Penyelidikan mengungkapkan bahwa lidah
manusia bukan terdiri atas satu otot, melainkan delapan otot yang unik,
separuhnya terhubung dengan tulang –otot glossus- dan separuhnya terpaut dengan
bentuk serta fungsi dari organ yang lebih besar.
Meskipun riset tambahan ini sudah
memberi banyak pencerahan kepada topik anatomi manusia yang sebelumnya tidak
kuketahui, aku masih tidak memahami peran dari otot yang bersangkutan dalam
aktivitas yang tidak berkaitan dengan makan dan bicara.
Mungkin aku harus meminta Olivia untuk
menjelaskan. Solusinya tidak ideal.
Jurnal
Ilmiah Lady Philippa Marbury
24
Maret 1831; dua belas hari sebelum pernikahannya
“Aku
mau dia dihukum.”
Cross
memperhatikan Temple membungkukkan badan di atas meja biliar yang terletak di
tengah suite pemilik The Fallen Angel
lalu membidik dengan jitu, bola putih membentur saudaranya yang berwarna merah
lalu memantul di pinggir meja dan membentur bola ketiga.
“Apa
kau yakin? Pembalasan bukan kemahiranmu. Apalagi dengan Knight.” Bourne
melangkah meju lalu memperhatikan arena bermain. “Terkutuklah keberuntunganmu,
Temple.”
“Aku
suka biliar,” sahut Temple. “Hanya dalam permainan ini aku punya peluang untuk
mengalahkan kalian berdua.” Ia melangkah mundur lalu menyandarkan salah satu
sisi pinggulnya ke sebuah kursi di dekat situ, kembali mengalihkan perhatian
kepada Cross. “Ada banyak cara untuk menghabisinya.”
“Kau
memang jagonya dalam memberi saran untuk membunuh,” komentar Bourne, mengambil
giliran membidik, melewatkan bola kedua, lalu melontarkan sumpah serapah.
“Itu
cepat. Dan final.” Temple mengangkat salah satu bahunya yang kekar.
“Kalau
seseorang di luar ruangan ini mendengarmu mengatakannya, mereka pasti
memercayai cerita-cerita tentang dirimu,” tukas Cross.
“Mereka
sudah memercayai cerita-cerita tentang diriku. Baiklah, tidak ada
bunuh-membunuh. Mengapa tidak kau bayar saja utangnya?”
“Itu
bukan pilihan.”
“Mungkin
memang tidak layak dijadikan pilihan. Dumblade hanya akan berutang lebih banyak
dan kita akan kembali ke titik di mana kita memulai dalam waktu sebulan.”
Bourne berbalik menghadap bufet, di mana Chase menyimpan scoth terbaik di klub. “Minum?”
Cross
menggelengkan kepala.
“Lantas
apa?” tanya Temple.
“Dia
mau putrinya menikah.”
“Denganmu?”
Cross
tidak menjawab.
Temple
bersiul panjang dan pelan. “Brilian.”
Pandangan
Cross tertuju ke mata Temple. “Menikah denganku sama sekali tidak mendekati
brilian.”
“Mengapa
tidak?” sela Bourne. “Kau seorang earl. Sekaya Croesus, dan... bahkan lebih
baik lagi... punya bisnis besar. Kerajaan di klub judi.”
“Kalau
begitu, salah seorang dari kalian saja yang menikahinya.”
Temple
menyeringai, menerima segelas scoth
dari Bourne. “Kita sama-sama tahu Digger Knight tidak akan mengizinkanku
dekat-dekat dengan putrinya. Harus kau, Cross. Bourne sudah menikah, reputasiku
sudah rusak selamanya, sedangkan Chase... yah... Chase. Tambahkan fakta bahwa
kau adalah satu-satunya dari kita yang dia hormati, dan kau menjadi pilihan
yang sempurna.”
Cross
sama sekali bukan pilihan yang sempurna. “Dia keliru menilaiku.”
“Dia
bukan yang pertama,” komentar Bourne. “Tapi harus kuakui bahwa kalau adikku
berada dalam genggamannya, aku akan mempertimbangkan perintahnya. Digger Knight
itu keji. Dia akan mendapatkan apa pun yang dia inginkan dengan car apa pun
yang bisa dia lakukan.”
Cross
memalingkan wajahnya begitu mendengar kata-kata itu, mengabaikan hunjaman rasa
bersalah yang menyertainya. Bagaimanapun juga, adik ipar Bourne berada dalam
genggaman Digger Knight, ditarik ke samping Digger sementara pria itu
membisikkan entah apa di telinganya. Membayangkannya membuat Cross gusar.
Adik
Bourne. Kemudian adiknya sendiri.
Cross
meletakkan tongkatnya lalu melintasi ruangan yang gelap hingga ia sampai di
dinding seberang, di mana mozaik kaca berhias menghadap ke arena utama kasino.
Jendela itu merupakan hiasan yang paling menonjol di The Fallen Angel; jendela
tersebut menggambarkan kejatuhan Lucifer dengan detail yang indah –malaikat
pirang yang agung itu terjatuh dari Surga ke arena klub, enam kali lebih besar
daripada pria rata-rata, sayap yang tidak berfungsi terentang di belakangnya,
rantai melilit salah satu pergelangan kakinya, mahkota bepermata yang
gemerlapan digenggam oleh tangannya yang besar.
Jendela
itu merupakan peringatan untuk pria-pria yang ada di bawah –pengingat akan
tempat mereka, akan betapa dekatnya mereka dengan kejatuhan mereka sendiri.
Jendela itu merupakan manifestasi dari godaan dosa dan megahnya maksiat.
Tapi
bagi para pemilik The Fallen Angel, jendela itu lain lagi.
Jendela
itu merupakan bukti bahwa mereka yang dibuang bisa menjadi penguasa dengan cara
mereka sendiri, dengan kekuasaan yang menyaingi kekuasaan orang-orang yang
dulunya mereka layani.
Cross
sudah menghabiskan enam tahun terakhir dalam hidupnya dengan membuktikan bahwa
ia lebih dari sekadar pemuda serampangan yang diasingkan dari dunia bangsawan,
bahwa ia lebih dari gelarnya. Lebih dari ketetapan-ketetapan yang mengikatnya
sejak lahir. Lebih dari ketetapan-ketetapan yang mengikatnya karena kematian
kakaknya. Lebih dari apa yang menyusul sesudahnya.
Dan
terkutuklah ia jika membiarkan Digger Knight membangkitkan pemuda itu.
Tidak
setelah ia bekerja sangat keras.
Tidak setelah ia mengorbankan begitu
banyak hal.
Pangangan
Cross tertuju ke pria-pria yang ada di arena klub. Sekelompok ada di meja
permaianan dadu, beberapa sedang bermain ecarte.
Roda rolet berputar membaurkan warna, harta diletakkan di atas arena taruhan.
Ia berada terlalu jauh untuk melihat di mana bola jatuh atau mendengar teriakan
bandar, tapi ia melihat kekecewaan di wajah para pria yang ada di meja sewaktu
mereka merasakan sengatan kekalahan. Ia juga melihat bagaimana herapan
melambung, membawa mereka ke dalam godaan, mendorong mereka untuk memasang
taruhan pada angka yang baru... atau mungkin angka yang sama... karena sudah
jelas keberuntungan milik mereka malam ini.
Mereka tidak tahu saja.
Cross
memperhatikan suatu putaran vingt-et-un
yang berlangsung tepat di bawah, kartu-kartunya cukup dekat untuk dilihat.
Delapan, tiga, sepuluh, lima. Ratu, dua, enam, enam.
Jumlahnya
tinggi.
Bandar
membagikan kartu berikutnya.
Raja.
Lebih.
Jack. Lebih.
Tidak ada yang namanya keberuntungan.
Keputusan
sudah diambil, Cross kembali berbalik menghadap mitra-mitranya. “Tidak akan
kubiarkan dia menghancurkan adikku.”
Bourne
mengangguk sekali, mengerti. “Dan kau tidak mengizinkan Temple membunuhnya.
Lantas...apa? Menikahi putrinya?”
Cross
menggelengkan kepala. “Dia mengancam milikku... kuancam miliknya.”
Alis
Temple terangkat. “Gadis itu?”
“Dia
sama sekali tidak peduli dengan gadis itu,” ujar Cross. “Maksudku klubnya.”
Bourne
menopangkan sebelah tangan di ujung tongkatnya. “Knight’s.” Ia menggelengkan
kepala. “Kau tidak akan bisa meyakinkan anggotanya untuk meninggalkannya. Tidak
tanpa mengundang mereka untuk bergabung dengan kita.”
“Dan
itu tidak akan terjadi,” kata Temple.
“Mereka
tidak perlu meninggalkannya selamanya,” ujar Cross, sudah beberapa langkah
lebih maju. “Mereka hanya perlu meninggalkannya selama satu malam. Aku harus
membuktikan kalau kerajaannya ada hanya karena kemurahan hati kita. Bahwa kalau
mau, kita bisa menghancurkannya.” Ia kembali berbalik menghadap arena klub.
“Putrinya datang enam hari lagi. Aku butuh kartu truf sebelum saat itu tiba.”
Aku butuh kendali.
“Enam
hari?” ulang Temple, tersenyum lebar sewaktu Cross mengangguk. “Enam hari lagi
berarti dua puluh sembilan Maret.”
Bourne
bersiul. “Itu dia kartu trufnya.”
“Pandemonium.”
Kata itu menggantung di ruangan yang gelap, solusi yang tidak bisa lebih baik
lagi bahkan jika iblis merancangnya sendiri sekalipun.
Pandemonium
–diselenggarakan setiap tahun pada tanggal dua puluh sembilan Maret- adalah
satu malam saat The Angel membuka pintunya bagi nonanggota. Undangannya memberi
akses ke arena kasino sejak matahari terbenam sampai matahari terbit. Dengan
undangan tersebut, seorang pria bisa bersenang-senang dalam dosa dan maksiat,
serta merasakan dunia rahasia dan legendaris yang bernama The Fallen Angel.
Setiap
anggota klub menerima tiga undangan Pandemonium –kartu persegi kecil yang
sangat diidam-idamkan hingga bernilai ribuan pound bagi para pria yang sangat ingin bergabung dengan klub.
Sangat ingin membuktikan nilai mereka kepada para pemilik The Angel. Yakin
bahwa kalau bertaruh cukup banyak, mereka bisa pulang dengan keanggotaan
permanen.
Mereka
jarang berhasil.
Kerap
kali, mereka pulang dengan kantong yang lebih ringan ribuan pound dan cerita untuk dibanggakan
kepada teman-teman mereka yang tidak terlalu beruntung untuk menerima undangan.
Cross
menatap mata Temple. “Semua pria yang bertaruh secara rutin di Knight’s sangat
menginginkan akses ke The Angel.”
Bourne
mengangguk sekali. “Itu rencana yang bagus. Semalam tanpa penjudi-penjudi
terbesarnya akan membuktikan bahwa kita bisa merebut mereka kapan pun kita mau.”
“Ada
berapa jumlahnya... tiga puluh?”
“Mungkin
lima puluh,” kata Bourne.
Cross
kembali mengalihkan perhatiannya ke arena klub, otaknya berputar menyusun
rencana, untuk bertindak. Ia akan menyelamatkan keluarganya.
Kali ini.
“Kau
butuh orang dalam untuk bisa mengenali pria-pria itu.”
“Aku
sudah punya,” tukas Cross, memperhatikan pertaruhan di bawah.
“Tentu
saja,” ujar Temple, kekaguman terdengar pada nada suaranya. “Wanita-wanitamu.”
“Mereka
bukan milikku,” Cross memastikan. Tidak ada seorang pun dari mereka yang pernah
hampir menjadi miliknya.
“Itu
tidak penting,” cetus Bourne. “Mereka memujamu.”
“Mereka
memuja apa yang bisa kulakukan untuk mereka.”
Nada
suara Temple menjadi datar. “Aku yakin itu.”
“Bagaimana
dengan adikmu?’ tanya Bourne “Ancaman ini hanya bisa berhasil kalau adikmu
menjauh dari Digger Knight. Dunblade juga.”
Cross
memperhatikan pria-pria di bawah, dengan sambil lalu menghitung taruhan mereka
–berapa banyak yang biasa mereka pertaruhkan, berapa banyak yang diperoleh The
Angel begitu mereka kalah. Berapa banyak yang dipertaruhkan kalau mereka
menang. “Aku akan bicara dengan adikku.”
Terjadi
keheningan panjang yang tidak disalahartikan oleh Cross. Gagasan bahwa ia ingin
bicara dengan adiknya –dengan anggota keluarganya yang mana saja –merupakan
suatu kejutan. Tidak menghiraukan kekagetan mitra-mitranya, Cross berbalik lalu
menatap mata Bourne. “Mengapa anggota yang datang ke sini malam ini sedikit
sekali?”
“Pesta
dansa pertunangan Marbury,” sahut Bourne, kata-katanya ditekankan oleh suara
benturan dadu dengan dadu. “Setahuku ibu mertuaku sudah mengundang semua
bangsawan. Aku kaget kalian berdua tidak menerima undangan.”
Temple
tertawa. “Lady Needham bisa pingsan kalau aku mendatangi ambang pintu
rumahnya.”
“Yah,
agaknya Lady Needham memang lebih sering pingan daripada sebagian besar orang.”
Pesta
dansa pertunangan Marbury. Pesta dansa
pertunangan Pippa Marbury.
Rasa
bersalah kembali bangkit. Mungkin sebaiknya Cross memberitahukan semuanya
kepada Bourne.
Jangan beritahu Bourne, kumohon. Permintaan sang
lady terngiang di benak Cross, dan ia mengertakkan gigi. “Lady Philippa tetap
bertunangan dengan Castleton?” tanya Cross, merasa seperti orang idiot, yakin
Bourne akan melihat makna di balik pertanyaan itu, mengenali rasa penasarannya.
Mempertanyakannya.
“Dia
sudah diberi banyak kesempatan untuk mengakhiri pertunangannya,” ujar Bourne.
“Gadis itu terlalu cerdas, dia akan bosan dengan Castleton dalam waktu dua
minggu.”
Kurang
dari itu.
“Kau
harus membatalkannya. Bahkan, Needham
harus membatalkannya,” kata Cross. Tuhan pun tahu Marquess of Needham dan Dolby
pernah membatalkan pertunangan sebelumnya. Ia nyaris menghancurkan peluang
kelima putrinya untuk mendapatkan pernikahan yang layak dengan membatalkan
sebuah pertunangan legendaris bertahun-tahun silam.
“Itu
salahku. Sial. Seharusnya aku mengakhirinya sebelum pertunangan itu dimulai,”
kata Bourne dengan getir, terdengar penyesalan mendalam pada kata-katanya. “Aku
sudah memintanya untuk mengakhirinya... Penelope juga. Kami berdua sudah
memberitahunya kalau kami akan melindunginya. Bahkan, aku akan mencarikan suami
yang pantas malam ini kalau menurutku itu bisa membantu. Tapi, Pippa tidak mau
pertunangannya dibatalkan.”
Aku akan melakukannya karena aku sudah
bersedia, dan aku tidak mau mengingkari kata-kataku. Cross mendengar
kata-kata itu, melihat mata biru Pippa yang serius selagi gadis itu membela
pilihannya untuk menikah dengan Castleton –seorang pria yang tingkat
kecerdasannya berada jauh di bawah Pippa, mustahil rasanya memercayai kalau
pernikahan yang akan segera diselenggarakan itu bukan pertunjukan lawak.
Akan
tetapi, sang lady sudah berjanji, dan ia berniat untuk menepatinya.
Dan
itu saja sudah menjadikan Pippa luar biasa.
Tidak
tahu-menahu tentang pemikiran Cross, Bourne menegakkan badan lalu merapikan
lengan jasnya sambil mengumpat kasar. “Sekarang sudah terlambat. Dia ada di
pesta dansa pertunangannya di hadapan seluruh bangsawan selagi kita bicara. Aku
harus pergi. Penelope akan memenggal kepalaku kalau aku tidak muncul.”
“Istrimu
sudah mengendalikanmu,” tukas Temple dengan datarbola biliar berbenturan selagi
ia bicara.
Bourne
tidak terpancing oleh umpatan itu. “Memang. Dan suatu hari kelak, kalau
beruntung, kau akan merasakan kebahagiaan yang sama denganku karenanya.” Ia
berbalik untuk pergi, menuju ke kehidupannya yang satu lagi –seorang bangsawean
yang baru kembali.
Cross
menghentikannya. “Sebagian besar bangsawan ada di sana?”
Bourne
membalikkan badan lagi. “Apa ada orang tertentu yang kau cari?”
“Dunblade.”
Pemahaman
melintas di mata coklat Bourne. “Kurasa dia akan hadir. Bersama baroness-nya.”
“Mungkin
aku akan berkunjung ke Dolby House.”
Bourne
mengangkat sebelah alisnya. “Aku memang senang beraksi di bawah pengawasan ayah
mertuaku.”
Cross
mengangguk.
Sudah
waktunya ia menemui adiknya. Tujuh tahun sudah terlalu lama.
Separuh
penduduk London ada di ruang dansa di bawah.
Pippa
mengintip ke bawah dari tempat persembunyiannya di barisan pilar atas dari
ruang danca Dolby House, merapat ke salah satu pilar pualam besar,
mengelus-elus kepala anjing spanilnya, Trotula, sembari memperhatikan sutra dan
satin yang mengibas berdansa waltz di
atas lantai mahoni. Ia menyibakkan tirai beludru yang tebal, melihat ibunya
menyambut barisan tamu yang tak berujung pada acara ini –yang mungkin merupakan
prestasi terbaik Marchioness of Needham dan Dolby.
Toh,
tidak setiap hari ibu lima orang putri mendapat kesempatan untuk mengumumkan
pernikahan anaknya yang terakhir. Dua
orang anaknya yang terakhir. Sang marchioness lemas saking girangnya.
Sayangnya,
tidak cukup lemas untuk melewatkan pesta dansa pertunangan ganda yang cukup
mewah hingga bisa menampung sebuah pasukan. “Hanya beberapa orang teman dekat,”
kata Lady Neddham minggu lalu, waktu Pippa menanyakan banyaknya surat balasan
yang menumpuk tinggi di atas sebuah nampan perak pada suatu siang, mengancam
akan roboh dari nampan dan menimpa bot hitam mengilat si pelayan lelaki.
Teman dekat. Pippa mengingat
dengan muram, pandangannya memperhatikan keramaian. Ia berani bersumpah ia
bahkan belum pernah bertemu dengan orang yang lebih banyak lagi dari mereka
yang ada di ruangan bawah.
Bukannya
ia tidak memahami semangat ibunya. Bagaimanapun juga, hari ini –saat kelima
gadis Marbury sudah mendapatkan pasangan secara resmi dan diketahui oleh umum
–sudah lama dinantikan, dan sempat diragukan. Tapi akhirnya, akhirnya sang
marchioness mendapatkan apa yang ia inginkan.
Pernikahan
memang diciptakan untuk para ibu, kan?
Atau,
kalau bukan pernikahan, setidaknya pesta dansa pertunangannya.
Apalagi
kalau pesta dansa pertunangannya ditujukan untuk merayakan dua orang putri.
Pandangan
Pippa dialihkan dari wajah merona dan gerak-gerik ibunya ke putri bungsu Marbury,
yang mengumpulkan tamunya sendiri di seberang ruang dansa, dikerumini oleh para
pemberi selamat, tersenyum lebar, tangannya yang bepermata diletakkan di lengan
tunangannya yang tinggi dan tampan.
Olivia
merupakan yang paling cantik dan yang paling bersemangat dari mereka berlima,
sepertinya ia mendapatkan bagian-bagian terbaik dari anggota keluarga lainnya.
Apa Olivia hanya mementingkan dirinya sendiri dan sangat percaya diri? Jelas.
Tapi sulit rasanya mengkritik karakter-karakter tersebut, karena belum pernah
sekali pun Olivia bertemu dengan orang yang tidak bisa ia menangi.
Termasuk
pria yang diprediksikan akan segera menjadi salah seorang pria yang paling
berkuasa di Inggris, karena kalau ada dua hal yang dibutuhkan oleh istri
seorang politisi, itu adalah senyum ceria dan hasrat untuk menang –hal-hal yang
Olivia miliki sepenuhnya.
Bahkan,
seisi London asyik membahas berita pernikahan yang akan segera pasangan itu
selenggarakan, Pippa rasa tidak ada seorang pun di bawah yang akan menyadari
kalau ia menghilang.
“Sudah
kuduga akan menemukanmu di sini.”
Pippa
menurunkan tirai lalu berbalik menghadap kakak sulungnya, yang baru saja
menjadi Marchioness of Bourne. “Seharusnya kau ada di pesta dansa, kan?”
Penelope
membungkukkan badan untuk memberi perhatian kepada Trotula, tersenyum waktu
anjing itu menggeram dan merapat kepada belaiannya. “Aku bisa mengajukan
pertanyaan serupa kepadamu. Bagaimanapun juga, setelah aku menikah, Ibu jauh
lebih tertarik kepadamu ketimbang aku.”
“Ibu
tidak tahu apa yang dia lewatkan,” sahut Pippa. “Kau yang menikah dengan
bajingan legendaris.”
Penelope
tersenyum lebar. “Begitu, ya?”
Pippa
tertawa. “Sangat bangga akan dirimu sendiri.” Ia kembali berbalik menghadap
pesta dansa, mengamati keramaian di bawah. “Di mana Bourne? Aku tidak
melihatnya.”
“Sesuatu
membuatnya tertahan di klub.”
Klub.
Kata
itu menggema di benak Pippa, pengingat akan kejadian dua hari yang lalu. Akan
Cross.
Cross,
yang pasti sama asingnya di dunia di
bawah seperti yang ia rasakan. Cross, dengan siapa dia bertaruh. Kepada siapa
dia kalah.
Pippa
berdeham, dan Penelope menyalahartikan suaranya. “Dia berjanji dia akan
datang,” Penelope membela suaminya. “Terlambat, tapi datang.”
“Apa
yang terjadi di klub pada jam selarut ini?” Pippa tidak dapat menahan diri agar
tidak bertanya.
“Aku...
tidak tahu.”
Pippa
tersenyum lebar. “Pembohong. Kalau keraguanmu tidak membongkar kebohonganmu,
wajahmu yang merah pasti melakukannya.”
Ekspresi
menyesal menggantikan ekspresi malu. “Wanita baik-baik tidak boleh mengetahui
hal-hal semacam itu.”
Pippa
mengerjap. “Omong kosong. Wanita baik-baik yang menikah dengan pemilik kasino
kemungkinan mengetahui hal-hal semacam itu.”
Alis
Penelope diangkat. “Ibu kita pasti tidak sependapat.”
“Ibu
kita bukan barometer tentang bagaimana wanita harus dan tidak boleh berprilaku.
Dia nyaris pingsan setiap tiga puluh menit.” Pippa kembali menyibakkan tirai
untuk melihat sang marchioness yang berdiri jauh di bawah, asyik bercakap-cakap
dengan lady Beaufetheringstone –salah seorang biang gosip terheboh di dunia
bangsawan. Seolah mendapat isyarat, Lady Needham mengeluarkan pekikan penuh
semangat yang terdengar sampai ke kasau.
Pippa
memandang Peneloppe dengan penuh pemahaman. “Nah, beritahu aku apa yang terjadi
di klub.”
“Perjudian.”
“Aku
tahu, Penny. Apa lagi.”
Penelope
memelankan suaranya. “Ada wanita.”
Alis
Pippa terangkat. “Pelacur?” Ia sudah menduga. Toh, dalam sebuah buku yang penah
ia baca, ia mendapati bahwa pria menyukai keberadaan wanita –yang bukan
merupakan istri mereka.
“Pippa!”
Penny terdengar gusar.
“Apa?”
“Seharusnya
kau bahkan tidak mengetahui kata itu.”
“Mengapa
tidak? Kata itu ada di Alkitab.”
“Tidak.”
Pippa
memikirkannya selama beberapa saat sebelum bersandar ke pilar. “Menurutku ada.
Kalau tidak, seharusnya ada. Profesi itu bukan profesi baru.”
Pippa
tertegun.
Pelacur
pasti memiliki banyak pengetahuan dasar yang dapat meredakan kecemasannya.
Menjawab pertanyaannya.
Apa kau sudah bertanya kepada
kakak-kakakmu?
Gema dari kata-kata Cross kemarin siang membuat Pippa menoleh kepada kakak
sulungnya. Bagaimana kalau ia benar-benar
bertanya kepada Penny?”
“Boleh
aku bertanya sesuatu?”
Penelope
mengangkat sebelah alisnya. “Aku tidak yakin aku bisa mencegahmu.”
“Aku
mencemaskan beberapa... masalah tertentu. Dari pernikahan.”
Sorot
mata Penelope menjadi tajam. “Masalah tertentu?”
Pippa
melambaikan sebelah tangannya di udara. “Bagian-bagian... pribadinya.”
Wajah
Penelope memerah. “Ah.”
“Olivia bercerita tentang lidah kepadaku.”
Putri
sulung Marbury mengangkat alisnya. “Apa yang dia tahu tentang lidah?”
“Lebih
dari yang kurasa kita berdua bayangkan,” jawab Pippa, “tapi aku tidak bisa
memintanya menjelaskan... aku tidak suka belajar dari adik bungsuku. Kau,
sebaliknya...”
Terjadi
keheningan selagi kata-kata itu dicerna, dan mata Penelope membelalak. “Tidak
mungkin kau memintaku mengajarimu!”
“Hanya
untuk beberapa masalah,” kata Pippa dengan nada mendesak.
“Misalnya?”
“Yah,
lidah, misalnya.”
Penelope
menutupi telinganya dengan tangan. “Jangan bicara lagi! Aku tidak mau
membayangkan Olivia dan Tottenham melakukan...” Ia terdiam.
Pippa
ingin mengguncangnya. “Melakukan apa?”
“Melakukan
apa saja!”
“Apa
kau tidak mengerti? Bagaimana mungkin aku siap menghadapi semua ini kalau aku
tidak memahaminya? Sapi jantan di Coldharbour tidak cukup!”
Penelope
tertawa singkat. “Sapi jantan di Coldharbour?”
Wajah
Pippa memerah. “Aku pernah melihat...”
“Kau
pikir seperti itu?”
“Yah,
aku tidak akan berpikir begitu kalau seseorang mau memberitahuku... maksudku,
apa punya pria... apa...” Pippa melambaikan sebelah tangan ke arah yang
spesifik. “apa ukurannya sangat besar?”
Penelope
menutupi mulut dengan sebelah tangan untuk meredam tawa, dan Pippa mendapati
dirinya merasa semakin kesal. “Aku senang aku bisa membuatmu tertawa.”
Penelope
menggelengkan kepala. “Aku...” Ia cekikikan lagi, dan Pippa menatapnya dengan
tajam. “Maafkan aku! Hanya saja... tidak. Tidak.
Punya mereka tidak mirip dengan punya sapi jantan di Coldharbour.” Terjadi
keheningan sejenak. “Dan puji Tuhan untuk itu.”
“Apa
itu... menakutkan?”
Lalu
setelah itu, mata Penelope menerawang dan sarat akan sentimentalitas. “Sama
sekali tidak,” bisiknya dengan sangat manis, dan walaupun jawaban jujur itu
menenangkan, Pippa tetap meredam keinginan untuk memutar bola matanya.
“Pikiranmu
melayang ke mana-mana.”
Penelope
tersenyum. “Kau penasaran, Pippa. Aku mengerti. Tapi semuanya akan jelas
nanti.”
Pippa
tidak suka membayangkan dirinya mengandalkan janji kejelasan. Ia
menginginkannya sekarang.
Terkutuklah
Cross dan taruhan idiot itu.
Terkutuklah
ia karena menyanggupinya.
Penelope
masih bicara, suaranya sangat lembut dan manis. “Dan kau beruntung, kau akan
mendapati...” Ia mendesah. “Yah, kau akan sangat menikmatinya, kuharap begitu.”
Ia menggelngkan kepala, tersadar dari lamunannya, lalu tertawa lagi.
“Berhentilah memikirkan sapi jantan.”
Pippa
merengut. “Mana kutahu?”
“Kau
punya perpustakaan yang dipenuhi buku-buku anatomi!” bisik Penelope.
“Yah,
aku mempertanyakan skala dari ilustrasi dalam beberapa buku itu!” Pippa balas
berbisik.
Penelope
sudah mau menyampaikan sesuatu lalu mengurungkan niatnya, mengubah taktik.
“Percakapan denganmu selalu berubah ke arah jalur-jalur yang sangat aneh.
Jalur-jalur berbahaya. Sebaiknya kita turun.”
Saudarinya
memang tidak berguna, pikir Pippa. Lebih baik ia bicara dengan seorang pelacur.
Pelacur.
Pippa
memperbaiki posisi kacamatanya. “Kembali ke wanita-wanita itu, Penny. Apa
mereka pelacur?”
Penelope
menghela napas lalu mengarahkan pandangannya ke langit-langit. “Tidak bisa
dibilang begitu.”
“Jangan
berkelit,” tukasPippa.
“Yah,
cukup kalau kukatakan mereka datang bersama pria terhormat, tapi yang pasti
mereka bukan wanita terhormat.”
Menganggumkan.
Pippa
bertanya-tanya apakah Cross berhubungan dengan wanita-wanita seperti itu. Pippa
bertanya-tanya apakah mereka berbaring bersama Cross di alas tidur kecil yang
terdapat di dalam kantornya yang berantakan dan aneh. Karena gagasan tersebut,
sesuatu yang berat dan menyesakkan muncul di dada Pippa. Ia mencerna perasaan
itu, tapi bukan rasa mual, bukan perasaan tidak bisa bernapas.
Tidak
terlalu menyenangkan.
Sebelum
Pippa menelaah sensasi itu lebih jauh, Penelope sudah melanjutkan,
“Bagaimanapun juga, apa pun yang terjadi di klub malam ini, yang pasti Bourne tidak berhubungan dengan pelacur.”
Pippa
tidak bisa membayangkan Bourne melakukan perbuatan semacam itu. Bahkan, ia
tidak bisa membayangkan Bourne melakukan sesuatu selain memanjakan Penelope
akhir-akhir ini. Hubungan mereka aneh –salah satu dari segelintir pernikahan
yang dibangun karena lebih dari sekadar alasan serasi.
Bahkan,
orang-orang yang sangat rasional pasti sependapat kalau tidak ada satu hal pun
dari Penelope dan Bourne yang serasi.
Namun
entah bagaimana, mereka mewujudkannya.
Keanehan
lainnya.
Beberapa
orang menyebutnya cinta, itu pasti. Dan mungkin itu benar, tapi Pippa tidak
pernah terlalu percaya kepada gagasan tersebut –karena sangat sedikitnya
pernikahan yang dilandaskan kepada cinta dalam dunia bangsawan, pernikahan
jenis itu lebih menyerupai tokoh mitologi. Minotaur. Atau unicorn. Atau
Pegasus.
“Pippa?”
desak Penelope.
Perhatian
Pippa kembali teralihkan kepada percakapan mereka. Apa yang sedang mereka
diskusikan tadi? Bourne. “Yah, aku
tidak tahu mengapa dia mau datang,”
cetus Pippa. “Tidak ada yang mengharapkannya menghadiri acara di dunia
bangsawan.”
“Aku
mengharapkannya untuk hadir,” kata Penelope dengan sederhana, seolah hanya itu
yang penting.
Dan
rupaya itu memang penting. “Oh, Penny. Jangan ganggu pria malang itu.”
“Pria
malang?” Penelope mendengus. “Bourne mendapatkan semua yang dia inginkan, kapan
pun di menginginkannya.”
“Bukan
berarti dia tidak membayar harganya,” sahut Pippa. “Dia pasti sangat
mencintaimu kalau dia mau datang. Kalau bisa menghindari malam ini, aku pasti
melakukannya.”
“Sejauh
ini kau berhasil dengan baik, tapi au tidak
bisa menghindari malam ini.”
Tentu
saja Penelope benar, pikir Pippa. Separuh penduduk London ada di bawah, dan setidaknya salah seorang
dari mereka sedang menunggunya memperlihatkan wajah.
Calon suaminya.
Tidak
sulit menemukan pria itu di tengah kerumunan orang. Meskipun mengenakan jas
selutut hitam necis dan celana yang sama dengan yang dipilih oleh bangsawan
lainnya. Earl of Castleton tampak menonjol, sesuatu dari dirinya terkesan
kurang anggun jika dibandingkan dengan bangsawan pada umumnya.
Castleton
berdiri di salah satu sisi ruang dansa, membungkukkan badan rendah-rendah
sementara ibunya berbisik di telinganya. Pippa tidak menyadari sebelumnya, tapi
telinga Castleton juga mencuat dengan sudut yang agak aneh.
“Kau
masih bisa mengundurkan diri,” ujar Penelope dengan suara pelan. “Tidak akan
ada yang menyalahkanmu.”
“Dari
pesta dansanya?”
“Pernikahannya.”
Pippa
tidak merespons. Ia bisa melakukannya. Ia bisa menyampaikan sejumlah hal dari
yang menggelikan sampai ke yang ketus, dan Penelope tidak akan menghakiminya
karenanya. Bahkan, kemungkinan besar kakak sulungnya ini akan senang kalau
mendengar bahwa ia ragu dengan pertunangannya.
Tapi
ia sudah berkomitmen kepada sang earl, dan ia akan loyal. Castleton tidak
pantas diperlakukan seperti itu. Castleton pria yang menyenangkan, dengan hati
yang baik. Dan itu sudah lebih baik daripada yang bisa dikatakan tentang
sebagian besar pria.
Ketidakjujuran dalam bentuk tidak
meberitahu tetap saja tidak jujur.
Kata-kata
itu terngiang di benak Pippa, kenangan akan kejadian dua hari yang lalu, akan
pria yang mempertanyakan komitmennya terhadap kejujuran.
Dunia dipenuhi oleh pembohong. Pembohong
dan penipu.
Tentu
saja, itu tidak benar. Ia bukan pembohong. Ia tidak menipu.
Trotula
menghela napas lalu merapat ke paha majikannya. Dengan sambil lalu Pippa
mengelus telinga anjing itu. “Aku sudah berjanji.”
“Aku
tahu, Pippa. Tapi terkadang janji...” Penelope terdiam.
Pippa
memperhatikan Castleton selama beberapa saat. “Aku tidak suka pesta dansa.”
“Aku
tahu.”
“Juga
ruang dansa.”
“Ya.”
“Dia
baik, Penny. Dan dia melamarku.”
Sorot
mata Penelope menjadi lembut. “Tidak apa-apa kalau kau mengharapkan yang lebih
dari itu.”
Pippa
tahu ia tidak mengharapkannya. Iya, kan?
Pippa
gelisah di balik korsetnya yang berenda ketat. “Juga gaun dansa.”
Penelope
mengikuti perubahan topik pembicaraan itu. “Tapi gaunmu bagus.”
Gaun
Pippa – dipilih dengan semangat yang nyaris menggila oleh Lady Needham –terbuat
dari kain halus hijau pucat yang cantik di atas kain satin putih. Berpotongan
rendah dengan gaya off the shoulder,
gaun itu mengikuti bentuk tubuh Pippa dari korset sampai ke pinggang sebelum
mengembang menjadi rok penuh dan megah yang bergemerisik setiap kali ia
bergerak. Di tubuh orang lain, gaun itu pasti tampak cantik.
Tapi
di tubuh Pippa... gaun itu membuatnya kelihatan semakin kurus, semakin panjang,
semakin rapuh. “Gaun ini membuatku kelihatan seperti Ardea cinera.”
Penelope
mengerjap.
“Burung
bangau.”
“Omong
kosong. Kau cantik.”
Pippa
menyapukan telapak tangannya di kain yang dijahit secara sempurna. “Kalau
begitu kurasa sebaiknya aku tetap di sini dan menjaga keutuhan ilusi itu.”
Penelope
tergelak. “Kau menunda yang tidak bisa dielakkan.”
Itu
benar.
Dan
karena itu benar, Pippa membiarkan kakaknya membawa mereka menuruni tangga
sempit yang menuju ke pintu belakang ruang dansa, di mana mereka melepaskan
Trotula ke halaman Dolby House sebelum masuk, tanpa terlihat, ke tengah
kerumunan para pemberi selamat, seolah mereka sudah ada sejak awal.
Calon
ibu mertua Pippa menemukan mereka tidak lama kemudian. “Philippa, Sayangku!”
serunya, melambaikan kipas yang terbuat dari bulu burung merak kuat-kuat di
depan wajahnya. “Ibumu bilang hanya perayaan sederhana! Tapi betapa megahnya
perayaan ini! Perayaan untuk merayakan Robert-ku dan calon pengantinnya.”
Pippa
tersenyum. “Dan jangan lupakan James-nya Lady Tottenham dan juga calon pengantinnya.”
Selama
sesaat, Countess of Castleton seolah tidak mengerti. Pippa menunggu. Pemahaman
terbersit, dan calon mertuanya tertawa, keras dan nyaring. “Oh, tentu saja!
Adikmu cantik! Sama Sepertimu! Iya kan, Robert?” Sang
Countess menepuk lengan putranya. “Dia cantik, kan?”
Castleton
cepat-cepat membenarkan. “Tentu saja! Emm... kau cantik, Lady Philippa! Kau
cantik! Cantik!”
Pippa
tersenyum. “Terima kasih.”
Ibu
Pippa menghampiri mereka, Marchioness of Needham dan Dolby sudah tidak sabar
untuk berkompetisi demi meraih penghargaan ibu-yang –paling-bersemangat. “Lady
Castleton! Mereka sungguh pasangan yang paling serasi!”
“Sangat serasi!” Lady Castleton
membenarkan, mendorong putranya untuk berdiri di dekat Pippa. “Kalian harus
berdansa! Semua orang ingin sekali
melihat kalian berdansa!”
Pippa
hampir yakin kalau hanya ada dua orang di ruangan yang ingin melihat mereka
berdansa. Mala, siapa pun yang pernah melihatnya berdansa tahu kalau mereka
tidak boleh berharap banyak, dan pengalamannya dengan Castleton mengindikasikan
hal serupa dari pihak pria itu. Tapi, sayangnya, kedua orang yang dimaksud
tidak bisa dibantah.
Dan,
berdansa akan sangat membatasi jumlah seruan yang diucapkan di dekatnya.
Pippa
tersenyum kepada tunangannya. “Tampaknya kita harus berdansa, My Lord.”
“Benar!
Benar!” Castleton langsung merapatkan kakinya dan membungkuk sekilas kepada
Pippa. “Apa kau bersedia memberiku kehormatan besar dengan sebuah dansa, My
Lady?”
Pippa
menahan keinginan untuk teratawa waktu mendengar formalitas dari pernyataan itu
lalu meraih tangan Castleton dan membiarkan sang earl membawanya untuk
berdansa.
Itu
malapetaka.
Mereka
tersandung ke lantai dansa, menyuguhkan tontonan yang memalukan. Saat bersama
mereka saling menginjak jari kaki dan tersandung kaki satu sama lain –pada
suatu saat, Castleton berpegangan kepada Pippa, kehilangan keseimbangan. Dan di
saat lainnya, mereka tersandung kaki mereka sendiri.
Castleton
tidak menghitung langkahnya untuk mengikuti orkestra, ia malah mempertahankan
percakapan dengan berteriak sampai ke seberang lantai dansa.
Pasangan-pasangan
di dekat mereka berusaha semampu mungkin untuk tidak memperhatikan, tapi Pippa
harus mengakui, itu nyaris mustahil sewaktu Castleton mengumumkan dari jarak
tiga meter jauhnya di ujung barisan. “Oh! Aku hampir lupa memberitahumu! Aku
punya betina baru!”
Tentu
saja, Castleton membahas anjing-anjingnya –topik yang sama-sama mereka sukai
–tapi Pippa rasa itu sangat mengejutkan bagi Louisa Holbrooke saat Castleton
menyampaikan pengumuman tersebut tepat dari atas kepalanya yang di tata secara
sempurna.
Pippa
tidak dapat menahan diri. Ia mulai terkekeh, mendapat tatapan aneh dari
pasangannya sendiri. Ia mengangkat sebelah tangan untuk menyembunyikan bibirnya
yang berkedut ketika Castleton menambahkan, “Dia cantik! Bulunya belang! Coklat
dan kuning... kuning sepertimu!”
Mata
di sekeliling mereka terbelalak karena perbandingan tentang rambut pirang Pippa
dengan bulu keemasan dari hewan berkaki empat Castleton yang baru. Dan pada
saat itulah kekehan berubah menjadi tawa. Bagaimanapun juga, itu percakapan
teraneh –dan keras –yang pernah Pippa alami selagi berdansa.
Pippa
tertawa di sepanjang langkah-langkah terakhir quadrillê itu, bahunya berguncang sewaktu ia melakukan bungkukkan
yang wajib disuguhkan oleh para wanita. Jika ada satu hal yang tidak akan ia
rindukan setelah menikah, itu adalah berdansa.
Pippa
menegakkan badan, dan Castleton langsung menghampirinya, membawanya ke salah
satu ujung ruangan, di mana mereka berdiri canggung tanpa berkata apa-apa
selama beberapa saat. Pippa memperhatikan tamu lainnya berbaur anggun dengan
pesta, tahu persis Castleton ada di sebelahnya. Robert.
Sudah
berapa kali ia mendengar Penny menyebut Bourne dengan panggilan Michael dengan
nada yang sangat mesra?
Pippa
menoleh kepada Castleton. Ia tidak bisa membayangkan dirinya memanggil pria itu
Robert.
“Apa
kau mau limun?” Castleton memecah keheningan.
Pippa
menggelengkan kepala, kembali mengalihkan pandangannya ke tengah ruangan. “Tidak,
terima kasih.”
“Seharusnya
aku menunggu untuk bercerita tentang anjing itu sampai kita selesai berdansa,”
kata Castleton, menarik perhatian Pippa lagi. Pipinya memerah.
Pippa
tidak menyukai gagasan bahwa Castleton malu. Sang earl tidak pantas merasa
seperti itu. “Tidak!” sergahnya mensyukuri kembalinya topik pembicaraan.
Membicarakan anjing mudah dilakukan. “Kedengarannya dia cantik. Kau sudah
menamainya?”
Castleton
tersenyum ceria dan tulus. Ia sering melakukannya. Itu pembawaan baik lainnya. “Kupikir
mungkin kau punya ide.”
Kata-kata
tersebut membuat Pippa tertegun. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk meminta
pendapat Castleton dalam hal semacam itu. Ia akan langsung manamai anjing itu
dan memperkenalkannya sebagai bagian dari keluarga. Kekagetannya pasti terlihat
di wajahnya, karena Castleton menambahkan, “Toh, kita akan menikah. Dia akan
menjadi anjing kita.”
Anjing kita.
Anjing
itu merupakan cincin rubynya Castleton. Kristal hidup dan bernapas yang diisi
dengan Kromium.
Tiba-tiba
semuanya terasa sangat serius.
Mereka
akan menikah, renung Pippa. Mereka akan punya seekor anjing. Dan ia harus
menamai anjing itu.
Seekor
anjing jauh lebih penting daripada pesta dansa pertunangan, busana pengantin,
dan rencana pernikahan –segala sesuatu yang terasa sangat sepele kalau
dipikirkan masak-masak.
Seekor
anjing membuat masa depan nyata.
Seekor
anjing berarti sebuah rumah, juga musim-musim yang berlalu, kunjungan-kunjungan
dari para tetangga, misa hari minggu, dan festival-festival panen. Seekor
anjing berarti sebuah keluarga. Anak-anak. Anak-anak
Castleton.
Pippa
mendongak memandang mata tunangannya yang ramah dan berbinar. Castleton
menunggu, tidak sabar menantikan bicara.
“Aku...”
Pippa terdiam, tidak tahu apa yang harus ia katakan. “Aku tidak punya ide yang
bagus.”
Castleton
tergelak. “Yah, dia tidak akan tahu bedanya. Kau boleh memikirkannya.” Ia
membungkuk, sejumput rambut pirang jatuh di dahinya. “Kau harus bertemu
dengannya lebih dulu. Mungkin itu akan membantu.”
Pippa
memaksakan diri untuk tersenyum. “Mungkin.”
Mungkin
itu akan membuatnya semakin ingin menikah dengan Castleton.
Ia
suka anjing. Mereka memiliki kesamaan itu.
Pemikiran
tersebut mengingatkan Pippa kepada percakapan dengan Cross, ketika ia
menyampaikan bukti yang sama tentang kecocokannya dengan sang earl. Cross
mendengus kepadanya, dan ia tidak menghiraukannya.
Hanya
itu yang mereka bicarakan tentang earl... hingga Cross menolak permintaannya
dan menyuruhnya pulang, dengan sebuah komentar yang mengiang di benaknya
sekarang, selagi ia berdiri canggung di sebelah calon suaminya. Kusarankan agar kau meminta bantuan orang
lain. Mungkin tunanganmu?
Mungkin
ia harus meminta bantuan tunangannya. Pasti Castleton tahu lebih banyak
tentang... kerumitan pernikahan. Tidak penting kalau tidak pernah sekali pun
Castleton memberi isyarat bahkan yang paling samar bahwa pria itu memedulikan kerumitan tersebut barang sedikit
saja.
Pria
tahu tentang kerumitan itu. Jauh lebih banyak daripada wanita.
Fakta
bahwa ini merupakan kebenaran yang sangat tidak adil tidaklah penting saat ini.
Pippa
melirik Castleton, yang tidak sedang melihatnya. Malah, sepertinya Castleton
melihat ke segala penjuru selain
dirinya. Ia memanfaatkan momen itu untuk mempertimbangkan langkahnya yang
selanjutnya. Toh, Castleton ada di dekatnya –cukup dekat untuk disentuh.
Mungkin ia harus menyentuh tunangannya.
Castleton
menunduk memandang Pippa, mata coklat hangatnya memancarkan kekagetan begitu ia
melihat perhatian Pippa. Pria itu tersenyum.
Sekarang
atau tidak sama sekali.
Pippa
mengulurkan tangan lalu menyentuh Castleton, meluncurkan jemarinya yang
berselubung sutra di tangan Castleton yang berselubung kulit. Senyum Castleton
tidak buyar. Alih-alih, ia mengangkat lengannya yang satu lagi menepuk tangan
Pippa dua kali, seperti menepuk kepala seekor anjing. Itu sentuhan paling tak
bernafsu yang bisa Pippa bayangkan. Sama sekali tidak mendekati janji
pernikahan. Alih-alih, sentuhan itu malah mengindikasikan bahwa Castleton sama
sekali tidak keberatan dengan bagian tentang jangan menapaki pernikahan seperti
binatang buas.
Pippa
menarik tangannya.
“Kau
baik-baik saja?” tanya Castleton, sudah mengalihkan perhatiannya ke tengah
ruangan lagi.
Tidak
dibutuhkan wanita berpengalaman untuk tahu kalau sentuhan Pippa tidak berpengaruh
bagi Castleton. Menurut Pippa itu adil, karena sentuhan Castleton juga tidak
berpengaruh baginya.
Seorang
Lady tertawa di dekat mereka, dan Pippa menoleh ke sumber suara yang ringan,
dantai, dan dibut-buat itu. Itulah jenis tawa yang tidak pernah berhasil ia
keluarkan –tawanya selalu terlalu keras, atau keluar pada waktu yang salah,
atau tidak terdengar sama sekali.
“Rasanya
aku mau limun, kalau tawaran itu masih berlaku.”
Castleton
langsung sigap begitu mendengar kata-kata itu. “Akan kuambilkan untukmu.”
“Bagus.”
Kemudian
Castleton pergi, menerobos keramaian dengan semangat yang mungkin dikaitkan
dengan sesuatu yang lebih menarik ketimbang limun.
Pippa
berencana untuk menunggu, tapi itu agak membosankan, dan mengingat sesaknya
ruangan itu dengan ratusan orang yang ada, mungkin Castleton membutuhkan waktu
seperempat jam untuk kembali, dan menunggu sendirian, di depan umum, terasa
janggal. Maka, Pippa menyelinap ke pinggir ruangan yang lebih gelap dan sepi di
mana ia berdiri diam sambil mengamati kerumunan.
Orang-orang
kelihatannya bersenang-senang. Olivia sedang mengumpulkan tamu di ujung
seberang ruangan. Olivia dan Tottenham dikelilingi oleh sekelompok orang yang
ingin memenangi perhatian dari sang calon perdana menteri. Ibu Pippa dan Lady Castleton
sudah mengumpulkan ibu Tottenham dan sejumlah wanita tua yang pasti sedang
asyik membahas gosip panas.
Selagi
ia mengamati kerumunan, perhatian Pippa tertuju ke sebuah ceruk yang berada persis
di seberangnya, di mana seorang pria tinggi berambut gelap merapatkan diri
terlalu dekat kepada lawan bicaranya, bibirnya hampir menyentu telinga wanita
itu dengan cara yang jelas menyiratkan sebuah janji rahasia. Pasangan itu
sepertinya sama sekali tidak peduli kalau mereka berada di tempat umum, dan sudah
pasti membuat lidah-lidah bergoyang di seluruh penjuru ruang dansa.
Bukan
berarti hal semacam itu aneh bagi keduanya.
Pippa
tersenyum. Bourne sudah datang dan, seperti biasa, pandangan pria itu hanya
tertuju kepada Penelope.
Hanya
segelintir orang yang memahami bagaimana Penny bisa menaklukan Bourne yang
dingin, menjaga jarak, dengan taguh itu –Pippa jarang melihat sang marquess
tersenyum atau memperlihatkan emosi apa pun selain dalam interaksi dengan
istrinya yang penuh perhatian –tapi tidak diragukan lagi kalau Bourne telah
ditaklukan, dan tergila-gila.
Penelope
bersumpah kalau itu cinta, dan bagian itulah yang tidak dipahami oleh Pippa. Ia
tidak pernah menyukai gagasan mengenai pernikahan yang dilandaskan kepada cinta
–ada terlalu banyak yang tak bisa dijelaskan. Terlalu banyak yang mistis. Pippa
tidak percaya kepada mistis. Ia percaya kepada yang faktual.
Pippa
memperhatikan kakaknya yang santun meletakkan tangan di dada suaminya lalu
mendorong dada pria itu, tertawa dan merona seperti debutan yang baru
diperkenalkan. Bourne menarik Penny mendekat lagi, mengecup pelipisnya sebelum
Penny menjauh lalu menyelinap ke tengah keramaian. Bourne menyusul, seperti
terikat.
Pippa
menggelengkan kepala karena pemandangan ganjil dan aneh itu.
Cinta,
kalau memang ada, adalah sesuatu yang sangat aneh.
Embusan
udara dingin membuat rok Pippa bergemerisik, lalu ia berbalik dan mendapati
bahwa pintu ganda besar di belakangnya sudah dibuka –pasti untuk melawan hawa
panas yang menyesakkan di dalam ruangan –dan yang satu telah terbuka lebar. Ia
beranjak untuk menutupnya, mencondongkan badan keluar balkon batu besar untuk
meraih gagang pintu.
Pada
saat itulah ia mendengarnya.
“Kau
membutuhkanku.”
“Aku
tidak butuh yang seperti itu. Sudah lama aku mengurus diriku tanpamu.”
Pippa
tertegun. Ada seseorang di luar sana. Dua
orang.
“Aku
bisa membereskan ini. Aku bisa membantu. Tapi beri aku waktu. Eanm hari.”
“Sejak
kapan kau tertarik untuk membantu?”
Tangan
Pippa meraih pinggiran pintu yang berpanel kaca, dan ia memerintahkan dirinya
untuk menutupnya. Untuk berpura-pura kalau ia tidak mendengar apa-apa. Untuk
kembali ke pesta dansa.
Ia
bergeming.
“Sejak
dulu aku ingin membantu.” Suara pria itu lembut dan mendesak. Pippa melangkah
ke luar balkon.
“Jelas
kau belum menunjukkannya.” Suara sang lady laksana baja. Marah dan tegas. “Malah,
kau tidak pernah membantu. Kau hanya merintangi.”
“Kau
berada dalam masalah.”
“Ini
bukan yang pertama kalinya.”
Kebimbangan.
Saat si pria bicara, kata-katanya yang dibisikkan singkat dan sarat akan
kecemasan. “Apa lagi?”
Wanita
itu tertawa pelan, tapi tidak ada kegembiraan pada suaranya –hanya kegetiran. “Tidak
ada yang bisa kau perbaiki sekarang.”
“Seharusnya
kau tidak menikah dengannya.”
“Aku
tidak punya pilihan. Kau tidak memberiku pilihan.”
Mata
Pippa membelalak. Tanpa disengaja ia sudah mendengar pertengkaran sepasang
kekasih. Yah, sudah bukan kekasih kalau mendengar percakapan mereka... mantan
kekasih. Pertanyaannya adalah, siapa mereka?
“Semestinya
aku menghentikannya,” bisik pria itu.
“Yah,
kau tidak melakukannya,” sergah si wanita.
Pippa
merapat ke pilar batu besar yang memberinya cukup bayangan untuk bersembunyi,
lalu memiringkan kepalanya ke samping, menahan napas, tidak sanggup
menghentikan upayanya untuk mengungkapkan identitas mereka.
Balkon
kosong.
Ia
menjulurkan kepalanya dari belakang pilar.
Benar-benar
kosong.
Di mana mereka berada?
“Aku
bisa membereskan masalahnya. Tapi kau harus menjauh darinya. Jauh sekali. Dia
tidak boleh punya akses untuk bertemu denganmu.”
Di kebun bawah.
Pippa
bergerak tanpa bersuara ke susuran batu, rasa penasarannya memuncak.
“Oh,
aku harus percaya kepadamu sekarang? Tiba-tiba kau bersedia menjagaku?”
Pippa
meringis. Nada suara wanita itu sengit. Pria yang bersangkutan –yang sama
sekali bukan pria terhormat, kalau Pippa boleh menebak- pasti sudah
memperlakukannya dengan buruk di masa lalu. Pippa menambah kecepatan
langkahnya, hampir sampai di pinggir balkon, hampir bisa mengintip dari pinggir
balkon untuk mengenali mantan kekasih misterius yang ada di bawah.
“Lavinia...”
Pria itu memulai dengan lembut, memelas, dan semangat menyambar Pippa. Sebuah nama!
Pada
saat itu ia menendang pot bunga.
Mungkin
merka tidak akan mendengar suara gesekan pelan yang timbul ketika ia menyentuh
benda besar itu... kalau ia tidak berteriak kesakitan. Tidak penting kalau
tangannya langsung diangkat untuk menutupi mulutnya, mengubah “Oh!” yang sangat
keras menjadi “Uf!” yang sangat sayup.
Tapi
keheningan sejenak yang berasal dari bawah sudah cukup untuk membuktikan bahwa
mereka mendengarnya dengan jelas.
“Aku
tidak boleh berada di sini,” bisik wanita itu, dan Pippa mendengar suara
gemerisik rok yang menjauh.
Terjadi
kesunyian selama beberapa saat, selagi Pippa membeku laksana batu, menggigit
bibir karena rasa sakit yang berdenyut-denyut di kakinya sebelum akhirnya ia
bicara, mengumpat di tengah kegelapan. “Brengsek.”
Pippa
berjongkok, meraba jari kakinya, lalu bergumam, “Kau memang pantas
mendapatkannya,” sebelum menyadari kalau cemooh seorang pria tak dikenal di
kebun yang gelap di rumah leluhurnya bukanlah ide yang bagus.
“Apa?”
tanya pria itu dengan suara pelan, sudah tidak berbisik.
Seharusnya
Pippa kembali ke pesta. Alih-alih, ia berkata, “Kedengarannya kau tidak terlalu
baik kepada lady yang tadi.”
Senyap.
“Memang.”
“Kalau
begitu, kau pantas ditinggalkan.” Pippa meremas jari kelingkingnya dan mendesis
kesakitan. “Mungkin lebih dari itu.”
“Kau
terluka.”
Perhatian
Pippa terpecah karena rasa sakit, kalau tidak ia tidak mungkin menanggapi. “Jari
kakiku terbentur.”
“Hukuman
untuk menguping?”
“Pasti.”
“Itu
akan memberimu pelajaran.”
Pippa
tersenyum. “Kurasa tidak.”
Pippa
tidak tahu, tapi ia hampir yakin kalau pria itu tergelak. “Sebaiknya kau
memastikan pasangan-pasangan dansamu tidak menginjak jari kakimu setelah kau
kembali.”
Kenangan
akan Castleton melintas. “Sayangnya kemungkinan besar paling tidak salah
seorang dari mereka akan melakukannya.” Ia terdiam. “Kedengarannya kau sudah
memperlakukan lady yang tadi dengan sangat buruk. Bagaimana ceritanya?”
Pria
itu terdiam untuk waktu yang sangat lama sampai-sampai Pippa mengira dia sudah
pergi. “Aku tidak ada untuknya waktu ia membutuhkanku.”
“Ah,”
ujar Pippa.
“Ah?”
tanya pria itu.
“Tidak
perlu membaca novel romantis sesering saudariku untuk memahami apa yang
terjadi.”
“Kau
pasti tidak pernah membaca novel romantis.”
“Tidak
sering,” kata Pippa.
“Kurasa
kau hanya membaca buku mengenai hal-hal penting.”
“Memang,”
kata Pippa dengan bangga.
“Buku
tentang fisika dan hortikultura.” Mata Pippa membelalak. “Itu bidang keahlian
Lady Philippa Marbury.
Pippa
langsung berdiri lalu melongok dari pinggir balkon, ke kegelapan di bawah. Ia
tidak bisa melihat apa-apa. Ia mendengar sapuan wol saat lengan –atau mungkin
kaki- pria itu digerakkan. Pria itu berada tepat di sana. Tepat di bawahnya.
Pippa
bergerak tanpa berpikir, menggapai pria itu, lengannya diulurkan kepada pria
itu selagi ia berbisik, Siapa kau?”
Dari
balik sarung tangan sutra Pippa sekalipun, rambut pria itu terasa lembut –seperti
bulu binatang yang lebat. Pippa menyisipkan jemarinya ke helai-helai itu sampai
melekat ke kulit kepala pria itu, hawa panasnya kontras dengan udara bulan
Maret yang dingin.
Hawa
panas itu sudah sirna sebelum Pippa bisa menikmatinya, digantikan oleh sesosok
tangan yang besar dan kuat, tidak lebih dari bayangan di tengah kegelapan yang
menganga, menangkap kedua tangan Pippa dengan mudah.
Pippa
terkesiap dan menarik tangannya.
Pria
itu tidak melepaskannya.
Apa yang ia pikirkan tadi?
Kacamata
Pippa merosot, dan ia membeku, takut kacamatanya terjatuh dari hidungnya kalau
ia terlalu benyak bergerak.
“Seharusnya
kau tahu kau tidak boleh menggapai kegelapan, Pippa,” kata pria itu dengan
lembut, bunyi nama Pippa terdengar familier di bibirnya. “Kau tidak pernah tahu
apa yang akan kau temukan.”
“Lepaskan
aku,” bisik Pippa, memberanikan diri untuk menoleh ke balik bahunya, melihat
pintu ruang dansa yang masih terbuka. “Nanti ada yang melihat.”
“Bukannya
itu yang kau inginkan?” Jemari pria itu melibat jemari Pippa, hawa panas dari
genggamannya nyaris tak tertahankan. Bagaimana mungkin pria itu terasa sangat
hangat di tengah udara yang dingin?
Pippa
menggelengkan kepala, merasakan bingkai kacamatanya semakin merosot. “Bukan.”
“Apa
kau yakin?” Genggaman pria itu digeser, dan tiba-tiba Pippa-lah yang
berpegangan kepadanya, bukan sebaliknya.
Pippa
memaksakan diri untuk melepaskan pria itu. “Yakin.” Ia meletakkan tangannya di
susuran batu, menegakkan badan, tapi kacamatanya sudah terjatuh ke dalam
kegelapan. Ia berusaha menggapai kacamatanya, tapi malah menepisnya dengan
ujung jemari, membuat benda itu melayang di tengah udara malam. “Kacamataku!”
Pria
itu menghilang, satu-satunya tanda darinya hanyalah suara desiran kain sewaktu
ia menjauh dari Pippa. Dan Pippa tidak tahu bagaimana, tapi ia bisa merasakan
kehilangan pria itu. Puncak kepala pria itu terlihat, beberapa centimeter yang
tampak kabur, oranye tua yang mengilat terkena cahaya lilin yang berasal dari
ruangan dansa.
Pengenalan
menyambar disertai oleh suatu gelombang semangat. Cross.
Pippa
menunjuknya. “Jangan bergerak.”
Pippa
sudah berjalan ke ujung balkon, di mana tangga panjang mengarah ke kebun.
Cross
menemuinya di bawah tangga batu, cahaya temaram yang berasal dari rumah membuat
wajah pria itu tertutup bayangan misterius. Menyodorkan kacamata kepadanya,
Cross berkata, “Kembalilah ke ruang dansa.”
Pippa
menyambar kacamata itu lalu mengenakannya, wajah Cross kembali jelas dan tajam.
“Tidak.”
“Kita
sudah sepakat kau akan menghentikan pencarianmu akan maksiat.”
Pippa
menarik napas dalam-dalam. “Berarti semestinya kau tidak mendorongku.”
Mendorongmu
untuk menguping dan melukai kakimu sendiri?”
Pippa
mencoba menopangkan berat badannya ke kaki yang dimaksud, meringis karena rasa
sakit yang menghunjam jarinya. “Menurutku paling-paling ada retakan ringan di
tulang phalanges-nya. Nanti juga sembuh. Aku pernah mengalaminya dulu.”
“Mematahkan
jari kakimu sendiri?”
Pippa
mengangguk. “Hanya jari kelingking. Seekor kuda pernah menginjak jari
kelingking pada kakiku yang satu lagi. Tidak perlu kukatakan, alas kaki wanita
tidak memberi banyak perlindungan dari makhluk yang memiliki alas kaki yang
lebih kuat.”
“Kurasa
anatomi juga bidang keahlianmu.”
“Benar.”
“Aku
terkesan.”
Pippa
tidak yakin Cross mengatakan yang sebenarnya”Menurut pengalamanku, ‘terkesan’
bukanlah reaksi yang lazim terhadap wawasanku dalam bidang anatomi manusia.”
“Oh,
ya?”
Pippa
menyukuri cahaya yang temaram, karena rasanya ia tidak bisa berhenti bicara. “Menurut
kebanyakan orang itu aneh.”
“Aku
bukan kebanyakan orang.”
Tanggapan
tersebut membuat Pippa terhenyak. “Kurasa begitu.” Ia terdiam, memikirkan
percakapan yang terdengar olehnya. Ia mengabaikan getar-getar keresahan yang
menyertai kenangan itu. “Siapa Lavinia?”
“Kembalilah
ke pesta dansamu, Pippa.” Cross membalikkan badan memunggungi Pippa lalu mulai
menyusuri pinggiran rumah.
Pippa
tidak bisa membiarkan Cross pergi. Ia memang sudah berjanji tidak akan
mendekati pria itu, tapi Cross ada di kebunnya. Ia pun mengekor.
Cross
berhenti lalu berbalik. “Apa kau pernah mempelajari bagian-bagian telinga?”
Pippa
tersenyum, menyambut ketertarikan Cross. “Tentu saja. Bagian luarnya disebut pinna. Sebagian orang menyebutnya auricle, tapi aku lebih suka pinna, karena itu bahasa Latin untuk
bulu, dan sejak dulu aku sudah menyukai gambarnya. Telinga bagian dalam terdiri
atas sekumpulan tulang serta jaringan yang mengesankan, dimulai dengan...”
“Mengagumkan.”
Cross memotong Pippa. “Agaknya kau tahu sangat banyak tentang organ yang
bersangkutan, namun kau gagal menggunakannya. Aku berani bersumpah aku sudah
menyuruhmu kembali ke pesta dansamu.”
“Pendengaranku
baik-baik saja, Mr. Cross. Begitu pula dengan kehendak bebasku.”
“Kau
menyulitkan.”
“Biasanya
tidak.”
“Sedang
membuka lembaran baru?” Cross tidak menyerah.
“Apa
kau terbiasa memaksa wanita berlari untuk bisa mengikutimu?”
Cross
berhenti, Pippa nyaris menabraknya. “Hanya wanita-wanita yang ingin
kusingkirkan.”
Pippa
tersenyum. “Kau datang ke rumahku,
Mr. Cross. Jangan lupakan itu.”
Cross
mengarahkan pandangannya ke langit, lalu kembali kepada Pippa, dan Pippa
berharap ia bisa melihat mata pria itu. “Ketentuan dari taruhan kita sudah
jelas... kau tidak boleh hancur. Kalau tetap di sini, kepergianmu akan
disadari, dan kau akan dicari. Dan kalau ditemukan, kau akan hancur.
Kembalilah. Secepatnya.”
Ada
sesuatu yang amat menarik dalam diri Cross –dari bagaimana pria ini terlihat
sangat tenang, sangat terkendali. Dan disepanjang hidupnya, Pippa belum pernah
lebih tidak menginginkan sesuatu dari meninggalkan Cross. “Tidak akan ada yang
menyadari kepergianku.”
“Bahkan
Castleton sekalipun?”
Pippa
bimbang, sesuatu yang menyerupai rasa bersalah bangkit. Mungkin sang earl
sedang menunggunya, limun menghangat dalam genggaman pria itu.
Sepertinya
Cross membaca pikirannya. “Dia menyadari kepergianmu.”
Mungkin
karena kegelapan. Atau mungkin karena rasa sakit di kakinya. Atau mungkin
karena percakapan mereka yang cepat hingga membuatnya merasa seolah akhirnya ia
menemukan seseorang dengan otak yang cara kerjanya sama seperti otaknya. Pippa
tidak tahu mengapa ia berkata, “Dia mau aku menamai anjingnya.”
Terjadi
keheningan selama beberapa saat sewaktu Pippa mengira Cross akan tertawa.
Kumohon, jangan tertawa.
Cross
tidak tertawa. “Kau akan menikah dengan pria itu. Permintaannya sangat wajar
kalau mengingat... segalanya.”
Cross
tidak mengerti. “Itu tidak wajar.”
“Apa
ada yang salah dengannya?”
“Angjingnya?”
“Ya.”
“Tidak,
kurasa mungkin dia anjing yang sangat bagus.” Pippa mengangkat tangan, lalu
menurunkannya. “Hanya saja rasanya sangat... sangat...”
“Final.”
Ternyata Cross mengerti.
“Tepat.”
“Ini
memang final. Kau akan menikah dengannya. Kau harus menamai anak-anaknya.
Menamai anjingnya pasti lebih mudah.”
“Yah,
begini, rasanya menamai anjing jauh lebih sulit.” Pippa menarik napas
dalam-dalam. “Apa kau pernah memikirkan pernikahan?”
“Belum.”
Jawaban Cross cepat dan jujur.
“Mengapa
belum?”
“Pernikahan
bukan untukku.”
“Kedengarannya
kau yakin sekali.”
“Memang.”
“Dari
mana kau tahu?”
Cross
tidak menjawab, diselamatkan sehingga tidak perlu melakukannya oleh kedatangan
Trotula, yang berlarian mengitari sudut rumah sambil bersuara guk dengan riang dan penuh semangat. “Angjingmu?”
tanya pria itu.
Pippa
mengangguk ketika anjing spanilnya berhenti di dekat kaki mereka, lalu Cross
berjongkok untuk mengelus anjing itu, yang mendesah dan merapat kepada belaian
tersebut.
“Dia
menyukainya,” ujar Pippa.
“Namanya?”
“Trotula.”
Salah
satu ujung bibir Cross terangkat mengulas senyum simpul yang penuh pemahaman. “Seperti
Trotula de Salerno? Dokter Italia itu?”
Tentu
saja Cross akan tahu kalau ia menamai anjingnya seperti seorang ilmuwan, pikir
Pippa. Tentu saja Cross bisa menebaknya. “Dokter wanita.”
Cross
menggelengkan kepala. “Itu nama yang mengerikan. Mungkin sebaiknya kau jangan
manamai anjing Castleton.”
“Nama
itu tidak mengerikan! Trotula de Salerno adalah nama yang sempurna!”
“Tidak,
aku akan membenarkan kalau kau berkata ‘teladan yang sempurna untuk wanita muda’
atau ‘pahlawan sains yang sempurna,’ tapi aku tidak akan membenarkan kalau kau
berkata ‘nama yang sempurna’.” Cross terdiam sebentar, menggaruk-garuk telinga
anjil spanil itu. “Hewan malang,” katanya, dan Pippa menghangat karena kebaikan
yang terkandung di dalam nada suaranya. “Dia sudah memperlakukanmu dengan
sangat buruk.”
Trotula
berbaring telentang, memperlihatkan bagian bawah tubuhnya dengan tidak tahu
malu, Cross menggaruknya di sana, dan Pippa terkesima oleh tangan Cross yang
kuat dan indah –bagaimana tangan-tangan itu membelai bulu Trotula. Setelah
mengamati selama beberapa saat, Pippa berkata, “Aku mau di luar saja. Bersamamu.”
Tangan
Cross membeku di perut si anjing. “Ke mana perginya kebencianmu terhadap
ketidakjujuran?”
Alis
Pippa menyambung. “Masih ada, tidak pergi ke mana-mana.”
“Kau
berusaha meloloskan diri dari pesta dansa pertunanganmu bersama pria lain.
Menurutku itu potret dari ketidakjujuran.”
“Bukan
pria lain.”
Cross
menegang. “Apa?”
Pippa
cepat-cepat meralat kata-katanya. “Maksudku, kau memang pria lain, tapi kau
bukan ancaman bagi Castleton. Kau... aman.” Ia terdiam... tiba-tiba tidak
merasa aman barang sedikit pun.
“Bagaimana
dengan fakta bahwa kau sudah memintaku membantumu dengan sejumlah aktivitas
yang bisa merusak reputasimu dan langsung mengakhiri pertunanganmu>”
“Itu
tetap tidak menjadikanmu seorang pria,” kata Pippa cepat-cepat. Terlalu cepat.
Cukup cepat sehingga harus ditarik kembali. “Maksudmu.. Yah, kau tahu apa
maksudku. Tidak seperti maksudmu.”
Cross
tertawa pelan lalu berdiri. “Pertama kau menawarkan diri untuk membayarku demi
seks, kemudian kau mempertanyakan maskulinitasku. Pria lain pun pasti
tersinggung karena kata-kata itu.”
Mata
Pippa membelalak. Ia tidak pernah bermaksud untuk menyiratkan... “Aku tidak...”
ia terdiam.
Cross
melangkah mendekatinya, cukup dekat sehingga Pippa bisa merasakan panas tubuh
pria itu. Suara Cross menjadi rendah dan pelan. “Pria lain pasti berusaha
membuktikan bahwa kau keliru.”
Pippa
menelan ludah. Cross sangat tinggi dan mengintimidasi dari dekat. Jauh lebih
tinggi dari pada pria mana pun yang Pippa kenal. “Aku...”
“Katakan,
Lady Pilippha.” Cross mengangkat sebelah tangan, satu jari berhenti di dekat
lelukan bibir atas Pippa, nyaris menentuhnya. “Selagi mempelajari anatomi, apa
kau pernah belajar tentang nama tempat di antara hidung dan bibir?”
Bibir
Pippa membuka, dan ia melawan keinginan untuk mencondongkan badan kepada Cross,
memaksa pria itu menyentuhnya. Ia menjawab dengan berbisik. “Filtrum.”
Cross
tersenyum. “Gadis pintar. Itu bahasa Latin. Apa kau tahu artinya?”
“Tidak.”
“Artinya
ramuan cinta. Bangsa Romawi menyakini bahwa itu merupakan tempat yang paling
erotis pada tubuh. Mereka menyebutnya panah Cupid, karena bagaimana tempat itu
membentuk bibir atas.” Sembari bicara, Cross menelusuri lekuk bibir Pippa
dengan jari, lebih berupa godaan ketimbang sentuhan, nyaris tak terasa.
Suaranya bertambah lembut, bertambah dalam. “Mereka yakin itu tanda dari dewa
cinta.”
Pippa
menarik napas, pelan dan pendek. “Aku tidak tahu itu.”
Cross
membungkuk, kian dekat, tangannya diturunkan. “Aku berani bertaruh ada banyak
hal mengenai tubuh manusia yang tidak kau ketahui. Pakar mungilku. Semua hal
yang ingin kuajarkan kepadamu dengan senang hati.”
Cross
berada sangat dekat... kata-katanya lebih menyerupai napas ketimbang suara,
merasakan di telinga, lalu pipi, membuat sensasi meliputi Pippa.
Bersama Castleton seharusnya seperti
ini.
Pemikiran itu berasal entah dari mana. Pippa mengenyahkannya, berjanji akan
menghadapinya nanti.
Tapi
sekarang... “Aku ingin belajar,” katanya.
“Jujur
sekali,” Cross tersenyum, lelukan bibirnya –filtrumnya- berada sangat dekat,
dan sama berbahayanya dengan senjata yang digunakan untuk menjulukinya. “Ini
pelajaran pertamamu.”
Pippa
ingin Cross mengajarkan segalanya.
“Jangan
menggoda singa,” kata Cross, kata-kata tersebut menyapu bibir Pippa, membukanya
dengan sentuhannya. “Karena dia pasti menggigit.”
Oh, Tuhan. Pippa menantikannya.
Cross
menegakkan badan, melangkah mundur lalu merapikan manset jasnya dengan santai,
sama sekali tidak terpengaruh oleh momen barusan. “Kembalilah ke pesta dansa
dan tunanganmu, Pippa.”
Cross
membalikkan badan, dan Pippa menarik napas panjang, merasa seolah dia sudah
kehilangan oksigen untuk waktu yang sangat lama.
Pippa
memperhatikan Cross menghilang ke dalam kepekatan, meminta pria itu untuk
kembali.
Gagal.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar