Rabu, 01 Agustus 2018

The Tarnished Lady 11


Sayang, kau belum melihat apa pun...

Selama sisa hari itu, Eadyth menugaskan setiap pelayan dalam rumah untuk membantunya mengumpulkan madu. Panen pada saat musim semi selalu menghasilkan madu yang paling melimpah dan berkualitas terbaik, namun proses produksi madu pada saat ini cenderung sulit, terkadang malah kacau.


Tenggelam dalam pekerjaan yang paling disukainya dari semua pekerjaan sebagai nyonya kastil, Eadyth memaksa semua orang yang memasuki dapurnya untuk mencuci tangan mereka dengan sabun dan menggunakan rompi yang bersih. Eadyth bahkan memeriksa kebersihan sarang lebah dan membersihkannya dari partikel-partikel debu atau serangga dengan tekun dan teliti.

Eadyth memotong sarang itu menjadi potongan-potongan dan menempatkannya di wadah keramik khusus untuk para pelanggan yang lebih suka membeli madu masih dalam sarangnya. Tapi biasanya Eadyth lebih suka menyimpan sarang itu untuk keperluannya sendiri dan hanya menjual cairan nektarnya.

Ia berusaha melakukan sendiri beberapa pekerjaan dalam proses itu, pekerjaan yang memerlukan keahlian. Dengan mata yang teliti, pertama-tama ia akan memeriksa warna madu dalam sarang itu dan memilah-milahnya.

“Apa bedanya? Madu kan tetap madu,” Bertha mengeluh, karena menginginkan semua pekerja pergi secepatnya dari wilayahnya. Kini setelah Eadyth menerapkan aturan tentang kebersihan di dalam kastil, Bertha merasa bangga dengan dapurnya yang cemerlang.

“Bedanya jauh sekali, Bertha. Kau lihat madu yang berwarna kuning cerah itu? Itu berasal dari bunga dandelion. Madu berwarna putih berasal dari clover. Bunga dari pohon buah-buahan , seperti pohon cherry, menghasilkan madu yang bening berwarna kuning keemasan. Aku suka menamai wadah-wadah maduku sehingga orang yang membeli maduku tahu madu macam apa yang mereka peroleh.”

Bertha menggerutu, “Bagiku sepertinya beberapa orang terlalu pemilih.”

Eadyth hanya tersenyum saat ia mengiris bagian atas sarang lebah itu dengan pisau tajam yang dipanaskan dengan api. Proses itu harus dilakukan dengan cepat dan dengan sentuhan cekatan untuk menghindari hilangnya madu yang berharga atau membuat kekacauan dengan cairan yang lengket itu di area kerja.

Eadyth langsung menyerahkan sarang lebah itu pada Britta, yang menaruhnya dalam kain seperti jala yang digantung di atas tempayan keramik yang besar di dekat nyala api yang hangat hingga nektar yang manis itu akan tersaring, hanya menyisakan lilin. Kemudian, Bertha akan menumbuk sarang lebah yang sudah kering itu dalam mangkuk besar. Sarang-sarang itu nantinya juga akan ditaruh di kain saring yang bersih lain di atas tempayan kedua dekat api. Ekstrak kedua ini akan menghasilkan madu berkualitas lebih rendah, tapi cocok untuk keperluan dapur, tak pernah dijual di pasar Jorvik.

Eadyth menaruh potongan-potongan sarang dan lilin yang dipotongnya dalam air hangat untuk dibersihkan dengan teliti, lalu menatanya untuk dikeringkan. Potongan-potongan itu akan disimpan untuk musim gugur saat Eadyth membuat lilin lebahnya.

Akhirnya, Eadyth menggunting kain saaring menjadi potongan-potongan panjang dan memberikannya kepada John, Larise, dan Godric untuk diisap sebagai kado istimewa, agar mereka bermain keluar halaman. Anak-anak, selalu ditemani setidaknya dua pengawal Eirik, sudah berkeliaran sepanjang pagi di dalam dapur, pura-pura membantu, padahal malah mengganggu.

“Bolehkan kami bermain dengan Prince di kebun?” tanya John saat Eadyth menyeka jari-jarinya yang lengket dengan kain basah.

“Tidak, Sayang. Ayah ingin kalian semua tinggal di dalam rumah hari ini.” Eadyth sengaja menyebut Eirik sebagai ayah John sejak pesta pernikahan, dan putranya mengejutkannya karena menerimanya dengan senang hati.

John mendongak ke arahnya dengan mata sebiru dan semenarik mata Eirik dan mengeluh, “Tapi tak ada yang mau bermain bersama kami. Mereka mengatakan kepada kami untuk tidak mengganggu mereka. Kami terlalu berisik. Ayah bilang dia akan menunjukkan cara meludah dari atas benteng saat dia pulang, tapi pasti sudah terlalu gelap saat itu.”

Eadyth berdecak jijik saat John menceritakan soal meludah, lalu menyarankan, “Dengar, Sayang, kenapa kau tak meminta Paman Wilfrid untuk mengajarimu bermain permainan papan itu? Hnefatafl, kurasa itu namanya.”

Wajah John yang muram berubah sumringah dan ia berteriak kepada Larise dan Godric, walaupun mereka hanya berjarak beberap langkah, memberitahu mereka tentang rencana baru. Mereka pun berlari sambil mejerit.

Wilfrid pastinya akan mengungkit-ngungkit masalah ini pada Eadyth nantinya. Tapi semua orang di dapur bernapas lega pada keheningan yang melanda setelah mereka pergi.

“Tuhan, aku tak pernah mendengar begitu banyak suara berteriak dan menjerit sepanjang hidupku,” komentar Bertha sambil tersenyum.

“Godric itu tak pernah mengatakan lebih dari dua kata sebelum John dan Larise datang,” tambah Bertha sambil menggeleng sedih. “Sekarang dia tak henti-hentinya mengoceh.”

Eadyth tetap diam, tahu bahwa kedua wanita itu, walaupun mengeluh panjang pendek, menyukai kehangatan yang dihadirkan oleh anak-anak tersebut ke dalam kastil yang muram ini. Walaupun dengan ancaman Steven di atas kepala mereka, Eadyth merasa rileks dalam perlindungan Eirik dan menikmtai kehidupan keluarga yang memikat.

Sore harinya, ketika mereka akhirnya membersihkan dapur, Eadyth memandang dengan bangga pada barisan panjang wadah-wadah keramik 20 periuk berisi sarang, dan 50 berisi madu, dengan tanda khusus di masing-masingnya untuk menandai jenisnya.

“Bau busuk apa ini?”

Eadyth menoleh dan melihat Eirik memenuhi ambang pintu dapur dengan sosoknya yang besar. Ia menyibak rambutnya yang panjang dengan jari-jarinya. Pakaiannya kotor. Dan Eadyth berani bersumpah ia mendengar perut suaminya itu keroncongan karena lapar.

Suaminya sudah pergi pagi-pagi sekali untuk berkuda ke ujung utara estat untuk menyelidiki masalah baru. Eadyth dengan gelisah menunggu untuk mengetahui apa yang ditemukan Eirik, tapi ekspresi kesalnya memperlihatkan kelelahan. Eadyth memutuskan untuk menunggu sebelum bertanya.

Sementara itu, ia mengisyaratkan pada beberapa pelayan dapur untuk mempersiapkan meja makan di aula utama untuk santap malam. Lalu ia menoleh kembali pada suaminya yang mengendus-endus dengan keras.

“Ini maduku,” seru Eadyth defensif, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menderu. Itu adalah saat pertama ia melihat suaminya sejak bergabi ranjang semalam. Sebelumnya, sejak pria itu menyentuh tubuh telanjangnya dengan intim. Eadyth menurunkan topi bercadarnya, berharap menyembunyikan rasa tersipu yang pasti membuat wajahnya memerah. “Apa kau tak suka madu?”

“Aku suka madu, tapi terlalu banyak makanan manis bisa membuat seseorang muntah. Seluruh kastil berbau manis. Bahkan pelataran. Ada begitu banyak lalat di sana, aku bersumpah pasti ada yang datang sejauh dari Jorvik.”

Eadyth menegang mendengar kata-kata ejekannya. “Di Hawks’ Lair, aku punya gudang khusus untuk memproses maduku, jauh dari rumah. Bagaimana pun, lalat-lalat itu akan pergi dalam sehari atau dua hari.”

“Oh, aku berani bertaruh mereka akan pergi lebih cepat dari itu,” ujar Eirik dengan malas, “terutama karena lalat-lalat itu menarik setiap gagak dari setiap daerah di Northumbria. Ada begitu banyak burung yang hinggap di halaman, aku nyaris tak bisa melihat tanah.” Lalu Eirik memandang tajam pada sepatu bot putihnya yang berbercak yang mengotori lantai dapur yang baru dibersihkan Eadyth dengan tersenyum jahil. “Mungkin kau perlu memanggil pasukan sapumu kemari. Burung-burung bodoh itu belum mendengar aturan kebersihanmu yang ketat.”

Eadyth mendidih mendengar kritikannya yang mengejek. Apakah Eirik bercanda? Atau pria itu benar-benar tak suka dengan caranya mengatur rumah?

Sementara itu, Eirik bergerak lebih dekat ke arah Eadyth, saat Bertha dan Britta mulai memindahkan wadah-wadah keramik ke gudang penyimpanan. Sambil melongok melalui bahu Eadyth, Eirik dengan santai memegang bokong kanan istrinya, dan membiarkan tangannya tetap di sana.

Eadyth nyaris teruruk ke lantai. “Lepaskan tanganmu, Pria mesum,” desisnya.

“Oh, maafkan aku, Istriku,” kata Eirik, mata birunya berkedip-kedip tanpa merasa bersalah. “Kupikir yang kupegang itu pinggiran meja.”

Eadyth memandang galak padanya, tak percaya.

“Aku tak pernah berpikir untuk memberitahumu sebelumnya, tapi aku punya masalah melihat benda yang dekat.” Eirik menyipitkan mata, menegaskan kekurangannya.

Eadyth melirik curiga padanya, tak percaya Eirik memegang bokongnya tanpa sengaja. Saat ia melihat ke arah Bertha, yang sedang mengumpulkan keramik-keramik di sebelahnya, koki yang blak-blakan itu memutar bola matanya dan berbisik, “Apa yang kubilang soal pria-pria yang penuh nafsu? Pertama menggoyangkan dada, lalu bokong.”

Eadyth menahan tawanya. Jangan tertawa! Demi Tuhan! Pria ini membuatku meleleh.

Tapi Eadyth segera saja melupakan pelecehan Eirik pada dirinya ketika dilihatnya apa yang dilakukan pria itu pada madunya. Pertama, ia mencelupkan satu jari panjangnya ke dalam keramik madu clover terbaiknya dan menjilat jari itu dengan bersih. Ia sedang akan mengetes wadah keramik yang lain ketika Eadyth menepiskan tangannya.

“Apa kau gila? Itu untuk pelanggan-pelangganku di Jorvik. Siapa yang mau membelinya setelah kau mencelupkan jari-jari kotormu di dalamnya?”

Eirik hanya menyeringai dan berpura-pura tidak mendengarnya, mencelupkan jarinya ke wadah keramik berikutnya, meneteskan madu dengan sembarangan di sepanjang meja bersih menuju ke mulut Eadyth, menawarkan nektar menis itu di ujung jarinya. “Ini, cobalah, My Lady. Selalu lebih baik mencoba produkmu sendiri. Lagi pula, kau perlu sesuatu yang manis.”

“Aku sudah cukup mencicipi hari ini,” protes Eadyth, mundur. Tapi Eirik terus mengikuti Eadyth, melambaikan jarinya yang berlumuran madu di depan bibir Eadyth, meneteskan madu itu dengan tak sengaja di atas payudaranya. Eadyth menatap panik, karena Eirik tampak seolah-olah akan menjilatnya, tapi ternyata, ia menekankan ujung jarinya pada bibir Eadyth.

“Cicipilah.”

“Tidak. Oh, demi Tuhan, setidaknya gunakan sendok. Apa kau tak punya sopan santun sama sekali?”

“Tampaknya tidak.” Eirik masih menyeringai, dan jantung Eadyth berdetak keras. Eirik menguarkan bau kuda, keringat, asap kayu, dan maskulin. Alih-alih merasa jijik, anehnya Eadyth malah tertarik pada aroma khas Eirik ini. Pria itu sangat mengusiknya, dan Eadyth tak menyukainya sama sekali. Dan kini Eirik sudah mencukur kumisnya, pria itu jadi tampak lebih muda, lebih lembut, terlalu tampan dan memikat.

Eadyth sudah mundur merapat pada tembok terjauh saat itu dan tak ingin menjadi tontonan, jadi ia menjilat pangkal jari Eirik dengan ujung lidahnya. Salah besar.

Hati-hati,  ia memperingatkan dirinya sendiri diam-diam saat setiap titik erotis yang baru diketahuinya di dalam tubuhnya tiba-tiba tergerak. Seorang pria tampan yang jahat pernah menipumu sebelumnya. Yang satu ini juga bisa mencampakanmu seperti Steven.

Tapi Eadyth tak bisa mengabaikan sensai nikmat lidahnya bergesekan dengan kulit kasar jari telunjuk Eirik. Sensasi itu meningkatkan dan memunculkan sifat feminin yang lebih lembut. Membuatnya merasa nakal. Dan luar biasa. Ia ingin merasakannya lagi.

Seharusnya tidak dilakukannya.

Ia melakukannya.

“Umm,” desahnya. “Ini madu dari bunga cherry.” Sekarang enyahlah, kau bajingan, sebelum aku melakukan sesuatu yang bodoh. Seperti menyibakkan rambut dari keningmu. Atau meraba dadamu yang berotot. Atu, demi Tuhan, menyerah pada naluriku dan merasakan madu di bibirmu.”

“Cicipi lagi,” bujuk Eirik dengan suara parau. Jarinya masih berada di depan mulut Eadyth dengan menggoda.

“Eirik, aku tidak...”

Eirik meletakkan sebelah tangannya di tembok di atas kepala Eadyth, mencondongkan tubuhnya begitu dekat. Dengan tak acuh, ia memasukkan jarinya ke dalam mulut Eadyth dan Eadyth pun tak punya pilihan lain kecuali menjilat dan mengisapnya, terutama saat Eirik mendorong masuk dan mengeluarkannya beberapa kali. Untuk alasan yang tak bisa dijelaskan, Eadyth seketika memikirkan lidah Eirik di kamar pada malam pernikahan mereka. Ciuman yang disukainya dengan tak tahu malu.

Segera saja Eadyth melupakan sama sekali soal madu saat gerakan jari Eirik menciptakan sensasi aneh di bagian tubuhnya yang lain. Payudaranya seketika terasa lebih penuh. Darahnya tampak mengental dan mengendap memberati lengan dan kakinya. Ia ingin melingkarkan lengannya di leher Eirik dan menariknya lebih dekat. Menahan dirinya dengan susah payah, Eadyth memaku bagian kecil dari dirinya yang masih bisa berpikir sehat.

Untungnya Eirik tak menyeringai lagi. Alih-alih, mata biru pria itu menggelap, dan bibirnya merekah, bergerak mendekat. Ia memandang mulut Eadyth seperti pria kelaparan yang tiba-tiba ditawari makanan.

Berusaha melawan sorot mata Eirik, Eadyth berusaha menolak pesona memabukkan dari pria yang biasa membuat seluruh indranya berkecamuk hanya dengan menggunakan jari.. Ia pasti sudah berubah menjadi wanita cabul. Oh, suaminya tak mungkin menciumnya di sini di dapur di depan semua orang. Tapi Eadyth tak peduli. Untuk alasan yang tak dipahaminya, melawan semua instingnya yang lebih waras, ia mendekat, mendambakan bibir Eirik, menginginkan sesuatu yang tak diketahui namanya, tapi Eadyth tahu itu akan memberikan kepuasan luar biasa.

Tawa Bertha yang cabul dari seberang ruangan menyentakkan mereka kembali pada kesadaran, tapi tidak sebelum Eirik menariknya mendekat dan menggigiti telinganya melalui tudung kepalanya, berbisik lembut, “Dan maukah kau mengisap madu dari lidahku juga, istriku yang manis, kalau aku membawa sewadah madu ke kamar kita malam ini?”

Jantung Eadyth berhenti berdetak sesaat karena getar kenikmatan berbahaya yang melandanya hingga membuatnya tak bisa bernapas.

“Mungkin kali ini aku tak akan terlalu kelelahan,” ujar Eirik dalam bisikan parau penuh janji sambil mendorong Eadyth dari hadapannya, menyingkir dari tembok, tak lupa mencubit bokong Eadyth setelahnya. Sebelum Eadyth mempu menegurnya, ia bertanya, “Apakah kau sudah berlatih desahan cinta yang kuajarkan padamu kemarin malam?”

Eadyth berhenti di tempatnya, menolak untuk bergerak lebih jauh. Berbalik dengan marah, ia meletakkan kedua telapak tangannya ke dada Eirik, mendorong pria itu kuat-kuat untuk menunjukkan kegusarannya. Eirik sama sekali tak bergerak.

Alih-alih, dengan mengaitkan tangannya dengan tangan Eadyth, Eirik menariknya keluar dari dapur melalui koridor menuju rumah, lalu menoleh ke belakang dari balik bahunya. “Sebaiknya kau tutup mulutmu, Eadyth, terutama dengan banyaknya lalat berkeliaran. Apalagi baumu seperti keramik madu.”

Eadyth menutup mulutnya rapat-rapat, marah pada dirinya sendiri, berjanji untuk mengendalikan emosinya yang tak karuan. Kalau saja ia bisa melawan dirinya sendiri agar tidak terpancing unmpan Eirik yang terus menerus. Bajingan yang memikat itu telah membuatnya kelimpungan dan akan segera mendominasinya dengan rayuan. Itu tak bisa dibiarkannya terjadi.

Tapi kemudian Eadyth melupakan kekesalannya ketika Eirik menjelaskan, “Aku harus bicara padamu secara pribadi tentang Steven dan penemuan kami hari ini.”

“Steven! Oh, Tuhan!” Eadyth mengutuk dirinya karena selama sejenak melupakan bahaya yang telah membawanya ke Ravenshire. Betapa bodohnya ia membiarkan dirinya terlena! Apa lagi yang dilakukan si iblis Steven itu? Melihat sikap Eirik yang diam, Eadyth tahu, pasti sesuatu yang sangat buruk telah terjadi.

Ketika mereka berada di ruang pribadi di dekat aula utama, Eirik merosot duduk di kursi dan melambaikan tangannya, mengisyaratkan Eadyth untuk duduk. Untuk pertama kalinya, Eadyth mengamati kondisi Eirik. Pria itu sudah menanggalkan perisai rantainya tapi masih mengenakan jubah berbantalan di luar pakaian dalam wolnya yang tebal. Luka goresan, memar, dan jelaga memenuhi wajah dan lengan Eirik. Jelaga? Eadyth merenung.

“Ada kebakaran, ya?”

Eirik mengangguk.

“Pondok-pondok kayu di ujung utara estatmu?”

Eirik menggeleng lelah dan menuangkan minuman ke dalam dua gelas besar, menyerahkan satu pada Eadyth.

“Tidak,” Eadyth menolak, merasa mual. Bau madu di rumah itu, ditambah berita Eirik, membuatnya mual.

Tapi Eirik tetap menyodorkan gelas itu ke tangan Eadyth. “Minumlah.”

Mata biru Eirik mengamati Eadyth dengan saksama, tapi Eadyth tak lagi peduli apakah Eirik akan mengetahui penyamarannya. Ia merasa getir, perutnya terasa tidak keruan akibat perasaan bersalah bahwa mungkin ia telah membawa penderitaan bagi orang-orang Eirik. Dan rasa bersalah itu jauh lebih berat dari penyamaran konyolnya.

Ekspresi murung Eirik membuat Eadyth takut, dan sikap pria itu yang bersikukuh menyuruh Eadyth untuk minum... well, hanya ada satu penjelasan. Eadyth meneguk dalam-dalam, nyaris tak merasakan cairan itu saat melewati gumpalan yang mulai terbentuk cepat di tenggorokannya, lalu dengan cepat menghabiskan sisa minuman di cangkirnya.

“Hawks’ Lair?”

“Ya.”

“Bagaimana mungkin?” serunya. “Aku meninggalkannya dalam keadaan terlindungi.”

Eirik menggeleng. “Bukan bangunannya. Kastil dan dindingnya masih utuh.”

Eadyth mengerutkan dahinya karena bingung, menunggu penjelasan suaminya.

Tiba-tiba Eirik menarik kursinya mendekati kursi Eadyth sehingga lutut mereka nyaris bersentuhan. Dengan lembut, Eirik menggenggam kedua tangan Eadyth dengan kedua tangannya. Alih-alih menghiburnya, perhatian Eirik itu justru semakin menakutkan Eadyth. Lalu secara mengejutkan ia mengubah topik pembicaraan. “Beritahu aku, Eadyth, berapa banyak lebah yang kau ternakan di kebunku?”

“Ap... apa?”

“Lebah-lebah itu... mereka tampaknya berkembang biak dengan cepat. Kau tahu berapa jumlah lebah yang kau punya?”

Eadyth mengangkat bahunya seolabh-olah menebak. “Mungkin seratus ribu.”

“Seratus ribu lebah!” pengertian Eirik yang manis menghilang di balik kemarahannya. “apa kau sudah tak waras? Mereka bisa mendominasi seluruh estat.”

Eadyth tersenyum. “Tidak, seratus ribu itu bukan jumlah yang besar. Dalam satu koloni saja, dengan satu ratu, bisa ada lebih dari lima puluh ribu pekerja dan dua ribu lebah jantan. Dan aku punya lusinan koloni yang berkembang.”

Mata Eirik membelalak dengan takjub.

Ini adalah pertama kalinya Eirik menunjukkan minat pada bisnisnya, dan itu sangat menyenangkan. Eadyth bahkan tak merasa perlu, dalam masalah gengsinya, untuk menarik tangannya yang masih tergenggam di tangan hangat Eirik. Bahkan tidak ketika Eirik tanpa sadar membelai luka pertunangan di pergelangan tangan Eadyth dengan ibu jarinya yang kapalan, mengirimkan kejutan halus kenikmatan yang manis ke lengan Eadyth yang mulai membuat detak jantungnya berpacu.

“Lagi pula, Eirik,” lanjutnya dengan nada suara yang normal mengejutkannya, berusaha mengabaikan indranya yang memuncak, “ratu lebah menelurkan sampai dua ribu telur setiap harinya dari Maret sampai Oktober.”

Eirik menggeleng tak percaya. “Apa yang akan kita lakukan dengan semua lebah itu? Mengubah kastil menjadi satu sarang lebah raksasa?”

“Kau tak membiarkanku menyelesaikannya. Jumlahnya tidak akan terus menerus bertambah. Contohnya, lebah-lebah pejantan mati setelah mereka...” kata-kata Eadyth mengambang ketika ia menyadari ke mana kata-kata itu berujung.

“Setelah mereka... apa?” desak Eirik.

“Kawin,” ujar Eadyth dengan suara lirih.

Eirik tertawa terbahak-bahak. “Ah, Eadyth, bukankah begitu cara dunia? Pria kawin sampai mereka mati. Dan wanita, well, wanita hanya pindah ke bunga... yang lain.” Ia mengedipkan matanya pada Eadyth.

Eadyth berusaha tak tersenyum, tapi entah bagaimana ia akhirnya tersenyum juga, meskipun bisa merasakan ada lebih banyak berita buruk yang akan di dengarnya. Eirik melepaskan satu tangan Eadyth dan menyentuh bibirnya dengan ujung jari. “Kau harus lebih sering tersenyum. Saat tersenyum wajahmu tak terlalu kaku.”

Wajah kaku! Eadyth menegang dengan pujiannya yang mengejek, lalu menyipitkan matanya curiga ketika ia menyadari kilatan nakal di mata birunya.

“Mungkin kau menganggap hidup terlalu mudah, Brengsek. Kurasa kau tersenyum terlalu sering.”

Well, itu bakatmu, Istriku. Beberapa jam lalu, aku berpikir aku tak akan bisa tersenyum lagi untuk waktu yang lama.”

Eadyth menepiskan tangan Eirik yang ada di bibirnya dan menarik tangannya yang lain dari genggaman pria itu, mendesak, “Jangan bermain dengan kata-kata. Apa yang terjadi hari ini sebenarnya?”

“Steven membakar semua ternak lebahmu di Hawks’ Lair,” ujar Eirik tanpa tedeng aling-aling. “Tak ada seekor lebah pun tersisa.”

Eadyth tercekat dan air mata mengalir di pipinya. “Apakah ada yang terluka?” bisiknya.

“Tidak, tapi keadaannya sangat kacau... api harus dipadamkan, dan puing-puingnya perlu dibersihkan. Api menjalar sepanjang setidaknya satu bidang tanah.”

“Kenapa Steven begitu kejam? Aku tak pernah menyakitinya. Tindakan terakhirnya ini sudah jelas ditujukan kepadaku.”

Eirik menggeleng. “Tidak, bukan hanya kau. Dia bermaksud memperingatkan kita semua, tapi jangan takut, My Lady. Aku sudah berjanji akan melindungimu dan putramu.”

Eadyth tersentuh oleh kata-kata Eirik, yang diungkapkan dengan tulus dan sepenuh hati, dan ia hendak memberitahukannya ketika Eirik melanjutkan, “Dan aku akan membantumu mengganti setiap ekor lebah itu, bahkan jika aku harus mengenakan salah satu masker sialanmu itu untuk melakukannya.”

Eadyth menyeka air matanya dan berusaha tersenyum. “Tidak, itu akan menjadi bahan gunjingan para pelayan... kita berdua berjalan di koridor-koridor temaram ini dengan memakai masker pelindung.”

“Apa lagi kalau kita tak mengenakan apa pun di baliknya,” tambah Eirik menyunggingkan seringai luar biasa menggoda dan nakal.

Terlalu terpana untuk membalas komentar itu, Eadyth masih berada di sana bahkan setelah Eirik pergi ke kamarnya untuk mandi. Apakah pasangan menikah melakukan hal secabul itu? Itu hal yang cabul, kan?


Ia bahkan membuat kagum dirinya sendiri dengan cerita-cerita seksnya...

Eirik masih meredam otot-ototnya yang lelah dalam bak mandi kayu yang besar lama setelah air itu menjadi dingin. Demi Tuhan! Ia berharap bisa langsung berhadapan dengan Steven dan mengakhiri aksi jahat bajingan itu. Tentunya Tuhan tak akan mengutuknya karena pembalasan itu. Namun, dunia akan berterima kasih padanya.

Dan Eadyth? Bagaimana dengan istrinya yang pembohong itu? Haruskah Eirik biarkan wanita itu mengakui penyamarannya, yang tampaknya sangat ingin dilakukan istrinya itu sekarang? Atau haruskah ia melanjutkan pura-pura tak tahu sedikit lebih lama dan berharap menemukan motif istrinya yang sebenarnya?

Eirik tak meragukan bahwa Eadyth terkejut dan sangat berduka dengan perbuatan Steven membakar lebah-lebahnya hari ini. Kecuali kalau...

Dalam beberapa hal, terlalu kebetulan bahwa Eadyth memberinya harta simpanannya yang berharga dengan jumlah yang besar untuk maskawin dan bahwa ia kebetulan memindahkan harta itu dari Hawks’ Lair sebelum kebakaran terjadi. Teka-teki itu mengganggu Eirik dan ia tak melihat jawaban yang mudah. Tapi ia bertekad membuka tabir misteri itu. Segera.

Sambil berendam di bak mandi, ia mengirim Wilfrid untuk menjemput Sigurd. Teman yang paling dipercayainya dari tanah Norse itu menyimak dengan saksama instruksinya. Eirik menginstruksikan Sigurd untuk pergi ke Hawks’ Lair, ke desa-desa sekitarnya, bahkan ke Jorvik, dan menyelidiki sebanyak mungkin tentang Eadyth dan hubungannya dengan Steven of Gravely selama bertahun-tahun lalu.

Selain karena bahaya, Eirik punya alasan lain menginginkan jawaban dengan serba buru-buru. Karena tiba-tiba, ia ingin segera menyempurnakan pernikahan dengan istrinya. Ia sudah tak meniduri wanita selama berminggu-minggu dan tubuhnya haus akan kehangatan wanita. Tapi tak sembarang wanita, ia menyadari dengan muram. Ia hanya ingin bercinta dengan si pemberang Eadyth. Siapa yang akan mengira bahwa The Raven, si gagak, yang populer di kalangan wanita, menginginkan istrinya sendiri? Bukan burung gereja yang menjemukan yang akan didapatkannya, tapi burung gelatik yang ia duga akan ditemukannya di balik semua pakaian lusuh istrinya itu.

Sepanjang hari itu Eirik terus mengenang tubuh telanjang Eadyth di ranjangnya pada malam sebelumnya, bertanya-tanya seperti apa penampilan wanita itu yang sesungguhnya tanpa coreng abu dan pakaian kumuh, ditambah lagi tanpa minyak yang melumuri rambutnya.

Seperti pria buta tadi malam, Eirik mulai mempelajari bentuk tubuh istrinya. Di balik penyamaran dingin istrinya, Eirik menduga tersimpan bara sensualitas yang menunggu untuk dihidupkan oleh pria yang tepat.

Mungkinkah Eirik yang menjadi pria itu? Apakah ia iangin menjadi pria itu?

Tentu saja!

Eirik menggeleng, mengejek dirinya sendiri, lalu menyabuni rambut dan menyelam ke dalam air untuk membilas. Saat ia muncul ke permukaan, Eadyth berdiri terpaku di tengah ruangan membawa setumpuk kain terlipat. Wanita itu terperangah dengan takjub, seolah-olah Eirik seekor paus yang mengembuskan air dari lubang bernapasnya.

Eirik menggunakan kedua tangan untuk menyibakkan rambut basah dari wajahnya. Dan berdiri.

Rahang Eadyth ternganga seperti digantung besi.

Eirik nyaris tak menahan seriangaiannya. “Bisa tolong berikan pakaian kering itu padaku?”

Eadyth memandangi bagian dari Eirik yang senang dipandang. Sangat senang. Eirik merasakan reaksi spontan, dan mata istrinya segera tersentak ke atas karena malu.

“Apa katamu?” suaranya seperti tercekik.

“Kapan?”

“Barusan.”

“Bisakah kau berikan padaku pakaian di tanganmu itu?” tanya Eirik tampak terhibur.

“Oh.” Eadyth melangkah mendekat, tampak jelas berusaha menjaga pandangannya tetap ke atas saat Eirik keluar dari bak mandi.

Dengan cepat, Eadyth meletakkan sisa pakaian yang dibawanya di sebuah peti dan berbalik untuk pergi.

“Bisakah kau mengeringkan punggungku?” tanya Eirik, berusaha menahan kepergian Eadyth.

Sepertinya Eirik mendengar suara tercekat.

“Tolong?”

Eadyth kembali ke samping Eirik, dengan menyeret kakinya. Dengan enggan, ia meraih selembar kain dan mulai mengeringkan punggung Eirik, mulai dari bahunya.

“Ada memar besar di bahumu. Apakah sakit?”

Eadyth menekankan jarinya ke dalam, dan Eirik tersentak. “Ya Tuhan! Tentu saja sakit.”

“Bagaimana kejadiannya?”

Eirik mengangkat bahunya. “Kami sedang memadamkan api, dan batang pohon yang terbakar menimpaku. Aku mendapatkan lebih dari beberapa luka goresan.”

“Pohon di kebun buah-buahan juga terbakar?” tanya Eadyth lirih.

“Ya, tapi banyak yang bisa diselamatkan dengan pencangkokan yang hati-hati. Dengan keahlianmu dalam segala hal di dunia ini, aku yakin kau pasti bisa menumbuhkannya lagi.”

Eadyth mengabaikan kata-kata ejekan suaminya. “Kau harus mengolesi memarmu dengan salep. Kulitnya lecet.”

“Bagaimana kalau diambil dari lemak babi di rambutmu?” ujar Eirik asal-asalan.

Eirik merasakan jemari Eadyth bimbang, seolah-olah bertanya apakah ia bercanda atau serius.

“Kau pernah bilang lemak itu ampuh digunakan pada kuda, kan?”

“Ya, benar dan kau memang berada dalam kategori yang sama, walau lebih mirip keledai.” Eadyth tertawa, dan jari-jarinya tak lagi tegang saat ia melanjutkan mengeringkan tubuh Eirik dengan lembut, gerakan menyeka dan membelai yang membuat indra Eirik gelisah dengan tak wajar.

“Kenapa kulitmu selalu begitu panas?” tiba-tiba Eadyth menyeletuk.

“Apa?”

Eirik menoleh ke belakang. Eadyth sedang menggigit bibir bawahnya dengan tersipu-sipu.

“Tubuhmu menguarkan panas seperti pemanggang.”

“Benarkah?” Eirik tersenyum. “Mungkin kau yang menyebabkannya dan kedekatanmu yang memabukkan yang menghangatkanku,” candanya.

“Hah! Aku dan setiap wanita lain, mulai dari sini sampai Jorvik.”

Eirik mengabaikan penghinaan Eadyth dan bertanya dengan parau, “Aku penasaran, Istriku sayang, apa yang membuatmu jadi kesal?”

Wajah Eadyth memucat, membuat abu di wajahnya bahkan menjadi semakin kelabu. Ia melemparkan handuk dengan gusar dan beranjak pergi meninggalkan Eirik. “Hentikan mengacaukan akal sehatku setiap saat.”

Eirik menyeringai. “Aku mengacaukan akal sehatmu?” Aku ingin mengacaukan lebih dari akal sehatmu sekarang ini penyihir manis. Kenapa kau tak lebih mendekat lagi? Ayolah, Eadyth, mari memainkan permainan kecil... mengacaukan akal.

Akal sehat Eadyth bukan satu-satunya yang kacau, Eirik menyadari, saat ia menunduk melihat bagian tubuhnya yang membesar dengan penuh sesal. Ia hendak berbalik, lalu bimbang, tak mau memberi Eadyth kejutan lain.

Persetan dengan kejutan, akhirnya ia memutuskan dengan seringai bajingan, dan membalik tubuhnya.

Eadyth menunduk memandang ke bawah, tersipu lagi, lalu memandang Eirik tepat di matanya, tampaknya menyadari bahwa pria itu sedang menggodanya. “Sebaiknya kau segera berpakaian, My Lord, atau beberapa burung gagak yang kau bilang di bawah tangga bisa menemukan tempat bersarang yang baru.”

Giliran Eirik yang tercekat. Ia harus mengagumi kemampuan istrinya bersilat lidah, bahkan ketika ditujukan padanya. Tergelak, ia memakai pakaian dan sepasang celana dalam yang sudah memudar, sambil tak putus memandang gerakan Eadyth yang elegan saat wanita itu meletakkan pakaian dalam di sebuah peti di kaki ranjang dan melanjutkan memungut pakaian kotor Eirik dan kain pengering yang kini telah basah. Eadyth mengepel rush rumput yang lembap di dekat bak mandi dan dikumpulkan menjadi gundukan untuk dibuang.

“Rambutmu perlu dirapikan,” komentar Eadyth dari belakang saat Eirik menyisir rambutnya yang sebahu dengan sisir gading.

“Ya, benar,” Eirik menyahut setuju, memandang bayangannya sendiri di logam mengkilap di atas wastafel. “Kau bisa melakukannya untukku.”

“Aku tak begitu pintar memotong rambut,” Eadyth mengelak.

“Ya tuhan, Eadyth! Apakah akhirnya kita menemukan sesuatu yang tak kau kuasai dengan baik?”

Eadyth tak tersenyum mendengar gurauan Eirik.

“Santailah sedikit, Istriku. Hidup terlalu singkat untuk kau cemberuti setiap saat.”

“Potong rambutmu sendiri, Brengsek. Aku tak punya waktu untuk main-main.” Eadyth mulai berjalan menuju pintu dengan setumpuk pakaian untuk dicuci.

“Jangan, tinggallah dan potong rambutku. Aku tak bisa meraih punggungku sendiri,” bujuknya. “Lagi pula, aku ingin bicara denganmu soal Steven.”

Eadyth kembali dengan enggan dan meletakkan tumpukan pakaian kotor. Saat Eirik sudah duduk di bangku pendek, memunggunginya, pria itu menyerahkan sepasang gunting besar padanya.

“Seberapa pendek yang kau inginkan?”

Eirik mengangkat bahunya dan membuat garis di udara di belakang lehernya dengan jari telunjuk. “Cukup pendek. Hanya jangan sampai kau memotong telingaku.” Atau bagian tubuh yang lain.

Eadyth tetap diam di belakang Eirik saat ia mengikat gumpalan rambutnya dan memotong ujungnya dengan gunting besar.

“Eadyth, apa kau tak pernah tertawa?”

“Aku tertawa, saat kudengar sesuatu yang memancing tawa. Sebagian besar hal-hal yang kau anggap lucu adalah gurauan vulgar yang mengolok-olokku.”

Well, benar juga, pikir Eirik. “Apa yang akan membuatmu tertawa?”

“Kau tersandung bagian tubuh di antara kakimu yang begitu kau bangga-banggakan itu,” sambar Eadyth cepat. Eirik bisa merasakan penyesalan Eadyth akan lontaran kata-katanya itu saat jari-jarinya berhenti bekerja memangkas rambutnya.

Eirik tergelak. “Kau terlalu melebih-lebihkan kemampuanku untuk... membesarkan diri,” balas Eirik cepat, menemukan bahwa ia menyukai sisi istrinya yang lebih santai dan tak terlalu resmi ini.

Istri!

Eirik teringat apa yang ia pikirkan tentang Eadyth beberapa saat lalu dan keinginannya untuk menyempurnakan sumpah pernikahan mereka. Dan alasan mengapa ia bimbang melakukan hal yang sangat didambakan tubuhnya –Steven of Gravely.

Mungkin ia hanya perlu melemparkan Eadyth ke ranjang sekarang juga dan mengakhiri semua permaianan ini. Sehari di ranjang bersama wanita yang bersedia adalah gagasan yang sangat bagus. Ia menoleh ke arah Eadyth yang menggerutu pada kata-kata gurauan terakhirnya.

Mungkin tidak sekarang, Eirik memutuskan dengan bijak.

Selesai memangkas rambut Eirik, Eadyth menyisir rambut itu untuk memeriksa apakah hasil pangkasannya sudah rata. “Ini cukup bagus,” ujar Eadyth menyingkirkan peralatannya, dan melemparkan jepit rambut yang digunakan Eirik di tumpukan kotoran basah yang akan dibuang.

Ia berdiri di tengah ruangan, seolah-olah memikirkan suatu hal yang berat.

“Eirik, sudah sejak lama aku ingin membicarakan sesuatu yang penting bagimu,” katanya bimbang.

 Eirik duduk dan mengisyaratkan Eadyth untuk duduk di kursi di sampingnya.

“Aku tak bangga dengan apa yang telah kulakukan, tapi aku ingin kau tahu bahwa hal itu perlu menurut jalan pikiranku.”

Tubuh Eirik menjadi waspada, tahu bahwa Eadyth berencana mengakui penyamarannya. Setelah kini ia tahu hal itu, Eirik bisa melihat dengan jelas bahwa Eadyth adalah wanita yang memiliki kecantikan yang istimewa. Apa yang sebelumnya dipikirkannya sebagai keriput sebenarnya adalah garis-garis cemberut yang sementara. Dan mulutnya itu, dengan tahi lalat yang menggoda, well, Eirik tak sabar untuk mengeksplorasinya dan begitu juga dengan bagian-bagian lain yang disembunyikan Eadyth dengan baik.

Tapi benarkah ia ingin Eadyth membuat pengakuan sebelum Sigurd kembali dengan hasil penyelidikannya? Satu bagian dari dirinya membutuhkan agar pengakuan ini segera berakhir sehingga ia bisa membawa Eadyth ke ranjangnya dan meredakan demam gairah yang ada di darahnya. Bagian lain, bagian yang lebih logis memperingatkannya bahwa ia bisa berisiko menanamkan benihnya di wanita lain yang mungkin bersekongkol dengan Steven untuk menghancurkannya. Tidak, ia harus menunggu beberapa hari sampai Sigurd pulang.

Eirik berusaha memikirkan cara untuk mengulur waktu. Otaknya tiba-tiba mendapatkan ide cemerlang.

“Eadyth, beritahu aku tentang lilin penanda waktumu itu?”

“Hah?”

“Kau pernah bilang padaku bahwa kau ahli membuat lilin penanda waktu. Seperti apa lilin itu? Apakah kau menciptakannya sendiri?”

“Tidak, King alfred yang mendesainnya terlebih dulu, bertahun-tahun lalu. Tapi aku melakukan eksperimen  dan menyempurnakan lilin buatanku sehingga nyaris sempurna.”

“Mana mungkin jelek?”

“Kau benar-benar ingin tahu, atau hanya ingin menyindirku?”

“Aku sungguh-sungguh ingin tahu.”

Eadyth memandangnya curiga tapi kemudian menjelaskan, “King Alfred membuat lilin dari bahan lilin seberat 72 berat penny yang akan terbakar selama empat jam, karena itu enam lilin dinyalakan per harinya untuk menandai waktu. Aku mengembangkan satu lilin ekstra besar, dengan penanda tiap satu jam, yang akan terbakar selama 24 jam, jadi...”

“Orang tak perlu lagi harus menyalakan lilin secara terus menerus,” Eirik menyelesaikan kalimat Eadyth, mau tak mau terkesan dengan kecerdasan istrinya. “Lilin itu pasti harus besar sekali.”

“Tepat sekali. Dan sangat mahal, tapi tetap saja orang membelinya sebanyak yang bisa kubuat.” Eadyth mengamati suaminya, heran selama beberapa saat sebelum bertanya, “Kenapa kau ingin tahu tentang lilinku?”

Jadi dia tak percaya dengan minatku yang tiba-tiba pada bakatnya yang hebat. Wanita pintar. “Kau tak ingin tahu alasanku.”

“Ya. Aku ingin.”

“Baiklah, kalau kau memaksa.” Sebelum aku selesai denganmu, kau akan belajar untuk tak pernah lagi berbohong padaku. Kau akan menyesali penyamaranmu lebih dari yang bisa kau duga. “Aku hanya berpikir... bisakah kau buat untukku lilin penanda lima jam?” tanyanya dengan lembut.

Eadyth menaikkan satu alisnya, kecurigaannya benar-benar bangkit sekarang. “Untuk apa?”

Kupikir kau tak akan bertanya, istri mungilku yang rapi dan serius. Coba kulihat apakah aku bisa mengacaukan akal sehatmu sedikit lagi. “Apa kau pernah mendengar tentang lima kelopak teratai?” Pasti tidak pernah, aku berani bertaruh, terutama karena aku baru saja mengarangnya di pikiranku.

“Tidak.” Eadyth mengerutkan dahi, tampaknya berusaha mengaitkan pertanyaan Eirik tentang lilin penanda waktu dengan bunga teratai. “Apakah bunga itu ada hubungannya dengan jenis lilin yang diproduksi ketika lebah mengumpulkan debu kelopak dari bunga itu?”

Eirik nyaris tak bisa menahan dirinya bertepuk tangan karena lega sebelum berkata dengan santai, “Tidak, berkaitan dengan apa yang dilakukan selama lima jam lilin itu menyala.”

“Oh?”

“Aku yakin kau tak akan tertarik.” Ia memeriksa kuku-kuku jarinya dengan gaya bosan. Tanya aku. Tanya aku. Tanya aku.

“Kau sudah membuatku tertarik.”

Membangkitkan! Itu kata kuncinya di sini, burung dara mungilku yang mudah percaya. Dan kau sudah melangkah dengan lancar ke dalam perangkapku, terima kasih banyak.Well, kalau kau benar-benar ingin tahu, ada seorang khalifah di salah satu negara timur yang punya harem-harem...”

“Oh, tidak, jangan soal cerita harem itu lagi!”

Eirik menaikkan alisnya dengan raut wajah polos. “Apa aku pernah menceritakan saga ini sebelumnya?”

“Ingat, kau pernah bilang bahwa kain tipis seperti masker pelindung lebahku dulu pernah digunakan untuk tujuan lain oleh para harem di negara timur.”

“Aku sudah lupa. Bukan, ini cerita yang lain.” Eirik mengibaskan tangannya dengan tak sabar di depan wajahnya. “Yang ini berkaitan dengan waktu, dan mungkin lilin-lilinmu.”

Eadyth memandang dengan skeptis dengan mata ungu paling indah yang pernah dilihat Eirik, akhirnya membujuk, “Teruskan.”

Oh, aku suka ini, suka sekali. “Seperti yang kubilang tadi, ada khalifah di negara timur yang membeli seorang gadis budak yang tak mau tidur dengannya.”

“Humph!”

“Bahkan saat si Khalifah setuju menjadikannya sebagai istri kesebelas, gadis itu menolak melayani Khalifah.”

“Kesebelas! Hah! Pria itu mungkin sudah terlalu lelah untuk melakukan lebih dari sekadar bernapas.”

Eirik menyeringai, puas telah memancing minat Eadyth, tak sabar ingin menjeratnya dalam jala rasa penasarannya sendiri. “Pria itu berusaha memberinya kado-kado, afrodisiak...”

“Afro... apa?”

Pertanyaan Eadyth menghentikan Eirik sesaat, menyulut segala macam fantasi tak senonoh dalah kepalanya. Saat sudah bisa mengendalikan diri, Eirik berkata dengan tak sabar, “Kita simpan penjelasan itu untuk lain waktu. Apa kau akan terus menyelaku? Kalau begitu, mungkin kita bisa ketinggalan makan malam, dan aku sangat lapar.”

“Teruskan, aku berjanji tak akan menyela lagi.”

Aku meragukan itu. “Singkat cerita, si Khslifah mengusahakan segalanya, tapi tak membuahkan hasil. Akhirnya, ia berkonsultasi pada seorang pria tua yang bijak yang memberitahunya tentang bunga teratai berkelopak lima.”

Eirik menoleh ke arah Eadyth yang mencondongkan tubuhnya dengan penuh minat. Nah begitu, percayalah, Eadyth. Sebentar lagi.

“Pria bijak itu menasehati si khalifah membagi lima jam untuk mencabut kelopak-kelopak bunga teratai. Untuk satu jam pertama, tak boleh ada sentuhan sama sekali. Kedua pria dan wanita itu hanya melepaskan pakaian mereka dan hanya berbincang. Mereka boleh minum segelas wine, mungkin agar lebih santai, dan si pria boleh memberitahu si wanita apa yang akan dilakukannya. Tentu saja, si wanita juga boleh memberitahu si pria apa yang akan dilakukannya, tapi kalau si wanita malu, si wanita itu bisa membicarakan apa yang disukainya untuk dilakukan oleh sang pria. Dan kalau si wanita sangat pemalu, mungkin dia bisa sekadar mengangguk saat si pria mengatakan sesuatu yang menarik baginya.”

“Oh, kau benar-benar tak bisa dipercaya, Eirik, menceritakan padaku cerita konyol seperti itu. Kurasa ini sudah saatnya kau mengunjungi wanita simpananmu di Jorvik. Mungkin Anda bisa menyembuhkan fantasi bejatmu.”

Eirik menegang. Ia tak suka Eadyth begitu mudah memotong [perkataannya. Dan anehnya, Eirik tak suka cara Eadyth begitu saja menerima wanita simpanannya. Itu tak wajar.

“Aku tak mau bercinta dengan Asa sekarang. Sebenarnya, belakangan ini aku memikirkanmu di ranjangku.”

Eadyth terpana tak mampu berkata-kata. Malahan, Eirik sendiri juga terkejut ia bisa begitu blak-blakan mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Tapi ia memanfaatkan kebungkaman Eadyth yang sejenak itu dan meneruskan menceritakan kisah karangannya sebelum Eadyth memprotes lagi.

“Selama jam kedua, mereka hanya berciuman, tapi tentu saja ada banyak ciuman, yang pastinya kau juga tahu itu. Melibatkan semua bagian tubuh.”

Eadyth terperanjat karena marah dan berdiri seolah-olah akan meninggalkan Eirik. “Kau... kau...”

Eirik mendorong Eadyth kembali ke kursinya dan melanjutkan, “Pada saat itu si gadis tentunya sudah mengalami satu... ah, puncaknya, kemudian...”

“Puncak?” Eadyth tergagap.

Sekarang Eirik tak mampu berkata-kata. Istrinya yang naif ini, walaupun sudah pernah tidur dengan pria sebelumnya dan melahirkan seorang anak, sama sekali tak tahu apa artinya saat seorang wanita mendaki gunung rangsangan seksual dan meledak dengan kenikmatan erotis. Eirik mencari kata-kata yang tepat dengan hati-hati sebelum berkata, “Kau pastinya tahu bahwa pria menjadi hilang akal akibat kenikmatan yang dirasakannya ketika mencapai, well, puncak. Hal yang sama juga bisa terjadi pada wanita.”

“Hilang akal! Dan itu kenikmatan yang dicari? Kurasa tidak.”

Eirik menyeringai, buru-buru mengakhiri ceritanya sebelum Eadyth mencekiknya, atau mungkin lebih buruk lagi. “Pada jam ketiga, mereka saling membelai tubuh pasangannya, mempelajari semua tempat-tempat tersembunyi yang mampu meningkatkan sensasi. Si wanita, tentunya, akan mengalami puncak sekali lagi. Atau dua kali.” Apa kau menyimak, Eadyth? Atau hanya berusaha menangkap lalat dengan mulutmu yang menganga. Ya Tuhan, aku bisa memikirkan pekerjaan yang lebih baik bagi bibir yang menggairahkan itu.

Akhirnya Eadyth kembali sadar dan mendengus tak percaya. Tapi tak bangkit dari duduknya. Tampaknya, cerita Eirik benar-benar menarik minatnya.

“Selama jam keempat,” lanjut Eirik bersemangat, “si wanita harus berbaring diam sama sekali sementara si pria mengeksplorasi payudara dan lipatan kewanitaan yang ada di antara kedua kakinya.”

“Oh, kau pria yang sangat, sangat bejat,” seru Eadyth, wajahnya berubah warna merah cerah. “Bagaimana mungkin kau mengatakan hal tak senonoh seperti itu padaku, pada seorang lady?”

“Bukan seorang lady. Tapi iatriku,” ia mengoreksi, “dan ini bukan hal yang mesum, apa yang terjadi diantara suami dan istri. Jangan, jangan pergi sebelum aku selesai.”

Eadyth berdiri, menunduk memandang galak dengan hidungnya yang angkuh ke arah Eirik. Well, kelak ia akan menaklukan dagu yang angkuh itu. “Selama jam kelima, si pria akan membenamkan dirinya ke dalam lembah si wanita yang telah siap untuk menyambutnya, dan si wanita pasti akan mengalami puncak dan bergetar mabuk kepayang beberapa kali lagi.”

Eadyth mencibir dengan keras, tampaknya tak lagi percaya pada cerita Eirik. Pada saat itu, wajah Eadyth sudah berubah menjadi ungu karena marah dan penuh dengan garis kerutan karena cemberut sehingga Eirik nyaris percaya bahwa Eadyth benar-benar setua dan sejelek penyamarannya.

“Dan berapa kali si pria akan ‘bergetar’ dan mengalami ‘puncak’ selam permainan ranjang yang berlebihan ini?”

“Oh, sepuluh atau dua belas kali,” kata Eirik, berdusta namun dengan raut wajah yang datar.

Mata Eadyth membelalak dengan terkejut. Eirik takjub bahwa istrinya yang biasanya cerdas itu tak menyadari keanehan dalam ceritanya yang tak masuk akal. Sebaiknya kau hati-hati, man, ia memaki dirinya sendiri, atau Eadyth akan mengharapkan yang lebih dari yang bisa kau berikan.

Eadyth sedang memandangnya, ternganga dengan takjub.

“Jadi sekarang kau sudah tahu cerita tentang khalifah dan bunga teratai berkelopak lima,” tutupnya dengan puas.

Memaksakan dirinya kembali tenang dan sekeras besi seperti biasanya, Eadyth menggumamkan umpatan tentang lelaki mesum yang menyebalkan sambil kembali memungut pakaian kotor dan berjalan dengan marah ke arah pintu.

“Jadi apakah kau akan membuatkan untukku lilin 5 jam?” serunya pada punggung Eadyth yang kaku.

“Saat neraka membeku dan para malaikat mengenakan seluncur es,” jawabnya dingin, tanpa menoleh. Ia membanting pintu keras-keras di belakangnya.

Well, setidaknya Eirik bisa menunda pengakuan Eadyth. Untuk sekarang ini. Tapi ia tahu ia tak bisa mengulur waktu selamanya.

Jadi apa yang akan dilakukannya selanjutnya untuk mencegah Eadyth menceritakan segala rahasianya sebelum Sigurd kembali? Dan, tentu saja, sambil sekaligus mengusik harga dirinya yang begitu tinggi dan sifatnya yang pemarah?

Eirik tersenyum pada gagasan yang menyenangkan itu.




Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar