eirik
menarik napas dalam-dalam.
Eadyth
memejamkan mata sambil mendesah pelan saat kenikmatan yang baru dan menakjubkan
melanda tubuhnya.
Tapi
matanya seketika terbuka lebar ketika merasakan bulu itu menelusuri garis turun
di antara kedua payudaranya, melewati pinggangnya, di atas perutnya menuju ke
pangkal pahanya. Kain linen usang itu tak menawarkan perlindungan sama sekali.
Kendali diri yang dijaga Eadyth dengan amat keras runtuh seketika. Ia sangat
ingin membentangkan kakinya dan melengkungkan tubuhnya menyambut belaian bulu
itu. Butuh segenap tekad bagi Eadyth untuk bisa menghentikan dirinya.
Oh, aku menjadi wanita yang tak tahu
malu,
Eadyth memaki dirinya sendiri. Dan aku
menyukainya.
Kulitnya
menjadi panas di mana pun Eirik menyentuh, walaupun melalui kain –diatas lutut,
betis, pergelangan kaki. Darah mengalir deras ke telinganya, dan napasnya
menjadi pendek dan tercekat. Tubuhnya mendambakan makanan penuh dosa yang tak
dipahaminya. Sebelum Eadyth menyadari apa yang akan dilakukan suaminya, Eirik
sudah menyingkapkan ujung bawah selimut linennya, dan menggelitik telapak
kakinya dengan bulu selembut sutra itu.
Eadyth
menggigit bibirnya kuat-kuat karena menghadapi siksaan kenikmatan yang begitu
kuat. Atau apakah itu siksaan untuk kesenangan Eirik? Benaknya yang mabuk
kepayang tak bisa membedakannya.
Eirik
berdiri dengan pandangan puas namun muram menyadari intensitas fisik yang
terjadi di antara mereka. Eirik tampak ragu, lalu membalikkan badan dengan
enggan dari Eadyth, sebelum melangkah menuju pintu.
“Kau
akan meninggalkanku di sini dalam kondisi... ini?”
Eirik
berhenti dan menoleh perlahan, menyunggingkan senyum yang membuat jantung
Eadyth berhenti berdetak. Eadyth bisa melihat emosi Eirik sama terguncangnya
seperti dirinya. Dengan pelan, Eirik bertanya, “Kondisi apa?”
“Demi
Tuhan, aku tak tahu, tapi aku yakin kau tahu. Hentikan.”
“Hentikan
apa?”
Eadyth
bisa melihat bahwa kegusarannya menyenangkan Eirik. “Permainan yang kau mainkan
ini.”
“Permainan?
Tidak, Istriku, bukan aku yang bermain.” Eirik menyelipkan bulu itu di jepitan
bros naga di bahunya dan menepuknya. “Aku akan menyimpan bulu ini untuk lain
waktu, Eadyth. Aku berjanji, lain kali kita akan bermain sampai selesai.”
“Permainan
apa?” seru Eadyth memanggil, tapi pria itu sudah menghilang.
Dan
tubuh Eadyth berdenyut menginginkan hal yang telah dibangkitkan oleh Eirik... bulu-bulu.
Ya,
pria itu membuatnya gila.
Benar-benar gila...
Eadyth
membuatnya gila.
Eirik
memaksakan tubuhnya dan tubuh anak buahnya sampai batas maksimal mereka di
lapangan latihan hari itu, tapi ia tak bisa menghapus bayangan istrinya
terbaring di ranjang pagi itu, tubuh wanita itu menggigil membutuhkan
penyatuan. Kebutuhan yang juga dirasakannya.
Eirik
bukan hanya salah menilai penampilan istrinya yang sesungguhnya. Tapi ternyata,
wanita itu juga bukan wanita dingin pembenci pria seperti dugaannya. Dingin?
Hah! Kalau Eadyth lebih panas lagi, Eirik bisa terbakar hangus.
Memang,
Eirik punya masalah. Ia adalah pria sehat dengan selera pria yang sehat. Dan
terakhir kalinya ia bersama wanita adalah sepuluh minggu lalu, sebelum
pertunangannya. Eirik tahu ia tak akan bisa menolak daya tarik Eadyth semalam
lagi saja. Tapi ia tak bisa mengambil risiko menghamili wanita itu sementara ia
masih tak yakin dengan kesetiaannya.
Tidak,
ia harus membuat batasan antara mereka sebelum Sigurd kembali dari misinya.
Tapi bagaimana caranya, sementara tubuhnya sendiri yakin akan segera
tertaklukkan? Harus diserahkan pada Eadyth. Ia harus melakukan sesuatu untuk
membuat istrinya menjadi dingin kepadanya, untuk sementara, sesuatu yang
membuat Eadyth cukup marah hingga mampu menghentikannya agar menggoda istrinya
secara tak sadar ke ranjang. Ia harus membuat wanita itu marah sampai berubah
sedingin batu.
Itu
tak akan terlalu sulit.
Eirik
menyeka keningnya dengan lengan yang berkeringat dan menoleh dengan tak sadar
ke samoingnya di mana salah satu anak buah barunya, Aaron, sedang menyambut
istrinya yang masih muda, seorang wanita Moorish yang cantik bertubuh mungil
dengan mata sipit dan berkulit zaitun. Sambil menyunggingkan senyum karena
tiba-tiba timbul inspirasi, Eirik mendekati pasangan muda itu dengan rencana
yang dengan cepat dirancangnya. Awalnya, mereka memprotes, ragu dengan tawaran
yang tak wajar, tapi segera saja, berkat beberapa koin yang disodorkan Eirik,
mereka setuju untuk bekerja sama.
Eadyth
pasti akan mengamuk, pikir Eirik sambil menyeringai. Ia hanya berharap itu akan
bertahan sampai Sigurd kembali.
Siapa yang menduga lumpur bisa menjadi
obat pembangkit gairah?
Eadyth
menjatuhkan cadar antilebahnya di kursi dapur dan menyeka tetesan air dari
mantel dan gaunnya. Guntur bergemuruh keras memberi tanda badai musim panas
yang akan bergolak namun hanya sesaat.
“Apakah
para pria sudah kembali?” tanya Eadyth pada Bertha, yang sedang memecahkan
telur di mangkok keramik untuk membuat puding manis.
Koki
itu mengangguk, tapi matanya memancarkan sorot yang tidak biasa.
“Ada
masalah?”
“Tidak.”
“Kau
pembohong. Aku bisa melihatnya. Di mana Eirik?”
Wajah
Bertha yang tembam langsung merah padam. “Bagaimana mungkin aku tahu?”
“Biasanya
kau tahu segalanya.”
“Hah!
Cari sendiri kalau begitu.”
“Sebaiknya
kau jaga sikapmu, atau kau akan mendapati dirimu bertugas menggosok jamban,”
Eadyth menegur Bertha, tapi bukan dengan cara kasar. Ia sudah mulai menyukai
koki yang ceplas-ceplos itu.
Menyambar
sepotong keju dari meja, Eadyth berlalu, sambil mengunyak kejunya. Eadyth
memutuskan mencari Eirik. Ia merasakan bahwa ia dan suaminya akan segera
menyempurnakan pernikahan mereka, dan ia ingin tak ada rahasia yang membuatnya
kelak merasa bersalah. Ia bertekad memberitahu Eirik tentang penyamarannya, sekarang, bahkan jika ia harus mengikat
pria itu dan menyumpal mulutnya. Eadyth tersenyum, dengan debar kenikmatan yang
tak biasa di perutnya, memikirkan bayangan yang anehnya menggoda itu.
Hujan
menghantam atap dengan keras, dan Eadyth memeriksa langit-langit aula
kalau-kalau ada yang bocor sambil melintasinya. Tampaknya tukan mereka akhirnya
memperbaiki semua kebocoran, pikirnya puas. Selanjutnya, ia akan menyuruh
mereka merenovasi kapel.
Eadyth
hendak akan menaiki tangga menuju kamar mereka ketika Britta memanggilnya, “Mistress,
kalau aku jadi kau, aku tak akan pergi ke atas sekarang.”
“Kenapa
tidak?”
“Itu
tidak bijak,” gumam Britta, memalingkan wajahnya malu-malu, mirip seperti Bertha.
Ada
sesuatu yang janggal. Sesuatu yang tak akan disukainya. Dan ini melibatkan
Eirik. Matanya menyipit dan ia mulai menaiki tangga lagi, bertekad mengakhiri
misteri ini.
“Oh,
Tuhan,” ia mendengar gumaman ngeri Britta di belakangnya. “Sekarang bulu-bulu
angsa itu akan terbang.”
Eadyth
tak mengetuk pintu kamar Eirik –pintu kamar mereka, ia mengoreksi. Malahan, ia
memutar pegangan pintu dan langsung membukanya. Lalu terkesiap marah melihat
pemandangan di depannya.
Eirik
sedang berbaring di ranjang, bertumpu pada sikunya. Ia hanya mengenakan cawat,
dan tubuh serta rambut hitamnya berkilau dengan kelembapan akibat habis mandi.
Eirik
tidak sendirian.
Seorang
wanita muda –muda dan cantik- berlutut
di ranjang, kaki Eirik ada di pangkuan wanita itu.
Mata
Eadyth membelalak tak percaya.
Wanita
Moor itu sedang memotong kuku kaki Eirik, padahal pria itu nyaris telanjang. Di
pangkuannya.
“Eadyth,
aku tak tahu kau ada di sana. Masuklah,” kata Eirik dengan gaya polos. Mata
mengantuknya mengungkapkan emosi yang lain.
Oh,
memalukan! Eirik benar-benar membawa seorang wanita simpanan ke rumahnya di
depan semua orang. Ia akan membunuh pria itu! Mungkin dengan pisau kecil yang
digunakan wanita itu untuk memotong kuku Eirik. Mungkin ia akan membunuh mereka
berdua.
Di
tengah kemarahannya, air mata kekecewaan berlinang di pipi Eadyth. Ia baru
menyadari betapa ia sudah begitu memercayai Eirik, suaminya, dan menanti-nanti
saat penyatuan mereka. Oh, ini tak adil. Pertama Steven, dan sekarang si
bajingan mata keranjang ini.”
Betapa
bodohnya, ia melangkah ke dalam pernikahan ini dengan hati yang terbuka lebar.
Mengangkat dagunya dengan marah, Eadyth berusaha menyembunyikan sakit hatinya
dari tatapan Eirik yang menyelidik. Ia wanita yang kuat, terbiasa dengan
kerasnya kenyataan hidup dan kesepian. Ia akan bertahan dengan pengkhianatan
pria lain. Ya, ia pasti bertahan.
Tanpa
pikir panjang, Eadyth menyambar ember di sebelah air mandi Eirik yang kotor dan
menumpahkan isinya ke tubuh suaminya yang masih berbaring. Air itu membuat Eirik
dan kain seprai basah kuyup dan menciprati gaun si wanita jalang yang sedang
duduk bersimpuh di ranjang, ketakutan.
“Sialan,
Eadyth! Air itu sedingin es,” pekik Eirik, meraih selembar kain kering. “Apa
kau tak suka pada pria yang menjaga tubuhnya dengan baik?”
“Menjaga
tubuhnya?” Eadyth nyaris tersedak dan mengisi kembali ember kosong itu dengan
bekas air mandi, dan mendekati ranjang lagi. Wanita muda itu menjerit ketakutan
dan meloncat dari ranjang, melesat di sekitar Eadyth dan keluar dari pintu.
Eirik
berdiri dan memandang Eirik dan memandang Eadyth dengan menantang. “Jangan
berani-berani menumpahkan air kotor itu padaku, atau kau akan menaggung
akibatnya.”
Meskipun
marah, Eadyth harus mengakui bahwa pria itu tampak perkasa dengan berdiri di
sana, bertelanjang dada dan kaki. Cahaya dari celah berbentuk anak panah
menyinari otot-otot Eirik yang terpahat di bahu dan lengannya, menonjolkan
gumpalan otot kaki panjang yang ditempa oleh kegiatan berkuda selama
bertahun-tahun. Eirik melemparkan kain linen ke ranjang dan berkacak pinggang
dengan arogan. Bibirnya tampak berkerut terhibur, dan mata biru pucatnya
berkilat dengan semacam kesenangan yang nakal.
Amarah
yang bergolak membutakan Eadyth seketika. Pria itu sedang menertawainya. Pria
itu bersenang-senang dengan wanita lain dan berpendapat bahwa kemarahannya
lucu. Eirik berjanji akan setia dalam perjanjian pertunangan dan sekarang pria
itu sudah berselingkuh bahkan sebelum pernikahan mereka disempurnakan. Paling
buruknya adalah, Eirik menganggap gadis desa yang bodoh itu menarik, dan ia...
dan ia, istri sahnya, pria itu bahkan tak sudi menidurinya.
Eadyth
menumpahkan seember air itu ke wajah Eirik. Air sabun menetes dari rambut, alis
dan dagunya. Eirik terpana karena kaget Eadyth benar-benar melanggar
perintahnya, mulutnya ternganga. Tapi hanya sekejap. Kekagetannya berubah
menjadi amarah dan ia bersumpah dengan kesal, “Kau akan menyesalinya, Istriku,
karena kau tak mengindahkan peringatanku.”
Eadyth
menyadarikemudian bahwa mungkin ia terlalu berburu-buru dalam caranya
menunjukkan kegusarannya pada Eirik. Seharusnya Eadyth menunggu sampai
kemarahannya bisa ia redam dan membicarakan situasi itu dengan Eirik secara
rasional. Ya Tuhan! Ke mana perginya wanita logis berkepala dingin yang datang
ke Ravenshire dulu? Ia tak mengenali wanita pemberang seperti dirinya sekarang.
Eirik
mulai mengikutinya, kilatan mangsa di matanya.
Eadyth
memutar badannya dan berlari menuruni tangga dan melewati aula, mengabaikan
para ksatria yang masuk karena hujan dan duduk untuk bermain kartu di meja
panjang. Ia melesat ke luar halaman, tak yakin dengan tujuannya, hanya tahu ia
harus melarikan diri dari derap kaki yang didengarnya mengikutinya.
Eadyth
hampir sampai di halaman ketika didengarnya kaki telanjang Eirik tersandung di
anak tangga luar. Pria itu tergelincir, mengumpat keras, sebelum jatuh ke tanah
berlumpur di kebun.
Eadyth
menengok dengan cemas dan mempertimbangkan untuk kembali memastikan bahwa
suaminya baik-baik saja. Sekilas memandang Eirik membuatnya berubah pikiran.
Pria itu sedang duduk di lumpur, masih mengenakan cawat, memandang galak ke
arahnya, dan Eadyth memutuskan sebaiknya ia menemukan tempat bersembunyi sampai
kemarahan pria itu mereda.
Ia
nyaris sampai ke taman dapur ketika Eirik menerjangnya dari belakang, menyambar
pinggangnya. Ia mendarat telungkup, wajahnya terbenam ke dalam lumpur, eirik di
atasnya. Hujan membasahi mereka berdua, menciptakan genangan lumpur.
Eadyth
menekankan telapak tangannya di tanah yang becek itu dan berusaha mengangkat
kepala dan bahunya, tapi ia tak bisa bergerak. Eirik menindihnya dari leher
sampai kaki dengan tubuh yang jauh lebih besar, membuat Eadyth jadi sulit
bernapas.
“Menyingkir,
kau keparat besar.”
Eirik
membalikkan Eadyth menjadi telentang tapi terus menindihnya di tanah. Hujan
mulai mereda saat sinar matahari mengintip dari balik awan. Menurut Eirik
istrinya tampak seperti tikus yang terbenam dalam lumpur, namun Eirik merasakan
kenikmatan saat menekankan tubuhnya yang keras pada lekukan tubuh istrinya. Ya,
lekukan, ia menyadari, dengan senang; istrinya jelas-jelas bukan makhluk kurus
kering seperti bayangannya semula.
Dengan
berhati-hari, ia memosisikan tubuhnya di atas tubuh istrinya dan membenamkan
bagian tubuhnya yang membengkak di pusat wanita itu.
Eadyth
terkesiap dan mendongak memandang Eirik dengan wajah polos yang bertanya-tanya.
Aliran hujan mulai menyapu lumpur yang ada di wajahnya, dan rambutnya yang
basah kuyup dan keluar dari topinya membentuk gumpalan abu-abu yang jelek.
Tapi
entah mengapa Eirik tak merasa jijik.
Dengan
gerakan kedua kakinya yang cekatan, Eirik mengaitkan kakinya dengan kaki Eadyth
dan membentangkannya. Lalu, melalui gaun Eadyth yang tipis dan basah kuyup oleh
hujan, dengan mahir ia menyentuhkan dirinya ke pusat kenikmatan Eadyth –setidaknya,
itu titik kenikmatan pawa wanita yang dikenalnya. Tapi mungkin, istrinya ini
berbeda.
Mulut
Eadyth membuka dan mengeluarkan desahan lembut. “Oh.”
Eirik
tersenyum. Istrinya tak berbeda ternyata. Dan dalam hal itu ia menemukan
kepuasan... dan antisipasi. “Oh?”
“Oh,
kau lelaki liar!” seru Eadyth dalam suara melengking yang biasa, berusaha
mendorong Eirik saat ia kembali ke akal sehatnya.
“Lelaki
liar, benarkah?” tanyanya. “My Lady, kau belum
tahu seliar apa aku sebenarnya.” Eirik mengulurkan tangan kanannya dan
mengumpulkan segenggam lumpur. Lalu sambil terkekeh, ia mengoleskannya ke muka
Eadyth. “Ini untuk menyiram mukaku dengan air bekas mandi.”
Eadyth
menggerutu dan meludah, melempari wajah Eirik dengan lumpur, dan berusaha
mencakarnya. Tapi eirik menarik kedua pergelangan tangan Eadyth di atas
kepalanya dengan satu tangan. Lalu ia mengumpulkan segenggam lumpur lagi dan
mengoleskannya ke kedua payudara Eadyth, menggosok dengan menggoda. Dengan
kagum, ia melihat puncak payudara Eadyth mengencang malalui gaunnya yang tipis.
Dan
Eirik sendiri semakin mengeras di atas tubuh Eadyth.
“Kenapa
kau lakukan ini?” Eadyth mendesah.
“Karena
aku suka.”
Dengan
hati-hati, Eirik memutar pinggulnya ke depan dan ke belakang di atas tubuh
Eadyth, mengawasi reaksi istrinya. Wanita itu tak mengecewakannya.
Secara
naluriah, kaki Eadyth semakin terbentang dan ia melengkungkan tubuhnya meminta
lebih. Eadyth memejamkan matanya dengan perlahan, membuka bibirnya untuk
mengakomodasi napasnya yang tersengal-sengal. Tubuh Eadyth mengungkapkan pada
Eirik apa yang tak bisa dikatakan lidahnya yang angkuh: Eadyth menginginkan
Eirik. Sebanyak Eirik menginginkannya.
“Ahem.
Ahem.”
Eirik
menggeram mendengar suara terbatuk itu dan ia tahu kesempatannya telah hilang,
bahkan sebelum ia mendongak dan melihat Britta, Bertha, dan beberapa ksatria
berdiri di dekat pintu dapur.
Eadyth
seketika meredam respons bergairahnya dan mengecam Eirik dengan suara malu, “Oh,
kau suami yang paling buruk di dunia. Berpikir untuk menyempurnakan pernikahan
kita di depan penonton. Di dalam lumpur. Di siang bolong.”
“Itukah
yang sedang kita lakukan?” tanya Eirik senang. “Well, harus kuakui ini pengalaman pertama bagiku. Kau pasti membawa
pengaruh buruk padaku. Jalan sesat apa lagi yang akan kau tunjukkan padaku,
Istriku?”
“Aku?
Aku?” pekik Eadyth dan berusaha menyingkirkannya.
Eirik
tertawa dan tak mau bergerak.
Eadyth
menggigit bahunya.
“Aduh!”
Eadyth
menggigit bahu Eadyth.
Eadyth
menjerit lebih kencang.
Sementara
itu, para penonton mereka terus menyaksikan pertunjukkan yang mereka sajikan
dengan mulut ternganga. Eirik berpikir sudah waktunya untuk pindah ke dalam
rumah sebelum mereka benar-benar menyempurnakan pernikahan mereka di depan
publik. Hujan sudah reda, dan sinar matahari yang terang menintip dari balik
awan, menciptakan uap membumbung dari bumi yang lembap. Berpikir dengan cepat,
Eirik mendongak dan memerintahkan, “Britta, ambilkan aku sabun, sisir, dan
beberapa handuk. Dan pakaian bersih untukku dan istriku. Bawa barang-barang itu
ke kolam.”
“Apa?”
Eadyth tercekat.
“Kita
akan mandi... di kolam.”
“Kita?”
Eirik
mengenali kepanikan di suara Eadyth, tapi ia tak peduli. Wanita itu sudah
mendorongnya terlalu jauh. Ia sudah menunggu terlalu lama untuk menidurinya,
dan ia tak mau menunggu lagi. Sebenarnya, ia tak bisa menunggu lebih lama.
“Apa
ini permainan pribadi atau siapa pun boleh bergabung?” Suara yang dalam
bertanya di atasnya.
Eirik mendongak ke atas bahunya dan melihat Sigurd memasuki halaman dapur
sambil menunggang kuda. Eadyth bisa mengamuk kalau Sigurd menginjak-injak
tanaman obat kesayangannya.
Tapi
kemudian Eirik menyadari pentingnya kemunculan Sigurd, dan ia berdiri,
melepaskan Eadyth dari tindihan badannya. Ia membiarkan Eadyth bangun tapi
memegang pergelangan tangannya, menolak melepaskannya.
“Apa
yang kau temukan?” desaknya dengan gelisah saat sigurd turun dan menyerahkan
kendali kudanya pada pelayan kandang kuda. “Apakah dia mata-mata atau tidak?”
Dengan
takjub, sigurd memandang ke arah Eadyth dan kemudian kembali pada Eirik, lalu
memandang tajam pada gairah yang masih tampak di antara paha Eirik. Sambil
tertawa, Sigurd menggelengkan kepala dengan cara berlebihan. “Kurasa penantian
ini sudah membuatmu keras, My Lord.”
“Kurasa
sebaiknya kau menyampaikan beritanya atau bergabung dengan kami mandi lumpur.”
Sigurdmenyeringai
lebar, memperlama ketegangan. Akhirnya, ia mengatakan, “Dia sepolos bayi yang
baru lahir.”
Saat
itu giliran Eirik yang menyeringai lebar. “Apa kau yakin? Di mana kau
memeriksanya?”
“Hawks’
Lair. Jorvik. Bahkan dari dua estat Gravely. Ya, aku yakin. Dia benci pria itu.
Orang-orang terdekatnya tahu itu. Dan tak ada kontak di antara mereka sampai
pria itu datang mencari putranya tahun lalu.”
“Kau
memata-mataiku?” tanya Eadyth tak percaya, menarik diri dari gnggaman Eirik.
Wajahnya memerah marah. “Berani-beraninya kau! Oh, berani-beraninya kau!”
Eadyth mengayunkan lengannya ke belakang, mengayunkan lengannya dalam lingkaran
lebar dan memukul perut Eirik.
“Aduh!”
erang Eirik, ia terpeleset dan jatuh kembali ke dalam lumpur, menarik Eadyth
bersamanya.
Eadyth
meronta dan melawan cengkraman Eirik dengan ganas saat mereka bergelut dalam
lumpur.
“Kau
keparat arogan!” Eadyth menampar wajah Eirik dan berusaha merangkak keluar dari
kubangan.
“Kau
wanita liar!” ia menyambar pergelangan kaki Eadyth dan menariknya kembali.
Tubuh
Eadyth menjadi kaku dan wajahnya membeku karena sakit hati ketika tiba-tiba
teringat sesuatu. “Kau mengkhianatiku dengan wanita lain,” tuduhnya, bangun
berlutut di depan Eirik.
“Aku?”
awalnya, Eirik lupa apa penyebab mereka bergulat dalam lumpur –sandiwara yang
diperankannya dengan istri Aaron. Apa ia begitu bodoh, berpikir ia bisa menipu
istrinya dengan berpura-pura bersama wanita lain dan tak menanggung akibatnya? “Oh,
itu hanya sandiwara untuk memprovokasimu,” akunya tanpa malu.
“Kenapa?”
tanya Eadyth, keningnya berkerut bingung.
“Agar
kau tak menggodaku untuk menyempurnakan pernikahan kita sampai...” kata-kata
Eirik mengambang saat ia melihat kemarahan bergolak di mata ungu Eadyth yang
bercahaya. Mungkin ia sudah terlalu banyak bicara dan terlalu cepat. Beberapa
wanita mudah marah dan perlu “diatasi” dengan hati-hati. Dalam kemarahannya,
Eirik lupa menggunakan taktik.
“Menggodamu?
Menggodamu?” Eadyth tergagap. Lalu dagu sekeras besinya terangkat ke udara dan
ia membalik keadaan. Mengangkat dua genggaman lumpur yang tak dilihat Eirik
dikumpulkannya, Eadyth menghempaskannya ke wajah Eirik. Sejenak buta, Eirik
duduk bersimpuh dan melepaskan Eadyth, berusaha melemparkan lumpur dari
matanya. Ketika akhirnya ia bisa melihat lagi, Eadyth sudah berdiri di
depannya, berkacak pinggang, memandang tajam ke arahnya. “Kau benar-benar
bajingan arogan.”
“Aku
tak suka pilihan kata-katamu, Istriku, atau nada bicaramu.” Menyadari bahwa
mereka masih memiliki penonton, Eirik membentak pada semua orang di pintu
dapur, “Enyah! Kalian semua. Aku ingin sendirian bersama istriku.”
Britta
terkekeh dan mengatakan sesuatu tentang mereka tampak bagaikan babi di kandang.
Bertha tertawa mesum dan melontarkan komentar aneh tentang bahwa payudara yang
datar pun tampak berguncang ketika berlumuran lumpur. Sigurd dan wilfrid hanya
tergelak.
Ketika
akhirnya mereka hanya berdua dan berdiri saling berhadapan, terengah-engah,
Eadyth mengumpatnya, “Kau mengirim orang untuk memata-mataiku bahkan saat aku
sudah berjanji bahwa aku jujur. Kau percaya aku bersekongkol dengan musuh
terbesarmu... musuh terbesarku. Dan kau berencana tidur dengan wanita lain
hanya untuk menghindar dari sentuhanku yang menjijikan bagimu.”
“Menjijikan?”
Eirik tersedak. “My Lady, kau menderita delusi kalau kau tak melihat bahwa aku
sangat menginginkan tubuhmu... dan sentuhanmu.”
“Benarkah?”
Rasa senang yang singgah sessaat di wajahnya menghilang saat ia menyadari
implikasi kata-kata itu. “Kau mengatakan kau sengaja membuat adegan di kamarmu
itu dengan wanita Moor itu?”
“Kuulangi,
itu hanya sandiwara. Aku tak berniat tidur dengan gadis itu. Dia istri salah
satu anak buahku.”
“Kau
benar-benar penipu!”
Eirik
menaikkan satu alisnya mengejek.
Eadyth
mengedip mencegah air mata yang menggenang di mata ungunya agar tak menetes.
Eirik
merasakan sejenak sengatan rasa bersalah. “Aku harus memastikan,” katanya
dengan defensif.
“Kenapa
kau tak bertanya padaku? Aku akan memberitahumu sejujurnya.”
“Benarkah?”
tanyanya pelan.
Eirik
tahu.
Pada
saat itu, Eadyth melihat kilatan pemahaman di mata biru pucat Eirik, dan ia
menyadari bahwa Eirik sudah tahu penyamarannya. Tiba-tiba, Eadyth mengerti
tingkah laku anehnya beberapa hari belakangan.
“Berapa
lama?” tanyanya, mundur dengan sikap defensif. “Berapa lama kau sudah tahu?”
Eirik
mengangkat bahunya. “Cukup lama.”
“Apa
kau... marah padaku?”
Eirik
mengangguk, lalu maju selangkah ke arah Eadyth.
Eadyth
mundur satu langkah.
“Well, aku juga marah padamu.”
“Oh?”
Eirik melangkah lebih dekat.
Kali
ini, Eadyth mundur dua langkah. “Kau memata-mataiku.”
“Dengan
alasan kuat.”
“Mungkin
aku juga punya alasan kuat untuk... penyamaran kecilku yang tak berbahaya.”
Eirik
menyeringai mendengar pilihan kata-katanya, dan Eadyth menyadari bahwa pria itu
sudah mengambil dua langkah lebih dekat padanya pada saat ia bicara. Eadyth mundur
lima langkah untuk memberi lebih banyak jarak, dan Eirik tersenyum padanya
dengan gaya seorang pemangsa yang tak disukai Eadyth sama sekali. Ia merasa
bagaikan burung tak berdaya yang dikuntit seekor kucing tua yang berpengalaman.
“Mungkin
kau mau menjelaskan padaku apa motivasimu,” tanya Eirik, meraba bibir atasnya yang
berlumur lumpur dengan cermat.
“Kau
tampak konyol berdiri di sana, nyaris telanjang, berlumuran lumpur,” sembur
Eadyth tanpa berpikir. Sebenarnya, Eirik tampak sangat jantan dan tampan,
Eadyth mengakui pada dirinya sendiri. Namun ia tak akan pernah mengatakan hal
itu padanya.
Mata
jernih Eirik berkilat nakal. “Ah, lalu, supaya adil kita harus menyamakan
keadaan.”
Kening
Eadyth berkerut bingung. Ia bilang Eirik tampak konyol, berdiri telanjang dan berlumuran lumpur. Ia menunduk, melihat bahwa dirinya
juga sepenuhnya berlumuran lumpur. Yang tertinggal hanya...
Mulut
Eadyth terbuka lebar. Eirik tak akan berani!
Eirik
menerjang ke arahnya.
Tampaknya,
ia benar-benar akan melakukannya.
Eirik
membopong Eadyth ke atas bahunya, mengabaikan jeritan-jeritan protes dan
rontaan lengan dan kaki Eadyth. Pada saat mereka sampai ke kolam, Eirik
menggeleng-geleng mendengar sumpah serapah Eadyth yang sama sekali tak seperti
seorang lady.
Tuhan,
aku suka pertempuran yang seru, dan istrinya yang keras kepala, mau menang
sendiri, dan kaku ini, akan menyediakan permainan yang menarik baginya. Tanpa
banyak ragu, Eirik masuk ke air setinggi lutut di kolam yang sedingin es itu.
Walaupun matahari bersinar terik, air kolam itu terasa dingin karena baru saja
hujan. Ia tersenyum lebar dan melemparkan Eadyth, lengkap dengan pakaiannya, ke
dalam air.
Eadyth
bangun dengan tergagap, mengeluarkan semua kata makian yang diketahuinya. “Keparat!
Bajingan! Brengsek! Bodoh!”
Tanpa
malu, Eirik melepaskan cawatnya dan mendekati eadyth. “Mari kita lihat apa yang
telah kubeli dalam perjanjian ini, Istriku.”
“Beli?
Beli? Kau tak membeli-ku, Keparat. Justru
aku yang membelimu dengan mas kawinku,” Eadyth memekik, berusaha berjalan
melewatinya ke tepi dengan harga diri sebanyak mungkin dalam pakaian yang berat
karena terendam air. Ia sudah kehilangan topi dan tudung kepalanya pada saat
mereka bergulat di lumpur, dan sisa pakaiannya membentuk tubuhnya dengan cara
yang memikat.
Eirik
menaikkan satu alisnya, terhibur pada kata-kata pedas Eadyth, menikmati
pemandangan lekukan payudara Eadyth, pinggulnya, dan kaki panjangnya yang
terlihat jelas. “Well, kalau begitu,
sebaiknya kita berdua sama-sama memeriksa apa yang kita beli.”
Saat
Eirik melangkah mengejarnya ke air yang lebih dangkal, Eadyth menunduk ke bawah
dan terkesiap, menyadari bahwa Eirik sudah menanggalkan cawatnya. “Apa kau tak
punya malu?”
“Sama
sekali tidak.”
Eirik
terus berusaha melepaskan pakaian Eadyth. Dan itu bukan hal yang mudah, dengan
Eadyth yang menendang dan mencakar, serta bersumpah akan membalas dendam
padanya sepanjang waktu.
“Jangan
berani kau menyentuhku... oh, kau sudah merobek gaunku, kau lelaki liar.”
“Berhentilah
meronta. Kau selicin belut. Aduh! Kau mencakarku. Kau membuatku berdarah dengan
cakarmu,” seru Eirik tak percaya dan menenggelamkan Eadyth ke dalam air.
Eadyth
muncul ke permukaan dengan tergagap, “Bajingan!” dan menerjang ke dada Eirik, berusaha
menendang dada Eirik dengan lututnya. Hidung Eirik terbakar, dan ia nyaris
kalah saat Eadyth berusaha menendang selangkangannya.
“Eadyth!
Kali ini kau harus bertindak seperti seorang istri, bukan istri yang licik.”
“Hah!kali
ini kau harus bertindak seperti ksatria, bukan raksasa kasar.”
“Raksasa
kasar!” Eirik terkesiap. “Kita akan lihat siapa yang kasar di sini. Aku sudah
cukup sabar dengan sikap keras kepalamu dan tingkahmu yang tak seperti wanita.”
Melupakan kelembutan, Eirik dengan kasar merobek gaun dan pakaian dalam Eadyth.
“Lihat
apa yang kau lakukan pada sepatuku. Oh, kau akan membayar semua kerusakan
barang-barangku.”
Menyeringai
melihat sepatu kulit Eadyth yang mengambang memalukan, Eirik menyentakkan lepas
stoking dari kaki Eadyth.
Begitu
telanjang, Eadyth tak memberi kesempatan pada Eirik melihat bentuk tubuhnya. Ia
menyelinap dari genggaman tangan Eirik, menyelam ke dalam ke dalam air dan
berenang menjauh. Memberi Eirik hanya sekilas bayangan bokong dan kaki
panjangnya yang indah.
Eirik
tersenyum.
Mengambil
sabun yang ditinggalkan Britta di pinggir kolam, ia mengejar Eadyth,
menyusulnya dalam beberapa kibasan. Ia menyambar rambut Eadyth, menariknya ke
belakang ke tepian dan duduk dipinggirnya, mendorong Eadyth agar duduk di dalam
air di antara kedua lututnya. Jeritan Eadyth pasti bisa terdengar sampai ke
Jorvik.
“Jangan
kabur dariku, kau binatang liar Viking, karena aku akan membuatmu membayar
sepuluh kali lipat.”
“Aku
gemetar ketakutan, My Lady.” Dengan cepat, sebelum Eadyth sempat berbalik dan
benar-benar membuatnya impoten, Eirik menyabuni rambut panjangnya, lalu
mencelupkan kepalanya ke dalam air. Tiga kali ia mengulanginya, mengabaikan
jeritan marah Eadyth pada perlakuan kasarnya.
Ketika
Eirik puas saat ia akhirnya menyingkirkan semua lemak dari rambut Eadyth, ia
membiarkan Eadyth berdiri. Dengan marah, Eadyth mengibaskan rambutnya yang
panjang dan basah di bahunya dan melesat pergi sebelum Eirik sempat
memperhatikan tubuh Eadyth. Ah, well,
ia punya banyak waktu untuk itu nanti.
Eirik
mulai membersihkan dirinya sendiri, berenang ke air yang lebih dalam. Ia
mencuci rambut dan tubuhnya, menyelam ke bawah air lagi dan lagi menyingkirkan
semua lumpur. Ketika ia akhirnya muncul dari air, Eadyth sudah berdiri di
pinggir, berpakaian lengkap mengenakan gaun sutra berwarna ungu muda dengan
ikat pinggang, menyisir rambut sepinggangnya.
Dan
Eadyth begitu cantik.
Britta
pasti tidak membawakan pakaian dalam untuk istrinya, syukurlah, karena kain
tipis gaunnya itu membentuk lekukan di tubuhnya. Eadyth wanita yang langsing
seperti dugaan Eirik semula, tapi bukannya tak molek. Sekali lagi, ia memaki
dirinya karena menjadi orang bodoh dengan penglihatan yang rabun.
Dan
Eadyth sedang mengawasinya juga. Dengan berhati-hati.
Eirik
merasakan dirinya semakin mengeras di bawah pengamatan Eadyth.
Eadyth
tersipu dan membuang muka.
“Kita
akhirnya akan menyempurnakan pernikahan kita. Kau tahu itu, kan, Eadyth?”
Eadyth
bimbang, menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk dengan enggan. “Tapi jangan
berpikir aku akan berdiri terbalik dengan kepala di bawah untukmu.”
Mata
Eirik membelalak. “Well, mungkin, itu
tak perlu setelah sekarang aku lihat kau sama sekali tak mirip dengan bokong
keledai.”
Eadyth
memandangnya dengan sorot mata galak yang mengatakan bahwa Eiriklah yang lebih
mirip dengan bokong keledai. “Dan jangan pikir aku akan memberimu lilin lima
jam itu untuk tujuan mesummu,” tambah Eadyth kesal.
“Hah?”
Eadyth
mengibaskan tangan, menepis. “Kau tahu... teratai berkelopak lima yang kau
ceritakan itu. Oh, aku tahu aku tak bisa menghindari ranjang pernikahan
sekarang, tapi jangan kira aku akan menuruti fantasi mesummu.”
Eirik
mulai mengerti maksud perkataan Eadyth dan ia tertawa keras. Ya Tuhan, Eadyth
percaya pada cerita karangannya tentang lima jam permainan seksual, dan
pastinya Eadyth menduga malam pertama mereka nanti juga akan terjadi hal yang
sama.
“Ah...
ingatkan aku lagi, Eadyth... berapa kali kubilang si wanita dalam cerita itu memuncak dalam satu malam?”
“Aku
tidak ingat,” jawab Eadyth, wajahnya bersemburat merah dengan cantik. “Tujuh
atau delapan kali, kutasa.”
“Tu...
tujuh atau delapan?” tanya Eirik, takjub pada cerita fantasinya sendiri. Lalu
ia memikirkan hal lain. “Dan berapa kali kubilang si pria memuncak selama sesi lima jam itu?”
“Dua
belas,” kata Eadyth tanpa ragu.
Eirik
mengeluarkan suara tersedak dari dalam tenggorokannya dan melangkah mendekat.
Ia meraih sisir dari tangan Eadyth dan melemparkannya ke tanah. Lalu, ia
memegang pinggang Eadyth dengan kedua tangannya, yang terasa pas ditelapak
tangannya, mengangkat istrinya dari tanah sehingga tubuh mereka bertemu –paha dengan
paha, perut dengan perut, dada dengan dada.
Eirik
menunduk, berbisik parau di depan bibir Eadyth. “Eadyth, aku takut akau tak
akan bertahan lima menit, apalagi lima jam.”
“Ah,
seharusnya aku tahu. Pria memang selalu membanggakan hal yang tak bisa mereka
lakukan.”
Eirik
meletakkan ujung lidahnya ke tahi lalat di atas bibir Eadyth, lalu menelusuri
tepian mulut Eadyth yang indah dengan kenikmatan yang membuat mabuk kepayang. “apa
kau menantangku, Istriku?”
“Tidak,
setidaknya kita setuju dalam hal itu. Aku tak mau memperlama waktu bercinta. Aku
hanya akan melakukannya dan menyelesaikannya,” jelas Eadyth dengan nada
defensif yang tak meyakinkan saat ia menyandarkan kepalanya ke belakang,
berusaha menghindari bibir Eirik. Gerakannya itu hanya memberi Eirik akses pada
lehernya yang halus.
“Ah,
disitulah kesalahanmu, Istriku. Kita akan menyalakan lilin lima jammu,”
katanya, menciumi kulit hangat Eadyth dengan hidungnya, “dan aku berjanji akan
membuat kenikmatanmu berlangsung lama... bahkan jika kita berdua harus mencapai
puncak berkali-kali sampai kita melakukannya dengan benar.”
Untuk
sekali waktu, Eadyth tak bisa menimpalinya. Tapi detak liar di leher Eadyth
melompat dengan memberontak di bibir Eirik.
thanks ya uda terjemahin, critanya bagus... ditunggu lanjutannya yah
BalasHapusMaaf, bukan aku yang terjemahin... ini salah satu buku koleksiku yang ceritanya kusuka dan ingin kubagikan...
BalasHapusMakasih yaaa
BalasHapus