Saat
mereka berjalan kembali ke rumah, Eirik merangkul bahu Eadyth dengan santai.
Eadyth
memandang galak.
Eirik
mengedipkan mata.
Suami macam apa yang mengedip kepada
istrinya?
Eadyth
merunduk dan menjauh. “Berhenti menggodaku,” pintanya dan mulai berjalan
mendahului Eirik dengan langkah cepat.
Pria
liar itu memanggilnya tanpa rasa bersalah. “Aku? Menggoda? Aku hanya bertindak
layaknya seorang suami. Ngomong-ngomong, Tykir benar tentang pinggulmu.”
Eadyth
menoleh dan melihat mata Eirik terpaku memandang bokongnya. Demi Santa Hilary,
pikiran pria itu hanya berputar pada satu hal. Eadyth berhenti dan menunggu
Eirik untuk menyusul. Ia tak akan mempertontonkan tubuhnya di depan Eirik dalam
gaun sutranya yang tipis, terutama karena Britta tak membawakan pakaian
dalamnya.
“Kau
harus benar-benar terbiasa dengan sentuhanku, Eadyth,” ujar Eirik asal-asalan
saat ia berusaha mengaitkan jemari tangannya dengan Eadyth.
Eadyth
menepisnya. “Kenapa?”
“Karena
aku berniat sering melakukannya.”
Eadyth
mengerutkan keningnya, tak memahami kata-kata Eirik pada awalnya. Ketika ia
sadar bahwa maksudnya adalah ia akan terus menerus menggerayangi tubuhnya,
semburat panas bergerak dari payudara yang seketika penuh naik ke atas wajahnya
yang pastinya memerah. “Kau... kau... liar,” Eadyth tergagap, berusaha mencari
kata-kata untuk menimpalinya, menunjukkan bahwa ia tak suka pada cara
bercandanya. Eirik pasti tak sungguh-sungguh. Suaminya itu hanya memancing
kemarahannya. Setidaknya, itulah dugaan Eadyth pada awalnya sampai ia menyadari
tatapan mata Eirik yang mengagumi payudaranya
Eadyth
menunduk dan nyaris mengerang keras-keras. Puncaknya kini tegak dan keras. Oh, Tuhan. “Apa mungkin kau seorang yang
bejat?”
Eirik
tertawa, dan kerutan kecil di seputar matanya semakin dalam dengan cara yang
menyenangkan. Rambut hitam tebalnya disisir ke belakang, tapi matahari sudah
mengeringkannya dan banyak bagian kulitnya terpampang karena ia mengenakan
kemeja tunik lengan pendek, tanpa kerah. Kulitnya yang segar, berwarna tembaga
terbakar matahari berkilau memancarkan kesehatan, vitalitas, dan kejantanan
liar. Sungguh, suaminya sangat memikat. Dan bahaya bagi kemandiriannya yang
diperjuangkannya dengan keras.
“Tidak,
Eadyth, aku bukan orang bejat.”
“Lalu
kenapa kau berbicara terus-menerus soal sentuhan dan persetubuhan?”
“Mungkin
karena sudah terlalu lama aku tak melakukan keduanya.”
Itu
mengejutkan Eadyth. Ia ingin bertanya berapa lama, menduga Eirik pasti sudah
mengunjungi wanita simpanannya sejak saat pertunangan mereka dan kepulangannya
ke Ravenshire beberapa hari lalu, tapi ia tak sanggup melontarkannya. Bertanya hanya akan
menunjukkan ia peduli. Dan ia tak peduli pada Eirik, atau pada pria mana pun.
Ia tak bisa. Oh, Tuhan.
“Tiga
bulan,” seru Eirik, seolah-olah menjawab pertanyaan dalam benak Eadyth.
Mata
Eadyth membelalak, dan di luar kehendaknya, sedikit getaran rasa senang
mengalirinya. Berusaha mengambalikan sikap tenangnya, Eadyth berkomentar dengan
suara sewajar mungkin, “Well, kurasa
itu waktu yang lama bagi pria, tapi kau sepertinya terlalu mementingkan soal
bercinta antara pria dan wanita.”
“Suami
dan istri,” koreksi Eirik sambil menyengir.
Eadyth
mengibaskan tangannya tak peduli. “Pria, wanita. Suami, istri. Pada akhirnya
itu semua hanyalah kegiatan fisik yang terlalu dilebih-lebihkan. Seperti makan.
Atau menguap. Kegiatan yang terlalu singkat untuk dianggap penting. Oh, aku
jamin itu menyenangkan bagi pria. Setidaknya mereka sering sesumbar tentang hal
itu, tapi aku yakin bagi banyak wanita itu tak lebih dari sekadar gangguan.”
Eirik
mengerling dengan takjub dan menggelengkan kepala perlahan. “Menguap? Ah,
Eadyth, akan menyenangkan sekali untuk mengajarimu.”
“Aku
tak menginginkan pelajaran penuh dosamu.”
“Tak
ada yang dosa tentang percintaan yang baik
di antara suami dan istri.”
“Baik.
Buruk. Tak ada bedanya bagiku.”
“Akan
ada bedanya.”
“Hah!”
Eirik
meraih ke depan dan mengambil seuntai rambut ikal Eadyth dengan jarinya. Dengan
sensual, ia merabanya di antara ibu jari dan jari telunjuknya, kemudian,
memandang mata Eadyth, mengangkat untaian rambut itu ke bibirnya. “dugaanku,
istriku yang sopan dan serius, kau salah paham tentang konsep bercinta. Kalau
dengan caramu, aku berani bertaruh, kegiatan itu pasti cepat dan diam, bersih
dan tenang. Kau akan mengaturnya dengan efisien, seperti rumahmu.”
Eadyth
mengangkat dagunya, dengan keras kepala menolak untuk terpancing umpan suaminya
kali ini.
Eirik
tergelak pelan dan melanjutkan, “Well,
biar kuberitahu, Sayang, permainan cinta yang baik itu lama... dan basah... dan berantakan... dan berisik... dan
sangat, sangat panas.”
Panas? Basah? Oh, Tuhan. Eadyth tak
mampu mencegah mulutnya menganga takjub. “Lihat maksudku?” dengus Eadyth
akhirnya. “Kau terus-menerus menggodaku. Yang kuinginkan hanya suami yang
melindungi anakku, perjanjian legal.” Eadyth memejamkan mata dengan gusar dan
menggemeretakkan gigi.
“Dan
aku menginginkan lebih.”
Kata-kata
lirih Eirik mengejutkan Eadyth, dan ia membuka matanya hanya untuk bertatapan
dengan kilatan api lapar di mata suaminya yang memandangnya lekat-lekat. Lapar? Untuk apa? Oh, tidak, tidak
mungkin... oh, tentunya tak mungkin karenaku.
Eadyth
limbung, dan Eirik memegang pinggangnya untuk membantunya tetap tegak. Sentuhan
ringan tangan Eirik pada kulitnya yang berbalut sutra itu sudah cukup membuat
jantungnya berdegup kencang dan darahnya di sekujur kaki dan tangannya. Dan, oh
Tuhan, sentuhan Eirik terasa begitu indah, ia ingin menyimpan momen ini dan
mengenangnya selamanya.
Ini
adalah kelembutan yang diimpikannya pada saat ia masih gadis muda dulu, sebelum
Steven of Gravely menghancurkan ilusinya. Mulutnya merekah dan mendesah lembut
karena ia tak mampu melawan daya tarik Eirik.
Eirik
terkesiap, tampak sepenuhnya sadar dengan respons alamiah Eadyth padanya.
Eadyth
hendak berbalik melarikan diri sebelum Eirik membakarnya hidup-hidup dengan
pandangan yang membakar itu, namun suaminya itu menariknya. Dengan cepat ia
sudah berada dalam dekapannya dan dadanya yang kokoh. Lalu, Eirik melingkarkan
lengan dengan erat di pinggang Eadyth, mengangkatnya sehingga kakinya
tergantung di atas rumput yang lembut, dan Eirik membawanya ke sebuah pohon
terdekat.
Dengan
punggung Eadyth merapat pada batang pohon yang keras dan kakinya masih
menyentuh tanah. Eirik merapatkan pinggulnya di perut Eadyth hendak menunjukkan
pada istrinya apa tepatnya yang dimaksud dengan sentuhan yang sebenarnya.
“Indah...
sangat indah,” gumamnya di leher Eadyth sementara kedua tangannya dengan liar
menggerayangi tubuh Eadyth, bergerak di atas sutra yang licin itu.
“Jangan...
oh, kumohon hentikan, kau lelaki mesum,” Eadyth terkesiap, berusaha menangkap
pergelangan tangan Eirik, tapi pria itu terlalu cepat baginya. Tangan Eirik
berada di mana-mana dalam satu waktu.
“Aku
tak bisa berhenti, Eadyth... aku tak bisa,” bisik Eirik parau dan menggigiti
telinganya.
“Aku
merasa tak tahu malu.”
“Istri
yang tak tahu malu,” katanya termenung. “Hmmm. Kurasa aku suka itu, Eadyth,
Sangat suka.”
Lalu,
seperti bendungan yang jebol, sentuhan Eirik bergerak di tubuh Eadyth seperti
gelombang, di luar kendali, tanpa tujuan. Ketika ia menggerakkan dadanya yang
berpakaian wol dengan pelan, di payudara Eadyth yang tertutupi sutra, Eadyth
menggigil dengan sensasi luar.
“Aku
tak tahu,” kata Eadyth, dengan takjub.
“Aku
tahu,” katanya dengan arogansi yang menyebalkan.
Eadyth
ingin menimpali, tapi ia terlalu kewalahan, dengan getaran erotis yang menyebar
seperti api di sekujur tubuhnya.
“Aku
tak mau merasa seperti ini,” erang Eadyth.
“Ya,
kau mau,” Eirik bersikeras dan menggerakkan bibir hangatnya lebih dekat ke
bibir Eadyth. Pada saat bersamaan, telapak tangannya yang besar menangkup
bokong Eadyth dengan cara yang liar yang seharusnya membuat Eadyth merasa
gusar, tapi kenyataannya tidak.
“Apa
kau mau aku menciummu, Eadyth?” bisiknya di depan bibir Eadyth.
“Tidak,”
Eadyth berbohong, masih berusaha melawan kobaran api yang mengancam akan
membakarnya dan semua nilai-nilai yang dipegangnya.
“Lalu
kenapa kau menggigil begitu?”
“Karena
jijik.”
Eirik
tergelak pelan pada perlawanan Eadyth dan menggerakkan tangannya ke payudara
kiri Eadyth. Dengan nakal Eirik memainkan puncaknya sampai Eadyth merasa
payudaranya menjadi berat dan mendambakan pemenuhan yang tak dipahaminya. Lalu
Eirik melakukan hal yang sama dengan tangan kiri dan payudara kanan Eadyth.
Eadyth
tenggelam dalam lautan kenikmatan.
“Apakah
itu menyenangkan?” tanya Eirik dengan suara serak.
Eadyth
tak mampu bicara, hanya menggeleng dengan keras kepala.
“Kau
bohong, Eadyth,” ujar Eirik dengan seringai mengerti. “Bibirmu merekah
mengundang. Matamu, mata ungumu yang indah, berkilat dengan gairah. Dan kakimu
telah terbentang dengan sendirinya untuk penyatuan tubuh kita.”
Dengan
kaget, Eadyth menunduk melihat bahwa ia memang telah membentangkan kedua
kakinya untuk mengakomodasi belaian pinggul Eirik.
“Oh...
oh... lihat apa yang kau lakukan padaku. Aku menjadi wanita liar.”
“Bukan,
bukan wanita liar. Istriku,” ujar Eirik, dengan puas, menggesekkan bibir
hangatnya dengan ringan di atas bibir Eadyth –menggoda, memancing,
membangkitkan rasa lapar istrinya. “Beritahu aku apa yang kau mau, istriku... katakan padaku... katakan,”
bujuknya.
“Aku
ingin ciumanmu, dan kau tahu itu,” seru Eadyth akhirnya, menyerah, lalu menekan
bibirnya pada bibir Eirik.
Desisan
terkejut napas Eirik menyatu dengan Eadyth. Lalu Eirik menelengkan kepalanya
sedikit, memosisikan bibir kokohnya agar lebih pas ke mulut Eadyth. Oh,
kenikmatan dari ciumannya yang dalam! Ketika lidah Eirik menyelinap di antara
bibirnya, Eadyth merangkul bahu tegap Eirik dan mendesah, ingin ia memberikan
lebih dan lebih.Eadyth tak pernah tahu sebuah ciuman bisa begitu erotis,
mengupas kelopak demi kelopak perlawanan seorang wanita. Benaknya berputar
dengan semua sensasi lezat yang mendekatinya, melingkupinya, mengelilinginya
–rasa mulut Eirik, tiupan angin lembut mengeluarkan aroma clover yang manis, suara napas mereka yang terengah-engah, suara
dengungan lebah, rasa jari panjang Eirik yang membelai rambutnya, aroma wangi
kulit suaminya yang dihangatkan matahari, suara dengusan seekor kuda...
Dengan seekor kuda! Eadyth
melepaskan mulutnya dari mulut suaminya, dan matanya seketika terbuka. Ia
menengok dari balik bahu Eirik, dan melihat, dengan ngerinya. Wilfrid dan
beberapa anak buah Eirik duduk di atas kuda mereka dari jarak yang tak jauh,
tampak terhibur menonton pertunjukan yang mereka sajikan.
Dengan
malu, Eadyth berusaha mendorong suaminya menjauh, memberitahu dengan mendesis,
“Kita punya penonton.”
Mata
biru Eirik yang berkabut menjadi sayu penuh gairah, dan bibirnya tampak
membengkak dengan sensual akibat ciuman mereka. Oh, Tuhan, seperti apa rupanya
sendiri? Pasti seperti wanita nakal, pikir Eadyth, mengernyit.
“Apa?”
tanya Eirik, ia tampak bergetar karena menahan diri saat dengan lembut ia
menyibakkan untaian rambut Eadyth dari wajahnya. Matanya tetap nanar dengan
gairah.
“Anak
buahmu di sini, dan mereka menonton kita,” kata Eadyth dengan suara bisikan
tercekik.
Seketika
sadar, Eirik menoleh dan mengangguk ke anak buahnya, seolah-olah bercumbu
dengan istrinya di tempat terbuka adalah kejadian biasa. Seolah-olah mereka
tidak ada di sana karena alasan khusus.
“Aku
pasti tampak liar di mata anak buahmu. Oh, aku tak akan pernah memaafkanmu
karena mempermalukanku.”
“Benarkah?”
tanya Eirik lembut. “Well, sebaiknya
kau terbiasa malu karena aku suka dengan istri yang liar.” Eirik mengedip dan
mencubit bokong Eadyth dengan genit sebelum hendak berbalik ke arah anak
buahnya.
Eadyth
menarik suaminya kembali ke arahnya.
Eirik
menaikkan alis kanannya. “Sudah berubah pikiran ya?”
“Bukan,
bukan itu, Bodoh. Jangan berbalik dulu, atau kau akan mempermalukan kita
berdua, lebih dari yang sudah kau lakukan.”
Eirik
memandang ke bawah, ke celana panjangnya tanpa malu. “Kau benar.”
Eirik
menarik Eadyth menjadi tameng di depannya, kemudian berbalik ke arah Wilfrid
dan yang lain yang tengah duduk di atas kuda mereka. Anak buah Eirik dengan
santai mempermainkan tali kekang kuda mereka, menyeringai lebar.
“Tampaknya
kau sudah mengajari lebah cara membuat madu,” kata Sigurd, tentara Viking,
dengan kasar. Pria lain di belakang membuat suara dengungan.
Dan
Eadyth berharap ia bisa terbenam ke dasar bumi.
Tapi
Eirik dan anak buahnya segera melupakan gurauan mereka saat Wilfrid memberitahu
Eirik dengan gelisah bahwa seorang buruh tani baru datang untuk mengabari
mereka tentang banyaknya ternak yang telah dibantai, kali ini di peternakan di
Ravenshire. Eadyth melihat Eirik menaiki kudanya, yang dibawakan anak buahnya.
“Kupikir
kau pasti ingin langsung tahu,” Wilfrid mengakhiri penjelasannya, memandang
dengan menyesal ke arah Eadyth.
“Ya,
kau benar datang padaku. Sekarang kita akan pergi untuk menyelidiki.”
“Well, kalau begitu, aku akan kembali ke
rumah,” kata Eadyth dengan santai, bersyukur bisa menjauh dari keberadaan Eirik
yang memabukkan, kesempatan untuk membangun kembali pertahanan dirinya yang
hancur.
Tapi
suaminya punya rencana lain.
Eirik
mendekat ke arahnya, menuntun kudanya dengan tali kekang. Senyuman tipis yang
misterius tersungging di bibirnya. “Tidak.”
“Tidak?
Apa maksudmu ‘tidak’?” Suaranya mengkhianati ketenangannya karena terdengar
kesal.
“Kau
tak akan lepas dariku semudah itu mulai dari sekarang, Istriku. Kau akan ikut bersama kami. Ini akan menjadi perjalanan
yang menyenangkan. Tapi jangan cemas dengan keselamatanmu. Aku akan
melindungimu dari semua penjahat.”
Hah! Dan siapa yang akan melindungiku darimu? “Aku tak bisa
berkuda bersamamu,” Eadyth protes, lalu memelankan suaranya agar yang lain tak
mendengarnya. “Aku tak mengenakan pakaian dalam.”
“Aku
tahu,” ujar Eirik sambil tersenyum jahil.
Dia tahu? Well, tentu saja dia tahu
dengan semua sentuhan dan penjelajahan yang dilakukannya. “Aku tak tahu
kenapa Britta begitu ceroboh dengan hanya membawakan pakaian luarku. Dan ini
gaun sutra terbaikku!”
Eirik
menyeringai seolah-olah ia tahu pasti maksud Britta. Bajingan! Bibir atas
Eadyth melengkung kesal. “Ini memalukan.”
“Aku
tahu.”
Katakan itu lagi, suamiku, dan aku akan
mengikat lidahmu.
“Apa kau tak takut yang lain akan tahu?”
“Tak
akan ada yang tahu kau telanjang di balik kain ini kecuali aku,” jelas Eirik
enteng, menunjuk pada lengan gaunnya. “Apa kau tak melihat? Ini yang membuat
begitu menarik... tahu bahwa kau telanjang, hanya untukku.”
Oh, Tuhan. Dia melakukannya lagi.
Membuatku merasa panas dan bergetar. “Aku menolak.”
“Seingatku,
aku tk memberimu pilihan.”
Eadyth
melihat jalan buntu yang menampar wajahnya. Ini bukan waktu atau tempat untuk
berdebat dengan suaminya. Eirik tidak akan bisa ditolak di depan anak-anak
buahnya. ”Well, ambilkan kudaku kalau
begitu,” kata Eadyth dengan gusar.
“Tak
ada waktu,” kata Eirik tersenyum jahil sambil melipat lengannya di dadanya,
menantang Eadyth menantangnya.
Apa rencanamu, Suamiku?
Ketika
ia tak membantah lagi walaupun sangat ingin, eirik menambahkan, “Kau akan
menunggang kuda bersamaku.”
“Dengan
memakai sutra? Otakmu beku?”
“Ck
ck! Bahasamu. Aku akan mengajarimu cara yang lebih baik, Istriku.”
Ya, kurasa pria itu akan terlihat bagus
dengan ikatan di lidahnya.
Lalau
sebelum Eadyth sempat berkedip, Eirik membungkuk ke tanah, menarik ujung ekor
gaunnya ke depan dan ke atas, menyelipkannya di pinggang. Eadyth menunduk
terkejut, melihat celana panjang mengembang yang terbentuk, seperti gaun tukang
cuci. Sekali lagi, sebelum Eadyth sempat protes, Eirik mengangkat pinggangnya
dan menaikkannya ke atas kuda, menempatkannya di depan.
Kaki
Eadyth terbentang lebar di atas kuda besar itu dan kaki telanjangnya yang tanpa
alas kaki dan stoking yang terbuka sampai ke betisnya. Kuda itu mulai bergerak,
dan Eirik memeluk erat pinggangnya dengan tangan kiri untuk menyeimbangkannya.
Tali kekang ada di tangan kanan pria itu.
“Oh,
teganya kau? Semua orang bisa melihat kulit telanjangku.”
“Sigurd,
ambilkan mantel panjangku. Ada di gantungan di aula. Istriku tiba-tiba
kedinginan.” Dengan suara pelan, ia berbisik di telinganya. “Lihat, Eadyth
betapa menyenangkannya aku? Kurasa aku akan menjadi suami teladan. Sungguh.”
Mungkin dua ikatan di lidah akan lebih
baik.
Eadyth hendak mengumpat lagi, tapi ia terpaku tak mampu bicara karena merasakan
tonjolan keras yang menekan bokongnya dan ayunan intim di atas pelana saat kuda
besar itu mulai berjalan.
Dan
begitu Eirik mendapatkan mantel panjangnya dan menyelimutkannya ke bahunya dan
bahu Eadyth, menutupi mereka berdua dari leher ke pergelangan kaki, Eadyth
mulai tahu seperti apa rasanya seekor semut yang dijerat oleh jaring laba-bala.
Wilfrid
menunggang di sebelah kanan dan Sigurd di sebelah kiri, lima tentara mengikuti
di belakang mereka.
Saat
Eilfrid berkomentar, “Ini kasus ke lima kalinya ternak dibantai, tanpa bangkai
yang bisa dijadikan bahan makanan, dalam waktu tiga bulan belakangan ini,”
tangan kiri Eirik bergerak ke payudara kanan Eadyth, di dalam selimut mantel.
Eirik
mengangguk, berkomentar, “Ini pasti ulas Steven of Gravely, tak diragukan lagi.”
Sementara jari-jari tangannya yang panjang membelai payudara Eadyth dengan
gerakan yang mahir –menimbangnya dengan telapak tangannya dari bawah, berputar
mengitari keseluruhannya, menjepit puncaknya dengan ibu jari dan jari
telunjuknya dan memutarnya lembut. Oh,
Tuhan.
Eadyth
menoleh ke arah Eirik, tapi pria itu sedang memandang sigurd, menyimak dengan
saksama saat sigurd memberitahunya, “Kurasa kita perlu menerapkan rencanamu
untuk memasang para pengawal di sepanjang tanahmu, untuk sementara waktu.”
“Ya,
kau benar, sigurd,” Eirik berkata dengan tenang, tampaknya tak sadar dengan
kekacauan yang dibutnya di bawah jubahnya. “Aku cemas bajingan itu akan mulai
membakar tanahku, seperti yang dilakukannya di Hawks’ Lair, kemudian kita akan
menangani korban yang tewas, tak hanya ternak.” Sementara itu, Eirik
memindahkan tali kekangnya ke tangan kiri dan memberikan perlakuan menggoda
yang sama dengan payudara kanan Eadyth.
Wilfrid
dan Sigurd sepenuhnya tak menyadari tindakan Eirik ini.
“Apakah
Raja atau Witan melakukan sesuatu?”
“Aku
berusaha memberitahukannya pada Edmund saat aku menemuinya, tapi dia bilang aku
perlu bukti kejahatan Gravely... tak hanya laporan seorang petani... kalau aku
ingin Witan bertindak melawannya.”
“Dan
Gravely tak pernah meninggalkan bukti,” Sigurd menyelesaikan kalimatnya.
“Aku
sudah mengirim beberapa ksatria Jomsviking, kawan sepasukan ayahku dulu, untuk
membantu kita menjaga rumah sampai kita menangkap Steven. Mereka baru akan
datang beberapa minggu lagi. Karena itu orang-orang yang kita miliki sekarang
harus ekstra rajin.”
“Dan
orang tambahan yang kau sewa di Jorvik sebagai bagian dari pasukan permanenmu?”
“Mereka
akan tiba di sini beberapa hari lagi, bersama dengan para petarung Viking yang
dikirim sepupuku King Haakon dari tanah Norse.”
Eadyth
terkejut dengan berita ini. Eirik tak memberitahunya soal mengirim pasukan.
Tapi kemudian ia bertambah terkejut dengan tangan besar yang kini menekan
perutnya yang datar, jari-jari panjangnya merayap ke bawah ke pusat femininnya.
Ketika Eirik membelai bagian tubuh itu dengan intim, Eadyth menjerit pelan
memprotes.
“Apa
kau mengatakan sesuatu, My Lady?” tanya Wilfrid dengan sopan.
“Tidak,”
Eadyth tercekat, “Hanya ada serangga yang menganggu.”
Eirik
menoleh dan Eadyth memandang galak Eirik dari balik bahunya.
Eirik
tersenyum tak bersalah ke arahnya. Dan mulai meraba tubuh Eadyth dengan telapak
tangannya. Panas melanda wajah Eadyth dan ke seluruh tubuhnya. Ia merasa
terbuka dan rapuh dengan kaki terbentang lebar di punggung kuda. Kemudian, rasa
sakit aneh yang tumbuh mulai berdegup. Di sana di bawah sentuhan Eirik yang
lembut dan berirama.
“Aku
benci kau,” desisnya pelan.
“Mungkin
aku bisa memperbaikinya,” balas Eirik berbisik, dan saat itu Eadyth paham bahwa
pria itu menyadari sekali apa yang telah dilakukannya terhadap tubuh Eadyth.
“Ayo
kita lihat seberapa baik aktingmu sekarang, istriku yang senang menyamar.” Ia
menoleh kembali ke arah Wilfrid. “Kulihat semua ladang di barat ditanami dengan
gandum yang baru.” Dan tangannya berada di paha Eadyth, mengumpulkan gaunnya,
segumpal demi segumpal, sampai pinggirannya berada di panguannya, mengekspos
kulitnya yang terbuka.
“Ini
pekerjaan istrimu,” kata Wilfrid pada Eirik. “Tanyakan padanya bagaimana ia
memaksaku memperoleh tanaman musim semi saat kau pergi karena perintah raja.”
Jari-jari
Eirik yang panjang membelai kulit lembut paha Eadyth, lalu memasukkannya ke
dalam cairan panas yang menggenang dengan memalukannya di antara kaki Eadyth.
Ia pasti akan terjatuh dari kuda kalau tangan kiri Eirik yang memegang tali
kekang, tak memeluk erat pinggangnya, menjaganya tetap di tempat.
“Benarkah
itu, Istriku?” tanya Eirik dengan lembut.
Eadyth
tak bisa bicara, hanya mengangguk.
Semua
pria yang lain terus mencuri-curi pandang padanya sekarang setelah
penyamarannya terbongkar.
“Wah,
Eirik, istrimu menjadi tersipu karena malu. Apa kau tahu bahwa istrimu punya
sisi rendah hati seperti ini?” Wilfrid menggoda.
“Tidak,
aku tak tahu,” kata Eirik tergelak. “Dia biasanya memberitahuku betapa bodohnya
aku dan bahwa tak ada yang bisa kuajarkan padanya. Bukan begitu, Isriku?” Saat
itu jari tengah suaminya menemukan titik di tubuh Eadyth yang tak diketahuinya
ada, dan Eirik membuktikan bahwa Eadyth tak tahu segalanya.
Kabut
merah mulai mengaburkan pandangannya saat hasrat yang manis dan nyaris
menyakitkan mulai terbentuk dari sensasi sentuhan Eirik yang begitu lembut pada
tonjolan itu. Kehangatan baru dan tak terduga menjalar ke seluruh tubuhnya.
Eadyth mengerang keras.
“My
Lady,” seru Wilfrid dan sigurd bersamaan. “Ada yang salah? Apa kau sakit?”
Eirik
menyingkirkan tangannya, dan Eadyth merasa seolah-olah ia digantung di jurang
antisipasi. Ia senang Eirik menarik tangannya yang menyiksa itu. Tapi ia juga
ingin menarik tangan itu kembali.
“Ini
waktu bulanannya,” Eirik berbohong tanpa malu.
Eadyth
mengumpat kesal dan menundukkan kepalanya tanpa sadar. Kalau ia berhasil
memalui bencana ini, ia akan sangat menikmati membunuh suaminya, dengan sangat
perlahan.
“Kenapa
kalian tak pergi lebih dulu dengan para pria lain? Lagi pula, jaraknya tak
jauh,” kata Eirik dengan cemas. “Aku akan membawa istriku ke sungai di sana.
Mungkin sedikit minum akan mengembalikan kesadarannya sebelum kai mengikuti
kalian.”
O o. Eadyth tak terlalu terlena
dengan sentuhan menggairahkan Eirik sehingga ia tahu bahwa ia akan berada dalam
masalah yang lebih besar kalau mereka hanya berdua. “Tidak, aku sudah lebih
baik sekarang. Itu hanya... kram perut,” jelasnya buru-buru.
Tapi
para pria itu sudah berlalu di depan mereka, dan Eirik tersenyum padanya dengan
sangat puas saat pria itu menggerakkan kuda ke arah sungai. Tapi ia tak
berhenti di sana. Alih-alih, ia menyeberangi sungai itu, menggerakkan kuda ke
daerah tersembunyi di sisi seberang sungai. Dengan cekatan, ia turun dari kuda
dan mengikatkan kekang ke sebatang pohon kecil di pinggir sungai.
Eadyth
mulai menurunkan pinggiran gaunnya setelah kini Eirik tak lagi di belakangnya
dengan perlindungan menyeluruh dari mantel, tapi Eirik mengulurkan tangan,
menahannya.
“Tidak,
aku ingin melihatmu,” pintanya dengan parau, dan Eadyth kini melihat bahwa
Eirik tak setenang seperti dugaannya. Mata biru pucatnya berkilat dengan
gairah, dan bibir kokohnya membengkak dan merekah mendamba.
Oh, Tuhan.
Eirik
menepiskan tangan Eadyth ke sisi-sisi tubuhnya, lalu mengangkat pinggiran
gaunnya ke pinggangnya. Dalam diam, Eirik memandangi bagian tubuh Eadyth yang
paling intim itu, yang berkilau dengan kelembapan yang aneh. Eadyth terkesiap,
mungkin syok dengan pemandangan yang vulgar itu.
Eadyth
menunduk malu, dan air mata yang panas membasahi pipinya dan jatuh ke tangan
eirik yang ada di pahanya yang terbuka.
“Eadyth!
Kenapa kau menangis?” seru Eirik pelan, mengangkatnya dari atas kuda dan
menurunkannya berdiri di depannya. Ia mengangkat dagu Eadyth dengan ujung
jarinya, memandang wajah istrinya dan bertanya lagi dengan nada bingung, “Kenapa
kau menangis?”
Air
mata mengalir dari matanya sekarang. “Karena aku malu.”
“Karena
apa?” tanya Eirik terkejut. “Caraku menyentuhmu?”
“Ya,
tapi lebih dari itu...” kata-kata Eadyth terputus. Ia tak bisa menyelesaikan
pengakuannya yang memalukan.
Eirik
menggeleng bingung, kemudian wajahnya sumringah karena mengerti. “Oh, Eadyth,
tak ada yang memalukan dengan hasrat seorang wanita, apalagi dengan suaminya
sendiri. Lihatlah betapa tubuhku menunjukkan kebutuhannya akan tubuhmu, aku
sama sekali tak malu.”
“Segala
yang menyenangkan pasti dosa. Dan aku sama bejatnya denganmu, karena para
wanita pasti akan meneriakkan berita ini pada dunia kalau mereka mendapatkan
sebanyak... sebanyak ini... kesenangan dari sentuhan pria. Demi Tuhan, kau
membuatmu tak mampu berpikir dengan jari-jari iblismu. Tak berpikir! Oh, aku
tak akan pernah menjadi nyonya rumah yang baik lagi, atau bisa mengurus
bisnisku dengan baik, setelah aku tahu bahwa aku sama lemahnya dengan wanita
lain.”
“Aku
sangat senang mengetahui bahwa sentuhanku membuatmu tak mampu berpikir,” kata
Eirik pelan, dan untuk pertama kalinya ia tak tertawa congkak. “Dan entah
bagaimana kupikir kau akan mengurus urusanmu dengan tekad kuat seperti
biasanya.”
Eirik
menarik Eadyth ke arah daerah lapang berumput jauh dari sungai dan
membentangkan mantelnya di tanah. Lalu ia melepaskan sabuk peraknya dan duduk,
melepaskan sepatu bot kulitnya.
“Apa
yang kau lakukan?” tanya Eadyth, menyeka sisa air matanya dengan lengan gaun.
Eirik
menarik lepas tuniknya dari atas kepala dan berdiri di depan Eadyth,
bertelanjang dada dan bertelanjang kaki. “Melepaskan pakaianku.”
Ia
melepaskan kancing celana panjangnya dan hendak menariknya turun ketika Eadyth
berseru tegang, “Kenapa?”
“Agar
aku bisa bercinta dengan istriku, dengan cara yang benar dan tepat,” katanya
lugas dan menjatuhkan celana panjangnya ke tanah.
“di
sini?” Eadyth memekik. “di luar ruangan? Di siang bolong?”
Eirik
hanya menyeringai dan mengangguk, lalu berdiri di depan Eadyth dengan berani,
sepenuhnya tak berbusana. Eadyth melihat lebih banyak kulit terpampang dari
yang pernah dilihatnya pada pria, dari bahunya yang bidang sampai ke pinggang
dan pinggulnya yang ramping, sampai ke kaki panjang berototnya. Eirik
mengulurkan tangannya mengundang Eadyth, dan Eadyth pikir ia bisa mati.
Pria
itu luar biasa tampan. Dan pria itu adalah suaminya. Dan tubuh Eadyth berdebar
oleh api panas yang dinyalakan suaminya dengan sentuhan yang membakar. Dan ia
menginginkan pria itu. Dan ia tak menginginkannya. Dan, oh Tuhan.
Eirik
tersenyum memikat dan melengkungkan satu jarinya, membujuknya mendekat.
Kesadaran
fisik yang intens terbangun di antara mereka, memancar dalam keheningan lembah
itu.
Bagaimana
mungkin ia menyerah?
Bagaimana
mungkin ia tidak?
Dengan
ragu-ragu, Eadyth maju satu langkah mendekat. “Kau sudah memantraiku,”
bisiknya.
“Ya,
tapi ini mantra yang manis.” Eirik tersenyum lembut yang membuat detak jantung
Eadyth berpacu, dan ia mendekat lebih dekat lagi.
Eadyth
suka bahwa Eirik tak memaksanya untuk bercinta, bahwa pria itu memberinya
pilihan. Bukannya ia punya pilihan saat ini. Suka cita yang baru melandanya
membuatnya takjub. “Kau membuatku... tak terkendali, di luar kendali.”
Eirik
tersenyum bercanda. “Ah, Eadyth, jangan meletakkan dosa itu padaku. Kau sudah
lama tak terkendali sebelum kita bertemu. Kau hanya menyalurkan gairahmu di
tempat yang lain.”
“Oh.”
“Ini
bukan hal yang memalukan, My Lady. Wanita yang bebas adalah kesenangan pria.”
“Benarkah?”
“Benar.”
Eirik
memandang istrinya dan tahu bahwa waktu untuk bicara sudah berakhir. Kesabaran
dan kendali dirinya sudah di ambang batas. “Ayo, Eadyth, ini sudah terlalu
lama.” Eirik mengulurkan tangannya untuk menjembatani jarak di antara mereka,
Eadyth membiarkan eirik menariknya ke pelukan, akhirnya. Eirik mendesah dengan
puas.
“aku
merasa seolah-olah sejuta kupu-kupu tumbuh menyentak di dalam perutku dan
mengancam akan keluar dari kulitku,” Eadyth mengaku dengan gemetar, napas hangatnya
membelai leher Eirik.
Eirik
juga merasakan sentakannya sendiri, di antara kakinya. Ia tergelak di rambut
Eadyth, rambut pirangnya yang liar berombak, dan Eirik bertanya-tanya bagaimana
mungkin ia bisa begitu buta akan kecantikan istrinya. “Kupu-kupu itu bagus,”
katanya, mundur untuk memandang Eadyth. “Mari lihat apa yang bisa kita lakukan
untuk membebaskan mereka.”
Eirik
menanggalkan gaun Eadyth perlahan dan memaksanya berdiri diam sementara ia
mengagumi kecantikannya. Rambutnya terurai di seputar bahunya dan turun ke
kulit lembut di punggungnya yang tegak. Eadyth jangkung dan berkaki panjang,
dengan pinggang ramping dan payudara yang cukup besar untuk memenuhi tangan
seorang pria. Ia mengatupkan bibirnya yang indah dengan tegang, menarik perhatian
eirik pada tahi lalatnya yang sensual.
“Kau
sangat cantik,” kata eirik takjub, “dan kau milikku.”
“Aku
punya bekas melahirkan di perutku,” kata Eadyth dengan malu-malu, berusaha
jujur dengan kekurangannya, di bawah penyelidikan mata Eirik.
“Ya,
tapi payudaramu indah sekali.”
“Puncaknya
terlalu besar.”
Eirik
nyaris tersedak lidahnya. “Tidak, kurasa tidak terlalu besar,” katanya ketika
menenangkan dirinya agar jangan sampai mencurahkan benihnya di atas tanah.
“Sungguh?”
“Sungguh.
Ukurannya tepat untuk diisap oleh mulut bayi. Atau mulut pria.”
Mata
Eadyth berkilat mendengarnya, tapi kemudian ia menggigit bibir bawahnya dengan
ragu sebelum menambahkan dengan sedih, “Tapi payudaraku tidak berguncang.”
“Berguncang?”
Saat itu Eirik tak mampu menahan tawanya. “Apa maksudmu, berguncang?”
“Bertha
bilang pria suka wanita dengan payudara yang berguncang.”
“Dan
kau tiba-tiba menerima saran dari Bertha? Ah, Eadyth, kurasa aku akan menikmati
mempunyai istri sepertimu.”
“Mungkin
aku juga tak begitu benci punya suami sepertimu,” tambahnya tiba-tiba merasa
malu.
Eirik
mengulurkan tangan dan menyentuh tahi lalat menggoda di atas mulut istrinya
yang penuh, lalu menelusuri bibir Eadyth yang merekah dengan telapak
ibujarinya. Semua gurauan berakhir saat ia menundukkan bibirnya ke bibir Eadyth.
Awalnya,
ciumannya lembut, persuasif, tapi ketika Eadyth menyambutnya dengan semangat
rasa penasaran yang terbuka, bibirnya menjadi keras dan menjelajah. Eadyth membalas
ciumannya dengan serta-merta, bahkan ketika ia membenamkan lidahnya ke dalam
mulut istrinya. Kenikmatan, yang murni dan meledak-ledak, menjalar ke tubuh
Eirik, dan ia menjatuhkan diri ke atas mantel di tanah, menarik Eadyth
bersamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar