Minggu, 19 Agustus 2018

The Tarnished Lady 12


Oh, permainan yang dimainkan seorang pria!...

Eirik membuatnya gila.

“Aku harus bicara denganmu,” Eadyth bersikeras saat ia merayap ke ranjang Eirik malam itu. Ia begitu ingin mengakui penyamaran bodohnya. Bahkan, jam demi jam, ia menjadi semakin takut akan nasibnya jika ia tak mengaku.


Tapi sangat sulit berkonsentrasi saat tubuh telanjang suaminya terbaring hanya berjarak sejengkal darinya, dan pria itu tampaknya sama sekali tak tertarik untuk menyempurnakan pernikahan mereka. Kalau pria itu menguap, dengan membuka lebar-lebar mulutnya dan dengan suara keras, sekali lagi, Eadyth mungkin bisa menyumpalkan perjanjian pernikahan mereka ke tenggorokannya.

“Eirik, hentikan menguap dengan tak sopan dan pandang aku.”

“Menguap itu tak sopan? Aku tak tahu itu. Lihatlah, kau memang membawa pengaruh baik untukku, Eadyth. Kau mengajariku begitu banyak hal-hal yang tak penting.

Eadyth melayangkan tatapan curiga padanya. Apa ia sedang mengolok-ngoloknya? “Eirik! Berhentilah mengubah topik pembicaraan. Aku ingin memberitahumu sesuatu yang tidak penting.”

“Tidak, terlalu panas untuk bicara. Aku nyaris tak bisa bernapas dengan semua kain linen di ranjang ini.” Ia menatap tajam pada kain yang menutupi tubuh telanjang Eadyth. “Dan setiap kali kau punya sesuatu yang penting untuk memberitahuku, pasti melibatkan banyak pekerjaan. Kau membuat darahku mendidih saat kau mencecarku, sedangkan sudah terlalu pengap di sini.”

“Mungkin ini semua karena begitu banyak lilin yang kau nyalakan.” Eadyth menyapukan pandangannya ke sekitar kamar di mana selusin lilin menyala dengan sia-sia karena Eirik menginginkannya. Ia mengatakan tiba-tiba memerlukan cahaya jika sewaktu-waktu ia perlu menggunakan kamar mandi di tengah malam.

“Dalam hal apa pun, aku tak akan mencecarmu.” Eadyth dengan hati-hati berusaha mengalihkan pandangannya dari tubuh telanjang Eirik sambil meneruskan bicaranya. “Aku hanya...”

Ia gagal.

Kata-katanya mengambang saat tak sadar ia memandang ke arahnya dan, oh, Tuhan, Eirik berbaring dengan lengan terlipat di balik kepalanya, kakinya yang panjang disilangkan di pergelangan kakinya, dan bagian tubuhnya yang itu tegak di udara seperti tombak logam yang kokoh.

Eadyth terkesiap dan memaksakan matanya memandang ke wajah Eirik.

“Eadyth, kau selalu mengomel.”

Untungnya, Eirik tampaknya tak menyadari pengamatan Eadyth atau rasa malunya kemudian. Ia balas memandang Eadyth dengan enteng, mata birunya memindai kain linen yang digunakan Eadyth menyelimuti dirinya sampai ke dagunya dengan mencibir.

“Rasanya seperti dalam oven di sini,” ia menggerutu.

“Apa yang kau mau lakukan?” sembur Eadyth dan seketika menyesali pertanyaannya yang impulsif.

“Singkirkan selimut itu. Semuanya.”

Eadyth menelan ludah.

Eirik menyusup ke bawah dan berguling bolak-balik, berusaha mendapatkan posisi nyaman. Sekali waktu, ia mengulurkan lengannya, secara tak sengaja menyenggol payudara kirinya melalui kain linen yang kasar. Saat Eadyth berbalik memunggunginya, lutut Eirik menyentuh bokongnya, sekilas.

Eadyth menegang. Bagaimana pun, ia segera rileks, menyadari bahwa sentuhan Eirik pasti tak sengaja. Eirik sudah sering mengatakan padanya bahwa bentuk tubuh, wajah, dan tingkah lakunya membuatnya jengah. Malahan, satu-satunya bagian tubuh Eadyth yang tampaknya menarik perhatian pria yang menyebalkan itu adalah tahi lalat di atas bibirnya. Demi Santa Bridgit! Pria itu benar-benar mesum. Kalau sekali lagi saja ia menyebutkan tentang apa yang akan dilakukannya pada tahi lalatnya dengan lidahnya, Eadyth b isa mencekiknya.

Dan tetap saja pria itu tak mau menyempurnakan pernikahan mereka. Hmmm.

Tiba-tiba, Eadyth menyadari bahwa ia sudah membiarkan pria itu sekali lagi mengalihkan perhatiannya pada tujuannya semula –pengakuannya. Ia seketika duduk di ranjangnya, nyaris tak meraih selimutnya yang dengan cepat turun ke payudaranya.

Mata Eirik membelalak dan nyaris keluar dari kepalanya. Tampaknya pria itu bisa melihat dengan jelas dalam hal-hal tertentu!

“Eirik, aku bersikeras untuk memberitahumu sesuatu yang penting. Berhentilah bergerak dan dengarkan...”

“Mungkin kita harus menyempurnakan pernikahan kita,” selanya santai. “Sekarang.”

“Sekarang?” Eadyth menjerit. Tuhan, pria ini berubah-ubah dalam seketika.

“Ya. Kalau kau mau melakukan beberapa hal kecil untuk membantu, aku mungkin bisa melakukannya,” tawarnya dengan cemas. Eadyth berani bersumpah ia bisa melihat seringai yang akan terbentuk di sudut-sudut bibir keras pria itu, tapi gerakan itu berhenti sebelum Eadyth sempat mengamatinya lebih dekat.

“Kelihatannya adonanmu lebih dari sekadar mengeras,” ujar Eadyth datar, ingat sekali bagaimana bagian itu terlihat beberapa saat lalu. Ia melambaikan tangan ke arah bagian kejantanan Eirik, tapi tak mau melihat bagian itu lagi. “Kau bukan bunga lili yang loyo.”

“Ah, jadi kau melihatnya. Tapi, seperti yang kau lihat sekarang, adonannya sudah mengempis lagi. Lihat saja.”

Tidak akan, bahkan jika nyawaku dipertaruhkan! Eadyth mengangkat dagunya dan menoleh ke arah dinding di arah sebaliknya, wajahnya merona saat ia berusaha mengenyahkan bayangan kejantanan Eirik dari benaknya.

Eirik mendecak aneh. “Tentu saja, kalau kau berusaha melakukan... sesuatu... kita mungkin bisa membangkitkannya lagi.”

“Sesuatu? Sesuatu apa?” tanya Eadyth curiga, membalikkan punggungnya untuk melihat ke arah Eirik.

Well, aku pernah mengenal seorang pria yang...”

“Jangan cerita soal khalifah sialan itu lagi!”

“Eadyth! Jaga bahasamu! Ck ck. Tidak, ini tentang pria lain, bukan si khalifah. Seorang saudagar sutra dari Micklegaard, kurasa,” jelas Eirik, melambaikan tangannya. “Adonan pria ini juga punya masalah dalam hal ‘mengeras’. Pastinya karena wajah istrinya seperti bokong seekor keledai.” Eirik memandang Eadyth dengan sorot yang menggetarkan hati.

Eadyth mengernyit dalam hati pada komentar suaminya tentang penampilan fisiknya... atau kekurangannya.

“Tapi istrinya memang berusaha keras, aku salut soal itu,” Eirik melanjutkan. “Pria itu bilang bahwa kadang-kadang istrinya itu akan berdiri terbalik dengan kepala di bawah di kaki ranjang untuk membangkitkan hasrat suaminya. Tentunya dalam keadaan telanjang. Dengan rambut panjang yang terurai menutupi wajahnya. Pria itu bilang cara itu selalu berhasil. Dan, tentu saja, mereka punya sepuluh anak. Kurasa kau tak...”

“Tak akan pernah!” sembur Eadyth dan menutup mulutnya yang ternganga rapat-rapat, menjauh dari lelaki menyebalkan itu. Tentu saja, suaminya itu bohong. Wanita tak melakukan hal seperti itu. Eadyth tahu itu.

Benarkah?

Eirik telah membuatnya marah kemudian dengan berguling menjauh dan mengabaikannya lagi. Bukannya ia ingin Eirik menginginkannya. Sungguh, lebih baik begini, katanya pada dirinya sendiri.

Lalu mengapa ia justru merasa hampa?


Lalu rayuannya semakin gencar...

Keesokan paginya, Eadyth terbangun mendengar suara koak Abdul. Eirik berdiri di depan kandang burung itu, berpakaian lengkap, mengenakan celana panjang hitam dan sepatu bot serta kemeja yang berbantalan, tampak sudah bersiap untuk melakukan olahraga lapangan dengan anak buahnya. Eirik mengulurkan potongan roti untuk burung yang lapar itu.

“Keparat menyebalkan! Awk!” burung itu berkoak dalam suara yang mirip dengan suara Eadyth. “Orang liar menjengkelkan! Brengsek bodoh! Lord tolol! Awk!”

Eirik menoleh ke arahnya, menaikkan satu alisnya menuduh. “Mungkin kau memiliki terlalu banyak waktu luang, Eadyth.”

“Maukah kau mencium bulu ekorku?”

“Aku tak mengajarinya kata-kata itu,” Eadyth membela diri saat Eirik menaikkan satu alis bertanya.

“Lili loyo. Lili loyo. Lili loyo.”

Mata Eirik menyipit mengancam saat burung itu mengulangi kata-kata Eadyth malam sebelumnya.

Eadyth merasakan pipinya memanas karena malu.

“Hmmm, mungkin kau perlu diajari, Istriku,” Eirik berkata dengan suara selembut sutra dan meraih ke dalam kandang, memungut sehelai bulu panjang berwarna hijau yang terlepas dari tubuh Abdul. Eirik mengerling pada Eadyth, berspekulasi saat ia berjalan ke arah ranjang, lalu duduk di pinggirnya, pinggulnya hangat bergesekan dengan pinggul Eadyth, walaupun dengan batasan pakaian.

Menyentuhkan ujung bulu itu ke tahi lalatnya, Eirik berkata dengan parau, “Suatu hari... suatu hari, Eadyth, kita akan melakukan sesuatu yang menarik dengan bulu ini.”

Eadyth memandang Eirik, terpikat dengan denyut nadi yang berdenyut di lehernya, kilatan sensual di mata biru pucatnya, bibirnya yang memesona. Bagaimana mungkin seorang pria bisa berubah dari tak berminat sama sekali menjadi menyala-nyala penuh gairah dalam seketika? Dan Eadyth tak mempertanyakannya sama sekali, bahwa pada saat ini, pria itu menginginkannya, seperti layaknya seorang pria menginginkan seorang wanita.

Sambil terus memandang Eadyth, Eirik mulai menyentuh bibir Eadyth menggunakan bulu itu, meluncur di sepanjang rahangnya, di atas bahu telanjangnya, dan oh, ya Tuhan, di atas puncak payudaranya yang masih berada di bawah selimut. Melalui kain linen yang tipis, mereka berdua bisa melihat puncak payudara Eadyth bereaksi.

Eirik menarik napas dalam-dalam.

Eadyth memejamkan mata sambil mendesah pelan saat kenikmatan yang baru dan menakjubkan melanda tubuhnya.

Tapi matanya seketika terbuka lebar ketika merasakan bulu itu menelusuri garis turun di antara kedua payudaranya, melewati pinggangnya, di atas perutnya menuju ke pangkal pahanya. Kain linen usang itu tak menawarkan perlindungan sama sekali. Kendali diri yang dijaga Eadyth dengan amat keras runtuh seketika. Ia sangat ingin membentangkan kakinya dan melengkungkan tubuhnya menyambut belaian bulu itu. Butuh segenap tekad bagi Eadyth untuk bisa menghentikan dirinya.

Oh, aku menjadi wanita yang tak tahu malu, Eadyth memaki dirinya sendiri. Dan aku menyukainya.

Kulitnya menjadi panas di mana pun Eirik menyentuh, walaupun melalui kain –diatas lutut, betis, pergelangan kaki. Darah mengalir deras ke telinganya, dan napasnya menjadi pendek dan tercekat. Tubuhnya mendambakan makanan penuh dosa yang tak dipahaminya. Sebelum Eadyth menyadari apa yang akan dilakukan suaminya, Eirik sudah menyingkapkan ujung bawah selimut linennya, dan menggelitik telapak kakinya dengan bulu selembut sutra itu.

Eadyth menggigit bibirnya kuat-kuat karena menghadapi siksaan kenikmatan yang begitu kuat. Atau apakah itu siksaan untuk kesenangan Eirik? Benaknya yang mabuk kepayang tak bisa membedakannya.

Eirik berdiri dengan pandangan puas namun muram menyadari intensitas fisik yang terjadi di antara mereka. Eirik tampak ragu, lalu membalikkan badan dengan enggan dari Eadyth, sebelum melangkah menuju pintu.

“Kau akan meninggalkanku di sini dalam kondisi... ini?”

Eirik berhenti dan menoleh perlahan, menyunggingkan senyum yang membuat jantung Eadyth berhenti berdetak. Eadyth bisa melihat emosi Eirik sama terguncangnya seperti dirinya. Dengan pelan, Eirik bertanya, “Kondisi apa?”

“Demi Tuhan, aku tak tahu, tapi aku yakin kau tahu. Hentikan.”

“Hentikan apa?”

Eadyth bisa melihat bahwa kegusarannya menyenangkan Eirik. “Permainan yang kau mainkan ini.”

“Permainan? Tidak, Istriku, bukan aku yang bermain.” Eirik menyelipkan bulu itu di jepitan bros naga di bahunya dan menepuknya. “Aku akan menyimpan bulu ini untuk lain waktu, Eadyth. Aku berjanji, lain kali kita akan bermain sampai selesai.”

“Permainan apa?” seru Eadyth memanggil, tapi pria itu sudah menghilang.

Dan tubuh Eadyth berdenyut menginginkan hal yang telah dibangkitkan oleh Eirik... bulu-bulu.

Ya, pria itu membuatnya gila.


Benar-benar gila...

Eadyth membuatnya gila.

Eirik memaksakan tubuhnya dan tubuh anak buahnya sampai batas maksimal mereka di lapangan latihan hari itu, tapi ia tak bisa menghapus bayangan istrinya terbaring di ranjang pagi itu, tubuh wanita itu menggigil membutuhkan penyatuan. Kebutuhan yang juga dirasakannya.

Eirik bukan hanya salah menilai penampilan istrinya yang sesungguhnya. Tapi ternyata, wanita itu juga bukan wanita dingin pembenci pria seperti dugaannya. Dingin? Hah! Kalau Eadyth lebih panas lagi, Eirik bisa terbakar hangus.

Memang, Eirik punya masalah. Ia adalah pria sehat dengan selera pria yang sehat. Dan terakhir kalinya ia bersama wanita adalah sepuluh minggu lalu, sebelum pertunangannya. Eirik tahu ia tak akan bisa menolak daya tarik Eadyth semalam lagi saja. Tapi ia tak bisa mengambil risiko menghamili wanita itu sementara ia masih tak yakin dengan kesetiaannya.

Tidak, ia harus membuat batasan antara mereka sebelum Sigurd kembali dari misinya. Tapi bagaimana caranya, sementara tubuhnya sendiri yakin akan segera tertaklukkan? Harus diserahkan pada Eadyth. Ia harus melakukan sesuatu untuk membuat istrinya menjadi dingin kepadanya, untuk sementara, sesuatu yang membuat Eadyth cukup marah hingga mampu menghentikannya agar menggoda istrinya secara tak sadar ke ranjang. Ia harus membuat wanita itu marah sampai berubah sedingin batu.

Itu tak akan terlalu sulit.

Eirik menyeka keningnya dengan lengan yang berkeringat dan menoleh dengan tak sadar ke samoingnya di mana salah satu anak buah barunya, Aaron, sedang menyambut istrinya yang masih muda, seorang wanita Moorish yang cantik bertubuh mungil dengan mata sipit dan berkulit zaitun. Sambil menyunggingkan senyum karena tiba-tiba timbul inspirasi, Eirik mendekati pasangan muda itu dengan rencana yang dengan cepat dirancangnya. Awalnya, mereka memprotes, ragu dengan tawaran yang tak wajar, tapi segera saja, berkat beberapa koin yang disodorkan Eirik, mereka setuju untuk bekerja sama.

Eadyth pasti akan mengamuk, pikir Eirik sambil menyeringai. Ia hanya berharap itu akan bertahan sampai Sigurd kembali.


Siapa yang menduga lumpur bisa menjadi obat pembangkit gairah?

Eadyth menjatuhkan cadar antilebahnya di kursi dapur dan menyeka tetesan air dari mantel dan gaunnya. Guntur bergemuruh keras memberi tanda badai musim panas yang akan bergolak namun hanya sesaat.

“Apakah para pria sudah kembali?” tanya Eadyth pada Bertha, yang sedang memecahkan telur di mangkok keramik untuk membuat puding manis.

Koki itu mengangguk, tapi matanya memancarkan sorot yang tidak biasa.

“Ada masalah?”

“Tidak.”

“Kau pembohong. Aku bisa melihatnya. Di mana Eirik?”

Wajah Bertha yang tembam langsung merah padam. “Bagaimana mungkin aku tahu?”

“Biasanya kau tahu segalanya.”

“Hah! Cari sendiri kalau begitu.”

“Sebaiknya kau jaga sikapmu, atau kau akan mendapati dirimu bertugas menggosok jamban,” Eadyth menegur Bertha, tapi bukan dengan cara kasar. Ia sudah mulai menyukai koki yang ceplas-ceplos itu.

Menyambar sepotong keju dari meja, Eadyth berlalu, sambil mengunyak kejunya. Eadyth memutuskan mencari Eirik. Ia merasakan bahwa ia dan suaminya akan segera menyempurnakan pernikahan mereka, dan ia ingin tak ada rahasia yang membuatnya kelak merasa bersalah. Ia bertekad memberitahu Eirik tentang penyamarannya, sekarang, bahkan jika ia harus mengikat pria itu dan menyumpal mulutnya. Eadyth tersenyum, dengan debar kenikmatan yang tak biasa di perutnya, memikirkan bayangan yang anehnya menggoda itu.

Hujan menghantam atap dengan keras, dan Eadyth memeriksa langit-langit aula kalau-kalau ada yang bocor sambil melintasinya. Tampaknya tukan mereka akhirnya memperbaiki semua kebocoran, pikirnya puas. Selanjutnya, ia akan menyuruh mereka merenovasi kapel.

Eadyth hendak akan menaiki tangga menuju kamar mereka ketika Britta memanggilnya, “Mistress, kalau aku jadi kau, aku tak akan pergi ke atas sekarang.”

“Kenapa tidak?”

“Itu tidak bijak,” gumam Britta, memalingkan wajahnya malu-malu, mirip seperti Bertha.

Ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang tak akan disukainya. Dan ini melibatkan Eirik. Matanya menyipit dan ia mulai menaiki tangga lagi, bertekad mengakhiri misteri ini.

“Oh, Tuhan,” ia mendengar gumaman ngeri Britta di belakangnya. “Sekarang bulu-bulu angsa itu akan terbang.”

Eadyth tak mengetuk pintu kamar Eirik –pintu kamar mereka, ia mengoreksi. Malahan, ia memutar pegangan pintu dan langsung membukanya. Lalu terkesiap marah melihat pemandangan di depannya.

Eirik sedang berbaring di ranjang, bertumpu pada sikunya. Ia hanya mengenakan cawat, dan tubuh serta rambut hitamnya berkilau dengan kelembapan akibat habis mandi.

Eirik tidak sendirian.

Seorang wanita muda –muda dan cantik- berlutut di ranjang, kaki Eirik ada di pangkuan wanita itu.

Mata Eadyth membelalak tak percaya.

Wanita Moor itu sedang memotong kuku kaki Eirik, padahal pria itu nyaris telanjang. Di pangkuannya.

“Eadyth, aku tak tahu kau ada di sana. Masuklah,” kata Eirik dengan gaya polos. Mata mengantuknya mengungkapkan emosi yang lain.

Oh, memalukan! Eirik benar-benar membawa seorang wanita simpanan ke rumahnya di depan semua orang. Ia akan membunuh pria itu! Mungkin dengan pisau kecil yang digunakan wanita itu untuk memotong kuku Eirik. Mungkin ia akan membunuh mereka berdua.

Di tengah kemarahannya, air mata kekecewaan berlinang di pipi Eadyth. Ia baru menyadari betapa ia sudah begitu memercayai Eirik, suaminya, dan menanti-nanti saat penyatuan mereka. Oh, ini tak adil. Pertama Steven, dan sekarang si bajingan mata keranjang ini.”

Betapa bodohnya, ia melangkah ke dalam pernikahan ini dengan hati yang terbuka lebar. Mengangkat dagunya dengan marah, Eadyth berusaha menyembunyikan sakit hatinya dari tatapan Eirik yang menyelidik. Ia wanita yang kuat, terbiasa dengan kerasnya kenyataan hidup dan kesepian. Ia akan bertahan dengan pengkhianatan pria lain. Ya, ia pasti bertahan.

Tanpa pikir panjang, Eadyth menyambar ember di sebelah air mandi Eirik yang kotor dan menumpahkan isinya ke tubuh suaminya yang masih berbaring. Air itu membuat Eirik dan kain seprai basah kuyup dan menciprati gaun si wanita jalang yang sedang duduk bersimpuh di ranjang, ketakutan.

“Sialan, Eadyth! Air itu sedingin es,” pekik Eirik, meraih selembar kain kering. “Apa kau tak suka pada pria yang menjaga tubuhnya dengan baik?”

“Menjaga tubuhnya?” Eadyth nyaris tersedak dan mengisi kembali ember kosong itu dengan bekas air mandi, dan mendekati ranjang lagi. Wanita muda itu menjerit ketakutan dan meloncat dari ranjang, melesat di sekitar Eadyth dan keluar dari pintu.

Eirik berdiri dan memandang Eirik dan memandang Eadyth dengan menantang. “Jangan berani-berani menumpahkan air kotor itu padaku, atau kau akan menaggung akibatnya.”

Meskipun marah, Eadyth harus mengakui bahwa pria itu tampak perkasa dengan berdiri di sana, bertelanjang dada dan kaki. Cahaya dari celah berbentuk anak panah menyinari otot-otot Eirik yang terpahat di bahu dan lengannya, menonjolkan gumpalan otot kaki panjang yang ditempa oleh kegiatan berkuda selama bertahun-tahun. Eirik melemparkan kain linen ke ranjang dan berkacak pinggang dengan arogan. Bibirnya tampak berkerut terhibur, dan mata biru pucatnya berkilat dengan semacam kesenangan yang nakal.

Amarah yang bergolak membutakan Eadyth seketika. Pria itu sedang menertawainya. Pria itu bersenang-senang dengan wanita lain dan berpendapat bahwa kemarahannya lucu. Eirik berjanji akan setia dalam perjanjian pertunangan dan sekarang pria itu sudah berselingkuh bahkan sebelum pernikahan mereka disempurnakan. Paling buruknya adalah, Eirik menganggap gadis desa yang bodoh itu menarik, dan ia... dan ia, istri sahnya, pria itu bahkan tak sudi menidurinya.

Eadyth menumpahkan seember air itu ke wajah Eirik. Air sabun menetes dari rambut, alis dan dagunya. Eirik terpana karena kaget Eadyth benar-benar melanggar perintahnya, mulutnya ternganga. Tapi hanya sekejap. Kekagetannya berubah menjadi amarah dan ia bersumpah dengan kesal, “Kau akan menyesalinya, Istriku, karena kau tak mengindahkan peringatanku.”

Eadyth menyadarikemudian bahwa mungkin ia terlalu berburu-buru dalam caranya menunjukkan kegusarannya pada Eirik. Seharusnya Eadyth menunggu sampai kemarahannya bisa ia redam dan membicarakan situasi itu dengan Eirik secara rasional. Ya Tuhan! Ke mana perginya wanita logis berkepala dingin yang datang ke Ravenshire dulu? Ia tak mengenali wanita pemberang seperti dirinya sekarang.

Eirik mulai mengikutinya, kilatan mangsa di matanya.

Eadyth memutar badannya dan berlari menuruni tangga dan melewati aula, mengabaikan para ksatria yang masuk karena hujan dan duduk untuk bermain kartu di meja panjang. Ia melesat ke luar halaman, tak yakin dengan tujuannya, hanya tahu ia harus melarikan diri dari derap kaki yang didengarnya mengikutinya.

Eadyth hampir sampai di halaman ketika didengarnya kaki telanjang Eirik tersandung di anak tangga luar. Pria itu tergelincir, mengumpat keras, sebelum jatuh ke tanah berlumpur di kebun.

Eadyth menengok dengan cemas dan mempertimbangkan untuk kembali memastikan bahwa suaminya baik-baik saja. Sekilas memandang Eirik membuatnya berubah pikiran. Pria itu sedang duduk di lumpur, masih mengenakan cawat, memandang galak ke arahnya, dan Eadyth memutuskan sebaiknya ia menemukan tempat bersembunyi sampai kemarahan pria itu mereda.

Ia nyaris sampai ke taman dapur ketika Eirik menerjangnya dari belakang, menyambar pinggangnya. Ia mendarat telungkup, wajahnya terbenam ke dalam lumpur, eirik di atasnya. Hujan membasahi mereka berdua, menciptakan genangan lumpur.

Eadyth menekankan telapak tangannya di tanah yang becek itu dan berusaha mengangkat kepala dan bahunya, tapi ia tak bisa bergerak. Eirik menindihnya dari leher sampai kaki dengan tubuh yang jauh lebih besar, membuat Eadyth jadi sulit bernapas.

“Menyingkir, kau keparat besar.”

Eirik membalikkan Eadyth menjadi telentang tapi terus menindihnya di tanah. Hujan mulai mereda saat sinar matahari mengintip dari balik awan. Menurut Eirik istrinya tampak seperti tikus yang terbenam dalam lumpur, namun Eirik merasakan kenikmatan saat menekankan tubuhnya yang keras pada lekukan tubuh istrinya. Ya, lekukan, ia menyadari, dengan senang; istrinya jelas-jelas bukan makhluk kurus kering seperti bayangannya semula.

Dengan berhati-hari, ia memosisikan tubuhnya di atas tubuh istrinya dan membenamkan bagian tubuhnya yang membengkak di pusat wanita itu.

Eadyth terkesiap dan mendongak memandang Eirik dengan wajah polos yang bertanya-tanya. Aliran hujan mulai menyapu lumpur yang ada di wajahnya, dan rambutnya yang basah kuyup dan keluar dari topinya membentuk gumpalan abu-abu yang jelek.

Tapi entah mengapa Eirik tak merasa jijik.

Dengan gerakan kedua kakinya yang cekatan, Eirik mengaitkan kakinya dengan kaki Eadyth dan membentangkannya. Lalu, melalui gaun Eadyth yang tipis dan basah kuyup oleh hujan, dengan mahir ia menyentuhkan dirinya ke pusat kenikmatan Eadyth –setidaknya, itu titik kenikmatan pawa wanita yang dikenalnya. Tapi mungkin, istrinya ini berbeda.

Mulut Eadyth membuka dan mengeluarkan desahan lembut. “Oh.”

Eirik tersenyum. Istrinya tak berbeda ternyata. Dan dalam hal itu ia menemukan kepuasan... dan antisipasi. “Oh?”

“Oh, kau lelaki liar!” seru Eadyth dalam suara melengking yang biasa, berusaha mendorong Eirik saat ia kembali ke akal sehatnya.

“Lelaki liar, benarkah?” tanyanya. “My Lady, kau belum tahu seliar apa aku sebenarnya.” Eirik mengulurkan tangan kanannya dan mengumpulkan segenggam lumpur. Lalu sambil terkekeh, ia mengoleskannya ke muka Eadyth. “Ini untuk menyiram mukaku dengan air bekas mandi.”

Eadyth menggerutu dan meludah, melempari wajah Eirik dengan lumpur, dan berusaha mencakarnya. Tapi eirik menarik kedua pergelangan tangan Eadyth di atas kepalanya dengan satu tangan. Lalu ia mengumpulkan segenggam lumpur lagi dan mengoleskannya ke kedua payudara Eadyth, menggosok dengan menggoda. Dengan kagum, ia melihat puncak payudara Eadyth mengencang malalui gaunnya yang tipis.

Dan Eirik sendiri semakin mengeras di atas tubuh Eadyth.

“Kenapa kau lakukan ini?” Eadyth mendesah.

“Karena aku suka.”

Dengan hati-hati, Eirik memutar pinggulnya ke depan dan ke belakang di atas tubuh Eadyth, mengawasi reaksi istrinya. Wanita itu tak mengecewakannya.

Secara naluriah, kaki Eadyth semakin terbentang dan ia melengkungkan tubuhnya meminta lebih. Eadyth memejamkan matanya dengan perlahan, membuka bibirnya untuk mengakomodasi napasnya yang tersengal-sengal. Tubuh Eadyth mengungkapkan pada Eirik apa yang tak bisa dikatakan lidahnya yang angkuh: Eadyth menginginkan Eirik. Sebanyak Eirik menginginkannya.

“Ahem. Ahem.”

Eirik menggeram mendengar suara terbatuk itu dan ia tahu kesempatannya telah hilang, bahkan sebelum ia mendongak dan melihat Britta, Bertha, dan beberapa ksatria berdiri di dekat pintu dapur.

Eadyth seketika meredam respons bergairahnya dan mengecam Eirik dengan suara malu, “Oh, kau suami yang paling buruk di dunia. Berpikir untuk menyempurnakan pernikahan kita di depan penonton. Di dalam lumpur. Di siang bolong.”

“Itukah yang sedang kita lakukan?” tanya Eirik senang. “Well, harus kuakui ini pengalaman pertama bagiku. Kau pasti membawa pengaruh buruk padaku. Jalan sesat apa lagi yang akan kau tunjukkan padaku, Istriku?”

“Aku? Aku?” pekik Eadyth dan berusaha menyingkirkannya.

Eirik tertawa dan tak mau bergerak.

Eadyth menggigit bahunya.

“Aduh!”

Eadyth menggigit bahu Eadyth.

Eadyth menjerit lebih kencang.

Sementara itu, para penonton mereka terus menyaksikan pertunjukkan yang mereka sajikan dengan mulut ternganga. Eirik berpikir sudah waktunya untuk pindah ke dalam rumah sebelum mereka benar-benar menyempurnakan pernikahan mereka di depan publik. Hujan sudah reda, dan sinar matahari yang terang menintip dari balik awan, menciptakan uap membumbung dari bumi yang lembap. Berpikir dengan cepat, Eirik mendongak dan memerintahkan, “Britta, ambilkan aku sabun, sisir, dan beberapa handuk. Dan pakaian bersih untukku dan istriku. Bawa barang-barang itu ke kolam.”

“Apa?” Eadyth tercekat.

“Kita akan mandi... di kolam.”

Kita?”

Eirik mengenali kepanikan di suara Eadyth, tapi ia tak peduli. Wanita itu sudah mendorongnya terlalu jauh. Ia sudah menunggu terlalu lama untuk menidurinya, dan ia tak mau menunggu lagi. Sebenarnya, ia tak bisa menunggu lebih lama.

“Apa ini permainan pribadi atau siapa pun boleh bergabung?” Suara yang dalam bertanya di atasnya.

 Eirik mendongak ke atas bahunya  dan melihat Sigurd memasuki halaman dapur sambil menunggang kuda. Eadyth bisa mengamuk kalau Sigurd menginjak-injak tanaman obat kesayangannya.

Tapi kemudian Eirik menyadari pentingnya kemunculan Sigurd, dan ia berdiri, melepaskan Eadyth dari tindihan badannya. Ia membiarkan Eadyth bangun tapi memegang pergelangan tangannya, menolak melepaskannya.

“Apa yang kau temukan?” desaknya dengan gelisah saat sigurd turun dan menyerahkan kendali kudanya pada pelayan kandang kuda. “Apakah dia mata-mata atau tidak?”

Dengan takjub, sigurd memandang ke arah Eadyth dan kemudian kembali pada Eirik, lalu memandang tajam pada gairah yang masih tampak di antara paha Eirik. Sambil tertawa, Sigurd menggelengkan kepala dengan cara berlebihan. “Kurasa penantian ini sudah membuatmu keras, My Lord.”

“Kurasa sebaiknya kau menyampaikan beritanya atau bergabung dengan kami mandi lumpur.”

Sigurdmenyeringai lebar, memperlama ketegangan. Akhirnya, ia mengatakan, “Dia sepolos bayi yang baru lahir.”

Saat itu giliran Eirik yang menyeringai lebar. “Apa kau yakin? Di mana kau memeriksanya?”

“Hawks’ Lair. Jorvik. Bahkan dari dua estat Gravely. Ya, aku yakin. Dia benci pria itu. Orang-orang terdekatnya tahu itu. Dan tak ada kontak di antara mereka sampai pria itu datang mencari putranya tahun lalu.”

“Kau memata-mataiku?” tanya Eadyth tak percaya, menarik diri dari gnggaman Eirik. Wajahnya memerah marah. “Berani-beraninya kau! Oh, berani-beraninya kau!” Eadyth mengayunkan lengannya ke belakang, mengayunkan lengannya dalam lingkaran lebar dan memukul perut Eirik.

“Aduh!” erang Eirik, ia terpeleset dan jatuh kembali ke dalam lumpur, menarik Eadyth bersamanya.

Eadyth meronta dan melawan cengkraman Eirik dengan ganas saat mereka bergelut dalam lumpur.

“Kau keparat arogan!” Eadyth menampar wajah Eirik dan berusaha merangkak keluar dari kubangan.

“Kau wanita liar!” ia menyambar pergelangan kaki Eadyth dan menariknya kembali.

Tubuh Eadyth menjadi kaku dan wajahnya membeku karena sakit hati ketika tiba-tiba teringat sesuatu. “Kau mengkhianatiku dengan wanita lain,” tuduhnya, bangun berlutut di depan Eirik.

“Aku?” awalnya, Eirik lupa apa penyebab mereka bergulat dalam lumpur –sandiwara yang diperankannya dengan istri Aaron. Apa ia begitu bodoh, berpikir ia bisa menipu istrinya dengan berpura-pura bersama wanita lain dan tak menanggung akibatnya? “Oh, itu hanya sandiwara untuk memprovokasimu,” akunya tanpa malu.

“Kenapa?” tanya Eadyth, keningnya berkerut bingung.

“Agar kau tak menggodaku untuk menyempurnakan pernikahan kita sampai...” kata-kata Eirik mengambang saat ia melihat kemarahan bergolak di mata ungu Eadyth yang bercahaya. Mungkin ia sudah terlalu banyak bicara dan terlalu cepat. Beberapa wanita mudah marah dan perlu “diatasi” dengan hati-hati. Dalam kemarahannya, Eirik lupa menggunakan taktik.

“Menggodamu? Menggodamu?” Eadyth tergagap. Lalu dagu sekeras besinya terangkat ke udara dan ia membalik keadaan. Mengangkat dua genggaman lumpur yang tak dilihat Eirik dikumpulkannya, Eadyth menghempaskannya ke wajah Eirik. Sejenak buta, Eirik duduk bersimpuh dan melepaskan Eadyth, berusaha melemparkan lumpur dari matanya. Ketika akhirnya ia bisa melihat lagi, Eadyth sudah berdiri di depannya, berkacak pinggang, memandang tajam ke arahnya. “Kau benar-benar bajingan arogan.”

“Aku tak suka pilihan kata-katamu, Istriku, atau nada bicaramu.” Menyadari bahwa mereka masih memiliki penonton, Eirik membentak pada semua orang di pintu dapur, “Enyah! Kalian semua. Aku ingin sendirian bersama istriku.”

Britta terkekeh dan mengatakan sesuatu tentang mereka tampak bagaikan babi di kandang. Bertha tertawa mesum dan melontarkan komentar aneh tentang bahwa payudara yang datar pun tampak berguncang ketika berlumuran lumpur. Sigurd dan wilfrid hanya tergelak.

Ketika akhirnya mereka hanya berdua dan berdiri saling berhadapan, terengah-engah, Eadyth mengumpatnya, “Kau mengirim orang untuk memata-mataiku bahkan saat aku sudah berjanji bahwa aku jujur. Kau percaya aku bersekongkol dengan musuh terbesarmu... musuh terbesarku. Dan kau berencana tidur dengan wanita lain hanya untuk menghindar dari sentuhanku yang menjijikan bagimu.”

“Menjijikan?” Eirik tersedak. “My Lady, kau menderita delusi kalau kau tak melihat bahwa aku sangat menginginkan tubuhmu... dan sentuhanmu.”

“Benarkah?” Rasa senang yang singgah sessaat di wajahnya menghilang saat ia menyadari implikasi kata-kata itu. “Kau mengatakan kau sengaja membuat adegan di kamarmu itu dengan wanita Moor itu?”

“Kuulangi, itu hanya sandiwara. Aku tak berniat tidur dengan gadis itu. Dia istri salah satu anak buahku.”

“Kau benar-benar penipu!”

Eirik menaikkan satu alisnya mengejek.

Eadyth mengedip mencegah air mata yang menggenang di mata ungunya agar tak menetes.

Eirik merasakan sejenak sengatan rasa bersalah. “Aku harus memastikan,” katanya dengan defensif.

“Kenapa kau tak bertanya padaku? Aku akan memberitahumu sejujurnya.”

“Benarkah?” tanyanya pelan.

Eirik tahu.

Pada saat itu, Eadyth melihat kilatan pemahaman di mata biru pucat Eirik, dan ia menyadari bahwa Eirik sudah tahu penyamarannya. Tiba-tiba, Eadyth mengerti tingkah laku anehnya beberapa hari belakangan.

“Berapa lama?” tanyanya, mundur dengan sikap defensif. “Berapa lama kau sudah tahu?”

Eirik mengangkat bahunya. “Cukup lama.”

“Apa kau... marah padaku?”

Eirik mengangguk, lalu maju selangkah ke arah Eadyth.

Eadyth mundur satu langkah.

Well, aku juga marah padamu.”

“Oh?” Eirik melangkah lebih dekat.

Kali ini, Eadyth mundur dua langkah. “Kau memata-mataiku.”

“Dengan alasan kuat.”

“Mungkin aku juga punya alasan kuat untuk... penyamaran kecilku yang tak berbahaya.”

Eirik menyeringai mendengar pilihan kata-katanya, dan Eadyth menyadari bahwa pria itu sudah mengambil dua langkah lebih dekat padanya pada saat ia bicara. Eadyth mundur lima langkah untuk memberi lebih banyak jarak, dan Eirik tersenyum padanya dengan gaya seorang pemangsa yang tak disukai Eadyth sama sekali. Ia merasa bagaikan burung tak berdaya yang dikuntit seekor kucing tua yang berpengalaman.

“Mungkin kau mau menjelaskan padaku apa motivasimu,” tanya Eirik, meraba bibir atasnya yang berlumur lumpur dengan cermat.

“Kau tampak konyol berdiri di sana, nyaris telanjang, berlumuran lumpur,” sembur Eadyth tanpa berpikir. Sebenarnya, Eirik tampak sangat jantan dan tampan, Eadyth mengakui pada dirinya sendiri. Namun ia tak akan pernah mengatakan hal itu padanya.

Mata jernih Eirik berkilat nakal. “Ah, lalu, supaya adil kita harus menyamakan keadaan.”

Kening Eadyth berkerut bingung. Ia bilang Eirik tampak konyol, berdiri telanjang dan berlumuran lumpur. Ia menunduk, melihat bahwa dirinya juga sepenuhnya berlumuran lumpur. Yang tertinggal hanya...

Mulut Eadyth terbuka lebar. Eirik tak akan berani!

Eirik menerjang ke arahnya.

Tampaknya, ia benar-benar akan melakukannya.

Eirik membopong Eadyth ke atas bahunya, mengabaikan jeritan-jeritan protes dan rontaan lengan dan kaki Eadyth. Pada saat mereka sampai ke kolam, Eirik menggeleng-geleng mendengar sumpah serapah Eadyth yang sama sekali tak seperti seorang lady.

Tuhan, aku suka pertempuran yang seru, dan istrinya yang keras kepala, mau menang sendiri, dan kaku ini, akan menyediakan permainan yang menarik baginya. Tanpa banyak ragu, Eirik masuk ke air setinggi lutut di kolam yang sedingin es itu. Walaupun matahari bersinar terik, air kolam itu terasa dingin karena baru saja hujan. Ia tersenyum lebar dan melemparkan Eadyth, lengkap dengan pakaiannya, ke dalam air.

Eadyth bangun dengan tergagap, mengeluarkan semua kata makian yang diketahuinya. “Keparat! Bajingan! Brengsek! Bodoh!”

Tanpa malu, Eirik melepaskan cawatnya dan mendekati eadyth. “Mari kita lihat apa yang telah kubeli dalam perjanjian ini, Istriku.”

“Beli? Beli? Kau tak membeli-ku, Keparat. Justru aku yang membelimu dengan mas kawinku,” Eadyth memekik, berusaha berjalan melewatinya ke tepi dengan harga diri sebanyak mungkin dalam pakaian yang berat karena terendam air. Ia sudah kehilangan topi dan tudung kepalanya pada saat mereka bergulat di lumpur, dan sisa pakaiannya membentuk tubuhnya dengan cara yang memikat.

Eirik menaikkan satu alisnya, terhibur pada kata-kata pedas Eadyth, menikmati pemandangan lekukan payudara Eadyth, pinggulnya, dan kaki panjangnya yang terlihat jelas. “Well, kalau begitu, sebaiknya kita berdua sama-sama memeriksa apa yang kita beli.”

Saat Eirik melangkah mengejarnya ke air yang lebih dangkal, Eadyth menunduk ke bawah dan terkesiap, menyadari bahwa Eirik sudah menanggalkan cawatnya. “Apa kau tak punya malu?”

“Sama sekali tidak.”

Eirik terus berusaha melepaskan pakaian Eadyth. Dan itu bukan hal yang mudah, dengan Eadyth yang menendang dan mencakar, serta bersumpah akan membalas dendam padanya sepanjang waktu.

“Jangan berani kau menyentuhku... oh, kau sudah merobek gaunku, kau lelaki liar.”

“Berhentilah meronta. Kau selicin belut. Aduh! Kau mencakarku. Kau membuatku berdarah dengan cakarmu,” seru Eirik tak percaya dan menenggelamkan Eadyth ke dalam air.

Eadyth muncul ke permukaan dengan tergagap, “Bajingan!” dan menerjang ke dada Eirik, berusaha menendang dada Eirik dengan lututnya. Hidung Eirik terbakar, dan ia nyaris kalah saat Eadyth berusaha menendang selangkangannya.

“Eadyth! Kali ini kau harus bertindak seperti seorang istri, bukan istri yang licik.”

“Hah!kali ini kau harus bertindak seperti ksatria, bukan raksasa kasar.”

“Raksasa kasar!” Eirik terkesiap. “Kita akan lihat siapa yang kasar di sini. Aku sudah cukup sabar dengan sikap keras kepalamu dan tingkahmu yang tak seperti wanita.” Melupakan kelembutan, Eirik dengan kasar merobek gaun dan pakaian dalam Eadyth.

“Lihat apa yang kau lakukan pada sepatuku. Oh, kau akan membayar semua kerusakan barang-barangku.”

Menyeringai melihat sepatu kulit Eadyth yang mengambang memalukan, Eirik menyentakkan lepas stoking dari kaki Eadyth.

Begitu telanjang, Eadyth tak memberi kesempatan pada Eirik melihat bentuk tubuhnya. Ia menyelinap dari genggaman tangan Eirik, menyelam ke dalam ke dalam air dan berenang menjauh. Memberi Eirik hanya sekilas bayangan bokong dan kaki panjangnya yang indah.

Eirik tersenyum.

Mengambil sabun yang ditinggalkan Britta di pinggir kolam, ia mengejar Eadyth, menyusulnya dalam beberapa kibasan. Ia menyambar rambut Eadyth, menariknya ke belakang ke tepian dan duduk dipinggirnya, mendorong Eadyth agar duduk di dalam air di antara kedua lututnya. Jeritan Eadyth pasti bisa terdengar sampai ke Jorvik.

“Jangan kabur dariku, kau binatang liar Viking, karena aku akan membuatmu membayar sepuluh kali lipat.”

“Aku gemetar ketakutan, My Lady.” Dengan cepat, sebelum Eadyth sempat berbalik dan benar-benar membuatnya impoten, Eirik menyabuni rambut panjangnya, lalu mencelupkan kepalanya ke dalam air. Tiga kali ia mengulanginya, mengabaikan jeritan marah Eadyth pada perlakuan kasarnya.

Ketika Eirik puas saat ia akhirnya menyingkirkan semua lemak dari rambut Eadyth, ia membiarkan Eadyth berdiri. Dengan marah, Eadyth mengibaskan rambutnya yang panjang dan basah di bahunya dan melesat pergi sebelum Eirik sempat memperhatikan tubuh Eadyth. Ah, well, ia punya banyak waktu untuk itu nanti.

Eirik mulai membersihkan dirinya sendiri, berenang ke air yang lebih dalam. Ia mencuci rambut dan tubuhnya, menyelam ke bawah air lagi dan lagi menyingkirkan semua lumpur. Ketika ia akhirnya muncul dari air, Eadyth sudah berdiri di pinggir, berpakaian lengkap mengenakan gaun sutra berwarna ungu muda dengan ikat pinggang, menyisir rambut sepinggangnya.

Dan Eadyth begitu cantik.

Britta pasti tidak membawakan pakaian dalam untuk istrinya, syukurlah, karena kain tipis gaunnya itu membentuk lekukan di tubuhnya. Eadyth wanita yang langsing seperti dugaan Eirik semula, tapi bukannya tak molek. Sekali lagi, ia memaki dirinya karena menjadi orang bodoh dengan penglihatan yang rabun.

Dan Eadyth sedang mengawasinya juga. Dengan berhati-hati.

Eirik merasakan dirinya semakin mengeras di bawah pengamatan Eadyth.

Eadyth tersipu dan membuang muka.

“Kita akhirnya akan menyempurnakan pernikahan kita. Kau tahu itu, kan, Eadyth?”

Eadyth bimbang, menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk dengan enggan. “Tapi jangan berpikir aku akan berdiri terbalik dengan kepala di bawah untukmu.”

Mata Eirik membelalak. “Well, mungkin, itu tak perlu setelah sekarang aku lihat kau sama sekali tak mirip dengan bokong keledai.”

Eadyth memandangnya dengan sorot mata galak yang mengatakan bahwa Eiriklah yang lebih mirip dengan bokong keledai. “Dan jangan pikir aku akan memberimu lilin lima jam itu untuk tujuan mesummu,” tambah Eadyth kesal.

“Hah?”

Eadyth mengibaskan tangan, menepis. “Kau tahu... teratai berkelopak lima yang kau ceritakan itu. Oh, aku tahu aku tak bisa menghindari ranjang pernikahan sekarang, tapi jangan kira aku akan menuruti fantasi mesummu.”

Eirik mulai mengerti maksud perkataan Eadyth dan ia tertawa keras. Ya Tuhan, Eadyth percaya pada cerita karangannya tentang lima jam permainan seksual, dan pastinya Eadyth menduga malam pertama mereka nanti juga akan terjadi hal yang sama.

“Ah... ingatkan aku lagi, Eadyth... berapa kali kubilang si wanita dalam cerita itu memuncak dalam satu malam?”

“Aku tidak ingat,” jawab Eadyth, wajahnya bersemburat merah dengan cantik. “Tujuh atau delapan kali, kutasa.”

“Tu... tujuh atau delapan?” tanya Eirik, takjub pada cerita fantasinya sendiri. Lalu ia memikirkan hal lain. “Dan berapa kali kubilang si pria memuncak selama sesi lima jam itu?”

“Dua belas,” kata Eadyth tanpa ragu.

Eirik mengeluarkan suara tersedak dari dalam tenggorokannya dan melangkah mendekat. Ia meraih sisir dari tangan Eadyth dan melemparkannya ke tanah. Lalu, ia memegang pinggang Eadyth dengan kedua tangannya, yang terasa pas ditelapak tangannya, mengangkat istrinya dari tanah sehingga tubuh mereka bertemu –paha dengan paha, perut dengan perut, dada dengan dada.

Eirik menunduk, berbisik parau di depan bibir Eadyth. “Eadyth, aku takut akau tak akan bertahan lima menit, apalagi lima jam.”

“Ah, seharusnya aku tahu. Pria memang selalu membanggakan hal yang tak bisa mereka lakukan.”

Eirik meletakkan ujung lidahnya ke tahi lalat di atas bibir Eadyth, lalu menelusuri tepian mulut Eadyth yang indah dengan kenikmatan yang membuat mabuk kepayang. “apa kau menantangku, Istriku?”

“Tidak, setidaknya kita setuju dalam hal itu. Aku tak mau memperlama waktu bercinta. Aku hanya akan melakukannya dan menyelesaikannya,” jelas Eadyth dengan nada defensif yang tak meyakinkan saat ia menyandarkan kepalanya ke belakang, berusaha menghindari bibir Eirik. Gerakannya itu hanya memberi Eirik akses pada lehernya yang halus.

“Ah, disitulah kesalahanmu, Istriku. Kita akan menyalakan lilin lima jammu,” katanya, menciumi kulit hangat Eadyth dengan hidungnya, “dan aku berjanji akan membuat kenikmatanmu berlangsung lama... bahkan jika kita berdua harus mencapai puncak berkali-kali sampai kita melakukannya dengan benar.”

Untuk sekali waktu, Eadyth tak bisa menimpalinya. Tapi detak liar di leher Eadyth melompat dengan memberontak di bibir Eirik.


Back

3 komentar:

  1. thanks ya uda terjemahin, critanya bagus... ditunggu lanjutannya yah

    BalasHapus
  2. Maaf, bukan aku yang terjemahin... ini salah satu buku koleksiku yang ceritanya kusuka dan ingin kubagikan...

    BalasHapus