“Mawarnya sudah bertunas –dua kuncup merah muda yang
sempurna, tumbuh dari tangkai semak mawar merah, seperti yang sudah
dihipotesiskan. Aku pasti sangat bangga dengan pencapaian ini jika aku tidak
gagal total dalam bidang riset nonbotani.
Rupanya pemahamanku terhadap hortikultura lebih dalam
daripada pemahamanku terhadap manusia.
Sayangnya, ini bukan penemuan yang mengejutkan.”
Jurnal
ilmiah Lady Philippa Marbury
23
Maret 1831; tiga belas hari sebelum pernikahannya
“Pippa...,”
Olivia Marbury menghela napas dari ambang pintu rumah kaca Dolby House, “kau
pasti punya kerjaan yang lebih menarik ketimbang bermain dengan tanamanmu.
Bagaimanapun juga, kita akan menikah dua belas hari lagi.”
“Tiga
belas,” ralat Pippa, tidak mendongak dari tempat di mana ia mencatat observasi
flora pagi itu. Ia tahu ia tidak perlu menjelaskan kepada Olivia kalau
pekerjaannya dengan mawar jauh lebih menarik dan relevan dengan ilmu
pengetahuan ketimbang frase bermain
dengan.
Olivia
tidak tahu apa-apa tentang ilmu pengetahuan.
“Hari ini
tidak dihitung!” Pengantin kedua –atau pertama- dari apa yang digadang-gadang
akan menjadi “pernikahan ganda termegah abad ini” (setidaknya, oleh ibu mereka)
menanggapi, semangat pada nada suaranya tidak mungkin terlewatkan. “Bisa dibilang
hari ini sudah berlalu!”
Pippa
meredam keinginan untuk meralat adiknya, berasumsi bahwa jika seseorang sudah
tidak sabar menantikan sebuah peristiwa, maka hari ini tidak akan dihitung.
Tapi karena ia masih bimbang dan gelisah kalau sudah dihadapkan dengan
peristiwa yang dimaksud, maka hari ini dihitung. Sangat.
Hari ini,
dua puluh tiga Maret, masih tersisa empat belas jam dan –Pippa melihat jam yang
ada di dekatnya- empat puluh tiga menit lagi, dan ia tidak ingin melewatkan
hari terakhir yang kedua belas dari masa-masa lajangnya sebelum ia memanfaatkan
setiap menitnya.
Sekarang
Olivia ada di depan meja kerja Pippa, mencondongkan badan ke atasnya, senyum
lebar mengambang di wajah cantiknya. “Apa kau melihat perbedaan pada diriku
hari ini?”
Pippa
meletakkan penanya lalu memandang adiknya. “Maksudmu, selain fakta bahwa kau
sudah hampir telentang di atas setumpuk tanah?”
Hidung
sempurna Olivia dikerutkan dengan lagak jijik, lalu ia menegakkan badan. “Iya.”
Pippa
menaikkan kacamata di hidungnya, memperhatikan mata Olivia yang berbinar,
senyum misterius Olivia, dan penampilan adiknya itu yang sangat manis, Ia tidak
melihat sesuatu yang berbeda. “Gaya rambut baru?”
Olivia
menyeringai. “Bukan.”
“Gaun
baru?”
Seringai
itu berubah menjadi senyum. “Untuk seorang ilmuawan, kau tidak terlalu teliti.”
Olivia mengangkat sebelah tangan di tulang selangkanya, lalu Pippa melihat.
Batu rubi besar yang gemerlapan. Matanya membelalak, dan Olivia tertawa. “Ah-ha!
Sekarang kau melihatnya!”
Olivia
menyodorkan tangannya kepada Pippa, yang harus mundur agar tidak terpukul oleh
permata itu. “Cantik, ya?”
Pippa
mencondongkan badan untuk memperhatikan permata itu. “Iya.” Ia mendongak. “Batunya
besar.”
Olivia
tersenyum lebar. “Calon suamiku memujaku.”
“Calon
suamimu memanjakanmu.”
Olivia
mengabaikan kata-kata itu. “Kau mengatakannya seolah aku tidak pantas
dimanjakan.”
Pippa
tertawa. “tottenham yang malang. Dia tidak tahu apa yang akan dia hadapi.”
Olivia
menatap Pippa dengan tajam. “Omong kosong. Dia tahu persis apa yang akan dia
hadapi. Dan dia menyukainya.” Ia kembali mengalihkan perhatiannya. “Batunya
sangat cantik dan merah.”
Pippa
mengangguk. “Itu Kromiumnya.”
“Apanya?”
“Kromiumnya.
Itu zat yang ditambahkan ke dalam kristal untuk mengubahnya menjadi merah. Jika
yang ditambahkan zat lain... bukan rubi namanya. Melainkan safir.” Olivia
mengerjap, dan Pippa melanjutkan, “Banyak orang salah kaprah, menyangka semua
safir berwarna biru, padahal tidak begitu. Safir bisa berwarna apa saja...
hijau atau kuning atau bahkan merah muda. Tergantung kepada zat tambahannya.
Tapi semuanya disebut safir. Kalau warnanya merah baru namanya berbeda. Rubi.
Karena kromiumnya.”
Pippa
terdiam, melihat ekspresi bingung di wajah Olivia. Itu ekspresi yang sama
dengan yang muncul di wajah sebagian besar orang setiap kali ia berbicara
terlalu banyak.
Tapi tidak semua orang.
Tidak di
wajah Cross.
Sepertinya
Cross tertarik kepadanya. Bahkan ketika pria itu menyebutnya gila. Sampai momen
di mana Cross mengusirnya dari klub. Dan kehidupan pria itu. Tanpa memberitahu
apa yang ingin ia ketahui.
Olivia
kembali memandangi cincinnya. “Yah, rubiku warnanya merah. Dan cantik.”
“Memang.”
Pippa membenarkan. “Kapan kau menerimanya?”
Seulas
senyum simpul dan misterius mengambang di wajah cantik Olivia. “Tottenham
memberikannya kepadaku semalam setelah acara di teater.”
“Dan ibu
tidak menyebutkannya waktu sarapan pagi?” Mengejutkan.”
Olivia
tersenyum lebar. “Ibu tidak ada saat Tottenham memberikannya.”
Ada
sesuatu yang terkandung di dalam kata-kata itu –suatu kewaspadaan yang hampir
tidak ditangkap oleh Pippa. Yang mungkin tidak ditangkap oleh Pippa kalau bukan
karena mata biru Olivia yang penuh pemahaman. “Dia ada di mana?”
“Kurasa
dia sedang mencariku.” Terjadi keheningan selama beberapa saat, selagi Pippa
tahu ia harus menarik maknanya. “Dia tidak bersama kami.”
Pippa
mencondongkan badan, ke seberang meja. “Kalian ada di mana?”
Olivia
tersenyum lebar. “Aku tidak mau memberitahukanmu.”
“Apa
kalian berduaan?” Pippa terkesiap.
Tawa
Olivia riang dan santai. “Oh, Pippa... kau tidak perlu terdengar seperti
pendamping yang terkejut.” Ia memelankan suaranya. “Aku... tidak lama-lama.
Hanya sebentar agar dia bisa memberikan cincin ini kepadaku... dan aku bisa
berterima kasih kepadanya.”
“Berterima
kasih kepadanya bagaimana?”
Olivia
tersenyum. “Kau bisa membayangkannya.”
“Sama
sekali tidak.” Ini benar.
“Kau
tentu punya satu atau dua alasan untuk berterima
kasih kepada Castleton.”
Tapi
nyatanya Pippa tidak pernah punya. Yah, tentu saja ia pernah mengucapkan
kata-kata itu, terima kasih, kepada
tunangannya, tapi ia tidak pernah memiliki alasan untuk berduaan bersama Castleton
selagi melakukannya. Dan ia yakin Castleton tidak pernah membayangkan
memberinya hadiah semewah hadian yang Viscount Tottenham berikan kepada Olivia.
“Bagaimana, persisnya, kau berterima kasih kepadanya, Olivia?”
“Kami
sedang di teater, Pippa,” ujar Olivia. “Kami tidak bisa berbuat banyak. Hanya
beberapa ciuman.”
Beberapa ciuman.
Lebih
dari sekali.
Pippa
tersentak karena kata-kata itu, menjatuhkan botol tintanya, membuat cairan
hitam menggenang di atas meja sampai sebatang pohon lemon muda yang ditanam
dalam pot, lalu Olivia melompat mundur sambil memekik. “Jangan sampai kena
kaunku!”
Pippa
mengangkat botol tinta lalu mengelap cairan itu dengan kain perca yang ada di
dekatnya, ingin mendapat lebih banyak informasi. “Kau sudah pernah...,” ia
melirik pintu rumah kaca untuk meyakinkan diri kalau mereka hanya berduaan, “mencium
Tottenham?”
Olivia
melangkah mundur. “Tantu saja sudah. Aku tidak mungkin menikah dengan seorang
pria tanpa tahu apakah kami punya kecocokan atau tidak.”
Pippa
mengerjap. “Kecocokan?” Ia melihat jurnal risetnya, terbuka di meja, dipenihi
oleh catatan mengenai mawar, dahlia, angsa, dan anatomi manusia. Ia rela
menukar semua itu demi beberapa lembar catatan yang valid dari pengalaman
Olivia.
“Iya. Kau
pasti pernah bertanya-tanya akan seperti apa rasanya... secara fisik... dengan
Castleton... setelah kalian menikah?”
Bertanya-tanya belum
cukup menggambarkan apa yang Pippa rasakan tentang masalah fisik dalam hubungan
dengan Castleton. “Tentu saja.”
“Nah, kau
sama saja.” Ujar Olivia.
Tapi ia
tidak sama. Sama sekali tidak. Pippa menahan keinginan untuk melontarkan
kata-kata semacam itu, mencari cara lain untuk membahas pengalaman Olivia tanpa
membuat terkesan seperti ingin menggali wawasan. “Dan kau... menyukai
ciumannya?”
Olivia
mengangguk dengan penuh semangat. “Oh, iya. Dia sangat pandai melakukannya.
Awalnya aku dikejutkan oleh antusiasmenya...”
Saat itu,
Pippa membenci bahasa Inggris dan semua eufemismenya. “Antusiasme?”
Olivia
tertawa. “Hanya dalam artian yang terbaik... aku pernah mencium beberapa orang
pemuda sebelumnya...” Olivia pernah
melakukannya? “tapi aku agak dikejutkan oleh...” Olivia terdiam,
melambaikan tangannya yang bepermata di udara seolah gerakan itu sudah mencakup
seluruh makna yang relevan.
Pippa
ingin mencekik adiknya. “Oleh...” desaknya.
Olivia
memelankan suaranya menjadi bisikan. “Kepiawaiannya.”
“Jelaskan.”
“Yah, dia
punya lidah yang sangat lihai.”
Dahi
Pippa dikerutkan. “Lidah?”
Mendengar
tanggapan kaget Pippa, Olivia menegakkan badan. “Oh. Kau dan Castleton belum
pernah berciuman.”
Pippa
mengerutkan dahi. Memangnya apa yang dilakukan oleh seorang pria dengan
lidahnya dalam situasi seperti itu? Lidah adalah organ yang ditujukan untuk
makan dan bicara. Bagaimana mungkin organ itu berperan dalam berciuman?
Walaupun, secara logis, bersentuhan mulut akan membuat lidah saling
berdekatan... tapi jujur saja, gagasan tersebut meresahkan.”
“...
kurasa semestinya aku tidak terkejut,” Olivia melanjutkan.
Tunggu.
Pippa
memandang adiknya. “Apa?”
Olivia
melambaikan tangannya lagi. “Maksudku, dia... Castleton.”
“Tidak
ada yang salah dengan Castleton,” bela Pippa. “Dia pria yang baik dan terhormat.”
Bahkan selagi mengucapkan kata-kata itu, Pippa tahu apa yang dimaksud dengan
Olivia. Apa yang dimaksudkan oleh Cross kemarin, saat pria itu menyiratkan
kalau Castleton adalah mempelai pria yang... kurang unggul.
Castleton
adalah pria yang sangat baik, tapi bukan jenis pria yang mengilhami ciuman.
Apa lagi
dengan lidah.
Apa pun
maksudnya itu.
“Tentu
saja,” kata Olivia, tidak tahu menahu tentang pemikiran Pippa yang berkecamuk. “Dia
juga kaya. Dan itu membantu.”
“Aku
menikah dengannya bukan karena dia kaya.”
“Perhatian
Olivia dialihkan kepada Pippa. “Memangnya mengapa kau menikah dengannya?”
Pertanyaan
itu lancang. “Karena aku sudah bersedia.”
“Bukan
itu maksudku, kau tahu itu.”
Pippa
tidak tahu, dan ada sejumlah alasan mengapa ia menikah dengan Castleton. Semua
yang ia katakan kepada Olivia dan Cross benar. Sang ealr baik, terhormat dan
menyukai anjing. Castleton menghargai kecerdasannya dan bersedia memberinya
akses penuh untut estat pria itu beserta tetek bengeknya. Castleton memang
tidak pintar atau cekatan atau sangat menghibur, tapi sang earl lebih baik
daripada sebagian besar pria.
Yah,
Castleton memang bukan pria idaman kebanyakan wanita –bukan seorang viscount
yang digadang-gadang akan menjadi perdana menteri seperti tunangan Olivia, dan
bukan seorang marquess mandiri yang memiliki klub judi serta reputasi bejat
seperti Bourne-nya Penelope –tapi sang earl juga tidak setua suami Victoria
atau bebal seperti suaminya Valeri.
Dan Castleton sudah meminangnya.
Pippa
bimbang karena pemikiran itu.
Philippa
Marbury aneh, dan Lord Castleton agaknya tidak keberatan.
Tapi
Pippa tidak mau mengutarakannya keras-keras. Tidak di depan Olivia –pengantin paling
ideal yang pernah ada, yang akan menikah karena saling mencintai dengan salah
seorang pria paling berkuasa di Inggris. Maka, alih-alih, Pippa berkata, “Mungkin
dia hebat dalam berciuman.”
Ekspresi
Olivia mencerminkan perasaan Pippa sendiri dalam masalah itu. “Mungkin,”
komentar Olivia.
Bukan
berarti Pippa akan menguji teori ganjil itu.
Pippa
tahu ia tidak bisa mengujinya. Ia sudah menyanggupi ketentuan taruhan Cross. Ia
sudah berjanji.
Sebuah
kenangan berkelebat, dadu bergulir di atas kain wol hijau, sentuhan hangat dari
jemari yang kuat, mata kelabu yang serius, dan suara berat yang kuat, mendesak.
Kau tidak boleh mengajukan penawaran
kepada pria lain.
Philippa
Marbury tidak pernah mengingkari janji.
Tapi ini
situasi darurat, kan? Toh, Olivia sudah pernah mencium Tottenham. Tentunya
mencium tunangan sendiri tidak melanggar ketentuan taruhan.
Iya, kan?
Tapi ia tidak mau mencium tunangannya.
Pandangan
Pippa tertuju ke kuncup mawar yang sedang ia perhatikan dengan sangat cermat
sebelum kedatangan adiknya... penemuan ilmiah menarik yang tidak ada apa-apanya
bila dibandingkan dengan informasi yang baru saja Olivia bagikan.
Tidak
penting kalau ia tidak ingin mengajukan penawaran kepada Castleton.
Dan tidak
penting kalau ada pria lain, yang berbeda, yang ingin ia beri penawaran –sangat
tidak penting, mengingat fakta bahwa pria itu telah mengusirnya keluar dari
klub judi dengan sangat tak acuh.
Sedangkan
rasa sesak di dadanya, Pippa yakin itu bukan tanggapan terhadap kenangan akan
pria jangkung dan menawan itu, melainkan kegelisahan khas pengantin yang wajar.
Semua
pengantin gugup.
“Dua
belas hari terasa lama sekali!” cetus Olivia, bosan dengan percakapan mereka
dan tidak tahu-menahu tentang pemikiran Pippa.
Sepertinya
semua pengantin gugup, kecuali Olivia.
***
“Dua
puluh delapan jam.” Dengan perlahan Digger Knight melihat jam sakunya sebelum
menyeringai sombong. “Kuakui, tebakanku kurang dari dua belas.”
“Aku
ingin membuatmu terus menebak.” Cross melepaskan mantelnya lalu duduk di sebuah
kursi kayu yang tidak nyaman di ujung meja Digger yang besar. Ia mengarahkan
tatapan tajam ke balik bahunya kepada anak buah Digger yang sudah
mendampinginya ke kantor pribadi Digger. “Tutup pintunya.”
Pria
bopeng itu menutup pintu.
“Kau
berada di sisi yang salah.”
Pria itu
mencibir.
Digger
tertawa. “Tinggalkan kami.” Setelah akhirnya mereka berduaan, ia berkata, “Aku
hanya bisa pasrah, anak-anak buahku protektif terhadapku.”
Cross
bersandar ke kursi kecil itu, melipat sebelah kaki ke atas kaki yang sebelah
lagi, enggan membiarkan perabotan itu mencapai tujuannya –mengintimidasi. “Anak-anak
buahmu protektif terhadap bayaran mereka.”
Digger
tidak menyangkal. “Loyalitas memang nomor satu, berapa pun harganya.”
“Peraturan
yang baik untuk seorang gembel.”
Digger
memiringkan kepalanya. “Maksudmu anak-anak buahmu tidak loyal demi uang?”
“The
Angel bukan hanya menawarkan keamanan finansial kepada mereka.”
“Kau,
Bourne, dan Chase tidak pernah bisa menolak jiwa malang yang terpuruk,” Digger
mendengus, berdiri. “Aku selalu berpendapat kalau tugas itu sebaiknya
diserahkan kepada pendeta. Gin?”
“Aku
cukup bijak untuk tidak meminum apa pun yang kau sajikan.”
Digger
tertegun selagi mengisi gelasnya. “Kau pikir aku akan meracunimu?”
“Aku sama
sekali tidak tahu apa yang akan kau lakukan kepadaku kalau punya kesempatan.”
Digger
tersenyum. “Aku punya rencana yang membutuhkanmu dalam keadaan hidup, Nak.”
Cross
tidak menyukai pemahaman yang terkandung dalam kata-kata itu, implikasi angkuh
bahwa ia berada di sisi meja yang salah di sini –bahwa ia akan ditarik ke dalam
permainan beresiko tinggi yang tidak ia ketahui peraturannya. Ia memperhatikan
bagian dalam kantor Digger Knight sejenak.
Ia sudah
pernah ke sini sebelumnya, yang terakhir kali enam tahun silam, dan
ruangan-ruangannya belum berubah. Ruangan-ruangan ini masih bersih dan rapi, tanpa
apa pun yang dapat mengungkapkan kehidupan pribadi pemiliknya. Di salah satu
sisi ruangan yang kecil, buku-buku besar –jaminan, begitu Digger Knight
menyebutnya –disusun secara rapi. Cross tahu lebih dari siapa pun apa isinya;
sejarah finansial dari semua pria yang pernah bermain di meja-meja klub judi
Digger Knight.
Cross
tahu, bukan hanya karena buku-buku besar serupa ada di kantornya sendiri,
melainkan juga karena ia melihatnya malam itu, enam tahun yang lalu, saat
Digger melempar sebuah buku besar dalam keadaan terbuka, anak buah Digger
berkepalan tangan besar menunjukkannya bukti dari pelanggarannya sebelum mereka
memukulinya sampai sekarat.
Cross
tidak melawan mereka.
Bahkan,
ia mendoakan keberhasilan mereka.
Digger
menghentikan mereka sebelum mereka merampungkan tugas dan memerintahkan agar
semua uang Cross diambil lalu ia diusir dari klub.
Digger
mencondongkan badan, tidak menghiraukan wajah Cross yang memar, pakaiannya yang
brsimbah darah, dan tulang serta jemarinya yang patah. Kau pikir aku tidak lihat apa yang kau lakukan? Bagaimana kau
mempermainkanku? Aku tidak akan membunuhmu. Belum saatnya bagimu.
Mata
Cross bengkak hingga nyaris terpejam, tapi ia memperhatikan Digger
mencondongkan badan, dengan gusar. Tapi
aku tidak mau kau menipuku lagi. Apa yang kau rasakan sekarang... itu
jaminanku. Kalau kau kembali, keadaannya akan bertambah buruk. Tolonglah dirimu
sendiri dan menjauhlah sebelum aku tidak punya pilihan selain menghancurkanmu.
Cross
sudah hancur, tapi ia tetap menjauh.
Hingga
hari ini.
“Mengapa
aku ada di sini?”
Digger
kembali ke kursinya lalu menenggak alkohol. Sambil meringis, dia berkata, “Adik
iparmu berutang sepuluh ribu pound
kepadaku.”
Latihan
selama bertahun-tahun membuat Cross tidak memperlihatkan kekagetannya. Sepuluh
ribu pound merupakan jumlah yang
besar. Lebih dari yang dihasilkan oleh sebagian besar orang di sepanjang hidup
mereka. Lebih dari yang dihasilkan oleh sebagian besar bangsawan dalam waktu
setahun. Bahkan dua tahun. Dan yang pasti lebih dari yang bisa di bayar oleh
Baron Dunblade. Cross sudah menghidupkan setiap bagian tanah kosong milik sang
baron, dan ia mendapat pemasukan dua ribu pound
setahun.
Dua ribu empat ratus tiga puluh lima pound, tahun lalu.
Itu tidak
banyak, tapi sudah cukup untuk menyediakan atap yang menaungi kepala istri dan
anak-anak Dunblade. Sudah cukup untuk menyekolahkan putra sang baron. Sudah cukup
untuk menciptakan ilusi terhormat yang membuat sang baron dan baroness menerima
undangan penting dari bangsawan lainnya.
Cross
memastikannya.
“Bagaimana
mungkin?”
Digger
bersandar di kursinya, memutar-mutar gelas kristal dalam genggamannya. “Pria
itu gemar berjudi. Siapa aku sehingga bisa mencegahnya?”
Cross
meredam keinginan untuk mengulurkan tangan ke seberang meja dan merenggut leher
Digger. “Sepuluh ribu pound lebih
dari sekadar gemar berjudi, Digger. Bagaimana kejadiannya?”
“Rupanya
pria itu diberi batas pinjaman yang tidak bisa dia lunasi.”
“Di
sepanjang hidupnya dia tidak memiliki uang sebanyak itu.”
Nada
suara Digger menjadi lugu dan menjengkelkan. “Dia meyakinkanku kalau dia
memilikinya. Aku tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas fakta bahwa pria
itu berbohong.” Ia menatap mata Cross, pemahaman berkilat di sana. “Sebagian
orang tidak kuasa menahan diri. Kau yang mengajarkannya kepadaku.”
Kata-kata
itu ditujukan untuk melukai –untuk mengenang malam kala Cross, yang baru lulus
kuliah, dengan mata yang berbinar dan keyakinan mutlak, bermain di meja-meja
Digger Knight dan menang. Berkali-kali. Ia sudah menguasai vingt-et-un –tidak mungkin tidak menang.
Ia sudah
berpindah-pindah klub selama berbulan-bulan, bermain di sini pada satu malam,
di sana selama dua malam, meyakinkan semua orang yang melihat kalau ia sekadar
beruntung.
Semua
orang yang melihat kecuali Digger. “Jadi, ini pembalasan dendammu? Sudah
dirancang selama enam tahun?”
Digger
menghela napas. “Omong kosong. Aku sudah lama melupakannya. Aku tidak pernah
percaya kepada pembalasan dendam yang dingin. Aku selalu menyukai makanan yang
panas. Lebih baik untuk pencernaan.”
“Kalau
begitu hapuskan saja utangnya.”
Digger
tertawa, jemarinya direntangkan lebar-lebar di meja mahoni. “Kita tidak seimpas
itu, Cross. Utangnya tetap berlaku. Dunblade memang bodoh, tapi itu tidak
mengubah fakta bahwa aku memberikan utang kepadanya. Ini bisnis, aku yakin kau
sependapat.” Ia terdiam selama beberapa saat, kemudian, “Sayang sekali dia
seorang bangsawan. Penjara untuk orang-orang yang berutang mungkin lebih baik
daripada apa yang sudah kusiapkan untuknya.”
Cross
tidak berpura-pura tidak mengerti. Toh ia sendiri mengelola sebuah klub judi,
dan tahu lebih dari siapa pun hukuman rahasia apa yang bisa dijatuhkan kepada
para bangsawan yang menganggap diri mereka kebal dari utang. Ia mencondongkan
badan ke depan. “Aku bisa meruntuhkan tempat ini. Anggota kami mencakup separuh
kaum bangsawan.”
Digger
ikut mencondongkan badan ke depan. Aku tidak membutuhkan separuh kaum
bangsawan, Nak. Aku punya adikmu.
Lavinia.
Satu-satunya
alasan yang membawa Cross ke sini.
Sebuah
kenangan melintas, Lavinia, muda dan berseri-seri, menoleh ke belakang dan
tertawa kepada Cross sembari menunggangi kuda coklat kemerahannya menyusuri
tebing-tebing Devonshire. Lavinia anak bungsu dengan jarak usia tujuh tahun,
sangat manja dan tidak takut kepada apa pun. Lavinia bukan jenis gadis yang
biasa diam –bahkan kalau itu yang terbaik bagi semua orang.
Lavinia
menikah dengan Dunblade setahun setelah Baine meninggal dan Cross meninggalkan
rumah; Cross membaca tentang pernikahannya di surat kabar, pendekatan cepat
disusul oleh pernikahan yang lebih cepat lagi –melalui izin khusus untuk
melewatkan masa duka keluarga. Pasti ayah mereka yang menginginkan pernikahan
itu dilaksanakan secepatnya, guna memastikan seseorang akan menikahi putrinya.
Cross
menatap mata biru tajam Digger Knight. “Dia bukan bagian dari semua ini.”
“Oh, kau
salah. Menarik rasanya melihat bagaimana wanita berhasil membawa diri mereka ke
dalam masalah, ya? Betapapun kerasnya seseorang berusaha menjauhkan wanita itu,
kalau seorang lady sudah bertekad ingin ikut campur, dia pasti ikut campur,”
ujar Digger, membuka sebuah kotak eboni berhias di mejanya lalu mengeluarkan
sebatang cerutu dan mengetukkan silinder coklat panjang itu, sekali, dua kali,
ke meja sebelum menyulutnya. Setelah berlama-lama menghisap cerutu, ia berkata,
“Dan ada dua orang lady yang berhubungan denganmu. Mari bicarakan kenalan
baruku. Lady yang kemarin. Siapa dia?”
“Dia
tidak penting.” Cross langsung menyadari kesalahannya. Smestinya ia mengabaikan
pertanyaan itu. Semestinya ia tidk menanggapinya. Tapi jawabannya yang terlalu
cepat lebih bersifat membongkar ketimbang menyembunyikan.
Digger
memiringkan kepalanya ke samping, penasaran. “Sepertinya dia sangat penting.”
Brengsek. Ini bukan
waktu dan tempat yang tepat untuk Philippa Marbury dengan mata biru besarnya,
otaknya yang terlalu logis, dan tingkah lakunya yang aneh serta menggoda. Cross
menyalahkan pemikiran itu.
Ia tidak akan memikirkan Philippa di sini.
“Aku
datang untuk membahas adikku.”
Digger
menerima perubahan topik tersebut. Mungkin dengan terlalu mudah. “Adikmu punya
karakter, kuakui itu.”
Ruangan
terasa hangat dan terlalu kecil, dan Cross meredam keinginan untuk bergeser di
kursinya. “Apa maumu?”
“Ini
bukan tentang apa yang kuinginkan. Ini tentang apa yang sudah ditawarkan oleh
adikmu. Dia sangat murah hati. Rupanya wanita muda itu bersedia melakukan apa
saja demi memastikan anak-anaknya terlindungi dari skandal.”
“Anak-anak
Lavinia akan tetap tidak terjamah oleh skandal.” Kata-kata itu terdengar tegas
dan mantap. Cross akan memindahkan Bumi demi memastikan kebenarannya.
“Apa kau
yakin?” tanya Digger, bersandar di kursinya. “Sepertinya mereka sudah sangat
dekat dengan skandal yang sangat memalukan. Kemiskinan. Seorang ayah yang gemar
menghabiskan warisan mereka dengan berjudi. Seorang ibu yang merana. Dan semua
itu karena paman mereka... yang membalikkan badan dari keluarga serta
masyarakat dan tidak pernah menoleh ke belakang, lalu...” Kalimat itu
menggantung, penyelesaiannya tidak diperlukan.
Itu tidak benar.
Semuanya
tidak benar.
Cross
yakin ia tidak pernah membalikkan badan dari mereka.
Cross
menyipitkan matanya. “Kau sudah kehilangan aksenmu, Digger.”
Salah
satu ujung bibir Digger terangkat. “Tidak perlu menggunakannya dengan kawan
lama.” Ia berlama-lama menghisap cerutunya. “Tapi... kembali kepada anak-anak
yang beruntung itu. Ibu mereka kuat. Dia menawarkan diri untuk membayarku.
Sayang sekali dia tidak punya uang sepeser pun.”
Tidak
dibutuhkan otak yang brilian untuk mendengar sindiran Digger. Memahami
kebusukan yang terkandung dalam kata-kata itu. Pria biasa pasti membiarkan
amarhnya mencuat tanpa melihat semua kepingan yang dimainkan, tapi Cross bukan
pria biasa.
Ia bukan
hanya mendengar ancamannya. Ia mendengar tawarannya.
“Kau
tidak boleh bicara dengan adikku lagi.”
Digger
menganggukkan kepala. “Apa kau benar-benar yakin kalau kau berada dalam posisi
memampukanmu membuat pernyataaan semacam itu?”
Cross
berdiri, memindahkan mantelnya ke lekuk salah satu lengannya. “Akan kubayar
utangnya. Melipatgandakan jumlahnya. Akan kukirim berkasnya besok. Dan kau
harus menjauhi keluargaku.”
Cross
berbalik untuk pergi.
Digger
bicara dari tempatnya. “Tidak.”
Cross
berhenti, menoleh ke balik bahu, membiarkan emosi tertuang ke dalam nada
suaranya untuk yang pertama kalinya. “Ini kali kedua kau menolakku dalam dua
hari terakhir, Digger. Aku tidak suka itu.”
“Sayangnya
utangnya tidak bisa dilunasi dengan semudah itu.”
Digger
Knight membuat namanya menjadi salah seorang pejudi ulung di London bukan
dengan bermain mengikuti peraturan. Malah, kegemaran Digger dalam melanggar
peraturanlah yang menyelamatkan Cross bertahun-tahun silam. Digger menyukai
cara kerja otak Cross. Digger memaksa Cross mengungkapkan bagaimana ia
menghitung jumlah kartu, bagaimana ia mengalkulasi kartu berikutnya, bagaimana
ia tahu kapan dan berapa banyak ia harus bertaruh.
Bagaimana
ia selalu menang.
Setidaknya di meja judi.
Cross
berbalik menghadap musuh bebuyutannya lagi “Lantas bagaimana?”
Digger
tertawa, tawa terbahak-bahak serak dan mengguncang perut yang membuat Cross
mengertakkan gigi. “Momen yang sangat luar biasa... Cross yang hebat, bersedia
memberikan apa pun yang kuinginkan. Betapa... bertanggung jawabnya kau.” Tidak
ada kekagetan pada nada suara itu, hanya kepuasan angkuh.
Dan baru
pada saat itulah Cross tersadar kalau sedari awal ini bukan soal Dunblade.
Digger Knight menginginkan sesuatu lagi, dan pria itu menggunakan satu-satunya
hal yang ia sayangi demi mendapatkannya.
“Kau
membuang-buang waktuku. Apa maumu?”
“Sebenarnya
sederhana,” ujar Digger. “Aku mau kau menjadikan putriku seorang countess.”
Jika diminta
menebak harga yang akan Digger pasang untuk reputasi adiknya dan keamanan
anak-anak adiknya, Cross pasti berkata bahwa tidak ada yang bisa
mengejutkannya. Ia pasti siap mendengar tuntutan digger untuk menjadi pemegang
saham di The Angel, mendengar permintaan agar bos arena atau penjaga keamanan
The Angel bekerja untuk Knight’s atau agar dia sendiri mengisi lowongan di klub
digger itu.
Cross
pasti mengira akan diperas –utang dilipatgandakan, dilipatgandakan, cukup untuk
membuatnya bangkrut. Bahkan ia pasti membayangkan suatu proposal untuk
menggabungkan kedua klub; Digger tidak menyukai bagaimana The Fallen Angel
melesat meraih keberhasilan dalam hitungan bulan setelah pembukaan, sementara
Knight’s tetap sedang-sedang saja, klub kelas dua yang mengumpulkan para
bangsawan yang ditolak oleh standar keanggotaan The Angel yang ketat.
Tapi ia
tidak akan membayangkan permintaan ini.
Maka ia
melakukan satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam situasi
ini. Ia tertawa. “Apa kita sedang menyebutkan apa saja yang kita inginkan?
Kalau iya, aku ingin punya kendaraan terbang yang berpelat emas.”
“Dan aku
akan mencari cara untuk memberikannya kepadamu kalau kau mengambil alih salah
satu dari segelintir hal yang kusayangi.” Digger Knight mematikan cerutunya.
“Aku
tidak tahu kau menyanyangi Meghan.”
Pukulan telak.
Cross
mengingat-ingat apa yang ia ketahui tentang anak tunggal Digger, informasi yang
ia pelajari dari arsip-arsip yang disimpan di brankas The Angel. Arsip-srsip
yang memuat rahasia dari orang-orang yang bisa menjadi musuh mereka –politisi,
pelaku kriminal, pendeta, dan juga pesaing.
Informasi
itu tampak jelas seolah arsip Digger Knight terbuka di meja di tengah mereka.
Nama: Meghan Margaret Knight, lahir 3 Juli 1812.
“Aku tahu
cukup banyak tentang Meghan.” Cross terdiam sejenak. “Atau aku harus
memanggilnya Maggie?”
Digger
menenangkan diri. “Aku tidak pernah peduli.”
“Yah,
kurasa tidak, mengingat nama itu berbau Irlandia.” Cross menyampirkan mantelnya
di punggung kursi, menikmati secercah kendali yang ia dapatkan. “Meghan
Margaret Knight. Aku kaget kau mengizinkannya dinamai seperti itu.”
Digger
memalingkan wajahnya. “aku membiarkan ibunya manamainya.”
“Mary
Katherine.”
Mary Katherine O’Brien, Irlandia, lahir 1796, menikah
dengan Knight –Februari 1812.
“Seharusnya
aku sudah tahu kalian menyimpan informasi tentang mereka.” Digger Knight
merengut. “Chase bajingan. Suatu hari nanti, aku akan memberi pelajaran yang
pantas dia dapatkan.”
Cross
bersedekap begitu mendengar mitranya, dan pendiri The Fallen Angel, disebutkan.
“Kujamin itu tidak akan terjadi.”
Digger
menatap mata Cross. “Kurasa seharusnya aku bersyukur kau sudah tahu tentang
gadis itu. Sama saja seperti menikahi teman lama.”
Kediaman: Bedfordshire; pondok kecil di High Street.
Knight mengirim £200, pada tanggal 4 setiap bulannya; tidak
pernah berkunjung dan belum pernah melihat gadis itu sejak ia dan ibunya
diasingkan, pada bulan Oktober 1813.
Gadis itu dibesarkan oleh seorang guru pribadi, cukup fasih
berbicara dalam bahasa Prancis.
Bersekolah di Mrs. Coldphell’s Finishing School for Girls –tidak
tinggal di asrama.
“Sejak
kapan kau peduli pada putrimu?”
Digger
mengangkat bahu. “Sejak dia cukup dewasa dan memiliki nilai.”
Ada satu
baris lagi, dicantumkan oleh tulisan tangan Chase yang tebal dan bertinta
hitam.
NB: Gadis itu harus menulis surat untuk Knight setaip
minggu. Suratnya dikirim pada hari selasa.
Knight tidak pernah menjawab.
“Selalu
menjadi ayah yang penyayang,” tukas Cross dengan datar. “Kau ingin membeli
gelar?”
“Memang
seperti itu cara bermainnya zaman sekarang... iya, kan? Bangsawan sudah tidak
seperti dulu. Tuhan pun tahu, berkat kerja kerasmu dan kerja kerasku, semakin
sedikit saja bangsawan yang punya uang. Enam hari dari sekarang, Meghan datang.
Kau akan menikahinya. Dia mendapatkan gelar, dan cucu lelakiku akan menjadi
Earl Harlow.”
Earl Harlow.
Sudah
bertahun-tahun berselang sejak terakhir kali Cross mendengar nama itu diucapkan
keras-keras.
Temple –pemilik
keempat The angel- pernah menyebutkannya sekali pada hari ketika ayah Cross
meninggal, dan Cross menyerang mitranya yang tak terkalahkan, tidak menyerah
sebelum pria kekar itu ambruk. Sekarang, Cross meredam amarah yang bergejolak
karena nama yang diucapkan sambil menyeringai itu. “Kalau putrimu menikah
denganku, dia akan mendapatkan gelar yang kotor... penuh noda. Gelar itu tidak
akan memberimu martabat. Dia tidak akan diundang ke dunia bangsawan.”
“The
Angel bisa mencarikan undangan untukmu.”
“Aku
tidak menginginkan undangan.”
“Kau akan
menginginkannya.”
“Percayalah,
aku tidak menginginkannya,” cetus Cross.
“Kau
tidak punya pilihan. Aku menginginkannya. Nikahi putriku. Aku akan menghapus
utang adik iparmu.”
“Hargamu
terlalu tinggi. Ada cara lain untuk mengakhiri ini.”
“Kau
memberiku pilihan yang sangat sulit. Menurutmu yang mana yang lebih berat bagi
anak-anak itu, skandal yang bisa kutimpakan pada nama mereka? Hukuman diam-diam
yang bisa kujatuhkan kepada ayah mereka pada suatu malam saat dia lengah?
Prostitusi untuk ibu mereka? Dengan rambut merah itu, percayalah, ada beberapa
orang yang bersedia membayar mahal demi membawanya ke tempat tidur... pincang
tak jadi masalah.”
Dan
dengan kata-kata itu, amarah tersulut. Cross menerjang ke seberang meja,
menarik Digger Knight dari kursi. “Aku akan menghancurkanmu kalau kau menyentuh
adikku.”
“Tidak
sebelum aku menghancurkan mereka.” Kata-kata tersebut diucapkan oleh digger
dengan suara tertahan, tapi kebenarannya sudah cukup untuk membuat Cross
mundur. Digger merasakan perubahan itu. “Bukankah sudah waktunya untuk menjaga
keluargamu?”
Kata-kata
itu mengguncang Cross, gema dari gagasan yang sudah tebersit ribuan kali di
benaknya sendiri. Ia membenci Digger Knight karenanya.
Tapi ia
membenci dirinya sendiri.
“Aku
memegang semua kartunya,” cetus Digger, dan kali ini, tidak ada nada sombong
pada suaranya.
Hanya
kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar