Selasa, 10 Juli 2018

The Tarnished Lady 10


Beradu mulut bisa menjadi rayuan yang menggairahkan...

“Sialan! Lihatlah caranya jalan,” komentar Eirik pada Wilfrid saat melihat Eadyth yang dengan sengaja  memerosotkan bahunya dan berjalan sedikit pincang melewati aula menuju mimbar malam itu.

Eirik harus menahan dirinya dari melompat melewati meja dan mencekik leher kurus wanita itu. Bukan, bukan kurus, lebih tepatnya langsing dan elegan. Eirik mengingatkan dirinya sendiri dengan mengejek.

“Sialan, lihat tipu dayanya! Pada saat aku selesai dengannya, dia akan takluk sepenuhnya dan semua itu karena alasan yang benar.”


Eirik telah menceritakan mengenai penyamaran Eadyth pada Wilfrid. Walaupun sahabatnya itu sudah menduga bahwa Eadyth tidak setua atau sejelek anggapan mereka semula, Wilfrid memberitahu bahwa ia tak yakin dan, karena itu, ia ragu untuk mengoreksi kesan Eirik yang tampaknya terlalu jauh menyimpang.

“Penglihatanku pasti tambah buruk sehingga wanita sialan itu bisa membodohiku,” keluh Eirik pada sahabatnya.. “Meskipun sejak kecil aku tak pernah memiliki penglihatan yang sempurna, tapi aku tak pernah menganggapnya masalah. Tapi sekarang, aku tidak yakin lagi.”

“Jangan, jangan berpikir begitu. Istrimu membodohi kita semua dengan penyamarannya.”

“Harus kuakui, saat aku mengetahui sandiwaranya hari ini, aku amat terguncang. Akan bagaimana masa depanku nanti, sebagai seorang tentara yang buta? Tanpa penglihatan, ksatria hanyalah cangkang, bukan laki-laki sejati.”

“Jauhkan pikiran seperti itu dari benakmu, Eirik. Aku yakin sekali bahwa kau ingin percaya bahwa dia tua dan, karena itu, tak pernah mengenali tanda-tanda dia masih muda. Apa kau ingat malam pertama saat dia datang menerjang masuk ke dalam aula seperti badai musim dingin dan menendang seekor anjing. Itu bukan tindakan seorang wanita muda yang cantik.”

Eirik mengamati Eadyth lekat-lekat saat wanita itu mendekat, bibirnya melengkung sebal saat melihat betapa jelasnya penyamaran Eadyth. Eirik bertanya-tanya sebesar apa lubang yang akan digalinya sebelum Eadyth mengakui kebenaran.

“Apa kau masih berpikir dia bersekongkol dengan Steven?”

“Tidak,” jawab Eirik, membelai bibir atasnya tanpa sadar, merasa sangat kehilangan kumisnya. Itu juga kesalahan wanita itu, timbang Eirik tak masuk akal. Ia tak akan perlu mencukur kumisnya kalau bukan karena lebah-lebah wanita itu. “Kurasa dia tak suka perhatian dari pria dan memanfaatkan penyamarannya untuk menjaga jarak dariku.”

“Dengan segala hormat, My Lord, aku belum pernah bertemu dengan satu pun wanita yang bisa menjaga jarak darimu, atau bahkan menginginkannya.”

Eirik mengangkat bahu. “Sebagai wanita terlahir seperti itu dan tak pernah berubah... selalu membenci sentuhan pria.” Dan aku memang sial menikahi salah satu pembenci pria! Wilard tampaknya memikirkan sungguh-sungguh gagasan itu, lalu mengangguk. “Apakah kau akan mengonfrontasi Lady Eadyth tentang penipuannya sekarang?”

“Tidak.”

“Apa yang akan kau lakukan.”

“Aku akan memberinya cukup tali untuk menggantung dirinya sendiri.”

Wilfrid tertawa, jelas tak sabar menunggu hiburan malam itu. Eirik tak berniat mengecewakan temannya. Ia juga tak sabar membuat istrinya itu kena batunya, tapi pertama-tama ia harus memendam amarahnya yang bergolak dan memasang ekspresi datar di wajahnya yang tegang.

“Akan menarik melihat sejauh mana dia akan memainkan sandiwaranya,” lanjut Eirik, “dan walaupun aku ragu, aku juga tak yakin dia tak punya niat jahat. Jadi ya, kurasa kita sebaiknya mengawasinya baik-baik sementara waktu ini. Tapi kupastikan padamu aku akan membuatnya membayar perbuatannya ini... sekarang, dengan cara khusus, dan nanti saat aku mengonfrontasinya.”

Wilfrid hanya menyeringai.

Sekarang setelah Eadyth memecahkan masalah asap di aula utama dengan cerobong asap barunya, Eirik bisa melihat betapa rapi wanita itu dalam melakukan penyamaran. Eadyth menarik topi bercadarnya sedikit ke depan untuk menutupi kening dan pipinya, mengerutkan wajahnya begitu keras pasti membuat otot wajah wanita itu pegal, dan membuat suaranya lebih berat. Eadyth bahkan mencoreng wajahnya sedikit.

Tuhan, aku pasti tololo sekali bisa teperdaya.

Sepanjang acara makan itu, Eirik terus memperhatikan Eadyth dengan intensitas penuh dendam sambil meneguk gelas demi gelas arak buatan istrinya itu. Mungkin memang benar arak itu yang terbaik di seluruh Northumbria, seperti ucapan sesumbar wanita itu. Mungkin Eirik akan menenggelamkan wanita itu di sebuah tong arak buatannya sendiri.

Ingin memancing Eadyth dalam perangkap, Eirik sengaja beberapa kali menyipitkan matanya dan memandang benda-benda di meja dengan lebih mendekat. Biarkan wanita itu mengira aku buta dan tidak melihat penyamarannya. Dasar Penyihir!

Eirik memainkan permainan dalam benaknya, merencanakan metode baru dan eksotis yang akan digunakannya untuk menyiksa wanita itu. Mencekik wanita itu terlalu bersih dan cepat, putusnya. Dan ia ingin menunda hukumannya sampai ia yakin apa motif Eadyth. Tapi apa yang bisa dilakukannya sekarang untuk menggoyahkan kesombongan wanita itu tanpa mengungkapkan bahwa ia tahu permainannya?

Aaah! “Apa itu sehelai rambut yang kulihat tumbuh di kutilmu?” tanyanya tiba-tiba, memandang tahi lalat menarik di dekat bibir Eadyth. “Aku bisa mencabutnya untukmu, kalau kau mau. Nenekku sering mengalaminya setelah dia mencapai usia... tertentu.” Ia memandang dengan puas saat tangan Eadyth seketika menyentuh tahi lalatnya, mencari-cari, walaupun istrinya itu pasti tahu bahwa itu tidak mungkin.

“Ini tahi lalat, bukan kutil,” protes Eadyth dengan angkuh dan memandang Eirik dengan tatapan sedingin es.

Sial! Bagaimana mungkin aku pernah berpikir bahwa matanya terpengaruh oleh usia? Mata itu indah sekali. “Oh. Mungkin aku salah.”

Eirik mengulurkan tangan, menyentuh tahi lalat itu dengan ujung jarinya, lalu menelusuri bibir atas Eadyth yang terbentuk sempurna dengan lengkungan tengahnya yang menekuk dalam. Seketika sentakan kesadaran menghantam bagian tubuhnya yang harus segera diabaikannya sekarang. Saluruh darah yang mendidih dalam tubuh Eirik, yang seharusnya ditujukan pada wanita itu karena marah, melesat ke bagian tubuh yang jauh dari otaknya itu, dan ia merasakan dirinya mengeras tak terkendali.

Saat ia menarik tangannya kembali, sedikit abu tertinggal di ujung jarinya. Jadi ini yang membuat kulitnya tampak abu-abu. Apa ia menganggapku orang tolol? Pastinya begitu, sesal Eirik.

Eirik menggosokkan jari telunjuk dan ibu jarinya, lalu membersihkan debu itu dengan ketidakpuasan yang berlebihan. Ia mengamati Eadyth sambil menelengkan kepala dan berkomentar, “Kau pasti berdiri terlalu dekat dengan kompor. Seharusnya kau lebih berhati-hati.”

Eadyth nyaris tersedak mendengar kata-kata itu.

“Apa kau marah padaku?”

“Apa aku punya alasan untuk marah padamu, Eadyth?”

“Ti... tidak,” ia tergagap.. “Hanya saja kita tampaknya bergaul dengan baik belakangan ini, dan sekarang kau tampak... well, berbeda.”

“Ya, kita sudah hidup bersama beberapa hari ini dengan tenang, benar juga katamu, terutama karena aku suami yang patuh dan baik, menurutio semua perintahmu, melakukan semua tugas yang kau berikan.”

“Kau bisa saja menolak. Aku tak pernah memaksamu untuk membantuku.”

“Tidak, kau memanfaatkan rasa bersalahku. Akui saja kebenaran kata-kataku.” Kalau kau sekali lagi memintaku membersihkan jamban, aku mungkin akan membalik tubuhmu dan menggunakan rambutmu untuk mengepel lantai yang kotor. Atau mungkin, aku akan membenamkanmu dalam air bekas pel. Itu pasti akan membuat hidungmu yang angkuh sedikit turun.

“Apa kau kesal karena aku memanjat pohon?”

Pohon? Pohon? Wanita ini sudah menipuku selama berminggu-minggu dan dia membicarakan soal pohon! “Ya, aku memang keberatan istriku memanjat pohon. Jangan lakukan lagi.”

Eirik bisa melihat istrinya yang keras kepala itu ingin memprotes, namun mengurungkan niatnya, pasti karena menyadari bahwa saat ini Eirik sedang bersikap sinis. Wanita itu mungkin sedang memikirkan untuk meminta bantuannya dengan hal yang menyebalkan lainnya. Tidak! Tidak lagi!

Eadyth menyesap cangkir araknya, tampaknya berusaha untuk memberanikan diri. Tapi tidak, Eirik pasti salah. Istrinya itu punya semangat seperti ksatria bayaran. Saat wanita itu sudah selesai meneguk habis meinumannya dalam tiga kali tegukan, ia mendongak.

“Eirik, aku harus mengakui sesuatu. Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu sejak lama.”

Aaah, jadi sekarang wanita itu memilih mengakhiri sandiwaranya. Sayangnya, penyihir kecilku yang penuh tipu daya, mungkin aku belum ingin mendengarnya. “Berapa lama?”

“Apa?”

“Sudah berapa lama kau ingin memberitahukan padaku... tentang hal ini?” ia memandang Eadyth seperti seekor kucing gendut yang sedang mempermainkan seekor tikus kecil.

Seketika, Eirik menyadari dengan seringai kepuasan dan antisipasi bahwa ia akan sangat menikmati sekali saat mengupas semua lapisan dari tipu daya ini untuk menemukan “perhiasan” sesungguhnya yang dimiliki istrinya ini. Mungkin ia akan mendapatkan kejutan menyenangkan.

“Beberap minggu. Sebenarnya, sejak pertunangan kita,” Eadyth mengakui, dengan wajah pucat dan gugup.

Bagus. “Apakah ada hubungannya dengan surat yang kau kirimkan ke agen bisnismu di Jorvik kemarin pagi, walaupun aku sudah memberitahumu bahwa aku yang akan mengurus kepentinganmu?”

Eirik bisa melihat kilat waspada di wajah Eadyth saat ia bertanya-tanya bagaimana mungkin Eirik bisa tahu. Eadyth sudah sangat berhati-hati mengirimkan suratnya dengan cara menitipkan kepada pengelana yang lewat, tapi Eirik sudah lebih waspada dengan setiap orang asing yang mendekati atau meninggalkan Ravenshire sejak Steven meninggalkan surat di kediamannya. Terutama karena ia punya lebih banyak bukti kehadiran si earl iblis itu dikediamannya akhir-akhir ini –sumur yang diracuni, gubuk petani yang terbakar habis, gadis desa yang diperkosa oleh perampok-perampok tak dikenal.

“Bukan, bukan surat agenku yang ingin kubicarakan. Lagi pula, aku sudah berniat untuk memberitahumu soal itu.”

Pada akhirnya, mungkin. “Oh, lalu pasti soal domba yang kau pesan tanpa meminta izin dariku.”

“Aku berniat untuk membayarnya sendiri,” protes Eadyth, melambaikan tangannya dengan gusar, tampaknya kecewa karena Eirik tak membiarkannya membuat pengakuan sendiri. “Aku terus bertanya pada Wilfrid soal domba itu, dan saat kau tinggal begitu lama di North, dan musim panas segera tiba, aku memutuskan...”

Perkataan Eadyth terputus ketika ia mendongak, pasti karena menyadari kerutan kesal di kening Eirik dan lengkungan di sudut-sudut mulutnya.

“Kalau begitu pasti tentang kau melarang anjing-anjingku masuk aula utama.”

Eadyth mendengus frustasi. “Kupikir kau akan setuju. Aku tak mau membuat masalah bagimu.”

Masalah! Kau memang jadi masalah sejak pertama kita bertemu, wanita cerewet. “Sebenarnya, aku tahu apa yang meresahkanmu, Istriku. Kata-kata yang sudah kau ajarkan pada Abdul. Apa kau tak tahu bahwa dia akan mengulang kata-kata itu padaku?”

Awalnya, Eadyth tampak senang, pastinya sedang merayakan dalam hati kesuksesan dalam mempermainkannya. Lalu ia kembali pada kata-katanya sebelumnya. “Kupikir kado yang diberikan Tykir padaku atas namamu sudah cukup untuk mengesahkan pernikahan kita.”

“Itu memang maksudku, tentu saja, tapi tanpa penyempurnaan pengadilan dan gereja bisa mengakhiri pernikahan kita, bahkan sekarang. Ada dua orang yang tahu bahwa aku tak ada di sini pada malam pernikahan kita, dan bahwa aku tidur sendirian. Kalau Steven menuntut pernikahan kita di depan Wintan, kita harus bersumpah bahwa kita sudah melakukan hubungan suami istri.”

Eirik memandang Eadyth terang-terangan, menikmati keresahan wanita itu dengan sangat puas. “Apakah itu risiko yang bersedia kau ambil?”

Eadyth bimbang sejenak sebelum menggeleng.

“Bagus. Kalau begitu kau tidak akan keberatan kalau aku sudah memerintahkan para pelayan untuk memindahkan barang-barangmu ke kamarku.”

“Secepat itu?” Meskipun wajah istrinya tidak menampakan kepanikan –Tuhan, istrinya benar-benar aktris berbakat! –jari-jari lentik Eadyth bergerak dengan gugup di pangkuannya.

“Ya. Apa ada masalah untuk menunda?”

Benak Eadyth tampak menjadi kosong. Pertanyaan Eirik membuatnya tak mampu berkutik.

Well, mungkin kau benar,” katanya dengan kesal. “Lagi pula, hanya satu malam. Dan sebaiknya kita segera melakukan masalah ranjang ini dan mengakhiri urusan kotor ini jadi...”

“Urusan kotor?” tanya Eirik tak percaya. “Ini pertama kalinya aku mendengar seorang wanita mengatakan tidur denganku adalah ‘urusan kotor’. Kau menghinaku, My Lady.”

“Oh, aku yakin sebagian wanita memang suka bercumbu, tapi aku...”

“Eadyth, apakah kau tak menikmati saat bercinta dengan Steven?”

“Menikmati? Apa yang bisa dinikmati... selain darah dan rasa sakit?”

“Tapi setelah malam pertamamu, apakah Steven tidak memberimu kesenangan di waktu lain?”

“Waktu lain? Apa kau bodoh? Kenapa aku mau melakukan perbuatan menjijikkan itu lebih dari sekali?”

Saat itu Eirik tersenyum, dan menggeleng dengan takjub. “Kupikir...”

“Kau pikir aku setelah itu berlarian ke sana-kemari dan membentangkan pahaku seperti para pelacur di pelabuhan itu?” tanyanya mencemooh. “Oh, kau seperti semua laki-laki, terutama para bandot yang mendekatiku dengan penawaran tak senonoh setelah kelahiran John.” Ia memandang galak Eirik, tapi yang dipandang masih terus menyeringai seperti orang bodoh. “Well, setidaknya, aku hanya harus melakukannya sekali lagi saja, dan tak akan pernah lagi.”

Eirik menggeleng dengan takjub. Walaupun berpengetahuan luas dalam beberapa bidang lain, Eadyth sepenuhnya naif dalam bidang itu. Eirik tak sabar menunggu apa yang akan dikatakan Eadyth selanjutnya. Sungguh, ia makin menikmati istri barunya ini.

“Ap... apa?” tanya Eadyth dengan curiga.

Eirik mengusap-usap bagian bibir atasnya dengan jari telunjuk, mengamati Eadyth lekat-lekat, berusaha membayangkan betapa muda dan polosnya istrinya itu sebenarnya di balik pakaian longgar berlapis-lapis dan kerut-kerutan buatan yang konyol itu.

“Aku mulai menyukai anak-anak sekarang setelah John, Larise, dan Godric ada di sini,” ujar Eirik lembut. “Aku berpikir mungkin aku ingin punya anak lagi, mungkin anak laki-laki.”

Sebenarnya, itu adalah pertama kalinya gagasan tersebut terlintas dalam benak Eirik. Tapi ternyata begitu ide itu terlontar, ia tidak merasa anti dengan gagasan untuk punya anak lagi. Setelah kematian Elizabeth dan tekadnya untuk tak menikah lagi, ia sudah terbiasa dengan pemikiran bahwa ia tak akan pernah punya anak yang sah. Dan ia sangat merindukan Larise dan Emma. Sekarang setelah Larise kembali ke Ravenshire, ia bertekad untuk membawa Emma juga.

“Anak?” ujar Eadyth terkejut. Lalu, tampaknya juga mempertimbangkan ide itu. “Setelah pengkhianatan Steven, aku sudah terbiasa dengan pemikiran bahwa aku tak akan mengandung anak lagi. Itu bayangan yang menggoda, tapi...” dengan hati-hati, ia bertanya, “Berapa kali menurutmu yang dibutuhkan? Sebelumnya, aku segera hamil setelah satu kali.”

Eirik menahan tawanya melihat Eadyth yang jelas tak suka dengan ide bercinta, tapi istrinya itu tampak juga ingin punya anak lagi. “Sulit dikatakan,” jawab Eirik, berusaha keras untuk memasang wajah datar. “Benihnya mungkin tak akan cepat tertanam di rahimmu pada umurmu yang sudah tua.” Ia nyaris tak kuasa menahan tawa sebelum melanjutkan, “Bagi sebagian orang, sekali saja sudah cukup. Untuk sebagian lainnya, butuh lima puluh atau enam, atau bahkan lebih.”

“Lima puluh kali?” Eadyth memekik, jelas tampak ngeri dengan gambaran itu.

Eirik mengerling sebal ke arah Eadyth saat tubuh wanita itu bergidik seketika.

Well, aku yakin kau pasti sama tidak sukanya membayangkan harus meniduri wanita tua seperti aku, dan aku juga tak suka tidur dengan... pria mana pun.”

“Kalau kamarnya cukup gelap, kurasa aku bisa melakukannya,” komentar Eirik datar. “Aku bisa berpura-pura keriput di wajahmu adalah garis senyuman. Dan aku bisa berfantasi bahwa kaki-kaki yang melingkari pinggangku adalah kaki yang kokoh dan berlekuk indah, bukan kaki kurus dengan lutut keriput.”

Eadyth tercekat pada kata-kata Eirik yang menghina namun intim, tapi laki-laki itu terus melanjutkan seperti tak menyadari bahwa ia malu. “ Mungkin kau bahkan bisa berpura-pura antusias kalau bercinta. Apa kau bisa mendesah penuh gairah jika dibutuhkan?”

Mulut Eadyth ternganga dengan kata-kata Eirik yang vulgar. “Oh, kau benar-benar keparat yang menyebalkan.”

“Tenanglah, Eadyth. Tak perlu ada rasa malu antara suami dan istri. Kalau kau tak tahu bagaimana caranya terdengar bergairah, aku bisa mengajarimu.” Lalu, dengan suara yang dibuat-buat mirip perempuan, Eirik mendesah, “Oh, oh, ya, ah, rasanya begiiiiitu menyenangkan.”

Eadyth berdiri seketika, memandang galak ke arah Wilfrid yang terkekeh. Eirik sudah lupa bahwa temannya masih di sana, mendengar semua kata-kata tak senonohnya. Ia mengedipkan sebelah matanya, bersekongkol dengan temannya itu.

“Berani-beraninya kau bicara seperti itu padaku?”

“Duduklah, Eadyth,” kata Eirik, menyikut Wilfrid untuk menjaga tingkah lakunya. “Aku hanya bercanda.”

“Aku tak tertawa.”

“Mungkin seharusnya kau tertawa. Itu bisa membuatmu lebih santai. Kau selalu terlihat seperti seseorang yang ditusuk bokongnya.”

Wilfrid terkekeh-kekeh, amarah yang membakar membuat wajah Eadyth merah padam, bahkan dibalik sepuhan abu-abu di wajahnya. Eadyth tampaknya akan sangat senang kalau bisa mencekik Wilfrid dengan tangan kosong.

“Kau laki-laki kejam bermulut kotor!”

Eirik mengangkat bahu. “Dan kau wanita tua yang suka mencela, Istriku. Mungkin kita pasangan yang serasi.”

“Binatang liar!”

“Wanita tua masam!”

“Laki-laki bejat bodoh!”

“Cerewet!”

“Pria totol menjijikan!”

“Jalang!”

“Brengsek!”

Eirik tersenyum lebar, menikmati sepenuhnya perang mulut di antara mereka serta kemarahan Eadyth. Ia mencengkram lengan Eadyth, memaksa wanita itu kembali duduk.

Tampak jelas berusaha mengendalikan amarahnya, Eadyth akhirnya bisa berbicara dengan nada normal, “Aku tak layak diperlakukan dengan cara tak sopan seperti ini.”

“Benarkah? Ah, well, kalau begitu, aku harus meminta maaf, kurasa.” Eirik tahu ia sama sekali tak terlihat menyesal sedikit pun. Eadyth menoleh ke arah Wilfrid, memandangnya dengan sorot galak ketika menyadari pria itu masih terkekeh. Wilfrid akhirnya menunduk.

“Kemari, Istriku. Kurasa kau butuh minum arakmu.”

Eirik mengulurkan tangan ke depan Eadyth untuk meraih tempat minuman yang ada di sisi seberang wanita itu, tanpa sengaja menyentuh payudara kirinya. Mata Eirik membelalak seketika merasakan respons sensual yang diakibatkan sentuhan itu. Mengujinya lagi, ia dengan sengaja mengulangi sentuhan itu ketika mengambil tempat minuman itu ke depannya.

Ia merasakan puncak payudara Eadyth menegang saat bersentuhan dengan lengannya, dan sensasi sepanas mata tombak melesat ke ujung-ujung jemarinya, yang berhasrat untuk merasakan bentuk dan tekstur payudara Eadyth. Ia menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering dan berusaha mengabaikan bukti peningkatan hasratnya di balik celana panjangnya yang ketat.

Dan ia melihat tubuh Eadyth bereaksi tanpa sadar terhadap sentuhannya juga, dengan cara yang tampaknya tak dipahami wanita itu. Eadyth memandang Eirik dengan bingung sebelum menyilangkan lengannya menutupi dada, yang makin menampakkan lekukan di balik kain tipis yang dikenakannya.

Walaupun tindakan Eirik yang tercela, walaupun ia jijik dengan penyatuan tubuh antara wanita dan pria, apakah tubuhnya mendambakan sentuhan Eirik? Apakah darahnya juga mengental? Apakah tungkainya menjadi berat karena gairah?

“Kau pria mesum,” seru Eadyth, menyentak Eirik dari fantasi sensualnya. “Jangan samakan aku dengan gadis bodoh yang akan merentangkan kakinya hanya karena mencium aroma kejantananmu.”

“Aro... aroma kejantanan?” sembur Eirik.

“Jangan pikir kau bisa menyihirku dengan cara-cara tak senonohmu.”

Eadyth mendengus dengan cara yang sama sekali tak feminin. “Pergilah ke Jorvik dan lampiaskan hasratmu itu pada wanita simpananmu, tapi jangan ganggu aku.”

Eirik tersenyum, menyadari istri barunya sulit menolak pesonanya. Wanita itu akan sepenuhnya kehilangan kendali dirinya.

Eadyth berdiri, bersiap meninggalkan mimbar itu.

“Apa kau menyusui bayimu?”

“Kau bilang apa barusan?” tanya Eadyth, terhenyak kembali ke kursi. Lalu ia menyadari, dengan lemas, menyadari bahwa Eirik memandangi payudaranya.

Eirik menyukainya.

Eadyth menyilangkan lengannya lagi, memandang Eirik dengan sorot mata ungu yang galak.

“Apakah kau menyusui John saat bayi?”

“Kenapa?” tanya Eadyth dengan suara tercekat melalui bibir lembutnya yang menggoda.

Eirik mengangkat bahu, merasa semakin sulit untuk tetap marah pada wajah Eadyth yang begitu memikat. “Aku hanya penasaran apakah puncak payudaramu masih berwarna merah muda, atau berwarna merah mawar seperti kebanyakan wanita yang telah melahirkan. Dan...”

“Argh! Kau benar-benar menyebalkan.” Eadyth seketika berdiri, memandang galak ke arah Eirik dan Wilfrid, yang sama-sama terkekeh karena akhirnya berhasil memecahkan cangkakng keangkuhan Eadyth. Kali ini Eadyth tak akan membiarkan Eirik menariknya kembali duduk. Suara tawa mereka mengikuti seiring langkahnya yang gusar menapaki anak tangga panggung dan melewati aula utama.

Eirik menyadari bahwa Tykir benar tentang ayunan pinggul Eadyth. Matanya mengikuti tubuh Eadyth sampai wanita itu mulai menaiki tangga menuju lantai dua.


Siapa mengira bermain dalam kegelapan bisa begitu menyenangkan?...

Beberapa jam kemudian, ketika Eirik memasuki kamar gelap itu, ia menyalakan lilin, lalu tergelak saat memandang ke ranjang. Istrinya yang keras kepala berbaring di balik berlapis-lapis kain linen. Wanita itu pasti sedang kepanasan dalam udara panas bulan Mei ini. Eadyth memeluk pinggiran bingkai ranjang, berpura-pura tidur.

Eirik menyeringai.

Pertama, ia kencing dengan berisik di kamar kecil di balik tirai di sisi kamar, yakin bahwa aspek intim kehidupan pernikahan yang ini akan menjengkelkan istrinya yang pemarah. Setelah membasuh wajah dan lengannya di semangkuk air, ia melepaskan seluruh pakaiannya dan menyelinap ke ranjang besar yang mendominasi bagian tengah kamar itu.

Ia menggeserkan sebelah kaki telanjangnya ke sisi Eadyth, menyenggolkan dengan ibu jarinya yang besar. Eadyth tersentak dan nyaris terjatuh dari ranjang. Eirik tersenyum sendiri, lalu berseru, “Ya Tuhan, Eadyth! Kenapa kau memakai begitu banyak pakaian?”

“Aku kedinginan,” suara pelan Eadyth yang teredam terdengar dari bawah selimut yang kini ditarik ke atas hidungnya.

“Tunjukkan kakimu padaku,” suara teredam yang lain terdengar, suara yang lebih melengking dari suara Eadyth, terdengar dari sudut ruangan, di mana terdapat sebuah sarang burung yang ditutupi kain gelap. Lalu terdengar lagi, “Apa kau mau melihat bokongku?”

Eadyth mengerang dan menggumamkan sesuatu tentang membuat bubur burung beo.

Eirik menggeleng takjub pada hidupnya yang dulunya tenang kini menjadi penuh lelucon. Namun kemudian ia mengernyit sebal ketika teringat bahwa dirinyalah yang menjadi target dari lelucon yang paling besar –penyamaran istrinya.

“Lepaskan pakaian itu, Eadyth. Kau akan membuat ranjang terlalu panas untuk kutiduri dengan panas tubuhmu.

Eadyth menggerutukan sesuatu, dan Eirik berani bersumpah ia mendengar Abdul terkekeh.

“Setidaknya, padamkan lilinnya. Ini tak sopan,” pinta Eadyth dengan nyaring. Saat Eirik tak melakukan permintaannya, Eadyth menoleh dengan kesal. Wanita itu seperti berniat menempelengnya. Eadyth terkesiap ketika melihat tubuh polos Eirik berbaring santai di sampingnya, dengan kedua tangan terlipat di belakang kepalanya. Dengan cepat, ia memalingkan wajahnya karena malu.

“Ah, well, aku bisa mengerti sikap malu seorang pengantin dengan suami barunya,” ujar Eirik dalam suara yang dibalut kekhawatiran sebelum bangun untuk melakukan permintaannya. Saat kamar itu sepenuhnya gelap, dan ia kembali ke ranjang, menyadari bahwa Eadyth sudah melepaskan gaunnya dengan waktu yang memecahkan rekor dan sudah telanjang tapi sudah bersembunyi lagi di balik seprai.

Oh, Eadyth, kau benar-benar salah kalau kau pikir bisa bersembunyi dariku. Kau akan membayar mahal atas penipuanmu padaku. Pada waktu yang tepat. Dengan caraku sendiri.

Eadyth berbaring miring memunggungi Eirik, sekaku tongkat. Perlahan, Eirik menggeserkan kakinya lebih dekat ke arah Eadyth, menguji reaksinya. Hanya sentuhan ringan kakinya yang berbulu di betis Eadyth yang lembut sudah membuat wanita itu tersentak. Eirik juga merasakan sentakan, tapi sentakannya adalah gairah liar yang melesat ke atas kakinya dan menyebar ke semua organ sensual di tubuhnya –terutama yang berpusat di pangkal pahanya.

Tiba-tiba, Eirik berharap ia tadi tak memadamkan lilin itu. Ia ingin melihat lebih jelas istri barunya ini. Dan rambut panjang ikal yang dilihatnya sekilas sore ini. Bagaimana kelihatannya saat rambut itu tergerai di atas kain linen yang putih?

Eirik dengan sembarangan meraba-raba di sekitar bantal Eadyth tapi tak merasakan untaian rambut selembut sutra. Ia mendekat, dan akhirnya menemukan kepala Eadyth, tapi si penyihir itu mengepang rambutnya dan menjalinnya dalam jala ketat di sekitar kepalanya. Dan lebih buruk lagi, rambut itu dilumuri lemak yang tebal dan menggumpal. Ia mengendus jari-jarinya. Ya Tuhan, jadi itu sebabnya rambut pirang Eadyth yang keperakan tampak abu-abu seperti beruban. Eadyth bersusah payah menipunya. Kenapa?

“Dengar, aku tak ingin menunda-nunda hal yang bisa dihindarkan, betapapun menjijikannya. Banyak yang harus kulakukan besok. Saat ini waktunya untuk mengumpulkan madu dari beberapa sarang lebahku. Bertha dan aku berniat menyaring semuanya dan memasukkannya di wadah-wadah untuk di jual. Mari kita selesaikan... urusan ranjang ini agar aku bisa segera tidur.”

“Hah?”

“Lakukan... saja.”

Ya Tuhan, Wanita bawel ini mengira ia juga bisa ‘mengatur’ urusan hubungan suami istri.

Eirik mendengar suara gemerisik kain dan bergerak mendekat melihat apa yang dilakukan istrinya. Diterangi cahaya bulan yang menembus masuk melalui dua celah berbentuk anak panah di tembok di dekatnya, Eirik bisa melihat, nyaris bisa, istrinya yang patuh itu berbaring telentang, dengan kedua tangan terulur kaku di kedua sisi tubuhnya, mata terpejam rapat dan kedua kaki terentang lebar seperti korban persembahan. Dan Eadyth benar-benar telanjang!

Walaupun pose Eadyth yang mirip martir itu sama sekali tak sensual, Eirik merasakan detak jantungnya berpacu. Ujung jemarinya berhasrat untuk memeriksa semua tempat misterius yang selama ini disembunyikan istrinya. Bibirnya nyeri karena ingin mencicipi bibir Eadyth yang indah. Lidah Eirik haus untuk mengecap mulut Eadyth dan merasakan lentur kulitnya, dan oh, Tuhan, apalagi kelezatan di antara kakinya.

Dan bagian tubuhnya yang paling hangat itu! Bagian itu hanya ingin terbenam dalam tubuh Eadyth yang seperti perawan.

Eirik menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan gejolak tubuhnya yang mengancam akan melahapnya, lalu berlutut di antara kaki Eadyth. Satu-satunya suara di ruangan itu adalah napasnya yang berat dan sesekali kepak sayap Abdul saat binatang itu bergerak dalam tidurnya. Eadyth tampaknya berhenti bernapas sama sekali.

Menempatkan kedua tangannya di kedua pergelangan tangan Eadyth yang terentang lebar, Eirik dengan perlahan menelusuri betis istrinya dengan ujung jari, berusaha mempelajari bentuk dan tekstur tubuh Eadyth hanya dengan sentuhan dalam ruang yang nyaris gelap.

Ia tak berniat menyempurnakan pernikahan mereka malam ini, tidak sampai ia benar-benar yakin dengan motif Eadyth mengelabuinya. Tapi ia masih bisa menikmati menggoda Eadyth, walaupun ia mulai merasa ia tak akan bisa keluar dari permainan malam ini tanpa terluka sedikit pun.

Saat penjelajahan jemari Eirik meraba lekukan lutut Eadyth dan mulai bergerak ke atas ke pangkal pahanya, Eadyth mengeluarkan suara protes tercekat, lalu menutup mulut dengan tangannya.

Tangan Eirik bergerak semakin ke atas menuju pangkal pahanya. Eirik berharap membiarkan lilin itu tetap menyala supaya ia bisa melihat kelembapan yang berkilau di sana. Tapi sepertinya tidak mungkin! Kemungkinan besar justru ia akan menemukan butiran-butiran es di sana. Lain kali, ia akan lebih siap. Ia akan memenuhi kamar itu dengan puluhan lilin buatan Eadyth dan persetan dengan sikap malu istrinya yang palsu itu.

Saat ujung jemarinya nyaris menyentuh daerah kewanitaan Eadyth yang selembut sutra, Eadyth mendesah, “Hentikan.”

“Apa?” tanyanya tak bersalah.

“Menyentuhku.”

“Kenapa?”

“Aku tak suka disentuh.”

“Apakah itu membuatmu gugup?”

Eadyth mengeluarkan suara terkejut yang pelan atas pertanyaan itu. “Ya... maksudku, tidak... oh, demi Tuhan, lakukan saja dengan cepat agar aku bisa segera tidur.”

“Aku harus menyentuhmu,” bisik Eirik parau.

“Tidak.”

“Ya.”

Eadyth menepiskan jari-jari Eirik yang menggerayanginya, tapi Eirik hanya tertawa pelan, mengabaikan protes Eadyth sementara tangannya bergerak seperti sayap kupu-kupu menjelajahi tubuh Eadyth. Ia menelusuri lekukan paha Eadyth yang langsing dan lengkungan kewanitaan di pinggangnya, di atas perutnya, lalu di bawah payudaranya di mana ia bisa merasakan detak jantung Eadyth yang liar. Untuk sesaat. Eirik membiarkan tangannya diam di bawah gundukan yang kokoh itu. Saat ia menangkup payudara Eadyth yang kecil dengan tangannya, menguji berat dan bentuknya, Eadyth semakin menegang, seperti sedang menahan napas. Masih membelai payudara Eadyth, Eirik menjentikkan ibu jarinya yang kasar pada kedua puncaknya, membuat bagian itu tegak seketika.

Walaupun payudara Eadyth tak terlalu besar, namun puncaknya besar dan keras seperti kerikil. Eirik menyukainya.

Eadyth mendesah, tangannya mencengkram erat seprai di sisi tubuhnya sambil terus berusaha menyingkirkan tangan Eirik. “Oh, kau memang mesum. Hentikan kebejatanmu dan jangan ganggu aku.”

Eirik ingin tahu semua tentang Eadyth. Ujung-ujung jarinya menjadi matanya, menjelajahi perut Eadyth yang rata, lengkungan atas kakinya, bulu matanya yang lentik –ya, mata Eadyth masih terpejam erat –lalu lutut, hingga punggungnya. Pada saat Eirik meniup pelan ke telinga Eadyth dan menelusuri dengan ujung lidahnya, Eadyth menyentakkan kepala ke depan dan ke belakang.

Eirik menemukan bahwa ia menyukai rasa kulit istrinya, bahkan asin keringatnya. Ia menjilati kulit lehernya yang lembut yang samar-samar beraroma lilin dan aroma femininnya –juga ketakutan.

Sebenarnya, Eirik sudah melakukan permainan ranjang yang jauh dari niat awalnya untuk malam ini. Kalau ia tak segera menghentikannya, ia tak akan bisa berhenti.

Tapi hanya ada satu hal yang diinginkannya –bukan, yang dibutuhkannya, Eirik membungkuk, memagut puncak payudara kiri Eadyth dengan bibirnya dan memainkan dengan lidahnya. Hanya sebentar saja Eirik melakukannya. Hanya sebatas itu ia mampu menahan diri.

Tapi Eirik nyaris meneruskan aksinya ketika Eadyth mendesah dan secara naluriah melengkungkan tubuh ke depan. Darah menderu di telinganya, dan Eirik merasakan kendali dirinya menghilang dengan cepat pada respons alamiah Eadyth.

“Oh,” bisik Eadyth.

“Oh?”

“Tak pernah seperti ini dengan Steven.”

Steven! Mendengar musuhnya disebut menyentakkan Eirik kembali ke dilema yang tengah dihadapinya. Bisakah ia mengambil risiko bercinta dengan Eadyth dan mungkin menanamkan benihnya di rahim wanita itu sementara ada kemungkinan, walaupun kecil, bahwa penyamaran Eadyth selama beberapa minggu ini terkait dengan Steven of Gravely? Tidak, Eirik memutuskan, memaksakan dirinya mengabaikan denyut di antara paha dan gejolak darahnya yang nyeri mendambakan kepuasan yang hanya bisa dipenuhi tubuh Eadyth. Dengan tekad kuat, ia berguling ke sisi lain ranjang.

“Ap... apa?” tanya Eadyth.

Eirik menguap keras-keras dan berusaha tampak tak terpengaruh saat ia berdusta, “Rasanya aku tak begitu ingin olah raga ranjang malam ini. Mungkin lain kali.” Lalu ia memunggungi Eadyth dan berpura-pura tidur.

Untuk sekali ini, Eirik berhasil membuat istrinya yang bawel terdiam. Mungkin wanita itu berpikir Eirik jijik dengan usia dan kejelekannya. Hah! Kalau saja Eirik lebih tertarik lagi dari sekarang, ranjang itu pasti bisa terbakar. Sambil tersenyum, ia mempertimbangkan, tapi lalu mengenyahkan pikiran untuk memuaskan dirinya dengan tangan sendiri. Ia sudah cukup memberi Eadyth guncangan dalam sehari.

Eadyth berbaring telentang, membeku dalam posisi yang sama dalam waktu yang lama, terpaku oleh penolakan Eirik. Oh, rasanya memalukan luar biasa. Akhirnya ia menyerah pada gairah seorang pria dan pria itu menganggapnya... tidak layak.

Eirik mendengkur keras. Bibir Eadyth melengkung sebal saat ia menoleh untuk melihat punggung telanjang suaminya. Dasar bajingan! Bagaimana bisa seseorang terlelap tidur begitu cepat? Eadyth benar-benar tergoda untuk menendang bokong telanjang Eirik.

Tapi Eadyth tak yakin ia ingin Eirik terbangun. Ia merasa kendali dirinya yang terbentengi dengan hati-hati perlahan runtuh, dan ia tak menyukai hal itu sama sekali. Eadyth sadar sepenuhnya dengan tubuhnya yang sensetif, ia perlu memahami kenikmatan aneh yang dinyalakan oleh sentuhan Eirik hanya beberapa saat yang lalu. Ia mengerling ke arah Eirik untuk memastikan pria itu tak bisa melihatnya, lalu Eadyth menelusurkan jemarinya ke paha, melintasi perutnya yang datar dan naik ke puncak payudaranya yang masih tegak. Ia tak merasakan apa pun yang mendekati sensasi nikmat seperti yang dihadirkan jari-jari Eirik.

Kenapa rasanya begitu berbeda, sangat luar biasa, ketika jari-jari Eirik yang menyebalkan itu membelainya? Seperti apa rasanya kalau Eirik terus melakukan hal nakal itu dengan bibir dan lidahnya? Payudaranya membengkak dan timbul rasa nyeri yang aneh hanya dengan membayangkan hal itu. Dan kalau Eirik mencium bibirnya, terutama kalau pria itu menciumnya dengan lidah seperti yang pernah dilakukan Eirik di kamar ini, dan kalu Eirik menyentuh tubuh Eadyth dengan sentuhan selembut bulu itu dalam waktu bersamaan... well, Eadyth tak tahu apa ia bisa menyembunyikan responsnya.

Teka-teki itu mengusiknya selama berjam-jam sebelum akhirnya ia terlelap dalam tidur yang gelisah.


Payudara yang berguncang bisa melakukan ITU?...

Eirik sudah tidak ada ketika Eadyth bangun keesokan harinya. Syukurlah! Eadyth teringat bahwa Eirik dan anak buahnya memang berniat untuk pergi ke ujung terjauh estatnya untuk menyelidiki laporan adanya sekelompok orang asing berkuda menginjak-injak ladang gandum yang baru ditanami. Eadyth menggigil, tahu bahwa Steven, tak diragukan, berada di balik masalah yang baru melanda Ravenshire.

Si iblis Earl of Gravely itu mempermainkan mereka –permainan mengerikan yang didesain untuk membuat mereka resah saat menunggu-nunggu aksi terakhir bajingan itu. Apa aksi terakhirnya itu, Eirik tak bisa menebak, tapi ia bersumpah itu pasti melibatkan putranya, John.

Eadyth juga memutuskan bahwa ia tak akan membiarkan Eirik menghalanginya lagi hari ini. Ia harus mengakui penyamaran konyolnya sebelum semuanya berjalan semakin jauh. Terutama karena Eirik menegaskan pentingnya kejujuran dalam pembicaraan mereka kemarin malam. Oh, Tuhan!

Kemudian pagi itu, Eadyth duduk di meja dapur membantu Bertha dan Britta mengupas sekeranjang kacang. Ia ingin membersihkan meja besar itu untuk menempatkan lusinan sarang madu yang dikumpulkannya pagi itu. Ia berniat menyiapkannya untuk dipasarkan dalam wadah-wadah keramik kecil yang didesainnya. Ceret-ceret air panas dan peralatan saring khusus sudah siap digunakan.

“Kudengar Lord Raven menggodamu di meja besar kemarin malam,” ujar Britta ramah. “Pria memang kadang bersikap seperti binatang yang vulgar.”

Eadyth meletuskan beberapa kacang manis di julutnya dan mengunyahnya saat menaikkan satu alis dengan ekspresi bertanya.

“Kau tahu, tentang warna puncak payudaramu dan semacamnya.”

Eadyth tercekat dan kacang-kacang yang dikunyahnya memasuki saluran yang salah. Ia terbatuk dan terbatuk sampai Bertha akhirnya mengambilkan segelas air untuknya.

“Kau tahu apa yang dikatakan Eirik padaku?” tanya Eadyth akhirnya pada pelayan yang polos dan blak-blakan itu, tak yakin apakah ia lebih kaget atau marah. Namun, memang seperti itulah kebiasaan di antara para pelayan, pikirnya.

Pasti Eirik yang menyebarkannya. Keparat itu!

“Jangan malu, My Lady. Semua pria seperti itu pada suatu saat, terutama saat mereka minum atau ketika mereka... ah... sedang bergairah.” Britta tersipu saat mengucapkan kata-kata terakhirnya.

Oh, demi tuhan! Bagaimana mungkin aku terlibat dalam pembicaraan seperti ini?

“Ini yang dilakukan payudara setiap kali,” kata Bertha sambil memperagakan dengan berani. “Pria memang suka dada yang bagus, terutama yang bergoyang-goyang.”

“Bergoyang-goyang?” tanya Eadyth dan Britta bersamaan, menoleh ke arah Bertha dengan kaget.

Bertha menggerakkan payudaranya yang besar ke depan dengan bangga. Lalu meletakkan kedua tangannya yang gemuk di keduanya, mengangkatnya lebih tinggi dan mengguncang-guncangnya dengan cara yang lucu.

Mulut Eadyth menganga takjub memikirkan ada pria yang tertarik pada tubuh Bertha yang luar biasa lebar itu, tapi, kalau diingat-ingat, koki yang ceplas-ceplos itu memang selalu punya persediaan teman tidur. Mata Britta ikut membelalak penuh minat, kemudian mereka berdua menunduk memandang payudara mereka. Payudara Britta yang montok memang bisa berguncang kalau ia berjalan dengan gerakan yang berlebihan, tapi Eadyth tahu payudaranya yang mungil tak akan pernah bisa berguncang, bahkan meskipun ia meloncat-loncat.

Satu sisi benak Eadyth memberitahunya bahwa Bertha hanyalah seorang wanita tua yang tak tahu apa-apa soal dunia atau pria, tapi sisi lain benaknya berbisik dengan licik bahwa mungkin itulah kenapa Eirik tak menyempurnakan pernikahan mereka kemarin malam. Eirik menganggap sosoknya sebagai wanita kurang menarik.

Eadyth menoleh ke arah Britta, yang masih memperhatikan dadanya sendiri. Lalu mata mereka bertatapan dengan pemahaman yang sama, dan mereka terkikik-kikik seperti anak kecil.

Payudara yang berguncang! Selanjutnya apa lagi?




Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar