Senin, 27 Agustus 2018

One Good Earl Deserves a Lover 6


Beberapa jam kemudian, jauh setelah penjudi yang terakhir meninggalkan The Angel, Cross duduk di mejanya, berusaha menghitung pendapatan malam itu untuk yang ketiga kalinya. Dan gagal untuk yang ketiga kalinya.

Gagal, karena ia tidak mampu mengusir kenangan akan Philippa Marbury yang berambut pirang dan berkacamata berlari menuruni tangga belakang Dolby House untuk menemuinya. Malah, setiap kali ia berusaha memindahkan sebuah angka dari satu kolom ke kolom berikutnya, ia membayangkan jemari Pippa yang melilit rambutnya atau bibir Pippa yang melengkung di bawah tangannya, lalu ia pun melupakan angka itu.

Cross tidak pernah melupakan angka. Sebagian besar masa dewasanya dihabiskan dalam penghukuman karena ia tidak bisa melupakan angka.

Ia menunduk ke atas buku lagi.

Ia sudah menjumlahkan tiga baris sebelum pendulum di mejanya menarik perhatiannya, dan ia teringat kepada sentuhan lembut Pippa yang menggerakkan bandul-bandul itu. Godaan tersulut, dan Cross membayangkan sentuhan yang sama menggerakkan benda yang lain. Misalnya, ritsleting celananya.

Ujung penanya patah di atas buku besar, membuat tinta memercik ke halaman coklat muda.

Pippa pikir dirinya pria yang aman.

Tapi dengan Pippa... pengendalian dirinya –yang bernilai lebih dari apa pun baginya- bergantung pada seutas benang. Seutas benang sutra yang tipis, sehalus rambut Pippa. Kulit Pippa. Suara Pippa di tengah kegelapan.

Sambil mengerang, Cross mengacak-acak rambutnya dengan tangan lalu memundurkan kursinya dari meja, menyandarkannya ke dinding lalu merentangkan kakinya lebar-lebar. Ia harus mengusir kenangan akan Pippa dari tempat ini. Ke mana pun ia melihat –sempoa, bola dunia, meja terkutuknya- semua sudah tercemar oleh Pippa. Ia hampir yakin ia bisa mencium aroma Pippa di sana, bau sinar mentari dan linen segar yang melekat.

Sial.

Pippa sudah menghancurkan kantor ini... habis-habisan seolah gadis itu berderap masuk ke ruangan ini dan melucuti semua pakaiannya.

Lalu berbaring di meja, hanya memakai kacamata dan mengulas senyum simpul miringnya, kulitnya tampak pucat dan cantik di atas eboni.

Cross memejamkan mata, fantasi itu terlalu mudah dibangkitkan. Air liur Cross menggenang; ia tidak akan bisa menahan diri agar tidak membungkukkan badan ke atas Pippa, agar tidak memagut lalu mengecap gadis itu. Ia akan menghabiskan banyak waktu dengan menggoda Pippa sampai gadis itu mendambakannya melanjutkan –memohonnya untuk beranjak turun.

Dan setelah Pippa memohon barulah ia akan memberika apa yang sama-sama mereka inginkan –merentangkan paha Pippa, menggerakkan tangan di kulit Pippa yang mulus dan lembut, lalu...

Suara ketuka di pintu terdengar seperti letusan senapan. Kursi Cross terbanting ke lantai, dipertegas oleh umpatan kasarnya.

Siapa pun itu, Cross bertekad akan membunuhnya. Dengan perlahan. Dan dengan sangat senang.

“Apa?” sergahnya.

Pintu di buka, memperlihatkan pendiri The Fallen Angel. “Sambutan yang hangat.”

Cross ingin melompati meja lalu mencekik Chase. “Aku pasti keliru menyampaikannya. Kecuali kalau klub kebakaran, kau tidak boleh masuk.”

Chase tidak mendengarkan, malah menutup pintu dan duduk di sebuah kursi berlengan besar yang terdapat di seberang meja.

Cross merengut.

Chase mengangkat bahu. “Anggap saja klub kebakaran.”

“Apa yang kau inginkan?”

“Buku.”

Klub pria di seluruh penjuru London membanggakan buku taruhan mereka, dan The Angel juga begitu. Buku bersampul kulit itu digunakan untuk mencatat semua taruhan yang dibuat di arena utama klub. Anggota bisa mencatat taruhan apa pun –betapa pun sepelenya- di buku itu, dan The Angel mengambil presentase dari taruhan untuk memastikan pihak-pihak yang terikat oleh pertaruhan aneh apa pun itu bertanggung jawab.

Chase bertransaksi dengan informasi, dan menyukai buku itu karena rahasia-rahasia yang buku itu ungkapkan mengenai anggota klub. Jaminan yang diberikan.

Cross meletakkan buku besar itu di meja.

Chase tidak mengambilnya. “Jastin bilang hampir semalam kau tidak di sini.”

“Justin perlu dilabrak habis-habisan karena semua informasi yang dia berikan kepadamu tentang keberadaan kami.”

“Aku tidak terlalu memedulikan keberadaan yang lain akhir-akhir ini,” ujar Chase, mengulurkan sebelah tangannya dan memutar bola dunia yang besar. “Aku sangat mencemaskan keberadaanmu.”

Cross memperhatikan bola dunia itu berputar, membenci kesadaran bahwa orang terakhir yang berinteraksi dengan bola raksasa itu adalah Philippa Marbury dan marah karena sentuhan Chase. “Sungguh mengejutkan.”

“digger Knight lebih mudah diawasi kalau aku tahu ke mana harus mencarinya.”

Alis Cross terangkat. Pasti ia salah paham. “Maksudmu kau menyarankanku untuk mengabaikan fakta bahwa ia sudah menghancurkan iparku, mengancam keselamatan adikku, dan memerasku?”

“Bukan. Tentu saja bukan.” Chase menghentikan bola dunia itu, satu jari yang panjang diletakkan di Sahara. “Dan aku sama sekali tidak peduli kau menikahi gadis itu atau tidak. Tapi aku mau kau berhati-hati dengan cara yang kau pilih untuk menghukum Digger Knight. Dia sama sekali tidak akan menyukainya.”

Cross menatap mata mitranya. “Maksudnya?”

“Maksudnya kau punya satu kesempatan untuk melakukan ini. Rencanakan tindakan kita secara cermat, atau tidak sama sekali.”

“Aku berencana untuk melakukannya secara cermat.”

“Ada alasan mengapa penjudi-penjudi terbesarnya tidak punya keanggotaan di The Angel. Mereka bukan pria yang biasanya sudi kita terima di meja kita.”

“Mungkin begitu. Tapi kehormatan menggoda mereka. Kekuasaan. Peluang untuk berdesak-desakan dengan para pria yang memilikinya, para pria yang bergelar. Peluang untuk berjudi di The Angel.”

Chase mengangguk, meraih sekotak cerutu di meja di dekat situ. “Kau ke mana malam ini?”

“Aku tidak butuh penjaga.”

“Tentu saja butuh. Kau pikir aku belum tahu kau ke mana?” Kata-kata itu diucapkan dari palik kepulan asap.

Kejengkelan tersulut. “Kau tidak bisa menyuruh orang mengikutiku.”

Chase tidak menggubris amarah itu. “Aku tidak tenang kalau Knight berada di dekatmu. Sejak dulu kalian berdua memiliki hubungan yang... pelik.”

Cross berdiri menjulang di depan meja dan mitranya. “Kau tak bisa menyuruh orang mengikutiku.”

Chase memutar-mutar cerutunya dengan ibu jari dan telunjuk. “Kuharap kau menyimpan Scotch di sini.”

“Keluar.” Cross sudah muak.

Chase bergeming. “Aku tidak menyuruh orang mengikutimu. Tapi sekarang aku tahu pasti berguna kalau aku melakukannya.”

Cross mengumpat, brutal dan barbar.

“Malammu buruk, ya? Kau pergi ke mana?”

“Aku menemui adikku.”

Alis keemasan Chase terangkat. “Kau pergi ke pesta dansa Needham?”

Aku juga bertemu dengan Philippa Marbury. Yah, jelas ia tidak akan memberitahukan itu kepada Chase. Alih-alih, Cross bungkam.

“Kurasa pertemuan tidak berjalan dengan baik,” ujar Chase.

“Dia tidak mau berurusan denganku. Bahkan waktu aku bilang aku akan menjaganya dari Knight, dia tidak berkata apa-apa. Dia tidak percaya padaku.”

Chase terdiam selama beberapa saat, menelaan situasi. “Adik perempuan memang menyulitkan. Mereka tidak selalu mematuhi perintah kakak lelaki.”

“Kau pasti mengetahuinya lebih dari siapa pun.”

“Apa kau mau aku bicara dengannya?”

“Kau memandang dirimu terlalu tinggi.”

Chase tersenyum. “Biasanya wanita menyambutku dengan tangan terbuka. Bahkan wanita yang seperti adikmu.”

Mata Cross disipitkan. “Aku tidak mau kau mendekatinya. Sudah cukup buruk dia harus berurusan dengan Digger Knight... dan denganku.”

“Kau melukai perasaanku.” Chase menghisap cerutunya. “Apa dia akan menjauhi Knight?”

Cross mempertimbangkan pertanyaan Chase, dan amarah adiknya malam itu. Usia Lavinia tujuh belas tahun kala Baine meninggal, kala Cross pergi. Lavinia dipaksa menikah dengan Dunblade karena pria itu bersedia menerimanya –terlepas dari ketidaksempurnaannya.

Ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh Cross.

Kesempurnaan yang seharusnya tidak berarti –pasti tidak berarti jika Lavinia bisa meloloskan diri dari duka ibunya dan murka ayahnya. Jika Lavinia tidak dipaksa bertahan hidup sendirian, tanpa seorang pun yang membantunya.

Tanpa seorang kakak yang menjaganya.

Pantas saja Lavinia tidak percaya kepada Cross waktu Cross berkata akan mengatasi dampak  yang telah dihasilkan oleh Digger Knight dan suaminya. Amarah, frustasi, dan kebencian mendalam terhadap diri sendiri tersulut di dalam diri Cross. “Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Tapi aku tahu Knight tidak akan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan pernikahan putrinya.”

“Seharusnya kau sudah menghancurkannya bertahun-tahun yang lalu.” Ketika Cross tidak merespon, Chase menambahkan, “Sejak dulu kau terlalu lembek terhadapnya.”

Cross mengangkat sebelah bahunya sekilas. “Tanpanya...”

Gigi putih Chase tampak mengilat. “Kau tidak akan memiliki kami.”

Cross tertawa sewaktu mendengarnya. “Kalau disampaikan seperti itu, mungkin aku seharusnya tidak segan-segan menghancurkannya.”

Chase berlama-lama menghisap cerutunya, berpikir sebelum berkata, “Kau harus mempertahankan muslihatmu sampai kau siap menghabisinya. Siap melindungi Lavinia.” Cross mengangguk. “Tample bilang kau berencana untuk memanfaatkan wanita-wanita itu? Kau tahu kau membutuhkanku untuk memangi wanita-wanita itu.”

Cross mengangkat sebelah alisnya. “Menurutku itu tidak perlu.”

“Apa kau yakin? Mereka sangat menyukaiku.”

“Aku yakin.”

Chase mengangguk sekali. “Aku penasaran seperti apa putrinya.”

“Dia anak Knight, jadi kurasa dia wanita jalang yang serakah atau makhluk yang malang.”

“Tetap saja dia seorang wanita.” Hening sejenak. “Mungkin sebaiknya kau menikahinya. Itu berhasil untuk Bourne.”

“Aku bukan Bourne.”

“Yah, memang bukan.” Chase duduk tegak, memutar bola dunia sekali lagi lalu memandang ke sekeliling ruangan. “Aku heran kau bisa menemukan sesuatu di sini. Rasanya aku ingin meminta para pelayan datang dan membersihkannya.”

“Coba saja.”

“Tidak sepadan dengan murkamu.” Chase memadamkan cerutunya lalu berdiri, mendekat dan mengetukkan satu jari di buku taruhan. “Ini sudah larut, dan aku mau pulang, tapi sebelum pergi, kurasa mungkin kau mau bertaruh.”

“Aku tidak pernah bertaruh di buku. Kau tahu itu.”

Salah satu alis keemasan Chase terangkat. “Apa kau yakin kau tidak mau membuat pengecualian untuk yang satu ini? Kau punya peluang yang baik.”

Keresahan meliputi dada Cross, dan ia bersedekap, bersandar ke kursinya untuk menatap mitranya dengan tajam. “Apa?”

“Lady Philippa Marbury,” ujar Chase.

Keresahan berubah menjadi kengerian. Chase tahu. Itu tidak mengejutkan. Tidak terlalu. Chase selalu tahu segalanya. Tapi Cross tahu ia tidak harus mengakuinya. “Siapa?”

Chase menatap Cross dengan tajam. “Jadi begini? Kau mau berpura-pura tidak memahami apa yang kumaksud?”

“Tidak ada yang berpura-pura.” Cross bersandar ke kursinya dengan perlahan. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”

“Justin mempersilahkannya masuk, Cross. Menunjukkan arah kantormu kepadanya. Kemudian melaporkannya kepadaku.”

Brengsek. “Justin itu wanita yang gemar bergosip.”

“Menurutku, satu atau dua orang wanita yang gemar bergosip bisa sangat membantu. Nah, tentang gadis itu...”

Cross merengut, suasana hatinya berubah dari suram menjadi berbahaya. “Ada apa dengannya?”

“Apa yang dia inginkan di sini?”

“Bukan urusanmu.”

“Mungkin itu urusan Bourne, jadi aku tetap bertanya.”

Kalau adikku berada dalam genggamannya, aku akan mempertimbangkan perintahnya.

Kata-kata Bourne terngiang di benak Cross dengan disertai gelombang rasa bersalah. “Yang diinginkan tidak penting. Tapi perlu disebutkan kalau Knight melihatnya.”

Pengamat awam pasti tidak melihat punggung Chase ditegakkan sedikit. “Apa Knight mengenalinya?”

“Tidak.” Puji Tuhan.

Chase mendengar kebimbangan pada kata tersebut. “Tapi...?”

“Gadis itu membuatnya tertarik.”

“Aku tidak kaget. Lady Philippa memang wanita yang menarik.”

“Itu cara yang halus untuk menggambarkannya.” Cross tidak menyukai pemahaman yang melintas di mata mitranya karena kata-kata itu.

“Kau belum memberitahu Bourne?”

Cross sama sekali tidak tahu mengapa ia belum memberitahu Bourne. Bourne sudah terkenal sebagai salah seorang pria yang paling dingin dan kejam di London. Kalau barang sedetik saja ia menganggap Pippa dalam bahaya, Bourne pasti menghancurkan ancaman tersebut dengan tangan kosong.

Tapi Cross sudah berjanji untuk menjaga rahasia Pippa.

Dunia dipenuhi oleh pembohong.

Kata-kata itu terngiang di benak Cross. Tidak ada alasan untuk menepati janjinya kepada sang lady. Semestinya ia memberitahu Bourne. Lalu lepas tangan dari semua ini.

Namun...

Cross teringat kepada Pippa tadi malam, tersenyum riang kepada anjing itu, ekspresi di wajah Pippa membuat getar-getar kenikmatan meliputinya bahkan sekarang. Cross suka memperhatikan senyum Pippa. Ia suka memperhatikan Pippa melakukan apa saja.

Ia menyukai Pippa.

Sial.

“Sudah kutangani.”

Chase terdiam selama beberapa saat sebelum membeokan. “Sudah kau tangani.”

Cross melawan keinginan untuk memalingkan wajahnya. “Gadis itu datang untuk menemuiku.”

“Aku masih belum paham.”

“Kau tidak perlu mengetahui segalanya.”

Salah satu ujung bibir Chase terangkat mengulas senyum datar. “Namun, kerap kali aku mengetahui segalanya.”

“Tidak dalam masalah ini.”

Chase menatap Cross selama beberapa saat, perang tekad. “Yah, sepertinya begitu.”

“Kau tidak akan memberitahu Bourne?”

“Kecuali kalau dia perlu dibertitahu,” tukas Chase, bersandar di kursinya. “Dan selain itu, memberitahu Bourne tidak akan memperbesar peluang taruhanku.”

Seharusnya Cross tidak peduli.

Tapi gaung dari sentuhan lembut Pippa dan kat-katanya yang aneh jelas sudah membuat Cross segila gadis itu. “Apa ketentuannya?”

Chase menyeringai, memperlihatkan giginya yang putih, “Seratus pound untuk bertaruh bahwa dialah wanita yang akan membebaskanmu dari kutukanmu.”

Kutukannya.

Cross membutuhkan seluruh pengendalian dirinya untuk tidak bereaksi terhadap kata-kata itu. Terhadap godaan yang terkandung di dalamnya.

Salah satu alis keemasan terangkat. “Tidak mau menyanggupi?”

“Aku tidak pernah bertaruh di buku.” Ulang Cross. Kata-katanya terdengar parau.

Chase menyeringai, tapi tidak berkata apa-apa, malah bangkit berdiri, kakinya diluruskan dengan keanggunan yang luar biasa. “Sayang sekali. Aku yakin itu akan memberiku seratus pound dengan cepat.”

“Aku tidak tahu kau kekurangan uang.”

“Memang tidak. Tapi aku suka menang.”

Cross tidak menanggapi sewaktu mitranya pergi, suara pintu mahoni besar yang ditutup dengan lembut menjadi satu-satunya tanda yang menegaskan bahwa Chase pernah ada di sana.

Setelah itu barulah Cross melepaskan napas panjang yang sedari tadi ia tahan.”

Seharusnya ia menyanggupi taruhan itu.

Mungkin Chase lebih tahu daripada sebagian besar orang tentang rahasia-rahasia kaum elite London, tapi ada satu hal yang tak perlu diragukan.

Cross tidak akan menyentuh Philippa Marburi lagi.

Ia tidak boleh melakukannya.


“Pippa sudah waktunya kau mengepas gaunmu.”

Kata-kata Marchioness of Needham and Dolby –separuh bersemangat, separuh menegur, mengalihkan perhatian Pippa dari tempat di mana ia tengah memperhatikan sejumlah besar tubuh memasuki dan meninggalkan toko-toko di Bond Street. Meskipun Pippa sangat menyukai jendela toko Mademe Hebert –jendela itu menyuguhkan pemandangan yang sangat spektakuler dari para bangsawan London yang sedang melakukan kegiatan sehari-hari mereka –ia tidak terlalu menghiraukan para tukang jahit. Bersama mereka bukanlah cara yang ia pilih untuk menghabiskan waktu, sama seperti berdansa.

Tapi gaun pengantin membutuhkan perancang pakaian. Begitu pula dengan busana pengantin lainnya.

Maka, di sinilah ia berada, pada apa yang mungkin merupakan kunjungan terlama dalam sejarahnya berbelanja pakaian.

“Philippa!” Pippa mengalihkan perhatiannya dari sekelompok pria di seberang jalan di dekat pintu Boucher & Babcock’s Tobacconist ke teriakan nyaring dan bersemangat ibunya yang berasal dari kamar pas dalam di toko. “Ayo, lihat adikmu!”

Sambil menghela napas, Pippa berbalik dari jendela dan berjalan melewati tirai, merasa seperti sudah siap untuk berperang. Tirai beludru belum kembali ke tempatnya saat ia berhenti, memperhatikan Olivia, mungil dan sempurna di atas panggung yang terdapat di tengah ruangan, mengenakan apa yang pasti merupakan gaun pengantin tercantik yang pernah dibuat.

“Olivia,” ucap Pippa dengan suara pelan, menggelengkan kepala. “Kau...”

“Memesona!” seru sang Marchioness, bertepuk tangan dengan kegirangan khas seorang ibu.

Olivia mengembangkan roknya yang terbuat dari renda gadisng cantik lalu tersenyum lebar. “Memukau sekali, ya?”

“Sungguh memukai,” Pippa membenarkan. Toh, itu benar. Tapi ia tidak dapat menahan diri untuk tidak menambahkan. “Dan sangat sederhana.”

“Oh, sudahlah,” cetus Olivia, membalikkan badan untuk melihat cermin dengan lebih cermat. “Kalau kau tidak bisa mengatakan yang sebenarnya di kamar pas Herbert, di mana lagi kau bisa melakukannya? Toko tukang jahit ditujukan untuk gosip dan kejujuran.”

Perancang pakaian itu –sudah dikenal secara luas sebagai yang terbaik di Inggris- mengambil sebuah peniti dari tengah bibirnya lalu memasangnya di korset gaun sebelum mengedipkan mata kepada Pippa dari posisinya di belakang bahu Olivia. “Saya sangat sependapat.”

Olivia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pantulan salah satu cermin yang dipasang di sekeliling ruangan. “Ya. Ini sempurna.”

Tentu saja itu benar. Bukan berarti Olivia membutuhkan sebuah gaun untuk membuatnya cantik. Putri bungsu Marbury yang paling cantik itu bisa memakai karung makanan ternak yang diambil dari istal Needham Manor dan tetap tampak lebih cantik daripada sebagian besar wanita pada hari-hari terbaik mereka. Tidak, tidak diragukan lagi kalau dua minggu lagi, saat Olivia dan Viscount Tottenham berdiri di Gereja St. George di hadapan seluruh bangsawan London, ia akan menjadi pengantin yang memukau –bahan pembicaraan para bangsawan.

Pippa pasti tidak ada apa-apanya kalau ia memainkan perannya dalam pernikahan ganda itu.

“Lady Philippa, Alys sudah siap untuk Anda.” Sang perancang pakaian menyadarkan Pippa dari lamunannya dengan lambaian salah satu lengan yang panjang, menggenggam sebuah bantal peniti merah tua, ke arah seorang asisten yang berdiri di dekat sebuah sekat tinggi di salah satu ujung ruangan, membawa setumpuk renda dan sutra.

Gaun pengantin Pippa.

Sesuatu tergerak di lubuk hati Pippa, dan ia bimbang.

“Ayo, Pippa. Kenakanlah.” Olivia menunduk memandang sang perancang pakaian. “Kuharap gaunnya sangat berbeda. Aku tidak mau orang mengira kami memakai gaun yang sama.”

Pippa yakin bahwa kalaupun gaunnya sama persis, kedua pengantin pada hari yang sudah menjelang itu tidak akan salah dikenali.

Sementara keempat putri Marbury yang lebih tua mewarisi rambut pirang pucat yang menjemukan, kulit yang entah terlalu merah (Victoria dan Valerie) atau terlalu pucat (Pippa dan Penelope), dan tubuh yang entah terlalu sintal (Penelope dan Victoria) atau terlalu kurus (Pippa dan Valerie), Olivia sempurna. Rambut Olivia lebat, berwarna emas mengilat, dan berkilau di bawah sinar mentari, kulitnya bersih dan berwarna merah muda, dan bentuk badannya –kombinasi ideal dari molek dan langsing. Ia memiliki tubuh yang tercipta untuk mode Prancis, dan Mademe Hebert sudah merancang sebuah gaun untuk membuktikannya.

Pippa tidak yakin sang perancang pakaian –yang terbaik di London ataupu bukan bisa melakukan hal serupa untuknya.

Saat itu gaunnya sudah melewati kepalanya, suara kain yang gemerisik di telinganya mengusir semua pemikiran sementara asisten muda mengencangkan dan mengeratkan, mengancing dan mengikat. Pippa resah di tengah prosesnya, merasakan sepenuhnya renda kasar yang menekan kulitnya, bagaimana korset mengancam akan membuatnya sesak napas.

Ia belum melihat sendiri, tapi gaunnya terasa sangat tidak nyaman.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Alys melambaikan tangannya untuk mempersilahkan Pippa keluar, dan selama sesaat, Pippa bertanya-tanya apa yang akan terjadi bila bukannya keluar menghadapi sorot kritis adik dan ibunya serta perancang pakaian terbaik di Inggris ini, ia berlari ke bagian belakang toko dan keluar lewat pintu belakang.

Mungkin kalau begitu ia dan Castleton bisa melewatkan tetak bengek upacara pernikahan dan langsung beranjak ke kehidupan rumah tangga mereka. Toh, itu bagian terpentingnya, kan?

“Ini akan menjadi pernikahan termegah di sepanjang Season!” Seru Lady Needham dari balik sekat.

Yah... mungkin kehidupan rumah tangga bukan bagian yang terpenting bagi para ibu.

“Tentu saja,” Olivia membenarkan. “Bukankah sudah kukatakan bahwa, dengan atau tanpa bencana-Penny, aku akan tetap menikah?”

“Benar, Dear. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan.”

Olivia yang beruntung.

“My Lady?” Si asisten kelihatan bingung. Pippa rasa tidak setiap hari seorang pengantin sangat ragu untuk memperlihatkan gaun pengantinnya.

Pippa mengitari sekat. “Nah/ Inilah aku.”

“Oh!” Lady Needham nyaris terjungkal dari tempatnya di dipan mewah, teh tertumpah dari cangkirnya sewaktu ia melonjak naik turun di atas kain safir. “Oh! Kau akan menjadi countess yang hebat!”

Pippa mengalihkan pandangan ke belakang ibunya untuk melihat Olivia, yang sudah kembali memperhatikan setengah lusin penjahit muda yang sedang berlutut, memasang peniti ke keliman gaunnya, mengangkat lipatan dan memindahkan pita. “Bagus sekali, Pippa.” Olivia terdiam sejenak. “Memang tidak sebagus gaunku, tapi...”

Ada beberapa hal yang tidak pernah berubah. Untungnya. “Yah, begitulah.”

Mademe Hebert sudah mulai membantu Pippa naik ke panggungnya sendiri, peniti bertengger di tengah gigi sang perancang pakaian sementara ia mengarahkan tatapan merendahkan ke korset gaun Pippa. Pippa menoleh untuk melihat dirinya di cermin yang besar, dan si wanita Prancis langsung menghalangi pandangannya. “Belum saatnya.”

Madame Hebert bekerja tanpa berkata apa-apa sementara Pippa menyapukan ujung jemarinya di korset gaun, menelusuri lekukan-lekukan renda dan rentangan-rentangan sutra. “Sutra berasal dari ulat bulu,” katanya. Informasi itu menenangkan di tengah momen ganjil ini. “Yah, bukan ulat bulunya... kepompong ulat sutranya.” Ketika tidak ada yang merespon, ia menunduk melihat tangannya, lalu menambahkan, “Kepompong Bombyx mori, dan sebelum dia keluar sebagai kupu-kupu... kita mendapatkan sutra.”

Terjadi keheningan selama beberapa saat, dan Pippa mendongak lalu mendapati semua orang yang ada di ruangan tengah memandanginya seolah kepalanya ada dua. Olivia menjadi orang pertama yang menanggapi. “Kau aneh sekali.”

“Siapa yang bisa memikirkan ulat pada saat-saat seperti ini?” seru sang marchioness. “Ulat tidak ada hubungannya dengan pernikahan kalian.”

Menurut Pippa ini waktu yang sangat tepat untuk memikirkan ulat. Ulat pekerja keras yang meninggalkan kehidupan yang mereka kenal –dan seluruh kenyamanannya- lalu memintal kepompong, mempersiapkan sebuah kehidupan yang tidak mereka pahami dan tidak bisa mereka bayangkan, hanya untuk dihentikan di tengah prosesnya dan diubah menjadi sebuah gaun pengantin.

Akan tetapi, Pippa rasa ibunya tidak akan menghiraukan penjelasan itu, maka ia tidak berkata-kata ketika Madame Hebert mulai memasang peniti, dan korset gaunnya menjadi semakin ketat. Setelah beberapa saat, Pippa terbatuk “Rasanya sesak sekali.”

Madame Hebert kelihatannya tidak mendengarnya, malah mencubit sekitar setengah sentimeter kain di pinggangnya lalu memasang peniti di sana.

“Apa kau yakin...”

Pippa mencoba lagi sebelum Madame Hebert menatapnya dengan tajam. “Saya yakin.”

Tentu saja.

Kemudian Madame Hebert menyingkir dan Pippa bisa menatap cermin dengan jelas, di mana ia menghadapi dirinya yang akan datang. Gaunnya cantik, pas di dadanya yang kecil dan pinggangnya yang panjang tanpa membuatnya kelihatan seperti burung berkaki panjang.

Tidak, ia terlihat persis seperti seorang pengantin.

Gaunnya terasa semakin ketat saat itu. Apa itu mungkin?

“Bagaimana pendapat anda?” tanya Madame Hebert, memperhatikan Pippa dengan cermat di cermin.

Pippa membuka mulutnya untuk menanggapi, tidak tahu apa yang akan terucap.

“Dia menyukainya, tentu saja begitu!” Kata-kata sang marchioness terdengar seperti pekikan. “Mereka berdua menyukainya! Ini akan menjadi pernikahan termegah di sepanjang Seasion! Pernikahan termegah di sepanjang abad!”

Pippa menatap mata coklat Madame Hebert yang penasaran. “Dan abad itu belum dimulai.”

Mata si wanita Prancis tersenyum sejenak sebelum Olivia mendesah senang. “Itu benar. Dan Tottenham tidak akan bisa menolakku dengan gaun ini. Tidak ada pria yang bisa menolakku.”

“Olivia!” seru sang marchioness dari tempatnya. “Itu sama sekali tidak sopan.”

“Mengapa? Itu tujuannya, kan? Menggoda suami kita sendiri!”

“Kita tidak boleh menggoda suami kita sendiri!” sang marchioness menegaskan.

Senyum Olivia berubah menjadi usil. “Kau pasti pernah menggoda suamimu satu atau dua kali, Ibu.”

“Oh!” Lady Needham merebahkan diri ke kursi.

Madame Hebert memalingkan wajahnya dari percakapan itu, melambaikan tangan memanggil dua orang gadis untuk mengerjakan keliman gaun Pippa.

Olivia mengedipkan mata kepada Pippa. “Setidaknya lima kali.”

Pippa tidak kuasa menahan diri. “Empat. Victoria dan Valerie kembar.”

“Cukup! Tidak dapat kubiarkan!” Sang marchioness bangun lalu melewati tirai menuju bagian depan toko, meninggalkan putri-putrinya yang sedang tertawa.

“Kemungkinan suatu hari nanti kau akan menjadi istri perdana menteri membuatku sangat cemas,” canda Pippa.

Olivia tersenyum. “Tottenham bilang seluruh pemimpin Eropa pasti menyukai karakterku yang menarik.”

Pippa tertawa, senang karena pengalihan perhatian dari pemandangan pengantin di cermin yang meresahkan. “Karakter yang menarik? Itu cara yang halus untuk menggambarkannya.”

Olivia mengangguk, melambaikan tangan memanggil Madame Hebert. “Madame” katanya dengan suara pelan, “karena ibu kami sudah pergi, mungkin kita bisa mendiskusikan masalah menggoda suami?”

Alis Pippa terangkat, “Olivia!”

Olivia melambaikan tangan mengabaikan teguran itu dan melanjutkan, “Busana pengantin yang dipesan ibuku... semuanya pakaian tidur katun dan linen, kan?”

Bibir Madame Hebert berkedut mengulas senyum datar. “Saya harus mengambil nota pesanannya, tapi mengingat kegemaran sang marchioness, pasti tidak banyak yang ditujukan untuk menggoda.”

Olivia mengulas senyumnya yang paling manis dan cemerlang. Senyum yang dapat memenangi pria atau wanita mana pun. Senyum yang menjadikannya gadis Marbury favorit di seluruh penjuru Inggris. “Tapi mungkin kau bisa membantu?”

Oui. Kamar tidur adalah keahlian saya.”

Olivia mengangguk sekali. “Bagus. Kami sama-sama membutuhkan upaya terbaikmu dalam bidang itu.” Ia melambaikan sebelah tangan kepada Pippa. “Terutama Pippa.”

Itu membuat Pippa terhenyak. “Apa maksudnya?”

“Yah, sepertinya Castleton tipe pria yang membutuhkan tongkat penunjuk jalan.” Olivia menoleh kepada Madame Hebert, lalu menambahkan, “Tongkat penunjuk jalan bukan pilihan, kan?”

Wanita Prancis itu tertawa. “Saya akan memastikan mereka akan menemukan jalan sendiri.”

Tongkat penunjuk jalan. Pippa teringat kepada tangannya yang menyentuh tangan Castleton semalam. Bagaimana Castleton tersenyum kepadanya, dan ia tidak merasakan sedikit pun godaan. Tidak sedikit pun wawasan yang ia cari.

Mungkin dirinya yang membutuhkan tongkat penunjuk jalan.

Siapa yang tahu?

“Aku tidak khawatir,” ujar Olivia, wawasan yang melampaui usianya melintas di matanya, tangan yang dihiasi batu rubi menelusuri pinggiran gaunnya. “Tottenham bisa mencari jalan dengan mudah.” Pippa merasakan mulutnya menganga. Kata-kata itu menimbulkan gagasan tentang apa yang jauh lebih dari sekadar berciuman. Olivia melihatnya dan tertawa. “Kau tidak perlu kelihatan sekaget itu.”

“Kalian sudah...?” Pippa memelankan suaranya menjadi bisikan. “Lebih dari berciuman? Dengan lidah?”

Olivia tersenyum dan mengangguk. “Semalam. Tetap ada ciuman. Dan banyak penggunaan lidah. Di tempat-tempat yang menarik.” Pippa rasa mungkin matanya akan berputar dari kepalanya. “Kau tidak punya pengalaman yang sama, ya?”

Tidak.

“Bagaimana? Di mana?

“Yah,” ujar Olivia dengan datar, mengamati salah satu lengan berenda yang panjang. “Menurutku dengan cara yang biasa. Semenata tentang kapan dan di mananya, kau pasti terkejut kalau mengetahui betapa banyak akalnya seorang pria yang cerdas dan bersemangat itu.”

Olivia kecil. Marbury yang paling muda. Sudah tidak perawan.

Berarti Pippa menjadi satu-satunya Marbury yang masih... perawan.

Olivia memelankan suaranya, lalu menambahkan, “Demi kebaikanmu, aku harap Castleton segera menemukan akalnya. Itu pengalaman yang sangat hebat.”

Pippa menggelengkan kepala. “Kau...” Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.

Olivia memandang Pippa dengan terkejut. “Oh, Pippa. Sangat wajar kalau pasangan yang sudah bertunangan... bereksperimen. Semua orang melakukannya.”

Pippa menaikkan kacamata di hidungnya. “Semua orang?”

“Baiklah, rupanya tidak semua orang.”

Olivia berbalik menghadap Madame Hebert untuk membahas model gaunnya, atau potongan kainnya, atau sesuatu yang sama sekali tidak warasnya, tidak tahu-menahu tentang pemikiran-pemikiran yang berkecamuk di kepala Pippa.

Bereksperimen.

Kata itu terngiang di benaknya, pengingat akan pertemuannya dengan Cross. Tadinya ia berencana untuk mendapat sedikit pemahaman sebelum pernikahan, tahu bahwa paling-paling interaksinya dengan suaminya akan bersifat... elementer.

Tapi tidak pernah sekali pun ia membayangkan kalau Olivia akan... kalau Lord Tottenham dan Olivia akan... memiliki... memiliki wawasan akan satu sama lain. Dalam artian yang alkitabiah.

Castleton bahkan belum pernah mencoba menciumnya. Tidak setelah melakukan pendekatan selama dua tahun. Tidak setelah bertunangan resmi selama satu bulan. Bahkan tidak semalam, pada pesta dansa pertunangan mereka, setelah ia menyentuh pria itu. Castleton punya banyak kesamaan untuk membawanya pergi selagi mereka berdiri di salah satu sisi ruangan di tengah keheningan yang kaku.

Tapi Castleton tidak melakukannya.

Dan Pippa sama sekali tidak menganggap itu tak wajar.

Hingga sekarang.

Sekarang, ketika ia membutuhkan eksperimen lebih dari yang sudah-sudah.

Dan ia sudah kehilangan peluang untuk mendapatkannya karena taruhan. Kehilangan peluang sepenuhnya.

Aku tidak akan meminta pria lain membimbingku dengan risetku.

Taruhan itu terngiang di telinganya seolah ia mengucapkan kata-katanya keras-keras, di tempat dan pada saat itu juga. Ia sudah bertaruh dan kalah. Ia sudah berjanji. Tapi sekarang, selagi hati dan otaknya berlomba, ia mendapati dirinya menginginkan solusi. Bagaimanapun juga, tidak memiliki pengalaman yang ia inginkan pada malam pengantinnya boleh-boleh saja; tidak memiliki pengalaman yang ia harapkan... itu lain lagi.

Sebentar lagi ia akan menikah. Pippa menatap matanya sendiri di cermin. Ia kini mengenakan gaun pengantinnya.

Waktunya sangat sedikit. Riset harus dilakukan. Dengan atau tanpa pria itu.

Mungkin ia harus bertanya kepada Olivia.

Pandangan Pippa tertuju ke senyum merah muda adiknya yang sempurna –sarat akan wawasan yang belum pernah ia lihat sebelumnya tapi ia dapat kenali sekarang.

Ia harus bertindak. Secepatnya.

Dan setelah itu, solusinya jelas.

Ia harus ke The Angel.

Dengan kesadaran mendalam yang menyambarnya itu. Pippa memandangi Olivia, yang cantik dengan gaun pengantinnya sendiri, lalu mengumumkan, kata-katanya tidak sepenuhnya bohong. “Aku kurang sehat.”

Olivia langsung mengalihkan perhatiannya kepada Pippa lagi. “Apa maksudmu kau kurang sehat?”

Pippa menggelengkan kepala lalu meletakkan sebelah tangannya di perut. “Aku merasa... kurang sehat.” Ia memperhatikan gadis-gadis yang mengelilingi kakinya, yang sedang bekerja dengan giat, laksana semut yang menyerbu sebutir permen yang dibuang pada sebuah piknik.

“Tapi bagaimana dengan gaunmu?” Olivia menggelengkan kepala.

“Gaunku cantik. Dan baik-baik saja. Tapi aku harus menanggalkannya.” Gadis-gadis itu mengdongak secara bersaman. “Sekarang.”

Ada riset yang harus ia lakukan. Riset penting.

Pippa menoleh kepada Madame Hebert. “Aku tidak bisa tetap di sini. Aku harus pulang. Mengingat betapa kurang sehatnya aku.”

Wanita Prancis itu memperhatikan Pippa dengan cermat selama beberapa saat. “Tentu saja.”

Olivia tampak ngeri. “Yah, apa pun yang kau rasakan, aku tidak mau ketularan.”

Pippa turun dari panggung, bergegas ke sekat ganti pakaian. “Tidak. Tidak akan kubiarkan itu terjadi. Kau tidak boleh merasa...”

Madame Hebert menyelesaikan sisanya. “Kurang sehat?”

Menurut Pippa pengulangan kata itu akan terdengar ganjil. “Sakit,” ucapnya.

Hidung mancung Olivia dikerutkan. “Demi Tuhan, Pippa. Pulanglah. Tapi naik kereta kuda sewaan saja. Aku dan ibu akan membutuhkan kereta kuda kita untuk membawa semua barang ini.”

Pippa tidak menunggu untuk disuruh dua kali. “Ya. Kurasa aku akan melakukannya.”

Tentu saja, ia tidak akan pulang.

Alih-alih, ia mengganti busananya dengan gaun biasa, meyakinkan ibunya ia akan pulang dengan selamat, lalu meninggalkan toko pakaian, tujuannya sudah jelas dan pasti.

Menundukkan kepala, merapatkan mantel ke tubuhnya, Pippa melalui Bond Street dan melewati Piccadilly, di mana ia dan pelayannya memasuki kereta kuda sewaan bersama-sama dari salah satu sisi, lalu Pippa meluncur di bangku, menaikkan tudung mantelnya dan membisikkan permintaan untuk menjaga rahasia sebelum keluar, sendirian, dari pintu di sisi yang berlawanan.

Pippa menyelinap, tanpa terlihat, menyusuri sebuah gang sempit yang terbentang di belakang St. James’s dan menghitung bangunan-bangunannya dari belakang –satu, dua, tiga- sebelum berdiri di depan sebuah pintu baja tebal dan mengetuknya dengan kuat dan mantap.

Tidak ada yang membukakan.

Pippa meningkatkan usahanya. Menggedor pintu baja dengan telapak tangannya, menimbulkan kegaduhan.

Kalau ia tepergok...

Ada ratusan cara untuk menyelesaikan kalimat tersebut. Sebaiknya jangan dipikirkan.

Pippa mengetuk lagi, lebih kuat. Lebih cepat.

Kemudian, setelah waktu yang sangat lama, sebuah lubang tersembunyi dibuka di tengah pintu baja yang besar, dan mata hitam menatap matanya, kekesalan langsung digantikan oleh pengenalan dan kekagetan.

“Apa-apaan ini?” Suara itu diredam oleh baja.

“Aku Lady Philippa Marbury,” ia mengumumkan, tapi kata-katanya dikalahkan oleh suara lubang yang ditutup, beberapa kunci yang dibuka di balik pintu, dan gesekan baja dengan batu.

Pintu dibuka, memperlihatkan kepekaan luas yang menganga serta pria paling besar dan paling sangar yang pernah Pippa lihat, tinggi dan kekar dengan bekas luka di bibir dan hidung yang kelihatannya sudah pernah patah lebih dari sekali.

Secercah keraguan muncul di dalam diri Pippa sewaktu ia membuka mulut untuk bicara. “Aku...”

“Aku tahu kau siapa,” kata pria itu dengan singkat. “Masuklah.”

“Aku tidak...” Pippa memulai, lalu terdiam. “Siapa kau?”

Pria itu mengulurkan tangan, sesosok tangan besar meraih lengan Pippa lalu menariknya masuk ke klub. “Apa tidak terpikirkan olehmu kalau seseorang bisa saja melihatmu kalau seseorang bisa saja melihatmu di luar sana?” kata pria itu, menjulurkan kepalanya ke nalik pintu dan melihat ke satu arah, kemudian ke arah yang satu lagi, lalu menutup pintu, memutar kunci lalau berbalik memunggungi Pippa, menyibakkan tirai lainnya dan memasuki lorong yang indah sebelum berteriak, “Untuk apa kita membayar penjaga pintu? Mengapa tidak ada yang menjaga pintu terkutuk itu?”

Pippa berteriak dari tempatnya berdiri di jalan masuk. “Sepertinya tidak ada seorang pun yang menjaga sebagian besar pintu kalian pada jam seperti ini.”

Pria besar itu berbalik dan menghadap Pippa lagi, matanya memancarkan sorot penasaran. “Dari mana kau tahu?”

“Aku sudah pernah ke sini sebelumnya,” tukas Pippa.

Pria itu menggelengkan kepala, tersenyum datar. “Apa Bourne tahu kalau Penelope memberi adik-adiknya tur?”

“Oh, kau salah paham. Aku datang ke sini bukan karena Penelope. Aku datang ke sini karena Mr. Cross.”

Kata-kata itu membuat si pria besar tertegun. “Cross,” katanya, dan Pippa mendengar perbedaan pada nada suaranya. Ketidakpercayaan. Mungkin sesuatu yang lain.

Pippa mengangguk. “Benar.”

Alis hitam pria itu terangkat. “Cross,” ulangnya. “Dan kau.”

Dahi Pippa dikerutkan. “Yah, aku tidak sering ke sini, tapi aku punya alasan kuat untuk menemuinya beberapa hari yang lalu.”

“Oh, begitu.”

Itu bukan pertanyaan, tapi Pippa tetap menjawab. “Ya.” Ia bimbang, lalu menambahkan, “Walaupun sebaiknya kau tidak memberitahunya kalau aku datang hari ini.”

Sorot mata pria itu berubah menjadi penuh pengertian. “Oh, begitu.”

Terlalu pengertian.

Pippa mengulurkan tangannya. “Sepertinya kau sudah mengenalku, Sir. Tapi aku belum mengenalmu.”

Pria itu berlama-lama memandangi tangan yang Pippa ulurkan sebelum membalas tatapannya lagi, seolah memberinya kesempatan untuk berubah pikiran. “Aku Temple.”

Duke of Lamont.

Si pembunuh.

Pippa melangkah mundur, di luar kehendaknya tangannya sudah diturunkan karena pemikiran tersebut sebelum ia bisa menghentikannya. “Oh.”

Bibir Temple berkedut mengulas senyum datar. “Sekarang kau berharap kau tidak pernah datang ke sini.”

Otak Pippa berputar. Temple tidak akan menyakitinya. Temple mitra Bourne. Juga mitra Cross. Ini tengah hari bolong. Orang tidak dibunuh di Mayfar pada tengah hari bolong.

Dan terlepas dari semua yang pernah ia dengar tentang pria sangar dan berbahaya ini, tidak ada satu pun bukti yang menegaskan kalau Temple memang melakukan apa yang kabarnya pria itu lakukan.

Pippa mengulurkan tangannya lagi. “aku Philippa Marbury.”

Salah satu alis hitam dilengkungkan, tapi Temple meraih tangan Pippa dengan mantap. “Gadis pemberani.”

“Tidak ada bukti yang menegaskan bahwa kau memang seperti apa yang mereka katakan.”

“Gosip sudah cukup memberatkan.”

Pippa menggelengkan kepala. “Aku seorang ilmuwan. Hipotesis tidak berati tanpa bukti.”

Salah satu ujung bibir Temple berkedut. “Andai saja seluruh rakyat Inggris secermat itu.” Ia melepaskan tangan Pippa lalau memegangi tirai, mempersilahkan Pippa masuk ke lorong, yang didekorasi secara mewah dengan pelapis dinding dari sutra dan beludru yang membuat Pippa tidak dapat menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan dan menyentuhnya.

“Bourne tidak ada di sini,” kata Temple.

Pippa tersenyum. “Aku tahu. Dia di Surrey bersama kakakku. Aku ke sini bukan untuk menemuinya.”

Langkah panjang Temple terhenti, dan selama sesaat Pippa mengagumi bagaimana pria sebesar itu –pria yang jelas sudah tidak asing lagi dengan kekerasan dan brutalitas– bisa bergerak dengan keanggunan seperti itu, memindahkan berat badannya untuk menghentikan gerakannya ke depan.

Kemudian Temple bergerak lagi, seolah ia tidak pernah berhenti. “Juga bukan untuk Cross?”

“Betul. Dia tidak menyukai keberadaanku.”

Kata-kata itu sudah terucap sebelum Pippa bisa menghentikannya, tan Temple menatap matanya. “Dia bilang begitu?”

Pippa mengangkat bahu, menaikkan kacamatanya. “Tidak dengan kata-kata, tapi dia menegaskan bahwa dia tidak tertarik untuk membimbingku dengan proyekku, maka...”

“Proyek apa?” desak Temple.

Maksiat untukku. Pippa tahu ia tidak dapat mengatakannya.

“Sebuah riset yang kuharap dapat memperoleh... bantuannya.”

Temple tersenyum kepada Pippa. “Dan bagaimana denganku? Aku bisa membantumu.”

Pippa mempertimbangkan tawaran tersebut selama beberapa saat. Tidak diragukan lagi, pria ini bisa menjawab semua pertanyaannya. Bahkan yang lebih lagi.

Tapi Temple bukan Cross.

Pippa meredam pemikiran tersebut dan keresahan yang menyertainya, memusatkan perhatian kepada sang duke yang sudah berbalik menghadapnya, dengan sambil lalu membuka salah satu dari sejumlah pintu tertutup yang seolah tak berujung lalu bergeser agar Pippa bisa masuk ke sebuah ruangan yang besar, di tengahnya terdapat dua meja, yang diselimuti oleh kain wol hijau.

“Tidak, terima kasih. Aku sudah berjanji kepada Mr. Cross aku tidak akan...” Pippa terdiam.

“Tidak akan apa?” desak Temple.

“Tidak akan meminta bantuan pria lain.”

Mata Temple membelalak sejenak. “Kedengarannya ini riset yang menarik.”

Pippa mengabaikan kata-kata itu, berbalik menghadap Temple, tangannya digenggam erat-erat sementara Temple menutup pintu di belakang mereka lalu mengantongi kuncinya. “Tapi dia tidak bilang apa-apa tentang wanita.”

Temple menegang. “Apa?”

Pippa menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin bertemu dengan salah seorang wanitamu.”

“Wanitaku?”

Pippa melambaikan sebelah tangan di udara dengan sambil lalu. “Wanita kalian.” Waktu Temple tidak merespons, ia melontarkan klarifikasinya, “Pelacur kalian.”

Temple terdiam selama beberapa saat, dan Pippa bertanya-tanya apa mungkin, ia belum bicara.

Kemudian Temple tertawa, keras dan menggelegar.

Dan Pippa bertanya-tanya apakah ia sudah membuat sebuah kesalahan besar.


Synopsis



Tidak ada komentar:

Posting Komentar