Beradu mulut bisa menjadi rayuan yang
menggairahkan...
“Sialan!
Lihatlah caranya jalan,” komentar Eirik pada Wilfrid saat melihat Eadyth yang
dengan sengaja memerosotkan bahunya dan
berjalan sedikit pincang melewati aula menuju mimbar malam itu.
Eirik
harus menahan dirinya dari melompat melewati meja dan mencekik leher kurus
wanita itu. Bukan, bukan kurus, lebih tepatnya langsing dan elegan. Eirik
mengingatkan dirinya sendiri dengan mengejek.
“Sialan,
lihat tipu dayanya! Pada saat aku selesai dengannya, dia akan takluk sepenuhnya
dan semua itu karena alasan yang benar.”
Eirik
telah menceritakan mengenai penyamaran Eadyth pada Wilfrid. Walaupun
sahabatnya itu sudah menduga bahwa Eadyth tidak setua atau sejelek anggapan
mereka semula, Wilfrid memberitahu bahwa ia tak yakin dan, karena itu, ia ragu
untuk mengoreksi kesan Eirik yang tampaknya terlalu jauh menyimpang.
“Penglihatanku
pasti tambah buruk sehingga wanita sialan itu bisa membodohiku,” keluh Eirik
pada sahabatnya.. “Meskipun sejak kecil aku tak pernah memiliki penglihatan
yang sempurna, tapi aku tak pernah menganggapnya masalah. Tapi sekarang, aku
tidak yakin lagi.”
“Jangan,
jangan berpikir begitu. Istrimu membodohi kita semua dengan penyamarannya.”
“Harus
kuakui, saat aku mengetahui sandiwaranya hari ini, aku amat terguncang. Akan
bagaimana masa depanku nanti, sebagai seorang tentara yang buta? Tanpa
penglihatan, ksatria hanyalah cangkang, bukan laki-laki sejati.”
“Jauhkan
pikiran seperti itu dari benakmu, Eirik. Aku yakin sekali bahwa kau ingin percaya
bahwa dia tua dan, karena itu, tak pernah mengenali tanda-tanda dia masih muda.
Apa kau ingat malam pertama saat dia datang menerjang masuk ke dalam aula
seperti badai musim dingin dan menendang seekor anjing. Itu bukan tindakan
seorang wanita muda yang cantik.”
Eirik
mengamati Eadyth lekat-lekat saat wanita itu mendekat, bibirnya melengkung
sebal saat melihat betapa jelasnya penyamaran Eadyth. Eirik bertanya-tanya
sebesar apa lubang yang akan digalinya sebelum Eadyth mengakui kebenaran.
“Apa
kau masih berpikir dia bersekongkol dengan Steven?”
“Tidak,”
jawab Eirik, membelai bibir atasnya tanpa sadar, merasa sangat kehilangan
kumisnya. Itu juga kesalahan wanita itu, timbang Eirik tak masuk akal. Ia tak
akan perlu mencukur kumisnya kalau bukan karena lebah-lebah wanita itu. “Kurasa
dia tak suka perhatian dari pria dan memanfaatkan penyamarannya untuk menjaga
jarak dariku.”
“Dengan
segala hormat, My Lord, aku belum pernah bertemu dengan satu pun wanita yang
bisa menjaga jarak darimu, atau bahkan menginginkannya.”
Eirik
mengangkat bahu. “Sebagai wanita terlahir seperti itu dan tak pernah berubah...
selalu membenci sentuhan pria.” Dan aku
memang sial menikahi salah satu pembenci pria! Wilard tampaknya memikirkan
sungguh-sungguh gagasan itu, lalu mengangguk. “Apakah kau akan mengonfrontasi
Lady Eadyth tentang penipuannya sekarang?”
“Tidak.”
“Apa
yang akan kau lakukan.”
“Aku
akan memberinya cukup tali untuk menggantung dirinya sendiri.”
Wilfrid
tertawa, jelas tak sabar menunggu hiburan malam itu. Eirik tak berniat
mengecewakan temannya. Ia juga tak sabar membuat istrinya itu kena batunya,
tapi pertama-tama ia harus memendam amarahnya yang bergolak dan memasang
ekspresi datar di wajahnya yang tegang.
“Akan
menarik melihat sejauh mana dia akan memainkan sandiwaranya,” lanjut Eirik,
“dan walaupun aku ragu, aku juga tak yakin dia tak punya niat jahat. Jadi ya,
kurasa kita sebaiknya mengawasinya baik-baik sementara waktu ini. Tapi
kupastikan padamu aku akan membuatnya membayar perbuatannya ini... sekarang, dengan
cara khusus, dan nanti saat aku mengonfrontasinya.”
Wilfrid
hanya menyeringai.
Sekarang
setelah Eadyth memecahkan masalah asap di aula utama dengan cerobong asap
barunya, Eirik bisa melihat betapa rapi wanita itu dalam melakukan penyamaran.
Eadyth menarik topi bercadarnya sedikit ke depan untuk menutupi kening dan
pipinya, mengerutkan wajahnya begitu keras pasti membuat otot wajah wanita itu
pegal, dan membuat suaranya lebih berat. Eadyth bahkan mencoreng wajahnya
sedikit.
Tuhan, aku pasti tololo sekali bisa
teperdaya.
Sepanjang
acara makan itu, Eirik terus memperhatikan Eadyth dengan intensitas penuh
dendam sambil meneguk gelas demi gelas arak buatan istrinya itu. Mungkin memang
benar arak itu yang terbaik di seluruh Northumbria, seperti ucapan sesumbar
wanita itu. Mungkin Eirik akan menenggelamkan wanita itu di sebuah tong arak
buatannya sendiri.
Ingin
memancing Eadyth dalam perangkap, Eirik sengaja beberapa kali menyipitkan
matanya dan memandang benda-benda di meja dengan lebih mendekat. Biarkan wanita itu mengira aku buta dan
tidak melihat penyamarannya. Dasar Penyihir!
Eirik
memainkan permainan dalam benaknya, merencanakan metode baru dan eksotis yang
akan digunakannya untuk menyiksa wanita itu. Mencekik wanita itu terlalu bersih
dan cepat, putusnya. Dan ia ingin menunda hukumannya sampai ia yakin apa motif
Eadyth. Tapi apa yang bisa dilakukannya sekarang untuk menggoyahkan kesombongan
wanita itu tanpa mengungkapkan bahwa ia tahu permainannya?
Aaah! “Apa itu sehelai rambut yang
kulihat tumbuh di kutilmu?” tanyanya tiba-tiba, memandang tahi lalat menarik di
dekat bibir Eadyth. “Aku bisa mencabutnya untukmu, kalau kau mau. Nenekku
sering mengalaminya setelah dia mencapai usia... tertentu.” Ia memandang dengan
puas saat tangan Eadyth seketika menyentuh tahi lalatnya, mencari-cari,
walaupun istrinya itu pasti tahu bahwa itu tidak mungkin.
“Ini
tahi lalat, bukan kutil,” protes Eadyth dengan angkuh dan memandang Eirik
dengan tatapan sedingin es.
Sial! Bagaimana mungkin aku pernah
berpikir bahwa matanya terpengaruh oleh usia? Mata itu indah sekali. “Oh. Mungkin
aku salah.”
Eirik
mengulurkan tangan, menyentuh tahi lalat itu dengan ujung jarinya, lalu
menelusuri bibir atas Eadyth yang terbentuk sempurna dengan lengkungan
tengahnya yang menekuk dalam. Seketika sentakan kesadaran menghantam bagian
tubuhnya yang harus segera diabaikannya sekarang. Saluruh darah yang mendidih
dalam tubuh Eirik, yang seharusnya ditujukan pada wanita itu karena marah,
melesat ke bagian tubuh yang jauh dari otaknya itu, dan ia merasakan dirinya
mengeras tak terkendali.
Saat
ia menarik tangannya kembali, sedikit abu tertinggal di ujung jarinya. Jadi ini yang membuat kulitnya tampak
abu-abu. Apa ia menganggapku orang tolol? Pastinya begitu, sesal Eirik.
Eirik
menggosokkan jari telunjuk dan ibu jarinya, lalu membersihkan debu itu dengan
ketidakpuasan yang berlebihan. Ia mengamati Eadyth sambil menelengkan kepala
dan berkomentar, “Kau pasti berdiri terlalu dekat dengan kompor. Seharusnya kau
lebih berhati-hati.”
Eadyth
nyaris tersedak mendengar kata-kata itu.
“Apa
kau marah padaku?”
“Apa
aku punya alasan untuk marah padamu, Eadyth?”
“Ti...
tidak,” ia tergagap.. “Hanya saja kita tampaknya bergaul dengan baik belakangan
ini, dan sekarang kau tampak... well,
berbeda.”
“Ya,
kita sudah hidup bersama beberapa hari ini dengan tenang, benar juga katamu,
terutama karena aku suami yang patuh dan baik, menurutio semua perintahmu,
melakukan semua tugas yang kau berikan.”
“Kau
bisa saja menolak. Aku tak pernah memaksamu untuk membantuku.”
“Tidak,
kau memanfaatkan rasa bersalahku. Akui saja kebenaran kata-kataku.” Kalau kau sekali lagi memintaku membersihkan
jamban, aku mungkin akan membalik tubuhmu dan menggunakan rambutmu untuk
mengepel lantai yang kotor. Atau mungkin, aku akan membenamkanmu dalam air
bekas pel. Itu pasti akan membuat hidungmu yang angkuh sedikit turun.
“Apa
kau kesal karena aku memanjat pohon?”
Pohon? Pohon? Wanita ini sudah menipuku
selama berminggu-minggu dan dia membicarakan soal pohon! “Ya, aku memang
keberatan istriku memanjat pohon. Jangan lakukan lagi.”
Eirik
bisa melihat istrinya yang keras kepala itu ingin memprotes, namun mengurungkan
niatnya, pasti karena menyadari bahwa saat ini Eirik sedang bersikap sinis.
Wanita itu mungkin sedang memikirkan untuk meminta bantuannya dengan hal yang
menyebalkan lainnya. Tidak! Tidak lagi!
Eadyth
menyesap cangkir araknya, tampaknya berusaha untuk memberanikan diri. Tapi
tidak, Eirik pasti salah. Istrinya itu punya semangat seperti ksatria bayaran.
Saat wanita itu sudah selesai meneguk habis meinumannya dalam tiga kali
tegukan, ia mendongak.
“Eirik,
aku harus mengakui sesuatu. Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu sejak
lama.”
Aaah, jadi sekarang wanita itu memilih
mengakhiri sandiwaranya. Sayangnya, penyihir kecilku yang penuh tipu daya,
mungkin aku belum ingin mendengarnya. “Berapa lama?”
“Apa?”
“Sudah
berapa lama kau ingin memberitahukan padaku... tentang hal ini?” ia memandang
Eadyth seperti seekor kucing gendut yang sedang mempermainkan seekor tikus
kecil.
Seketika,
Eirik menyadari dengan seringai kepuasan dan antisipasi bahwa ia akan sangat
menikmati sekali saat mengupas semua lapisan dari tipu daya ini untuk menemukan
“perhiasan” sesungguhnya yang dimiliki istrinya ini. Mungkin ia akan
mendapatkan kejutan menyenangkan.
“Beberap
minggu. Sebenarnya, sejak pertunangan kita,” Eadyth mengakui, dengan wajah
pucat dan gugup.
Bagus. “Apakah ada hubungannya dengan
surat yang kau kirimkan ke agen bisnismu di Jorvik kemarin pagi, walaupun aku
sudah memberitahumu bahwa aku yang akan mengurus kepentinganmu?”
Eirik
bisa melihat kilat waspada di wajah Eadyth saat ia bertanya-tanya bagaimana
mungkin Eirik bisa tahu. Eadyth sudah sangat berhati-hati mengirimkan suratnya
dengan cara menitipkan kepada pengelana yang lewat, tapi Eirik sudah lebih
waspada dengan setiap orang asing yang mendekati atau meninggalkan Ravenshire
sejak Steven meninggalkan surat di kediamannya. Terutama karena ia punya lebih
banyak bukti kehadiran si earl iblis itu dikediamannya akhir-akhir ini –sumur yang
diracuni, gubuk petani yang terbakar habis, gadis desa yang diperkosa oleh
perampok-perampok tak dikenal.
“Bukan,
bukan surat agenku yang ingin kubicarakan. Lagi pula, aku sudah berniat untuk
memberitahumu soal itu.”
Pada akhirnya, mungkin. “Oh, lalu pasti
soal domba yang kau pesan tanpa meminta izin dariku.”
“Aku
berniat untuk membayarnya sendiri,” protes Eadyth, melambaikan tangannya dengan
gusar, tampaknya kecewa karena Eirik tak membiarkannya membuat pengakuan
sendiri. “Aku terus bertanya pada Wilfrid soal domba itu, dan saat kau tinggal
begitu lama di North, dan musim panas segera tiba, aku memutuskan...”
Perkataan
Eadyth terputus ketika ia mendongak, pasti karena menyadari kerutan kesal di
kening Eirik dan lengkungan di sudut-sudut mulutnya.
“Kalau
begitu pasti tentang kau melarang anjing-anjingku masuk aula utama.”
Eadyth
mendengus frustasi. “Kupikir kau akan setuju. Aku tak mau membuat masalah
bagimu.”
Masalah! Kau memang jadi masalah sejak
pertama kita bertemu, wanita cerewet. “Sebenarnya, aku tahu apa yang
meresahkanmu, Istriku. Kata-kata yang sudah kau ajarkan pada Abdul. Apa kau tak
tahu bahwa dia akan mengulang kata-kata itu padaku?”
Awalnya,
Eadyth tampak senang, pastinya sedang merayakan dalam hati kesuksesan dalam
mempermainkannya. Lalu ia kembali pada kata-katanya sebelumnya. “Kupikir kado
yang diberikan Tykir padaku atas namamu sudah cukup untuk mengesahkan
pernikahan kita.”
“Itu
memang maksudku, tentu saja, tapi tanpa penyempurnaan pengadilan dan gereja
bisa mengakhiri pernikahan kita, bahkan sekarang. Ada dua orang yang tahu bahwa
aku tak ada di sini pada malam pernikahan kita, dan bahwa aku tidur sendirian.
Kalau Steven menuntut pernikahan kita di depan Wintan, kita harus bersumpah
bahwa kita sudah melakukan hubungan suami istri.”
Eirik
memandang Eadyth terang-terangan, menikmati keresahan wanita itu dengan sangat
puas. “Apakah itu risiko yang bersedia kau ambil?”
Eadyth
bimbang sejenak sebelum menggeleng.
“Bagus.
Kalau begitu kau tidak akan keberatan kalau aku sudah memerintahkan para
pelayan untuk memindahkan barang-barangmu ke kamarku.”
“Secepat
itu?” Meskipun wajah istrinya tidak menampakan kepanikan –Tuhan, istrinya
benar-benar aktris berbakat! –jari-jari lentik Eadyth bergerak dengan gugup di
pangkuannya.
“Ya.
Apa ada masalah untuk menunda?”
Benak
Eadyth tampak menjadi kosong. Pertanyaan Eirik membuatnya tak mampu berkutik.
“Well, mungkin kau benar,” katanya dengan
kesal. “Lagi pula, hanya satu malam. Dan sebaiknya kita segera melakukan
masalah ranjang ini dan mengakhiri urusan kotor ini jadi...”
“Urusan
kotor?” tanya Eirik tak percaya. “Ini pertama kalinya aku mendengar seorang
wanita mengatakan tidur denganku adalah ‘urusan kotor’. Kau menghinaku, My
Lady.”
“Oh,
aku yakin sebagian wanita memang suka bercumbu, tapi aku...”
“Eadyth,
apakah kau tak menikmati saat bercinta dengan Steven?”
“Menikmati?
Apa yang bisa dinikmati... selain darah dan rasa sakit?”
“Tapi
setelah malam pertamamu, apakah Steven tidak memberimu kesenangan di waktu
lain?”
“Waktu
lain? Apa kau bodoh? Kenapa aku mau melakukan perbuatan menjijikkan itu lebih
dari sekali?”
Saat
itu Eirik tersenyum, dan menggeleng dengan takjub. “Kupikir...”
“Kau
pikir aku setelah itu berlarian ke sana-kemari dan membentangkan pahaku seperti
para pelacur di pelabuhan itu?” tanyanya mencemooh. “Oh, kau seperti semua
laki-laki, terutama para bandot yang mendekatiku dengan penawaran tak senonoh
setelah kelahiran John.” Ia memandang galak Eirik, tapi yang dipandang masih
terus menyeringai seperti orang bodoh. “Well,
setidaknya, aku hanya harus melakukannya sekali lagi saja, dan tak akan pernah
lagi.”
Eirik
menggeleng dengan takjub. Walaupun berpengetahuan luas dalam beberapa bidang
lain, Eadyth sepenuhnya naif dalam bidang itu. Eirik tak sabar menunggu apa
yang akan dikatakan Eadyth selanjutnya. Sungguh, ia makin menikmati istri
barunya ini.
“Ap...
apa?” tanya Eadyth dengan curiga.
Eirik
mengusap-usap bagian bibir atasnya dengan jari telunjuk, mengamati Eadyth
lekat-lekat, berusaha membayangkan betapa muda dan polosnya istrinya itu
sebenarnya di balik pakaian longgar berlapis-lapis dan kerut-kerutan buatan
yang konyol itu.
“Aku
mulai menyukai anak-anak sekarang setelah John, Larise, dan Godric ada di
sini,” ujar Eirik lembut. “Aku berpikir mungkin aku ingin punya anak lagi,
mungkin anak laki-laki.”
Sebenarnya,
itu adalah pertama kalinya gagasan tersebut terlintas dalam benak Eirik. Tapi
ternyata begitu ide itu terlontar, ia tidak merasa anti dengan gagasan untuk
punya anak lagi. Setelah kematian Elizabeth dan tekadnya untuk tak menikah
lagi, ia sudah terbiasa dengan pemikiran bahwa ia tak akan pernah punya anak
yang sah. Dan ia sangat merindukan Larise dan Emma. Sekarang setelah Larise
kembali ke Ravenshire, ia bertekad untuk membawa Emma juga.
“Anak?”
ujar Eadyth terkejut. Lalu, tampaknya juga mempertimbangkan ide itu. “Setelah
pengkhianatan Steven, aku sudah terbiasa dengan pemikiran bahwa aku tak akan
mengandung anak lagi. Itu bayangan yang menggoda, tapi...” dengan hati-hati, ia
bertanya, “Berapa kali menurutmu yang dibutuhkan? Sebelumnya, aku segera hamil
setelah satu kali.”
Eirik
menahan tawanya melihat Eadyth yang jelas tak suka dengan ide bercinta, tapi
istrinya itu tampak juga ingin punya anak lagi. “Sulit dikatakan,” jawab Eirik,
berusaha keras untuk memasang wajah datar. “Benihnya mungkin tak akan cepat
tertanam di rahimmu pada umurmu yang sudah tua.” Ia nyaris tak kuasa menahan
tawa sebelum melanjutkan, “Bagi sebagian orang, sekali saja sudah cukup. Untuk
sebagian lainnya, butuh lima puluh atau enam, atau bahkan lebih.”
“Lima
puluh kali?” Eadyth memekik, jelas tampak ngeri dengan gambaran itu.
Eirik
mengerling sebal ke arah Eadyth saat tubuh wanita itu bergidik seketika.
“Well, aku yakin kau pasti sama tidak
sukanya membayangkan harus meniduri wanita tua seperti aku, dan aku juga tak
suka tidur dengan... pria mana pun.”
“Kalau
kamarnya cukup gelap, kurasa aku bisa melakukannya,” komentar Eirik datar. “Aku
bisa berpura-pura keriput di wajahmu adalah garis senyuman. Dan aku bisa
berfantasi bahwa kaki-kaki yang melingkari pinggangku adalah kaki yang kokoh
dan berlekuk indah, bukan kaki kurus dengan lutut keriput.”
Eadyth
tercekat pada kata-kata Eirik yang menghina namun intim, tapi laki-laki itu
terus melanjutkan seperti tak menyadari bahwa ia malu. “ Mungkin kau bahkan
bisa berpura-pura antusias kalau bercinta. Apa kau bisa mendesah penuh gairah
jika dibutuhkan?”
Mulut
Eadyth ternganga dengan kata-kata Eirik yang vulgar. “Oh, kau benar-benar
keparat yang menyebalkan.”
“Tenanglah,
Eadyth. Tak perlu ada rasa malu antara suami dan istri. Kalau kau tak tahu
bagaimana caranya terdengar bergairah, aku bisa mengajarimu.” Lalu, dengan
suara yang dibuat-buat mirip perempuan, Eirik mendesah, “Oh, oh, ya, ah,
rasanya begiiiiitu menyenangkan.”
Eadyth
berdiri seketika, memandang galak ke arah Wilfrid yang terkekeh. Eirik sudah
lupa bahwa temannya masih di sana, mendengar semua kata-kata tak senonohnya. Ia
mengedipkan sebelah matanya, bersekongkol dengan temannya itu.
“Berani-beraninya
kau bicara seperti itu padaku?”
“Duduklah,
Eadyth,” kata Eirik, menyikut Wilfrid untuk menjaga tingkah lakunya. “Aku hanya
bercanda.”
“Aku
tak tertawa.”
“Mungkin
seharusnya kau tertawa. Itu bisa membuatmu lebih santai. Kau selalu terlihat
seperti seseorang yang ditusuk bokongnya.”
Wilfrid
terkekeh-kekeh, amarah yang membakar membuat wajah Eadyth merah padam, bahkan
dibalik sepuhan abu-abu di wajahnya. Eadyth tampaknya akan sangat senang kalau
bisa mencekik Wilfrid dengan tangan kosong.
“Kau
laki-laki kejam bermulut kotor!”
Eirik
mengangkat bahu. “Dan kau wanita tua yang suka mencela, Istriku. Mungkin kita
pasangan yang serasi.”
“Binatang
liar!”
“Wanita
tua masam!”
“Laki-laki
bejat bodoh!”
“Cerewet!”
“Pria
totol menjijikan!”
“Jalang!”
“Brengsek!”
Eirik
tersenyum lebar, menikmati sepenuhnya perang mulut di antara mereka serta
kemarahan Eadyth. Ia mencengkram lengan Eadyth, memaksa wanita itu kembali
duduk.
Tampak
jelas berusaha mengendalikan amarahnya, Eadyth akhirnya bisa berbicara dengan
nada normal, “Aku tak layak diperlakukan dengan cara tak sopan seperti ini.”
“Benarkah?
Ah, well, kalau begitu, aku harus
meminta maaf, kurasa.” Eirik tahu ia sama sekali tak terlihat menyesal sedikit
pun. Eadyth menoleh ke arah Wilfrid, memandangnya dengan sorot galak ketika
menyadari pria itu masih terkekeh. Wilfrid akhirnya menunduk.
“Kemari,
Istriku. Kurasa kau butuh minum arakmu.”
Eirik
mengulurkan tangan ke depan Eadyth untuk meraih tempat minuman yang ada di sisi
seberang wanita itu, tanpa sengaja menyentuh payudara kirinya. Mata Eirik
membelalak seketika merasakan respons sensual yang diakibatkan sentuhan itu.
Mengujinya lagi, ia dengan sengaja mengulangi sentuhan itu ketika mengambil
tempat minuman itu ke depannya.
Ia
merasakan puncak payudara Eadyth menegang saat bersentuhan dengan lengannya,
dan sensasi sepanas mata tombak melesat ke ujung-ujung jemarinya, yang
berhasrat untuk merasakan bentuk dan tekstur payudara Eadyth. Ia menjilat
bibirnya yang tiba-tiba kering dan berusaha mengabaikan bukti peningkatan
hasratnya di balik celana panjangnya yang ketat.
Dan
ia melihat tubuh Eadyth bereaksi tanpa sadar terhadap sentuhannya juga, dengan
cara yang tampaknya tak dipahami wanita itu. Eadyth memandang Eirik dengan
bingung sebelum menyilangkan lengannya menutupi dada, yang makin menampakkan
lekukan di balik kain tipis yang dikenakannya.
Walaupun
tindakan Eirik yang tercela, walaupun ia jijik dengan penyatuan tubuh antara
wanita dan pria, apakah tubuhnya mendambakan sentuhan Eirik? Apakah darahnya
juga mengental? Apakah tungkainya menjadi berat karena gairah?
“Kau
pria mesum,” seru Eadyth, menyentak Eirik dari fantasi sensualnya. “Jangan
samakan aku dengan gadis bodoh yang akan merentangkan kakinya hanya karena
mencium aroma kejantananmu.”
“Aro...
aroma kejantanan?” sembur Eirik.
“Jangan
pikir kau bisa menyihirku dengan cara-cara tak senonohmu.”
Eadyth
mendengus dengan cara yang sama sekali tak feminin. “Pergilah ke Jorvik dan
lampiaskan hasratmu itu pada wanita simpananmu, tapi jangan ganggu aku.”
Eirik
tersenyum, menyadari istri barunya sulit menolak pesonanya. Wanita itu akan
sepenuhnya kehilangan kendali dirinya.
Eadyth
berdiri, bersiap meninggalkan mimbar itu.
“Apa
kau menyusui bayimu?”
“Kau
bilang apa barusan?” tanya Eadyth, terhenyak kembali ke kursi. Lalu ia
menyadari, dengan lemas, menyadari bahwa Eirik memandangi payudaranya.
Eirik
menyukainya.
Eadyth
menyilangkan lengannya lagi, memandang Eirik dengan sorot mata ungu yang galak.
“Apakah
kau menyusui John saat bayi?”
“Kenapa?”
tanya Eadyth dengan suara tercekat melalui bibir lembutnya yang menggoda.
Eirik
mengangkat bahu, merasa semakin sulit untuk tetap marah pada wajah Eadyth yang
begitu memikat. “Aku hanya penasaran apakah puncak payudaramu masih berwarna
merah muda, atau berwarna merah mawar seperti kebanyakan wanita yang telah
melahirkan. Dan...”
“Argh!
Kau benar-benar menyebalkan.” Eadyth seketika berdiri, memandang galak ke arah
Eirik dan Wilfrid, yang sama-sama terkekeh karena akhirnya berhasil memecahkan
cangkakng keangkuhan Eadyth. Kali ini Eadyth tak akan membiarkan Eirik
menariknya kembali duduk. Suara tawa mereka mengikuti seiring langkahnya yang
gusar menapaki anak tangga panggung dan melewati aula utama.
Eirik
menyadari bahwa Tykir benar tentang ayunan pinggul Eadyth. Matanya mengikuti
tubuh Eadyth sampai wanita itu mulai menaiki tangga menuju lantai dua.
Siapa mengira bermain dalam kegelapan
bisa begitu menyenangkan?...
Beberapa
jam kemudian, ketika Eirik memasuki kamar gelap itu, ia menyalakan lilin, lalu
tergelak saat memandang ke ranjang. Istrinya yang keras kepala berbaring di
balik berlapis-lapis kain linen. Wanita itu pasti sedang kepanasan dalam udara
panas bulan Mei ini. Eadyth memeluk pinggiran bingkai ranjang, berpura-pura
tidur.
Eirik
menyeringai.
Pertama,
ia kencing dengan berisik di kamar kecil di balik tirai di sisi kamar, yakin
bahwa aspek intim kehidupan pernikahan yang ini akan menjengkelkan istrinya
yang pemarah. Setelah membasuh wajah dan lengannya di semangkuk air, ia
melepaskan seluruh pakaiannya dan menyelinap ke ranjang besar yang mendominasi
bagian tengah kamar itu.
Ia
menggeserkan sebelah kaki telanjangnya ke sisi Eadyth, menyenggolkan dengan ibu
jarinya yang besar. Eadyth tersentak dan nyaris terjatuh dari ranjang. Eirik
tersenyum sendiri, lalu berseru, “Ya Tuhan, Eadyth! Kenapa kau memakai begitu
banyak pakaian?”
“Aku
kedinginan,” suara pelan Eadyth yang teredam terdengar dari bawah selimut yang
kini ditarik ke atas hidungnya.
“Tunjukkan
kakimu padaku,” suara teredam yang lain terdengar, suara yang lebih melengking
dari suara Eadyth, terdengar dari sudut ruangan, di mana terdapat sebuah sarang
burung yang ditutupi kain gelap. Lalu terdengar lagi, “Apa kau mau melihat
bokongku?”
Eadyth
mengerang dan menggumamkan sesuatu tentang membuat bubur burung beo.
Eirik
menggeleng takjub pada hidupnya yang dulunya tenang kini menjadi penuh lelucon.
Namun kemudian ia mengernyit sebal ketika teringat bahwa dirinyalah yang
menjadi target dari lelucon yang paling besar –penyamaran istrinya.
“Lepaskan
pakaian itu, Eadyth. Kau akan membuat ranjang terlalu panas untuk kutiduri
dengan panas tubuhmu.
Eadyth
menggerutukan sesuatu, dan Eirik berani bersumpah ia mendengar Abdul terkekeh.
“Setidaknya,
padamkan lilinnya. Ini tak sopan,” pinta Eadyth dengan nyaring. Saat Eirik tak
melakukan permintaannya, Eadyth menoleh dengan kesal. Wanita itu seperti berniat
menempelengnya. Eadyth terkesiap ketika melihat tubuh polos Eirik berbaring
santai di sampingnya, dengan kedua tangan terlipat di belakang kepalanya.
Dengan cepat, ia memalingkan wajahnya karena malu.
“Ah,
well, aku bisa mengerti sikap malu
seorang pengantin dengan suami barunya,” ujar Eirik dalam suara yang dibalut
kekhawatiran sebelum bangun untuk melakukan permintaannya. Saat kamar itu
sepenuhnya gelap, dan ia kembali ke ranjang, menyadari bahwa Eadyth sudah
melepaskan gaunnya dengan waktu yang memecahkan rekor dan sudah telanjang tapi
sudah bersembunyi lagi di balik seprai.
Oh, Eadyth, kau benar-benar salah kalau
kau pikir bisa bersembunyi dariku. Kau akan membayar mahal atas penipuanmu
padaku. Pada waktu yang tepat. Dengan caraku sendiri.
Eadyth
berbaring miring memunggungi Eirik, sekaku tongkat. Perlahan, Eirik menggeserkan
kakinya lebih dekat ke arah Eadyth, menguji reaksinya. Hanya sentuhan ringan
kakinya yang berbulu di betis Eadyth yang lembut sudah membuat wanita itu
tersentak. Eirik juga merasakan sentakan, tapi sentakannya adalah gairah liar
yang melesat ke atas kakinya dan menyebar ke semua organ sensual di tubuhnya –terutama
yang berpusat di pangkal pahanya.
Tiba-tiba,
Eirik berharap ia tadi tak memadamkan lilin itu. Ia ingin melihat lebih jelas
istri barunya ini. Dan rambut panjang ikal yang dilihatnya sekilas sore ini.
Bagaimana kelihatannya saat rambut itu tergerai di atas kain linen yang putih?
Eirik
dengan sembarangan meraba-raba di sekitar bantal Eadyth tapi tak merasakan untaian
rambut selembut sutra. Ia mendekat, dan akhirnya menemukan kepala Eadyth, tapi
si penyihir itu mengepang rambutnya dan menjalinnya dalam jala ketat di sekitar
kepalanya. Dan lebih buruk lagi, rambut itu dilumuri lemak yang tebal dan
menggumpal. Ia mengendus jari-jarinya. Ya Tuhan, jadi itu sebabnya rambut pirang Eadyth yang keperakan tampak abu-abu
seperti beruban. Eadyth bersusah payah menipunya. Kenapa?
“Dengar,
aku tak ingin menunda-nunda hal yang bisa dihindarkan, betapapun menjijikannya.
Banyak yang harus kulakukan besok. Saat ini waktunya untuk mengumpulkan madu
dari beberapa sarang lebahku. Bertha dan aku berniat menyaring semuanya dan
memasukkannya di wadah-wadah untuk di jual. Mari kita selesaikan... urusan
ranjang ini agar aku bisa segera tidur.”
“Hah?”
“Lakukan...
saja.”
Ya Tuhan, Wanita bawel ini mengira ia
juga bisa ‘mengatur’ urusan hubungan suami istri.
Eirik
mendengar suara gemerisik kain dan bergerak mendekat melihat apa yang dilakukan
istrinya. Diterangi cahaya bulan yang menembus masuk melalui dua celah
berbentuk anak panah di tembok di dekatnya, Eirik bisa melihat, nyaris bisa,
istrinya yang patuh itu berbaring telentang, dengan kedua tangan terulur kaku
di kedua sisi tubuhnya, mata terpejam rapat dan kedua kaki terentang lebar
seperti korban persembahan. Dan Eadyth benar-benar telanjang!
Walaupun
pose Eadyth yang mirip martir itu sama sekali tak sensual, Eirik merasakan detak
jantungnya berpacu. Ujung jemarinya berhasrat untuk memeriksa semua tempat
misterius yang selama ini disembunyikan istrinya. Bibirnya nyeri karena ingin
mencicipi bibir Eadyth yang indah. Lidah Eirik haus untuk mengecap mulut Eadyth
dan merasakan lentur kulitnya, dan oh, Tuhan, apalagi kelezatan di antara
kakinya.
Dan
bagian tubuhnya yang paling hangat itu! Bagian itu hanya ingin terbenam dalam
tubuh Eadyth yang seperti perawan.
Eirik
menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan gejolak tubuhnya yang mengancam
akan melahapnya, lalu berlutut di antara kaki Eadyth. Satu-satunya suara di
ruangan itu adalah napasnya yang berat dan sesekali kepak sayap Abdul saat
binatang itu bergerak dalam tidurnya. Eadyth tampaknya berhenti bernapas sama
sekali.
Menempatkan
kedua tangannya di kedua pergelangan tangan Eadyth yang terentang lebar, Eirik
dengan perlahan menelusuri betis istrinya dengan ujung jari, berusaha
mempelajari bentuk dan tekstur tubuh Eadyth hanya dengan sentuhan dalam ruang
yang nyaris gelap.
Ia
tak berniat menyempurnakan pernikahan mereka malam ini, tidak sampai ia
benar-benar yakin dengan motif Eadyth mengelabuinya. Tapi ia masih bisa
menikmati menggoda Eadyth, walaupun ia mulai merasa ia tak akan bisa keluar
dari permainan malam ini tanpa terluka sedikit pun.
Saat
penjelajahan jemari Eirik meraba lekukan lutut Eadyth dan mulai bergerak ke
atas ke pangkal pahanya, Eadyth mengeluarkan suara protes tercekat, lalu
menutup mulut dengan tangannya.
Tangan
Eirik bergerak semakin ke atas menuju pangkal pahanya. Eirik berharap
membiarkan lilin itu tetap menyala supaya ia bisa melihat kelembapan yang
berkilau di sana. Tapi sepertinya tidak mungkin! Kemungkinan besar justru ia
akan menemukan butiran-butiran es di sana. Lain kali, ia akan lebih siap. Ia
akan memenuhi kamar itu dengan puluhan lilin buatan Eadyth dan persetan dengan
sikap malu istrinya yang palsu itu.
Saat
ujung jemarinya nyaris menyentuh daerah kewanitaan Eadyth yang selembut sutra,
Eadyth mendesah, “Hentikan.”
“Apa?”
tanyanya tak bersalah.
“Menyentuhku.”
“Kenapa?”
“Aku
tak suka disentuh.”
“Apakah
itu membuatmu gugup?”
Eadyth
mengeluarkan suara terkejut yang pelan atas pertanyaan itu. “Ya... maksudku,
tidak... oh, demi Tuhan, lakukan saja dengan cepat agar aku bisa segera tidur.”
“Aku
harus menyentuhmu,” bisik Eirik parau.
“Tidak.”
“Ya.”
Eadyth
menepiskan jari-jari Eirik yang menggerayanginya, tapi Eirik hanya tertawa
pelan, mengabaikan protes Eadyth sementara tangannya bergerak seperti sayap
kupu-kupu menjelajahi tubuh Eadyth. Ia menelusuri lekukan paha Eadyth yang
langsing dan lengkungan kewanitaan di pinggangnya, di atas perutnya, lalu di
bawah payudaranya di mana ia bisa merasakan detak jantung Eadyth yang liar.
Untuk sesaat. Eirik membiarkan tangannya diam di bawah gundukan yang kokoh itu.
Saat ia menangkup payudara Eadyth yang kecil dengan tangannya, menguji berat
dan bentuknya, Eadyth semakin menegang, seperti sedang menahan napas. Masih
membelai payudara Eadyth, Eirik menjentikkan ibu jarinya yang kasar pada kedua
puncaknya, membuat bagian itu tegak seketika.
Walaupun
payudara Eadyth tak terlalu besar, namun puncaknya besar dan keras seperti
kerikil. Eirik menyukainya.
Eadyth
mendesah, tangannya mencengkram erat seprai di sisi tubuhnya sambil terus
berusaha menyingkirkan tangan Eirik. “Oh, kau memang mesum. Hentikan
kebejatanmu dan jangan ganggu aku.”
Eirik
ingin tahu semua tentang Eadyth. Ujung-ujung jarinya menjadi matanya,
menjelajahi perut Eadyth yang rata, lengkungan atas kakinya, bulu matanya yang
lentik –ya, mata Eadyth masih terpejam erat –lalu lutut, hingga punggungnya.
Pada saat Eirik meniup pelan ke telinga Eadyth dan menelusuri dengan ujung
lidahnya, Eadyth menyentakkan kepala ke depan dan ke belakang.
Eirik
menemukan bahwa ia menyukai rasa kulit istrinya, bahkan asin keringatnya. Ia
menjilati kulit lehernya yang lembut yang samar-samar beraroma lilin dan aroma
femininnya –juga ketakutan.
Sebenarnya,
Eirik sudah melakukan permainan ranjang yang jauh dari niat awalnya untuk malam
ini. Kalau ia tak segera menghentikannya, ia tak akan bisa berhenti.
Tapi
hanya ada satu hal yang diinginkannya –bukan, yang dibutuhkannya, Eirik
membungkuk, memagut puncak payudara kiri Eadyth dengan bibirnya dan memainkan
dengan lidahnya. Hanya sebentar saja Eirik melakukannya. Hanya sebatas itu ia
mampu menahan diri.
Tapi
Eirik nyaris meneruskan aksinya ketika Eadyth mendesah dan secara naluriah
melengkungkan tubuh ke depan. Darah menderu di telinganya, dan Eirik merasakan
kendali dirinya menghilang dengan cepat pada respons alamiah Eadyth.
“Oh,”
bisik Eadyth.
“Oh?”
“Tak
pernah seperti ini dengan Steven.”
Steven! Mendengar
musuhnya disebut menyentakkan Eirik kembali ke dilema yang tengah dihadapinya.
Bisakah ia mengambil risiko bercinta dengan Eadyth dan mungkin menanamkan
benihnya di rahim wanita itu sementara ada kemungkinan, walaupun kecil, bahwa
penyamaran Eadyth selama beberapa minggu ini terkait dengan Steven of Gravely?
Tidak, Eirik memutuskan, memaksakan dirinya mengabaikan denyut di antara paha
dan gejolak darahnya yang nyeri mendambakan kepuasan yang hanya bisa dipenuhi
tubuh Eadyth. Dengan tekad kuat, ia berguling ke sisi lain ranjang.
“Ap...
apa?” tanya Eadyth.
Eirik
menguap keras-keras dan berusaha tampak tak terpengaruh saat ia berdusta, “Rasanya
aku tak begitu ingin olah raga ranjang malam ini. Mungkin lain kali.” Lalu ia
memunggungi Eadyth dan berpura-pura tidur.
Untuk
sekali ini, Eirik berhasil membuat istrinya yang bawel terdiam. Mungkin wanita
itu berpikir Eirik jijik dengan usia dan kejelekannya. Hah! Kalau saja Eirik
lebih tertarik lagi dari sekarang, ranjang itu pasti bisa terbakar. Sambil
tersenyum, ia mempertimbangkan, tapi lalu mengenyahkan pikiran untuk memuaskan
dirinya dengan tangan sendiri. Ia sudah cukup memberi Eadyth guncangan dalam
sehari.
Eadyth
berbaring telentang, membeku dalam posisi yang sama dalam waktu yang lama,
terpaku oleh penolakan Eirik. Oh, rasanya memalukan luar biasa. Akhirnya ia
menyerah pada gairah seorang pria dan pria itu menganggapnya... tidak layak.
Eirik
mendengkur keras. Bibir Eadyth melengkung sebal saat ia menoleh untuk melihat
punggung telanjang suaminya. Dasar bajingan! Bagaimana bisa seseorang terlelap
tidur begitu cepat? Eadyth benar-benar tergoda untuk menendang bokong telanjang
Eirik.
Tapi
Eadyth tak yakin ia ingin Eirik terbangun. Ia merasa kendali dirinya yang
terbentengi dengan hati-hati perlahan runtuh, dan ia tak menyukai hal itu sama
sekali. Eadyth sadar sepenuhnya dengan tubuhnya yang sensetif, ia perlu
memahami kenikmatan aneh yang dinyalakan oleh sentuhan Eirik hanya beberapa
saat yang lalu. Ia mengerling ke arah Eirik untuk memastikan pria itu tak bisa
melihatnya, lalu Eadyth menelusurkan jemarinya ke paha, melintasi perutnya yang
datar dan naik ke puncak payudaranya yang masih tegak. Ia tak merasakan apa pun
yang mendekati sensasi nikmat seperti yang dihadirkan jari-jari Eirik.
Kenapa
rasanya begitu berbeda, sangat luar biasa, ketika jari-jari Eirik yang
menyebalkan itu membelainya? Seperti apa rasanya kalau Eirik terus melakukan
hal nakal itu dengan bibir dan lidahnya? Payudaranya membengkak dan timbul rasa
nyeri yang aneh hanya dengan membayangkan hal itu. Dan kalau Eirik mencium
bibirnya, terutama kalau pria itu menciumnya dengan lidah seperti yang pernah
dilakukan Eirik di kamar ini, dan kalu Eirik menyentuh tubuh Eadyth dengan
sentuhan selembut bulu itu dalam waktu bersamaan... well, Eadyth tak tahu apa ia bisa menyembunyikan responsnya.
Teka-teki
itu mengusiknya selama berjam-jam sebelum akhirnya ia terlelap dalam tidur yang
gelisah.
Payudara yang berguncang bisa melakukan
ITU?...
Eirik
sudah tidak ada ketika Eadyth bangun keesokan harinya. Syukurlah! Eadyth teringat bahwa Eirik dan anak buahnya memang
berniat untuk pergi ke ujung terjauh estatnya untuk menyelidiki laporan adanya
sekelompok orang asing berkuda menginjak-injak ladang gandum yang baru
ditanami. Eadyth menggigil, tahu bahwa Steven, tak diragukan, berada di balik
masalah yang baru melanda Ravenshire.
Si
iblis Earl of Gravely itu mempermainkan mereka –permainan mengerikan yang
didesain untuk membuat mereka resah saat menunggu-nunggu aksi terakhir bajingan
itu. Apa aksi terakhirnya itu, Eirik tak bisa menebak, tapi ia bersumpah itu
pasti melibatkan putranya, John.
Eadyth
juga memutuskan bahwa ia tak akan membiarkan Eirik menghalanginya lagi hari
ini. Ia harus mengakui penyamaran
konyolnya sebelum semuanya berjalan semakin jauh. Terutama karena Eirik menegaskan
pentingnya kejujuran dalam pembicaraan mereka kemarin malam. Oh, Tuhan!
Kemudian
pagi itu, Eadyth duduk di meja dapur membantu Bertha dan Britta mengupas
sekeranjang kacang. Ia ingin membersihkan meja besar itu untuk menempatkan lusinan
sarang madu yang dikumpulkannya pagi itu. Ia berniat menyiapkannya untuk
dipasarkan dalam wadah-wadah keramik kecil yang didesainnya. Ceret-ceret air
panas dan peralatan saring khusus sudah siap digunakan.
“Kudengar
Lord Raven menggodamu di meja besar kemarin malam,” ujar Britta ramah. “Pria
memang kadang bersikap seperti binatang yang vulgar.”
Eadyth
meletuskan beberapa kacang manis di julutnya dan mengunyahnya saat menaikkan
satu alis dengan ekspresi bertanya.
“Kau
tahu, tentang warna puncak payudaramu dan semacamnya.”
Eadyth
tercekat dan kacang-kacang yang dikunyahnya memasuki saluran yang salah. Ia
terbatuk dan terbatuk sampai Bertha akhirnya mengambilkan segelas air untuknya.
“Kau
tahu apa yang dikatakan Eirik padaku?” tanya Eadyth akhirnya pada pelayan yang
polos dan blak-blakan itu, tak yakin apakah ia lebih kaget atau marah. Namun,
memang seperti itulah kebiasaan di antara para pelayan, pikirnya.
Pasti Eirik yang menyebarkannya. Keparat
itu!
“Jangan
malu, My Lady. Semua pria seperti itu pada suatu saat, terutama saat mereka
minum atau ketika mereka... ah... sedang bergairah.” Britta tersipu saat
mengucapkan kata-kata terakhirnya.
Oh, demi tuhan! Bagaimana mungkin aku
terlibat dalam pembicaraan seperti ini?
“Ini
yang dilakukan payudara setiap kali,” kata Bertha sambil memperagakan dengan
berani. “Pria memang suka dada yang bagus, terutama yang bergoyang-goyang.”
“Bergoyang-goyang?”
tanya Eadyth dan Britta bersamaan, menoleh ke arah Bertha dengan kaget.
Bertha
menggerakkan payudaranya yang besar ke depan dengan bangga. Lalu meletakkan
kedua tangannya yang gemuk di keduanya, mengangkatnya lebih tinggi dan
mengguncang-guncangnya dengan cara yang lucu.
Mulut
Eadyth menganga takjub memikirkan ada pria yang tertarik pada tubuh Bertha yang
luar biasa lebar itu, tapi, kalau diingat-ingat, koki yang ceplas-ceplos itu
memang selalu punya persediaan teman tidur. Mata Britta ikut membelalak penuh
minat, kemudian mereka berdua menunduk memandang payudara mereka. Payudara
Britta yang montok memang bisa berguncang kalau ia berjalan dengan gerakan yang
berlebihan, tapi Eadyth tahu payudaranya yang mungil tak akan pernah bisa
berguncang, bahkan meskipun ia meloncat-loncat.
Satu
sisi benak Eadyth memberitahunya bahwa Bertha hanyalah seorang wanita tua yang
tak tahu apa-apa soal dunia atau pria, tapi sisi lain benaknya berbisik dengan
licik bahwa mungkin itulah kenapa Eirik tak menyempurnakan pernikahan mereka
kemarin malam. Eirik menganggap sosoknya sebagai wanita kurang menarik.
Eadyth
menoleh ke arah Britta, yang masih memperhatikan dadanya sendiri. Lalu mata
mereka bertatapan dengan pemahaman yang sama, dan mereka terkikik-kikik seperti
anak kecil.
Payudara yang berguncang! Selanjutnya
apa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar