Beberapa
jam kemudian, jauh setelah penjudi yang terakhir meninggalkan The Angel, Cross
duduk di mejanya, berusaha menghitung pendapatan malam itu untuk yang ketiga
kalinya. Dan gagal untuk yang ketiga kalinya.
Gagal,
karena ia tidak mampu mengusir kenangan akan Philippa Marbury yang berambut
pirang dan berkacamata berlari menuruni tangga belakang Dolby House untuk
menemuinya. Malah, setiap kali ia berusaha memindahkan sebuah angka dari satu
kolom ke kolom berikutnya, ia membayangkan jemari Pippa yang melilit rambutnya
atau bibir Pippa yang melengkung di bawah tangannya, lalu ia pun melupakan
angka itu.
Cross
tidak pernah melupakan angka. Sebagian besar masa dewasanya dihabiskan dalam
penghukuman karena ia tidak bisa melupakan angka.
Ia
menunduk ke atas buku lagi.
Ia
sudah menjumlahkan tiga baris sebelum pendulum di mejanya menarik perhatiannya,
dan ia teringat kepada sentuhan lembut Pippa yang menggerakkan bandul-bandul
itu. Godaan tersulut, dan Cross membayangkan sentuhan yang sama menggerakkan
benda yang lain. Misalnya, ritsleting celananya.
Ujung
penanya patah di atas buku besar, membuat tinta memercik ke halaman coklat
muda.
Pippa pikir dirinya pria yang aman.
Tapi
dengan Pippa... pengendalian dirinya –yang bernilai lebih dari apa pun baginya-
bergantung pada seutas benang. Seutas benang sutra yang tipis, sehalus rambut
Pippa. Kulit Pippa. Suara Pippa di tengah kegelapan.
Sambil
mengerang, Cross mengacak-acak rambutnya dengan tangan lalu memundurkan
kursinya dari meja, menyandarkannya ke dinding lalu merentangkan kakinya
lebar-lebar. Ia harus mengusir kenangan akan Pippa dari tempat ini. Ke mana pun
ia melihat –sempoa, bola dunia, meja terkutuknya- semua sudah tercemar oleh
Pippa. Ia hampir yakin ia bisa mencium aroma Pippa di sana, bau sinar mentari
dan linen segar yang melekat.
Sial.
Pippa
sudah menghancurkan kantor ini... habis-habisan seolah gadis itu berderap masuk
ke ruangan ini dan melucuti semua pakaiannya.
Lalu
berbaring di meja, hanya memakai kacamata dan mengulas senyum simpul miringnya,
kulitnya tampak pucat dan cantik di atas eboni.
Cross
memejamkan mata, fantasi itu terlalu mudah dibangkitkan. Air liur Cross
menggenang; ia tidak akan bisa menahan diri agar tidak membungkukkan badan ke
atas Pippa, agar tidak memagut lalu mengecap gadis itu. Ia akan menghabiskan
banyak waktu dengan menggoda Pippa sampai gadis itu mendambakannya melanjutkan
–memohonnya untuk beranjak turun.
Dan
setelah Pippa memohon barulah ia akan memberika apa yang sama-sama mereka
inginkan –merentangkan paha Pippa, menggerakkan tangan di kulit Pippa yang
mulus dan lembut, lalu...
Suara
ketuka di pintu terdengar seperti letusan senapan. Kursi Cross terbanting ke
lantai, dipertegas oleh umpatan kasarnya.
Siapa
pun itu, Cross bertekad akan membunuhnya. Dengan perlahan. Dan dengan sangat
senang.
“Apa?”
sergahnya.
Pintu
di buka, memperlihatkan pendiri The Fallen Angel. “Sambutan yang hangat.”
Cross
ingin melompati meja lalu mencekik Chase. “Aku pasti keliru menyampaikannya.
Kecuali kalau klub kebakaran, kau tidak boleh masuk.”
Chase
tidak mendengarkan, malah menutup pintu dan duduk di sebuah kursi berlengan
besar yang terdapat di seberang meja.
Cross
merengut.
Chase
mengangkat bahu. “Anggap saja klub kebakaran.”
“Apa
yang kau inginkan?”
“Buku.”
Klub
pria di seluruh penjuru London membanggakan buku taruhan mereka, dan The Angel
juga begitu. Buku bersampul kulit itu digunakan untuk mencatat semua taruhan
yang dibuat di arena utama klub. Anggota bisa mencatat taruhan apa pun –betapa
pun sepelenya- di buku itu, dan The Angel mengambil presentase dari taruhan
untuk memastikan pihak-pihak yang terikat oleh pertaruhan aneh apa pun itu
bertanggung jawab.
Chase
bertransaksi dengan informasi, dan menyukai buku itu karena rahasia-rahasia
yang buku itu ungkapkan mengenai anggota klub. Jaminan yang diberikan.
Cross
meletakkan buku besar itu di meja.
Chase
tidak mengambilnya. “Jastin bilang hampir semalam kau tidak di sini.”
“Justin
perlu dilabrak habis-habisan karena semua informasi yang dia berikan kepadamu
tentang keberadaan kami.”
“Aku
tidak terlalu memedulikan keberadaan yang lain akhir-akhir ini,” ujar Chase,
mengulurkan sebelah tangannya dan memutar bola dunia yang besar. “Aku sangat
mencemaskan keberadaanmu.”
Cross
memperhatikan bola dunia itu berputar, membenci kesadaran bahwa orang terakhir
yang berinteraksi dengan bola raksasa itu adalah Philippa Marbury dan marah
karena sentuhan Chase. “Sungguh mengejutkan.”
“digger
Knight lebih mudah diawasi kalau aku tahu ke mana harus mencarinya.”
Alis
Cross terangkat. Pasti ia salah paham. “Maksudmu kau menyarankanku untuk
mengabaikan fakta bahwa ia sudah menghancurkan iparku, mengancam keselamatan
adikku, dan memerasku?”
“Bukan.
Tentu saja bukan.” Chase menghentikan bola dunia itu, satu jari yang panjang
diletakkan di Sahara. “Dan aku sama sekali tidak peduli kau menikahi gadis itu
atau tidak. Tapi aku mau kau berhati-hati dengan cara yang kau pilih untuk
menghukum Digger Knight. Dia sama sekali tidak akan menyukainya.”
Cross
menatap mata mitranya. “Maksudnya?”
“Maksudnya
kau punya satu kesempatan untuk melakukan ini. Rencanakan tindakan kita secara
cermat, atau tidak sama sekali.”
“Aku
berencana untuk melakukannya secara cermat.”
“Ada
alasan mengapa penjudi-penjudi terbesarnya tidak punya keanggotaan di The
Angel. Mereka bukan pria yang biasanya sudi kita terima di meja kita.”
“Mungkin
begitu. Tapi kehormatan menggoda mereka. Kekuasaan. Peluang untuk
berdesak-desakan dengan para pria yang memilikinya, para pria yang bergelar.
Peluang untuk berjudi di The Angel.”
Chase
mengangguk, meraih sekotak cerutu di meja di dekat situ. “Kau ke mana malam
ini?”
“Aku
tidak butuh penjaga.”
“Tentu
saja butuh. Kau pikir aku belum tahu kau ke mana?” Kata-kata itu diucapkan dari
palik kepulan asap.
Kejengkelan
tersulut. “Kau tidak bisa menyuruh orang mengikutiku.”
Chase
tidak menggubris amarah itu. “Aku tidak tenang kalau Knight berada di dekatmu.
Sejak dulu kalian berdua memiliki hubungan yang... pelik.”
Cross
berdiri menjulang di depan meja dan mitranya. “Kau tak bisa menyuruh orang
mengikutiku.”
Chase
memutar-mutar cerutunya dengan ibu jari dan telunjuk. “Kuharap kau menyimpan Scotch di sini.”
“Keluar.”
Cross sudah muak.
Chase
bergeming. “Aku tidak menyuruh orang mengikutimu. Tapi sekarang aku tahu pasti
berguna kalau aku melakukannya.”
Cross
mengumpat, brutal dan barbar.
“Malammu
buruk, ya? Kau pergi ke mana?”
“Aku
menemui adikku.”
Alis
keemasan Chase terangkat. “Kau pergi ke pesta dansa Needham?”
Aku juga bertemu dengan Philippa Marbury. Yah, jelas ia
tidak akan memberitahukan itu kepada
Chase. Alih-alih, Cross bungkam.
“Kurasa
pertemuan tidak berjalan dengan baik,” ujar Chase.
“Dia
tidak mau berurusan denganku. Bahkan waktu aku bilang aku akan menjaganya dari
Knight, dia tidak berkata apa-apa. Dia tidak percaya padaku.”
Chase
terdiam selama beberapa saat, menelaan situasi. “Adik perempuan memang
menyulitkan. Mereka tidak selalu mematuhi perintah kakak lelaki.”
“Kau
pasti mengetahuinya lebih dari siapa pun.”
“Apa
kau mau aku bicara dengannya?”
“Kau
memandang dirimu terlalu tinggi.”
Chase
tersenyum. “Biasanya wanita menyambutku dengan tangan terbuka. Bahkan wanita
yang seperti adikmu.”
Mata
Cross disipitkan. “Aku tidak mau kau mendekatinya. Sudah cukup buruk dia harus
berurusan dengan Digger Knight... dan denganku.”
“Kau
melukai perasaanku.” Chase menghisap cerutunya. “Apa dia akan menjauhi Knight?”
Cross
mempertimbangkan pertanyaan Chase, dan amarah adiknya malam itu. Usia Lavinia
tujuh belas tahun kala Baine meninggal, kala Cross pergi. Lavinia dipaksa
menikah dengan Dunblade karena pria itu bersedia menerimanya –terlepas dari
ketidaksempurnaannya.
Ketidaksempurnaan
yang disebabkan oleh Cross.
Kesempurnaan
yang seharusnya tidak berarti –pasti tidak berarti jika Lavinia bisa meloloskan
diri dari duka ibunya dan murka ayahnya. Jika Lavinia tidak dipaksa bertahan
hidup sendirian, tanpa seorang pun yang membantunya.
Tanpa
seorang kakak yang menjaganya.
Pantas
saja Lavinia tidak percaya kepada Cross waktu Cross berkata akan mengatasi
dampak yang telah dihasilkan oleh Digger
Knight dan suaminya. Amarah, frustasi, dan kebencian mendalam terhadap diri
sendiri tersulut di dalam diri Cross. “Aku tidak tahu apa yang akan dia
lakukan. Tapi aku tahu Knight tidak akan melakukan sesuatu yang dapat
membahayakan pernikahan putrinya.”
“Seharusnya
kau sudah menghancurkannya bertahun-tahun yang lalu.” Ketika Cross tidak
merespon, Chase menambahkan, “Sejak dulu kau terlalu lembek terhadapnya.”
Cross
mengangkat sebelah bahunya sekilas. “Tanpanya...”
Gigi
putih Chase tampak mengilat. “Kau tidak akan memiliki kami.”
Cross
tertawa sewaktu mendengarnya. “Kalau disampaikan seperti itu, mungkin aku
seharusnya tidak segan-segan menghancurkannya.”
Chase
berlama-lama menghisap cerutunya, berpikir sebelum berkata, “Kau harus
mempertahankan muslihatmu sampai kau siap menghabisinya. Siap melindungi
Lavinia.” Cross mengangguk. “Tample bilang kau berencana untuk memanfaatkan
wanita-wanita itu? Kau tahu kau membutuhkanku untuk memangi wanita-wanita itu.”
Cross
mengangkat sebelah alisnya. “Menurutku itu tidak perlu.”
“Apa
kau yakin? Mereka sangat menyukaiku.”
“Aku
yakin.”
Chase
mengangguk sekali. “Aku penasaran seperti apa putrinya.”
“Dia
anak Knight, jadi kurasa dia wanita jalang yang serakah atau makhluk yang
malang.”
“Tetap
saja dia seorang wanita.” Hening sejenak. “Mungkin sebaiknya kau menikahinya.
Itu berhasil untuk Bourne.”
“Aku
bukan Bourne.”
“Yah,
memang bukan.” Chase duduk tegak, memutar bola dunia sekali lagi lalu memandang
ke sekeliling ruangan. “Aku heran kau bisa menemukan sesuatu di sini. Rasanya
aku ingin meminta para pelayan datang dan membersihkannya.”
“Coba
saja.”
“Tidak
sepadan dengan murkamu.” Chase memadamkan cerutunya lalu berdiri, mendekat dan
mengetukkan satu jari di buku taruhan. “Ini sudah larut, dan aku mau pulang,
tapi sebelum pergi, kurasa mungkin kau mau bertaruh.”
“Aku
tidak pernah bertaruh di buku. Kau tahu itu.”
Salah
satu alis keemasan Chase terangkat. “Apa kau yakin kau tidak mau membuat
pengecualian untuk yang satu ini? Kau punya peluang yang baik.”
Keresahan
meliputi dada Cross, dan ia bersedekap, bersandar ke kursinya untuk menatap
mitranya dengan tajam. “Apa?”
“Lady
Philippa Marbury,” ujar Chase.
Keresahan
berubah menjadi kengerian. Chase tahu.
Itu tidak mengejutkan. Tidak terlalu. Chase selalu tahu segalanya. Tapi Cross
tahu ia tidak harus mengakuinya. “Siapa?”
Chase
menatap Cross dengan tajam. “Jadi begini? Kau mau berpura-pura tidak memahami apa
yang kumaksud?”
“Tidak
ada yang berpura-pura.” Cross bersandar ke kursinya dengan perlahan. “Aku tidak
tahu apa yang kau bicarakan.”
“Justin
mempersilahkannya masuk, Cross. Menunjukkan arah kantormu kepadanya. Kemudian
melaporkannya kepadaku.”
Brengsek. “Justin itu
wanita yang gemar bergosip.”
“Menurutku,
satu atau dua orang wanita yang gemar bergosip bisa sangat membantu. Nah,
tentang gadis itu...”
Cross
merengut, suasana hatinya berubah dari suram menjadi berbahaya. “Ada apa
dengannya?”
“Apa
yang dia inginkan di sini?”
“Bukan
urusanmu.”
“Mungkin
itu urusan Bourne, jadi aku tetap bertanya.”
Kalau adikku berada dalam genggamannya,
aku akan mempertimbangkan perintahnya.
Kata-kata
Bourne terngiang di benak Cross dengan disertai gelombang rasa bersalah. “Yang
diinginkan tidak penting. Tapi perlu disebutkan kalau Knight melihatnya.”
Pengamat
awam pasti tidak melihat punggung Chase ditegakkan sedikit. “Apa Knight
mengenalinya?”
“Tidak.”
Puji Tuhan.
Chase
mendengar kebimbangan pada kata tersebut. “Tapi...?”
“Gadis
itu membuatnya tertarik.”
“Aku
tidak kaget. Lady Philippa memang wanita yang menarik.”
“Itu
cara yang halus untuk menggambarkannya.” Cross tidak menyukai pemahaman yang
melintas di mata mitranya karena kata-kata itu.
“Kau
belum memberitahu Bourne?”
Cross
sama sekali tidak tahu mengapa ia belum memberitahu Bourne. Bourne sudah
terkenal sebagai salah seorang pria yang paling dingin dan kejam di London.
Kalau barang sedetik saja ia menganggap Pippa dalam bahaya, Bourne pasti
menghancurkan ancaman tersebut dengan tangan kosong.
Tapi
Cross sudah berjanji untuk menjaga rahasia Pippa.
Dunia dipenuhi oleh pembohong.
Kata-kata
itu terngiang di benak Cross. Tidak ada alasan untuk menepati janjinya kepada
sang lady. Semestinya ia memberitahu Bourne. Lalu lepas tangan dari semua ini.
Namun...
Cross
teringat kepada Pippa tadi malam, tersenyum riang kepada anjing itu, ekspresi
di wajah Pippa membuat getar-getar kenikmatan meliputinya bahkan sekarang.
Cross suka memperhatikan senyum Pippa. Ia suka memperhatikan Pippa melakukan
apa saja.
Ia menyukai Pippa.
Sial.
“Sudah
kutangani.”
Chase
terdiam selama beberapa saat sebelum membeokan. “Sudah kau tangani.”
Cross
melawan keinginan untuk memalingkan wajahnya. “Gadis itu datang untuk
menemuiku.”
“Aku
masih belum paham.”
“Kau
tidak perlu mengetahui segalanya.”
Salah
satu ujung bibir Chase terangkat mengulas senyum datar. “Namun, kerap kali aku
mengetahui segalanya.”
“Tidak
dalam masalah ini.”
Chase
menatap Cross selama beberapa saat, perang tekad. “Yah, sepertinya begitu.”
“Kau
tidak akan memberitahu Bourne?”
“Kecuali
kalau dia perlu dibertitahu,” tukas Chase, bersandar di kursinya. “Dan selain
itu, memberitahu Bourne tidak akan memperbesar peluang taruhanku.”
Seharusnya
Cross tidak peduli.
Tapi
gaung dari sentuhan lembut Pippa dan kat-katanya yang aneh jelas sudah membuat
Cross segila gadis itu. “Apa ketentuannya?”
Chase
menyeringai, memperlihatkan giginya yang putih, “Seratus pound untuk bertaruh bahwa dialah wanita yang akan membebaskanmu
dari kutukanmu.”
Kutukannya.
Cross
membutuhkan seluruh pengendalian dirinya untuk tidak bereaksi terhadap
kata-kata itu. Terhadap godaan yang terkandung di dalamnya.
Salah
satu alis keemasan terangkat. “Tidak mau menyanggupi?”
“Aku
tidak pernah bertaruh di buku.” Ulang Cross. Kata-katanya terdengar parau.
Chase
menyeringai, tapi tidak berkata apa-apa, malah bangkit berdiri, kakinya
diluruskan dengan keanggunan yang luar biasa. “Sayang sekali. Aku yakin itu
akan memberiku seratus pound dengan
cepat.”
“Aku
tidak tahu kau kekurangan uang.”
“Memang
tidak. Tapi aku suka menang.”
Cross
tidak menanggapi sewaktu mitranya pergi, suara pintu mahoni besar yang ditutup
dengan lembut menjadi satu-satunya tanda yang menegaskan bahwa Chase pernah ada
di sana.
Setelah
itu barulah Cross melepaskan napas panjang yang sedari tadi ia tahan.”
Seharusnya ia menyanggupi taruhan itu.
Mungkin
Chase lebih tahu daripada sebagian besar orang tentang rahasia-rahasia kaum
elite London, tapi ada satu hal yang tak perlu diragukan.
Cross
tidak akan menyentuh Philippa Marburi lagi.
Ia
tidak boleh melakukannya.
“Pippa
sudah waktunya kau mengepas gaunmu.”
Kata-kata
Marchioness of Needham and Dolby –separuh bersemangat, separuh menegur,
mengalihkan perhatian Pippa dari tempat di mana ia tengah memperhatikan
sejumlah besar tubuh memasuki dan meninggalkan toko-toko di Bond Street.
Meskipun Pippa sangat menyukai jendela toko Mademe Hebert –jendela itu
menyuguhkan pemandangan yang sangat spektakuler dari para bangsawan London yang
sedang melakukan kegiatan sehari-hari mereka –ia tidak terlalu menghiraukan
para tukang jahit. Bersama mereka bukanlah cara yang ia pilih untuk
menghabiskan waktu, sama seperti berdansa.
Tapi
gaun pengantin membutuhkan perancang pakaian. Begitu pula dengan busana
pengantin lainnya.
Maka,
di sinilah ia berada, pada apa yang mungkin merupakan kunjungan terlama dalam
sejarahnya berbelanja pakaian.
“Philippa!”
Pippa mengalihkan perhatiannya dari sekelompok pria di seberang jalan di dekat
pintu Boucher & Babcock’s Tobacconist ke teriakan nyaring dan bersemangat
ibunya yang berasal dari kamar pas dalam di toko. “Ayo, lihat adikmu!”
Sambil
menghela napas, Pippa berbalik dari jendela dan berjalan melewati tirai, merasa
seperti sudah siap untuk berperang. Tirai beludru belum kembali ke tempatnya
saat ia berhenti, memperhatikan Olivia, mungil dan sempurna di atas panggung
yang terdapat di tengah ruangan, mengenakan apa yang pasti merupakan gaun
pengantin tercantik yang pernah dibuat.
“Olivia,”
ucap Pippa dengan suara pelan, menggelengkan kepala. “Kau...”
“Memesona!”
seru sang Marchioness, bertepuk tangan dengan kegirangan khas seorang ibu.
Olivia
mengembangkan roknya yang terbuat dari renda gadisng cantik lalu tersenyum
lebar. “Memukau sekali, ya?”
“Sungguh
memukai,” Pippa membenarkan. Toh, itu benar. Tapi ia tidak dapat menahan diri
untuk tidak menambahkan. “Dan sangat sederhana.”
“Oh,
sudahlah,” cetus Olivia, membalikkan badan untuk melihat cermin dengan lebih
cermat. “Kalau kau tidak bisa mengatakan yang sebenarnya di kamar pas Herbert,
di mana lagi kau bisa melakukannya? Toko tukang jahit ditujukan untuk gosip dan
kejujuran.”
Perancang
pakaian itu –sudah dikenal secara luas sebagai yang terbaik di Inggris-
mengambil sebuah peniti dari tengah bibirnya lalu memasangnya di korset gaun
sebelum mengedipkan mata kepada Pippa dari posisinya di belakang bahu Olivia.
“Saya sangat sependapat.”
Olivia
tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pantulan salah satu cermin yang
dipasang di sekeliling ruangan. “Ya. Ini sempurna.”
Tentu
saja itu benar. Bukan berarti Olivia membutuhkan sebuah gaun untuk membuatnya
cantik. Putri bungsu Marbury yang paling cantik itu bisa memakai karung makanan
ternak yang diambil dari istal Needham Manor dan tetap tampak lebih cantik
daripada sebagian besar wanita pada hari-hari terbaik mereka. Tidak, tidak
diragukan lagi kalau dua minggu lagi, saat Olivia dan Viscount Tottenham
berdiri di Gereja St. George di hadapan seluruh bangsawan London, ia akan
menjadi pengantin yang memukau –bahan pembicaraan para bangsawan.
Pippa
pasti tidak ada apa-apanya kalau ia memainkan perannya dalam pernikahan ganda
itu.
“Lady
Philippa, Alys sudah siap untuk Anda.” Sang perancang pakaian menyadarkan Pippa
dari lamunannya dengan lambaian salah satu lengan yang panjang, menggenggam
sebuah bantal peniti merah tua, ke arah seorang asisten yang berdiri di dekat
sebuah sekat tinggi di salah satu ujung ruangan, membawa setumpuk renda dan
sutra.
Gaun
pengantin Pippa.
Sesuatu
tergerak di lubuk hati Pippa, dan ia bimbang.
“Ayo,
Pippa. Kenakanlah.” Olivia menunduk memandang sang perancang pakaian. “Kuharap
gaunnya sangat berbeda. Aku tidak mau orang mengira kami memakai gaun yang
sama.”
Pippa
yakin bahwa kalaupun gaunnya sama persis, kedua pengantin pada hari yang sudah menjelang
itu tidak akan salah dikenali.
Sementara
keempat putri Marbury yang lebih tua mewarisi rambut pirang pucat yang
menjemukan, kulit yang entah terlalu merah (Victoria dan Valerie) atau terlalu
pucat (Pippa dan Penelope), dan tubuh yang entah terlalu sintal (Penelope dan
Victoria) atau terlalu kurus (Pippa dan Valerie), Olivia sempurna. Rambut
Olivia lebat, berwarna emas mengilat, dan berkilau di bawah sinar mentari,
kulitnya bersih dan berwarna merah muda, dan bentuk badannya –kombinasi ideal
dari molek dan langsing. Ia memiliki tubuh yang tercipta untuk mode Prancis,
dan Mademe Hebert sudah merancang sebuah gaun untuk membuktikannya.
Pippa
tidak yakin sang perancang pakaian –yang terbaik di London ataupu bukan bisa
melakukan hal serupa untuknya.
Saat
itu gaunnya sudah melewati kepalanya, suara kain yang gemerisik di telinganya
mengusir semua pemikiran sementara asisten muda mengencangkan dan mengeratkan,
mengancing dan mengikat. Pippa resah di tengah prosesnya, merasakan sepenuhnya
renda kasar yang menekan kulitnya, bagaimana korset mengancam akan membuatnya
sesak napas.
Ia
belum melihat sendiri, tapi gaunnya terasa sangat tidak nyaman.
Setelah
menyelesaikan tugasnya, Alys melambaikan tangannya untuk mempersilahkan Pippa
keluar, dan selama sesaat, Pippa bertanya-tanya apa yang akan terjadi bila
bukannya keluar menghadapi sorot kritis adik dan ibunya serta perancang pakaian
terbaik di Inggris ini, ia berlari ke bagian belakang toko dan keluar lewat
pintu belakang.
Mungkin
kalau begitu ia dan Castleton bisa melewatkan tetak bengek upacara pernikahan
dan langsung beranjak ke kehidupan rumah tangga mereka. Toh, itu bagian
terpentingnya, kan?
“Ini
akan menjadi pernikahan termegah di sepanjang Season!” Seru Lady Needham dari balik sekat.
Yah... mungkin kehidupan rumah tangga
bukan bagian yang terpenting bagi para ibu.
“Tentu
saja,” Olivia membenarkan. “Bukankah sudah kukatakan bahwa, dengan atau tanpa
bencana-Penny, aku akan tetap menikah?”
“Benar,
Dear. Kau sudah mendapatkan apa yang
kau inginkan.”
Olivia yang beruntung.
“My
Lady?” Si asisten kelihatan bingung. Pippa rasa tidak setiap hari seorang
pengantin sangat ragu untuk memperlihatkan gaun pengantinnya.
Pippa
mengitari sekat. “Nah/ Inilah aku.”
“Oh!”
Lady Needham nyaris terjungkal dari tempatnya di dipan mewah, teh tertumpah
dari cangkirnya sewaktu ia melonjak naik turun di atas kain safir. “Oh! Kau
akan menjadi countess yang hebat!”
Pippa
mengalihkan pandangan ke belakang ibunya untuk melihat Olivia, yang sudah
kembali memperhatikan setengah lusin penjahit muda yang sedang berlutut,
memasang peniti ke keliman gaunnya, mengangkat lipatan dan memindahkan pita.
“Bagus sekali, Pippa.” Olivia terdiam sejenak. “Memang tidak sebagus gaunku,
tapi...”
Ada
beberapa hal yang tidak pernah berubah. Untungnya. “Yah, begitulah.”
Mademe
Hebert sudah mulai membantu Pippa naik ke panggungnya sendiri, peniti
bertengger di tengah gigi sang perancang pakaian sementara ia mengarahkan
tatapan merendahkan ke korset gaun Pippa. Pippa menoleh untuk melihat dirinya
di cermin yang besar, dan si wanita Prancis langsung menghalangi pandangannya.
“Belum saatnya.”
Madame
Hebert bekerja tanpa berkata apa-apa sementara Pippa menyapukan ujung jemarinya
di korset gaun, menelusuri lekukan-lekukan renda dan rentangan-rentangan sutra.
“Sutra berasal dari ulat bulu,” katanya. Informasi itu menenangkan di tengah
momen ganjil ini. “Yah, bukan ulat bulunya... kepompong ulat sutranya.” Ketika
tidak ada yang merespon, ia menunduk melihat tangannya, lalu menambahkan, “Kepompong
Bombyx mori, dan sebelum dia keluar sebagai kupu-kupu... kita mendapatkan
sutra.”
Terjadi
keheningan selama beberapa saat, dan Pippa mendongak lalu mendapati semua orang
yang ada di ruangan tengah memandanginya seolah kepalanya ada dua. Olivia
menjadi orang pertama yang menanggapi. “Kau aneh
sekali.”
“Siapa
yang bisa memikirkan ulat pada saat-saat seperti ini?” seru sang marchioness. “Ulat
tidak ada hubungannya dengan pernikahan kalian.”
Menurut
Pippa ini waktu yang sangat tepat untuk memikirkan ulat. Ulat pekerja keras
yang meninggalkan kehidupan yang mereka kenal –dan seluruh kenyamanannya- lalu
memintal kepompong, mempersiapkan sebuah kehidupan yang tidak mereka pahami dan
tidak bisa mereka bayangkan, hanya untuk dihentikan di tengah prosesnya dan
diubah menjadi sebuah gaun pengantin.
Akan
tetapi, Pippa rasa ibunya tidak akan menghiraukan penjelasan itu, maka ia tidak
berkata-kata ketika Madame Hebert mulai memasang peniti, dan korset gaunnya
menjadi semakin ketat. Setelah beberapa saat, Pippa terbatuk “Rasanya sesak
sekali.”
Madame
Hebert kelihatannya tidak mendengarnya, malah mencubit sekitar setengah
sentimeter kain di pinggangnya lalu memasang peniti di sana.
“Apa
kau yakin...”
Pippa
mencoba lagi sebelum Madame Hebert menatapnya dengan tajam. “Saya yakin.”
Tentu saja.
Kemudian
Madame Hebert menyingkir dan Pippa bisa menatap cermin dengan jelas, di mana ia
menghadapi dirinya yang akan datang. Gaunnya cantik, pas di dadanya yang kecil
dan pinggangnya yang panjang tanpa membuatnya kelihatan seperti burung berkaki
panjang.
Tidak,
ia terlihat persis seperti seorang pengantin.
Gaunnya
terasa semakin ketat saat itu. Apa itu mungkin?
“Bagaimana
pendapat anda?” tanya Madame Hebert, memperhatikan Pippa dengan cermat di
cermin.
Pippa
membuka mulutnya untuk menanggapi, tidak tahu apa yang akan terucap.
“Dia
menyukainya, tentu saja begitu!” Kata-kata sang marchioness terdengar seperti
pekikan. “Mereka berdua menyukainya! Ini akan menjadi pernikahan termegah di
sepanjang Seasion! Pernikahan
termegah di sepanjang abad!”
Pippa
menatap mata coklat Madame Hebert yang penasaran. “Dan abad itu belum dimulai.”
Mata
si wanita Prancis tersenyum sejenak sebelum Olivia mendesah senang. “Itu benar.
Dan Tottenham tidak akan bisa menolakku dengan gaun ini. Tidak ada pria yang
bisa menolakku.”
“Olivia!”
seru sang marchioness dari tempatnya. “Itu sama sekali tidak sopan.”
“Mengapa?
Itu tujuannya, kan? Menggoda suami kita sendiri!”
“Kita
tidak boleh menggoda suami kita
sendiri!” sang marchioness menegaskan.
Senyum
Olivia berubah menjadi usil. “Kau pasti pernah menggoda suamimu satu atau dua
kali, Ibu.”
“Oh!”
Lady Needham merebahkan diri ke kursi.
Madame
Hebert memalingkan wajahnya dari percakapan itu, melambaikan tangan memanggil
dua orang gadis untuk mengerjakan keliman gaun Pippa.
Olivia
mengedipkan mata kepada Pippa. “Setidaknya lima kali.”
Pippa
tidak kuasa menahan diri. “Empat. Victoria dan Valerie kembar.”
“Cukup!
Tidak dapat kubiarkan!” Sang marchioness bangun lalu melewati tirai menuju bagian
depan toko, meninggalkan putri-putrinya yang sedang tertawa.
“Kemungkinan
suatu hari nanti kau akan menjadi istri perdana menteri membuatku sangat cemas,”
canda Pippa.
Olivia
tersenyum. “Tottenham bilang seluruh pemimpin Eropa pasti menyukai karakterku
yang menarik.”
Pippa
tertawa, senang karena pengalihan perhatian dari pemandangan pengantin di
cermin yang meresahkan. “Karakter yang menarik? Itu cara yang halus untuk
menggambarkannya.”
Olivia
mengangguk, melambaikan tangan memanggil Madame Hebert. “Madame” katanya dengan
suara pelan, “karena ibu kami sudah pergi, mungkin kita bisa mendiskusikan
masalah menggoda suami?”
Alis
Pippa terangkat, “Olivia!”
Olivia
melambaikan tangan mengabaikan teguran itu dan melanjutkan, “Busana pengantin
yang dipesan ibuku... semuanya pakaian tidur katun dan linen, kan?”
Bibir
Madame Hebert berkedut mengulas senyum datar. “Saya harus mengambil nota
pesanannya, tapi mengingat kegemaran sang marchioness, pasti tidak banyak yang
ditujukan untuk menggoda.”
Olivia
mengulas senyumnya yang paling manis dan cemerlang. Senyum yang dapat memenangi
pria atau wanita mana pun. Senyum yang menjadikannya gadis Marbury favorit di
seluruh penjuru Inggris. “Tapi mungkin kau bisa membantu?”
“Oui. Kamar tidur adalah keahlian saya.”
Olivia
mengangguk sekali. “Bagus. Kami sama-sama membutuhkan upaya terbaikmu dalam
bidang itu.” Ia melambaikan sebelah tangan kepada Pippa. “Terutama Pippa.”
Itu
membuat Pippa terhenyak. “Apa maksudnya?”
“Yah,
sepertinya Castleton tipe pria yang membutuhkan tongkat penunjuk jalan.” Olivia
menoleh kepada Madame Hebert, lalu menambahkan, “Tongkat penunjuk jalan bukan
pilihan, kan?”
Wanita
Prancis itu tertawa. “Saya akan memastikan mereka akan menemukan jalan sendiri.”
Tongkat penunjuk jalan. Pippa teringat
kepada tangannya yang menyentuh tangan Castleton semalam. Bagaimana Castleton
tersenyum kepadanya, dan ia tidak merasakan sedikit pun godaan. Tidak sedikit
pun wawasan yang ia cari.
Mungkin dirinya yang membutuhkan tongkat
penunjuk jalan.
Siapa
yang tahu?
“Aku
tidak khawatir,” ujar Olivia, wawasan yang melampaui usianya melintas di
matanya, tangan yang dihiasi batu rubi menelusuri pinggiran gaunnya. “Tottenham
bisa mencari jalan dengan mudah.” Pippa merasakan mulutnya menganga. Kata-kata
itu menimbulkan gagasan tentang apa yang jauh lebih dari sekadar berciuman.
Olivia melihatnya dan tertawa. “Kau tidak perlu kelihatan sekaget itu.”
“Kalian
sudah...?” Pippa memelankan suaranya menjadi bisikan. “Lebih dari berciuman?
Dengan lidah?”
Olivia
tersenyum dan mengangguk. “Semalam. Tetap ada ciuman. Dan banyak penggunaan
lidah. Di tempat-tempat yang menarik.” Pippa rasa mungkin matanya akan berputar
dari kepalanya. “Kau tidak punya pengalaman yang sama, ya?”
Tidak.
“Bagaimana?
Di mana?”
“Yah,”
ujar Olivia dengan datar, mengamati salah satu lengan berenda yang panjang. “Menurutku
dengan cara yang biasa. Semenata tentang kapan dan di mananya, kau pasti
terkejut kalau mengetahui betapa banyak akalnya seorang pria yang cerdas dan
bersemangat itu.”
Olivia
kecil. Marbury yang paling muda. Sudah tidak perawan.
Berarti
Pippa menjadi satu-satunya Marbury yang masih... perawan.
Olivia
memelankan suaranya, lalu menambahkan, “Demi kebaikanmu, aku harap Castleton
segera menemukan akalnya. Itu pengalaman yang sangat hebat.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Kau...” Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Olivia
memandang Pippa dengan terkejut. “Oh, Pippa. Sangat wajar kalau pasangan yang
sudah bertunangan... bereksperimen. Semua orang melakukannya.”
Pippa
menaikkan kacamata di hidungnya. “Semua
orang?”
“Baiklah,
rupanya tidak semua orang.”
Olivia
berbalik menghadap Madame Hebert untuk membahas model gaunnya, atau potongan
kainnya, atau sesuatu yang sama sekali tidak warasnya, tidak tahu-menahu
tentang pemikiran-pemikiran yang berkecamuk di kepala Pippa.
Bereksperimen.
Kata
itu terngiang di benaknya, pengingat akan pertemuannya dengan Cross. Tadinya ia
berencana untuk mendapat sedikit pemahaman sebelum pernikahan, tahu bahwa paling-paling
interaksinya dengan suaminya akan bersifat... elementer.
Tapi
tidak pernah sekali pun ia membayangkan kalau Olivia akan... kalau Lord
Tottenham dan Olivia akan... memiliki... memiliki wawasan akan satu sama lain.
Dalam artian yang alkitabiah.
Castleton
bahkan belum pernah mencoba menciumnya.
Tidak setelah melakukan pendekatan selama dua tahun. Tidak setelah bertunangan
resmi selama satu bulan. Bahkan tidak semalam, pada pesta dansa pertunangan
mereka, setelah ia menyentuh pria itu. Castleton punya banyak kesamaan untuk
membawanya pergi selagi mereka berdiri di salah satu sisi ruangan di tengah
keheningan yang kaku.
Tapi
Castleton tidak melakukannya.
Dan
Pippa sama sekali tidak menganggap itu tak wajar.
Hingga
sekarang.
Sekarang,
ketika ia membutuhkan eksperimen lebih dari yang sudah-sudah.
Dan
ia sudah kehilangan peluang untuk mendapatkannya karena taruhan. Kehilangan
peluang sepenuhnya.
Aku tidak akan meminta pria lain
membimbingku dengan risetku.
Taruhan
itu terngiang di telinganya seolah ia mengucapkan kata-katanya keras-keras, di
tempat dan pada saat itu juga. Ia sudah bertaruh dan kalah. Ia sudah berjanji.
Tapi sekarang, selagi hati dan otaknya berlomba, ia mendapati dirinya
menginginkan solusi. Bagaimanapun juga, tidak memiliki pengalaman yang ia
inginkan pada malam pengantinnya boleh-boleh saja; tidak memiliki pengalaman
yang ia harapkan... itu lain lagi.
Sebentar
lagi ia akan menikah. Pippa menatap matanya sendiri di cermin. Ia kini mengenakan gaun pengantinnya.
Waktunya
sangat sedikit. Riset harus dilakukan. Dengan atau tanpa pria itu.
Mungkin
ia harus bertanya kepada Olivia.
Pandangan
Pippa tertuju ke senyum merah muda adiknya yang sempurna –sarat akan wawasan
yang belum pernah ia lihat sebelumnya tapi ia dapat kenali sekarang.
Ia
harus bertindak. Secepatnya.
Dan
setelah itu, solusinya jelas.
Ia harus ke The Angel.
Dengan
kesadaran mendalam yang menyambarnya itu. Pippa memandangi Olivia, yang cantik
dengan gaun pengantinnya sendiri, lalu mengumumkan, kata-katanya tidak
sepenuhnya bohong. “Aku kurang sehat.”
Olivia
langsung mengalihkan perhatiannya kepada Pippa lagi. “Apa maksudmu kau kurang
sehat?”
Pippa
menggelengkan kepala lalu meletakkan sebelah tangannya di perut. “Aku merasa...
kurang sehat.” Ia memperhatikan gadis-gadis yang mengelilingi kakinya, yang
sedang bekerja dengan giat, laksana semut yang menyerbu sebutir permen yang
dibuang pada sebuah piknik.
“Tapi
bagaimana dengan gaunmu?” Olivia menggelengkan kepala.
“Gaunku
cantik. Dan baik-baik saja. Tapi aku harus menanggalkannya.” Gadis-gadis itu
mengdongak secara bersaman. “Sekarang.”
Ada
riset yang harus ia lakukan. Riset penting.
Pippa
menoleh kepada Madame Hebert. “Aku tidak bisa tetap di sini. Aku harus pulang.
Mengingat betapa kurang sehatnya aku.”
Wanita
Prancis itu memperhatikan Pippa dengan cermat selama beberapa saat. “Tentu
saja.”
Olivia
tampak ngeri. “Yah, apa pun yang kau rasakan, aku tidak mau ketularan.”
Pippa
turun dari panggung, bergegas ke sekat ganti pakaian. “Tidak. Tidak akan
kubiarkan itu terjadi. Kau tidak boleh merasa...”
Madame
Hebert menyelesaikan sisanya. “Kurang sehat?”
Menurut
Pippa pengulangan kata itu akan terdengar ganjil. “Sakit,” ucapnya.
Hidung
mancung Olivia dikerutkan. “Demi Tuhan, Pippa. Pulanglah. Tapi naik kereta kuda
sewaan saja. Aku dan ibu akan membutuhkan kereta kuda kita untuk membawa semua
barang ini.”
Pippa
tidak menunggu untuk disuruh dua kali. “Ya. Kurasa aku akan melakukannya.”
Tentu
saja, ia tidak akan pulang.
Alih-alih,
ia mengganti busananya dengan gaun biasa, meyakinkan ibunya ia akan pulang
dengan selamat, lalu meninggalkan toko pakaian, tujuannya sudah jelas dan
pasti.
Menundukkan
kepala, merapatkan mantel ke tubuhnya, Pippa melalui Bond Street dan melewati
Piccadilly, di mana ia dan pelayannya memasuki kereta kuda sewaan bersama-sama
dari salah satu sisi, lalu Pippa meluncur di bangku, menaikkan tudung mantelnya
dan membisikkan permintaan untuk menjaga rahasia sebelum keluar, sendirian,
dari pintu di sisi yang berlawanan.
Pippa
menyelinap, tanpa terlihat, menyusuri sebuah gang sempit yang terbentang di
belakang St. James’s dan menghitung bangunan-bangunannya dari belakang –satu,
dua, tiga- sebelum berdiri di depan sebuah pintu baja tebal dan mengetuknya
dengan kuat dan mantap.
Tidak
ada yang membukakan.
Pippa
meningkatkan usahanya. Menggedor pintu baja dengan telapak tangannya,
menimbulkan kegaduhan.
Kalau ia tepergok...
Ada
ratusan cara untuk menyelesaikan kalimat tersebut. Sebaiknya jangan dipikirkan.
Pippa
mengetuk lagi, lebih kuat. Lebih cepat.
Kemudian,
setelah waktu yang sangat lama, sebuah lubang tersembunyi dibuka di tengah
pintu baja yang besar, dan mata hitam menatap matanya, kekesalan langsung
digantikan oleh pengenalan dan kekagetan.
“Apa-apaan
ini?” Suara itu diredam oleh baja.
“Aku
Lady Philippa Marbury,” ia mengumumkan, tapi kata-katanya dikalahkan oleh suara
lubang yang ditutup, beberapa kunci yang dibuka di balik pintu, dan gesekan
baja dengan batu.
Pintu
dibuka, memperlihatkan kepekaan luas yang menganga serta pria paling besar dan
paling sangar yang pernah Pippa lihat, tinggi dan kekar dengan bekas luka di
bibir dan hidung yang kelihatannya sudah pernah patah lebih dari sekali.
Secercah
keraguan muncul di dalam diri Pippa sewaktu ia membuka mulut untuk bicara. “Aku...”
“Aku
tahu kau siapa,” kata pria itu dengan singkat. “Masuklah.”
“Aku
tidak...” Pippa memulai, lalu terdiam. “Siapa kau?”
Pria
itu mengulurkan tangan, sesosok tangan besar meraih lengan Pippa lalu
menariknya masuk ke klub. “Apa tidak terpikirkan olehmu kalau seseorang bisa
saja melihatmu kalau seseorang bisa saja melihatmu di luar sana?” kata pria itu,
menjulurkan kepalanya ke nalik pintu dan melihat ke satu arah, kemudian ke arah
yang satu lagi, lalu menutup pintu, memutar kunci lalau berbalik memunggungi
Pippa, menyibakkan tirai lainnya dan memasuki lorong yang indah sebelum
berteriak, “Untuk apa kita membayar penjaga pintu? Mengapa tidak ada yang
menjaga pintu terkutuk itu?”
Pippa
berteriak dari tempatnya berdiri di jalan masuk. “Sepertinya tidak ada seorang
pun yang menjaga sebagian besar pintu kalian pada jam seperti ini.”
Pria
besar itu berbalik dan menghadap Pippa lagi, matanya memancarkan sorot
penasaran. “Dari mana kau tahu?”
“Aku
sudah pernah ke sini sebelumnya,” tukas Pippa.
Pria
itu menggelengkan kepala, tersenyum datar. “Apa Bourne tahu kalau Penelope
memberi adik-adiknya tur?”
“Oh,
kau salah paham. Aku datang ke sini bukan karena Penelope. Aku datang ke sini karena
Mr. Cross.”
Kata-kata
itu membuat si pria besar tertegun. “Cross,” katanya, dan Pippa mendengar
perbedaan pada nada suaranya. Ketidakpercayaan. Mungkin sesuatu yang lain.
Pippa
mengangguk. “Benar.”
Alis
hitam pria itu terangkat. “Cross,” ulangnya. “Dan kau.”
Dahi
Pippa dikerutkan. “Yah, aku tidak sering ke sini, tapi aku punya alasan kuat
untuk menemuinya beberapa hari yang lalu.”
“Oh,
begitu.”
Itu
bukan pertanyaan, tapi Pippa tetap menjawab. “Ya.” Ia bimbang, lalu
menambahkan, “Walaupun sebaiknya kau tidak memberitahunya kalau aku datang hari
ini.”
Sorot
mata pria itu berubah menjadi penuh pengertian. “Oh, begitu.”
Terlalu
pengertian.
Pippa
mengulurkan tangannya. “Sepertinya kau sudah mengenalku, Sir. Tapi aku belum
mengenalmu.”
Pria
itu berlama-lama memandangi tangan yang Pippa ulurkan sebelum membalas
tatapannya lagi, seolah memberinya kesempatan untuk berubah pikiran. “Aku
Temple.”
Duke
of Lamont.
Si pembunuh.
Pippa
melangkah mundur, di luar kehendaknya tangannya sudah diturunkan karena
pemikiran tersebut sebelum ia bisa menghentikannya. “Oh.”
Bibir
Temple berkedut mengulas senyum datar. “Sekarang kau berharap kau tidak pernah
datang ke sini.”
Otak
Pippa berputar. Temple tidak akan menyakitinya. Temple mitra Bourne. Juga mitra
Cross. Ini tengah hari bolong. Orang tidak dibunuh di Mayfar pada tengah hari
bolong.
Dan
terlepas dari semua yang pernah ia dengar tentang pria sangar dan berbahaya
ini, tidak ada satu pun bukti yang menegaskan kalau Temple memang melakukan apa
yang kabarnya pria itu lakukan.
Pippa
mengulurkan tangannya lagi. “aku Philippa Marbury.”
Salah
satu alis hitam dilengkungkan, tapi Temple meraih tangan Pippa dengan mantap. “Gadis
pemberani.”
“Tidak
ada bukti yang menegaskan bahwa kau memang seperti apa yang mereka katakan.”
“Gosip
sudah cukup memberatkan.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Aku seorang ilmuwan. Hipotesis tidak berati tanpa bukti.”
Salah
satu ujung bibir Temple berkedut. “Andai saja seluruh rakyat Inggris secermat
itu.” Ia melepaskan tangan Pippa lalau memegangi tirai, mempersilahkan Pippa
masuk ke lorong, yang didekorasi secara mewah dengan pelapis dinding dari sutra
dan beludru yang membuat Pippa tidak dapat menahan diri untuk tidak mengulurkan
tangan dan menyentuhnya.
“Bourne
tidak ada di sini,” kata Temple.
Pippa
tersenyum. “Aku tahu. Dia di Surrey bersama kakakku. Aku ke sini bukan untuk
menemuinya.”
Langkah
panjang Temple terhenti, dan selama sesaat Pippa mengagumi bagaimana pria
sebesar itu –pria yang jelas sudah tidak asing lagi dengan kekerasan dan
brutalitas– bisa bergerak dengan keanggunan seperti itu, memindahkan berat
badannya untuk menghentikan gerakannya ke depan.
Kemudian
Temple bergerak lagi, seolah ia tidak pernah berhenti. “Juga bukan untuk Cross?”
“Betul.
Dia tidak menyukai keberadaanku.”
Kata-kata
itu sudah terucap sebelum Pippa bisa menghentikannya, tan Temple menatap
matanya. “Dia bilang begitu?”
Pippa
mengangkat bahu, menaikkan kacamatanya. “Tidak dengan kata-kata, tapi dia
menegaskan bahwa dia tidak tertarik untuk membimbingku dengan proyekku, maka...”
“Proyek
apa?” desak Temple.
Maksiat untukku. Pippa tahu ia
tidak dapat mengatakannya.
“Sebuah
riset yang kuharap dapat memperoleh... bantuannya.”
Temple
tersenyum kepada Pippa. “Dan bagaimana denganku? Aku bisa membantumu.”
Pippa
mempertimbangkan tawaran tersebut selama beberapa saat. Tidak diragukan lagi,
pria ini bisa menjawab semua pertanyaannya. Bahkan yang lebih lagi.
Tapi Temple bukan Cross.
Pippa
meredam pemikiran tersebut dan keresahan yang menyertainya, memusatkan
perhatian kepada sang duke yang sudah berbalik menghadapnya, dengan sambil lalu
membuka salah satu dari sejumlah pintu tertutup yang seolah tak berujung lalu
bergeser agar Pippa bisa masuk ke sebuah ruangan yang besar, di tengahnya
terdapat dua meja, yang diselimuti oleh kain wol hijau.
“Tidak,
terima kasih. Aku sudah berjanji kepada Mr. Cross aku tidak akan...” Pippa
terdiam.
“Tidak
akan apa?” desak Temple.
“Tidak
akan meminta bantuan pria lain.”
Mata
Temple membelalak sejenak. “Kedengarannya ini riset yang menarik.”
Pippa
mengabaikan kata-kata itu, berbalik menghadap Temple, tangannya digenggam
erat-erat sementara Temple menutup pintu di belakang mereka lalu mengantongi
kuncinya. “Tapi dia tidak bilang apa-apa tentang wanita.”
Temple
menegang. “Apa?”
Pippa
menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin bertemu dengan salah seorang wanitamu.”
“Wanitaku?”
Pippa
melambaikan sebelah tangan di udara dengan sambil lalu. “Wanita kalian.” Waktu
Temple tidak merespons, ia melontarkan klarifikasinya, “Pelacur kalian.”
Temple
terdiam selama beberapa saat, dan Pippa bertanya-tanya apa mungkin, ia belum
bicara.
Kemudian
Temple tertawa, keras dan menggelegar.
Dan
Pippa bertanya-tanya apakah ia sudah membuat sebuah kesalahan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar