Rabu, 24 Oktober 2018

The Tarnished Lady 13

Akhirnya! Dan ya, bumi bergerak...

Saat mereka berjalan kembali ke rumah, Eirik merangkul bahu Eadyth dengan santai.

Eadyth memandang galak.

Eirik mengedipkan mata.

Suami macam apa yang mengedip kepada istrinya?

Eadyth merunduk dan menjauh. “Berhenti menggodaku,” pintanya dan mulai berjalan mendahului Eirik dengan langkah cepat.

Pria liar itu memanggilnya tanpa rasa bersalah. “Aku? Menggoda? Aku hanya bertindak layaknya seorang suami. Ngomong-ngomong, Tykir benar tentang pinggulmu.”

Eadyth menoleh dan melihat mata Eirik terpaku memandang bokongnya. Demi Santa Hilary, pikiran pria itu hanya berputar pada satu hal. Eadyth berhenti dan menunggu Eirik untuk menyusul. Ia tak akan mempertontonkan tubuhnya di depan Eirik dalam gaun sutranya yang tipis, terutama karena Britta tak membawakan pakaian dalamnya.

“Kau harus benar-benar terbiasa dengan sentuhanku, Eadyth,” ujar Eirik asal-asalan saat ia berusaha mengaitkan jemari tangannya dengan Eadyth.

Eadyth menepisnya. “Kenapa?”

“Karena aku berniat sering melakukannya.”

Eadyth mengerutkan keningnya, tak memahami kata-kata Eirik pada awalnya. Ketika ia sadar bahwa maksudnya adalah ia akan terus menerus menggerayangi tubuhnya, semburat panas bergerak dari payudara yang seketika penuh naik ke atas wajahnya yang pastinya memerah. “Kau... kau... liar,” Eadyth tergagap, berusaha mencari kata-kata untuk menimpalinya, menunjukkan bahwa ia tak suka pada cara bercandanya. Eirik pasti tak sungguh-sungguh. Suaminya itu hanya memancing kemarahannya. Setidaknya, itulah dugaan Eadyth pada awalnya sampai ia menyadari tatapan mata Eirik yang mengagumi payudaranya

Eadyth menunduk dan nyaris mengerang keras-keras. Puncaknya kini tegak dan keras. Oh, Tuhan. “Apa mungkin kau seorang yang bejat?”

Eirik tertawa, dan kerutan kecil di seputar matanya semakin dalam dengan cara yang menyenangkan. Rambut hitam tebalnya disisir ke belakang, tapi matahari sudah mengeringkannya dan banyak bagian kulitnya terpampang karena ia mengenakan kemeja tunik lengan pendek, tanpa kerah. Kulitnya yang segar, berwarna tembaga terbakar matahari berkilau memancarkan kesehatan, vitalitas, dan kejantanan liar. Sungguh, suaminya sangat memikat. Dan bahaya bagi kemandiriannya yang diperjuangkannya dengan keras.

“Tidak, Eadyth, aku bukan orang bejat.”

“Lalu kenapa kau berbicara terus-menerus soal sentuhan dan persetubuhan?”

“Mungkin karena sudah terlalu lama aku tak melakukan keduanya.”

Itu mengejutkan Eadyth. Ia ingin bertanya berapa lama, menduga Eirik pasti sudah mengunjungi wanita simpanannya sejak saat pertunangan mereka dan kepulangannya ke Ravenshire beberapa hari lalu, tapi ia tak sanggup  melontarkannya. Bertanya hanya akan menunjukkan ia peduli. Dan ia tak peduli pada Eirik, atau pada pria mana pun. Ia tak bisa. Oh, Tuhan.

“Tiga bulan,” seru Eirik, seolah-olah menjawab pertanyaan dalam benak Eadyth.

Mata Eadyth membelalak, dan di luar kehendaknya, sedikit getaran rasa senang mengalirinya. Berusaha mengambalikan sikap tenangnya, Eadyth berkomentar dengan suara sewajar mungkin, “Well, kurasa itu waktu yang lama bagi pria, tapi kau sepertinya terlalu mementingkan soal bercinta antara pria dan wanita.”

“Suami dan istri,” koreksi Eirik sambil menyengir.

Eadyth mengibaskan tangannya tak peduli. “Pria, wanita. Suami, istri. Pada akhirnya itu semua hanyalah kegiatan fisik yang terlalu dilebih-lebihkan. Seperti makan. Atau menguap. Kegiatan yang terlalu singkat untuk dianggap penting. Oh, aku jamin itu menyenangkan bagi pria. Setidaknya mereka sering sesumbar tentang hal itu, tapi aku yakin bagi banyak wanita itu tak lebih dari sekadar gangguan.”

Eirik mengerling dengan takjub dan menggelengkan kepala perlahan. “Menguap? Ah, Eadyth, akan menyenangkan sekali untuk mengajarimu.”

“Aku tak menginginkan pelajaran penuh dosamu.”

“Tak ada yang dosa tentang percintaan yang baik di antara suami dan istri.”

“Baik. Buruk. Tak ada bedanya bagiku.”

“Akan ada bedanya.”

“Hah!”

Eirik meraih ke depan dan mengambil seuntai rambut ikal Eadyth dengan jarinya. Dengan sensual, ia merabanya di antara ibu jari dan jari telunjuknya, kemudian, memandang mata Eadyth, mengangkat untaian rambut itu ke bibirnya. “dugaanku, istriku yang sopan dan serius, kau salah paham tentang konsep bercinta. Kalau dengan caramu, aku berani bertaruh, kegiatan itu pasti cepat dan diam, bersih dan tenang. Kau akan mengaturnya dengan efisien, seperti rumahmu.”

Eadyth mengangkat dagunya, dengan keras kepala menolak untuk terpancing umpan suaminya kali ini.

Eirik tergelak pelan dan melanjutkan, “Well, biar kuberitahu, Sayang, permainan cinta yang baik itu lama... dan basah... dan berantakan... dan berisik... dan sangat, sangat panas.”

Panas? Basah? Oh, Tuhan. Eadyth tak mampu mencegah mulutnya menganga takjub. “Lihat maksudku?” dengus Eadyth akhirnya. “Kau terus-menerus menggodaku. Yang kuinginkan hanya suami yang melindungi anakku, perjanjian legal.” Eadyth memejamkan mata dengan gusar dan menggemeretakkan gigi.

“Dan aku menginginkan lebih.”
Kata-kata lirih Eirik mengejutkan Eadyth, dan ia membuka matanya hanya untuk bertatapan dengan kilatan api lapar di mata suaminya yang memandangnya lekat-lekat. Lapar? Untuk apa? Oh, tidak, tidak mungkin... oh, tentunya tak mungkin karenaku.

Eadyth limbung, dan Eirik memegang pinggangnya untuk membantunya tetap tegak. Sentuhan ringan tangan Eirik pada kulitnya yang berbalut sutra itu sudah cukup membuat jantungnya berdegup kencang dan darahnya di sekujur kaki dan tangannya. Dan, oh Tuhan, sentuhan Eirik terasa begitu indah, ia ingin menyimpan momen ini dan mengenangnya selamanya.

Ini adalah kelembutan yang diimpikannya pada saat ia masih gadis muda dulu, sebelum Steven of Gravely menghancurkan ilusinya. Mulutnya merekah dan mendesah lembut karena ia tak mampu melawan daya tarik Eirik.

Eirik terkesiap, tampak sepenuhnya sadar dengan respons alamiah Eadyth padanya.

Eadyth hendak berbalik melarikan diri sebelum Eirik membakarnya hidup-hidup dengan pandangan yang membakar itu, namun suaminya itu menariknya. Dengan cepat ia sudah berada dalam dekapannya dan dadanya yang kokoh. Lalu, Eirik melingkarkan lengan dengan erat di pinggang Eadyth, mengangkatnya sehingga kakinya tergantung di atas rumput yang lembut, dan Eirik membawanya ke sebuah pohon terdekat.

Dengan punggung Eadyth merapat pada batang pohon yang keras dan kakinya masih menyentuh tanah. Eirik merapatkan pinggulnya di perut Eadyth hendak menunjukkan pada istrinya apa tepatnya yang dimaksud dengan sentuhan yang sebenarnya.

“Indah... sangat indah,” gumamnya di leher Eadyth sementara kedua tangannya dengan liar menggerayangi tubuh Eadyth, bergerak di atas sutra yang licin itu.

“Jangan... oh, kumohon hentikan, kau lelaki mesum,” Eadyth terkesiap, berusaha menangkap pergelangan tangan Eirik, tapi pria itu terlalu cepat baginya. Tangan Eirik berada di mana-mana dalam satu waktu.

“Aku tak bisa berhenti, Eadyth... aku tak bisa,” bisik Eirik parau dan menggigiti telinganya.

“Aku merasa tak tahu malu.”

“Istri yang tak tahu malu,” katanya termenung. “Hmmm. Kurasa aku suka itu, Eadyth, Sangat suka.”

Lalu, seperti bendungan yang jebol, sentuhan Eirik bergerak di tubuh Eadyth seperti gelombang, di luar kendali, tanpa tujuan. Ketika ia menggerakkan dadanya yang berpakaian wol dengan pelan, di payudara Eadyth yang tertutupi sutra, Eadyth menggigil dengan sensasi luar.

“Aku tak tahu,” kata Eadyth, dengan takjub.

“Aku tahu,” katanya dengan arogansi yang menyebalkan.

Eadyth ingin menimpali, tapi ia terlalu kewalahan, dengan getaran erotis yang menyebar seperti api di sekujur tubuhnya.

“Aku tak mau merasa seperti ini,” erang Eadyth.

“Ya, kau mau,” Eirik bersikeras dan menggerakkan bibir hangatnya lebih dekat ke bibir Eadyth. Pada saat bersamaan, telapak tangannya yang besar menangkup bokong Eadyth dengan cara yang liar yang seharusnya membuat Eadyth merasa gusar, tapi kenyataannya tidak.

“Apa kau mau aku menciummu, Eadyth?” bisiknya di depan bibir Eadyth.

“Tidak,” Eadyth berbohong, masih berusaha melawan kobaran api yang mengancam akan membakarnya dan semua nilai-nilai yang dipegangnya.

“Lalu kenapa kau menggigil begitu?”

“Karena jijik.”

Eirik tergelak pelan pada perlawanan Eadyth dan menggerakkan tangannya ke payudara kiri Eadyth. Dengan nakal Eirik memainkan puncaknya sampai Eadyth merasa payudaranya menjadi berat dan mendambakan pemenuhan yang tak dipahaminya. Lalu Eirik melakukan hal yang sama dengan tangan kiri dan payudara kanan Eadyth.

Eadyth tenggelam dalam lautan kenikmatan.

“Apakah itu menyenangkan?” tanya Eirik dengan suara serak.

Eadyth tak mampu bicara, hanya menggeleng dengan keras kepala.

“Kau bohong, Eadyth,” ujar Eirik dengan seringai mengerti. “Bibirmu merekah mengundang. Matamu, mata ungumu yang indah, berkilat dengan gairah. Dan kakimu telah terbentang dengan sendirinya untuk penyatuan tubuh kita.”

Dengan kaget, Eadyth menunduk melihat bahwa ia memang telah membentangkan kedua kakinya untuk mengakomodasi belaian pinggul Eirik.

“Oh... oh... lihat apa yang kau lakukan padaku. Aku menjadi wanita liar.”

“Bukan, bukan wanita liar. Istriku,” ujar Eirik, dengan puas, menggesekkan bibir hangatnya dengan ringan di atas bibir Eadyth –menggoda, memancing, membangkitkan rasa lapar istrinya. “Beritahu aku apa yang kau mau, istriku... katakan padaku... katakan,” bujuknya.

“Aku ingin ciumanmu, dan kau tahu itu,” seru Eadyth akhirnya, menyerah, lalu menekan bibirnya pada bibir Eirik.

Desisan terkejut napas Eirik menyatu dengan Eadyth. Lalu Eirik menelengkan kepalanya sedikit, memosisikan bibir kokohnya agar lebih pas ke mulut Eadyth. Oh, kenikmatan dari ciumannya yang dalam! Ketika lidah Eirik menyelinap di antara bibirnya, Eadyth merangkul bahu tegap Eirik dan mendesah, ingin ia memberikan lebih dan lebih.Eadyth tak pernah tahu sebuah ciuman bisa begitu erotis, mengupas kelopak demi kelopak perlawanan seorang wanita. Benaknya berputar dengan semua sensasi lezat yang mendekatinya, melingkupinya, mengelilinginya –rasa mulut Eirik, tiupan angin lembut mengeluarkan aroma clover yang manis, suara napas mereka yang terengah-engah, suara dengungan lebah, rasa jari panjang Eirik yang membelai rambutnya, aroma wangi kulit suaminya yang dihangatkan matahari, suara dengusan seekor kuda...

Dengan seekor kuda! Eadyth melepaskan mulutnya dari mulut suaminya, dan matanya seketika terbuka. Ia menengok dari balik bahu Eirik, dan melihat, dengan ngerinya. Wilfrid dan beberapa anak buah Eirik duduk di atas kuda mereka dari jarak yang tak jauh, tampak terhibur menonton pertunjukan yang mereka sajikan.

Dengan malu, Eadyth berusaha mendorong suaminya menjauh, memberitahu dengan mendesis, “Kita punya penonton.”

Mata biru Eirik yang berkabut menjadi sayu penuh gairah, dan bibirnya tampak membengkak dengan sensual akibat ciuman mereka. Oh, Tuhan, seperti apa rupanya sendiri? Pasti seperti wanita nakal, pikir Eadyth, mengernyit.

“Apa?” tanya Eirik, ia tampak bergetar karena menahan diri saat dengan lembut ia menyibakkan untaian rambut Eadyth dari wajahnya. Matanya tetap nanar dengan gairah.

“Anak buahmu di sini, dan mereka menonton kita,” kata Eadyth dengan suara bisikan tercekik.

Seketika sadar, Eirik menoleh dan mengangguk ke anak buahnya, seolah-olah bercumbu dengan istrinya di tempat terbuka adalah kejadian biasa. Seolah-olah mereka tidak ada di sana karena alasan khusus.

“Aku pasti tampak liar di mata anak buahmu. Oh, aku tak akan pernah memaafkanmu karena mempermalukanku.”

“Benarkah?” tanya Eirik lembut. “Well, sebaiknya kau terbiasa malu karena aku suka dengan istri yang liar.” Eirik mengedip dan mencubit bokong Eadyth dengan genit sebelum hendak berbalik ke arah anak buahnya.

Eadyth menarik suaminya kembali ke arahnya.

Eirik menaikkan alis kanannya. “Sudah berubah pikiran ya?”

“Bukan, bukan itu, Bodoh. Jangan berbalik dulu, atau kau akan mempermalukan kita berdua, lebih dari yang sudah kau lakukan.”

Eirik memandang ke bawah, ke celana panjangnya tanpa malu. “Kau benar.”

Eirik menarik Eadyth menjadi tameng di depannya, kemudian berbalik ke arah Wilfrid dan yang lain yang tengah duduk di atas kuda mereka. Anak buah Eirik dengan santai mempermainkan tali kekang kuda mereka, menyeringai lebar.

“Tampaknya kau sudah mengajari lebah cara membuat madu,” kata Sigurd, tentara Viking, dengan kasar. Pria lain di belakang membuat suara dengungan.

Dan Eadyth berharap ia bisa terbenam ke dasar bumi.

Tapi Eirik dan anak buahnya segera melupakan gurauan mereka saat Wilfrid memberitahu Eirik dengan gelisah bahwa seorang buruh tani baru datang untuk mengabari mereka tentang banyaknya ternak yang telah dibantai, kali ini di peternakan di Ravenshire. Eadyth melihat Eirik menaiki kudanya, yang dibawakan anak buahnya.

“Kupikir kau pasti ingin langsung tahu,” Wilfrid mengakhiri penjelasannya, memandang dengan menyesal ke arah Eadyth.

“Ya, kau benar datang padaku. Sekarang kita akan pergi untuk menyelidiki.”

Well, kalau begitu, aku akan kembali ke rumah,” kata Eadyth dengan santai, bersyukur bisa menjauh dari keberadaan Eirik yang memabukkan, kesempatan untuk membangun kembali pertahanan dirinya yang hancur.

Tapi suaminya punya rencana lain.

Eirik mendekat ke arahnya, menuntun kudanya dengan tali kekang. Senyuman tipis yang misterius tersungging di bibirnya. “Tidak.”

“Tidak? Apa maksudmu ‘tidak’?” Suaranya mengkhianati ketenangannya karena terdengar kesal.

“Kau tak akan lepas dariku semudah itu mulai dari sekarang, Istriku. Kau akan ikut bersama kami. Ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan. Tapi jangan cemas dengan keselamatanmu. Aku akan melindungimu dari semua penjahat.”

Hah! Dan siapa yang akan melindungiku darimu? “Aku tak bisa berkuda bersamamu,” Eadyth protes, lalu memelankan suaranya agar yang lain tak mendengarnya. “Aku tak mengenakan pakaian dalam.”

“Aku tahu,” ujar Eirik sambil tersenyum jahil.

Dia tahu? Well, tentu saja dia tahu dengan semua sentuhan dan penjelajahan yang dilakukannya. “Aku tak tahu kenapa Britta begitu ceroboh dengan hanya membawakan pakaian luarku. Dan ini gaun sutra terbaikku!”

Eirik menyeringai seolah-olah ia tahu pasti maksud Britta. Bajingan! Bibir atas Eadyth melengkung kesal. “Ini memalukan.”

“Aku tahu.”

Katakan itu lagi, suamiku, dan aku akan mengikat lidahmu. “Apa kau tak takut yang lain akan tahu?”

“Tak akan ada yang tahu kau telanjang di balik kain ini kecuali aku,” jelas Eirik enteng, menunjuk pada lengan gaunnya. “Apa kau tak melihat? Ini yang membuat begitu menarik... tahu bahwa kau telanjang, hanya untukku.”

Oh, Tuhan. Dia melakukannya lagi. Membuatku merasa panas dan bergetar. “Aku menolak.”

“Seingatku, aku tk memberimu pilihan.”

Eadyth melihat jalan buntu yang menampar wajahnya. Ini bukan waktu atau tempat untuk berdebat dengan suaminya. Eirik tidak akan bisa ditolak di depan anak-anak buahnya. ”Well, ambilkan kudaku kalau begitu,” kata Eadyth dengan gusar.

“Tak ada waktu,” kata Eirik tersenyum jahil sambil melipat lengannya di dadanya, menantang Eadyth menantangnya.

Apa rencanamu, Suamiku?

Ketika ia tak membantah lagi walaupun sangat ingin, eirik menambahkan, “Kau akan menunggang kuda bersamaku.”

“Dengan memakai sutra? Otakmu beku?”

“Ck ck! Bahasamu. Aku akan mengajarimu cara yang lebih baik, Istriku.”

Ya, kurasa pria itu akan terlihat bagus dengan ikatan di lidahnya.

Lalau sebelum Eadyth sempat berkedip, Eirik membungkuk ke tanah, menarik ujung ekor gaunnya ke depan dan ke atas, menyelipkannya di pinggang. Eadyth menunduk terkejut, melihat celana panjang mengembang yang terbentuk, seperti gaun tukang cuci. Sekali lagi, sebelum Eadyth sempat protes, Eirik mengangkat pinggangnya dan menaikkannya ke atas kuda, menempatkannya di depan.

Kaki Eadyth terbentang lebar di atas kuda besar itu dan kaki telanjangnya yang tanpa alas kaki dan stoking yang terbuka sampai ke betisnya. Kuda itu mulai bergerak, dan Eirik memeluk erat pinggangnya dengan tangan kiri untuk menyeimbangkannya. Tali kekang ada di tangan kanan pria itu.

“Oh, teganya kau? Semua orang bisa melihat kulit telanjangku.”

“Sigurd, ambilkan mantel panjangku. Ada di gantungan di aula. Istriku tiba-tiba kedinginan.” Dengan suara pelan, ia berbisik di telinganya. “Lihat, Eadyth betapa menyenangkannya aku? Kurasa aku akan menjadi suami teladan. Sungguh.”

Mungkin dua ikatan di lidah akan lebih baik. Eadyth hendak mengumpat lagi, tapi ia terpaku tak mampu bicara karena merasakan tonjolan keras yang menekan bokongnya dan ayunan intim di atas pelana saat kuda besar itu mulai berjalan.

Dan begitu Eirik mendapatkan mantel panjangnya dan menyelimutkannya ke bahunya dan bahu Eadyth, menutupi mereka berdua dari leher ke pergelangan kaki, Eadyth mulai tahu seperti apa rasanya seekor semut yang dijerat oleh jaring laba-bala.

Wilfrid menunggang di sebelah kanan dan Sigurd di sebelah kiri, lima tentara mengikuti di belakang mereka.

Saat Eilfrid berkomentar, “Ini kasus ke lima kalinya ternak dibantai, tanpa bangkai yang bisa dijadikan bahan makanan, dalam waktu tiga bulan belakangan ini,” tangan kiri Eirik bergerak ke payudara kanan Eadyth, di dalam selimut mantel.

Eirik mengangguk, berkomentar, “Ini pasti ulas Steven of Gravely, tak diragukan lagi.” Sementara jari-jari tangannya yang panjang membelai payudara Eadyth dengan gerakan yang mahir –menimbangnya dengan telapak tangannya dari bawah, berputar mengitari keseluruhannya, menjepit puncaknya dengan ibu jari dan jari telunjuknya dan memutarnya lembut. Oh, Tuhan.

Eadyth menoleh ke arah Eirik, tapi pria itu sedang memandang sigurd, menyimak dengan saksama saat sigurd memberitahunya, “Kurasa kita perlu menerapkan rencanamu untuk memasang para pengawal di sepanjang tanahmu, untuk sementara waktu.”

“Ya, kau benar, sigurd,” Eirik berkata dengan tenang, tampaknya tak sadar dengan kekacauan yang dibutnya di bawah jubahnya. “Aku cemas bajingan itu akan mulai membakar tanahku, seperti yang dilakukannya di Hawks’ Lair, kemudian kita akan menangani korban yang tewas, tak hanya ternak.” Sementara itu, Eirik memindahkan tali kekangnya ke tangan kiri dan memberikan perlakuan menggoda yang sama dengan payudara kanan Eadyth.

Wilfrid dan Sigurd sepenuhnya tak menyadari tindakan Eirik ini.

“Apakah Raja atau Witan melakukan sesuatu?”

“Aku berusaha memberitahukannya pada Edmund saat aku menemuinya, tapi dia bilang aku perlu bukti kejahatan Gravely... tak hanya laporan seorang petani... kalau aku ingin Witan bertindak melawannya.”

“Dan Gravely tak pernah meninggalkan bukti,” Sigurd menyelesaikan kalimatnya.

“Aku sudah mengirim beberapa ksatria Jomsviking, kawan sepasukan ayahku dulu, untuk membantu kita menjaga rumah sampai kita menangkap Steven. Mereka baru akan datang beberapa minggu lagi. Karena itu orang-orang yang kita miliki sekarang harus ekstra rajin.”

“Dan orang tambahan yang kau sewa di Jorvik sebagai bagian dari pasukan permanenmu?”

“Mereka akan tiba di sini beberapa hari lagi, bersama dengan para petarung Viking yang dikirim sepupuku King Haakon dari tanah Norse.”

Eadyth terkejut dengan berita ini. Eirik tak memberitahunya soal mengirim pasukan. Tapi kemudian ia bertambah terkejut dengan tangan besar yang kini menekan perutnya yang datar, jari-jari panjangnya merayap ke bawah ke pusat femininnya. Ketika Eirik membelai bagian tubuh itu dengan intim, Eadyth menjerit pelan memprotes.

“Apa kau mengatakan sesuatu, My Lady?” tanya Wilfrid dengan sopan.

“Tidak,” Eadyth tercekat, “Hanya ada serangga yang menganggu.”

Eirik menoleh dan Eadyth memandang galak Eirik dari balik bahunya.

Eirik tersenyum tak bersalah ke arahnya. Dan mulai meraba tubuh Eadyth dengan telapak tangannya. Panas melanda wajah Eadyth dan ke seluruh tubuhnya. Ia merasa terbuka dan rapuh dengan kaki terbentang lebar di punggung kuda. Kemudian, rasa sakit aneh yang tumbuh mulai berdegup. Di sana di bawah sentuhan Eirik yang lembut dan berirama.

“Aku benci kau,” desisnya pelan.

“Mungkin aku bisa memperbaikinya,” balas Eirik berbisik, dan saat itu Eadyth paham bahwa pria itu menyadari sekali apa yang telah dilakukannya terhadap tubuh Eadyth.

“Ayo kita lihat seberapa baik aktingmu sekarang, istriku yang senang menyamar.” Ia menoleh kembali ke arah Wilfrid. “Kulihat semua ladang di barat ditanami dengan gandum yang baru.” Dan tangannya berada di paha Eadyth, mengumpulkan gaunnya, segumpal demi segumpal, sampai pinggirannya berada di panguannya, mengekspos kulitnya yang terbuka.

“Ini pekerjaan istrimu,” kata Wilfrid pada Eirik. “Tanyakan padanya bagaimana ia memaksaku memperoleh tanaman musim semi saat kau pergi karena perintah raja.”

Jari-jari Eirik yang panjang membelai kulit lembut paha Eadyth, lalu memasukkannya ke dalam cairan panas yang menggenang dengan memalukannya di antara kaki Eadyth. Ia pasti akan terjatuh dari kuda kalau tangan kiri Eirik yang memegang tali kekang, tak memeluk erat pinggangnya, menjaganya tetap di tempat.

“Benarkah itu, Istriku?” tanya Eirik dengan lembut.

Eadyth tak bisa bicara, hanya mengangguk.

Semua pria yang lain terus mencuri-curi pandang padanya sekarang setelah penyamarannya terbongkar.

“Wah, Eirik, istrimu menjadi tersipu karena malu. Apa kau tahu bahwa istrimu punya sisi rendah hati seperti ini?” Wilfrid menggoda.

“Tidak, aku tak tahu,” kata Eirik tergelak. “Dia biasanya memberitahuku betapa bodohnya aku dan bahwa tak ada yang bisa kuajarkan padanya. Bukan begitu, Isriku?” Saat itu jari tengah suaminya menemukan titik di tubuh Eadyth yang tak diketahuinya ada, dan Eirik membuktikan bahwa Eadyth tak tahu segalanya.

Kabut merah mulai mengaburkan pandangannya saat hasrat yang manis dan nyaris menyakitkan mulai terbentuk dari sensasi sentuhan Eirik yang begitu lembut pada tonjolan itu. Kehangatan baru dan tak terduga menjalar ke seluruh tubuhnya. Eadyth mengerang keras.

“My Lady,” seru Wilfrid dan sigurd bersamaan. “Ada yang salah? Apa kau sakit?”

Eirik menyingkirkan tangannya, dan Eadyth merasa seolah-olah ia digantung di jurang antisipasi. Ia senang Eirik menarik tangannya yang menyiksa itu. Tapi ia juga ingin menarik tangan itu kembali.

“Ini waktu bulanannya,” Eirik berbohong tanpa malu.

Eadyth mengumpat kesal dan menundukkan kepalanya tanpa sadar. Kalau ia berhasil memalui bencana ini, ia akan sangat menikmati membunuh suaminya, dengan sangat perlahan.

“Kenapa kalian tak pergi lebih dulu dengan para pria lain? Lagi pula, jaraknya tak jauh,” kata Eirik dengan cemas. “Aku akan membawa istriku ke sungai di sana. Mungkin sedikit minum akan mengembalikan kesadarannya sebelum kai mengikuti kalian.”

O o. Eadyth tak terlalu terlena dengan sentuhan menggairahkan Eirik sehingga ia tahu bahwa ia akan berada dalam masalah yang lebih besar kalau mereka hanya berdua. “Tidak, aku sudah lebih baik sekarang. Itu hanya... kram perut,” jelasnya buru-buru.

Tapi para pria itu sudah berlalu di depan mereka, dan Eirik tersenyum padanya dengan sangat puas saat pria itu menggerakkan kuda ke arah sungai. Tapi ia tak berhenti di sana. Alih-alih, ia menyeberangi sungai itu, menggerakkan kuda ke daerah tersembunyi di sisi seberang sungai. Dengan cekatan, ia turun dari kuda dan mengikatkan kekang ke sebatang pohon kecil di pinggir sungai.

Eadyth mulai menurunkan pinggiran gaunnya setelah kini Eirik tak lagi di belakangnya dengan perlindungan menyeluruh dari mantel, tapi Eirik mengulurkan tangan, menahannya.

“Tidak, aku ingin melihatmu,” pintanya dengan parau, dan Eadyth kini melihat bahwa Eirik tak setenang seperti dugaannya. Mata biru pucatnya berkilat dengan gairah, dan bibir kokohnya membengkak dan merekah mendamba.

Oh, Tuhan.

Eirik menepiskan tangan Eadyth ke sisi-sisi tubuhnya, lalu mengangkat pinggiran gaunnya ke pinggangnya. Dalam diam, Eirik memandangi bagian tubuh Eadyth yang paling intim itu, yang berkilau dengan kelembapan yang aneh. Eadyth terkesiap, mungkin syok dengan pemandangan yang vulgar itu.

Eadyth menunduk malu, dan air mata yang panas membasahi pipinya dan jatuh ke tangan eirik yang ada di pahanya yang terbuka.

“Eadyth! Kenapa kau menangis?” seru Eirik pelan, mengangkatnya dari atas kuda dan menurunkannya berdiri di depannya. Ia mengangkat dagu Eadyth dengan ujung jarinya, memandang wajah istrinya dan bertanya lagi dengan nada bingung, “Kenapa kau menangis?”

Air mata mengalir dari matanya sekarang. “Karena aku malu.”

“Karena apa?” tanya Eirik terkejut. “Caraku menyentuhmu?”

“Ya, tapi lebih dari itu...” kata-kata Eadyth terputus. Ia tak bisa menyelesaikan pengakuannya yang memalukan.

Eirik menggeleng bingung, kemudian wajahnya sumringah karena mengerti. “Oh, Eadyth, tak ada yang memalukan dengan hasrat seorang wanita, apalagi dengan suaminya sendiri. Lihatlah betapa tubuhku menunjukkan kebutuhannya akan tubuhmu, aku sama sekali tak malu.”

“Segala yang menyenangkan pasti dosa. Dan aku sama bejatnya denganmu, karena para wanita pasti akan meneriakkan berita ini pada dunia kalau mereka mendapatkan sebanyak... sebanyak ini... kesenangan dari sentuhan pria. Demi Tuhan, kau membuatmu tak mampu berpikir dengan jari-jari iblismu. Tak berpikir! Oh, aku tak akan pernah menjadi nyonya rumah yang baik lagi, atau bisa mengurus bisnisku dengan baik, setelah aku tahu bahwa aku sama lemahnya dengan wanita lain.”

“Aku sangat senang mengetahui bahwa sentuhanku membuatmu tak mampu berpikir,” kata Eirik pelan, dan untuk pertama kalinya ia tak tertawa congkak. “Dan entah bagaimana kupikir kau akan mengurus urusanmu dengan tekad kuat seperti biasanya.”

Eirik menarik Eadyth ke arah daerah lapang berumput jauh dari sungai dan membentangkan mantelnya di tanah. Lalu ia melepaskan sabuk peraknya dan duduk, melepaskan sepatu bot kulitnya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Eadyth, menyeka sisa air matanya dengan lengan gaun.

Eirik menarik lepas tuniknya dari atas kepala dan berdiri di depan Eadyth, bertelanjang dada dan bertelanjang kaki. “Melepaskan pakaianku.”

Ia melepaskan kancing celana panjangnya dan hendak menariknya turun ketika Eadyth berseru tegang, “Kenapa?”

“Agar aku bisa bercinta dengan istriku, dengan cara yang benar dan tepat,” katanya lugas dan menjatuhkan celana panjangnya ke tanah.

“di sini?” Eadyth memekik. “di luar ruangan? Di siang bolong?”

Eirik hanya menyeringai dan mengangguk, lalu berdiri di depan Eadyth dengan berani, sepenuhnya tak berbusana. Eadyth melihat lebih banyak kulit terpampang dari yang pernah dilihatnya pada pria, dari bahunya yang bidang sampai ke pinggang dan pinggulnya yang ramping, sampai ke kaki panjang berototnya. Eirik mengulurkan tangannya mengundang Eadyth, dan Eadyth pikir ia bisa mati.

Pria itu luar biasa tampan. Dan pria itu adalah suaminya. Dan tubuh Eadyth berdebar oleh api panas yang dinyalakan suaminya dengan sentuhan yang membakar. Dan ia menginginkan pria itu. Dan ia tak menginginkannya. Dan, oh Tuhan.

Eirik tersenyum memikat dan melengkungkan satu jarinya, membujuknya mendekat.

Kesadaran fisik yang intens terbangun di antara mereka, memancar dalam keheningan lembah itu.

Bagaimana mungkin ia menyerah?

Bagaimana mungkin ia tidak?

Dengan ragu-ragu, Eadyth maju satu langkah mendekat. “Kau sudah memantraiku,” bisiknya.

“Ya, tapi ini mantra yang manis.” Eirik tersenyum lembut yang membuat detak jantung Eadyth berpacu, dan ia mendekat lebih dekat lagi.

Eadyth suka bahwa Eirik tak memaksanya untuk bercinta, bahwa pria itu memberinya pilihan. Bukannya ia punya pilihan saat ini. Suka cita yang baru melandanya membuatnya takjub. “Kau membuatku... tak terkendali, di luar kendali.”

Eirik tersenyum bercanda. “Ah, Eadyth, jangan meletakkan dosa itu padaku. Kau sudah lama tak terkendali sebelum kita bertemu. Kau hanya menyalurkan gairahmu di tempat yang lain.”

“Oh.”

“Ini bukan hal yang memalukan, My Lady. Wanita yang bebas adalah kesenangan pria.”

“Benarkah?”

“Benar.”

Eirik memandang istrinya dan tahu bahwa waktu untuk bicara sudah berakhir. Kesabaran dan kendali dirinya sudah di ambang batas. “Ayo, Eadyth, ini sudah terlalu lama.” Eirik mengulurkan tangannya untuk menjembatani jarak di antara mereka, Eadyth membiarkan eirik menariknya ke pelukan, akhirnya. Eirik mendesah dengan puas.

“aku merasa seolah-olah sejuta kupu-kupu tumbuh menyentak di dalam perutku dan mengancam akan keluar dari kulitku,” Eadyth mengaku dengan gemetar, napas hangatnya membelai leher Eirik.

Eirik juga merasakan sentakannya sendiri, di antara kakinya. Ia tergelak di rambut Eadyth, rambut pirangnya yang liar berombak, dan Eirik bertanya-tanya bagaimana mungkin ia bisa begitu buta akan kecantikan istrinya. “Kupu-kupu itu bagus,” katanya, mundur untuk memandang Eadyth. “Mari lihat apa yang bisa kita lakukan untuk membebaskan mereka.”

Eirik menanggalkan gaun Eadyth perlahan dan memaksanya berdiri diam sementara ia mengagumi kecantikannya. Rambutnya terurai di seputar bahunya dan turun ke kulit lembut di punggungnya yang tegak. Eadyth jangkung dan berkaki panjang, dengan pinggang ramping dan payudara yang cukup besar untuk memenuhi tangan seorang pria. Ia mengatupkan bibirnya yang indah dengan tegang, menarik perhatian eirik pada tahi lalatnya yang sensual.

“Kau sangat cantik,” kata eirik takjub, “dan kau milikku.”

“Aku punya bekas melahirkan di perutku,” kata Eadyth dengan malu-malu, berusaha jujur dengan kekurangannya, di bawah penyelidikan mata Eirik.

“Ya, tapi payudaramu indah sekali.”

“Puncaknya terlalu besar.”

Eirik nyaris tersedak lidahnya. “Tidak, kurasa tidak terlalu besar,” katanya ketika menenangkan dirinya agar jangan sampai mencurahkan benihnya di atas tanah.

“Sungguh?”

“Sungguh. Ukurannya tepat untuk diisap oleh mulut bayi. Atau mulut pria.”

Mata Eadyth berkilat mendengarnya, tapi kemudian ia menggigit bibir bawahnya dengan ragu sebelum menambahkan dengan sedih, “Tapi payudaraku tidak berguncang.”

“Berguncang?” Saat itu Eirik tak mampu menahan tawanya. “Apa maksudmu, berguncang?”

“Bertha bilang pria suka wanita dengan payudara yang berguncang.”

“Dan kau tiba-tiba menerima saran dari Bertha? Ah, Eadyth, kurasa aku akan menikmati mempunyai istri sepertimu.”

“Mungkin aku juga tak begitu benci punya suami sepertimu,” tambahnya tiba-tiba merasa malu.

Eirik mengulurkan tangan dan menyentuh tahi lalat menggoda di atas mulut istrinya yang penuh, lalu menelusuri bibir Eadyth yang merekah dengan telapak ibujarinya. Semua gurauan berakhir saat ia menundukkan bibirnya ke bibir Eadyth.

Awalnya, ciumannya lembut, persuasif, tapi ketika Eadyth menyambutnya dengan semangat rasa penasaran yang terbuka, bibirnya menjadi keras dan menjelajah. Eadyth membalas ciumannya dengan serta-merta, bahkan ketika ia membenamkan lidahnya ke dalam mulut istrinya. Kenikmatan, yang murni dan meledak-ledak, menjalar ke tubuh Eirik, dan ia menjatuhkan diri ke atas mantel di tanah, menarik Eadyth bersamanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar