Rabu, 08 Agustus 2018

One Good Earl Deserves a Lover 5


Penyelidikan mengungkapkan bahwa lidah manusia bukan terdiri atas satu otot, melainkan delapan otot yang unik, separuhnya terhubung dengan tulang –otot glossus- dan separuhnya terpaut dengan bentuk serta fungsi dari organ yang lebih besar.

Meskipun riset tambahan ini sudah memberi banyak pencerahan kepada topik anatomi manusia yang sebelumnya tidak kuketahui, aku masih tidak memahami peran dari otot yang bersangkutan dalam aktivitas yang tidak berkaitan dengan makan dan bicara.

Mungkin aku harus meminta Olivia untuk menjelaskan. Solusinya tidak ideal.

Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
24 Maret 1831; dua belas hari sebelum pernikahannya


“Aku mau dia dihukum.”


Cross memperhatikan Temple membungkukkan badan di atas meja biliar yang terletak di tengah suite pemilik The Fallen Angel lalu membidik dengan jitu, bola putih membentur saudaranya yang berwarna merah lalu memantul di pinggir meja dan membentur bola ketiga.

“Apa kau yakin? Pembalasan bukan kemahiranmu. Apalagi dengan Knight.” Bourne melangkah meju lalu memperhatikan arena bermain. “Terkutuklah keberuntunganmu, Temple.”

“Aku suka biliar,” sahut Temple. “Hanya dalam permainan ini aku punya peluang untuk mengalahkan kalian berdua.” Ia melangkah mundur lalu menyandarkan salah satu sisi pinggulnya ke sebuah kursi di dekat situ, kembali mengalihkan perhatian kepada Cross. “Ada banyak cara untuk menghabisinya.”

“Kau memang jagonya dalam memberi saran untuk membunuh,” komentar Bourne, mengambil giliran membidik, melewatkan bola kedua, lalu melontarkan sumpah serapah.

“Itu cepat. Dan final.” Temple mengangkat salah satu bahunya yang kekar.

“Kalau seseorang di luar ruangan ini mendengarmu mengatakannya, mereka pasti memercayai cerita-cerita tentang dirimu,” tukas Cross.

“Mereka sudah memercayai cerita-cerita tentang diriku. Baiklah, tidak ada bunuh-membunuh. Mengapa tidak kau bayar saja utangnya?”

“Itu bukan pilihan.”

“Mungkin memang tidak layak dijadikan pilihan. Dumblade hanya akan berutang lebih banyak dan kita akan kembali ke titik di mana kita memulai dalam waktu sebulan.” Bourne berbalik menghadap bufet, di mana Chase menyimpan scoth terbaik di klub. “Minum?”

Cross menggelengkan kepala.

“Lantas apa?” tanya Temple.

“Dia mau putrinya menikah.”

“Denganmu?”

Cross tidak menjawab.

Temple bersiul panjang dan pelan. “Brilian.”

Pandangan Cross tertuju ke mata Temple. “Menikah denganku sama sekali tidak mendekati brilian.”

“Mengapa tidak?” sela Bourne. “Kau seorang earl. Sekaya Croesus, dan... bahkan lebih baik lagi... punya bisnis besar. Kerajaan di klub judi.”

“Kalau begitu, salah seorang dari kalian saja yang menikahinya.”

Temple menyeringai, menerima segelas scoth dari Bourne. “Kita sama-sama tahu Digger Knight tidak akan mengizinkanku dekat-dekat dengan putrinya. Harus kau, Cross. Bourne sudah menikah, reputasiku sudah rusak selamanya, sedangkan Chase... yah... Chase. Tambahkan fakta bahwa kau adalah satu-satunya dari kita yang dia hormati, dan kau menjadi pilihan yang sempurna.”

Cross sama sekali bukan pilihan yang sempurna. “Dia keliru menilaiku.”

“Dia bukan yang pertama,” komentar Bourne. “Tapi harus kuakui bahwa kalau adikku berada dalam genggamannya, aku akan mempertimbangkan perintahnya. Digger Knight itu keji. Dia akan mendapatkan apa pun yang dia inginkan dengan car apa pun yang bisa dia lakukan.”

Cross memalingkan wajahnya begitu mendengar kata-kata itu, mengabaikan hunjaman rasa bersalah yang menyertainya. Bagaimanapun juga, adik ipar Bourne berada dalam genggaman Digger Knight, ditarik ke samping Digger sementara pria itu membisikkan entah apa di telinganya. Membayangkannya membuat Cross gusar.

Adik Bourne. Kemudian adiknya sendiri.

Cross meletakkan tongkatnya lalu melintasi ruangan yang gelap hingga ia sampai di dinding seberang, di mana mozaik kaca berhias menghadap ke arena utama kasino. Jendela itu merupakan hiasan yang paling menonjol di The Fallen Angel; jendela tersebut menggambarkan kejatuhan Lucifer dengan detail yang indah –malaikat pirang yang agung itu terjatuh dari Surga ke arena klub, enam kali lebih besar daripada pria rata-rata, sayap yang tidak berfungsi terentang di belakangnya, rantai melilit salah satu pergelangan kakinya, mahkota bepermata yang gemerlapan digenggam oleh tangannya yang besar.

Jendela itu merupakan peringatan untuk pria-pria yang ada di bawah –pengingat akan tempat mereka, akan betapa dekatnya mereka dengan kejatuhan mereka sendiri. Jendela itu merupakan manifestasi dari godaan dosa dan megahnya maksiat.

Tapi bagi para pemilik The Fallen Angel, jendela itu lain lagi.

Jendela itu merupakan bukti bahwa mereka yang dibuang bisa menjadi penguasa dengan cara mereka sendiri, dengan kekuasaan yang menyaingi kekuasaan orang-orang yang dulunya mereka layani.

Cross sudah menghabiskan enam tahun terakhir dalam hidupnya dengan membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar pemuda serampangan yang diasingkan dari dunia bangsawan, bahwa ia lebih dari gelarnya. Lebih dari ketetapan-ketetapan yang mengikatnya sejak lahir. Lebih dari ketetapan-ketetapan yang mengikatnya karena kematian kakaknya. Lebih dari apa yang menyusul sesudahnya.

Dan terkutuklah ia jika membiarkan Digger Knight membangkitkan pemuda itu.

Tidak setelah ia bekerja sangat keras.

Tidak setelah ia mengorbankan begitu banyak hal.

Pangangan Cross tertuju ke pria-pria yang ada di arena klub. Sekelompok ada di meja permaianan dadu, beberapa sedang bermain ecarte. Roda rolet berputar membaurkan warna, harta diletakkan di atas arena taruhan. Ia berada terlalu jauh untuk melihat di mana bola jatuh atau mendengar teriakan bandar, tapi ia melihat kekecewaan di wajah para pria yang ada di meja sewaktu mereka merasakan sengatan kekalahan. Ia juga melihat bagaimana herapan melambung, membawa mereka ke dalam godaan, mendorong mereka untuk memasang taruhan pada angka yang baru... atau mungkin angka yang sama... karena sudah jelas keberuntungan milik mereka malam ini.

Mereka tidak tahu saja.

Cross memperhatikan suatu putaran vingt-et-un yang berlangsung tepat di bawah, kartu-kartunya cukup dekat untuk dilihat. Delapan, tiga, sepuluh, lima. Ratu, dua, enam, enam.

Jumlahnya tinggi.

Bandar membagikan kartu berikutnya.

Raja. Lebih.

Jack. Lebih.

Tidak ada yang namanya keberuntungan.

Keputusan sudah diambil, Cross kembali berbalik menghadap mitra-mitranya. “Tidak akan kubiarkan dia menghancurkan adikku.”

Bourne mengangguk sekali, mengerti. “Dan kau tidak mengizinkan Temple membunuhnya. Lantas...apa? Menikahi putrinya?”

Cross menggelengkan kepala. “Dia mengancam milikku... kuancam miliknya.”

Alis Temple terangkat. “Gadis itu?”

“Dia sama sekali tidak peduli dengan gadis itu,” ujar Cross. “Maksudku klubnya.”

Bourne menopangkan sebelah tangan di ujung tongkatnya. “Knight’s.” Ia menggelengkan kepala. “Kau tidak akan bisa meyakinkan anggotanya untuk meninggalkannya. Tidak tanpa mengundang mereka untuk bergabung dengan kita.”

“Dan itu tidak akan terjadi,” kata Temple.

“Mereka tidak perlu meninggalkannya selamanya,” ujar Cross, sudah beberapa langkah lebih maju. “Mereka hanya perlu meninggalkannya selama satu malam. Aku harus membuktikan kalau kerajaannya ada hanya karena kemurahan hati kita. Bahwa kalau mau, kita bisa menghancurkannya.” Ia kembali berbalik menghadap arena klub. “Putrinya datang enam hari lagi. Aku butuh kartu truf sebelum saat itu tiba.”

Aku butuh kendali.

“Enam hari?” ulang Temple, tersenyum lebar sewaktu Cross mengangguk. “Enam hari lagi berarti dua puluh sembilan Maret.”

Bourne bersiul. “Itu dia kartu trufnya.”

“Pandemonium.” Kata itu menggantung di ruangan yang gelap, solusi yang tidak bisa lebih baik lagi bahkan jika iblis merancangnya sendiri sekalipun.

Pandemonium –diselenggarakan setiap tahun pada tanggal dua puluh sembilan Maret- adalah satu malam saat The Angel membuka pintunya bagi nonanggota. Undangannya memberi akses ke arena kasino sejak matahari terbenam sampai matahari terbit. Dengan undangan tersebut, seorang pria bisa bersenang-senang dalam dosa dan maksiat, serta merasakan dunia rahasia dan legendaris yang bernama The Fallen Angel.

Setiap anggota klub menerima tiga undangan Pandemonium –kartu persegi kecil yang sangat diidam-idamkan hingga bernilai ribuan pound bagi para pria yang sangat ingin bergabung dengan klub. Sangat ingin membuktikan nilai mereka kepada para pemilik The Angel. Yakin bahwa kalau bertaruh cukup banyak, mereka bisa pulang dengan keanggotaan permanen.

Mereka jarang berhasil.

Kerap kali, mereka pulang dengan kantong yang lebih ringan ribuan pound dan cerita untuk dibanggakan kepada teman-teman mereka yang tidak terlalu beruntung untuk menerima undangan.

Cross menatap mata Temple. “Semua pria yang bertaruh secara rutin di Knight’s sangat menginginkan akses ke The Angel.”

Bourne mengangguk sekali. “Itu rencana yang bagus. Semalam tanpa penjudi-penjudi terbesarnya akan membuktikan bahwa kita bisa merebut mereka kapan pun kita mau.”

“Ada berapa jumlahnya... tiga puluh?”

“Mungkin lima puluh,” kata Bourne.

Cross kembali mengalihkan perhatiannya ke arena klub, otaknya berputar menyusun rencana, untuk bertindak. Ia akan menyelamatkan keluarganya.

Kali ini.

“Kau butuh orang dalam untuk bisa mengenali pria-pria itu.”

“Aku sudah punya,” tukas Cross, memperhatikan pertaruhan di bawah.

“Tentu saja,” ujar Temple, kekaguman terdengar pada nada suaranya. “Wanita-wanitamu.”

“Mereka bukan milikku,” Cross memastikan. Tidak ada seorang pun dari mereka yang pernah hampir menjadi miliknya.

“Itu tidak penting,” cetus Bourne. “Mereka memujamu.”

“Mereka memuja apa yang bisa kulakukan untuk mereka.”

Nada suara Temple menjadi datar. “Aku yakin itu.”

“Bagaimana dengan adikmu?’ tanya Bourne “Ancaman ini hanya bisa berhasil kalau adikmu menjauh dari Digger Knight. Dunblade juga.”

Cross memperhatikan pria-pria di bawah, dengan sambil lalu menghitung taruhan mereka –berapa banyak yang biasa mereka pertaruhkan, berapa banyak yang diperoleh The Angel begitu mereka kalah. Berapa banyak yang dipertaruhkan kalau mereka menang. “Aku akan bicara dengan adikku.”

Terjadi keheningan panjang yang tidak disalahartikan oleh Cross. Gagasan bahwa ia ingin bicara dengan adiknya –dengan anggota keluarganya yang mana saja –merupakan suatu kejutan. Tidak menghiraukan kekagetan mitra-mitranya, Cross berbalik lalu menatap mata Bourne. “Mengapa anggota yang datang ke sini malam ini sedikit sekali?”

“Pesta dansa pertunangan Marbury,” sahut Bourne, kata-katanya ditekankan oleh suara benturan dadu dengan dadu. “Setahuku ibu mertuaku sudah mengundang semua bangsawan. Aku kaget kalian berdua tidak menerima undangan.”

Temple tertawa. “Lady Needham bisa pingsan kalau aku mendatangi ambang pintu rumahnya.”

“Yah, agaknya Lady Needham memang lebih sering pingan daripada sebagian besar orang.”

Pesta dansa pertunangan Marbury. Pesta dansa pertunangan Pippa Marbury.

Rasa bersalah kembali bangkit. Mungkin sebaiknya Cross memberitahukan semuanya kepada Bourne.

Jangan beritahu Bourne, kumohon. Permintaan sang lady terngiang di benak Cross, dan ia mengertakkan gigi. “Lady Philippa tetap bertunangan dengan Castleton?” tanya Cross, merasa seperti orang idiot, yakin Bourne akan melihat makna di balik pertanyaan itu, mengenali rasa penasarannya. Mempertanyakannya.

“Dia sudah diberi banyak kesempatan untuk mengakhiri pertunangannya,” ujar Bourne. “Gadis itu terlalu cerdas, dia akan bosan dengan Castleton dalam waktu dua minggu.”

Kurang dari itu.

“Kau harus membatalkannya. Bahkan, Needham harus membatalkannya,” kata Cross. Tuhan pun tahu Marquess of Needham dan Dolby pernah membatalkan pertunangan sebelumnya. Ia nyaris menghancurkan peluang kelima putrinya untuk mendapatkan pernikahan yang layak dengan membatalkan sebuah pertunangan legendaris bertahun-tahun silam.

“Itu salahku. Sial. Seharusnya aku mengakhirinya sebelum pertunangan itu dimulai,” kata Bourne dengan getir, terdengar penyesalan mendalam pada kata-katanya. “Aku sudah memintanya untuk mengakhirinya... Penelope juga. Kami berdua sudah memberitahunya kalau kami akan melindunginya. Bahkan, aku akan mencarikan suami yang pantas malam ini kalau menurutku itu bisa membantu. Tapi, Pippa tidak mau pertunangannya dibatalkan.”

Aku akan melakukannya karena aku sudah bersedia, dan aku tidak mau mengingkari kata-kataku. Cross mendengar kata-kata itu, melihat mata biru Pippa yang serius selagi gadis itu membela pilihannya untuk menikah dengan Castleton –seorang pria yang tingkat kecerdasannya berada jauh di bawah Pippa, mustahil rasanya memercayai kalau pernikahan yang akan segera diselenggarakan itu bukan pertunjukan lawak.

Akan tetapi, sang lady sudah berjanji, dan ia berniat untuk menepatinya.

Dan itu saja sudah menjadikan Pippa luar biasa.

Tidak tahu-menahu tentang pemikiran Cross, Bourne menegakkan badan lalu merapikan lengan jasnya sambil mengumpat kasar. “Sekarang sudah terlambat. Dia ada di pesta dansa pertunangannya di hadapan seluruh bangsawan selagi kita bicara. Aku harus pergi. Penelope akan memenggal kepalaku kalau aku tidak muncul.”

“Istrimu sudah mengendalikanmu,” tukas Temple dengan datarbola biliar berbenturan selagi ia bicara.

Bourne tidak terpancing oleh umpatan itu. “Memang. Dan suatu hari kelak, kalau beruntung, kau akan merasakan kebahagiaan yang sama denganku karenanya.” Ia berbalik untuk pergi, menuju ke kehidupannya yang satu lagi –seorang bangsawean yang baru kembali.

Cross menghentikannya. “Sebagian besar bangsawan ada di sana?”

Bourne membalikkan badan lagi. “Apa ada orang tertentu yang kau cari?”

“Dunblade.”

Pemahaman melintas di mata coklat Bourne. “Kurasa dia akan hadir. Bersama baroness-nya.”

“Mungkin aku akan berkunjung ke Dolby House.”

Bourne mengangkat sebelah alisnya. “Aku memang senang beraksi di bawah pengawasan ayah mertuaku.”

Cross mengangguk.

Sudah waktunya ia menemui adiknya. Tujuh tahun sudah terlalu lama.


Separuh penduduk London ada di ruang dansa di bawah.

Pippa mengintip ke bawah dari tempat persembunyiannya di barisan pilar atas dari ruang danca Dolby House, merapat ke salah satu pilar pualam besar, mengelus-elus kepala anjing spanilnya, Trotula, sembari memperhatikan sutra dan satin yang mengibas berdansa waltz di atas lantai mahoni. Ia menyibakkan tirai beludru yang tebal, melihat ibunya menyambut barisan tamu yang tak berujung pada acara ini –yang mungkin merupakan prestasi terbaik Marchioness of Needham dan Dolby.

Toh, tidak setiap hari ibu lima orang putri mendapat kesempatan untuk mengumumkan pernikahan anaknya yang terakhir. Dua orang anaknya yang terakhir. Sang marchioness lemas saking girangnya.

Sayangnya, tidak cukup lemas untuk melewatkan pesta dansa pertunangan ganda yang cukup mewah hingga bisa menampung sebuah pasukan. “Hanya beberapa orang teman dekat,” kata Lady Neddham minggu lalu, waktu Pippa menanyakan banyaknya surat balasan yang menumpuk tinggi di atas sebuah nampan perak pada suatu siang, mengancam akan roboh dari nampan dan menimpa bot hitam mengilat si pelayan lelaki.

Teman dekat. Pippa mengingat dengan muram, pandangannya memperhatikan keramaian. Ia berani bersumpah ia bahkan belum pernah bertemu dengan orang yang lebih banyak lagi dari mereka yang ada di ruangan bawah.

Bukannya ia tidak memahami semangat ibunya. Bagaimanapun juga, hari ini –saat kelima gadis Marbury sudah mendapatkan pasangan secara resmi dan diketahui oleh umum –sudah lama dinantikan, dan sempat diragukan. Tapi akhirnya, akhirnya sang marchioness mendapatkan apa yang ia inginkan.

Pernikahan memang diciptakan untuk para ibu, kan?

Atau, kalau bukan pernikahan, setidaknya pesta dansa pertunangannya.

Apalagi kalau pesta dansa pertunangannya ditujukan untuk merayakan dua orang putri.

Pandangan Pippa dialihkan dari wajah merona dan gerak-gerik ibunya ke putri bungsu Marbury, yang mengumpulkan tamunya sendiri di seberang ruang dansa, dikerumini oleh para pemberi selamat, tersenyum lebar, tangannya yang bepermata diletakkan di lengan tunangannya yang tinggi dan tampan.

Olivia merupakan yang paling cantik dan yang paling bersemangat dari mereka berlima, sepertinya ia mendapatkan bagian-bagian terbaik dari anggota keluarga lainnya. Apa Olivia hanya mementingkan dirinya sendiri dan sangat percaya diri? Jelas. Tapi sulit rasanya mengkritik karakter-karakter tersebut, karena belum pernah sekali pun Olivia bertemu dengan orang yang tidak bisa ia menangi.

Termasuk pria yang diprediksikan akan segera menjadi salah seorang pria yang paling berkuasa di Inggris, karena kalau ada dua hal yang dibutuhkan oleh istri seorang politisi, itu adalah senyum ceria dan hasrat untuk menang –hal-hal yang Olivia miliki sepenuhnya.

Bahkan, seisi London asyik membahas berita pernikahan yang akan segera pasangan itu selenggarakan, Pippa rasa tidak ada seorang pun di bawah yang akan menyadari kalau ia menghilang.

“Sudah kuduga akan menemukanmu di sini.”

Pippa menurunkan tirai lalu berbalik menghadap kakak sulungnya, yang baru saja menjadi Marchioness of Bourne. “Seharusnya kau ada di pesta dansa, kan?”

Penelope membungkukkan badan untuk memberi perhatian kepada Trotula, tersenyum waktu anjing itu menggeram dan merapat kepada belaiannya. “Aku bisa mengajukan pertanyaan serupa kepadamu. Bagaimanapun juga, setelah aku menikah, Ibu jauh lebih tertarik kepadamu ketimbang aku.”

“Ibu tidak tahu apa yang dia lewatkan,” sahut Pippa. “Kau yang menikah dengan bajingan legendaris.”

Penelope tersenyum lebar. “Begitu, ya?”

Pippa tertawa. “Sangat bangga akan dirimu sendiri.” Ia kembali berbalik menghadap pesta dansa, mengamati keramaian di bawah. “Di mana Bourne? Aku tidak melihatnya.”

“Sesuatu membuatnya tertahan di klub.”

Klub.

Kata itu menggema di benak Pippa, pengingat akan kejadian dua hari yang lalu. Akan Cross.

Cross, yang pasti sama asingnya di dunia  di bawah seperti yang ia rasakan. Cross, dengan siapa dia bertaruh. Kepada siapa dia kalah.

Pippa berdeham, dan Penelope menyalahartikan suaranya. “Dia berjanji dia akan datang,” Penelope membela suaminya. “Terlambat, tapi datang.”

“Apa yang terjadi di klub pada jam selarut ini?” Pippa tidak dapat menahan diri agar tidak bertanya.

“Aku... tidak tahu.”

Pippa tersenyum lebar. “Pembohong. Kalau keraguanmu tidak membongkar kebohonganmu, wajahmu yang merah pasti melakukannya.”

Ekspresi menyesal menggantikan ekspresi malu. “Wanita baik-baik tidak boleh mengetahui hal-hal semacam itu.”

Pippa mengerjap. “Omong kosong. Wanita baik-baik yang menikah dengan pemilik kasino kemungkinan mengetahui hal-hal semacam itu.”

Alis Penelope diangkat. “Ibu kita pasti tidak sependapat.”

“Ibu kita bukan barometer tentang bagaimana wanita harus dan tidak boleh berprilaku. Dia nyaris pingsan setiap tiga puluh menit.” Pippa kembali menyibakkan tirai untuk melihat sang marchioness yang berdiri jauh di bawah, asyik bercakap-cakap dengan lady Beaufetheringstone –salah seorang biang gosip terheboh di dunia bangsawan. Seolah mendapat isyarat, Lady Needham mengeluarkan pekikan penuh semangat yang terdengar sampai ke kasau.

Pippa memandang Peneloppe dengan penuh pemahaman. “Nah, beritahu aku apa yang terjadi di klub.”

“Perjudian.”

“Aku tahu, Penny. Apa lagi.”

Penelope memelankan suaranya. “Ada wanita.”

Alis Pippa terangkat. “Pelacur?” Ia sudah menduga. Toh, dalam sebuah buku yang penah ia baca, ia mendapati bahwa pria menyukai keberadaan wanita –yang bukan merupakan istri mereka.

“Pippa!” Penny terdengar gusar.

“Apa?”

“Seharusnya kau bahkan tidak mengetahui kata itu.”

“Mengapa tidak? Kata itu ada di Alkitab.”

“Tidak.”

Pippa memikirkannya selama beberapa saat sebelum bersandar ke pilar. “Menurutku ada. Kalau tidak, seharusnya ada. Profesi itu bukan profesi baru.”

Pippa tertegun.

Pelacur pasti memiliki banyak pengetahuan dasar yang dapat meredakan kecemasannya. Menjawab pertanyaannya.

Apa kau sudah bertanya kepada kakak-kakakmu? Gema dari kata-kata Cross kemarin siang membuat Pippa menoleh kepada kakak sulungnya. Bagaimana kalau ia benar-benar bertanya kepada Penny?”

“Boleh aku bertanya sesuatu?”

Penelope mengangkat sebelah alisnya. “Aku tidak yakin aku bisa mencegahmu.”

“Aku mencemaskan beberapa... masalah tertentu. Dari pernikahan.”

Sorot mata Penelope menjadi tajam. “Masalah tertentu?”

Pippa melambaikan sebelah tangannya di udara. “Bagian-bagian... pribadinya.”

Wajah Penelope memerah. “Ah.”

 “Olivia bercerita tentang lidah kepadaku.”

Putri sulung Marbury mengangkat alisnya. “Apa yang dia tahu tentang lidah?”

“Lebih dari yang kurasa kita berdua bayangkan,” jawab Pippa, “tapi aku tidak bisa memintanya menjelaskan... aku tidak suka belajar dari adik bungsuku. Kau, sebaliknya...”

Terjadi keheningan selagi kata-kata itu dicerna, dan mata Penelope membelalak. “Tidak mungkin kau memintaku mengajarimu!”

“Hanya untuk beberapa masalah,” kata Pippa dengan nada mendesak.

“Misalnya?”

“Yah, lidah, misalnya.”

Penelope menutupi telinganya dengan tangan. “Jangan bicara lagi! Aku tidak mau membayangkan Olivia dan Tottenham melakukan...” Ia terdiam.

Pippa ingin mengguncangnya. “Melakukan apa?”

“Melakukan apa saja!”

“Apa kau tidak mengerti? Bagaimana mungkin aku siap menghadapi semua ini kalau aku tidak memahaminya? Sapi jantan di Coldharbour tidak cukup!”

Penelope tertawa singkat. “Sapi jantan di Coldharbour?”

Wajah Pippa memerah. “Aku pernah melihat...”

“Kau pikir seperti itu?”

“Yah, aku tidak akan berpikir begitu kalau seseorang mau memberitahuku... maksudku, apa punya pria... apa...” Pippa melambaikan sebelah tangan ke arah yang spesifik. “apa ukurannya sangat besar?”

Penelope menutupi mulut dengan sebelah tangan untuk meredam tawa, dan Pippa mendapati dirinya merasa semakin kesal. “Aku senang aku bisa membuatmu tertawa.”

Penelope menggelengkan kepala. “Aku...” Ia cekikikan lagi, dan Pippa menatapnya dengan tajam. “Maafkan aku! Hanya saja... tidak. Tidak. Punya mereka tidak mirip dengan punya sapi jantan di Coldharbour.” Terjadi keheningan sejenak. “Dan puji Tuhan untuk itu.”

“Apa itu... menakutkan?”

Lalu setelah itu, mata Penelope menerawang dan sarat akan sentimentalitas. “Sama sekali tidak,” bisiknya dengan sangat manis, dan walaupun jawaban jujur itu menenangkan, Pippa tetap meredam keinginan untuk memutar bola matanya.

“Pikiranmu melayang ke mana-mana.”

Penelope tersenyum. “Kau penasaran, Pippa. Aku mengerti. Tapi semuanya akan jelas nanti.”

Pippa tidak suka membayangkan dirinya mengandalkan janji kejelasan. Ia menginginkannya sekarang.

Terkutuklah Cross dan taruhan idiot itu.

Terkutuklah ia karena menyanggupinya.

Penelope masih bicara, suaranya sangat lembut dan manis. “Dan kau beruntung, kau akan mendapati...” Ia mendesah. “Yah, kau akan sangat menikmatinya, kuharap begitu.” Ia menggelngkan kepala, tersadar dari lamunannya, lalu tertawa lagi. “Berhentilah memikirkan sapi jantan.”

Pippa merengut. “Mana kutahu?”

“Kau punya perpustakaan yang dipenuhi buku-buku anatomi!” bisik Penelope.

“Yah, aku mempertanyakan skala dari ilustrasi dalam beberapa buku itu!” Pippa balas berbisik.

Penelope sudah mau menyampaikan sesuatu lalu mengurungkan niatnya, mengubah taktik. “Percakapan denganmu selalu berubah ke arah jalur-jalur yang sangat aneh. Jalur-jalur berbahaya. Sebaiknya kita turun.”

Saudarinya memang tidak berguna, pikir Pippa. Lebih baik ia bicara dengan seorang pelacur.

Pelacur.

Pippa memperbaiki posisi kacamatanya. “Kembali ke wanita-wanita itu, Penny. Apa mereka pelacur?”

Penelope menghela napas lalu mengarahkan pandangannya ke langit-langit. “Tidak bisa dibilang begitu.”

“Jangan berkelit,” tukasPippa.

“Yah, cukup kalau kukatakan mereka datang bersama pria terhormat, tapi yang pasti mereka bukan wanita terhormat.”


Menganggumkan.

Pippa bertanya-tanya apakah Cross berhubungan dengan wanita-wanita seperti itu. Pippa bertanya-tanya apakah mereka berbaring bersama Cross di alas tidur kecil yang terdapat di dalam kantornya yang berantakan dan aneh. Karena gagasan tersebut, sesuatu yang berat dan menyesakkan muncul di dada Pippa. Ia mencerna perasaan itu, tapi bukan rasa mual, bukan perasaan tidak bisa bernapas.

Tidak terlalu menyenangkan.

Sebelum Pippa menelaah sensasi itu lebih jauh, Penelope sudah melanjutkan, “Bagaimanapun juga, apa pun yang terjadi di klub malam ini, yang pasti Bourne tidak berhubungan dengan pelacur.”

Pippa tidak bisa membayangkan Bourne melakukan perbuatan semacam itu. Bahkan, ia tidak bisa membayangkan Bourne melakukan sesuatu selain memanjakan Penelope akhir-akhir ini. Hubungan mereka aneh –salah satu dari segelintir pernikahan yang dibangun karena lebih dari sekadar alasan serasi.

Bahkan, orang-orang yang sangat rasional pasti sependapat kalau tidak ada satu hal pun dari Penelope dan Bourne yang serasi.

Namun entah bagaimana, mereka mewujudkannya.

Keanehan lainnya.

Beberapa orang menyebutnya cinta, itu pasti. Dan mungkin itu benar, tapi Pippa tidak pernah terlalu percaya kepada gagasan tersebut –karena sangat sedikitnya pernikahan yang dilandaskan kepada cinta dalam dunia bangsawan, pernikahan jenis itu lebih menyerupai tokoh mitologi. Minotaur. Atau unicorn. Atau Pegasus.

“Pippa?” desak Penelope.

Perhatian Pippa kembali teralihkan kepada percakapan mereka. Apa yang sedang mereka diskusikan tadi? Bourne. “Yah, aku tidak tahu mengapa dia mau datang,” cetus Pippa. “Tidak ada yang mengharapkannya menghadiri acara di dunia bangsawan.”

“Aku mengharapkannya untuk hadir,” kata Penelope dengan sederhana, seolah hanya itu yang penting.

Dan rupaya itu memang penting. “Oh, Penny. Jangan ganggu pria malang itu.”

“Pria malang?” Penelope mendengus. “Bourne mendapatkan semua yang dia inginkan, kapan pun di menginginkannya.”

“Bukan berarti dia tidak membayar harganya,” sahut Pippa. “Dia pasti sangat mencintaimu kalau dia mau datang. Kalau bisa menghindari malam ini, aku pasti melakukannya.”

“Sejauh ini kau berhasil dengan baik, tapi au tidak bisa menghindari malam ini.”

Tentu saja Penelope benar, pikir Pippa. Separuh penduduk London  ada di bawah, dan setidaknya salah seorang dari mereka sedang menunggunya memperlihatkan wajah.

Calon suaminya.

Tidak sulit menemukan pria itu di tengah kerumunan orang. Meskipun mengenakan jas selutut hitam necis dan celana yang sama dengan yang dipilih oleh bangsawan lainnya. Earl of Castleton tampak menonjol, sesuatu dari dirinya terkesan kurang anggun jika dibandingkan dengan bangsawan pada umumnya.

Castleton berdiri di salah satu sisi ruang dansa, membungkukkan badan rendah-rendah sementara ibunya berbisik di telinganya. Pippa tidak menyadari sebelumnya, tapi telinga Castleton juga mencuat dengan sudut yang agak aneh.

“Kau masih bisa mengundurkan diri,” ujar Penelope dengan suara pelan. “Tidak akan ada yang menyalahkanmu.”

“Dari pesta dansanya?”

“Pernikahannya.”

Pippa tidak merespons. Ia bisa melakukannya. Ia bisa menyampaikan sejumlah hal dari yang menggelikan sampai ke yang ketus, dan Penelope tidak akan menghakiminya karenanya. Bahkan, kemungkinan besar kakak sulungnya ini akan senang kalau mendengar bahwa ia ragu dengan pertunangannya.

Tapi ia sudah berkomitmen kepada sang earl, dan ia akan loyal. Castleton tidak pantas diperlakukan seperti itu. Castleton pria yang menyenangkan, dengan hati yang baik. Dan itu sudah lebih baik daripada yang bisa dikatakan tentang sebagian besar pria.

Ketidakjujuran dalam bentuk tidak meberitahu tetap saja tidak jujur.

Kata-kata itu terngiang di benak Pippa, kenangan akan kejadian dua hari yang lalu, akan pria yang mempertanyakan komitmennya terhadap kejujuran.

Dunia dipenuhi oleh pembohong. Pembohong dan penipu.

Tentu saja, itu tidak benar. Ia bukan pembohong. Ia tidak menipu.

Trotula menghela napas lalu merapat ke paha majikannya. Dengan sambil lalu Pippa mengelus telinga anjing itu. “Aku sudah berjanji.”

“Aku tahu, Pippa. Tapi terkadang janji...” Penelope terdiam.

Pippa memperhatikan Castleton selama beberapa saat. “Aku tidak suka pesta dansa.”

“Aku tahu.”

“Juga ruang dansa.”

“Ya.”

“Dia baik, Penny. Dan dia melamarku.”

Sorot mata Penelope menjadi lembut. “Tidak apa-apa kalau kau mengharapkan yang lebih dari itu.”

Pippa tahu ia tidak mengharapkannya. Iya, kan?

Pippa gelisah di balik korsetnya yang berenda ketat. “Juga gaun dansa.”

Penelope mengikuti perubahan topik pembicaraan itu. “Tapi gaunmu bagus.”

Gaun Pippa – dipilih dengan semangat yang nyaris menggila oleh Lady Needham –terbuat dari kain halus hijau pucat yang cantik di atas kain satin putih. Berpotongan rendah dengan gaya off the shoulder, gaun itu mengikuti bentuk tubuh Pippa dari korset sampai ke pinggang sebelum mengembang menjadi rok penuh dan megah yang bergemerisik setiap kali ia bergerak. Di tubuh orang lain, gaun itu pasti tampak cantik.

Tapi di tubuh Pippa... gaun itu membuatnya kelihatan semakin kurus, semakin panjang, semakin rapuh. “Gaun ini membuatku kelihatan seperti Ardea cinera.”

Penelope mengerjap.

“Burung bangau.”

“Omong kosong. Kau cantik.”

Pippa menyapukan telapak tangannya di kain yang dijahit secara sempurna. “Kalau begitu kurasa sebaiknya aku tetap di sini dan menjaga keutuhan ilusi itu.”

Penelope tergelak. “Kau menunda yang tidak bisa dielakkan.”

Itu benar.

Dan karena itu benar, Pippa membiarkan kakaknya membawa mereka menuruni tangga sempit yang menuju ke pintu belakang ruang dansa, di mana mereka melepaskan Trotula ke halaman Dolby House sebelum masuk, tanpa terlihat, ke tengah kerumunan para pemberi selamat, seolah mereka sudah ada sejak awal.

Calon ibu mertua Pippa menemukan mereka tidak lama kemudian. “Philippa, Sayangku!” serunya, melambaikan kipas yang terbuat dari bulu burung merak kuat-kuat di depan wajahnya. “Ibumu bilang hanya perayaan sederhana! Tapi betapa megahnya perayaan ini! Perayaan untuk merayakan Robert-ku dan calon pengantinnya.”

Pippa tersenyum. “Dan jangan lupakan James-nya Lady Tottenham dan juga calon pengantinnya.

Selama sesaat, Countess of Castleton seolah tidak mengerti. Pippa menunggu. Pemahaman terbersit, dan calon mertuanya tertawa, keras dan nyaring. “Oh, tentu saja! Adikmu cantik! Sama Sepertimu! Iya kan, Robert?” Sang Countess menepuk lengan putranya. “Dia cantik, kan?”

Castleton cepat-cepat membenarkan. “Tentu saja! Emm... kau cantik, Lady Philippa! Kau cantik! Cantik!”

Pippa tersenyum. “Terima kasih.”

Ibu Pippa menghampiri mereka, Marchioness of Needham dan Dolby sudah tidak sabar untuk berkompetisi demi meraih penghargaan ibu-yang –paling-bersemangat. “Lady Castleton! Mereka sungguh pasangan yang paling serasi!”

Sangat serasi!” Lady Castleton membenarkan, mendorong putranya untuk berdiri di dekat Pippa. “Kalian harus berdansa! Semua orang ingin sekali melihat kalian berdansa!”

Pippa hampir yakin kalau hanya ada dua orang di ruangan yang ingin melihat mereka berdansa. Mala, siapa pun yang pernah melihatnya berdansa tahu kalau mereka tidak boleh berharap banyak, dan pengalamannya dengan Castleton mengindikasikan hal serupa dari pihak pria itu. Tapi, sayangnya, kedua orang yang dimaksud tidak bisa dibantah.

Dan, berdansa akan sangat membatasi jumlah seruan yang diucapkan di dekatnya.

Pippa tersenyum kepada tunangannya. “Tampaknya kita harus berdansa, My Lord.”

“Benar! Benar!” Castleton langsung merapatkan kakinya dan membungkuk sekilas kepada Pippa. “Apa kau bersedia memberiku kehormatan besar dengan sebuah dansa, My Lady?”

Pippa menahan keinginan untuk teratawa waktu mendengar formalitas dari pernyataan itu lalu meraih tangan Castleton dan membiarkan sang earl membawanya untuk berdansa.

Itu malapetaka.

Mereka tersandung ke lantai dansa, menyuguhkan tontonan yang memalukan. Saat bersama mereka saling menginjak jari kaki dan tersandung kaki satu sama lain –pada suatu saat, Castleton berpegangan kepada Pippa, kehilangan keseimbangan. Dan di saat lainnya, mereka tersandung kaki mereka sendiri.

Castleton tidak menghitung langkahnya untuk mengikuti orkestra, ia malah mempertahankan percakapan dengan berteriak sampai ke seberang lantai dansa.

Pasangan-pasangan di dekat mereka berusaha semampu mungkin untuk tidak memperhatikan, tapi Pippa harus mengakui, itu nyaris mustahil sewaktu Castleton mengumumkan dari jarak tiga meter jauhnya di ujung barisan. “Oh! Aku hampir lupa memberitahumu! Aku punya betina baru!”

Tentu saja, Castleton membahas anjing-anjingnya –topik yang sama-sama mereka sukai –tapi Pippa rasa itu sangat mengejutkan bagi Louisa Holbrooke saat Castleton menyampaikan pengumuman tersebut tepat dari atas kepalanya yang di tata secara sempurna.

Pippa tidak dapat menahan diri. Ia mulai terkekeh, mendapat tatapan aneh dari pasangannya sendiri. Ia mengangkat sebelah tangan untuk menyembunyikan bibirnya yang berkedut ketika Castleton menambahkan, “Dia cantik! Bulunya belang! Coklat dan kuning... kuning sepertimu!”

Mata di sekeliling mereka terbelalak karena perbandingan tentang rambut pirang Pippa dengan bulu keemasan dari hewan berkaki empat Castleton yang baru. Dan pada saat itulah kekehan berubah menjadi tawa. Bagaimanapun juga, itu percakapan teraneh –dan keras –yang pernah Pippa alami selagi berdansa.

Pippa tertawa di sepanjang langkah-langkah terakhir quadrillê itu, bahunya berguncang sewaktu ia melakukan bungkukkan yang wajib disuguhkan oleh para wanita. Jika ada satu hal yang tidak akan ia rindukan setelah menikah, itu adalah berdansa.

Pippa menegakkan badan, dan Castleton langsung menghampirinya, membawanya ke salah satu ujung ruangan, di mana mereka berdiri canggung tanpa berkata apa-apa selama beberapa saat. Pippa memperhatikan tamu lainnya berbaur anggun dengan pesta, tahu persis Castleton ada di sebelahnya. Robert.

Sudah berapa kali ia mendengar Penny menyebut Bourne dengan panggilan Michael dengan nada yang sangat mesra?

Pippa menoleh kepada Castleton. Ia tidak bisa membayangkan dirinya memanggil pria itu Robert.

“Apa kau mau limun?” Castleton memecah keheningan.

Pippa menggelengkan kepala, kembali mengalihkan pandangannya ke tengah ruangan. “Tidak, terima kasih.”

“Seharusnya aku menunggu untuk bercerita tentang anjing itu sampai kita selesai berdansa,” kata Castleton, menarik perhatian Pippa lagi. Pipinya memerah.

Pippa tidak menyukai gagasan bahwa Castleton malu. Sang earl tidak pantas merasa seperti itu. “Tidak!” sergahnya mensyukuri kembalinya topik pembicaraan. Membicarakan anjing mudah dilakukan. “Kedengarannya dia cantik. Kau sudah menamainya?”

Castleton tersenyum ceria dan tulus. Ia sering melakukannya. Itu pembawaan baik lainnya. “Kupikir mungkin kau punya ide.”

Kata-kata tersebut membuat Pippa tertegun. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk meminta pendapat Castleton dalam hal semacam itu. Ia akan langsung manamai anjing itu dan memperkenalkannya sebagai bagian dari keluarga. Kekagetannya pasti terlihat di wajahnya, karena Castleton menambahkan, “Toh, kita akan menikah. Dia akan menjadi anjing kita.”

Anjing kita.

Anjing itu merupakan cincin rubynya Castleton. Kristal hidup dan bernapas yang diisi dengan Kromium.

Tiba-tiba semuanya terasa sangat serius.

Mereka akan menikah, renung Pippa. Mereka akan punya seekor anjing. Dan ia harus menamai anjing itu.

Seekor anjing jauh lebih penting daripada pesta dansa pertunangan, busana pengantin, dan rencana pernikahan –segala sesuatu yang terasa sangat sepele kalau dipikirkan masak-masak.

Seekor anjing membuat masa depan nyata.

Seekor anjing berarti sebuah rumah, juga musim-musim yang berlalu, kunjungan-kunjungan dari para tetangga, misa hari minggu, dan festival-festival panen. Seekor anjing berarti sebuah keluarga. Anak-anak. Anak-anak Castleton.

Pippa mendongak memandang mata tunangannya yang ramah dan berbinar. Castleton menunggu, tidak sabar menantikan bicara.

“Aku...” Pippa terdiam, tidak tahu apa yang harus ia katakan. “Aku tidak punya ide yang bagus.”

Castleton tergelak. “Yah, dia tidak akan tahu bedanya. Kau boleh memikirkannya.” Ia membungkuk, sejumput rambut pirang jatuh di dahinya. “Kau harus bertemu dengannya lebih dulu. Mungkin itu akan membantu.”

Pippa memaksakan diri untuk tersenyum. “Mungkin.”

Mungkin itu akan membuatnya semakin ingin menikah dengan Castleton.

Ia suka anjing. Mereka memiliki kesamaan itu.

Pemikiran tersebut mengingatkan Pippa kepada percakapan dengan Cross, ketika ia menyampaikan bukti yang sama tentang kecocokannya dengan sang earl. Cross mendengus kepadanya, dan ia tidak menghiraukannya.

Hanya itu yang mereka bicarakan tentang earl... hingga Cross menolak permintaannya dan menyuruhnya pulang, dengan sebuah komentar yang mengiang di benaknya sekarang, selagi ia berdiri canggung di sebelah calon suaminya. Kusarankan agar kau meminta bantuan orang lain. Mungkin tunanganmu?

Mungkin ia harus meminta bantuan tunangannya. Pasti Castleton tahu lebih banyak tentang... kerumitan pernikahan. Tidak penting kalau tidak pernah sekali pun Castleton memberi isyarat bahkan yang paling samar bahwa pria itu  memedulikan kerumitan tersebut barang sedikit saja.

Pria tahu tentang kerumitan itu. Jauh lebih banyak daripada wanita.

Fakta bahwa ini merupakan kebenaran yang sangat tidak adil tidaklah penting saat ini.

Pippa melirik Castleton, yang tidak sedang melihatnya. Malah, sepertinya Castleton melihat ke segala penjuru selain dirinya. Ia memanfaatkan momen itu untuk mempertimbangkan langkahnya yang selanjutnya. Toh, Castleton ada di dekatnya –cukup dekat untuk disentuh. Mungkin ia harus menyentuh tunangannya.

Castleton menunduk memandang Pippa, mata coklat hangatnya memancarkan kekagetan begitu ia melihat perhatian Pippa. Pria itu tersenyum.

Sekarang atau tidak sama sekali.

Pippa mengulurkan tangan lalu menyentuh Castleton, meluncurkan jemarinya yang berselubung sutra di tangan Castleton yang berselubung kulit. Senyum Castleton tidak buyar. Alih-alih, ia mengangkat lengannya yang satu lagi menepuk tangan Pippa dua kali, seperti menepuk kepala seekor anjing. Itu sentuhan paling tak bernafsu yang bisa Pippa bayangkan. Sama sekali tidak mendekati janji pernikahan. Alih-alih, sentuhan itu malah mengindikasikan bahwa Castleton sama sekali tidak keberatan dengan bagian tentang jangan menapaki pernikahan seperti binatang buas.

Pippa menarik tangannya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Castleton, sudah mengalihkan perhatiannya ke tengah ruangan lagi.

Tidak dibutuhkan wanita berpengalaman untuk tahu kalau sentuhan Pippa tidak berpengaruh bagi Castleton. Menurut Pippa itu adil, karena sentuhan Castleton juga tidak berpengaruh baginya.

Seorang Lady tertawa di dekat mereka, dan Pippa menoleh ke sumber suara yang ringan, dantai, dan dibut-buat itu. Itulah jenis tawa yang tidak pernah berhasil ia keluarkan –tawanya selalu terlalu keras, atau keluar pada waktu yang salah, atau tidak terdengar sama sekali.

“Rasanya aku mau limun, kalau tawaran itu masih berlaku.”

Castleton langsung sigap begitu mendengar kata-kata itu. “Akan kuambilkan untukmu.”

“Bagus.”

Kemudian Castleton pergi, menerobos keramaian dengan semangat yang mungkin dikaitkan dengan sesuatu yang lebih menarik ketimbang limun.

Pippa berencana untuk menunggu, tapi itu agak membosankan, dan mengingat sesaknya ruangan itu dengan ratusan orang yang ada, mungkin Castleton membutuhkan waktu seperempat jam untuk kembali, dan menunggu sendirian, di depan umum, terasa janggal. Maka, Pippa menyelinap ke pinggir ruangan yang lebih gelap dan sepi di mana ia berdiri diam sambil mengamati kerumunan.

Orang-orang kelihatannya bersenang-senang. Olivia sedang mengumpulkan tamu di ujung seberang ruangan. Olivia dan Tottenham dikelilingi oleh sekelompok orang yang ingin memenangi perhatian dari sang calon perdana menteri. Ibu Pippa dan Lady Castleton sudah mengumpulkan ibu Tottenham dan sejumlah wanita tua yang pasti sedang asyik membahas gosip panas.

Selagi ia mengamati kerumunan, perhatian Pippa tertuju ke sebuah ceruk yang berada persis di seberangnya, di mana seorang pria tinggi berambut gelap merapatkan diri terlalu dekat kepada lawan bicaranya, bibirnya hampir menyentu telinga wanita itu dengan cara yang jelas menyiratkan sebuah janji rahasia. Pasangan itu sepertinya sama sekali tidak peduli kalau mereka berada di tempat umum, dan sudah pasti membuat lidah-lidah bergoyang di seluruh penjuru ruang dansa.

Bukan berarti hal semacam itu aneh bagi keduanya.

Pippa tersenyum. Bourne sudah datang dan, seperti biasa, pandangan pria itu hanya tertuju kepada Penelope.

Hanya segelintir orang yang memahami bagaimana Penny bisa menaklukan Bourne yang dingin, menjaga jarak, dengan taguh itu –Pippa jarang melihat sang marquess tersenyum atau memperlihatkan emosi apa pun selain dalam interaksi dengan istrinya yang penuh perhatian –tapi tidak diragukan lagi kalau Bourne telah ditaklukan, dan tergila-gila.

Penelope bersumpah kalau itu cinta, dan bagian itulah yang tidak dipahami oleh Pippa. Ia tidak pernah menyukai gagasan mengenai pernikahan yang dilandaskan kepada cinta –ada terlalu banyak yang tak bisa dijelaskan. Terlalu banyak yang mistis. Pippa tidak percaya kepada mistis. Ia percaya kepada yang faktual.

Pippa memperhatikan kakaknya yang santun meletakkan tangan di dada suaminya lalu mendorong dada pria itu, tertawa dan merona seperti debutan yang baru diperkenalkan. Bourne menarik Penny mendekat lagi, mengecup pelipisnya sebelum Penny menjauh lalu menyelinap ke tengah keramaian. Bourne menyusul, seperti terikat.

Pippa menggelengkan kepala karena pemandangan ganjil dan aneh itu.

Cinta, kalau memang ada, adalah sesuatu yang sangat aneh.

Embusan udara dingin membuat rok Pippa bergemerisik, lalu ia berbalik dan mendapati bahwa pintu ganda besar di belakangnya sudah dibuka –pasti untuk melawan hawa panas yang menyesakkan di dalam ruangan –dan yang satu telah terbuka lebar. Ia beranjak untuk menutupnya, mencondongkan badan keluar balkon batu besar untuk meraih gagang pintu.

Pada saat itulah ia mendengarnya.

“Kau membutuhkanku.”

“Aku tidak butuh yang seperti itu. Sudah lama aku mengurus diriku tanpamu.”

Pippa tertegun. Ada seseorang di luar sana. Dua orang. 

“Aku bisa membereskan ini. Aku bisa membantu. Tapi beri aku waktu. Eanm hari.”

“Sejak kapan kau tertarik untuk membantu?”

Tangan Pippa meraih pinggiran pintu yang berpanel kaca, dan ia memerintahkan dirinya untuk menutupnya. Untuk berpura-pura kalau ia tidak mendengar apa-apa. Untuk kembali ke pesta dansa.

Ia bergeming.

“Sejak dulu aku ingin membantu.” Suara pria itu lembut dan mendesak. Pippa melangkah ke luar balkon.

“Jelas kau belum menunjukkannya.” Suara sang lady laksana baja. Marah dan tegas. “Malah, kau tidak pernah membantu. Kau hanya merintangi.”

“Kau berada dalam masalah.”

“Ini bukan yang pertama kalinya.”

Kebimbangan. Saat si pria bicara, kata-katanya yang dibisikkan singkat dan sarat akan kecemasan. “Apa lagi?”

Wanita itu tertawa pelan, tapi tidak ada kegembiraan pada suaranya –hanya kegetiran. “Tidak ada yang bisa kau perbaiki sekarang.”

“Seharusnya kau tidak menikah dengannya.”

“Aku tidak punya pilihan. Kau tidak memberiku pilihan.”

Mata Pippa membelalak. Tanpa disengaja ia sudah mendengar pertengkaran sepasang kekasih. Yah, sudah bukan kekasih kalau mendengar percakapan mereka... mantan kekasih. Pertanyaannya adalah, siapa mereka?

“Semestinya aku menghentikannya,” bisik pria itu.

“Yah, kau tidak melakukannya,” sergah si wanita.

Pippa merapat ke pilar batu besar yang memberinya cukup bayangan untuk bersembunyi, lalu memiringkan kepalanya ke samping, menahan napas, tidak sanggup menghentikan upayanya untuk mengungkapkan identitas mereka.

Balkon kosong.

Ia menjulurkan kepalanya dari belakang pilar.

Benar-benar kosong.

Di mana mereka berada?

“Aku bisa membereskan masalahnya. Tapi kau harus menjauh darinya. Jauh sekali. Dia tidak boleh punya akses untuk bertemu denganmu.”

Di kebun bawah.

Pippa bergerak tanpa bersuara ke susuran batu, rasa penasarannya memuncak.

“Oh, aku harus percaya kepadamu sekarang? Tiba-tiba kau bersedia menjagaku?”

Pippa meringis. Nada suara wanita itu sengit. Pria yang bersangkutan –yang sama sekali bukan pria terhormat, kalau Pippa boleh menebak- pasti sudah memperlakukannya dengan buruk di masa lalu. Pippa menambah kecepatan langkahnya, hampir sampai di pinggir balkon, hampir bisa mengintip dari pinggir balkon untuk mengenali mantan kekasih misterius yang ada di bawah.

“Lavinia...” Pria itu memulai dengan lembut, memelas, dan semangat menyambar Pippa. Sebuah nama!

Pada saat itu ia menendang pot bunga.

Mungkin merka tidak akan mendengar suara gesekan pelan yang timbul ketika ia menyentuh benda besar itu... kalau ia tidak berteriak kesakitan. Tidak penting kalau tangannya langsung diangkat untuk menutupi mulutnya, mengubah “Oh!” yang sangat keras menjadi “Uf!” yang sangat sayup.

Tapi keheningan sejenak yang berasal dari bawah sudah cukup untuk membuktikan bahwa mereka mendengarnya dengan jelas.

“Aku tidak boleh berada di sini,” bisik wanita itu, dan Pippa mendengar suara gemerisik rok yang menjauh.

Terjadi kesunyian selama beberapa saat, selagi Pippa membeku laksana batu, menggigit bibir karena rasa sakit yang berdenyut-denyut di kakinya sebelum akhirnya ia bicara, mengumpat di tengah kegelapan. “Brengsek.”

Pippa berjongkok, meraba jari kakinya, lalu bergumam, “Kau memang pantas mendapatkannya,” sebelum menyadari kalau cemooh seorang pria tak dikenal di kebun yang gelap di rumah leluhurnya bukanlah ide yang bagus.

“Apa?” tanya pria itu dengan suara pelan, sudah tidak berbisik.

Seharusnya Pippa kembali ke pesta. Alih-alih, ia berkata, “Kedengarannya kau tidak terlalu baik kepada lady yang tadi.”

Senyap. “Memang.”

“Kalau begitu, kau pantas ditinggalkan.” Pippa meremas jari kelingkingnya dan mendesis kesakitan. “Mungkin lebih dari itu.”

“Kau terluka.”

Perhatian Pippa terpecah karena rasa sakit, kalau tidak ia tidak mungkin menanggapi. “Jari kakiku terbentur.”

“Hukuman untuk menguping?”

“Pasti.”

“Itu akan memberimu pelajaran.”

Pippa tersenyum. “Kurasa tidak.”

Pippa tidak tahu, tapi ia hampir yakin kalau pria itu tergelak. “Sebaiknya kau memastikan pasangan-pasangan dansamu tidak menginjak jari kakimu setelah kau kembali.”

Kenangan akan Castleton melintas. “Sayangnya kemungkinan besar paling tidak salah seorang dari mereka akan melakukannya.” Ia terdiam. “Kedengarannya kau sudah memperlakukan lady yang tadi dengan sangat buruk. Bagaimana ceritanya?”

Pria itu terdiam untuk waktu yang sangat lama sampai-sampai Pippa mengira dia sudah pergi. “Aku tidak ada untuknya waktu ia membutuhkanku.”

“Ah,” ujar Pippa.

“Ah?” tanya pria itu.

“Tidak perlu membaca novel romantis sesering saudariku untuk memahami apa yang terjadi.”

“Kau pasti tidak pernah membaca novel romantis.”

“Tidak sering,” kata Pippa.

“Kurasa kau hanya membaca buku mengenai hal-hal penting.”

“Memang,” kata Pippa dengan bangga.

“Buku tentang fisika dan hortikultura.” Mata Pippa membelalak. “Itu bidang keahlian Lady Philippa Marbury.

Pippa langsung berdiri lalu melongok dari pinggir balkon, ke kegelapan di bawah. Ia tidak bisa melihat apa-apa. Ia mendengar sapuan wol saat lengan –atau mungkin kaki- pria itu digerakkan. Pria itu berada tepat di sana. Tepat di bawahnya.

Pippa bergerak tanpa berpikir, menggapai pria itu, lengannya diulurkan kepada pria itu selagi ia berbisik, Siapa kau?”

Dari balik sarung tangan sutra Pippa sekalipun, rambut pria itu terasa lembut –seperti bulu binatang yang lebat. Pippa menyisipkan jemarinya ke helai-helai itu sampai melekat ke kulit kepala pria itu, hawa panasnya kontras dengan udara bulan Maret yang dingin.

Hawa panas itu sudah sirna sebelum Pippa bisa menikmatinya, digantikan oleh sesosok tangan yang besar dan kuat, tidak lebih dari bayangan di tengah kegelapan yang menganga, menangkap kedua tangan Pippa dengan mudah.

Pippa terkesiap dan menarik tangannya.

Pria itu tidak melepaskannya.

Apa yang ia pikirkan tadi?

Kacamata Pippa merosot, dan ia membeku, takut kacamatanya terjatuh dari hidungnya kalau ia terlalu benyak bergerak.

“Seharusnya kau tahu kau tidak boleh menggapai kegelapan, Pippa,” kata pria itu dengan lembut, bunyi nama Pippa terdengar familier di bibirnya. “Kau tidak pernah tahu apa yang akan kau temukan.”

“Lepaskan aku,” bisik Pippa, memberanikan diri untuk menoleh ke balik bahunya, melihat pintu ruang dansa yang masih terbuka. “Nanti ada yang melihat.”

“Bukannya itu yang kau inginkan?” Jemari pria itu melibat jemari Pippa, hawa panas dari genggamannya nyaris tak tertahankan. Bagaimana mungkin pria itu terasa sangat hangat di tengah udara yang dingin?

Pippa menggelengkan kepala, merasakan bingkai kacamatanya semakin merosot. “Bukan.”

“Apa kau yakin?” Genggaman pria itu digeser, dan tiba-tiba Pippa-lah yang berpegangan kepadanya, bukan sebaliknya.

Pippa memaksakan diri untuk melepaskan pria itu. “Yakin.” Ia meletakkan tangannya di susuran batu, menegakkan badan, tapi kacamatanya sudah terjatuh ke dalam kegelapan. Ia berusaha menggapai kacamatanya, tapi malah menepisnya dengan ujung jemari, membuat benda itu melayang di tengah udara malam. “Kacamataku!”

Pria itu menghilang, satu-satunya tanda darinya hanyalah suara desiran kain sewaktu ia menjauh dari Pippa. Dan Pippa tidak tahu bagaimana, tapi ia bisa merasakan kehilangan pria itu. Puncak kepala pria itu terlihat, beberapa centimeter yang tampak kabur, oranye tua yang mengilat terkena cahaya lilin yang berasal dari ruangan dansa.

Pengenalan menyambar disertai oleh suatu gelombang semangat. Cross.

Pippa menunjuknya. “Jangan bergerak.”

Pippa sudah berjalan ke ujung balkon, di mana tangga panjang mengarah ke kebun.

Cross menemuinya di bawah tangga batu, cahaya temaram yang berasal dari rumah membuat wajah pria itu tertutup bayangan misterius. Menyodorkan kacamata kepadanya, Cross berkata, “Kembalilah ke ruang dansa.”

Pippa menyambar kacamata itu lalu mengenakannya, wajah Cross kembali jelas dan tajam. “Tidak.”

“Kita sudah sepakat kau akan menghentikan pencarianmu akan maksiat.”

Pippa menarik napas dalam-dalam. “Berarti semestinya kau tidak mendorongku.”

Mendorongmu untuk menguping dan melukai kakimu sendiri?”

Pippa mencoba menopangkan berat badannya ke kaki yang dimaksud, meringis karena rasa sakit yang menghunjam jarinya. “Menurutku paling-paling ada retakan ringan di tulang phalanges-nya. Nanti juga sembuh. Aku pernah mengalaminya dulu.”

“Mematahkan jari kakimu sendiri?”

Pippa mengangguk. “Hanya jari kelingking. Seekor kuda pernah menginjak jari kelingking pada kakiku yang satu lagi. Tidak perlu kukatakan, alas kaki wanita tidak memberi banyak perlindungan dari makhluk yang memiliki alas kaki yang lebih kuat.”

“Kurasa anatomi juga bidang keahlianmu.”

“Benar.”

“Aku terkesan.”

Pippa tidak yakin Cross mengatakan yang sebenarnya”Menurut pengalamanku, ‘terkesan’ bukanlah reaksi yang lazim terhadap wawasanku dalam bidang anatomi manusia.”

“Oh, ya?”

Pippa menyukuri cahaya yang temaram, karena rasanya ia tidak bisa berhenti bicara. “Menurut kebanyakan orang itu aneh.”

“Aku bukan kebanyakan orang.”

Tanggapan tersebut membuat Pippa terhenyak. “Kurasa begitu.” Ia terdiam, memikirkan percakapan yang terdengar olehnya. Ia mengabaikan getar-getar keresahan yang menyertai kenangan itu. “Siapa Lavinia?”

“Kembalilah ke pesta dansamu, Pippa.” Cross membalikkan badan memunggungi Pippa lalu mulai menyusuri pinggiran rumah.

Pippa tidak bisa membiarkan Cross pergi. Ia memang sudah berjanji tidak akan mendekati pria itu, tapi Cross ada di kebunnya. Ia pun mengekor.

Cross berhenti lalu berbalik. “Apa kau pernah mempelajari bagian-bagian telinga?”

Pippa tersenyum, menyambut ketertarikan Cross. “Tentu saja. Bagian luarnya disebut pinna. Sebagian orang menyebutnya auricle, tapi aku lebih suka pinna, karena itu bahasa Latin untuk bulu, dan sejak dulu aku sudah menyukai gambarnya. Telinga bagian dalam terdiri atas sekumpulan tulang serta jaringan yang mengesankan, dimulai dengan...”

“Mengagumkan.” Cross memotong Pippa. “Agaknya kau tahu sangat banyak tentang organ yang bersangkutan, namun kau gagal menggunakannya. Aku berani bersumpah aku sudah menyuruhmu kembali ke pesta dansamu.”

“Pendengaranku baik-baik saja, Mr. Cross. Begitu pula dengan kehendak bebasku.”

“Kau menyulitkan.”

“Biasanya tidak.”

“Sedang membuka lembaran baru?” Cross tidak menyerah.

“Apa kau terbiasa memaksa wanita berlari untuk bisa mengikutimu?”

Cross berhenti, Pippa nyaris menabraknya. “Hanya wanita-wanita yang ingin kusingkirkan.”

Pippa tersenyum. “Kau datang ke rumahku, Mr. Cross. Jangan lupakan itu.”

Cross mengarahkan pandangannya ke langit, lalu kembali kepada Pippa, dan Pippa berharap ia bisa melihat mata pria itu. “Ketentuan dari taruhan kita sudah jelas... kau tidak boleh hancur. Kalau tetap di sini, kepergianmu akan disadari, dan kau akan dicari. Dan kalau ditemukan, kau akan hancur. Kembalilah. Secepatnya.”

Ada sesuatu yang amat menarik dalam diri Cross –dari bagaimana pria ini terlihat sangat tenang, sangat terkendali. Dan disepanjang hidupnya, Pippa belum pernah lebih tidak menginginkan sesuatu dari meninggalkan Cross. “Tidak akan ada yang menyadari kepergianku.”

“Bahkan Castleton sekalipun?”

Pippa bimbang, sesuatu yang menyerupai rasa bersalah bangkit. Mungkin sang earl sedang menunggunya, limun menghangat dalam genggaman pria itu.

Sepertinya Cross membaca pikirannya. “Dia menyadari kepergianmu.”

Mungkin karena kegelapan. Atau mungkin karena rasa sakit di kakinya. Atau mungkin karena percakapan mereka yang cepat hingga membuatnya merasa seolah akhirnya ia menemukan seseorang dengan otak yang cara kerjanya sama seperti otaknya. Pippa tidak tahu mengapa ia berkata, “Dia mau aku menamai anjingnya.”

Terjadi keheningan selama beberapa saat sewaktu Pippa mengira Cross akan tertawa.

Kumohon, jangan tertawa.

Cross tidak tertawa. “Kau akan menikah dengan pria itu. Permintaannya sangat wajar kalau mengingat... segalanya.”

Cross tidak mengerti. “Itu tidak wajar.”

“Apa ada yang salah dengannya?”

“Angjingnya?”

“Ya.”

“Tidak, kurasa mungkin dia anjing yang sangat bagus.” Pippa mengangkat tangan, lalu menurunkannya. “Hanya saja rasanya sangat... sangat...”

“Final.”

Ternyata Cross mengerti. “Tepat.”

“Ini memang final. Kau akan menikah dengannya. Kau harus menamai anak-anaknya. Menamai anjingnya pasti lebih mudah.”

“Yah, begini, rasanya menamai anjing jauh lebih sulit.” Pippa menarik napas dalam-dalam. “Apa kau pernah memikirkan pernikahan?”

“Belum.” Jawaban Cross cepat dan jujur.

“Mengapa belum?”

“Pernikahan bukan untukku.”

“Kedengarannya kau yakin sekali.”

“Memang.”

“Dari mana kau tahu?”

Cross tidak menjawab, diselamatkan sehingga tidak perlu melakukannya oleh kedatangan Trotula, yang berlarian mengitari sudut rumah sambil bersuara guk dengan riang dan penuh semangat. “Angjingmu?” tanya pria itu.

Pippa mengangguk ketika anjing spanilnya berhenti di dekat kaki mereka, lalu Cross berjongkok untuk mengelus anjing itu, yang mendesah dan merapat kepada belaian tersebut.

“Dia menyukainya,” ujar Pippa.

“Namanya?”

“Trotula.”

Salah satu ujung bibir Cross terangkat mengulas senyum simpul yang penuh pemahaman. “Seperti Trotula de Salerno? Dokter Italia itu?”

Tentu saja Cross akan tahu kalau ia menamai anjingnya seperti seorang ilmuwan, pikir Pippa. Tentu saja Cross bisa menebaknya. “Dokter wanita.”

Cross menggelengkan kepala. “Itu nama yang mengerikan. Mungkin sebaiknya kau jangan manamai anjing Castleton.”

“Nama itu tidak mengerikan! Trotula de Salerno adalah nama yang sempurna!”

“Tidak, aku akan membenarkan kalau kau berkata ‘teladan yang sempurna untuk wanita muda’ atau ‘pahlawan sains yang sempurna,’ tapi aku tidak akan membenarkan kalau kau berkata ‘nama yang sempurna’.” Cross terdiam sebentar, menggaruk-garuk telinga anjil spanil itu. “Hewan malang,” katanya, dan Pippa menghangat karena kebaikan yang terkandung di dalam nada suaranya. “Dia sudah memperlakukanmu dengan sangat buruk.”

Trotula berbaring telentang, memperlihatkan bagian bawah tubuhnya dengan tidak tahu malu, Cross menggaruknya di sana, dan Pippa terkesima oleh tangan Cross yang kuat dan indah –bagaimana tangan-tangan itu membelai bulu Trotula. Setelah mengamati selama beberapa saat, Pippa berkata, “Aku mau di luar saja. Bersamamu.”

Tangan Cross membeku di perut si anjing. “Ke mana perginya kebencianmu terhadap ketidakjujuran?”

Alis Pippa menyambung. “Masih ada, tidak pergi ke mana-mana.”

“Kau berusaha meloloskan diri dari pesta dansa pertunanganmu bersama pria lain. Menurutku itu potret dari ketidakjujuran.”

“Bukan pria lain.”

Cross menegang. “Apa?”

Pippa cepat-cepat meralat kata-katanya. “Maksudku, kau memang pria lain, tapi kau bukan ancaman bagi Castleton. Kau... aman.” Ia terdiam... tiba-tiba tidak merasa aman barang sedikit pun.

“Bagaimana dengan fakta bahwa kau sudah memintaku membantumu dengan sejumlah aktivitas yang bisa merusak reputasimu dan langsung mengakhiri pertunanganmu>”

“Itu tetap tidak menjadikanmu seorang pria,” kata Pippa cepat-cepat. Terlalu cepat. Cukup cepat sehingga harus ditarik kembali. “Maksudmu.. Yah, kau tahu apa maksudku. Tidak seperti maksudmu.

Cross tertawa pelan lalu berdiri. “Pertama kau menawarkan diri untuk membayarku demi seks, kemudian kau mempertanyakan maskulinitasku. Pria lain pun pasti tersinggung karena kata-kata itu.”

Mata Pippa membelalak. Ia tidak pernah bermaksud untuk menyiratkan... “Aku tidak...” ia terdiam.

Cross melangkah mendekatinya, cukup dekat sehingga Pippa bisa merasakan panas tubuh pria itu. Suara Cross menjadi rendah dan pelan. “Pria lain pasti berusaha membuktikan bahwa kau keliru.”

Pippa menelan ludah. Cross sangat tinggi dan mengintimidasi dari dekat. Jauh lebih tinggi dari pada pria mana pun yang Pippa kenal. “Aku...”

“Katakan, Lady Pilippha.” Cross mengangkat sebelah tangan, satu jari berhenti di dekat lelukan bibir atas Pippa, nyaris menentuhnya. “Selagi mempelajari anatomi, apa kau pernah belajar tentang nama tempat di antara hidung dan bibir?”

Bibir Pippa membuka, dan ia melawan keinginan untuk mencondongkan badan kepada Cross, memaksa pria itu menyentuhnya. Ia menjawab dengan berbisik. “Filtrum.”

Cross tersenyum. “Gadis pintar. Itu bahasa Latin. Apa kau tahu artinya?”

“Tidak.”

“Artinya ramuan cinta. Bangsa Romawi menyakini bahwa itu merupakan tempat yang paling erotis pada tubuh. Mereka menyebutnya panah Cupid, karena bagaimana tempat itu membentuk bibir atas.” Sembari bicara, Cross menelusuri lekuk bibir Pippa dengan jari, lebih berupa godaan ketimbang sentuhan, nyaris tak terasa. Suaranya bertambah lembut, bertambah dalam. “Mereka yakin itu tanda dari dewa cinta.”

Pippa menarik napas, pelan dan pendek. “Aku tidak tahu itu.”

Cross membungkuk, kian dekat, tangannya diturunkan. “Aku berani bertaruh ada banyak hal mengenai tubuh manusia yang tidak kau ketahui. Pakar mungilku. Semua hal yang ingin kuajarkan kepadamu dengan senang hati.”

Cross berada sangat dekat... kata-katanya lebih menyerupai napas ketimbang suara, merasakan di telinga, lalu pipi, membuat sensasi meliputi Pippa.

Bersama Castleton seharusnya seperti ini. Pemikiran itu berasal entah dari mana. Pippa mengenyahkannya, berjanji akan menghadapinya nanti.

Tapi sekarang... “Aku ingin belajar,” katanya.

“Jujur sekali,” Cross tersenyum, lelukan bibirnya –filtrumnya- berada sangat dekat, dan sama berbahayanya dengan senjata yang digunakan untuk menjulukinya. “Ini pelajaran pertamamu.”

Pippa ingin Cross mengajarkan segalanya.

“Jangan menggoda singa,” kata Cross, kata-kata tersebut menyapu bibir Pippa, membukanya dengan sentuhannya. “Karena dia pasti menggigit.”

Oh, Tuhan. Pippa menantikannya.

Cross menegakkan badan, melangkah mundur lalu merapikan manset jasnya dengan santai, sama sekali tidak terpengaruh oleh momen barusan. “Kembalilah ke pesta dansa dan tunanganmu, Pippa.”

Cross membalikkan badan, dan Pippa menarik napas panjang, merasa seolah dia sudah kehilangan oksigen untuk waktu yang sangat lama.

Pippa memperhatikan Cross menghilang ke dalam kepekatan, meminta pria itu untuk kembali.

Gagal.




Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar