Senin, 16 Juli 2018

One Good Earl Deserves a Lover 4


“Mawarnya sudah bertunas –dua kuncup merah muda yang sempurna, tumbuh dari tangkai semak mawar merah, seperti yang sudah dihipotesiskan. Aku pasti sangat bangga dengan pencapaian ini jika aku tidak gagal total dalam bidang riset nonbotani.

Rupanya pemahamanku terhadap hortikultura lebih dalam daripada pemahamanku terhadap manusia.

Sayangnya, ini bukan penemuan yang mengejutkan.”

Jurnal ilmiah Lady Philippa Marbury
23 Maret 1831; tiga belas hari sebelum pernikahannya


Pippa...,” Olivia Marbury menghela napas dari ambang pintu rumah kaca Dolby House, “kau pasti punya kerjaan yang lebih menarik ketimbang bermain dengan tanamanmu. Bagaimanapun juga, kita akan menikah dua belas hari lagi.”


“Tiga belas,” ralat Pippa, tidak mendongak dari tempat di mana ia mencatat observasi flora pagi itu. Ia tahu ia tidak perlu menjelaskan kepada Olivia kalau pekerjaannya dengan mawar jauh lebih menarik dan relevan dengan ilmu pengetahuan ketimbang frase bermain dengan.

Olivia tidak tahu apa-apa tentang ilmu pengetahuan.

“Hari ini tidak dihitung!” Pengantin kedua –atau pertama- dari apa yang digadang-gadang akan menjadi “pernikahan ganda termegah abad ini” (setidaknya, oleh ibu mereka) menanggapi, semangat pada nada suaranya tidak mungkin terlewatkan. “Bisa dibilang hari ini sudah berlalu!”

Pippa meredam keinginan untuk meralat adiknya, berasumsi bahwa jika seseorang sudah tidak sabar menantikan sebuah peristiwa, maka hari ini tidak akan dihitung. Tapi karena ia masih bimbang dan gelisah kalau sudah dihadapkan dengan peristiwa yang dimaksud, maka hari ini dihitung. Sangat.

Hari ini, dua puluh tiga Maret, masih tersisa empat belas jam dan –Pippa melihat jam yang ada di dekatnya- empat puluh tiga menit lagi, dan ia tidak ingin melewatkan hari terakhir yang kedua belas dari masa-masa lajangnya sebelum ia memanfaatkan setiap menitnya.

Sekarang Olivia ada di depan meja kerja Pippa, mencondongkan badan ke atasnya, senyum lebar mengambang di wajah cantiknya. “Apa kau melihat perbedaan pada diriku hari ini?”

Pippa meletakkan penanya lalu memandang adiknya. “Maksudmu, selain fakta bahwa kau sudah hampir telentang di atas setumpuk tanah?”

Hidung sempurna Olivia dikerutkan dengan lagak jijik, lalu ia menegakkan badan. “Iya.”

Pippa menaikkan kacamata di hidungnya, memperhatikan mata Olivia yang berbinar, senyum misterius Olivia, dan penampilan adiknya itu yang sangat manis, Ia tidak melihat sesuatu yang berbeda. “Gaya rambut baru?”

Olivia menyeringai. “Bukan.”

“Gaun baru?”

Seringai itu berubah menjadi senyum. “Untuk seorang ilmuawan, kau tidak terlalu teliti.” Olivia mengangkat sebelah tangan di tulang selangkanya, lalu Pippa melihat. Batu rubi besar yang gemerlapan. Matanya membelalak, dan Olivia tertawa. “Ah-ha! Sekarang kau melihatnya!”

Olivia menyodorkan tangannya kepada Pippa, yang harus mundur agar tidak terpukul oleh permata itu. “Cantik, ya?”

Pippa mencondongkan badan untuk memperhatikan permata itu. “Iya.” Ia mendongak. “Batunya besar.”

Olivia tersenyum lebar. “Calon suamiku memujaku.”

“Calon suamimu memanjakanmu.”

Olivia mengabaikan kata-kata itu. “Kau mengatakannya seolah aku tidak pantas dimanjakan.”

Pippa tertawa. “tottenham yang malang. Dia tidak tahu apa yang akan dia hadapi.”

Olivia menatap Pippa dengan tajam. “Omong kosong. Dia tahu persis apa yang akan dia hadapi. Dan dia menyukainya.” Ia kembali mengalihkan perhatiannya. “Batunya sangat cantik dan merah.”

Pippa mengangguk. “Itu Kromiumnya.”

“Apanya?”

“Kromiumnya. Itu zat yang ditambahkan ke dalam kristal untuk mengubahnya menjadi merah. Jika yang ditambahkan zat lain... bukan rubi namanya. Melainkan safir.” Olivia mengerjap, dan Pippa melanjutkan, “Banyak orang salah kaprah, menyangka semua safir berwarna biru, padahal tidak begitu. Safir bisa berwarna apa saja... hijau atau kuning atau bahkan merah muda. Tergantung kepada zat tambahannya. Tapi semuanya disebut safir. Kalau warnanya merah baru namanya berbeda. Rubi. Karena kromiumnya.”

Pippa terdiam, melihat ekspresi bingung di wajah Olivia. Itu ekspresi yang sama dengan yang muncul di wajah sebagian besar orang setiap kali ia berbicara terlalu banyak.

Tapi tidak semua orang.

Tidak di wajah Cross.

Sepertinya Cross tertarik kepadanya. Bahkan ketika pria itu menyebutnya gila. Sampai momen di mana Cross mengusirnya dari klub. Dan kehidupan pria itu. Tanpa memberitahu apa yang ingin ia ketahui.

Olivia kembali memandangi cincinnya. “Yah, rubiku warnanya merah. Dan cantik.”

“Memang.” Pippa membenarkan. “Kapan kau menerimanya?”

Seulas senyum simpul dan misterius mengambang di wajah cantik Olivia. “Tottenham memberikannya kepadaku semalam setelah acara di teater.”

“Dan ibu tidak menyebutkannya waktu sarapan pagi?” Mengejutkan.”

Olivia tersenyum lebar. “Ibu tidak ada saat Tottenham memberikannya.”

Ada sesuatu yang terkandung di dalam kata-kata itu –suatu kewaspadaan yang hampir tidak ditangkap oleh Pippa. Yang mungkin tidak ditangkap oleh Pippa kalau bukan karena mata biru Olivia yang penuh pemahaman. “Dia ada di mana?”

“Kurasa dia sedang mencariku.” Terjadi keheningan selama beberapa saat, selagi Pippa tahu ia harus menarik maknanya. “Dia tidak bersama kami.”

Pippa mencondongkan badan, ke seberang meja. “Kalian ada di mana?”

Olivia tersenyum lebar. “Aku tidak mau memberitahukanmu.”

“Apa kalian berduaan?” Pippa terkesiap.

Tawa Olivia riang dan santai. “Oh, Pippa... kau tidak perlu terdengar seperti pendamping yang terkejut.” Ia memelankan suaranya. “Aku... tidak lama-lama. Hanya sebentar agar dia bisa memberikan cincin ini kepadaku... dan aku bisa berterima kasih kepadanya.”

“Berterima kasih kepadanya bagaimana?”

Olivia tersenyum. “Kau bisa membayangkannya.”

“Sama sekali tidak.” Ini benar.

“Kau tentu punya satu atau dua alasan untuk berterima kasih kepada Castleton.”

Tapi nyatanya Pippa tidak pernah punya. Yah, tentu saja ia pernah mengucapkan kata-kata itu, terima kasih, kepada tunangannya, tapi ia tidak pernah memiliki alasan untuk berduaan bersama Castleton selagi melakukannya. Dan ia yakin Castleton tidak pernah membayangkan memberinya hadiah semewah hadian yang Viscount Tottenham berikan kepada Olivia. “Bagaimana, persisnya, kau berterima kasih kepadanya, Olivia?”

“Kami sedang di teater, Pippa,” ujar Olivia. “Kami tidak bisa berbuat banyak. Hanya beberapa ciuman.”

Beberapa ciuman.

Lebih dari sekali.

Pippa tersentak karena kata-kata itu, menjatuhkan botol tintanya, membuat cairan hitam menggenang di atas meja sampai sebatang pohon lemon muda yang ditanam dalam pot, lalu Olivia melompat mundur sambil memekik. “Jangan sampai kena kaunku!”

Pippa mengangkat botol tinta lalu mengelap cairan itu dengan kain perca yang ada di dekatnya, ingin mendapat lebih banyak informasi. “Kau sudah pernah...,” ia melirik pintu rumah kaca untuk meyakinkan diri kalau mereka hanya berduaan, “mencium Tottenham?”

Olivia melangkah mundur. “Tantu saja sudah. Aku tidak mungkin menikah dengan seorang pria tanpa tahu apakah kami punya kecocokan atau tidak.”

Pippa mengerjap. “Kecocokan?” Ia melihat jurnal risetnya, terbuka di meja, dipenihi oleh catatan mengenai mawar, dahlia, angsa, dan anatomi manusia. Ia rela menukar semua itu demi beberapa lembar catatan yang valid dari pengalaman Olivia.

“Iya. Kau pasti pernah bertanya-tanya akan seperti apa rasanya... secara fisik... dengan Castleton... setelah kalian menikah?”

Bertanya-tanya belum cukup menggambarkan apa yang Pippa rasakan tentang masalah fisik dalam hubungan dengan Castleton. “Tentu saja.”

“Nah, kau sama saja.” Ujar Olivia.

Tapi ia tidak sama. Sama sekali tidak. Pippa menahan keinginan untuk melontarkan kata-kata semacam itu, mencari cara lain untuk membahas pengalaman Olivia tanpa membuat terkesan seperti ingin menggali wawasan. “Dan kau... menyukai ciumannya?”

Olivia mengangguk dengan penuh semangat. “Oh, iya. Dia sangat pandai melakukannya. Awalnya aku dikejutkan oleh antusiasmenya...”

Saat itu, Pippa membenci bahasa Inggris dan semua eufemismenya. “Antusiasme?”

Olivia tertawa. “Hanya dalam artian yang terbaik... aku pernah mencium beberapa orang pemuda sebelumnya...” Olivia pernah melakukannya? “tapi aku agak dikejutkan oleh...” Olivia terdiam, melambaikan tangannya yang bepermata di udara seolah gerakan itu sudah mencakup seluruh makna yang relevan.

Pippa ingin mencekik adiknya. “Oleh...” desaknya.

Olivia memelankan suaranya menjadi bisikan. “Kepiawaiannya.”

“Jelaskan.”

“Yah, dia punya lidah yang sangat lihai.”

Dahi Pippa dikerutkan. “Lidah?”

Mendengar tanggapan kaget Pippa, Olivia menegakkan badan. “Oh. Kau dan Castleton belum pernah berciuman.”

Pippa mengerutkan dahi. Memangnya apa yang dilakukan oleh seorang pria dengan lidahnya dalam situasi seperti itu? Lidah adalah organ yang ditujukan untuk makan dan bicara. Bagaimana mungkin organ itu berperan dalam berciuman? Walaupun, secara logis, bersentuhan mulut akan membuat lidah saling berdekatan... tapi jujur saja, gagasan tersebut meresahkan.”

“... kurasa semestinya aku tidak terkejut,” Olivia melanjutkan.

Tunggu.

Pippa memandang adiknya. “Apa?”

Olivia melambaikan tangannya lagi. “Maksudku, dia... Castleton.”

“Tidak ada yang salah dengan Castleton,” bela Pippa. “Dia pria yang baik dan terhormat.” Bahkan selagi mengucapkan kata-kata itu, Pippa tahu apa yang dimaksud dengan Olivia. Apa yang dimaksudkan oleh Cross kemarin, saat pria itu menyiratkan kalau Castleton adalah mempelai pria yang... kurang unggul.

Castleton adalah pria yang sangat baik, tapi bukan jenis pria yang mengilhami ciuman.

Apa lagi dengan lidah.

Apa pun maksudnya itu.

“Tentu saja,” kata Olivia, tidak tahu menahu tentang pemikiran Pippa yang berkecamuk. “Dia juga kaya. Dan itu membantu.”

“Aku menikah dengannya bukan karena dia kaya.”

“Perhatian Olivia dialihkan kepada Pippa. “Memangnya mengapa kau menikah dengannya?”

Pertanyaan itu lancang. “Karena aku sudah bersedia.”

“Bukan itu maksudku, kau tahu itu.”

Pippa tidak tahu, dan ada sejumlah alasan mengapa ia menikah dengan Castleton. Semua yang ia katakan kepada Olivia dan Cross benar. Sang ealr baik, terhormat dan menyukai anjing. Castleton menghargai kecerdasannya dan bersedia memberinya akses penuh untut estat pria itu beserta tetek bengeknya. Castleton memang tidak pintar atau cekatan atau sangat menghibur, tapi sang earl lebih baik daripada sebagian besar pria.

Yah, Castleton memang bukan pria idaman kebanyakan wanita –bukan seorang viscount yang digadang-gadang akan menjadi perdana menteri seperti tunangan Olivia, dan bukan seorang marquess mandiri yang memiliki klub judi serta reputasi bejat seperti Bourne-nya Penelope –tapi sang earl juga tidak setua suami Victoria atau bebal seperti suaminya Valeri.

Dan Castleton sudah meminangnya.

Pippa bimbang karena pemikiran itu.

Philippa Marbury aneh, dan Lord Castleton agaknya tidak keberatan.

Tapi Pippa tidak mau mengutarakannya keras-keras. Tidak di depan Olivia –pengantin paling ideal yang pernah ada, yang akan menikah karena saling mencintai dengan salah seorang pria paling berkuasa di Inggris. Maka, alih-alih, Pippa berkata, “Mungkin dia hebat dalam berciuman.”

Ekspresi Olivia mencerminkan perasaan Pippa sendiri dalam masalah itu. “Mungkin,” komentar Olivia.

Bukan berarti Pippa akan menguji teori ganjil itu.

Pippa tahu ia tidak bisa mengujinya. Ia sudah menyanggupi ketentuan taruhan Cross. Ia sudah berjanji.

Sebuah kenangan berkelebat, dadu bergulir di atas kain wol hijau, sentuhan hangat dari jemari yang kuat, mata kelabu yang serius, dan suara berat yang kuat, mendesak. Kau tidak boleh mengajukan penawaran kepada pria lain.

Philippa Marbury tidak pernah mengingkari janji.

Tapi ini situasi darurat, kan? Toh, Olivia sudah pernah mencium Tottenham. Tentunya mencium tunangan sendiri tidak melanggar ketentuan taruhan.

Iya, kan?

Tapi ia tidak mau mencium tunangannya.

Pandangan Pippa tertuju ke kuncup mawar yang sedang ia perhatikan dengan sangat cermat sebelum kedatangan adiknya... penemuan ilmiah menarik yang tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan informasi yang baru saja Olivia bagikan.

Tidak penting kalau ia tidak ingin mengajukan penawaran kepada Castleton.

Dan tidak penting kalau ada pria lain, yang berbeda, yang ingin ia beri penawaran –sangat tidak penting, mengingat fakta bahwa pria itu telah mengusirnya keluar dari klub judi dengan sangat tak acuh.

Sedangkan rasa sesak di dadanya, Pippa yakin itu bukan tanggapan terhadap kenangan akan pria jangkung dan menawan itu, melainkan kegelisahan khas pengantin yang wajar.

Semua pengantin gugup.

“Dua belas hari terasa lama sekali!” cetus Olivia, bosan dengan percakapan mereka dan tidak tahu-menahu tentang pemikiran Pippa.

Sepertinya semua pengantin gugup, kecuali Olivia.

***


Dua puluh delapan jam.” Dengan perlahan Digger Knight melihat jam sakunya sebelum menyeringai sombong. “Kuakui, tebakanku kurang dari dua belas.”

“Aku ingin membuatmu terus menebak.” Cross melepaskan mantelnya lalu duduk di sebuah kursi kayu yang tidak nyaman di ujung meja Digger yang besar. Ia mengarahkan tatapan tajam ke balik bahunya kepada anak buah Digger yang sudah mendampinginya ke kantor pribadi Digger. “Tutup pintunya.”

Pria bopeng itu menutup pintu.

“Kau berada di sisi yang salah.”

Pria itu mencibir.

Digger tertawa. “Tinggalkan kami.” Setelah akhirnya mereka berduaan, ia berkata, “Aku hanya bisa pasrah, anak-anak buahku protektif terhadapku.”

Cross bersandar ke kursi kecil itu, melipat sebelah kaki ke atas kaki yang sebelah lagi, enggan membiarkan perabotan itu mencapai tujuannya –mengintimidasi. “Anak-anak buahmu protektif terhadap bayaran mereka.”

Digger tidak menyangkal. “Loyalitas memang nomor satu, berapa pun harganya.”

“Peraturan yang baik untuk seorang gembel.”

Digger memiringkan kepalanya. “Maksudmu anak-anak buahmu tidak loyal demi uang?”

“The Angel bukan hanya menawarkan keamanan finansial kepada mereka.”

“Kau, Bourne, dan Chase tidak pernah bisa menolak jiwa malang yang terpuruk,” Digger mendengus, berdiri. “Aku selalu berpendapat kalau tugas itu sebaiknya diserahkan kepada pendeta. Gin?

“Aku cukup bijak untuk tidak meminum apa pun yang kau sajikan.”

Digger tertegun selagi mengisi gelasnya. “Kau pikir aku akan meracunimu?”

“Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan kau lakukan kepadaku kalau punya kesempatan.”

Digger tersenyum. “Aku punya rencana yang membutuhkanmu dalam keadaan hidup, Nak.”

Cross tidak menyukai pemahaman yang terkandung dalam kata-kata itu, implikasi angkuh bahwa ia berada di sisi meja yang salah di sini –bahwa ia akan ditarik ke dalam permainan beresiko tinggi yang tidak ia ketahui peraturannya. Ia memperhatikan bagian dalam kantor Digger Knight sejenak.

Ia sudah pernah ke sini sebelumnya, yang terakhir kali enam tahun silam, dan ruangan-ruangannya belum berubah. Ruangan-ruangan ini masih bersih dan rapi, tanpa apa pun yang dapat mengungkapkan kehidupan pribadi pemiliknya. Di salah satu sisi ruangan yang kecil, buku-buku besar –jaminan, begitu Digger Knight menyebutnya –disusun secara rapi. Cross tahu lebih dari siapa pun apa isinya; sejarah finansial dari semua pria yang pernah bermain di meja-meja klub judi Digger Knight.

Cross tahu, bukan hanya karena buku-buku besar serupa ada di kantornya sendiri, melainkan juga karena ia melihatnya malam itu, enam tahun yang lalu, saat Digger melempar sebuah buku besar dalam keadaan terbuka, anak buah Digger berkepalan tangan besar menunjukkannya bukti dari pelanggarannya sebelum mereka memukulinya sampai sekarat.

Cross tidak melawan mereka.

Bahkan, ia mendoakan keberhasilan mereka.

Digger menghentikan mereka sebelum mereka merampungkan tugas dan memerintahkan agar semua uang Cross diambil lalu ia diusir dari klub.

Digger mencondongkan badan, tidak menghiraukan wajah Cross yang memar, pakaiannya yang brsimbah darah, dan tulang serta jemarinya yang patah. Kau pikir aku tidak lihat apa yang kau lakukan? Bagaimana kau mempermainkanku? Aku tidak akan membunuhmu. Belum saatnya bagimu.

Mata Cross bengkak hingga nyaris terpejam, tapi ia memperhatikan Digger mencondongkan badan, dengan gusar. Tapi aku tidak mau kau menipuku lagi. Apa yang kau rasakan sekarang... itu jaminanku. Kalau kau kembali, keadaannya akan bertambah buruk. Tolonglah dirimu sendiri dan menjauhlah sebelum aku tidak punya pilihan selain menghancurkanmu.

Cross sudah hancur, tapi ia tetap menjauh.

Hingga hari ini.

“Mengapa aku ada di sini?”

Digger kembali ke kursinya lalu menenggak alkohol. Sambil meringis, dia berkata, “Adik iparmu berutang sepuluh ribu pound kepadaku.”

Latihan selama bertahun-tahun membuat Cross tidak memperlihatkan kekagetannya. Sepuluh ribu pound merupakan jumlah yang besar. Lebih dari yang dihasilkan oleh sebagian besar orang di sepanjang hidup mereka. Lebih dari yang dihasilkan oleh sebagian besar bangsawan dalam waktu setahun. Bahkan dua tahun. Dan yang pasti lebih dari yang bisa di bayar oleh Baron Dunblade. Cross sudah menghidupkan setiap bagian tanah kosong milik sang baron, dan ia mendapat pemasukan dua ribu pound setahun.

Dua ribu empat ratus tiga puluh lima pound, tahun lalu.

Itu tidak banyak, tapi sudah cukup untuk menyediakan atap yang menaungi kepala istri dan anak-anak Dunblade. Sudah cukup untuk menyekolahkan putra sang baron. Sudah cukup untuk menciptakan ilusi terhormat yang membuat sang baron dan baroness menerima undangan penting dari bangsawan lainnya.

Cross memastikannya.

“Bagaimana mungkin?”

Digger bersandar di kursinya, memutar-mutar gelas kristal dalam genggamannya. “Pria itu gemar berjudi. Siapa aku sehingga bisa mencegahnya?”

Cross meredam keinginan untuk mengulurkan tangan ke seberang meja dan merenggut leher Digger. “Sepuluh ribu pound lebih dari sekadar gemar berjudi, Digger. Bagaimana kejadiannya?”

“Rupanya pria itu diberi batas pinjaman yang tidak bisa dia lunasi.”

“Di sepanjang hidupnya dia tidak memiliki uang sebanyak itu.”

Nada suara Digger menjadi lugu dan menjengkelkan. “Dia meyakinkanku kalau dia memilikinya. Aku tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas fakta bahwa pria itu berbohong.” Ia menatap mata Cross, pemahaman berkilat di sana. “Sebagian orang tidak kuasa menahan diri. Kau yang mengajarkannya kepadaku.”

Kata-kata itu ditujukan untuk melukai –untuk mengenang malam kala Cross, yang baru lulus kuliah, dengan mata yang berbinar dan keyakinan mutlak, bermain di meja-meja Digger Knight dan menang. Berkali-kali. Ia sudah menguasai vingt-et-un –tidak mungkin tidak menang.

Ia sudah berpindah-pindah klub selama berbulan-bulan, bermain di sini pada satu malam, di sana selama dua malam, meyakinkan semua orang yang melihat kalau ia sekadar beruntung.

Semua orang yang melihat kecuali Digger. “Jadi, ini pembalasan dendammu? Sudah dirancang selama enam tahun?”

Digger menghela napas. “Omong kosong. Aku sudah lama melupakannya. Aku tidak pernah percaya kepada pembalasan dendam yang dingin. Aku selalu menyukai makanan yang panas. Lebih baik untuk pencernaan.”

“Kalau begitu hapuskan saja utangnya.”

Digger tertawa, jemarinya direntangkan lebar-lebar di meja mahoni. “Kita tidak seimpas itu, Cross. Utangnya tetap berlaku. Dunblade memang bodoh, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa aku memberikan utang kepadanya. Ini bisnis, aku yakin kau sependapat.” Ia terdiam selama beberapa saat, kemudian, “Sayang sekali dia seorang bangsawan. Penjara untuk orang-orang yang berutang mungkin lebih baik daripada apa yang sudah kusiapkan untuknya.”

Cross tidak berpura-pura tidak mengerti. Toh ia sendiri mengelola sebuah klub judi, dan tahu lebih dari siapa pun hukuman rahasia apa yang bisa dijatuhkan kepada para bangsawan yang menganggap diri mereka kebal dari utang. Ia mencondongkan badan ke depan. “Aku bisa meruntuhkan tempat ini. Anggota kami mencakup separuh kaum bangsawan.”

Digger ikut mencondongkan badan ke depan. Aku tidak membutuhkan separuh kaum bangsawan, Nak. Aku punya adikmu.

Lavinia.

Satu-satunya alasan yang membawa Cross ke sini.

Sebuah kenangan melintas, Lavinia, muda dan berseri-seri, menoleh ke belakang dan tertawa kepada Cross sembari menunggangi kuda coklat kemerahannya menyusuri tebing-tebing Devonshire. Lavinia anak bungsu dengan jarak usia tujuh tahun, sangat manja dan tidak takut kepada apa pun. Lavinia bukan jenis gadis yang biasa diam –bahkan kalau itu yang terbaik bagi semua orang.

Lavinia menikah dengan Dunblade setahun setelah Baine meninggal dan Cross meninggalkan rumah; Cross membaca tentang pernikahannya di surat kabar, pendekatan cepat disusul oleh pernikahan yang lebih cepat lagi –melalui izin khusus untuk melewatkan masa duka keluarga. Pasti ayah mereka yang menginginkan pernikahan itu dilaksanakan secepatnya, guna memastikan seseorang akan menikahi putrinya.

Cross menatap mata biru tajam Digger Knight. “Dia bukan bagian dari semua ini.”

“Oh, kau salah. Menarik rasanya melihat bagaimana wanita berhasil membawa diri mereka ke dalam masalah, ya? Betapapun kerasnya seseorang berusaha menjauhkan wanita itu, kalau seorang lady sudah bertekad ingin ikut campur, dia pasti ikut campur,” ujar Digger, membuka sebuah kotak eboni berhias di mejanya lalu mengeluarkan sebatang cerutu dan mengetukkan silinder coklat panjang itu, sekali, dua kali, ke meja sebelum menyulutnya. Setelah berlama-lama menghisap cerutu, ia berkata, “Dan ada dua orang lady yang berhubungan denganmu. Mari bicarakan kenalan baruku. Lady yang kemarin. Siapa dia?”

“Dia tidak penting.” Cross langsung menyadari kesalahannya. Smestinya ia mengabaikan pertanyaan itu. Semestinya ia tidk menanggapinya. Tapi jawabannya yang terlalu cepat lebih bersifat membongkar ketimbang menyembunyikan.

Digger memiringkan kepalanya ke samping, penasaran. “Sepertinya dia sangat penting.”

Brengsek. Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk Philippa Marbury dengan mata biru besarnya, otaknya yang terlalu logis, dan tingkah lakunya yang aneh serta menggoda. Cross menyalahkan pemikiran itu.

Ia tidak akan memikirkan Philippa di sini.

“Aku datang untuk membahas adikku.”

Digger menerima perubahan topik tersebut. Mungkin dengan terlalu mudah. “Adikmu punya karakter, kuakui itu.”

Ruangan terasa hangat dan terlalu kecil, dan Cross meredam keinginan untuk bergeser di kursinya. “Apa maumu?”

“Ini bukan tentang apa yang kuinginkan. Ini tentang apa yang sudah ditawarkan oleh adikmu. Dia sangat murah hati. Rupanya wanita muda itu bersedia melakukan apa saja demi memastikan anak-anaknya terlindungi dari skandal.”

“Anak-anak Lavinia akan tetap tidak terjamah oleh skandal.” Kata-kata itu terdengar tegas dan mantap. Cross akan memindahkan Bumi demi memastikan kebenarannya.

“Apa kau yakin?” tanya Digger, bersandar di kursinya. “Sepertinya mereka sudah sangat dekat dengan skandal yang sangat memalukan. Kemiskinan. Seorang ayah yang gemar menghabiskan warisan mereka dengan berjudi. Seorang ibu yang merana. Dan semua itu karena paman mereka... yang membalikkan badan dari keluarga serta masyarakat dan tidak pernah menoleh ke belakang, lalu...” Kalimat itu menggantung, penyelesaiannya tidak diperlukan.

Itu tidak benar.

Semuanya tidak benar.

Cross yakin ia tidak pernah membalikkan badan dari mereka.

Cross menyipitkan matanya. “Kau sudah kehilangan aksenmu, Digger.”

Salah satu ujung bibir Digger terangkat. “Tidak perlu menggunakannya dengan kawan lama.” Ia berlama-lama menghisap cerutunya. “Tapi... kembali kepada anak-anak yang beruntung itu. Ibu mereka kuat. Dia menawarkan diri untuk membayarku. Sayang sekali dia tidak punya uang sepeser pun.”

Tidak dibutuhkan otak yang brilian untuk mendengar sindiran Digger. Memahami kebusukan yang terkandung dalam kata-kata itu. Pria biasa pasti membiarkan amarhnya mencuat tanpa melihat semua kepingan yang dimainkan, tapi Cross bukan pria biasa.

Ia bukan hanya mendengar ancamannya. Ia mendengar tawarannya.

“Kau tidak boleh bicara dengan adikku lagi.”

Digger menganggukkan kepala. “Apa kau benar-benar yakin kalau kau berada dalam posisi memampukanmu membuat pernyataaan semacam itu?”

Cross berdiri, memindahkan mantelnya ke lekuk salah satu lengannya. “Akan kubayar utangnya. Melipatgandakan jumlahnya. Akan kukirim berkasnya besok. Dan kau harus menjauhi keluargaku.”

Cross berbalik untuk pergi.

Digger bicara dari tempatnya. “Tidak.”

Cross berhenti, menoleh ke balik bahu, membiarkan emosi tertuang ke dalam nada suaranya untuk yang pertama kalinya. “Ini kali kedua kau menolakku dalam dua hari terakhir, Digger. Aku tidak suka itu.”

“Sayangnya utangnya tidak bisa dilunasi dengan semudah itu.”

Digger Knight membuat namanya menjadi salah seorang pejudi ulung di London bukan dengan bermain mengikuti peraturan. Malah, kegemaran Digger dalam melanggar peraturanlah yang menyelamatkan Cross bertahun-tahun silam. Digger menyukai cara kerja otak Cross. Digger memaksa Cross mengungkapkan bagaimana ia menghitung jumlah kartu, bagaimana ia mengalkulasi kartu berikutnya, bagaimana ia tahu kapan dan berapa banyak ia harus bertaruh.

Bagaimana ia selalu menang.

Setidaknya di meja judi.

Cross berbalik menghadap musuh bebuyutannya lagi “Lantas bagaimana?”

Digger tertawa, tawa terbahak-bahak serak dan mengguncang perut yang membuat Cross mengertakkan gigi. “Momen yang sangat luar biasa... Cross yang hebat, bersedia memberikan apa pun yang kuinginkan. Betapa... bertanggung jawabnya kau.” Tidak ada kekagetan pada nada suara itu, hanya kepuasan angkuh.

Dan baru pada saat itulah Cross tersadar kalau sedari awal ini bukan soal Dunblade. Digger Knight menginginkan sesuatu lagi, dan pria itu menggunakan satu-satunya hal yang ia sayangi demi mendapatkannya.

“Kau membuang-buang waktuku. Apa maumu?”

“Sebenarnya sederhana,” ujar Digger. “Aku mau kau menjadikan putriku seorang countess.”

Jika diminta menebak harga yang akan Digger pasang untuk reputasi adiknya dan keamanan anak-anak adiknya, Cross pasti berkata bahwa tidak ada yang bisa mengejutkannya. Ia pasti siap mendengar tuntutan digger untuk menjadi pemegang saham di The Angel, mendengar permintaan agar bos arena atau penjaga keamanan The Angel bekerja untuk Knight’s atau agar dia sendiri mengisi lowongan di klub digger itu.

Cross pasti mengira akan diperas –utang dilipatgandakan, dilipatgandakan, cukup untuk membuatnya bangkrut. Bahkan ia pasti membayangkan suatu proposal untuk menggabungkan kedua klub; Digger tidak menyukai bagaimana The Fallen Angel melesat meraih keberhasilan dalam hitungan bulan setelah pembukaan, sementara Knight’s tetap sedang-sedang saja, klub kelas dua yang mengumpulkan para bangsawan yang ditolak oleh standar keanggotaan The Angel yang ketat.

Tapi ia tidak akan membayangkan permintaan ini.

Maka ia melakukan satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam situasi ini. Ia tertawa. “Apa kita sedang menyebutkan apa saja yang kita inginkan? Kalau iya, aku ingin punya kendaraan terbang yang berpelat emas.”

“Dan aku akan mencari cara untuk memberikannya kepadamu kalau kau mengambil alih salah satu dari segelintir hal yang kusayangi.” Digger Knight mematikan cerutunya.

“Aku tidak tahu kau menyanyangi Meghan.”

Pukulan telak.

Cross mengingat-ingat apa yang ia ketahui tentang anak tunggal Digger, informasi yang ia pelajari dari arsip-arsip yang disimpan di brankas The Angel. Arsip-srsip yang memuat rahasia dari orang-orang yang bisa menjadi musuh mereka –politisi, pelaku kriminal, pendeta, dan juga pesaing.

Informasi itu tampak jelas seolah arsip Digger Knight terbuka di meja di tengah mereka.


Nama: Meghan Margaret Knight, lahir 3 Juli 1812.


“Aku tahu cukup banyak tentang Meghan.” Cross terdiam sejenak. “Atau aku harus memanggilnya Maggie?”

Digger menenangkan diri. “Aku tidak pernah peduli.”

“Yah, kurasa tidak, mengingat nama itu berbau Irlandia.” Cross menyampirkan mantelnya di punggung kursi, menikmati secercah kendali yang ia dapatkan. “Meghan Margaret Knight. Aku kaget kau mengizinkannya dinamai seperti itu.”

Digger memalingkan wajahnya. “aku membiarkan ibunya manamainya.”

“Mary Katherine.”


Mary Katherine O’Brien, Irlandia, lahir 1796, menikah dengan Knight –Februari 1812.


“Seharusnya aku sudah tahu kalian menyimpan informasi tentang mereka.” Digger Knight merengut. “Chase bajingan. Suatu hari nanti, aku akan memberi pelajaran yang pantas dia dapatkan.”

Cross bersedekap begitu mendengar mitranya, dan pendiri The Fallen Angel, disebutkan. “Kujamin itu tidak akan terjadi.”

Digger menatap mata Cross. “Kurasa seharusnya aku bersyukur kau sudah tahu tentang gadis itu. Sama saja seperti menikahi teman lama.”


Kediaman: Bedfordshire; pondok kecil di High Street.
Knight mengirim £200, pada tanggal 4 setiap bulannya; tidak pernah berkunjung dan belum pernah melihat gadis itu sejak ia dan ibunya diasingkan, pada bulan Oktober 1813.
Gadis itu dibesarkan oleh seorang guru pribadi, cukup fasih berbicara dalam bahasa Prancis.
Bersekolah di Mrs. Coldphell’s Finishing School for Girls –tidak tinggal di asrama.


“Sejak kapan kau peduli pada putrimu?”

Digger mengangkat bahu. “Sejak dia cukup dewasa dan memiliki nilai.”

Ada satu baris lagi, dicantumkan oleh tulisan tangan Chase yang tebal dan bertinta hitam.


NB: Gadis itu harus menulis surat untuk Knight setaip minggu. Suratnya dikirim pada hari selasa.
Knight tidak pernah menjawab.

“Selalu menjadi ayah yang penyayang,” tukas Cross dengan datar. “Kau ingin membeli gelar?”

“Memang seperti itu cara bermainnya zaman sekarang... iya, kan? Bangsawan sudah tidak seperti dulu. Tuhan pun tahu, berkat kerja kerasmu dan kerja kerasku, semakin sedikit saja bangsawan yang punya uang. Enam hari dari sekarang, Meghan datang. Kau akan menikahinya. Dia mendapatkan gelar, dan cucu lelakiku akan menjadi Earl Harlow.”

Earl Harlow.

Sudah bertahun-tahun berselang sejak terakhir kali Cross mendengar nama itu diucapkan keras-keras.

Temple –pemilik keempat The angel- pernah menyebutkannya sekali pada hari ketika ayah Cross meninggal, dan Cross menyerang mitranya yang tak terkalahkan, tidak menyerah sebelum pria kekar itu ambruk. Sekarang, Cross meredam amarah yang bergejolak karena nama yang diucapkan sambil menyeringai itu. “Kalau putrimu menikah denganku, dia akan mendapatkan gelar yang kotor... penuh noda. Gelar itu tidak akan memberimu martabat. Dia tidak akan diundang ke dunia bangsawan.”

“The Angel bisa mencarikan undangan untukmu.”

“Aku tidak menginginkan undangan.”

“Kau akan menginginkannya.”

“Percayalah, aku tidak menginginkannya,” cetus Cross.

“Kau tidak punya pilihan. Aku menginginkannya. Nikahi putriku. Aku akan menghapus utang adik iparmu.”

“Hargamu terlalu tinggi. Ada cara lain untuk mengakhiri ini.”

“Kau memberiku pilihan yang sangat sulit. Menurutmu yang mana yang lebih berat bagi anak-anak itu, skandal yang bisa kutimpakan pada nama mereka? Hukuman diam-diam yang bisa kujatuhkan kepada ayah mereka pada suatu malam saat dia lengah? Prostitusi untuk ibu mereka? Dengan rambut merah itu, percayalah, ada beberapa orang yang bersedia membayar mahal demi membawanya ke tempat tidur... pincang tak jadi masalah.”

Dan dengan kata-kata itu, amarah tersulut. Cross menerjang ke seberang meja, menarik Digger Knight dari kursi. “Aku akan menghancurkanmu kalau kau menyentuh adikku.”

“Tidak sebelum aku menghancurkan mereka.” Kata-kata tersebut diucapkan oleh digger dengan suara tertahan, tapi kebenarannya sudah cukup untuk membuat Cross mundur. Digger merasakan perubahan itu. “Bukankah sudah waktunya untuk menjaga keluargamu?”

Kata-kata itu mengguncang Cross, gema dari gagasan yang sudah tebersit ribuan kali di benaknya sendiri. Ia membenci Digger Knight karenanya.

Tapi ia membenci dirinya sendiri.

“Aku memegang semua kartunya,” cetus Digger, dan kali ini, tidak ada nada sombong pada suaranya.

Hanya kebenaran.



Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar